BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Rumah Sakit (RS) merupakan suatu unit yang sangat kompleks. Kompleksitas ini tidak hanya berkaitan dengan rumah sakit sebagai tempat pelayanan medis namun juga sebagai tempat yang paling mungkin menularkan infeksi (nosokomial) baik pada pasien, petugas kesehatan maupun masyarakat yang berkunjung. Hal ini terjadi karena rumah sakit mengandung populasi mikroorganisme yang tinggi dengan jenis virulen yang resisten terhadap antibiotik (Potter & Perry, 2006).
Infeksi nosokomial adalah infeksi yang terjadi di sarana pelayanan kesehatan baik rumah sakit, rumah perawatan, panti jompo, dan klinik kesehatan lainnya (Rohani dan Setio, 2010). Suatu penelitian yang dilakukan oleh World Health Organization (WHO) tahun 2006 mencatat angka kejadian infeksi nosokomial sekitar 8,7% pada 55 rumah sakit di 14 negara di Eropa, Timur Tengah, Asia Tenggara, dan Pasifik. Angka kejadian infeksi nosokomial di Asia Tenggara tercatat sebanyak l0% (Nugraheni, dkk, 2012).
Sepuluh Rumah Sakit Umum (RSU) pendidikan di Indonesia pada tahun 2010 mencatat angka kejadian infeksi nosokomial yang terjadi sekitar 6-16% dengan rata-rata 9,8% (Nugraheni, dkk, 2012). Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang sebagai salah satu rumah sakit rujukan di Nusa Tenggara Timur (NTT) juga mencatat adanya infeksi nosokomial yang terjadi
1
2
pada tahun 2014. Angka infeksi nosokomial yang terjadi pada Bulan Februari 2014 adalah 0,17%, pada Bulan Maret 0,15%, pada Bulan Mei sekitar 0,04%, pada Bulan Juni terjadi peningkatan menjadi 0,69% (RSUD Kupang, 2014).
Jenis infeksi nosokomial yang paling banyak terjadi di RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang adalah kejadian infeksi pada pasien-pasien pasca operasi yaitu sebanyak 0,92%. Infeksi nosokomial lain yang terjadi sejak Bulan Januari hingga Juni 2014 adalah Plebitis sebanyak 4 kasus (RSUD Kupang, 2014). Oleh karena itu, perlu diupayakan suatu tindakan pencegahan dan pengendalian terhadap penularan infeksi.
Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) adalah suatu upaya yang ditujukan untuk mencegah transmisi penyakit menular di semua tempat pelayanan kesehatan (Minnesota Department of Health, 2014). Aktivitas pengendalian infeksi berfokus pada upaya memotong mata rantai infeksi dengan cara mengendalikan jumlah dan jenis agen, tempat penyimpanan mikroorganisme penyakit di rumah sakit, serta mencegah perpindahan mikroorganisme tersebut, baik pada pasien maupun petugas kesehatan (Rohani & Setio, 2010).
Menteri Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2007 telah mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 382/Menkes/SK/III/2007 sebagai bentuk dukungan dalam upaya pencegahan terjadinya infeksi nosokomial. Surat Keputusan ini menyebutkan tentang Pelaksanaan Program PPI di Rumah Sakit maupun fasilitas pelayanan kesehatan lain melalui pembentukan Panitia Medik Pengendalian Infeksi. Tugas dari Panitia Medik Pengendalian Infeksi ini berfokus pada upaya
3
pemutusan siklus penularan penyakit dan melindungi pasien, petugas kesehatan, pengunjung, serta masyarakat yang menerima pelayanan kesehatan (Darmadi, 2008; Kemenkes RI, 2011).
Hasil wawancara peneliti dengan perawat anggota Panitia Medik Program PPI di RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang menyatakan bahwa pelaksanaan program PPI sudah mulai berjalan dengan baik. Petugas dari Panitia Medik PPI Rumah Sakit melakukan sosialisasi tentang cara-cara pencegahan dan pengendalian infeksi, misalnya cara mencuci tangan yang benar, pemakaian Alat Pelindung Diri (APD), dan sebagainya.
