BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Program pemberdayaan masyarakat miskin telah banyak dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat yang ditujukan kepada individu atau masyarakat melalui program-program pemerintah baik yang dilakukan oleh Depdiknas, Depnaker, Depsos dan sebagainya. Program pendidikan nonformal merupakan salah satu program yang banyak dipilih untuk memberdayakan masyarakat yang tujuannya memberikan ketrampilan maupun pelatihan kepada masyarakat miskin agar mereka dapat menggunakan ketrampilannya untuk mensejahterakan kehidupannya. Program pendidikan nonformal banyak dilakukan pada masyarakat baik yang dilakukan oleh sanggar kegiatan belajar masyarakat, PKBM, dan lembaga kursus dan pelatihan yang banyak tumbuh di masyarakat. Lembaga kursus dan pelatihan merupakan lembaga pendidikan nonformal yang sangat berperan dalam memberikan layanan pengetahuan ketrampilan dan sikap bagi masyarakat serta merupakan salah satu aspek yang sangat strategis dalam mendukung program kemiskinan dan pengangguran, hal ini didukung oleh jumlah lembaga kursus dan pelatihan yang mencapai kurang lebih 16008 LKP di Indonesia dengan berbagai jenis ketrampilan dan ini merupakan kekuatan yang sangat besar dalam mendukung pemerintah untuk mewujudkan pengentasan kemiskinan dan pengangguran.
1
Tangguangjawab dalam mensejahterakan masyarakat pada dasarnya bukan saja merupakan beban pemerintah selaku penyelenggara Negara, namun juga menjadi tanggungjawab bersama antara pemerintah, masyarakat maupun pihak swasta, oleh karena itu pendekatan kemitraan dalam upaya memberdayakan masyarakat merupakan sesuatu yang diidealkan. Dalam konsep kemitraan terdapat kondisi yang menjamin adanya proses kesejajaran dan keseimbangan peran antara pemerintah, masyarakat dan swasta artinya pemerintah memberikan rambu dan aturan main secara umum baik peranannya dalam membuat kebijakan maupun pendanaan. Masyarakat diberi hak untuk mengelola sumber daya dalam rangka melaksanakan pembangunan, dan swasta memberikan energi dalam program pemberdayaan melalui investasi swasta. Konsep kemitraan muncul karena banyaknya masalah dalam pendekatan pembangunan pada masa yang lalu yang sifatnya top-down yang memposisikan pemerintah sebagai faktor dominan dan membiarkan sikap acuh tak acuh pihak swasta dalam memberdayakan kaum lemah. Proses kesejajaran dalam kemitraan antara pemerintah, swasta dan masyarakat dalam penyelenggaraan program pendidikan kecakapan hidup (life skill) bidang menjahit di Kota Yogyakarta akan sangat menentukan keberhasilan program ini, sehingga perlu diketahui peran pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha dalam pelaksanaan program ini seperti apa. Program pendidikan kecakapan hidup bidang menjahit sebagai salah satu program yang bertujuan mengurangi pengangguran dan kemiskinan telah
2
lama dilakukan namun hasil yang dilihat belum bisa dirasakan secara nyata karena apabila dilihat tujuan diadakannya program ini adalah mengurangi pengangguran dan kemiskinan. Pengangguran terbuka di DIY berdasarkan hasil survai Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) menunjukan bahwa tingkat pengangguran terbuka (TPT) di DIY pada Agustus 2009 sebesar 6%, Februari 2010 6,02%, Agustus 2010 5,69%. Apabila dilihat variasai TPT antar kabupaten atau kota di Propinsi DIY, Kota Yogyakarta mempunyai angka tertinggi dibandingkan dengan kabupaten lainnya yaitu 7,41% dan yang terendah Kabupaten Gunung Kidul 4,04%. Apabila dilihat dari masalah kemiskinan menurut Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 782/KEP/2010 tentang Penetapan Data Keluarga Miskin Kota Yogyakarta Tahun 2010 bahwa jumlah Kepala Keluarga (KK) miskin sebanyak 20.456 KK terdiri atas hampir miskin 9.471 KK, miskin 10.484 KK dan fakir miskin 501 KK. Kondisi ini lebih baik apabila dibanding tahun 2009, yaitu jumlah KK miskin sebanyak 21.228 KK, terdiri atas hampir miskin 10.112 KK, miskin 10.577 KK dan fakir miskin 539 KK. Penduduk miskin tahun 2010 sebanyak 65.371 jiwa, hampir miskin 30.267 jiwa, miskin 33.393 jiwa, fakir miskin 1.711 jiwa. Jumlah ini menurun apabila dibandingkan penduduk miskin pada tahun 2009 yaitu 68.998 jiwa dengan rincian hampir miskin 32.997 jiwa, miskin 34.152 jiwa, dan fakir miskin 1.849 jiwa. Penduduk yang dapat dicakup dalam program jaminan kesehatan daerah (Jamkesda) sebanyak 8.938 jiwa penduduk miskin dan 37.977 penduduk
3
rentan miskin. Adapun yang dapat dicakup dalam jaminan pendidikan daerah sebanyak 15.565 siswa (LKPJ, 2010). Berdasarkan kenyataan tersebut langkah-langkah strategis melalui pengembangan
program
yang
secara
langsung
dapat
mengurangi
pengangguran telah dipilih dan salah satunya dengan melaksanakan program pendidikan kecakapan hidup (life skill) khususnya bidang menjahit yang dilaksanakan oleh Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta melalui Dinas Pendidikan nonformal. Sehubungan dengan hal tersebut Direktorat Pembinaan Kursus dan Pelatihan pada tahun 2011 telah memprogramkan, melanjutkan dan memperkuat pelayanan pendidikan kecakapan hidup bagi warga putus sekolah, mengganggur dan kurang mampu atau miskin. Penyelenggaraan program pendidikan kecakapan hidup merupakan upaya nyata untuk mendidik dan melatih warga masyarakat agar menguasai bidang-bidang ketrampilan sesuai dengan kebutuhan, bakat, minat dan peluang kerja atau usaha mandiri yang dapat dimanfaatkan untuk bekerja baik di sektor formal maupun informal. Pada hematnya keberhasilan sistem pendidikan dapat dilihat dari kemampuan lulusannya menggunakan hasil pendidikan untuk hidup. Oleh karena itu sistem pendidikan yang baik seharusnya mampu memberikan bekal bagi lulusannya untuk menghadapi kehidupan atau memberikan life skills pada peserta didik. Logikanya semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka
4
