BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Pronomina relatif adalah salah satu jenis konjungsi. Kridalaksana (2011)
mendefinisikan
konjungsi
sebagai
partikel
yang
dipergunakan
untuk
menggabungkan kata dengan kata, frase dengan frase, klausa dengan klausa, kalimat dengan kalimat atau paragraf dengan paragraf. Dari definisi tersebut maka pronominal relatif berfungsi sebagai penghubung dari suatu unit dengan unit lainnya. Dalam hal ini unit yang dimaksud adalah klausa dengan status yang berbeda, dalam artian penggabungan antar klausa dengan menggunakan pronomina relatif tersebut nantinya akan bersifat hierarkhis. Berbeda dengan konjungsi subordinatif lainnya, pronominal relatif wajib didahului oleh anteseden, yaitu kata yang berasal dari kategori nomina, frasa nominal atau pronomina dan ditunjuk kembali oleh pronomina relatif tersebut, sedangkan konjungsi subordinatif lainnya tidak. Baik dalam bahasa Prancis (selanjutnya akan ditulis bP) dan bahasa Indonesia (selanjutnya akan ditulis bI) memiliki sistem pronomina relatif ini. Sebagaimana dijelaskan oleh Grevisse (2007, 1385) bahwa le pronom relatif unit aussi une roposition a un autre element, mais trois caractere le distinguent de la conjoction de subordination `PronRel juga menghubungkan sebuah klausa dengan elemen lainnya, tapi terdapat tiga karateristik yang membedakannya dengan konjungsi subordinatif.' Ketiga karakteristik tersebut akan dibahas lebih lanjut pada Bab 1.6 Landasan Teori. BP sendiri memiliki lima jenis pronomina relatif, 1
yaitu qui, que où, dont dan où. Masing-masing jenis memiliki karakteristik dan kegunaanya sendiri. Sedangkan dalam bP, Kridalaksana (2011) menjelaskan bahwa pronomina relatif adalah pronomina yang berfungsi sebagai penghubung dan menunjuk kembali pada kata yang mendahuluinya; antara lain ‘yang’ dan ‘di mana’. Dengan adanya perbedaan jumlah dan tipe tersebut, diasumsikan bahwa terdapat permasalahan dalam memadankan pronomina relatif dari bP sebagai bahasa sumber (selanjutnya ditulis BSu) ke dalam bI sebagai bahasa sasaran (selanjutnya ditulis BSa). Selain itu, tingkat kerumitan pemadanan tersebut dinilai lebih tinggi sebab kedua bahasa memiliki masing-masing kaidah bahasa. Untuk itu, dalam penelitian ini akan dibahas mengenai pemadanan pronomina relatif dari BSu ke dalam BSa, dengan bahan yang diambil dari novel karya Albert Camus berjudul La Peste dan N. H Dini berjudul ‘Sampar’.
1.2
Rumusan Masalah
Bagaimanakah pemadanan pronomina relatif sebagai penghubung antar klausa dalam kalimat majemuk bertingkat dari bP ke bI dan apa pengaruhnya terhadap pemadanan kalimat majemuk bertingkat tersebut?
1..3 Tujuan Penelitian
Menjelaskan secara kualitatif bentuk padanan konjungsi majemuk klausa relatif dalam bP pada bI setelah melalui proses terjemahan, serta menjelaskan bagaimana bentuk kalimat majemuk bertingkat.
2
1.4
Ruang Lingkup Penelitian Klausa relatif merupakan klausa terikat yang memerlukan konjungsi sebagai
penghubung antara klausa tersebut dengan klausa utama/induknya. Dalam bP konjungsi tersebut dikenal sebagai PronRel yang terbagi menjadi dua, yaitu PronRel tunggal dan PronRel ganda. Kedua jenis tersebut merupakan pokok bahasan dari penelitian ini. Dengan bP sebagai bahasa sumber (BSu) dan bI sebagai bahasa sasaran (BSa), peneliti mengambil data dari novel bahasa Prancis dan terjemahannya berjudul La Peste karya Albert Camus dan Sampar yang alih bahasakan oleh N.H Dini, penulis bermaksud meneliti lebih jauh tentang bagaimana bentuk padanan kedua jenis PronRel dari bP ke dalam bI. Dalam novel La Peste ditemukan data yang mencukupi untuk keperluan analisis bagi kelima jenis PronRel yang terkelompok dalam jenis PronRel tunggal dan PronRel ganda. Dengan banyaknya data dan adanya pengulangan struktur kalimat yang telah sesuai dengan kaidah kalimat bP, maka tidak diperlukan lagi data yang berasal dari sumber lain. Sedangkan data terjemahan yang digunakan, sejauh makna atau pesan dari BSu ke dalam BSa tersampaikan, maka data tersebut dianggap dapat digunakan. Sebab pada padasarnya, masalah terjemahan bukan sekedar mengalihbahasakan kata per kata, namun juga menyangkut makna dan pesan, yang lebih lanjut akan dibahas dalam Bab 1.6 Landasan Teori. Data-data yang digunakan memiliki kemungkinan telah digunakan pada penelitian sebelumnya, mengacu pada skripsi berjudul Kalimat Majemuk Bertingkat Hubungan Sebab Akibat dalam Bahasa Prancis: Struktur dan Masalah Penerjemahannya. Meskipun demikian, dipastikan tidak ada kemiripan dengan
3
penelitian ini. 1.5
Tinjauan Pustaka Sebelumnya telah ada penelitian mengenai kalimat majemuk oleh Dwi