Salah satu bentuk pelaksanaan program PPI adalah pengelolaan limbah rumah sakit secara baik dan benar (Kemenkes RI, 2011). Pengelolaan limbah rumah sakit perlu dilakukan karena semua hasil kegiatan pelayanan medis di rumah sakit akan menghasilkan produk samping berupa limbah yang dapat diindikasikan sebagai reservoar kuman infeksi. Reservoar ini akan menjadi sumber mikroba patogen penyebab penyakit infeksi (Darmadi, 2008).
Pengelolaan limbah rumah sakit adalah suatu upaya yang dilakukan terhadap limbah, mulai dari tahap pemilahan dan pengumpulan di tempat sumber, pengangkutan, penampungan hingga tahap pemusnahan (Djohan & Halim, 2013). Peran perawat dalam pengelolaan limbah terletak pada tahap pemilahan (Indonesia Public Health Information, 2014). Perawat harus memilah limbah medis dan limbah non medis serta menempatkannya pada wadah penampung
4
berdasarkan jenis limbah dan/atau sesuai ketentuan yang ada di rumah sakit (Djohan & Halim, 2013).
Limbah medis adalah limbah sarana medis yang habis terpakai atau terbuang setelah digunakan sebagai alat bantu diagnosis, pengobatan, prosedur dan tindakan medis atau perawatan pada pasien, misalnya kassa, plester, jarum suntik, set infus/botol infus, kantung darah, sarung tangan, dan sebagainya. Limbah non medis adalah limbah hasil kegiatan rumah tangga rumah sakit (kantor/tata usaha, dapur, taman, gudang, rekam medis, dan sebagainya), misalnya kertas, plastik, kaleng, sayur/buah yang terbuang, daun, ranting, dan lain-lain (Darmadi, 2008). Tahap pemilahan kedua jenis limbah ini dilakukan mulai dari tempat sumber limbah, yakni unit perawatan/unit pelayanan medis (Djohan & Halim, 2013).
Salah satu tempat penghasil limbah terbanyak adalah Instalasi Gawat Darurat (IGD). IGD adalah salah satu instalasi perawatan yang pertama dilalui pasien saat diindikasikan Masuk Rumah Sakit (MRS). Ruangan IGD merupakan tempat awal pasien mendapatkan prosedur dan/atau tindakan medis sehingga ruangan IGD menjadi salah satu tempat yang banyak menghasilkan limbah hasil prosedur dan tindakan medis yang dilakukan serta salah satu tempat yang paling mungkin menularkan infeksi (Darmadi, 2008).
IGD RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang mencatat jumlah kunjungan pasien baik pasien yang menjalani rawat jalan biasa dan pasien yang diindikasikan rawat inap dalam tahun 2014 sebanyak 15.138 pasien. Pasien-pasien yang datang ini sebagian besar mendapatkan tindakan dan prosedur medis baik yang bersifat
5
emergensi, urgen, dan non urgen. Tindakan dan prosedur medis yang diterima pasien tergantung pada jenis penyakit dan dapat berupa tindakan atau prosedur pemasangan oksigen, pengambilan darah, pemasangan infus, pemasangan kateter, tindakan hecting, dan lain sebagainya. Beragamnya tindakan dan prosedur medis yang ada di IGD ini, tentunya akan menghasilkan banyak limbah baik medis dan non medis (RSUD Kupang, 2014; Musliha, 2010).
Upaya pemilahan limbah medis dan non medis merupakan kegiatan yang memerlukan pengetahuan, pemahaman yang benar-benar baik, kesadaran, dan keterampilan yang benar dari perawat (Darmadi, 2008; Rohani & Setio, 2010). Namun pada kenyataannya, masih ada perawat yang mengabaikan hal ini. Hasil wawancara peneliti dengan petugas Instalasi Pemeliharaan Sarana Rumah Sakit (IPSRS) RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang menyebutkan bahwa saat akan melakukan proses pemusnahan limbah, masih ditemukan adanya limbah medis dan non medis yang tercampur. Peneliti juga mewawancarai seorang perawat yang bertugas dalam Panitia Medik Pengendalian Infeksi RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang yang menyatakan bahwa saat melakukan inspeksi mendadak ke setiap ruangan perawatan, kadang-kadang masih ditemukan limbah medis dan non medis yang tercampur.
