BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Pemerintah daerah, sesuai dengan amanat Undang Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.
Pemberian
otonomi
luas
kepada
daerah
bertujuan
untuk
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat. Pemerintahan Daerah (Pemda) dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan otonomi daerah, perlu memperhatikan hubungan antar susunan pemerintahan. Hubungan antar susunan pemerintahan mencakup aspek hubungan wewenang yang disusun berdasarkan kekhususan dan keragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Daerah diberikan kewenangan yang seluas-luasnya disertai dengan hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam satu kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara. Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya mengandung pengertian daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan diluar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam undang-undang. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan
1
2
pemberdayaan masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kata Pemerintahan dan kata Pemerintah memiliki pengertian yang berbeda. Pemerintah mengandung pengertian sebagai “organ” atau alat Negara yang menjalankan tugas dan fungsi pemerintahan, sedangkan pemerintahan mengandung pengertian sebagai “fungsi” dari pemerintah. Istilah Pemerintah dalam arti “organ” atau alat negara, dapat dibedakan menjadi dua yakni: Pemerintah dalam arti sempit, khusus hanya menyangkut kekuasaan eksekutif. Menurut UUD 1945, Pemerintah ialah Presiden, Wakil Presiden dan dibantu oleh menteri-menteri. Pemerintah dalam arti luas adalah semua organ negara termasuk DPR (eksekutif dan legislatif ).1 Pemda adalah pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan daerah yang dilakukan oleh lembaga pemerintahan daerah, yaitu Pemda dan DPRD. Gubernur sebagai kepala daerah provinsi berfungsi pula sebagai wakil pemerintah di daerah dalam pengertian untuk menjembatani dan memperpendek rentang kendali, pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintah termasuk dalam pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan pada strata pemerintahan kabupaten dan kota Hubungan antara Pemda dan DPRD merupakan hubungan kerja yang kedudukannya setara dan bersifat kemitraan. Kedudukan yang setara bermakna bahwa diantara lembaga pemerintahan daerah itu memiliki kedudukan yang sama dan sejajar, artinya tidak saling membawahi. Hal tersebut tercermin dalam 1
CST Kansil, Christine ST Kansil, J.Hanny Posumah,Said Aneke Rukiah, 2009, Hukum Administrasi Daerah, Jala Permata Aksara, Jakarta, hal. 87
3
membuat kebijakan daerah berupa Peraturan Daerah (Perda). Hubungan kemitraan memiliki makna, bahwa antara Pemerintah Daerah dan DPRD adalah sama-sama mitra kerja dalam membuat kebijakan daerah untuk melaksanakan otonomi daerah sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing sehingga antar kedua lembaga tersebut membangun suatu hubungan kerja yang sifatnya saling mendukung. Salah satu kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah atau Pemda adalah kewenangan yang berkaitan dengan perizinan. Perizinan merupakan instrumen kebijakan pemerintah atau pemerintah daerah untuk melakukan pengendalian atas eksternalitas negatif yang mungkin ditimbulkan oleh aktivitas sosial maupun aktivitas ekonomi. Izin juga merupakan instrumen untuk perlindungan hukum atas kepemilikan atau penyelenggaraan kegiatan. Sebagai instrumen pengendalian, perizinan memerlukan rasionalitas yang jelas, yang tertuang dalam bentuk kebijakan pemerintah sebagai sebuah acuan. Tanpa rasionalitas dan desain kebijakan yang jelas, perizinan akan kehilangan maknanya sebagai instrumen untuk membela kepentingan masyarakat, kepentingan pelaku ekonomi atas tindakan yang berdasarkan kepentingan individu. Dengan demikian, fungsi perizinan adalah fungsi regulasi yang berada pada badan dan dilaksanakan oleh pemerintah. 2 Izin merupakan keputusan administratif yang lazim disebut dengan keputusan tata usaha negara. Keputusan tata usaha negara yang bernama izin tersebut, berisi pengaturan mengenai kegiatan yang dapat atau yang tidak dapat 2
Andrian Sutedi, 2011, Hukum Perizinan dalam sektor pelayanan publik, Sinar Grafika, Jakarta, hal.v
4
dilakukan oleh masyarakat. Izin adalah keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dalam pemerintahan sebagai konsekuensi dari jabatannya. Salah satu fungsi utama dari pemerintah adalah membuat kebijakan publik. Argumentasi terpenting dari pernyataan tersebut adalah bahwa semua warganegara akan senantiasa bersentuhan dengan kebijakan publik yang dikeluarkan oleh pemerintah, karena yang diatur oleh kebijakan publik tentunya yang menyangkut kepentingan umum.3 Pernyataan tersebut memberikan gambaran tentang fungsi pemerintahan yang berlaku secara umum, dalam arti tugas pemerintahan yang berjalan sebagaimana diatur hukum administrasi. Dengan demikian, secara gambaran umum memperlihatkan bahwa fungsi pemerintahan adalah menjalankan semua kegiatan diluar fungsi legislatif dan yudikatif atas dasar ketentuan dan kewenangan yang diberikan. Fungsi Administrasi (pemerintahan) sebagai fungsi hukum terdiri atas: a. Pengaturan administrasi, penetapan peraturan-peraturan administasi berupa peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan menteri, dan sebagainya yang bersifat administratif, artinya berupa interprestasi penjabaran, petunjuk atau instruksi pelaksanaan undang-undang; b. Tata pemerintahan, penggunaan kekuasaan yuridis formal negara terhadap orang-orang penduduk negara dan segala apa yang terdapat dalam wilayah negara di dalam menegakkan pemerintahan negara secara nyata. Penggunaan kekuasaan ini adalah untuk menjalankan dan 3
Muhadam Labolo, 2006, Memahami Ilmu Pemerintahan, PT. Radja Grafindo Persada, Jakarta, hal.27
5
mencapai secara yuridis, segala apa yang menjadi fungsi, tugas, kewajiban atau tujuan daripada negara dalam mengurus kehidupan masyarakat; c. Kepolisian administrasi, penegakan hukum secara langsung, yakni pengawasan dan pemeliharaan ketertiban serta keamanan terhadap pelaksanaan
hukum
yang
bersifat
pembinaan
dan
pendidikan
masyarakat; d. Penyelesaian perselisihan secara administratif, yakni penyelesaian perkara-perkara atau persengketaan-sengketaan yang dapat diselesaikan oleh pengadilan yustisi, yaitu perkara-perkara “administrasi”. 4 Dalam menjalankan fungsi pemerintahan berdasarkan ketentuan hukum atau perundang-undangan, maka harus berdasarkan kewenangan yang diberikan atau diterima melalui ketentuan hukum yang berlaku. Wewenang mengandung arti kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik, atau secara yuridis adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan hukum. Dengan demikian wewenang pemerintahan memiliki sifat-sifat, antara lain: a. Express Implied; b. Jelas maksud dan tujuannya; c. Terikat pada waktu tertentu; d. Tunduk pada batasan-batasan hukum tertulis dan tidak tertulis; e. Isi dan wewenang dapat bersifat umum (abstrak) dan kongkrit.5 4
S.Prajudi Atmosudirdjo, 1994, Hukum Administrasi Negara, Edisi revisi, Gahlia Indonesia, Cetakan ke -10, Jakarta, hal.73-74
6
Berkenaan dengan kewenangan untuk melaksanakan tindakan hukum publik ini, maka perlu untuk melihat dan mengamati penyelenggaraan kewenangan pemerintah daerah di dalam menjalankan fungsi pemerintahan, khususnya kewenangan bidang perizinan. Kewenangan Pemda dalam bidang perizinan secara eksplisit tidak ditemukan dalam undang-undang, baik Undang-Undang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, maupun Undang-Undang Pelayanan Publik. Namun demikian, pemerintah daerah memiliki kewenangan tersebut, yang secara implisit dapat ditemukan pada Pasal 1 ayat (5), Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, dan Pasal 25 Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UUPemda). Kewenangan yang sama secara implisit juga terkandung di dalam
Undang-Undang
Nomor
30
Tahun
2014
Tentang
Administrasi
Pemerintahan (selanjutnya: UUAP). Pasal 39 ayat (1) UUAP menentukan bahwa Pejabat Pemerintahan yang berwenang dapat menerbitkan Izin, Dispensasi, dan/atau Konsesi dengan berpedoman pada AUPB dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Namun demikian, pengaturan teknis mengenai kewenangan Pemda dalam bidang perizinan secara eksplisit baru ditemukan dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 97 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (selanjutnya: Perpres PTSP). Pasal 5 ayat (1) huruf a dan c Perpres PTSP menentukan bahwa penyelenggaraan PTSP dilaksanakan oleh pemerintah provinsi untuk pelayanan Perizinan dan Nonperizinan dari urusan wajib dan urusan pilihan yang menjadi urusan provinsi 5