Nugrahaeni Widayanti (2002) dengan judul Kalimat Majemuk Bertingkat Hubungan Sebab Akibat dalam Bahasa Prancis: Struktur dan Masalah Penerjemahannya. Meskipun data yang digunakan sama, namun terdapat perbedaan antara penelitian yang terdahulu dengan penelitian ini. Dalam tulisannya, Widayanti membahas mengenai konstruksi kalimat majemuk bahasa Prancis yang berhubungan dengan sebab-akibat. Dapat dipastikan kedua tulisan ini tidak sama dilihat dari masing-masing rumusan masalahnya. Selanjutnya terdapat skripsi berjudul Studi Kontrastif Klausa Relatif Bahasa Jepang dan Bahasa Indonesia oleh Dhian Martha Nusantari (2004 ). Berlatar belakang
adanya
interferensi
pada
pembelajar
bahasa
Jepang
dalam
menerjemahkan atau membuat klausa relatif ke dalam bI, Nusantari menggunakan data berupa buku teks dan hasil terjemahan dari mahasiswa Jepang yang mempelajari bI. Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang diambil oleh penulis, Nusantari membagi tujuannya menjadi dua hal yaitu mengetahui kaidah klausa relatif dalam bahasa Jepang dan bI; mengetahui persamaan dan perbedaan klausa relatif dalam bahasa Jepang dan bI. Dalam penelitiannya, Nusantari menyimpulkan bahwa antara klausa relatif bahasa Jepang dan bI, dapat terbagi menjadi tiga irisan jika digambarkan dengan diagram gabungan. Terdapat dua wilayah yang jauh berbeda antara bahasa Jepang dan bI, yang menunjukkan perbedaan antara keduanya dari segi jenis, pronomina perangkai (konjungsi) dan 4
letak frasa pewatas. Tulisan ini kemudian menginspirasi peneliti mengenai perbedaan antara klausa relatif bP dan bI, jika dalam tulisan sebelumnya, Nusantari lebih menekankan pada konstruksi yang dibuat oleh orang Jepang yang sedang mempelajari bI dan sebaliknya, maka lain halnya dengan tulisan ini. Kali ini peneliti mengambil topik pembahasan tidak hanya berdasarkan konstruksi masing-masing kalimat, melainkan dari padanan konjungsi yang dianalis menggunakan konstruksi kalimat (secara gramatikal). Skripsi berjudul Aspek Perefektif dan Imperfektif Bahasa Prancis dan Penerjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia oleh Agrika Puspita Sari, yang membahas terjemahan makna aspek perfektif dan imperfektif bP ke dalam bI melalui proses morfologis verba bI. Berdasarkan kesimpulan, ditemukan kalimat terjemahan pada data dengan pemilihan kata kerja yang dapat mengungkapkan kembali makna aspek disamping mengungkapkan makna kata kerja tersebut dalam bI yang tidak mengenal adanya kedua aspek. Proses pengungkapan kembali dua aspek tersebut dalam bI menggunakan kata kerja berimbuhan me(N)-, me(N)/-kan, dan me(N)-/-i. Walaupun memiliki tema penelitian yang sangat berbeda, tapi beberapa teori terutama mengenai teori terjemahan yang digunakan pada penelitian sebelumnya juga dapat diterapkan pada penelitian kali ini. 1.6
Landasan Teori
1.6.1 PronRel Bahasa Indonesia Menurut Chaer (1990: 11) kata dapat terbagi menjadi dua golongan besar, yaitu kata penuh dan kata tugas. Pembagian secara "kasar" dan banyak diikuti orang adalah bahwa kata-kata dalam bI dapat dibagi dalam dua golongan besar, 5
yaitu pertama yang disebut dengan kata penuh dan kedua yang disebut kata tugas. Perbedaan kata penuh dan kata tugas secara morfologis adalah kata penuh mempunyai kemungkinan untuk diperluas dengan imbuhan atau dengan pengulangan, sedangkan kata tugas tidak memiliki kemungkinan demikian. Ciri lain dan kata tugas dijelaskan oleh Alwi, dkk. (2003: 287) antara lain, kata tugas hanya mempunyai arti gramatikal dan tidak memiliki arti leksikal. Arti suatu kata tugas ditentukan bukan oleh kata itu secara lepas, melainkan oleh kaitannya dengan kata lain dalam frasa atau kalimat. Dicontohkan oleh Alwi,dkk. (2003: 287) jika pada nomina seperti buku kita dapat memberikan arti berdasarkan kodrat kata itu sendiri- benda yang terdiri atas kumpulan kertas yang bertulisan-, sedangkan kata tugas seperti dan atau ke baru akan mempunyai arti apabila dirangkai dengan kata lain untuk menjadi, misalnyaalnya, ayah dan ibu dan ke pasar. Masih menurut Alwi, dkk. (2003: 287) ciri lain dari kata tugas adalah bahwa hampir semuanya tidak dapat menjadi dasar untuk membentuk kata lain. Chaer (1990: 12) menyebutkan dua golongan kata tugas di antaranya adalah yang lazim disebut dengan kata depan atau preposisi dan kata penghubung atau konjungsi. Kridalaksana (2011: 112) menyebutkan beberapa jenis kata tugas antara lain preposisi, konjungsi, artikel, dan pronomina. Sedangkan Alwi, dkk (2003: 288) membagi kata tugas menjadi lima kelompok yaitu preposisi, konjungsi, interjeksi, artikula dan partikel penegas. Dengan demikian konjungsi dari klausa relatif ini, atau yang sering disebut dengan PronRel juga tergolong kata tugas. Konjungsi itu sendiri, menurut Kridalaksana (2011: 131) adalah partikel