semakin tinggi pula peran yang dapat dimainkannya dalam kehidupan di masyarakat. Pendidikan nonformal dipandang sangat efektif untuk membantu mengatasi berbagai permasalahan yang melilit bangsa Indonesia antara lain besarnya angka pengangguran akibat tenaga kurang terampil. Salah satu langkah yang amat penting dalam mewujudkan masyarakat terdidik adalah menerapkan program pendidikan kecakapan hidup atau life skill yang mempunyai misi: 1) mengentaskan pengangguran dan kemiskinan diperkotaan/pedesaan, 2) memberdayakan masyarakat pedesaan/perkotaan, 3) mengoptimalkan daya guna dan hasil guna potensi dan peluang kerja yang ada, 4) meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui kegiatan kursus dan pelatihan sehingga memiliki bekal untuk bekerja atau usaha mandiri. Permasalahannya program pendidikan kecakapan hidup atau life skill terutama bidang menjahit yang diterapkan untuk mengatasi permasalahan kurangnya tenaga terdidik belum terlihat hasilnya dan pengalaman di lapangan menunjukan bahwa warga belajar yang telah mengikuti program ini masih belum mendapatkan status pekerjaan yang memadai sesuai tujuan penerapan program ini karena banyak warga belajar yang tidak masuk dalam bursa tenaga kerja diperusahaan maupun yang dapat berwirausaha secara mandiri. Penelitian-penelitian terdahulu tentang keberhasilan pendidikan kecakapan hidup telah dilakukan misalnya, Zainudin (2002:132) dalam tulisannya tentang Pengelolaan PKBM mengatakan bahwa pengelolaan PKBM termasuk lembaga kursus mempunyai perbedaan antara harapan dan kenyataan bahwa
5
dengan semakin pesatnya jumlah PKBM dan lembaga kursus namun tidak diikuti meningkatnya jumlah masyarakat yang terlayani dan belum mengukir prestasi. Demikian pula
tulisan
Suminar
(2007:82)
mendiskripsikan
pertumbuhan PKBM dan lembaga kursus masih bersifat kuantitas belum dibarengi kualitas karena rendahnya mutu input, mutu proses dan mutu output. Hal senada juga dikemukakan dalam penelitian Bitasari (2006) dan Ermy (2007) di Semarang yang mengatakan bahwa Pengelolaan Pembelajaran Program Pendidikan di PKBM telah menerapkan pendekatan andragogy dengan cukup baik namun tujuan pendidikan yang berorientasi pada pengembangan aspek ekonomi dalam hal ini mendapatkan penghasilan dan pekerjaan belum tercapai dengan baik. LKP sebagai wadah pembelajaran masyarakat yang tumbuh dan berkembang dari oleh dan untuk masyarakat sebetulnya sangat potensial menjadi salah satu media untuk mengatasi permasalahan di atas karena tugas LKP adalah memberikan layanan pendidikan masyarakat. Tetapi untuk mencapai tujuan program Pendidikan Kecakapan Hidup ini banyak hal yang terkait diantaranya menyangkut mentalitas masyarakat yang diberdayakan, pelaksanaan programnya, dukungan pemerintah, keterlibatan dunia usahadan sebagainya, maka hanya lembaga kursus atau LKP yang memiliki kemampuan membangun jaringan kemitraan yang baik dan sesuai dengan tujuan program pendidikan life skill ini dapat terselenggara secara optimal. Jaringan kemitraan sangat penting untuk dibangun karena untuk mengatasi persoalan pemberdayaan masyarakat merupakan tanggungjawab bersama antara pemerintah, pihak
6
swastadan masyarakat melalui mekanisme kemitraan yang serasi, selaras dan seimbang dan untuk memecahkan masalah pengangguran dan kemiskinan tersebut perlu dilihat kontribusi masing-masing aktor yaitu pemerintah, swasta dan masyarakat sehingga terbentuk model kemitraan yang dilaksanakan.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah : Bagaimana kemitraan yang dilaksanakan oleh LKP Ar-Rum, LKP Modisa dan LKP Yogya Design School dan model kemitraannya dalam pelaksanaan pendidikan kecakapan hidup (life skill) bidang menjahit.
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut : 1. Mediskripsikan kemitraan yang dilaksanakan oleh lembaga kursus dan pelatihan dalam hal ini LKP Ar-Rum, LKP Modisa dan LKP Yogya Design School baik kemitraan dengan pemerintah maupun Dunia Usaha melalui peran yang dilaksanakan dalam pendidikan kecakapan hidup (life skill ) bidang menjahit.. 2. Mengetahui model kemitraan yang dilaksanakan oleh LKP Ar-Rum, LKP Modisa dan LKP Yogya Design School baik kemitraan dengan pemerintah maupun swasta.
7
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada penyelenggara LKP dalam merencanakan, melaksanakan dan pencapaian tujuan program pendidikan life skill bidang menjahit terutama tentang kemitraan yang dilaksanakan melalui peran pemerintah, peran swasta dan peran masyarakat dalam pelaksanaan program ini agar dapat berjalan sesuai tujuan diadakannya program ini. Masukan kepada pemerintah terkait dengan pelaksanaan program ini terutama berhubungan dengan kemitraan yang dilaksanakan LKP di lapangan termasuk bagaimana partisipasi masyarakat dan masukan untuk pihak swasta atau dunia usaha tentang pelaksanaan program life skill bidang menjahit agar mempunyai tujuan yang sama dalam pelaksanaan program ini.
E. Landasan Teori 1. Kemitraan Kemitraan dalam masyarakat Indonesia merupakan hal yang tidak asing karena dalam kehidupan sehari-hari kita mengenal gotong royong, partisipasi masyarakat dan sebagainya. Dalam manajemen modern baik dalam pengembangan sumberdaya manusia maupun pengembangan kelembagaan kemitraan merupakan salah satu strategi yang biasa ditempuh untuk mendukung keberhasilan implementasi manajemen modern. Kemitraan tidak sekedar diterjemahkan sebagai sebuah kerjasama, akan tetapi memiliki pola strategis dalam mewujudkan keberhasilan suatu
8
lembaga dalam menerapkan manajemen modern. Dalam implementasinya kemitraan dibutuhkan kesepahaman pengelolaan program, strategi pengembangan program antara lembaga yang bermitra. Dalam uraian tentang kemitraan ini akan diuraikan tentang : a. Pengertian Kemitraan Kemitraan pada dasarnya telah lama dikenal pada masyarakat kita, istilah gotongroyong misalnya termasuk dalam kegiatan kerja sama. Istilah kemitraan menurut Notoatmojo (2003: 107) adalah kerjasama formal antara individu-individu, kelompok atau organisasi untuk mencapai tujuan tertentu. Sedangkan pendapat lain tentang kemitraan misalnya dari Promkes Depkes RI (2004: 112.) mengatakan bahwa : 1)
Kemitraan mengandung pengertian adanya interaksi dan interelasi minimal dua pihak atau lebih dimana masing-masing pihak merupakan mitra atau partner.