SF Marbun, 1997, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, Liberty,Yogyakarta, hal.154-155
7
dan pemerintah kabupaten/kota untuk pelayanan Perizinan dan Nonperizinan dari urusan wajib dan urusan pilihan yang menjadi urusan kabupaten/kota. Kewenangan
pemerintahan
dalam
bidang
perizinan
merupakan
kewenangan dan tindakan pemerintahan yang berhubungan dengan kepentingan umum, bahkan dalam sifat yang langsung. Perhatian secara lebih baik terhadap kewenangan ini sangat diperlukan dalam kaitan dengan perlindungan kepentingan publik, mengingat aktor kewenangan itu adalah manusia yang sepanjang sejarah manusia terbukti tidak selamanya dan sepenuhnya menggunakan komitmen jabatannya untuk melaksanakan fungsi jabatan sesuai dengan kaedah peraturang perundang-undangan yang mengatur kewenangan itu. Berbagai kasus dalam bentuk penyalahgunaan wewenang dalam penyelenggaraan kewenangan perizinan yang mengancam kepentingan publik merupakan sisi lain dari fakta penyelenggaraan kewenangan pemerintahan dalam bidang perizinan yang membuat bidang ini layak diberikan perhatian lebih dalam rangka mencegah berbagai kerugian yang dapat terjadi sebagai akibat dari penyelenggaraan kewenangan demikian itu. Perhatian ini juga diperlukan dalam kaitan dengan sifat dari kelembagaan lembaga perizinan itu sebagai suatu lembaga hukum yang yang tidak berdiri sendiri, melainkan sebagai bagian dari satu sistem kekuasaan dan kewenangan dalam sistem pemerintahan yang mengakibatkan kelembagaan lembaga perizinan itu terbangun dalam suatu struktur sistem kelembagaan yang berkorelasi dengan berbagai lembaga pemerintahan di luar eksekutif. Praktek penggunaan rekomendasi DPRD sebagai prasyarat penerbitan izin masih dijumpai dalam praktek penyelenggaraan kewenangan bidang perizinan,
8
baik di Bali maupun pada pemerintahan provinsi lainnya. Penempatan rekomendasi DPRD sebagai prasyarat perizinan menimbulkan berbagai praktek yang menimbulkan berbagai akibat, ada yang sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB), terutama efisiensi, dan ada yang bertentangan. Kasus pemanggilan Dinas Perdagangan dan Perindustrian Makasar oleh Komisi A DPRD Makasar,6 penerbitan rekomendasi DPRD Pemda DKI penerbitan Peraturan Gubernur (Pergub) tentang Perda Nomor 3 Tahun 2012,7 khususnya bidang transportasi, dan Rekomendasi DPRD Bali dalam izin studi kelayakan pemanfaatan Teluk Benoa adalah tiga contoh rekomendasi DPRD yang secara umum masih digunakan dalam praktek penyelenggaraan kewenangan Pemda dalam bidang perizinan. Fakta penyelenggaraan kewenangan perizinan oleh Pemerintah Provinsi Bali dalam kasus reklamasi merupakan salah satu contoh menarik yang dapat 6 Komisi A DPRD Makassar memanggil Dinas Perindustrian dan
Perdagangan Makassar karena rekomendasi legislatif tentang penghentian sementara penerbitan izin usaha minimarket tidak diindahkan. Komisi A DPRD Makassar menerbitkan rekomendasi untuk penghentian izin usaha pendirian minimarket yang sifatnya hanya sementara, tetapi pihak Disperindag tidak mengindahkannya. Rekomendasi penghentian sementara izin usaha minimarket itu untuk mendukung kajian ekonomi mengenai kehadiran minimarket yang menjamur di Makassar, khususnya yang berdekatan dengan usaha lokal. Pemerintah Kota Makassar dinilai lalai dalam melaksanakan rekomendasi yang diajukan. Anatara News, DPRD Panggil Disperindag Karena Tidak mengindahkan Rekomendasi DPRD, http://makassar.antaranews.com/berita/29056/dprd-panggil-disperindag-karenatidak-indahkan-rekomendasi, diakses 6 September 2015. 7 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta memberikan rekomendasi penerbitan Peraturan Gubernur (Pergub) tentang Perda Nomor 3 Tahun 2012, khususnya bidang transportasi. Harian Rakyat Merdeka, diakses 6 September 2015.
9
dikemukakan sebagai contoh kasus yang merepresentasikan masalah reomendasi DPRD dalam pennyelenggaraan kewenangan Pemda dalam bidang perizinan. Keputusan Gubernur Bali Nomor 1727/01-B/HK/2013 tentang Pemberian Izin Study Kelayakan Rencana Pemanfaatan, Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Perairan Teluk Benoa menyebtukan bahwa salah satu dasar pertimbangan pemberian izin tersebut adalah Rekomendasi DPRD Provinsi Bali Nomor 900/2569/DPRD tertanggal 12 Agustus 2013 hal Peninjauan Ulang dan/atau Pencabutan Surat Keputusan Gubernur Bali Nomor 2138/02-C/HK/2012 (tentang pemberian izin oleh Gubernur Bali yang memakai Rekomendasi DPRD Provinsi Bali Nomor 660/4278/DPRD tanggal 20 Desember 2012 sebagai salah satu dasar pertimbangan pemberian izin). Uraian tentang fakta penyelenggaraan kewenangan perizinan oleh Pemda tersebut, membuktikan adanya kendali kewenangan oleh DPRD terhadap penyelenggaraan fungsi perizinan oleh Pemda. DPRD sebagai salah satu bentuk perwakilan rakyat di tingkat provinsi sebagaimana diatur dalam Pasal 371 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah memiliki tiga macam hak yaitu hak interpelasi, angket dan menyatakan pendapat. Perwujudan dari hak yang dimiliki oleh DPRD tersebut adalah dikeluarkannya Rekomendasi DPRD. Berdasarkan fakta hukum yang ada, Rekomendasi DPRD merupakan wujud nyata dari adanya kendali kewenangan oleh DPRD dalam penyelenggaraan fungsi perizinan oleh Pemda, Rekomendasi ini dapat menimbulkan (dua) karakter
10
sebagai bentuk respon Gubernur terhadap rekomendasi DPR tersebut, yakni karakter mengikat/mengikuti atau karakter tidak mengikat/tidak mengikuti. UU Pemda dan Peraturan Pelaksanaannya tidak menentukan secara pasti karakter dari bentuk respon Gubernur terhadap rekomendasi DPRD, namun dalam Keputusan Gubernur Bali Nomor 1727/01- B /HK/20123 tentang Pemberian Izin Studi Kelayakan Rencana Pemanfaatan, Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Perairan Teluk Benoa tanggal 16 Agustus 2013, Gubernur menunjukan bentuk respon dalam karakter mengikat/mengikuti. Secara teori, perizinan memerlukan payung hukum berupa Perda dan/atau Peraturan Perundang-undangan lainnya. Sementara Gubernur memperoleh kewenangan penuh terhadap pemberian perizinan sebagai mana diatur dalam Peraturan Perundang-undangan dan Perda. Fungsi Rekomendasi DPRD menjadi kabur atau tidak jelas dikaitkan dengan kewenangan Pemerintah Daerah dalam pengeluaran perizinan. Gubernur dapat mengeluarkan izin tanpa perlu adanya rekomendasi dari DPRD. Sehingga kedudukan dan fungsi rekomendasi hanya menjadi pelengkap untuk dikeluarkannya perizinan. Dalam praktek, lembaga rekomendasi DPRD merupakan lembaga yang digunakan secara luas. Karena itu, keberadaan rekomendasi DPRD perlu disikapi secara sistematik untuk mencegah akibat buruk dari penggunaannya. Atas dasar uraian latar belakang permasalahan tersebut, maka penulis berkeinginan untuk mengadakan penelitian yang berkaitan dengan hal tersebut, dengan memberi judul: Kedudukan dan Fungsi Rekomendasi DPRD dalam Penyelenggaraan Kewenangan Perizinan Oleh Pemerintah Daerah.
11
1.2
Rumusan Masalah
Terkait dengan topik bahasan dan latar belakang masalah tersebut, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut: 1.
Bagaimanakah
kedudukan
hukum
dan
fungsi
DPRD
dalam
penyelenggaraan perizinan oleh Pemerintah Daerah ? 2.
Bagaimana implikasi rekomendasi DPRD terhadap tanggungjawab kepala daerah dan DPRD dalam penerbitan perizinan?
1.3
Ruang Lingkup Masalah Penelitian dan penulisan tesis ini akan dibatasi ruang lingkup pembahasan
dan pengkajian hanya pada aspek Rekomendasi DPRD yang dipakai sebagai salah satu pertimbangan oleh pemerintah daerah dalam penyelenggaraan kewenangan perizinan yang dimilikinya. Penelitian dan pembahasan akan difokuskan pada karakter rekomendasi DPRD, apakah karakternya mengikat atau tidak mengikat, apakah ada atau tidak ada Perda yang memerlukan Rekomendasi DPRD, serta apakah dalam UU Pemda Rekomendasi masih ada atau tidak. Fakta Hukum yang dipakai sebagai isu hukum adalah Surat Keputusan Gubernur Bali Nomor 1727/01-B/HK/2013 tentang Izin Studi Kelayakan Rencana Pemanfaatan Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Perairan Teluk Benoa tertanggal 16 Agustus 2013 (sebagai pengganti atas Surat Keputusan Gubernur Bali Nomor : 2138/02-C/HK/2012).