6
yang dipergunakan untuk menggabungkan kata dengan kata, frase dengan frase, klausa dengan klausa, kalimat dengan kalimat, atau paragraf dengan paragraf. Chaer (1990: 58) kemudian membagi konjungsi berdasarkan fungsinya menjadi dua jenis, salah satunya adalah konjungsi untuk menghubungkan klausa dengan klausa secara subordinatif. Konjungsi yang demikian disebut sebagai konjungsi subordinatif oleh Kridalaksana (2011: 131), yaitu konjungsi yang dipakai untuk mengawali klausa terikat untuk menyambungkannya dengan klausa utama dalam klaimat bersusun, termasuk di dalamnya konjungsi yang mengawali sekaligus menghubungkan klausa relatif dengan klausa utamanya, yaitu pronomina relatif PronRel bI tidak memiliki batasan dan ciri yang jelas, Kridalaksana (2011: 201) hanya menyebutkan bahwa PronRel merupakan pronomina yang berfungsi sebagai penghubung dan menunjuk kembali pada kata yang mendahuluinya; dalam Bahasa Indonesia antara lain yang dan di mana. Perlu diketahui bahwa kata yang dalam bI sebenarnya tidak hanya berfungsi sebagai konjungsi. Alwi, dkk. menyebutkan, selain tenitasuk katagori konjungsi yang juga termasuk dalam golongan kata tugas lainnya, yaitu artikula, dengan penjelasan di bawah ini. •
Yang sebagai artikula Berdasarkan penjelasan Alwi, dkk. (2003 : 304), artikula adalah kata tugas
‘yang’ membatasi makna nomina. Dalam bI ada kelompok artikula, antara lain (1) bersifat gelar, (2) mengacu ke makna kelompok dan (3) menominalkan. Sedangkan di sini, kata ‘yang’ tergolong kelompok ketiga, yaitu artikula berfungsi untuk menominalkan. Masih menurut Alwi, dkk. (2003: 306), kata ‘yang; di sini memiliki fungsi ganda dalam sintaksis. Sebagai artikula, ‘yang’ membentuk frasa 7
nominal dari verba, adjektiva, atau kelas kata lain bersifat takrif atau definit. •
Yang sebagai konjungsi Sebagai konjungsi berfungsi menghubungkan klausa utama dengan klausa
sematan atau klausa relatif misalnya dalam kalimat contoh berikut,
Contoh: Saya membaca buku yang mengisahkan perjuangan Pangeran Diponegoro. (Alwi, dkk., 2003: 391) Seperti yang telah disinggung, bahwa kata ‘yang’ konjungtif ini merupakan kata tugas. Dengan kata lain, kata ini tidak memiliki makna leksikal. Namun demikian, kata ‘yang’ adalah kata yang tergolong memiliki makna gramatikal. Mengenai makna gramatikal, akan dibahas pada Bab 1.6.5 Teori Terjemahan Seperti yang telah dibahas bahwa fungsi dari konjungsi adalah sebagai penghubung antar klausa. Bedanya, untuk kata ‘yang’ sebagai PronRel ini, selalu memiliki sebuah kata yang mendahuluinya, disebut anteseden. Pengertian anteseden, menurut Kridalaksana, adalah (1) informasi dalam ingatan atau konteks yang ditunjukakn oleh suatu ungkapan misalnya dalam klaimat Bukunya mana? – nya menunjuk pada suatu anteseden tertentu; (2) salah satu unsur dalam kalimat atau klausa terdahulu yang ditunjuk oleh ungkapan dalam suatu kalimat atau klausa misalnya Amin kaya, tetapi kantongnya kosong, Amin adalah anteseden dari –nya. Anteseden ditujuk oleh anaphora atau katafora. Namun dalam hal ini, anteseden adalah kata yang berasal dari kategori nomina atau frasa nominal yang ditunjuk kembali oleh PronRel.
8
1.6.2 Klausa Relatif Bahasa Indonesia Klausa bawahan yang dihubungan dengan PronRel disebut dengan klausa relatif. Lain halnya dengan klausa bawahan hasil dari hubungan subordinatif lainnya yang berfungsi sebagai komplemen, klausa relative berfungsi sebagai pewatas atau pemberi keterangan. Dengan demikian terdapat dua jenis klausa relatif, yaitu pewatas atau yang membatasi dari kelompok lainnya; dan pemberi informasi yaitu yang memberikan informasi tambahan. Untuk jenis kedua biasanya ditandai dengan pemisahan klausa bawahan dan klausa induk dengan koma sebelum konjungsi ‘yang’. Perincian kedua klausa ini didukung oleh penjesan dari Sneddon (2010) yang menyebutkan bahwa terdapat berbagai macam jenis klausa relative bI, dua diantaranya seperti yang telah dijelaskan. Jenis lainnya, yang berhubungan dengan penelitian ini adalah: 1)
Possesor topic-comment relative clauses meaning whose ‘Klausa relatif topik-komen kepemilikan yang bermakna whose Sebelumnya perlu dijelaskan mengenai klausa topik-komen, yaitu klausa
yang digunakan untuk menyoroti frasa nominal tertentu. Frasa tersebut diambil dari klausa dasar dan ditempatkan pada awal kalimat yang kemudian menjadi topik. Sedangkan sisanya menjadi komen dari topik tersebut ditandai dengan suffik –nya. (Sneddon, 2010: 286). Dalam pembentukan kalimat majemuk bertingkat, kaidah pembentukan klausa topik komen dapat digunakan. Klausa relatif topik-komen adalah klausa yang subyeknya dimiliki oleh head noun (nomina inti) (Sneddon, 2010: 296).