2)
Kemitraan adalah upaya melibatkan berbagai komponen baik sektor, kelompok masyarakat, lembaga pemerintah atau non pemerintah
untuk
bekerjasama
mencapai
tujuan
bersama
berdasarkan atas kesepakatan, prinsip dan peran masing-masing. Kemitraan pada dasarnya merupakan salah satu strategi yang ditempuh dalam mendukung keberhasilan pengembangan sumberdaya maupun kelembagaan, dalam kemitraan dibutuhkan kesepemahan pengelolaan program, kesepemahan pengembangan program antara
9
lembaga yang bermitra. Kemitraan dapat dilakukan dalam transfer teknologi, transfer pengetahuan/ketrampilan, transfer sumberdaya, transfer cara belajar dan sebagainya. b. Prinsip Kemitraan Ada beberapa prinsip yang perlu dipahami dalam membangun suatu kemitraan yaitu: 1) Prinsip Kesetaraan (Equity) Yaitu individu, organisasi atau institusi yang telah bersedia menjalin kemitraan harus merasa sama atau sejajar kedudukannya dengan yang lain dalam mencapai tujuan yang disepakati. 2) Prinsip Keterbukaan Keterbukaan terhadap kelebihan dan kelemahan masingmasing anggota dan berbagai sumberdaya yang dimiliki. Semua harus diketahui oleh anggota lain sehingga dengan keterbukaan ini akan menimbulkan saling melengkapi dan membantu diantara yang bermitra. 3) Prinsip Azas Manfaat Bersama Organisasi atau institusi yang telah menjalin kemitraan memperoleh manfaat dari kemitraan yang terjalin sesuai dengan kontribusi masing-masing c. Langkah Kemitraan Kemitraan pada dasarnya memberikan nilai tambah kekuatan pada masing-masing sektor untuk melaksanakan visi dan misinya
10
namun kemitraan juga memerlukan persyaratan dalam langkahlangkah kemitraan yaitu: (1) pengenalan masalah, (2) seleksi masalah, (3) melakukan identifikasi calon mitra dan pelaku potensial, (4) melakukan identifikasi peran mitra atau jaringan kerjasama antar sesama mitra dalam upaya mencapai tujuan melalui kesepakatan kedua belah pihak tentang tanggung jawab masing-masing, (5) menyususn rencana kerja dan evaluasi. Syarat untuk membentuk kemitraan ada beberapa yang perlu diperhatikan, yaitu: 1) Adanya dua belah pihak atau lebih 2) Memiliki kerjasama dalam mencapai visi dan tujuan 3) Adanya kesepakatan 4) Saling membutuhkan Sedangkan aspek yang dimitrakan adalah sebagai berikut: 1) Program Kegiatan Penyelenggaraan kegiatan bersama dengan lembaga yang bermitra untuk merancang program kegiatan pada pelaksanaan paling tidak ada tiga kemungkinan. a) Bentuk Kerjasama Dalam melaksanakan kegiatan setiap program dilaksanakan, dikelola secara bersama b) Pengelolaan Program Sebuah lembaga dalam melakukan pengelolaan program kegiatan atau melaksanakan seluruh kegiatan dapat dikelola secara bersama antara pihak yang bermitra. 11
2) Sarana dan Prasarana Sarana dan prasarana kegiatan dapat dimitrakan dalam bentuk kemitraan, misalnya: kemitraan dalam peralatan, bahan, ruang, dana dan sebagainya. Kemitraan dapat dilakukan secara timbal balik antar lembaga. 3) Tenaga Kemitraan dengan menggunakan tenaga yang memadai, yang dimiliki oleh sebuah lembaga dapat dijadikan asset untuk didayagunakan oleh lembaga yang bermitra d. Model Kemitraan Model kemitraan secara umum menurut Notoadmodjo (2007: 67) adalah sebagai berikut: 1) Model kemitraan yang paling sederhana adalah bentuk jaringan kerja yaitu kemitraan dimana masing-masing memiliki programprogram tersendiri, dan kemitraan terjadi karena adanya persamaan pelayanan. 2) Model jaringan bersama yaitu kemitraan dimana setiap mitra memiliki tanggung jawab yang lebih besar terhadap program bersama, visi misi dan kegiatan dalam mencapai tujuan direncanakan, dilaksanakan dan dievaluasi bersama. Model kemitraan tersebut bersifat umum yang dilakukan dalam
bidang
apapun,
sedangkan
kemitraan
dalam
upaya
pemberdayaan masyarakat dapat dilihat pada model kemitraan yang
12
dilakukan oleh pemerintah, masyarakat dan swasta dengan mengadopsi konsep good governance yang memberikan tanggungjawab dalam upaya memberdayakan masyarakat kepada pemerintah, masyarakat dan swasta. Kemitraan dalam hal ini terkait dengan upaya pemberdayaan masyarakat
yang
secara
konseptual
diartikan
sebagai
upaya
menciptakan atau meningkatkan kapasitas masyarakat, baik secara individu maupun kelompok, dalam memecahkan berbagai persoalan yang terkait dengan peningkatan kualitas hidup, kemandirian dan kesejahteraannya dan pemberdayaan masyarakat ini terkait dengan keterlibatan lebih besar dari pemerintah dan berbagai pihak dalam hal ini swasta dan lembaga yang tumbuh di dalam masyarakat untuk memberikan kesempatan dan menjamin keberlanjutan dari hasil yang ingin dicapai. Model kemitraan dalam pemberdayaan menurut Ambar T (2004: 101) diilhami oleh fenomena biologis yang mana kemitraan dibedakan menjadi: 1) Pseudo partnership atau kemitraan semu yaitu persekutuan yang terjadi antara dua pihak atau lebih namun tidak sesungguhnya melakukan kerjasama secara seimbang satu dengan lainnya. Bahkan salah satu pihak belum tentu memahami secara benar akan makna sebuah kerjasama yang dilakukan tetapi dalam model ini masingmasing pihak yang bersekutu merasa penting untuk bekerja sama,
13
tetapi pihak-pihak yang bermitra belum mengetahui substansi yang diperjuangkan dan manfaatnya. 2) Mutualism Partnership atau kemitraan mutualistik yaitu merupakan persekutuan dua pihak atau lebih yang sama-sama menyadari aspek pentingnya melakukan kemitraan yaitu saling memberikan manfaat dan mendapatkan manfaat lebih sehingga dapat mencapai tujuan secara optimal. Pemahaman akan nilai melakukan kemitraan dua agen organisasi atau lebih yang melakukan kemitraan manfaat saling silang dapat diperoleh sehingga dapat memudahkan masing-masing dalam mewujudkan visi dan misinya dan menunjang satu sama lain. 3) Conjugation partnership atau kemitraan melelui peleburan yaitu organisasi/agenatai
individu
atau
kelemahan
yang
memiliki
kelemahan bekerjasama dalam rangka meningkatkan kemampuan masing-masing. Model kemitraan yang lain dikembangkan atas dasar azas kehidupan organisasi pada umumnya yang mencakup: 1) Subordinate union of partnership yaitu kemitraan semacam ini terjadi antara dua pihak atau lebih yang mempunyai status, kemampuan dan kekuatan yang tidak seimbang satu dengan yang lain. Dengan demikian hubungan yang tercipta tidak berada dalam suatu garis lurus yang seimbang satu dengan yang lainnya, melainkan berada pada hubungan atas bawah, kuat lemah. Oleh
14
karena itu kondisi ini mengakibatkan tidak ada sharing pada peran dan fingsi yang tidak seimbang. 2) Linear union of partnership adalah kemitraan dengan melalui penggabungan pihak-pihak secara linear atau garis lurus sehingga pihak yang bergabung melakukan kerjasama antar organisasi yang memiliki persamaan secara relatif dan kesamaan tersebut berupa tujuan atau misi, status, legalitas dan sebagainya. 3) Collaborative of partnership yaitu kemitraan yang melalui kerjasama secara linear dalam hal ini tidak membedakan besaran volume organisasi, status, legalitas atau kekuatan para pihak yang bermitra tetapi yang menjadi tekanan utama adalah visi, misi dan saling mengisi satu sama lainnyam sehingga dalam kemitraan ini terjalin secara linear yaitu berada pada garis lurus dan tidak terjadi subordinasi.