12
1.4
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian meliputi tujuan umum (het doel van het onderzoek) dan tujuan khusus (het doel in het onderhoek)8 berkaitan dengan bidang ilmu hukum yang sedang diteliti dapat diuraikan sebagai berikut : 1.4.1
Tujuan Umum Secara Umum, penelitian ini bertujuan untuk meneliti status
lembaga rekomendasi DPRD dalam proses perizinan dan implikasinya terhadap luasan tanggungjawab gubernur sebagai penerima rekomendasi dan DPRD sebagai pemberi rekomendasi terhadap akibat-akibat yang timbul dari akibat pelaksanaan suatu izin yang diterbitkan oleh gubernur berdasarkan rekoemndasi DPRD tersebut. 1.4.2
Tujuan Khusus Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk meneliti dan meru -
muskan: (1)
Konsep hukum rekomendasi dan kedudukan serta fungsi DPRD dan penyelenggaraan perizinan.
(2)
Meneliti
implikasi
rekomendasi
DPRD
terhadap
luasan
tanggungjawab gubernur dan DPRD dalam penerbitan izin terhadap akibat-akibat yang timbul dari akibat pelaksanaan suatu izin yang diterbitkan berdasarkan rekomendasi DPRD. 8
Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Udayana , 2013 , Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Tesis dan Penulisan Tesis Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum , Universitas Udayana, Denpasar , hal.30
13
1.5
Manfaat Penelitian 1.5.1
Manfaat Teoritis Secara keilmuan dalam dunia Akademis, manfaat teoritis yang
diharapkan adalah untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan hukum pada umumnya yang secara substansial lebih terpokus menyangkut bidang studi hukum pemerintahan. 1.5.2
Manfaat Praktis Sedangkan manfaat praktis yang diharapkan adalah, memberi
pemahaman, sehingga tidak terjadi intepretasi sesat. 1.6
Orisinalitas Penelitian Berkaitan dengan orisinalitas penelitian dari proposal penelitian tesis ini,
sudah dilakukan penelitian terhadap kesamaan ataupun keterkaitan menyangkut judul ataupun masalah hukumnya baik dari tesis yang pernah ditulis maupun dari desertasi yang mungkin pernah ditulis di Indonesia, namun sampai saat penulisan ini dilakukan, belum ada ditemukan kesamaan tersebut. Hasil penelitian dan penyelidikan atas upaya tersebut, untuk menguji orisinalitas dari penelitian ini, dapat diuraikan beberapa temuan tesis, untuk diapakai sebagai pembanding, sebagai berikut: 1.
Sumekar, NIM. 0113056201, Tesis, Universitas Udayana, Judul Tesis “Wewenang DPRD dan Kepala Daerah Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di Indonesia“, Rumusan masalah yang diajukan dalam Tesis tersebut adalah: Bagaimana Kewenangan DPRD dan Kepala
14
Daerah berdasarkan Peraturan Perundang-undangan di bidang Pemerintah Daerah yang pernah berlaku di Indonesia?; Dan Bagaimana hubungan kewenangan antara DPRD dengan Kepala Daerah dalam Sistem Pemerintahan Indonesia? Dari judul dan rumusan masalah yang dibahas dalam tesis tersebut, sama sekali tidak menyinggung masalah lembaga rekomendasi yang berkaitan dengan kewenangan perizinan Pemerintah Daerah. Sehingga dapat disimpulkan, bahwa tesis tersebut sama sekali tidak sama dengan judul dan materi yang diajukan dalam usulan penelitian tesis ini. 2.
Anak Agung Gede Geriya, NIM. 0490562006, Tesis, Universitas Udayana. Judul Tesis “Kewenangan Pemerintah Propinsi Bali dalam Pembentukan Peraturan Daerah Tentang Desa Pekraman“, Rumusan masalah yang diajukan dalam Tesis tersebut adalah: Apakah Pemerintah Propinsi Bali mempunyai Kewenangan dalam Pembentukan Peraturan Daerah tentang Desa Pekraman?; Dan Bagaimanakah Implikasi yang ditimbulkan Peraturan Daerah tentang Desa Pekraman? Dari judul dan rumusan masalah yang dibahas dalam tesis tersebut, juga sama sekali tidak menyinggung apalagi membahas masalah lembaga rekomendasi yang berkaitan dengan kewenangan perizinan oleh Pemerintah Daerah. Sehingga dapat disimpulkan, bahwa tesis tersebut sama sekali tidak sama dengan judul dan materi yang diajukan dalam usulan penelitian tesis ini.
15
3.
I Gede Yusa, NIM. 0113056140, Tesis, Universitas Udayana. Judul Tesis “Wewenangan Pemerintah Kota Denpasar di Bidang Perizinan”, Rumusan masalah yang diajukan dalam Tesis tersebut adalah: Wewenang Perizinan apakah yang sedang diselenggarakan oleh Pemerintah Kota Denpasar dalam menata, mengarahkan dan mengendalikan berbagai kegiatan di wilayahnya, dan Bagaimanakah Sinkronisasi mekanisme perizinan yang sedang diselenggarakan Pemerintah Kota Denpasar dalam menata, mengarahkan, dan mengendalikan berbagai kegiatan di wilayahnya? Dari judul dan rumusan masalah yang dibahas dalam tesis tersebut, memang ada kaitaanya dengan masalah perizinan, tetapi sama sekali tidak menyinggung apalagi membahas masalah lembaga rekomendasi yang berkaitan dengan kewenangan perizinan oleh Pemerintah Daerah. Sehingga dapat disimpulkan, bahwa tesis tersebut sama sekali tidak sama dengan judul dan materi yang diajukan dalam usulan penelitian tesis ini.
1.7.
Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir 1.7.1 Landasan Teoritis Fungsi landasan teori hukum dalam penelitian hukum atau “legal research” adalah memiliki peran yang sangat penting di dalam kerangka pengembangan ilmu hukum dan mengungkapkan faktor-faktor penyebab timbulnya masalah-masalah yang berkaitan dengan hukum, karena dari hasil
16
penelitian akan dapat diketahui faktor penyebab dan bagaimana pemecahan dari masalah hukum yang diteliti.9 Teori adalah keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan, sehingga dengan teori hukum dapat ditentukan lebih jauh sebagai keseluruhan pernyataan-pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan hukum.10 Teori hukum mengajarkan bahwa hukum harus stabil (stable) , tetapi dia tidak boleh diam (still) atau kaku (rigid) , walaupun sepintas terkesan pernyataan
tersebut
bertentangan,
tetapi
sebenarnya
tidak
saling
bertentangan, karena memang demikianlah “keadaan dasar” dari hukum, dimana satu pihak hukum harus mengandung unsur kepastian, sedangkan dilain pihak hukum haruslah dinamis
sehingga selalu dapat mengikuti
dinamika perkembangan kehidupan manusia.11 Oleh karenanya penelitian ini akan diperkuat dengan landasan teori keilmuan, berupa: azas-azas hukum, konsep-konsep, doktrin, yurisprudensi dan hasil-hasil penelitian sebagai pesan analisis dalam mengkaji dan membahas permasalahan yang disajikan. Adapun hal yang terkait dengan variable judul tersebut diatas, maka penggunaan teori sebagai landasan pembahasan yang dipakai dalam penelitian ini, adalah antara lain:
Teori
Kewenangan, Teori Tindak Pemerintahan, Teori Keabsahan Hukum, Teori Perizinan, dan Teori Tanggungjawab Hukum. 9
Arief Sidharta, 2013, Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum, Refika Aditama, Bandung, h. 29. 10 JJH Bruggink, 1999, Refleksi tentang Hukum, alih bahasa: Sidharta,Arief, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.3 11 Fuady, Munir , 2013, Teori-teori besar (Grand Theory) Dalam Hukum, Kencana, Jakarta, hal. 1
17
Teori Kewenangan Istilah teori kewenangan berasal dari terjemahan bahasa Inggris, yaitu “authority of theory” (dalam bahasa Belanda “theorie van hetgezag”, dalam bahasa Jerman “theorie der autoritat”). HD. Stoud, seperti dikutip oleh Ridwan HB, menyatakan pengertian kewenangan adalah “keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintahan oleh subyek hukum publik di dalam hubungan hukum publik”.12 Dua unsur yang terkandung dalam pengertian konsep kewenangan tersebut adalah adanya “aturan hukum” dan “sifat hubungan hukum”. Ateng Syafrudin membedakan pengertian “kewenangan” dengan “wewenang”, dikatakan bahwa perbedaan antara pengertian “kewenangan” (authority, gezag) dengan wewenang (competence, bevoegheid) adalah sebagai berikut: Kewenangan adalah apa yang disebut dengan “kekuasaan formal”, kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang, sedangkan “wewenang”, adalah hanya mengenai suatu “bagian” (onderdeel) tertentu saja dari kewenangan. Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang (rechtsbe voegdheden). Wewenang merupakan lingkup tindakan hukum publik, lingkup wewenang pemerintah, tidak hanya meliputi wewenang membuat keputusan (bestuur) saja, tetapi juga meliputi wewenang dalam rangka
12
H Salim, dan Nurbadi,ES, 2013, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan Desertasi PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 183
18
pelaksanaan tugas dan memberikan wewenang serta distribusi wewenang utamanya yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.13 Ateng Syafrudin tidak hanya menyajikan konsep tentang kewenangan saja