9
Dicontohkan klausa relatif topik-komen berupa ‘Sopir itu namanya Ali’, yang dibentuk dari klausa tunggal ‘Nama sopir itu Ali.’ Yang menjadi topik atau headnoun merupakan nomina ‘sopir’ yang kemudian disebut sebagai anteseden, sedangkan kata ‘nama’ yang sebelumnya menjadi subyek dan ‘Ali’ yang sebelumnya menjadi obyek dari verba kopula menjadi bagian dari komen, yang keseluruhannya disatukan dengan konjungsi ‘yang’ dan suffiks –nya untuk menunjuk kembali headnoun. Contoh lainnya dari klausa relatif topik-komen ini adalah saat subyek dari klausa topik-komen merupakan sesuatu yang dimiliki oleh topik, dapat muncul setelah predikat, seperti dalam klausa ‘lima puluh empat Negara Afrika yang diakui kedaulatannya.’ Dalam contoh klausa topiknya adalah lima puluh empat Negara Afrika, sedangkan komennya adalah ‘kedalautannya diakui’. Dalam klausa dasar maka akan berbentuk ‘kedaulatan lima puluh empat Negara Afrika’, kata ‘kedaulatan’ bermula dari subyek yang diposisikan sebagai komen. 2)
Prepositional Relative Clauses ‘Klausa relatif berpreposisi’
Dalam pembentukan klausa relatif jenis ini, head dari frasa sisipan tidak identic dengan subyek (atau topik) dari klausa relatif. Melainkan, hal tersebut identic dengan nomina dalam frasa preposisional dalam klausa relatif, misalnya dalam klausa tunggal ‘di belakang rumah itu ada pohon mangga’ maka jika dibentuk menjadi klausa relatif akan seperti ‘rumah yang di belakangnya ada pohon mangga.’ Dengan kata lain, yang menjadi anteseden dari klausa relatif jenis ini adalah nomina yang tergabung dalam frasa preposisional.
10
1.6.3 PronRel Bahasa Prancis Lain halnya dengan PronRel pada bI, jika PronRel bI digolongkan pada konjungsi subordinatif, maka dalam bP PronRel dibedakan dari konjungsi subordinatif. Letak perbedaan tersebut berdasarkan Grevisse adalah, Les pronoms relatifs, qu'on appelle parfois conjonctifs, servent à introduire une proposition, qu'on appelle elle-méme relative; la difference des conjonctions de subordination (qui introduisent aussi une proposition), 1) ils ont une fonction dans cette proposition: celle de sujet, de complement, parfois d'attribut; 2) ils ont un genre, un nombre, une personne, même s 'ils n'en portent pas visiblement les marques; 3) s'ils sont réprésentants, ils ont un antécédent (Grevisse, 2007: 909). PronRel bP yang disebut juga konjungtif (bersifat konjungsi) berfungsi untuk mengawali sebuah klausa, yang disebut dengan relatif; PronRel mmemiliki perbedaan
dengan
konjungsi
subordinatif
(yang
juga
memiliki
fungsi
mengenalkan klausa) antara lain: •
PronRel menduduki sebuah fungsi dalam klausa relatif tersebut, sebagai subjek, komplemen, atau terkadang sebagai atribut
•
memiliki penanda gender, jumlah (tunggal atau jamaknya), penanda persona, walaupun terkadang tanda-tanda tersebut muncul secara implisit
•
jika PronRel tersebut merupakan réprésentants (representatifi), maka PronRel tersebut mempunyai antécédent (anteseden) Dari ketiga poin definisi tersebut, dapat diketahui bahwa PronRel memiliki
berbagai macam jenis. Berikut penggolongan jenis-jenis PronRel:
11
•
Berdasarkan anteseden Grevisse (2007:912) mengungkapkan bahwa anteseden dapat beerasal dari
kelas kata nomina atau frasa nomina, pronomina, 'disebutkan oleh Kridalaksana (2011: 69) bahwa adjektiva, adverbia clan bahkan klausa utamanya. Dilihat dari keberadaan anteseden, PronRel terbagi menjadi dua jenis: 1)
PronRel adalah nominal (tanpa anteseden) Si le pronom est nominal (ou sans antécédent), la proposition relative ellemême a dans la phrase (ou, éventuellement, dans une proposition) la function de sujet ou de complement (Grevisse, 2007: 911) Saat PronRel muncul tanpa anteseden yang mendahuluinya, maka seluruh
bagian dari klausa relatif yang mengikuti pronomina tersebut menduduki fungsi subjek atau komplemen, dicontohkan pada Le Bon Usage Contoh: Je choisirai qui je veux ‘aku akan memilihsiapa yang ku mau' 2)
PronRel adalah representant (memiliki anteseden) Si le pronom est representant, la proposition est complement de l'antecedent, c'est-a-dire du terme represents (Grevisse, 2007: 911). ‘Jika pronomina berfungsi sebagai representatif, klausa (terikat) merupakan pelengkap dari anteseden, yaitu merepresentasikan.’