2. Kemitraan dalam Pemberdayaan Masyarakat Kemitraan dalam upaya pemberdayaan masyarakat sangat erat hubungannya dengan good governance dipandang sebagai suatu pendekatan yang relevan. Pengertian tentang good governance seperti yang disampaikan oleh Thoha dalam Sulistyani (2003: 21) adalah suatu tata pemerintahan yang baik yang merupakan suatu kondisi yang menjamin adanya proses kesejajaran, kesamaan, kohesi, dan keseimbangan peran serta, adanya saling mengontrol yang dilakukan oleh pemerintah
15
(government), rakyat (citizen) atau civil society dan usahawan (business) yang berada pada sektor swasta artinya ketiga komponen tersebut mempunyai hubungan yang sama atau sederajad. Hubungan yang sinergis antara masyarakat, pemerintah dan swasta menjadi bagian penting dalam good governance dimana pemerintah diposisikan sebagai fasilitator dan katalisator sedangkan tugas pembangunan menjadi tanggung jawab semua komponen. Negara, dunia usaha dan masyarakat, merupakan bentuk ideal yang ingin diwujudkan yaitu kemitraan antara pemerintah, masyarakat dan swasta dengan demikian konsep good governance merujuk pada tiga pilar utama yaitu public governance, corporate governance dan civil society. Dalam rangka menciptakan good governence maka kedekatan antara unsur pemerintah, unsur swasta dan masyarakat perlu diberikan peran dalam kemitraan yang setara kepada tiga aktor pembangunan tersebut. Pemerintah lebih transparan dalam mengembangkan kepemimpinan yang partisipatif, swasta mampu memberikan kontribusi dalam memberikan enerji untuk melaksanakan pemberdayaan bersama pemerintah dan masyarakat, hendaknya mampu memanfaatkan peluang untuk memberikan peran aktif melalui partisipasi yang koheren. Sejak pemerintahan orde baru upaya meningkatkan kemampuan masyarakat juga dilakukan, namun tidak sepenuhnya memiliki kontribusi dalam pemberdayaan. Pembentukan kemampuan atau daya didalam
16
masyarakat seringkali dikaitkan dengan konteks penyelenggaraan pembangunan nasional dan daerah. Pemaknaan pendekatan dari pemerintah, oleh pemerintah untuk pemerintah dalam pembangunan masyarakat adalah : a. Datangnya
ide,
rencana
pembangunan
dan
sekaligus
proses
perencanaan dan penetapan keputusan datangnya dari pemerintah tanpa melibatkan masyarakat. b. Implementasi
kebijakan
pengembangan
juga
dilakukan
oleh
pemerintah, tanpa melibatkan aktor masyarakat misalnya para profesional, ormas dan sebagainya sehingga masyarakat hanya sebagai sasaran pembangunan dan tidak mempunyai andil kecuali menerima sesuatu yang diinginkan pemerintah. Pendekatan
pembangunan
tersebut
ternyata
tidak
mampu
menghasilkan legitimasi keberdayaan masyarakat yang sesungguhnya. Akhirnya pendekatan tersebut digantikan pendekatan pembangunan dari pemerintah bersama rakyat untuk rakyat yang pemaknaannya adalah : a. Datangnya ide dan perencanaan dilakukan pemerintah bersama masyarakat. Tetapi pada kenyataannya ide berupa input, permintaan bisa datang dari masyarakat tetapi terbentuknya kebijakan seringkali sudah dikendalikan dari pusat. b. Pelaksanaan kebijakan pembangunan dilakukan bersama antara pemerintah dengan masyarakat tetapi pada pelaksanaannya masih
17
selektif atau terbatas karena masih ada katub-katub yang mengatur secara formal. c. Intervensi pemerintah masih kental. Dari kebijakan tersebut telah mencerminkan kemitraan tetapi masih belum melibatkan pihak swasta untuk tanggunga jawab sosialnya dalam pengertian luas, sehingga dilontarkan pendekatan lainnya dengan pemaknaan sebagai berikut : 1)
Datangnya ide dan perencanaan pembangunan hendaknya dilakukan oleh masyarakat dengan mempertimbangkan aspek lokal yang bersifat kasusistik, pemerintah memberikan fasilitas konsultasi, informasi data, anggaran dan tenaga ahli yang dibutuhkan.
2)
Masyarakat mengimplementasikan sendiri apa yang telah direncanakan dengan fasilitas pemerintah, baik berupa anggaran, tenaga ahli, teknologi dan sebagainya.
3)
Kemanfaatan hasil pembangunan untuk masyarakat dan sekaligus manajemen hasil pembangunan juga dilakukan dalam sistem sosial masyarakat dimana mereka tinggal. Selain peran pemerintah dan masyarakat peran swasta juga
penting
dilibatkan
dalam
kemitraan
ini
terutama
dari
segi
operasionalisasi atau implementasi kebijakan kontribusi pemanfaatan tenaga terampil maupun sumbangan dana maupun teknologi. Pendekatan pemberdayaan masyarakat yang demikian diharapkan
18
dapat memberi peran kepada individu maupun kelompok masyarakat untuk ikut menentukan masa depannya. Sedangkan menurut Kartasasmita (1996) dalam Lucie Setiana (2005: 6) pada dasarnya pemberdayaan masyarakat adalah upaya meningkatkan harkat dan martabat masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu melepaskan diri dari kemiskinan dan keterbelakangan, dengan kata lain memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat. Sedangkan menurut Korten (1987) dalam Soetomo (2006: 404) pemberdayaan dipahami sebagai kemampuan untuk mengubah kondisi masa depan melalui tindakan dan pengambilan keputusan. Untuk mencapai kondisi kemandirian masyarakat sesuai dengan konsep tersebut maka pengembangan potensi masyarakat dan peran serta
pemerintah
yang
mampu
memobilisasi
sumberdaya
masyarakatnya serta pihak-pihak lain yang terlibat akan dapat mewujudkan masyarakat yang mandiri tidak lagi sebagai obyek pembangunan atau penerima manfaat saja tetapi diharapkan dapat sebagai subyek pembangunan atau sebagai motor penggerak pembangunan. Hal ini juga sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Montagu & Matson dalam Supriyatna dalam Dehumanization of Man yang mengusulkan konsep The Good Community and Competency yang meliputi sembilan konsep komunitas yaitu :
19
1) Setiap anggota masyarakat berinteraksi satu sama lain berdasarkan hubungan pribadi adanya kelompok primer. 2) Komunitas
mempunyai
otonomi
yaitu
kewenangan
dan
kemampuan untuk mengurus kepentingannya sendiri secara bertanggung jawab. 3) Memiliki visibilitas yaitu memecahkan masalah mereka sendiri. 4) Distribusi kekuasaan merata sehingga setiap orang berkesempatan riil bebas memiliki dan menyatakan kehendaknya. 5) Kesempatan setiap anggota masyarakat untuk berpartisipasi aktif untuk kepentingan bersama. 6) Komunitas memberi makna kepada anggota. 7) Adanya hiterogenitas dan beda pendapat 8) Pelayanan masyarakat ditempatkan sedekat dan secepat yang berkepentingan 9) Adanya manajemen konflik Uraian tersebut dimaksudkan untuk upaya memberdayakan masyarakat yang mempunyai posisi lemah secara menyeluruh sehingga
pemberdayaan
keseluruhan,
namun
ditujukan
kemungkinan
pada
target
terjadi
pula
group yang
secara perlu
diberdayakan adalah hanya sebagian masyarakat saja misalnya masyarakat miskin kota.
