BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pembangunan Nasional Republik Indonesia yang tergambar melalui Rencana Pembangunan Jangka Panjang sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Pembangunan Nasional 2005-2025 telah mengatur bagaimana arah pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi Indonesia. Dalam UndangUndang tersebut arah ilmu pengetahuan dan teknologi Indonesia diarahkan kepada peningkatan kualitas dan kemanfaatan ilmu pengetahuan teknologi (iptek) nasional dalam rangka mendukung daya saing secara global. Hal itu dilakukan melalui peningkatan, penguasaan, dan penerapan iptek secara luas yang salah satu dilakukan melalui perwujudan sistem pengakuan terhadap hasil penemuan dan hak atas kekayaan intelektual.1
1
Lampiran Undang-Undang Nomor 17 tahun 2007 tentang RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG NASIONAL 2005-2025, Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4700 yang berisi sebagai berikut: Pengembangan iptek untuk ekonomi diarahkan pada peningkatan kualitas dan kemanfaatan iptek nasional dalam rangka mendukung daya saing secara global. Hal itu dilakukan melalui peningkatan, penguasaan, dan penerapan iptek secara luas dalam sistem produksi barang/jasa, pembangunan pusat-pusat keunggulan iptek, pengembangan lembaga penelitian yang handal, perwujudan sistem pengakuan terhadap hasil pertemuan dan hak atas kekayaan intelektual, pengembangan dan penerapan standar mutu, peningkatan kualitas dan kuantitas SDM iptek, peningkatan kuantitas dan kualitas sarana dan prasarana iptek. Berbagai langkah tersebut dilakukan untuk mendukung pembangunan ekonomi yang berbasis pengetahuan, serta pengembangan kelembagaan sebagai keterkaitan dan fungsional sistem inovasi dalam mendorong pengembangan kegiatan usaha.
1
Pada prinsipnya keberadaan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dalam hubungan antar manusia dan antar negara merupakan sesuatu yang tidak dapat dipungkiri, mengingat HKI merupakan sesuatu yang given dan inheren dalam sebuah masyarakat industri atau yang sedang mengarah ke sana. Keberadaannya senantiasa mengikuti dinamika perkembangan masyarakat itu sendiri. Begitu pula halnya dengan masyarakat dan bangsa Indonesia yang mau tidak mau bersinggungan dan terlibat langsung dengan masalah HKI. HKI pada praktiknya terdiri dari berbagai macam hak inteletual yang meliputi diantaranya hak cipta, hak kekayaan industri seperti Paten, Merek, Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, Rahasia Dagang dan Perlindungan Varietas Tanaman. Dalam pelaksanaan HKI khususnya hak cipta terdapat berbagai permasalahan yang berkaitan dengan pelanggaran Hak Cipta diantaranya adalah pembajakan perangkat lunak (software). Sebagian besar perangkat lunak yang beredar di Indonesia adalah bajakan, hal tersebut sudah menjadi hal yang biasa untuk kita membeli ataupun mengunduh perangkat lunak bajakan. Perangkat lunak bajakan yang beredar di pasaran tentu saja harganya jauh lebih murah. Indonesia masuk untuk pertama kalinya dalam daftar Priority Watch List (PWL) pada tahun 2004, yang dipublikasikan oleh Departemen Perdagangan Amerika Serikat (USTR). PWL itu sendiri merupakan laporan yang berisi hasil survei tentang jumlah kasus pelanggaran HKI di beberapa negara2.