tetapi juga konsep tentang wewenang, dimana unsur-unsur yang
tercantum dalam “kewenangan” meliputi: adanya kekuasaan formal, dan kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang; Sedangkan unsur-unsur “wewenang” dikatakan hanya mengenai suatu “onderdeel” (bagian) tertentu saja dari kewenangan. Fokus kajian teori kewenangan adalah berkaitan dengan sumber kewenangan dari pemerintah dalam melakukan perbuatan hukum, baik dalam hubungannya dengan hukum publik maupun dalam hubungannya dengan hukum privat. Indroharto mengemukakan 3 (tiga) macam kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, yakni: Kewenangan Atribusi, Kewenangan Delegasi dan Mandat; Demikian juga dengan FAM. Stroink dan JG. Steenbeck mengemukakan bahwa ada 2 (dua) cara organ pemerintah memperoleh kewenangan, yaitu: Atribusi dan Delegasi.14 Sedangkan Philipus M.Hadjon membagi cara memperoleh wewenang atas 2 (dua) cara, yakni: Atribusi dan Delegasi (kadang-kadang juga Mandat).15 13
Ateng Yafrudin, 2000, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia Edisi IV, Universitas Parahyangan , Bandung, hal. 22 14 Ibid , hal. 194 15 M Hadjono Philipus., 1998, Tentang Wewenang Pemerintahan (Bestuurbevoegdheid), Jurnal Pro Justitia Tahun XVI No.1, Universitas Parahyangan Bandung, hal.90
19
Pengertian atribusi, delegasi dan mandate dapat diuraikan sebagai berikut: a. Atribusi Merupakan wewenang untuk membuat keputusan (besluit) yang langsung bersumber kepada undang-undang dalam arti materiil. Atribusi juga dikatakan sebagai suatu cara normal untuk memperoleh wewenang pemerintahan, sehingga tampak jelas bahwa kewenangan yang didapat melalui Atribusi oleh organ pemerintah adalah kewenangan asli, karena kewenangan tersebut diperoleh langsung dari peraturan perundang-undangan (utamanya adalah UUD NRI 1945). Dengan kata lain, Atribusi berarti timbulnya kewenangan baru yang sebelumnya kewenangan itu tidak dimiliki oleh organ pemerintah yang bersangkutan. b. Delegasi Diartikan sebagai penyerahan wewenang untuk membuat “besluit” oleh pejabat pemerintah (pejabat tata usaha negara) kepada pihak lain, dengan “kata penyerahan” berarti adanya perpindahan tanggung jawab dari yang memberi delegasi (delegans) kepada yang menerima delegasi (delegataris) dengan memenuhi syarat-syarat tertentu. c. Mandat Diartikan sebagai suatu pelimpahan wewenang kepada bawahan, pelimpahan tersebut bermaksud memberi wewenang kepada bawahan untuk membuat keputusan “atas nama” pejabat tata usaha negara yang
20
memberi mandat. Tanggung jawab dalam hal ini tidak berpindah kepada penerima mandat (mandataris) melainkan tanggung jawab tetap berada ditangan pemberi mandat. Dengan demikian semua akibat yang ditimbulkan dari adanya keputusan yang dikeluarkan oleh mandataris, adalah sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemberi mandat.16 Teori Tindakan Pemerintahan H.D. van Wijk dan Willem Konijnenbelt menyatakan tindakan pemerintahan sebagai tindakan yang dilakukan oleh pemerintah. Tindakan pemerintahan mencakup: (a) Tindakan nyata (feitelijkhandelingen); dan (b) Tindakan hukum (rechtshandelingen). Tindakan nyata adalah tindakan-tindakan yang tidak relevan dengan hukum dan karena itu tidak menimbulkan akibat hukum. Tindakan hukum adalah tindakan yang dimaksudkan untuk menciptakan hak dan kewajiban dan karena sifatnya menimbulkan akibat hukum (een rechtshandeling is gericht op het scheppen van rechten of plichten).17 Tindakan hukum mencakup: (a) Tindakan hukum perdata (privatrechtelijke rechtshandelingen); dan (b) Tindakan hukum publik (publiekrechtelijke rechtshandelingen). Tindakan-tindakan hukum publik mencakup: (a) Tindakan hukum publik beberapa pihak (meerzijdige publiekrechtelijke rechtshandelingen); dan 16
Ibid , hal. 90 Ridwan, 2013, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 110 17
21
(b) Tindakan
hukum
publik
sepihak
(eenzijdige
publiekrechtelijke
rechtshandelingen). Tindakan hukum publik sepihak, mencakup: (a)
Keputusan yang ditujukan untuk umum (besluiten van algemene streckking); dan
(b)
Keputusan yang bersifat konkret dan individual (beschikking).18 Istilah tindakan hukum berasal dari teori hukum perdata yang
kemudian diserap dan digunakan di dalam hukum administrasi Negara. Di dalam hukum administrasi Negara kemudian dikenal istilah tindakan hukum administrasi ( administratieve rechtshandeling ). Tindakan hukum administrasi adalah suatu pernyataan kehendak yang muncul dari organ administrasi dalam keadaan khusus, dimaksudkan untuk menimbulkan akibat-akibat yang berrelevansi dengan hukum, seperti: (a)
Penciptaan hubungan hukum baru (het scheppen van een nieuwe rechtsverhounding); dan
(b)
Perubahan atau pengakhiran hubungan hukum yang sedang berlangsung (het wijzigen op het opheffen van een bestaande rechtsverhounding).19 Tindakan pemerintahan dapat menimbulkan akibat hukum. akibat
hukum dari suatu tindakan pemerintahan, mencakup: (1)
Menimbulkan perubahan hak, kewajiban atau kewenangan;
18
Ibid., hal. 123 Ibid.
19
22
(2)
Menimbulkan perubahan kedudukan hukum suatu subyek atau obyek tertentu; dan
(3)
Menimbulkan penetapan hak, kewajiban, kewenangan, ataupun status tertentu.
Menurut H.D. van Wijk dan Willem Konijnenbelt, suatu tindakan hukum pemerintahan yang merupakan pernyataan kehendak sepihak suatu organ pemerintahan dan menimbulkan akibat terhadap hubungan hukum atau keadaan hukum tertentu, maka perbuatan itu tidak boleh mengandung cacat, seperti: (a)
Kekhilafan (dwaling);
(b)
Penipuan (bedrog);
(c)
Paksaan (dwang); dan
(d)
Cacat lain yang mengakibatkan perbuatan hukum tidak sah.
Suatu tindakan pemerintahan harus didasarkan pada peraturan perundangundangan yang berlaku. Karena itu, suatu tindakan pemerintahan tidak boleh menyimpang atau bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Tindakan pemerintahan yang menyimpang atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dapat menimbulkan akibat hukum, berupa: (1)
Batal (nietig); atau
(2)
Dapat dibatalkan (nietigbaar).20
20
Ibid. hal. 111
23
Menurut Prof. Dr. Johanes Usfunan, tindakan pemerintahan dapat pula melahirkan tanggungjawab hukum perdata. Tindakan pemerintahan yang dapat melahirkan tanggungjawab hukum perdata adalah keputusan yang dikeluarkan dengan tujuan mengatur atau mengesahkan suatu perbuatan perdata atau hubungan kerja yang bersifat keperdataan. Keputusan demikian ini mencakup tiga unsur atau ciri, yaitu: (1)
Merupakan keputusan yang melahirkan atau menolak perbuatan hukum perdata;
(2)
Memenuhi suatu syarat hukum perdata; dan
(3)
Melaksanakan perbuatan hukum perdata.21
Keputusan yang melebur kedalam perbuatan hukum perdata adalah keputusan yang diterbitkan oleh badan/pejabat tata usaha Negara menurut ketentuan hukum publik yang kemudian menyatu dengan perbuatan hukum perdata yang dilakukan oleh badan/pejabat publik yang bersangkutan dalam hubungan dengan seseorang atau badan hukum perdata. Atas setiap kerugian yang merupakan akibat hukum dari keputusan demikian itu dapat diajukan gugatan hukum perdata terhadap badan atau pejabat tata usaha Negara. Teori Keabsahan Hukum Teori Keabsahan Hukum merupakan salah satu teori yang penting dalam ilmu hukum. Teori Keabsahan hukum (legal validity) adalah teori yang mengajarkan bagaimana dan apa syarat-syaratnya agar suatu kaidah 21
Johanes Unsfunan, Perbuatan yang dapat Digugat, 2002, Jambatan, Jakarta, hal. 45
24
hukum menjadi “sah“ (valid) berlakunya, sehingga dapat diberlakukan kepada masyarakat. Suatu kaidah hukum, dalam teori Keabsahan Hukum, harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:22 (1) Kaidah Hukum tersebut haruslah dirumuskan kedalam berbagai bentuk aturan
formal, seperti dalam bentuk pasal-pasal dari undang-undang
dasar, undang-undang, dan berbagai bentuk peraturan lainnya, aturanaturan internasional, seperti dalam bentuk traktat, konvensi atau setidaknya dalam bentuk adat kebiasaan; (2) Aturan formal tersebut harus dibuat secara sah, misalnya jika dalam bentuk undang-undang, maka harus dibuat oleh lembaga yang berwenang (Parlemen bersama Pemerintah); (3) Secara hukum, aturan tersebut tidak mungkin dibatalkan; (4) Terhadap aturan formal tersebut, tidak ada cacat yuridis lainnya. Misalnya tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi; (5) Kaidah hukum tersebut harus diterapkan oleh badan-badan penerap hukum, seperti Pengadilan, Kepolisian, Kejaksaan, dan lainnya; (6) Kaidah hukum tersebut harus dapat diterima dan dipatuhi oleh masyarakat; (7) Kaidah hukum tersebut haruslah sesuai dengan jiwa bangsa yang bersangkutan.