20
Apabila pemberdayaan masyarakat ditinjau dari tahapan pemberdayaan meliputi : 1) Tahap penyadaran dan pembentukan perilaku menuju perilaku sadar dan peduli sehingga merasa membutuhkan peningkatan kapasitas diri. 2) Tahap tranformasi kemampuan berupa wawasan pengetahuan, kecakapan ketrampilan agar terbuka wawasan dan memberikan ketrampilan
dasar
dan
dapat
mengambil
peran
dalam
pembangunan. 3) Tahap
peningkatan
kemampuan
intelektual,
kecakapan
ketrampilan sehingga terbentuk inisiatif dan kemampuan inovatif untuk mengantarkan kemandirian. Dalam pemberdayaan masyarakat, masyarakat akan berproses secara bertahap dalam waktu yang tidak singkat dan harus memperhatikan setiap tahap. Menurut Soemodiningrat dalam Ambar Teguh Sulistyani (2004:85) pemberdayaan masyarakat meliputi afeksi, kognisi, psikomotor, dan konasi yang akan berbanding lurus satu sama lain, seperti pada tabel berikut ini :
21
Tabel 1.1 Tahapan Pemberdayaan Tahapan Tahapan Afektif Kognitif Belum merasa Belum sadar & peduli memiliki wawasan pengetahuan Tumbuh rasa Menguasai kesadaran & pengetahuan kepedulian dasar Memupuk Mengembang semangat kan dasar kesadaran & pengetahuan kepedulian Merasa Mendalami membutuhkan pengetahuan kemandirian pada tingkat yang lebih tinggi
Tahapan Psikomotorik Belum memiliki keterampilan dasar
Tahapan Konatif Tidak berperilaku membangun
Menguasai keterampilan
Bersedia terlibat dalam pembangunan Mengembangkan Berinisiatif untuk keterampilan mengambil peran dasar dalam pembangunan Mempercayai Berposisi secara variasi mandiri untuk keterampilan membangun diri dan lingkungan
Dari tabel tersebut menganut pola pikir linier yaitu apabila masyarakat atau individu berada pada tahap pertama afeksinya maka aspek yang lain juga pada aspek pertama dan seterusnya.
3. Peran Tiga Aktor dalam Pemberdayaan Masyarakat Kontribusi masing-masing aktor yaitu pemerintah, swasta, dan masyarakat sehingga terbentuk model kemitraan yang diharapkan menurut Ambar Teguh Sulistyani (2004: 97) dapat dilihat pada tabel berikut ini :
22
Tabel 1.2 Peran Tiga Aktor dalam Pemberdayaan Masyarakat Aktor Pemerintah
Peran dalam Pemberdayaan Formulasi dan Penetapan Policy, Implementasi Monitoring dan evaluasi Mediasi
Bentuk Output Peran
Kebijakan : Politik, Umum, Khusus/ Departemental/ Sektoral Penganggaran, Juknis dan Juklak, Penetapan indikator keberhasilan Peraturan Hukum, penyelesaian sengketa Swasta Kontribusi oada Konsultasi & formulasi, Rekomendasi implementasi, kebijakan, tindakan dan monitoring dan langkah/ policy action evaluasi implementasi, donatur, private investment pemeliharaan Masyarakat Partisipasi Saran, input, kritik, dalam formulasi, rekomendasi, implementasi, keberatan, dukungan monitoring dan dalam formulasi evaluasi kebijakan.Policy action, dana swadaya manjadi obyek, partisipan, pelaku utama/ subyek Menghidupkan fungsi sosial kontrol
Fasilitasi Dana, jaminan alat, teknologi, network, sistem manajemen informasi, edukasi Dana, alat, teknologi, tenaga ahli dan sa ngat terampil
Tenaga terdidik, tenaga terlatih, setengah terdidik dan setengah terlatih
Berdasarkan pemetaan peran tiga aktor dalam tabel diatas, pemerintah lebih banyak berperan pada penentuan rambu-rambu dan aturan main secara umum. Peran pemerintah yang paling menonjol sesungguhnya terletak pada peran pengambilan keputusan dan pendanaan. Namum mengingat adanya kemungkinan terjadi sengketa di dalam 23
perjalanan pembangunan tersebut maka diperlukan peran mediasi, terutama untuk mengontrol peran swasta supaya berjalan wajar tidak merugikan masyarakat. Hal ini harus diperhitungkan dan dibuat langkah antisipasi,
karena
seringkali
setelah
implementasi
kebijakan
pembangunan, swasta dapat berbelok, dengan berpihak pada kepentingan profitabilitas ketimbang kemaslahatan. Jika kondisi semacam ini sangat dominan, berarti bentuk kemitraan yang dijalin telah tercemar, dan harus dilakukan langkah perbaikan. Apabila proses mediasi ini tidak berhasil, pemerintah dapat mencabut atau mangalihkan peran swasta pada badan swasta lainnya, atau bahkan dengan memberikan sanksi tertentu. Mengingat bentuk peran pemerintah sebagaimana tersebut diatas maka fasilitasi yang diberikan oleh pemerintah adalah berupa fasilitasi kebijakan, pendanaan. Fasilitasi pendanaan biasanya berupa investasi publik (public investment), penyediaan sistem informasi yang baik dan program edukasi masyarakat yang tepat. Untuk menjaga kualitas hasil, pemerintah sebaiknya juga menetapkan pola monitoring dan evaluasi yang jelas, dan berkelanjutan. Program yang sudah dilakukan oleh pemerintah periode sebelumnya hendaknya dapat dipelihara, dimonitor oleh pemerintah berikutnya. Dengan demikian tanggung renteng akan berjalan terus, tanpa memperdulikan telah berapa kali pergantian kepemimpinan berlangsung. Menurut pengalaman program-program pembangunan hanya berumur pendek yaitu sesuai dengan umur proyek. Apabila proyek selesai maka
24
hasil pembangunan tidak pernah dipantau dan diurusi. Sebenarnya disinilah kekeliruan yang telah banyak dilakukan dalam sistem pembangunan. Semestinya transisi kepemimpinan selalu mengagendakan pelimpahan tanggung renteng, atas program-program yang telah dilakukan. Dengan demikian program tersebut tetap hidup dan memberi kemaslahatan yang semakin besar secara generatif. Dalam rangka memudahkan pemeliharaan hasil-hasil pembangunan, menjaga kualitas dan tanggungjawab bermitra hendaknya pemerintah menyusun dan menetapkan kriteria evaluasi, pada setiap program pembangunan, dan kriteria yang dibangun tersebut dikosultasikan, didiskusikan dengan pihak masyarakat “yang memiliki kompetensi/ profesi relevan”. Swasta mengambil peran lebih banyak pada implementasi penentuan langkah/policy action bersama masyarakat. Peran demikian perlu ditekankan, supaya terjadi variasi analisis berdasarkan kondisi khusus dan bersifat kasuistik di tingkat daerah. Dengan demikian pemberdayaan yang dilakukan akan lebih mendekati kebutuhan lokal. Peran swasta dalam implementasi kebijakan pemberdayaan juga mencakup kontribusi dana melalui investasi swasta yang bermanfaat untuk mendukung proses pemberdayaan masyarakat. Sedangkan dalam monitoring dan evaluasi pihak swasta juga memberi andil dalam pemeliharaan
hasil-hasil
yang
25
diperoleh
melalui
proyek-proyek
pemberdayaan masyarakat dari sebagian keuntungan investasi swasta yang telah beroperasi. Dengan demikian bentuk fasilitasi akan berupa penerjunan tanaga ahli dan sangat terampil serta teknologi yang memadai. Secara umum peran masyarakat diberikan dalam bentuk partisipasi baik pada level formulasi, implementasi, monitoring maupun evaluasi. Tinggi rendahnya partisipasi yang diberikan akan berdasarkan pada tingkat keberdayaan yang dimiliki oleh masyarakat, dan kemampuan pemahaman pada setiap level dalam proses kebijakan publik. Tidak semua masyarakat sudah mampu untuk memberikan input, saran, kritik pada level formulasi kebijakan. Dalam rangka memberdayakan masyarakat agar berkemampuan untuk memberikan saran, ide, kritik dan sebagainya perlu dilakukan proses edukasi masyarakat. Bertolak dari kondisi demikian ini, maka bagian dalam proses pemberdayaan di bidang pengambilan keputusan, pemerintah sebaiknya memberikan fasilitasi sistem edukasi masyarakat, dengan cara : a. Memberikan
ruang
yang
lebar
kepada
masyarakat
untuk
menyampaikan ide, masukan, kritik, rasa keberatan, permintaan dan sebagainya, tanpa dibebani sanksi dan ancaman. b. Memberikan informasi secara transparan dan aksesibel kepada masyarakat, yang menyangkut berbagai aspek pembangunan lokal maupun nasional.