Berbeda saat PronRel merupakan nomina, klausa relatifnya menempati fungsi subyek atau komplemen pada klausa utamanya, PronRel berupa representatif ini merupakan komplemen dari antesedennya berupa nomina atau frasa nominal, Contoh: Il ne faut pas reveiller le chat qui dort. ‘jangan membangunkan kucing yang sedang tidur.' •
Berdasarkan bentuknya 1)
Formes simples, PronRel berbentuk tunggal
Yang dimaksud dengan PronRel berbentuk tunggal di sini, yaitu pronomina 12
tersebut hanya terbentuk dari satu kelas kata (pronomina itu sendiri). Beberapa PronRel tergolong formes simples antara lain : qui, que, quoi, dont, dan où. Bentuk PronRel tunggal ini selalu sama, artinya PronRel tunggal, terutama qui dan que tidak membawa penanda unsur gramatika lainnya misalnyaalkan penanda jumlah dan genre. Grevisse menuliskan: les autres pronoms relatifs ne portent pas les marques de la personne, du genre et du nombre (Grevisse, 2007: 912). ‘beberapa PronRel lainnya tidak membawa penanda persona, genre dan jumlah.’ Kemudian Grevisse memberikan keterangan tambahan bahwa meskipun qui dan que tidak menampakkan penandanya dengan tidak berubah sesuai accord, namun penanda tersebut sebenarnya ada secara implisit yang terletak pada verba klausa relatifnya, Contoh: Les personnes qui sont maitresses d'elles-mêmes ont souvent le dernier mot. ‘orang yang menjual diri mereka sendiri sering memiliki pesan terakhir’ (Grevisse, 2007 :912) Dari kalimat contoh di atas dapat diketahui bahwa antesedennya berjumlah jamak dan femina, hal tersebut dapat dilihat dari verba klausa relatifnya sont maitresses sebagai penunjuk bahwa anteseden dari klausa tersebut orang ketiga femina dan jamak. Kaidah yang sama berlaku pada PronRel que seperti dalam contoh berikut. Contoh: Toute la peine que vous vous êtes donnée a été perdue. `semua ‘kesedihan yang kau berikan telah hilang.' (Grevisse, 2007 : 913) Pada kalimat contoh, penanda femina anteseden dapat dilihat dari bentuk
13
verba doner dan ajektiva perdue berubah menyesuaikan bentuk femina. Namun, hal ini tidak dapat diberlakukan pada semua verba untuk menandai gender, persona, atau jumlah sebab untuk pronomina que kaidah tersebut hanya berlaku untuk klausa terikat dengan verba berkala lampau atau verba klausa utama adalah verba kopulatif yang memerlukan kata sifat sebagai komplemen, kita tidak akan bisa melihat penandanya apabila verba klausa terikat atauun klausa utama tidak dalam bentuk-bentuk tertentu seperti yang dijelaskan. Sedangkan untuk qui, apabila klausa relatifnya memiliki verba selain bentuk verba kopulatif, maka penanda juga tidak akan tampak. Meskipun kedua PronRel tunggal ini memiliki ciri yang sama dalam hal penandaan, tapi terdapat perbedaan dalam hal penempatan fungsi sintaksis. Untuk PronRel qui, Grevisse menjelaskan bahwa PronRel ini dapat menduduki fungsi subjek, sebagaimana diungkapkan oleh Grevisse Dans la langue ordinaire, qui a pour antecedent un nom ou un pronom qui peuvent designer aussi bien des personnes que des choses (Grevisse, 2007:912) ‘Dalam bahasa keseharian, qui memiliki anteseden berupa nomina atau pronomina yang juga dapat menunjukkan baik orang maupun benda.'
Selain kedua bentuk tersebut, qui dan que, terdapat bentuk PronRel tunggal lainnya, yaitu où dan dont. Untuk pronomina dont, antesedennya dapat berupa nomina atau pronomina. PronRel dont sendiri berfungsi sebagai komplemen dari subjek, verba, atribut dan komplemen obyek langsung berawalan preposisi de. Grevisse (2007 :926) mencontohkan bahwa dont dapat menjadi komplemen obyek langsung dalam contoh kalimat Le livre dont j'ai lu 14
quelques passages`buku yang aku baca beberapa halaman'. 2)
Formes composées, PronRel berbentuk ganda (lebih dari satu)
Yang dimaksud dengan PronRel berbentuk ganda ini, yaitu PronRel tersebut terbentuk lebih dari satu kelas kata (gabungan kelas kata) misalnya PronRel lequel yang terbentuk dari l'article défini (artikel takrif) berupa le dan determinator interogatif berupa quel. Keduanya dapat berubah tergantung pada jumlah (tunggal atau jamaknya) serta gender yang dimi1iki oleh antesedennya, misalnya
Contoh: : La maison dans laquelle j'ai passe mon enfance a ete détruite pendant la guerre. ‘rumah tempat aku melalui masa kecilku hancur saat perang' PronRel laquelle pada kalimat contoh mengikuti bentuk la maison dari segi gender dan penentu tunggal atau jamaknya. Lequele berfungsi sebagai kompelemen berpreposisi. Hal ini lah yang membedakan PronRel majemuk ini dengan jenis PronRel lainnya. Pronomina ini hampir selalu didahului oleh preposisi. Grevisse menerangkan bahwa pada umumnya anteseden dari lequel ini berupa un nom inanime atau benda mati. Namun di sisi lain, terdapat pula anteseden yang berupa nomina atau pronomina yang menujukkan persona/orang misalnya dalam kalimat L'homme sous lequel la marine francaise s'était relevée contre l'Angleterre (Grevisse, 2007: 925) `Pria yang di bawah kekuasaannya, maritim Prancis dibangun melawan Inggris.' Selain fungsinya sebagai komplemen berpreposisi, lequel juga dapat menduduki subyek, sama halnya seperti PronRel qui. Berdasarkan keterangan Grevisse, hal tersebut dikarenakan lequel juga membawa penanda dari jumlah