22
Ibid . hal.109.
25
Dengan demikian, suatu kaidah hukum tidaklah “sah”, jika kaidah hukum tersebut tidak memenuhi syarat-syarat tersebut. Oleh karena itu, dari sudut pandang keabsahan hukum, apabila hukum tidak dibuat secara benar, atau hukum tidak dibuat oleh pihak yang berwenang, atau hukum tidak diterima oleh masyarakat, ataupun hukum yang tidak adil, maka hakekatnya bukanlah hukum. Sebaliknya, menurut teori keabsahan hukum, suatu kaidah hukum tidak dapat ditakar dengan kaidah moral atau kaidah politik. Hal ini berarti, bahwa keabsahan suatu aturan hukum tidak goyah hanya karena tidak bersesuaian dengan kaidah moral, kaidah politk maupun kaidah ekonomi. Hal tersebut dikarenakan, masing-masing bidang tersebut mengatur hal yang
berbeda-beda,
meskipun
dalam
hal
tertentu
saling
terjadi
“overlapping”.23 Suatu kaidah hukum dapat saja mengikuti kaidah moral, politik atau ekonomi, sepanjang kaidah hukum tersebut tidak mengorbankan norma dasar dalam hukum (asas keadilan, kepastian hukum, prediktabilitas, ketertiban umum, perlindungan hak dasar, asas manfaat, dll). JW.Haris berpendapat, bahwa keabsahan suatu aturan hukum diukur dari terpenuhinya elemen-elemen sebagai berikut:24 (1) Apakah aturan hukum itu bersesuaian (conformity) dengan aturan tertentu yang tingkatannya lebih tinggi, sehingga aturan hukum tersebut tidak dalam keadaan “diluar jalur” (ultra vires); 23 24
Ibid . hal.110. Ibid . hal.111.
26
(2) Apakah aturan hukum tersebut merupakan bagian yang konsisten (subsistem) dengan bidang pengaturan yang sudah ada saat ini; (3) Apakah aturan hukum itu bersesuaian dengan kenyataan sosial dalam masyarakat (aspek sosiologis), sehingga berlaku efektif dalam masyarakat; (4) Apakah dalam aturan hukum tersebut terdapat kecenderungan internal untuk dihormati (atas dasar moral dan politik); (5) Apakah aturan hukum tersebut merupakan bagian dari kenyataan normatif yang transedental (aspek ontologis). Agar hukum dapat menjadi “sah“, maka hukum haruslah dapat diberlakukan terhadap masyarakat, maka suatu kaidah hukum haruslah merupakan hukum yang valid. Dari keadaan tersebut barulah kemudian timbul konsep-konsep tentang perintah (command), larangan (forbidden), kewenangan (authorized), paksaan (force) dan kewajiban (obligation). Namun demikian, suatu kaidah hukum yang “valid“, belum tentu merupakan suatu kaidah hukum yang “efektif “, dalam hal ini “keabsahan” suatu norma merupakan hal yang tergolong kedalam “yang seharusnya“ (das sollen), sedangkan “efektifitas” suatu norma, merupakan “sesuatu dalam kenyataan” (das sein ). Hans Kelsen mempersyaratkan, hubungan timbal balik antara unsur “keabsahan” dan “efektifitas” dari suatu kaidah hukum, dengan menyatakan bahwa sebelum berlaku secara efektif, suatu norma hukum haruslah terlebih dahulu sah, karena jika kaidah hukum tersebut tidak sah, maka kaidah
27
hukum tersebut tidak bisa diterapkan, akibatnya kaidah hukum tersebut tidak pernah efektif berlaku. Sedangkan Meuwissen, berpendapat bahwa suatu kaidah hukum akan memiliki keberlakuan, jika memenuhi syarat-syarat: keberlakuan sosial atau faktual, keberlakuan yuridis dan keberlakuan moral. 25 Dari uraian tersebut, maka dapat dikatakan bahwa keabsahan suatu aturan hukum diperlukan untuk mem-keabsahani aturan hukum yang mempunyai fungsi untuk mengetahui:26 (1) Eksistensi suatu aturan hukum; (2) Tingkat penerimaan masyarakat; (3) Tingkat kesadaran hukum dari penegak hukum terhadap kaidah hukum yang bersangkutan; (4) Apakah aturan hukum tersebut memang dimaksudkan sebagai aturan yang mengikat secara hukum; (5) Apakah akibat hukumnya jika suatu aturan hukum tidak diikuti oleh masyarakat (6) Apakah perlu dibuat suatu aturan hukum yang baru, yang mengatur berbagai persoalan manusia; (7) Apakah ada ikatan-ikatan non-hukum dari suatu aturan hukum.
25 26
Ibid . hal.124. Ibid . hal.125.
28
Teori Perizinan Izin (verguning) adalah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan-ketentuan larangan perundang-undangan, sedangkan Perizinan adalah suatu bentuk pelaksanaan fungsi pengaturan dan bersifat pengendalian yang dimiliki oleh pemerintah terhadap kegiatankegiatan yang dilakukan oleh masyarakat.27 Memberi izin, artinya penguasa memperkenankan atau membolehkan orang yang memohonnya untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang sebenarnya dilarang, demi memperhatikan kepentingan umum yang mengharuskan adanya pengawasan. NM Spelt dan JBJM ten Berge memberi pengertian izin, dalam arti luas dan dalam arti sempit, sebagai berikut: Pengertian izin dalam arti luas, adalah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan-ketentuan larangan peraturan perundang-undangan. Sedangkan pengertian izin dalam arti sempit, adalah pengikatan-pengikatan pada suatu peraturan izin pada umumnya didasarkan pada keinginan pembuat undangundang untuk mencapai suatu tatanan tertentu atau untuk menghalangi keadaan-keadaan yang buruk.28
27
Andrian Sutedi, 2011, Hukum Perizinan dalam sektor pelayanan publik, Sinar Grafika, Jakarta hal. 169 28 ibid , hal. 170
29
Izin memiliki 2 (dua) sifat, yakni: (a)
izin yang bersifat bebas; dan
(b)
izin yang bersifat terikat.
Izin yang bersifat bebas, adalah izin sebagai keputusan tata usaha negara yang penerbitannya tidak terikat pada aturan dan hukum tertulis, serta organ yang berwenang, memiliki kadar kebebasan yang besar untuk memutuskan pemberian izin. Sedangkan Izin yang bersifat terikat, adalah keputusan tata usaha negara yang penerbitannya terikat pada aturan dan hukum tertulis, organ yang berwenang tergantung pada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Perizinan memiliki beberapa elemen pokok, yakni elemen yang berkaitan dengan: (1)
Wewenang, hal ini sangat erat kaitannya dengan prinsip negara hukum yaitu setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan peraturan perundang-undangan (wetmatigheid van bestuur);
(2)
Berbentuk ketetapan, hal ini berarti tidak semata-mata hanya untuk menjaga ketertiban dan keamanan saja, tapi juga mengutamakan kesejahteraan umum (bestuurzorg);
(3)
Lembaga Pemerintah, berkaitan dengan tata kelembagaan sebagai pendorong (enabling) pencapaian keberhasilan, sehingga dapat berjalan secara efektif dan efisien;
30
(4)
Peristiwa konkrit, mengandung makna, bahwa izin adalah instrumen yuridis berbentuk ketetapan yang digunakan oleh pemerintah dalam menghadapi peristiwa kongkrit dan individual;
(5)
Proses dan Prosedur, dalam hal ini permohonan izin harus menempuh prosudur tertentu yang ditentukan oleh pemerintah selaku pemberi izin;
(6)
Persyaratan, adalah hal yang harus dipenuhi oleh pemohon untuk memperoleh izin yang domohonkan;
(7)
Waktu penyelesaian izin, adalah penetapan waktu penyelesaian izin, yang harus ditentukan oleh instansi yang bersangkutan, ditetapkan terhitung sejak pengajuan permohonan sampai dengan penyelesaian pelayanan;
(8)
Biaya Perizinan, adalah biaya atau tarif pelayanan termasuk rinciannya yang ditetapkan dalam proses pemberian izin;
(9)
Pengawasan penyelenggaraan izin, adalah bersifat pengendalian terus menerus;
(10) Penyelesaian pengaduan dan sengketa, berkaitan dengan dengan mekanisme pengaduan yang dapat ditempuh oleh pemohon izin atau pihak yang dirugikan akibat dikeluarkannya izin, dan sekaligus dapat menyelesaikan sengketa melalui mediasi, ombusman atau ke pengadilan; (11) Sanksi, berkaitan dengan izin sebagai produk kebijakan publik yang perlu memperhatikan materi sangsi;
31
(12) Hak dan Kewajiban, tentang hak dan kewajiban antara pemohon dengan instansi pemberi izin yang harus tertuang dalam regulasi dan deregulasi perizinan. Pemberian Izin memiliki fungsi sebagai “Penertib” dan “Pengatur”, yang dimaksud sebagai fungsi “Penertib” adalah agar setiap izin tidak bertentangan dengan izin yang lain, dan yang dimaksud sebagai fungsi “Pengatur” adalah agar perizinan dapat dilaksanakan sesuai dengan peruntukannya.29 Teori Tanggungjawab Hukum Izin merupakan suatu bentuk tindak pemerintahan. Izin ditetapkan dengan keputusan pemerintah. Sebagai suatu tindak pemerintahan, izin berhubungan erat dengan tanggungjawab atau pertanggungjawaban. Tanggungjawab adalah keadaan wajib untuk menanggung sesuatu sebagai akibat dari suatu perbuatan atau tindakan.30 Sedangkan pertanggunjawaban berarti perbuatan bertanggungjawab atas akibat yang ditimbulkan oleh suatu perbuatan. Perbuatan diklasifikasi atas dua bentuk, yaitu: (a)
perbuatan yang disengaja (act); dan
(b)
perbuatan yang tidak disengaja (omission).