Hasil wawancara peneliti dengan Kepala Ruangan dan seorang perawat Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang, dikatakan bahwa perilaku perawat dalam membuang limbah medis dan non medis masih tergolong kurang baik misalnya balutan-balutan bekas dari pasien (sampah medis) dibuang
6
ke kantong hitam yang seharusnya kantong tersebut digunakan untuk menyimpan sampah non medis. Contoh lainnya adalah jarum-jarum bekas dari pasien dibuang begitu saja di dalam tempat sampah padahal sudah disediakan safety box untuk membuang benda-benda tajam. Ini menunjukkan bahwa masih ada perilaku perawat yang kurang baik dalam melakukan pemilahan limbah medis dan non medis.
Perilaku perawat yang kurang baik ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor. Berbagai teori dikembangkan untuk menentukan determinan perilaku. Kholid (2012) menyebutkan ada beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku yaitu usia, jenis kelamin, pengetahuan, pendidikan, sikap, nilai (keyakinan). Notoadmodjo (2010) menuliskan teori dari Green (1980), yang menyebutkan bahwa determinan perilaku mencakup faktor predisposisi (misalnya pengetahuan, sikap, tradisi, nilai kepercayaan), faktor pemungkin/enabling, dan faktor penguat/reinforcing.
Marmi dan Margayati (2013) menambahkan faktor lain yang mempengaruhi perilaku adalah sarana dan fasilitas serta dukungan sosial. Penelitian Kusnaryanti (2005) dan Maironah, dkk (2011) menuliskan bahwa ada hubungan antara pengetahuan, sikap, ketersediaan fasilitas, peran kepala ruangan sebagai role model dengan praktek petugas kesehatan khususnya perawat dalam hal pengelolaan limbah rumah sakit. Sedangkan hasil penelitian Jasmwati, dkk (2011) menentang dua hasil penelitian ini yang menyebutkan tidak ada hubungan antara pengetahuan, sikap dan ketersediaan fasilitas dengan perilaku pengelola limbah medis rumah sakit.
7
Berdasarkan hasil penelusuran peneliti, di RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang, penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku perawat dalam memilah limbah medis dan non medis ini belum pernah dilakukan serta masih ada pro dan kontra tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku perawat dalam pengelolaan limbah rumah sakit. Hal ini menarik perhatian peneliti untuk mengetahui lebih dalam faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku perawat dalam memilah limbah medis dan non medis di IGD RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang penulis angkat adalah “Faktor-faktor apa yang berhubungan dengan perilaku perawat dalam memilah limbah medis dan non medis di IGD RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang?”
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1
Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku perawat dalam memilah limbah medis dan non medis di IGD RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang.
8
1.3.2
Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah : a. Mengidentifikasi pengetahuan perawat tentang pemilahan limbah medis dan non medis di IGD RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang. b. Mengidentifikasi sikap perawat dalam pemilahan limbah medis dan non medis di IGD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang c. Mengidentifikasi ketersediaan fasilitas untuk proses pemilahan limbah medis dan non medis di IGD RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang d. Mengidentifikasi peran Kepala Ruangan dalam pemilahan limbah medis dan non medis di IGD RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang e. Mengidentifikasi perilaku perawat dalam memilah limbah medis dan non medis di IGD RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang. f. Menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku perawat dalam pemilahan limbah medis dan non medis di IGD RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1
Manfaat Praktis
a. Bagi perawat Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan referensi bagi perawat dalam upaya mencegah dan mengendalikan infeksi melalui pemilahan limbah medis dan non medis.
9
b. Bagi pihak manajemen Rumah Sakit Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan untuk manajemen rumah sakit dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit melalui peningkatan pengetahuan, sikap perawat dan pengadaan sarana prasarana yang mendukung proses pemilahan limbah rumah sakit sehingga program PPI dapat terlaksana dengan baik.
1.4.2
Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini dapat menjadi referensi dan pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang PPI khususnya dalam pemilahan limbah medis dan non medis. b. Hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar kepustakaan dan informasi awal untuk melakukan penelitian selanjutnya sehubungan dengan pengelolaan limbah medis dan non medis.