15
dan terkadang penanda gender . Parce qu'il porte les marques du nombe et souvent du genre, it permet d'éviter des équivoques. D 'autre part, il rattache la relative à son antécédent d'une .façon plus çouple que ne le ferait s 'emploie notamment quand la relative est une indication accessoire, adventice (Grevisse, 2007: 925). Karena PronRel itu (lequel) membawa penanda jumlah dan terkadang gender, pronomina tersebut memperbolehkan untuk menghindari ketidakjelasan. Di lain sisi, pronomina itu mengikat kembali klausa relatif pada anteseden dengan cara yang lebih fleksibel dibandingkan qui; pronomina itu digunakan terutama saat klausa relatif adalah keterangan sampingan, bukan yang pokok (Grevisse, 2007:925). Dan kutipan tersebut, dapat diketahui bahwa lequel dan variannya dapat menduduki fungsi subjek, terutama saat klausa relatif adalah klausa yang berfungsi sebagai pemberi keterangan
tambahan, Grevisse (2007:925)
mencontohkannya dalam kalimat Elle était avec son mail, madame Homais et le pharmacien, lequel se tourmentait beaucoup sur le danger des fusée perdues Dia bersama suaminya, nyonya Homais dan apoteker, yang bingung akan bahaya hilangnya suku cadang.' Dalam kalimat tersebut, pronomina lequel jelas mengacu pada persona bergender maskulin, yaitu pada suami nyonya Homais yang sekaligus seorang apoteker. Hal tersebutlah yang dimaksud oleh Grevisse dengan menghindari ketidakjelasan. Apabila posisi lequel digantikan oleh qui maka, akan muncul ketidakjelasan pada anteseden yang ditunjuk, antara nyonya Homais, suaminya atau justru keduanya. 1.6.4 Teori Sintaksis Selain pengetahuan mengenai PronRel dan kategori sintaksis yang dimiliki masing-masing bahasa, juga diperlukan pengetahuan mengenai dasar-dasar
16
sintaksis, terutama mengenai pembagian masing-rnasing kategori tersebut dengan menggunakan phrase structure rule `kaidah penjabaran' A major assumption in linguitics since the 1930s has been that sentences consist of phrases — structural groupings of words : sentences have phrase structure. Thus the sentence (S) The child drew an elephant.breaks up into a Noun Phrase (NP) 'the child' and a Verb Phrase (VP) `drew an elephant. The VP in turn breaks up into a Verb (V) 'drew' and a further Noun Phrase 'an elephant' (Cook, V.J, 2007: 28) Asumsi mayoritas dalam linguistik sejak tahun 1930-an bahwa kalimat terdiri dari frasa-frasa — kelompok-kelompok kata secara struktural : kalimat mempunyai struktur frasal. Oleh karena itu kalimat (K) Anak itu menggambar sebuah gajah terbagi menjadi sebuah frasa nominal (FN) `anak itu' dan sebuah frasa verbal (FV) `menggambar sebuah gajah'. FV kemudian terbagi lagi menjadi sebuah verba (V) `menggambar' dan sebuah frasa nominal lanjutan `sebuah gajah'. Asumsi dan teori tersebut sesuai dengan realita bahasa yang ada, bahwa kalimat-kalimat yang terbentuk dalam bahasa apa pun hampir seluruhnya dapat digolong sesuai dengan kutipan di atas. Penggolongan ini berlaku pula untuk bI, seperti yang telah disebutkan pada Bab I.1 Landasan Teori. Phrase structure analysis thus breaks the sentence up into smaller and smaller grammatical constituents, finishing with words or morphemes when the process can go no further (Cook, V.J, 2007 : 29). Analisis struktur frasal memecah kalimat secara gramatikal ke konstituenkontituen yang lebih kecil, diakhiri dengan kata-kata atau morfemmorfem saat proses tersebut tidak dapat dilakukan lebih lanjut (Cook, V.J; 200'1:20). Dari kutipan tersebut, diketahui pula bagaimana cara penerapan teori tersebut, yaitu dengan memecah-mecah frasa ke bagian-bagian lebih kecil, sampai pemecahan tersebut tidak dapat dilakukan lagi. Dikaitkan dengan kaidah penjabaran ini, maka digunakan fungsi sintaksis dalam menjabarkan masing-masing data kalimat. Berdasarkan penjelasan Alwi, dkk, (2003: 36), fungsi itu bersifat sintaksis, artinya berkaitan dengan urutan kata 17
atau frasa dalam kalimat. Fungsi sintaksi utama dalam bahasa adalah predikat, subyek, obyek, pelengkap dan keterangan. Fungsi sintaksis inilah yang digunakan dalam mencari konjungsi. Selain itu, terdapat beberapa aturan dasar yang perlu diketahui dalam hal menguraikan berdasarkan fungsi dan kategori. S -> NP + VP S = sentence `kalimat NP = noun phrase `frasa nominal' VP = verb phrase `frasa verbal' NP -> D + N + Adj NP = noun phrase `frasa nominal' D = determiner `determina' N = noun `nomina' Adj adjective `ajektiva' VP -> V + NP VP = verb phrase `frasa verbal' V = verb `verba' NP = noun phrase "frasa nominal' Dalam penguraian berdsarkan ketiga rumusan tersebut, digunakan kategori atau kelas kata sebagai acuan. Konsep dasar lainnya yang perlu diketahui adalah ketika terdapat symbol P, phrase atau frasa, maka symbol yang terletak di depannya adalah headnoun atau inti dari frasa tersebut, misalnya NP (noun phrase) maka inti dari frasa tersebut adalah kata yang berasal dari kategorin nomina dan seterusnya.