2
Zae, Open Source, IGOS, dan Penghormatan HKI, www. hukumonline. com
2
Kebanyakan masyarakat awam yang kurang mengerti tentang teknologi computer dan perbedaan antara software (perangkat lunak) legal dan ilegal membelinya di toko-toko komputer atau retailer dengan sangat murah dan biasanya memiliki perbedaan harga yang sangat jauh dengan perangkat lunak aslinya. Di Indonesia, keadaan ini menjadi faktor utama yang menyebabkan pembajakan perangkat lunak tumbuh subur di tengah perkembangan teknologi yang sudah semakin maju. Sebagai contoh harga dari lisensi sistem operasi Windows 7 Ultimate asli dijual dengan harga Rp 1.727.000,00. versi bajakannya dapat dijual dengan harga Rp30.000,00 saja. Perbedaan harga yang sangat jauh ini membuat masyarakat di negara berkembang, khususnya di Indonesia lebih memilih perangkat lunak versi bajakan dengan harga yang jauh lebih murah dan kualitas yang tidak kalah bagus dengan perangkat lunak aslinya. Dalam kasus ini ada 5 perangkat lunak yang paling banyak dibajak, yaitu produk-produk Microsoft, Adobe, Symantec, Autodesk, dan Corel. Karena produk ini merupakan perangkat lunak yang sering digunakan dalam menunjang kegiatan dan aktifitas dari konsumen itu sendiri, baik dalam lingkup perkantoran maupun penggunaan secara individu. Di Indonesia sendiri, menurut data Business Software Alliances (BSA), pada tahun 2002 sebanyak 90% perangkat lunak yang digunakan merupakan perangkat lunak ilegal. Statistik ini meningkat dibandingkan pada tahun 2001, yang mencapai angka 88% (Hidayat, 2003 dalam Wahid, 2004). Statistik ini sekaligus menempatkan Indonesia pada daftar negara
3
yang harus diawasi dalam hal pembajakan perangkat lunak. Namun perlu dicatat di sini, meskipun dari sisi persentase tingkat pembajakan di Indonesia besar, misal pada tahun 1999 sebesar 85%, namun dari sisi besar kerugian „hanya‟ sebesar 42.106 dollar. Angka ini jika dibandingkan dengan kerugian pada tahun yang sama di Amerika dan Kanada yang sebesar 3.631.212 dollar, „hanya‟ sebesar 1,1% (SIIA, 2000 dalam Wahid, 2004).3 Parahnya lagi, seperti yang dikutip dari Kompas.com, tingkat pembajakan perangkat lunak di Indonesia sepanjang tahun 2010 bukannya turun malah naik 1% dibanding tahun sebelumnya. Indonesia pun kini menduduki peringkat ke-11 di dunia dalam hal pembajakan perangkat lunak. Hasil tersebut diperoleh dari “Studi Pembajakan Software Global 2010″ oleh Business Software Alliance (BSA) yang mengevaluasi status pembajakan software secara global. Tahun 2010, tingkat pembajakan perangkat lunak di Indonesia 87% yang berarti 87% program yang diinstal pada komputer di Indonesia adalah produk tanpa lisensi legal. Nilai potensi kerugian yang dialami produsen perangkat lunak pun meningkat dibanding tahun lalu bahkan mencapai rekor yakni 1,32 milliar dollar AS. Nilai kerugian tersebut tujuh kali lebih besar dari nilai kerugian pada 2003 yang mencapai 157 juta dollar AS. Pada 2009, dengan tingkat pembajakan perangkat lunak 86%, nilai kerugian mencapai 886 juta dollar AS. Studi Pembajakan Software Global 2010 mencakup pembajakan atas seluruh perangkat lunak yang berjalan pada PC, termasuk desktop, laptop dan ultra3
Wahid, Fathul. 2004. Motivasi Pembajakan Software: Perspektif Mahasiswa. Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi 2004, Yogyakarta, 19 Juni 2004.
4
portabel, termasuk netbook. Ini mencakup sistem operasi, sistem software seperti database dan paket keamanan, serta aplikasi software, dengan software gratis yang sah dan software open source yang tercakup dalam ruang lingkup penelitian. Meskipun demikian, statistik ini tidaklah kemudian menjadi alasan pembenaran pembajakan perangkat lunak. Memberantas atau menurunkan tingkat pembajakan tidaklah semudah membalikkan telapak tangan (Wahid, 2004). Banyak faktor yang menentukan tingkat pembajakan ini. Ekonomi sebuah bangsa adalah salah satu faktor utama yang menentukan tingkat pembajakan perangkat lunak (e.g. Gopal dan Sanders, 2000 dalam Wahid, 2004). Dalam penelitian yang mereka lakukan, ditemukan bahwa tingkat pembajakan perangkat lunak berhubungan secara signifikan dengan pendapatan per kapita sebuah negara. BSA selalu berupaya memberikan dukungan kepada pihak kepolisian untuk meningkatkan kemampuan personelnya dalam penyelidikan kasus pembajakan perangkat lunak. Salah satu upaya yang dilakukan adalah memberikan pelatihan dan sosialisasi terhadap personel Polri di berbagai daerah terkait seluk beluk pembajakan perangkat lunak tersebut. Untuk sementara waktu, BSA menjalin nota kesepahaman dengan instansi kepolisian.4 Di sisi lain dampak pembajakan perangkat lunak dapat berakibat buruk pada eksistensi industri dalam negeri. Bagaimana industri lokal dapat 4
http://swagooo.com/berita-16026-bsa-indonesia-peringkat-12-dunia-pembajakan-software.html, 25 Februari 2013.