26
c. Pelibatan masyarakat dalam formulasi kebijakan dalam melihat profesionalisme, kompetensi di samping nilai kepentingan masyarakat terhadap program pemberdayan. Peran lain masyarakat yang dapat digali dan dikembangkan adalah pendanaan. Partisipasi di bidang pendanaan, merupakan potensi internal yang
dimiliki
pembangunan
oleh dalam
masyarakat. rangka
Pada
setiap
pemberdayaan
penyelenggaraan
masyarakat
biasanya
mempertanyakan bagaimana kondisi potensi masyarakat yang akan diintervensi oleh sebuah kebijakan. Pengerahan dana masyarakat sering terjadi untuk pembangunan yang dilakukan, dana tersebut lebih populer dengan sebutan swadaya masyarakat. Peran masyarakat yang lain dan memiliki posisi yang sangat penting adalah pada pemeliharaan kontrol sosial dalam rangka pelestarian dan pemeliharaan hasil-hasil pembangunan. Diantara masyarakat sendiri hendaknya tumbuh dan mengembangkan sistem kontrol yang sehat dalam masyarakat. Setiap orang akan melakukan aktivitas yang tidak merugikan suatu proses pemberdayaan.
4. Pendidikan Life skills Upaya pemberdayaan masyarakat melalui konsep life skills merupakan salah satu dalam upaya memberikan keterampilan kepada masyarakat dalam pemberdayaan masyarakat yang menurut Satori dalam Jamal M (2009: 61) program pendidikan kecakapan hidup adalah pendidikan yang dapat memberikan 27
keterampilan
yang
praktis,
terpakai, terkait dengan kebutuhan pasar kerja, peluang usaha dan potensi ekonomi dan industri yang ada di masyarakat. Apabila dihubungkan dengan pekerjaan tertentu, Anwar dalam Slamet (2002: 134) menjelaskan bahwa life skills dalam lingkup pendidikan nonformal ditujukan pada penguasaan vocational skills yang intinya terletak pada penguasaan specific occupational job. Apabila dipahami dengan baik, maka dapat dikatakan bahwa life skills dalam konteks kepemilikan specific occupational skills sesungguhnya diperlukan oleh setiap orang. Ini berarti bahwa
program life skills dalam pemaknaan program pendidikan
nonformal diharapkan dapat menolong mereka untuk memiliki harga diri dan kepercayaan diri mencari nafkah dalam konteks peluang yang ada di lingkungannya. Brolin dalam Slamet (2002: 135) mendefinisikan life skills sebagai kontinum pengetahuan dan kemampuan yang diperlukan oleh seseorang untuk berfungsi secara independen dalam kehidupan. Pendapat lain mengatakan bahwa kecakapan hidup adalah kecakapan sehari-hari yang diperlukan oleh seseorang agar sukses dalam menjalankan kehidupan (Slamet, 2002: 135). Sedangkan WHO (Depdiknas, 2004) memberikan pengertian bahwa life skills adalah
berbagai keterampilan atau
kemampuan untuk dapat beradaptasi dan berprilaku positif, yang memungkinkan seseorang mampu menghadapi berbagai tuntutan dan tantangan dalam hidupnya sehari-hari secara efektif. Dengan demikian,
28
pendidikan life skills merupakan suatu upaya pendidikan untuk meningkatkan kecakapan hidup setiap warga negara. Kecakapan hidup yang dimaksudkan adalah kecakapan yang
dimiliki seseorang untuk
menghadapi problema hidup dan kehidupan dengan wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi sehingga akhirnya mampu mengat. Dengan definisi tersebut, maka pendidikan life skills harus merefleksikan nilai-nilai kehidupan nyata sehari-hari, baik yang bersifat preservatif maupun progresif. Pendidikan perlu diupayakan relevansinya dengan nilai-nilai kehidupan nyata sehari-hari. Dengan cara ini, pendidikan akan lebih realistis, lebih kontekstual, tidak akan mencabut peserta didik dari akarnya, sehingga pendidikan akan lebih bermakna bagi peserta didik dan akan tumbuh subur. Seseorang dikatakan memiliki kecakapan hidup apabila yang bersangkutan mampu, sanggup, dan terampil menjalankan kehidupan dengan nikmat dan bahagia. Kehidupan yang dimaksud meliputi kehidupan pribadi, kehidupan keluarga, kehidupan tetangga, kehidupan perusahaan, kehidupan masyarakat, kehidupan bangsa, dan kehidupan-kehidupan lainnya. Ciri kehidupan adalah perubahan dan perubahan selalu menuntut kecakapan-kecakapan untuk menghadapinya. Oleh karena itu, sudah sewajarnya jika pendidikan formal dan nonformal mengajarkan kecakapan hidup.
29
Menurut Slamet (2002: 137) hasil yang diharapkan dari pendidikan kecakapan hidup adalah: (1) peserta didik memiliki aset kualitas batiniah, sikap, dan perbuatan lahiriyah yang siap untuk menghadapi kehidupan masa depan sehingga yang bersangkutan mampu dan sanggup menjaga kelangsungan hidup dan perkembangannya, (2) peserta didik memiliki wawasan luas tentang pengembangan karir dalam dunia kerja yang sarat perubahan yaitu yang mampu memilih, memasuki, bersaing, dan maju dalam karir, (3) peserta didik memiliki kemampuan berlatih untuk hidup dengan cara yang benar, yang memungkinkan peserta didik berlatih tanpa bimbingan lagi, (4) peserta didik memiliki tingkat kemandirian, keterbukaan, kerjasama, dan akuntabilitas yang diperlukan untuk menjaga kelangsungan hidup dan perkembangannya, (5) peserta didik memiliki kemampuan dan kesanggupan untuk mengatasi berbagai permasalahan hidup yang dihadapi. Pendidikan life skills sebagai salah satu program pendidikan nonformal memiliki mekanisme tertentu dalam pembentukannya. Dalam hal ini Napitupulu (1983: 123) mengemukakan bahwa pengembangan pendidikan nonformal dilakukan dalam tiga tahap, yaitu: (1) Tahap motivasi, tahap motivasi ini meliputi kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk memotivasi kelompok sasaran pendidikan nonformal berupa warga masyarakat angkatan kerja yang berusia produktif yang belum bekerja untuk diorganisir dalam wadah kelompok belajar. Petugas lapangandalam
30
tahap ini berperan sebagai “sutradara” proses belajar, (2) Tahap pelaksanaan program kelompok belajar berupa jenis kegiatan pendidikan nonformal yang ditandai oleh kegiatan “bekerja” dan “belajar” untuk mengejar ketertinggalan dalam berbagai bidang kehidupan, dan (3) tahap pelestarian, adalah tahap pelembagaan warga belajar yang siap kerja menjadi siap usaha pada program pendidikan life skills agar mereka dapat mencitakan lapangan kerja baru atau terserap dalam pasar kerja. Pendidikan nonformal dalam rangka pendidikan bagi masyarakat miskin selaku anggota masyarakat tidak lepas dari konsep learning society, adult education, experience learning sedangkan secara ekonomi berbentuk “human resources development and in sercice training” pendek kata pendidikan nonformal diarahkan untuk pendidikan luar sekolah, kursus ketrampilan, penyuluhan, pendidikan dan latihan. Konsep pendidikan luar sekolah bagi orang dewasa khususnya keluarga miskin menurut Darkenwald dan Meriam dalam Sudardja Adiwikarta (1988:93) adalah “a process whereby persons whose mayor social roles are characteristic of adult status undertake systematic and sustained learning activites for perpuse of bringing about change in knowledge, attitude, values or skills. Konsep tersebut mengisyaratkan adanya tujuan, subyek, materi dan metode yang jelas yang digunakan dalam rangka pendidikan luar sekolah atau pendidikan non formal bagi masyarakat yang tidak mampu.