Perbuatan yang disengaja diklasifikasikan atas dua jenis, yaitu: (a)
perbuatan yang dilarang oleh hukum (act prohibited by law); dan
29
ibid , hal. 171 Ridwan, 2013, Hukum Adminsitrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 318. 30
32
a.
perbuatan yang dibenarkan oleh hukum (act not prohibited by law, lawfull act).
Perbuatan yang tidak dilarang hukum atau perbuatan yang dibenarkan menbimbulkan kewajiban bertanggungjawab apabila perbuatan yang dibenarkan hukum itu menimbulkan akibat-akibat yang merugikan pihak lain.31 Misalnya, suatu lembaga pemerintahan menetapkan suatu tindakan pemerintahan atau keputusan yang terlebih dahulu telah diberikan dasar kewenangan melalui suatu produk hukum. Perbuatan menetapkan keputusan itu merupakan perbuatan yang tidak dilarang hukum, tetapi jika keputusan yang tidak dilarang hukum itu menimbulkan kerugian pada pihak lain, maka pihak yang dirugikan memiliki hak untuk menuntut pemulihan kerugian dan pemerintah wajib bertanggungjawab terhadap kerugian itu. Tanggungjawab hukum memiliki tiga bentuk yang bersumber pada tiga sebab, yaitu: (a)
tanggungjawab hukum yang lahir dari undang-undang (wettelijke ansprakelijkheid), yaitu tanggungjawab yang bersumber pada pelanggaran terhadap ketentuan tentang larangan atau kewajiban yang terlebih dahulu telah ditentukan di dalam undang-undang. Apabila larangan atau kewajiban itu dilanggar, maka undangundang di sisi lain menentukan sanksi. Kewajiban taat terhadap
31
358.
Encyclopedia of Public International Law, 1987, North-Holland, hal.
33
sanksi itu merupakan bentuk tanggungjawab yang lahir dari undang-undang; (b)
Tanggungjawab hukum yang lahir dari akibat adanya hubungan hukum (rechtsbetrekking), yaitu tanggungjawab yang lahir dari akibat kegagalan memenuhi kewajiban yang telah ditentukan di dalam hubungan hukum itu. Misalnya, seseorang mengajukan permohonan izin kepada pemerintah. Pemerintah kemudian memberikan izin kepada pemohon. Permohonan yang diajukan pemohon kepada pemerintah dan izin yang diberikan oleh pemerintah kepada pemohon merupakan suatu bentuk hubungan hukum. Apabila pemohon tidak membayar retribusi atas izin yang diterbitkan oleh pemerintah itu, maka pemohon izin haris bertanggungjawab kepada pemerintah dalam bentuk kewajiban memenuhi sanksi yang terlebih dahulu telah ditentukan di dalam peraturan perizinan atau peraturan lain yang mengatur tentang retribusi perizinan. Demikian juga dalam hal pemerintah tidak menerbitkan izin setelah pemohon memenuhi seluruh persyaratan dan jika akibat penundaan penerbitan izin itu si pemohon menderita kerugian, maka pemohon oleh peraturan perundangan yang mengatur perizinan umumnya diberi hak untuk menuntut tanggungjawab dari pemerintah; dan
(c)
Tanggungjawab hukum yang lahir dari akibat adanya akibat perbuatan hukum (rechtshandeling). Tanggungjawab hukum
34
umumnya lahir dari akibat adanya hubungan hukum antara dua pihak atau karena ditentukan oleh undang-undang. Dalam praktek, terdapat juga tanggungjawab yang lahir dari akibat adanya perbuatan yang menimbulkan akibat yang tidak dimulai dengan suatu hubungan hukum. Misalnya aparatur atau suatu lembaga pemerintah melakukan perbaikan jalan. Dalam perbaikan itu di jalan dibuat lobang untuk menempatkan bahan pengeras jalan. Akibat tidak memasang tanda peringatan untuk berhati-hati, seseorang terperosok kedalam lubang itu. Akibat-akibat yang diterbitkan oleh perbuatan lembaga pemerintah itu menimbulkan hubungan hukum antara lembaga pemerintah itu dengan warga yang terperosok. Hubungan hukum yang terbentuk sebagai akibat kejadian itu adalah hubungan tanggungjawab hukum.32 Disamping ketiga bentuk tanggungjawab itu, dikenal juga tanggungjawab pemerintahan dalam sifat hukum perdata, sebagaimana diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) Pasal 1365, 1366, dan 1367. Suatu tindakan melawan hukum (onrechtmatig daad) yang menimbulkan kerugian pada pihak ketiga mewajibkan pihak yang melakukan tindakan itu bertanggungjawab atas kerugian yang timbul dari akibat pelaksanaan perbuatan itu. Prinsip ini diakui dan diterima secara umum oleh bangsa-bangsa beradab.33
32
Ridwan, ibid, hal. 30-321. Ibid. hal. 322. Lihat juga: Johanes Usfunan, 2002, Perbuatan Pemerintah Yang Dapat Digugat, Jambatan, Jakarta, hal. 49. 33
35
Teori perundang-undangan Teori perundang-undangan berakar pada teori hukum positif (Legal Positivism). Teori ini lahir di Jerman, yang memandang hukum sebagai undangundang (Gasetztes Recht), yaitu hukum sebagai wujud dari kehendak penguasa (will of the law giving authority).34 Dalam catatan Pound, teori pengaturan ini mencerminkan beberapa ciri, yaitu: a.
Sistem hukum adalah sistem perundang-undangan;
b.
Hukum adalah undang-undang yang dibentuk oleh legislator atau hakim;
c.
Unsur penting undang-undang adalah sanksi;
d.
Bentuk utama hukum adalah undang-undang;
e.
Pandangan filsafatnya berpijak pada utilitarianis; dan
f.
Penganut teori ini mengabaikan kebutuhan sosial.35 Menurut Bentham, analisis terpenting dalam perundang-undangan adalah
analisi struktur. Baik buruknya suatu undang-undang diukur dari akibat yang dihasilkan oleh undang-undang itu. orientasi pengaturan perilaku manusia berdasarkan undang-undang adalah akibat dari perilaku itu, yang harus berakhir pada kebaikan bagi semua orang.36 Menurut Loyd, Bentham, sebagaimana juga Austin, menggariskan 13 syarat hukum, yaitu: (1)
Suatu undang-undang bersifat keharusan (imperative, mandate);
34
Hari Chand, 1994, Modern Jurisprudence, International Law Book Services, Kuala Lumpur, h. 66. 35 Ibid. Ibid. h. 68.
36
(2)
Hukum hanya mencakup produk legislasi, keputusan hakim, keputusan administratif, hukum deklaratif;
(3)
Memiliki sumber atau dasar hukum;
(4)
Memiliki subyek;
(5)
Memiliki obyek;
(6)
Mencakup rentang obyek, seperti: tanah, hubungan hukum, dan jangka waktu;
(7)
Bersifat perintah dan bersanksi;
(8)
Potensi ditaati/kekuatan membuat orang mentaati, baik dalam bentuk sanksi (sanction) maupun penghargaan (reward);
(9)
Mengandung kemampuan memperbaiki keadaan (remedial appendages);
(10)
Memiliki tampilan beragam (expression), misalnya lengkap/tidak lengkap, discresi luas/terbatas, interpretasi literal/liberal;
(11)
Merupakan suatu jaringan norma (individuality of law);
(12)
Berbentuk ekspresi lengkap/untuh (integrity);
(13)
Keutuhan hukum tergantung pada keutuhan tindakan yang diaturnya (unity). Bentham menekankan undang-undang harus ideal, dalam arti obyektif.