5
bersaing di dunia internasional, ketika akses ekspor justru terancam ditutup oleh negara-negara lain. Hal ini diperparah dengan beredar luasnya produk dengan merek-merek asing bajakan di pasar lokal. Penegakan hukum terhadap para pelaku pembajakan harus menjadi prioritas saat ini. Menurut daftar kata-kata WIPO (World Intellectual Property Organization) definisi pembajakan hak cipta dan hak terkait adalah memproduksi karya yang sudah dipublikasikan atau rekaman suara dengan alat apapun untuk didistribusikan pada masyarakat dan disiarkan ulang oleh badan siaran lain tanpa izin. Sedangkan menurut TRIPS yang dimaksud dengan barang-barang hak cipta bajakan adalah barang-barang yang salinannya dibuat tanpa izin pemegang hak atau orang yang diberi kuasa di negara di mana barang tersebut diproduksi dan dibuat langsung atau tidak langsung dari sebuah barang di mana pembuatan barang tiruannya merupakan sebuah pelanggaran hak cipta atau hak-hak yang berkaitan dengan hak cipta menurut undang-undang negara tujuan impor. Kasus pelanggaran hak cipta pembajakan perangkat lunak disebabkan oleh beberapa faktor. Ketentuan satu mesin satu lisensi misalnya, telah membuat pengguna mengambil jalan pintas untuk menggunakan program bajakan, sedangkan di sisi lain penyalinan terhadap perangkat lunak mudah dilakukan.Sangat sulit untuk mencegah tindakan perbanyakan perangkat lunak yang dapat dilakukan dengan sangat mudah oleh pengguna komputer yang membutuhkan perangkat lunak itu dan tidak mempunyai alternatif lain
6
sedangkan ia tidak mampu untuk membeli lisensi dengan harga yang mahal.5 Dalam kenyataannya kasus pelanggaran perangkat lunak bukan saja berasal dari diri pribadi pengguna saja, karena terjadinya pelanggaran sering juga dipicu oleh keadaan dari program itu sendiri. Sangat sulit untuk mencegah tindakan perbanyakan perangkat lunak yang dapat dilakukan dengan sangat mudah oleh pengguna komputer yang membutuhkan perangkat lunak itu dan tidak mempunyai alternatif lain sedangkan ia tidak mampu untuk membeli lisensi dengan harga yang mahal. Hal ini tidak lepas dari:6 1) Mahalnya harga lisensi. Sebagai gambaran harga dari lisensi Windows 98 berharga US $ 215 dan Windows 95 US $ 200, Windows 2003 US $ 240, dan Windows 2007 US $ 250. 2) Mudahnya melakukan penyalinan pada data-data yang disimpan dalam format digital. 3) Belum meluasnya informasi mengenai kemungkinan solusi dengan memanfaatkan open source. Bahkan BSA (Business Software Alliance) sendiri cenderung belum pernah mempromosikan open source sebagai langkah untuk mengurangi pembajakan di Indonesia. Besarnya dampak yang dapat ditimbulkan atas pembajakan perangkat lunak di Indonesia ini, sudah sepatutnya mendapat perhatian yang serius baik dari sisi formal yaitu dari sudut pandang Pemerintah, maupun dari sisi 5
http://sswhy.blogspot.com/2012/11/penyebab-terjadinya-pembajakan-software.html, 25 Februari 2013. 6 Ibid.