31
Metode pendidikan luar sekolah atau ketrampilan bagi masyarakat tidak
mampu
memperoleh
pengetahuan,
pengalaman,
sikap
dan
kepercayaan, keahlian dan partisipasi sosial memerlukan beberapa pendekatan teori yaitu dengan pendekatan teori humanistik, teori perkembangan dan teori perilaku. Teori humanistik lebih menekankan pada proses penanaman dan pengembangan ketrampilan penduduk miskin dan hal ini akan tumbuh subur bila substansi dan sumber pengembangan lingkungan masyarakat memberikan lingkungan yang mendukung dan positif. Teori perkembangan menekankan pada asumsi bahwa penduduk miskin adalah kelompok yang tidak berdaya sehingga memerlukan pengembangan nilai, sikap, kepercayaan dan keterampilan lewat beberapa tahapan dan pola tertentu dan disertai lingkungan yang mempengaruhi tahapan tersebut dan menurut Mezirowi
dalam Tjahya Supriatna
(1978:103) dipandang sebagai konsep transformasi perspektif dimana tahapan-tahapan tersebut diperkenalkan sebagai sesuatu yang baru dan bermanfaat bagi perbaikan kehidupan mereka. Teori perilaku lebih menekankan pada asumsi bahwa kegiatan pendidikan dapat merubah perilaku seseorang bila disertai dengan latihan kerja dan ketrampilan yang akan mempengaruhi pengalaman hidupnya. Selain itu kemiskinan bisa disebabkan oleh terbatasnya sumberdaya manusia yang potensial dan ketidakmampuan memanfaatkan sumberdaya yang ada baik lewat jalur pendidikan formal maupun non formal yang pada akhirnya menimbulkan konsekuensi terhadap rendahnya pendidikan informal. Hal senada juga
32
dikemukakan oleh Philip Coombs (1983:14) mengatakan bahwa “bila bentuk pendidikan formal tidak mampu dilakukan oleh penduduk miskin, maka pemerintah negara berkembanglah yang harus membuat kebijakan pendidikan nonformal untuk mengatasi kesempatan kerja, urbanisasi, peningkatan pendapatan dan perbaikan kesehatan serta gizi. Pendidikan nonformal ini bisa berupa penyuluhan, penataran, kursus maupun bentuk ketrampilan teknis lainnya.” Tujuan
pendidikan
luar
sekolah
atau
ketrampilan
adalah
menekankan pada praktek daripada teori yang dilakukan dengan substansi keteladanan, bimbingan, pembinaan, penyuluhan, praktek, peragaan dan pelatihan
guna
menumbuhkan
pengetahuan
dan
ketrampilannya.
Transformasi nilai budaya melalui jalur pendidikan diarahkan pada upaya sosialisasi, pemberdayaan, pengembangan intelektual, sikap dan kepercayaan, kepribadian, kemampuan mengambil keputusan, peningkatan produktivitas dan etos kerja agar menjadi manusia yang berdaya guna dan berhasil guna. Transformasi pendidikan dapat ditempuh dengan proses pembelajaran, pelatihan, pembimbingan dan pembinaan. Konsep pendidikan luar sekolah ini juga dikemukakan oleh John H Trange dalam Tjahya Supriatna (1997: 79) mengungkapkan bahwa “experiantal leraning the educational community has the determined that experiental learning is a subset of learning particulary that learning which accurrs outside the classroom or laboratory learning as a learning some suggested communicating skill intellectual, problem solving skill, and effective behaviors” (belajar pengalaman pendidikan masyarakat dilakukan di luar sekolah, laboratorium,
33
dan tempat praktek lainnya dalam menumbuhkan ketrampilan, kemampuan memecahkan masalah dan perilaku efektif dari masyarakat). Dengan perkataan lain pengalaman bisa diperoleh melalui pendidikan
luar
sekolah,
pendidikan
orang
dewasa,
pendidikan
ketrampilan untuk menumbuhkan “the callenges of advances professional development society melalui mengembangan sumber nilai, sikap dan perilaku masyarakat dalam bentuk response centering, response humility, and response courge” (David A kolb dalam Lamdin, 1991:97) Sedangkan menurut K Patricia dalam Lamdin (1991) belajar sejenis pendidikan ketrampilan dimaksudkan untuk : a. Mempunyai akses terhadap penambahan pengalaman hidup
dan
pengalaman sebagai dasar pendidikan, kesempatan kerja, latihan ketrampilan dan pemupupukan profesi. b. Menjadi dasar perubahan struktur soial ekonominya. c. Memberikan
basis
terhadap
penumbuhan
sikap
kelompok
komunikasi dan tindakan sosial. Sedangkan menurut Darkenwald dan Merriam dalam Tjahya Supriatna (1997: 81) tujuan pendidikan ketrampilan bagi penduduk miskin terdapat lima macam penekanan yaitu : a. Pengembangan intelektual dan keahlian b. Pengembangan perwujudan diri c. Pengembangan pribadi masyarakat d. Perubahan sosial e. Peningkatan efektivitas organisasi
34
Pendidikan luar sekolah dalam rangka memberikan pengetahuan dan ketrampilan bagi penduduk miskin telah banyak dilakukan melalui program-program yang dibuat oleh pemerintah melalui program PNPMMP misalnya, salah satu yang ingin diwujudkan untuk membuka ruang akses angkatan kerja setiap daerah secara berkelanjutan, dengan fasilitasi pendidikan nonformal dalam bentuk program pendidikan kecakapan hidup atau pendidikan life skills, dengan harapan angkatan kerja produktif dapat meningkatkan ketrampilan teknis usaha dalam pembuatan berbagai produk yang dapat dihasilkan dan layak pasar, baik pasar dalam skala lokal di tingkat daerah maupun akses pasar yang lebih luas. Untuk itulah, melalui PNPMMP mendorong masyarakat untuk terlibat aktif, dan mengambil bagian, dalam layanan pendidikan life skills yang diarahkan pada pembelajaran produktif, yang memberikan dampak terhadap peningkatan pendapatan kepada peserta belajar. Melalui life skills bukan saja mempersiapkan angkatan kerja sebagai pekerja upahan, melainkan tumbuh menjadi pribadi mandiri. Pendidikan life skillditinjau dari perannya, dapat dilihat dari: a. Kontribusi Pendidikan Life Skills Penyelenggaraan pendidikan life skills terutama dalam rangka pengentasan
kemiskinan
dan
penanggulangan
pengangguran.