18
1.6.5 Teori Terjemahan Translating consists in reproducing in the receptor language the closest natural equivalent of the source language message, first in terms of meaning and secondly in terms of style. But this relatively simple satements requires careful evaluation of several seemingly contracditoty elements (Nida and Taber, 1974 : 12). Menerjemahkan adalah menyampaikan kembali ke dalam bahasa sasaran, pesan dari bahasa sumber dengan makna yang paling dekat dan alami, pertama dan segi makna dan kedua dari segi gaya. Tetapi pemyataan relatif sederhana ini memerlukan evaluasi hati-hati dari beberapa elemen yang nampaknya kontradiktif (Nida dan Taber, 1974: 12). Dari kutipan tersebut dapat diketahui definisi dari kegiatan terjemahan, yang terletak pada kata kunci reproducing `memproduksi ulang.' Pada dasarnya terdapat berbagai macam jenis terjemahan, Newmark (1981 via Kardimin 2013: 56) membagi jenis-jenis terjemahan tersebut dengan bagan berikut:
Bagan 1
Pada bagan 4 ragam terjemahan dilihat dari keberpihakannya terhadap teks atau kepada pembacanya. Di antara beberapa jenis terjemahan tersebut, teradapat dua macam jenis yang saling bersinggungan dan memiliki kemungkinan untuk dibedakan dalam beberapa kasus, yaitu terjemahan semantis dan terjemahan komunikatif. Kardimin (2013: 57) memberikan contoh kasus di mana kedua 19
jenis terjemahan tersebut tidak bisa dibedakan, yaitu apabila struktur atau gaya bahasa teks BSu sama dengan gaya bahasa teks BSa, dan isinya bersifat umum seperti dalam kalimat berikut, Contoh: The young man is wearing a heavy light blue jacket (BSu) Sem./Komunikatif : Pemuda itu memakai jaket tebal berwarna biru muda Harfiah : Lelaki muda itu memakai jaket berat bim muda (Kardimin, 2013: 57) Namun apabila struktur atau gaya bahasa teks BSu tidak mempunyai padanan strukturnya pada BSa, maka dapat dilihat perbedaan antara kedua jenis tersebut, antara semantis dan komunikatif, pada terjemahan semantis gaya bahasa dipertahankan sedapat mungkin, sedangkan terjemahan komunikatif gaya bahasa diubah ke dalam struktur yang berterima pada BSu sekaligus luwes, sebab terjemahan komunikatif dituntun untuk menciptakan efek yang dialai oleh pembaca BSa, sehingga dalam terjemahan jenis ini tidak diperbolehkan adanya bagian terjemahan yang sulit dimengerti. Dengan demikian, dapat diasumsikan bahwa sebuah ragam terjemahan ditentukan berdasarkan kebutuhan atau tujuan kegiatan terjemahan tersebut. The new focus, however, has shifted from the form of the message to the response of the receptor. Therefore, what one must determine is to response of the receptor to the translated message. This response must then be compared with the way in which the original receptors presumably reacted to the message when it was given in its original setting (Nida and Taber, 1974: 1). Bagaimanapun, fokus barn telah bergeser dan bentuk pesan (fokus lama) ke respon penerima. Oleh karena itu, apa yang harus dipastikan adalah respon dari penerima terhadap pesan yang diterjemahkan. Tanggapan ini kemudian hams dibandingkan dengan bagaimana reaksi penerima asli terhadap pesan ketika itu diberikan dalam keadaan aslinya (Nida dan 20
Taber, 1974: 1). Yang diutamakan dalam kegiatan terjemahan adalah respon penerima pesan terhadap hasil terjemahan, melainkan bukan bentuk pesan yang disesuaikan dengan aslinya, oleh karena itu dibutuhkan ekuivalensi atau padanan terjemahan. Sebab padanan terjemahan menuntut tersampaikannya pesan seakurat mungkin pada pembaca dan mendapatkan respon yang seharusnya, dibandingkan mempertahankan bentuk. Ekuivalensi tidak hanya berlaku pada batasan leksikal, namun juga secara gramatikal. Kardimin (2013: 93) menjelaskan bahwa padanan gramatika dapat dicapai melalui strategi struktural. Strategi struktural yang dimaksud antara lain: (a) Penambahan (Addition); (b) Pengurangan (Subtraction); (c) Transposisi (Transposition). Kardimin juga mencotohkan bagaimana penerapan ketiga strategi tersebut melalui penerjamahan kalimat Bahasa Inggris sebagai BSu dan Bahasa Indonesia sebagai BSa dengan mengambil kata sandang tentu dan tak tentu sebagai subyeknya. Nida dan. Taber menuliskan bahwa gramatika juga memiliki makna. When one thinks of meaning, it almost inevitably in terms of words or idioms, for we generally take grammar for granted, since it seems to be merely a set of arbitrary rules about arrangements-rules that must be followed if one wants to be understood, but not rules that in themselves seem to have any meaning (Nida and Taber, 1974: 34). Saat seseorang berpikir mengenai makna, hampir bisa dipastikan tentang kata dan idiom, pada umumnya kita hanya berasumsi mengenai gramatika, karena gramatika hanya tampak seperti aturan-aturan arbitrer mengenai pembentukan (aturan yang seseorang harus taati jika ingin dimengerti), tapi bukan sebagai aturan yang di dalamnya memiliki makna tersendiri (Nida dan Taber, 1974:-34). Definisi dari makna gramatikal itu sendiri dijabarkan oleh Kridalaksana 21