7
informal atau non formal, yang tidak lain dari masyarakat itu sendiri selaku pengguna perangkat lunak itu sendiri. Berdasarkan hal tersebut akan dikaji lebih jauh bagaimana Tinjauan Yuridis terhadap Pembajakan Perangkat Lunak (software) di Indonesia.
B. Perumusan Masalah Dari uraian dalam pendahuluan, terdapat beberapa hal yang dijadikan perumusan masalah dalam penelitian ini yaitu: 1. Bagaimana perkembangan kasus pembajakan perangkat lunak (software) di Indonesia? 2. Bagaimana mekanisme penyelesaian kasus pembajakan perangkat lunak (software) di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengetahui perkembangan kasus-kasus pembajakan perangkat lunak (software) di Indonesia. 2. Mengetahui mekanisme penyelesaian kasus pembajakan perangkat lunak (software) di Indonesia.
8
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat: 1. Bermanfaat bagi ilmu dan pengetahuan khususnya dalam HKI yang berupa perangkat lunak (software). 2. Bermanfaat sebagai refrensi penelitian selanjutnya yang membahas kasuskasus pembajakan perangkat lunak (software). 3. Menambah wawasan mengenai kasus pembajakan perangkat lunak (software) dan cara penanganannya.
E. Keaslian Penelitian Penelitian
ini
berbeda
dari
penelitian
sejenis,
karena
selain
menggunakan sumber pustaka penelitian ini juga menggunakan data yang berasal dari wawancara terhadap staf Direktorat Jenderal Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI), pedagang software bajakan dan juga pengguna software bajakan.
F. Tinjauan Pustaka HKI merupakan hak–hak (wewenang/kekuasaan) untuk berbuat sesuatu atas kekayaan intelektual tersebut, yang diatur oleh norma–norma atau hukum–hukum yang berlaku. Muhamad Firmansyah berpendapat secara garis besar HKI dibagi menjadi 2 (dua) bagian yaitu Hak Cipta (copy right) dan hak kekayaan industry (industrial property right) yang mencakup paten (patent), desain
9
industry (industrial design), merek (trademark), penanggulangan praktik persaingan curang (repression of unfair competition), desain tata letak sirkuit terpadu (layout design of integrated circuit), dan rahasia dagang (trade secret). Dalam perkembangan hukum di Indonesia dengan perkembangan masyarakat internasional, berdasarkan Keputusan Presiden nomor 15 tahun 1997 Tentang Perubahan Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 1979 Pengesahan Paris Convention For The Protecting Of Industrial Property Dan Convention Establishing The World Intellectual Property Organization yang secara eksplisit menyatakan bahwa pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Paris tanpa reservasi artinya Indonesia menerima secara penuh seluruh ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Paris tanpa kecuali serta meratifikasi Perjanjian Pembentukan Organisasi Dagang Dunia (WTO). Pada prinsipnya upaya perlindungan hukum terhadap HKI berintikan pengakuan terhadap hak atas kekayaan dan hak untuk menikmati kekayaan itu dalam waktu tertentu7, artinya selama waktu tertentu pemilik atau pemegang hak atas HKI dapat mengijinkan ataupun melarang orang lain untuk menggunakan karya intelektualnya. Perkembangan pembajakan hak kekayaan intelektual (HKI) melalui perangkat lunak dalam kenyataannya seiring dengan perkembangan teknologi sarana produksi perangkat lunak. Maraknya peredaran produk ilegal dalam bentuk
7
perangkat
lunak
telah
menjadi
problema
yang
sangat
WIPO Background Reading Material on IPR, Geneva, 1986
10
mengkhawatirkan dan dapat merusak kredibilitas suatu negara, merugikan pemegang hak cipta, dan sangat menyimpang dari prinsip-prinsip perdagangan yang sehat, sebagaimana dimaksud dalam regulasi perdagangan dunia pada WTO/TRIPs. Dampak kerugian yang ditimbulkan oleh pembajakan global yang terjadi di seluruh dunia, telah mendorong munculnya usaha-usaha yang global pula guna mengatasi pelanggaran HKI tersebut.
11