Bentham menolak hukum yang tidak lengkap, termasuk menolak menyebut putusan pengadilan sebagai hukum, karena diputuskan berdasarkan diskresi.37 Menurut Kelsen, suatu norma untuk dapat disebut norma hukum harus memenuhi beberapa syarat:38 37
Ibid., hal. 70-71.
37
(1)
Merupakan bagian dari suatu sistem norma;
(2)
Sistem itu itu haruslah merupakan sistem norma yang mengikat. Starke menyatakan bahwa untuk memahami syarat norma hukumnya
Kelsen, perlu dipahami 4 makna yang terkandung dalam konsep norma hukum Kelsen itu yang bertolah pada teori daya ikat (binding force), teori korelasi, teori norma norma dasar (groundnorm) dan teori norma berjenjang (stufenbow), yaitu:39 (1)
Suatu norma harus memiliki daya ikat;
(2)
Suatu norma harus secara jelas menunjukkan keterhubungan dengan sistem norma yang lebih besar yang bersifat mengikat;
(3)
Suatu norma ditentukan oleh norma yang lebih tinggi;
(4)
Suatu norma harus sesuai dengan norma dasar. Menurut Micheil Jan Otto, pengaturan melalui undang-undang diperlukan
untuk menjamin kepastian hukum yang nyata. Konsep yang terkandung dalam teori ini adalah: (1)
Pembentuk hukum harus menjamin bahwa ketentuan hukum yang dibuat di dalam undang-undang sudah jelas, dapat dilaksanakan, dan realistis (clear, accessible, and realistic);
(2)
Badan administratif sebagai pelaksana hukum mentaati hukum dan mendorong masyarakat melakukan hal yang sama;
38 39
Ibid., hal. 93. Ibid., hal. 94.
38
(3)
Sebagian besar masyarakat menerima ketentuan dan prinsip hukum itu sebagai sesuatu yang adil;
(4)
Setiap sengketa yang timbul dari ketentuan itu disediakan prosedur/saluran penyelesaian yang memadai;
(5)
Keputusan hakim yang ditetapkan berhubungan dengan sengketa itu diterima oleh para pihak.40 Disamping teori-teori legislasi yang berpijak pada pendekatan rasional,
berkembang pula teori-teori legislasi yang bersifat empirical, sebagaimana teori yang dikemukakan oleh Ann Seidman, Robert B. Seidman, dan Nalin Abeyserkere dengan teori perancangan undang-undang pada masyarakat demokratis yang pada hakekatnya merupakan teori legislasi yang berpijak pada teori hukum dan perubahan sosial. Gagasan dasar teori legislasi Seidman adalah bagaimana menggunakan produk legislasi sebagai instrumen transformasi sosial yang utama, sambil sekaligus membersihkan pemerintahan yang kotor dan menjadikan pemerintahan yang bersih sebagai agen transaformasi sosial yang juga utama.41 Karena itu, secara singkat dapat dikatakan bahwa konsep dasar teori legislasi Seidman mencakup: (1) undang-undang; (2) pemerintah sebagai lembaga-lembaga pelaksana undang-undang; dan (3) transformasi sosial oleh
40
Jan Michiel Otto, 2004, Using Legislative Theory to Improve Law and Development Projects, Jurnal Regel Mat alf, hal. 2 41 Ann Seidman etall, 2001, Penyusunan Rancangan Undang-Undang Dalam perubahan Masyarakat Yang Demokratis, diterjemahkan oleh Johanes Usfunan etall, ELIPS, Jakarta, hal. 7
39
pemerintahan yang bersih berdasarkan udang-undang. Ketiga konsep itu jika diperas menjadi satu konsep dasar, yaitu pemerintahan.42 Bank Dunia menggunakan istilah “pemerintahan” untuk pertamakali pada tahun 1989. Pemerintahan menurut Bank Dunia adalah cara menggunakan kekuasaan dalam pengelolaan sumber-sumber daya ekonomi dan sosial suatu Negara untuk pembangunan. Ibrihim F.I. Shihata, General Council Bank Dunia saat itu, mendefinisikan pemerintahan sebagai “ketertiban”, tidak dalam pengertian mempertahankan status quo dengan kekuatan Negara, tetapi dalam pengertian sebagai suatu sistem, yang berdasarkan pada peraturan-peraturan abstrak yang diterapkan secara nyata dan dijalankan oleh lembaga-lembaga yang berfungsi menjamin diterapkannya peraturan tersebut sesuai dengan azas dan tujuannya. Sistem peraturan dan lembaga ini termaktub di dalam konsep peraturan
perundang-undangan
yang
umum
dicetuskan
dalam
konsep
pemerintahan yang dijalankan berdasarkan undang-undang dan bukan atas kehendak perorangan atau individu. Ciri utama pemerintahan dalam konsep ini adalah pemerintahan yang efektif dan penetapan keputusan yang tidak sewenangwenang. Konsep ini mencakup empat ciri, yaitu: (1)
Pemerintahan berdasarkan atas hukum Para pembuatan keputusan membuat keputusan bukan berdasarkan intuisi atau kecenderungan sesaat, melainkan sesuai dengan norma-norma yang sudah disepakati yang didasarkan pada akal sehat dan pengalaman.
(2)
Pertanggungjawaban
42
Ibid
40
Para pembuatan keputusan secara terbuka bertanggungjawab kepada umum, menyerahkan keputusan mereka untuk dikaji oleh instansi yang berwenang yang berkedudukan lebih tinggi, dan akhirnya orang-orang yang berhak memilih dalam pemilihan umum. (3)
Transparansi Para pejabat menjalankan pemerintahan secara terbuka sehingga masyarakat, terutama pers, dapat mengetahui dan membahas rinciannya.
(4)
Partisipasi Pihak-pihak yang akan dipengaruhi oleh keputusan yang akan ditetapkan (stakeholders) diberi kesempatan seluas-luasnya untuk memberikan masukan, kritik dan mengambil bagian dalam pembuatan keputusan pemerintahan.43 Gagasan atau konsep dasar itu dirumuskan dalam teori ROCICIPI (Rule,
Opportunity, Capacity, Communication, Interest, Process dan Ideology): peraturan, kesempatan, kemampuan, komunikasi, kepentingan, proses dan ideologi. Teori ini mencakup dua faktor, yaitu: (1)
(2)
Faktor subyektif: (a)
Kepentingan; dan
(b)
Ideologi; dan
Faktor obyektif: (a)
Peraturan;
(b)
Kesempatan;
43
Ibid. hal. 8
41
(c)
Kemampuan;
(d)
Komunikasi; dan
(e)
Proses.
Kepentingan adalah ekspektasi personal dari masyarakat yang terkena aturan. Hal ini dilakukan melalui pemberian penghargaan dan hukuman melalui undang-undang untuk mengubah perilaku mereka menjadi perilaku yang sesuai dengan azas dan tujuan undang-undang. Ideologi adalah ekspektasi masyarakat target pengaturan berdasarkan nilai-nilai anutan mereka. Kedua faktor ini berhubungan dengan perilaku target pengaturan dalam melaksanakan aturan yang ditetapkan melalui undang-undang.44 Peraturan adalah struktur materi undang-undang yang berpengaruh (membuka peluang atau tidak) terhadap sikap seseorang untuk berperilaku sesuai atau menyimpang dengan undang-undang. Faktor ini mencakup formulasi norma sebagai penyebab perilaku bermasalah, yaitu: (a)
formulasi norma kurang jelas, rancu, dalam menetapkan wewenang berkenaan dengan tindakan yang harus dilakukan;
(b)
formulasi norma tanpa disadari memberikan peluang perilaku bermasalah;
(c)
formulasi norma tidak menangani penyebab dari perilaku bermasalah;
(d)
formulasi norma member peluang pelaksanaan tidak transparan, tidak bertanggungjawab dan tidak partisipatif;
(e)
formulasi norma mungkin memberikan kewenangan yang tidak perlu
44
Ibid. hal. 117-118
42
kepada pejabat pelaksana dalam memutuskan apa dan bagaimana pengubah perilaku bermasalah itu. Kesempatan adalah kesempatan yang terkandung di dalam lingkungan sosial temapt undang-undang itu dibentuk dan dilaksanakan yang mengakibatkan undang-undang itu tidak dapat dilaksanakan. Kemampuan adalah kemampuan seluruh pemangku kepentinagn untuk berperilaku sesuai dengan undang-undang. Komunikasi adalah masalah pengkomunikasian (sosialisasi) materi undangundang yang kurang memadai yang mengakibatkan pemangku kepentingan tidak memiliki informasi yang membuat mereka mampu berperilaku sesuai dengan undang-undang. Proses adalah criteria dan prosedur yang menentukan pemangku kepentingan memutuskan untuk mematuhi undang-undang.45 Teori-teori tersebut merupakan pisau analisis yang diperlukan untuk mengklarifikasi, menilai, dan menentukan apakah rekomendasi DPRD dalam proses perizinan pada pemerintah provinsi merupakan instrumen hukum administrasi yang memenuhi syarat keilmuan, demikian juga keberadaan, fungsi dan akibat-akibatnya dapat dibenarkan secara hukum berdasarkan parameter keilmuan yang terkandung di dalam teori-teori itu. Teori-teori tersebut akan digunakan dalam skema dan struktur sebagai berikut: NO 1 2
RUMUSAN MASALAH Bagaimanakah kedudukan dan fungsi DPRD dan penyelenggaraan penerbitan perizinan? Bagaimana implikasi rekomendasi DPRD terhadap tanggungjawab kepala daerah dan DPRD dalam penerbitan izin?