(2011: 148) sebagai hubungan antara unsur-unsur bahasa dalam satuan-satuan yang lebih besar; ans. hubungan antara kata dengan kata lain dalam frase atau klausa. Makna gramatikal ini erat hubungannya dan dibutuhkan untuk mengidentifikasi PronRel dalam pencarian padanannya ke BSa. Arti suatu kata tugas ditentukan bukan oleh kata itu secara lepas, melainkan oleh kaitannya dengan kata lain dalam frasa atau kalimat. Dengan kata lain, pemadanan PronRel ini hanya dapat dilakukan dengan cara melihat kedudukannya sebagai suatu unsur gramatikal dan hubungannya dengan unsur gramatika lainnya dalam kesatuan sebagai kalimat majemuk bertingkat. Dalam suatu proses penerjemahan, pemadanan PronRel ini akan berada di beberapa tahapan. Pertama tahap analisis, khususnya pada saat decoding, penerjemah diharuskan mengerti kedudukan PronRel ini secara sintaksis dan semantis. Langkah awal tersebut akan membantunya untuk melakukan transfer dan mendapatkan padanan yang memiliki fungsi sintaksis dan semantis yang sama. Namun, dalam beberapa kondisi tertentu dapat dimungkinkan PronRel tersebut tidak ditemukan padanan yang memiliki fungsi sintaksis dan semantis yang sama sebagai PronRel. Contohnya, telah disinggung pada bagian Landasan Teori mengenai jenis-jenis PronRel dalam bI dan bP, dart penjabaran tersebut dapat diketahui bahwa PronRel bP memiliki jenis PronRel ganda, yang terdiri dari PronRel dan gabungan unsur gramatika preposisi, yaitu lequel dan variannya, sedangkan dalam bI tidak memiliki padanan dengan gabungan kedua unsur tersebut. Dalam analisis, dapat dimungkinkan ditemukannya padanan bentuk PronRel tersebut dari BSu ke BSa walau tidak mempertahankan unsur
22
pembentuknya, di lain sisi terdapat pula kemungkinan untuk berubah sama sekali seperti teori terjemahan yang diungkapkan Nida dan Taber. Kardimin (2013:80) menambahkan bahwa terdapat tiga strategi dasar yang berkenaan dengan masalah struktur, yaitu penambahan (addition), pengurangan (subtraction) dan transposisi (transposition). 1.7
Metodologi Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk menjelaskan
bagaimana pemadanan konjungsi dan kalimat majemuk berklausa relatif dari BSu ke dalam BSa. “Gaya” penelitian kualitatif berusaha mengkonstruksi realitas dan memahami maknanya (Somantri, 2005). Sehingga, penelitian kualitatif biasanya sangat memperhatikan proses, peristiwa dan otentisitas. Memang dalam penelitian kualitatif kehadiran nilai peneliti bersifat eksplisit dalam situasi yang terbatas, melibatkan subjek dengan jumlah relatif sedikit. Dengan demikian, hal yang umum dilakukan ia berkutat dengan analisis tematik. Analisisi tematik yang dimaksud bersifat deduktif (theory driven) yaitu analisis berdasarkan teori dan atau penelitian sebelumya. Dalam penelitian kali ini, digunakan novel La Peste karya Albert Camus yang menceritakan serangan hama pes di Aljazair pada tahun 1940an. Adapun metode pengumpulan data dan metode analisis data adalah sebagai berikut: a) Metode pengumpulan data Pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan kalimat majemuk bertingkat yang mengandung PronRel, dan yang klausa bawahannya berbentuk klausa relative. Data yang telah terkumpul kemudian dikelompokkan masing-
23
masing berdasarkan jenis PronRelnya yaitu , qui, que, où, dont dan lequel. b) Metode analisis data Dari data yang telah dikelompokkan, data kemudian dianalisis dengan menjabarkan masing-masing kalimat menggunakan fungsi sintaksis. Data yang telah terklasifikasi, dikelompokkan kembali berdasarkan adanya perubahan atau deviasa yang ditemukan atau tidak setelah dipadankan dengan kalimat terjemahan. Dari pengelompokkan kedua tersebut, kemudian akan diketahui pola perubahan. Untuk memastikan bahwa telah terjadi perubahan, terutama saat kalimat terebut berubah jenisnya digunakan teori X-bar sebagai acuan. Daalm setiap analisis kalimat data, akan disertai terjemahan secara harafiahnya, yang ditandai dengan indeks angka setiap pemisahan kata berdasarkan fungsi sintaksis. Misalkan, terdapat fungsi (S1) memiliki arti bahwa kata tersebut menduduki fungsi S pada klausa utama, sedangkan indeks angka (...2) dan seterusnya menandakan bahwa kata tersebut merupakan klausa bawahan. 1.8
Sistematika Penulisan Penelitian ini ditulis dalam 3 Bab utama. Bab 1 berisi latar belakang,
rumusan masalah, tujuan penulisan penelitian, tinjauan pustaka dan landasan teori yang digunakan sebgai acuan dan pendekatan dalam penulisan. Bab 2 berisi data dan analisisnya. Dalam bab 2 ini akan terbagi menjadi beberapa sub-bab berdasarkan jenis PronRel dengan tujuan penulisan yang lebih sistematis dan efisien. Serta bab 3 berisi kesimpulan dari analisis.
24