45
Ibid. hal. 119-121
TEORI Teori perundang-undangan Teori kewenangan Teori perizinan Teori tindak pemerintahan Teori keabsahan hukum Teori tanggungjawab hukum
43
Teori perundang-undangan digunakan untuk menganalisis rumusan masalah (1) untuk menganalisis kedudukan DPRD dan penyelenggaraan perizinan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur kedudukan DPRD dan penyelenggaraan perizinan. Teori kewenangan dalam mengkaji rumusan masalah (1) digunakan sebagai alat untuk mengklarifikasi batas kewenangan masingmasing lembaga pemerintahan daerah, yaitu: DPRD dan Kepala Daerah dalam peyelenggaraan kewenangan perizinan. Teori perizinan digunakan sebagai instrumen untuk mempertajam bentuk tindak pemerintahan di daerah berdasarkan alokasi kewenangan yang ada pada lembaga-lembaga pemerintahan yang memiliki kewenangan dala penyelenggaraan perizinan. Teori tindakan pemerintah digunakan sebagai alat untuk mempertegas tindakan penyelenggaraan perizinan sebagai bentuk tindakan pemerintahan oleh kepala daerah dan mempertegas posisi rekomendasi DPRD dalam proses tersebut. Teori keabsahan hukum digunakan sebagai dasar untuk menilai keabsahan dari tindakan pemerintahan dalam bidang perizinan dan tindakan DPRD dalam menempatkan rekomendasi DPRD sebagai bagian pendahuluan dari proses penerbitan perizinan. Teori tanggungjawab hukum digunakan sebagai dasar untuk menilai luasan tanggungjawab kepala daerah dan DPRD terhadap akibat-akibat yang ditimbulkan oleh izin yang diterbitkan oleh kepada daerah berdasarkan rekomendasi DPRD.
44
1.7.2
Kerangka berpikir
Teori Negara Hukum - Teori Perundangundangan - Teori Keabsahan Hukum - Teori Kewenangan - Teori Perizinan - Teori Tanggung Jawab Hukum
Bagaimanakah kedudukan dan fungsi DPRD dan penyelenggaraan penerbitan perizinan?
REKOMENDASI DPRD
Bagaimana implikasi rekomendasi DPRD terhadap tanggungjawab kepala daerah dan DPRD dalam penerbitan izin?
PENERBITAN IZIN OLEH GUBERNUR [Perizinan oleh Pemerintah Daerah]
IZIN
Kepastian Hukum dan Intepretasi / pemahaman hukum yang benar
Pencapaian Target Goals dan Ideals Goals [ dalam Ius Konstitutum dan Ius Konstituendum - hukum yang sedang berlaku dan hukum yang dicita cita kan ]
45
1.8
Metode Penelitian Suatu karya ilmiah sudah seharusnya menggunakan suatu metode dalam
penulisan, tidak dibenarkan suatu tulisan ilmiah didasarkan pada penafsiran dan perkiraan saja. Suatu penelitian secara ilmiah dilakukan untuk menyalurkan hasrat rasa ingin tahu yang telah mencapai taraf ilmiah, yang disertai dengan suatu keyakinan bahwa setiap gejala akan ditelaah, diteliti dan dicari hubungan sebab akibat atau kecenderungan- kecenderungan yang timbul.46 Dengan demikian, suatu karya ilmiah haruslah menggunakan metode , dengan maksud agar karya ilmiah tersebut memenuhi syarat-syarat suatu tulisan ilmiah. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian usulan tesis ini , adalah sebagai berikut: 1.8.1
Jenis Penelitian Penulisan ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian
hukum normatif, yakni penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder.47 Penelitian hukum normatif disebut juga dengan penelitian hukum doktrinal karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturanperaturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain. 1.8.2
Jenis Pendekatan Sesuai dengan karakteristik metode penelitian yang diaplikasikan,
adalah bersifat diskriptif, berangkat dari fakta hukum yang ada, kemudian 46
Bambang Sunggono, 2007, Metodelogi Penelitian Hukum , PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.27-28 47 Soerjono Soekanto, dan Sri Mamudji, 2003, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat , PT Raja Grafindo Persada , Jakarta , hal.13
46
ditetapkan isu hukumnya lalu dicoba untuk dicari jawabannya. Pada pendekatan kasus dan pendekatan konsep dilakukan dengan cara : Pendekatan perundang-undangan (the statue approach), dan Pendekatan Analisis Konsep Hukum. Pendekatan undang-undang dalam penelitian ini, lebih difokuskan pada Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang berkaitan dengan variebel judul penelitian ini, dan undang-undang lainnya yang memiliki keterkaitan dengan penelitian ini. 1.8.3
Sumber Bahan Hukum Sumber bahan hukum yang dipakai dalam penelitian ini, adalah
diperoleh dari kepustakaan, bukan dari lapangan. Sehingga sumber bahan hukum penelitian ini ,tidak menggunakan istilah “data hukum” melainkan menggunakan istilah “bahan hukum”.48 Bahan hukum dalam penelitian normatif ini, terdiri dari: Bahan Hukum Primer dan Bahan Hukum Secunder.49 Masing-masing sebagai berikut : Bahan Hukum Primer, terdiri dari asas dan norma hukum, yang perwujudannya dapat berupa: Peraturan Dasar, Konvensi, Ketatanegaraan, Peraturan perundang-undangan, Keputusan Tata Usaha Negara. Peraturan perundang-undangan dan produk hukum lainnya yang terkait dengan obyek penelitian ini, adalah sebagai berikut: 48
Peter Mahmud Marzuki, 2005 , Penelitian Hukum , Kencana Prenada, Jakarta, hal.41 49 Ibid , hal.42
47
-‐
UUD NRI 1945
-‐
UU No.1 Tahun 1945 Tentang Pennyelenggaraan Otonomi Daerah
-‐
UU No.22 Tahun 1948 Tentang Pemerintahan Daerah
-‐
UU No.1 Tahun 1957 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah
-‐
UU No.18 Tahun 1965 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah
-‐
UU No.5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah
-‐
UU No.22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah
-‐
UU N0.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
-‐
UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah
-‐
UU No.12 Tahun 2011 Tentang Hirarki Perundang-undangan
-‐
UU No. 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
-‐
PERDA 16/2009 (RTRW Prov.Bali)
-‐
PERDA 27/2011 (RTRW Kota Denpasar)
-‐
SK Gubernur Bali No. 2138/02-C/HK/2012 (Pemberian Izin Pengelolaan);
-‐
SK Gub.Bali No.1727/01-B/HK/2013 (Izin Studi Kelayakan);
-‐
Surat Rekomendasi DPRD Prov.Bali No.660/14278/DPRD, tgl 20.12.2012;
-‐
Surat DPRD Prov.Bali No.900/2569/DPRD tgl. 12 Agustus 2013.
Bahan Hukum Sekunder, terdiri dari: buku-buku hukum (text book), Jurnal-jurnal hukum, Karya Tulis Hukum, Kamus dan Ensiklopedia
48
Hukum (beberapa ahli menggolongkan kamus dan ensiklopedia ke dalam sumber hukum tersier). 1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Dalam penelitian ini, untuk pengumpulan bahan hukum memakai metode sistimatis berupa pengumpulan Peraturan Perundang-undangan, Surat Keputusan, Surat Rekomendasi dan lainnya. 1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum Dalam penelitian ini, setelah bahan hukum terkumpul, maka bahan hukum tersebut di analisis untuk mendapatkan konklusi, dengan memakai teknik analisis bahan hukum berupa teknik deskriptif, yaitu teknik dasar analisis untuk mendapatkan gambaran/uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau proposisi dari proposisi –proposisi hukum atau non-hukum. Teknik Deskriptif yang dipergunakan menggunakan beberapa teknik, antara lain: Teknik diskripsi (uraian apa adanya terhadap suatu kondisi), Teknik Interpretasi (penafsiran dalam ilmu hukum), Teknik Evaluasi (menilai tepat atau tidak tepat ), Teknik Argumentasi (penilaian yg didasari pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum), Teknik Sistematisasi (Upaya mencari kaitan rumusan suatu konsep hukum dengan Peraturan Perundang-undangan yang sederajat atau tidak sederajat).50
50
Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, Loc. Cit, hal.34-35