Depdiknas (2006) mengungkapkan bahwa pendidikan kecakapan hidup (life skills) yang dikembangkan melalui jalur pendidikan nonformal memusatkan perhatian kepada warga masyarakat usia
35
produktif putus sekolah tidak bekerja karena tidak memiliki keterampilan, danwarga masyarakat lainnya yang tergolong miskin. Dengan demikian, maka program bantuan pendidikan life skills menitikberatkan pada penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan keterampilan (vocational) sesuai dengan kebutuhan pasar, dunia usaha dan dunia industri, serta potensi lokal yang layak untuk dikembangkan menjadi usaha ekonomi. Program ini memfokuskan kepada spektrum pedesaan, perkotaan dan usaha berorientasi pada pasar global. Pada tahapan persiapan pelaksanaan kegiatan yang paling harus diperhatikan oleh penyelenggara life skills adalah mengidentifikasi jenis kecakapan hidup yang dipilih dan akan dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan belajar masyarakat,serta potensi wilayah dalam hal SDM, SDA, sarana dan prasarana yang tersedia atau memungkinkan untuk digunakan dalam prospek pasar. Dengan konsistensi pada tahapan persiapan ini, pendidikan life skills memiliki manfaat yang positif bagi warga belajar, masyarakat dan pemerintah. Sedangkan ditinjau manfaat dari program ini adalah: 1) Bagi
warga
belajar
adalah:
(a)
memberi
pengetahuan,
keterampilan, dan sikap sebagai bekal untuk mampu bekerja atau berusaha
mandiri,
(b)
memiliki
penghasilan
yang
dapat
menghidupi diri dan keluarganya, (c) menularkan/memberikan kemampuan yang dirasakan bermamfaat kepada orang lain.
36
2) Bagi warga masyarakat adalah: (a) meningkatnya kualitas kehidupan diri, keluarga dan lingkungannya, (b) mengurangi pengangguran, (c) menciptakan lapangan kerja, dan (d) mengurangi kesenjangan sosial. 3) Bagi pemerintah adalah: (a) meningkatkan kualitas SDM di daerah, (b) mencegah urbanisasi, (c) menumbuhkan kegiatan usaha ekonomi masyarakat, (d) menekan kerawanan sosial, dan (e) dapat memberikan kontribusi kepada PAD. b. Peran Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat dan Lembaga Kursus Pada
prinsipnya
penerapan
otonomi
daerah,
sekaligus
bermakna sebagai upaya pemberdayaan masyarakat, sehingga menjadi tuntutan dan tantangan bagi daerah untuk dapat mewujudkan kemampuan dalam menggerakkan dan memberdayakan masyarakatnya. Proses pembelajaran dan pelibatan masyarakat perlu lebih digalakkan, agar pemerintah daerah dapat
menunjukkan kemampuannya
dalam
menjalankan program-program pembangunan yang berorientasi pada kemajuan dan peningkatan taraf hidup masyarakatnya. Sejalan
dengan
upaya
pendidikan
dan
pemberdayaan
masyarakat, serta pemanfaatan potensi daerah, pada dasarnya pembentukan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM)
dan
lembaga kursus merupakan suatu potensi yang dapat dimanfaatkan oleh daerah. PKBM dan lembaga kursus yang pembentukannya diprakarsai oleh Direktorat Pendidikan Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda dan Olahraga sejak
37
tahun 1998, dapat menjadi entry point untuk mencapai tujuan tersebut. Wadah ini bukan hanya berfungsi sebagai pusat pembelajaran masyarakat, tetapi sekaligus wahana pemberdayaan masyarakat untuk memanfaatkan potensi lingkungan guna meningkatkan taraf hidup dan kehidupan mereka. Wadah PKBM dan lembaga kursus itu sendiri secara konseptual cukup netral dan luwes, karena sekecil mungkin menghindarkan atribut yang terlalu birokratis. Motto yang didukung dalam penyelenggaraan PKBM dan lembaga kursus adalah dari, oleh, dan untuk masyarakat, sehingga tumbuh dan berkembangnya amat tergantung dari peran aktif masyarakat itu sendiri. Melalui PKBM dan lembaga kursus warga masyarakat dapat membelajarkan dirinya untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang dibutuhkan, tetapi juga dapat memanfaatkan wadah ini untuk menciptakan kegiatan yang bersifat produktif dan ekonomis bagi peningkatan taraf hidup mereka. Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) adalah suatu wadah yang menyediakan informasi dan kegiatan belajar sepanjang hayat bagi setiap warga masyarakat agar mereka lebih berdaya. Wadah ini adalah milik masyarakat dikelola dari, oleh, dan untuk masyarakat (Kusmiadi, 2003: 102). Menurut Depdiknas (2006) PKBM adalah satuan pendidikan nonformal yang diprakarsai, dibentuk dan dikelola oleh masyarakat untuk membelajarkan dan memberdayakan masyarakat sesuai kebutuhan belajar masyarakat setempat. PKBM
38
juga merupakan sarana untuk mengintensifkan dan mengkoordinasikan berbagai kegiatan pembelajaran masyarakat, sehingga dapat berjalan secara sinergis dan efektif untuk mempercepat proses pemberdayaan masyarakat. Sebagai wadah tempat pembelajaran, PKBM merupakan satuan pendidikan nonformal sebagaimana disebutkan dalam Undangundang Nomor 20 Tahun 2003 pada Pasal 26 ayat 4 yang menyatakan bahwa “satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga
pelatihan,
kelompok
belajar,
pusat
kegiatan
belajar
masyarakat, dan majlis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis”. Kursus berdasarkan PP No 73 Tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Sekolah merupakan satuan pendidikan luarsekolah yang memberikan kemampuan kepada warga belajar untuk mengembangkan diri bekerja mencari nafkah atau melanjutkan jenjang pendidikan lebih tinggi sehingga pendidikan kursus berorientasi pada pendidikan kejuruan.Dilihat dari isi pendidikan satuan kursus memungkinkan dapat memenuhi secara fleksibel segenap kebutuahn masyarakat terutama kemampuan mencari nafkah, oleh karena itu kursus merupakan bentuk satuan pendidikan
yang memiliki banyak
keragaman terutama dalam hal keragaman karakteristik warga belajar, kurikulum dan penyelenggara. Satuan kursus diselenggarakan oleh masyarakat pada dasarnya merupakan perwujudan dari tanggung jawab masyarakat terhadap kepentingan dan kebutuhan pendidikannya. Walaupun kenyataan dilapangan menunjukan bahwa lembaga kursus
39
terdapat beragam kualitas hal ini dikarenakan keragaman kemampuan pengelola, pendidik, sarana dan prasarana yang dimiliki masingmasing lembaga kursus. Selanjutnya Sihombing (1999: 70) mengemukakan bahwa program-program PKBM dan lembaga kursus hendaknya diarahkan untuk mengembangkan keterampilan dan pengetahuan yang tepat dan sesuai dengan tuntutan kesempatan
yang terbuka berdasarkan
kebutuhan pasar, serta tersedianya sumber dan faktor pendukung lainnya yang terdapat di dalam ekonomi/kesejahteraan ini
masyarakat. Peningkatan taraf
diutamakan dengan dasar pemikiran
walaupun aspek ekonomi dan sosial saling mempengaruhi satu sama lain, namun suatu kenyataan masyarakat yang ada di pedesaan maupun perkotaan aspek ekonomi adalah titik pangkal kehidupan sosial. Dengan demikian, pengembangan program-program yang ada di PKBM dan lembaga kursus selalu mengarah kepada pengembangan kemauan masyarakat, dengan misi mencerdaskan kehidupan bangsa sehingga setiap anggota masyarakat lebih mampu membangun dirinya dan masyarakatnya. Dengan menstimulasi PKBM melalui strategi di atas, pendidikan life skills diasumsikan merupakan salah satu program yang sangat tepat untuk dilaksanakan guna mendukung peningkatan ekonomi masyarakat.
40
Pendekatan baru dalam perencanaan pendidikan nonformal yang dikembangkan saat ini adalah dengan membentuk wadah partisipasi masyarakat dalam pengelolaan pendidikan nonformal. Pendekatan ini disebut pendekatan pendidikan dengan berbasis masyarakat yang diwujudkan dalam bentuk Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) dan lembaga kursus.
F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan interpretatif dan konstruktif yang dimaksudkan untuk menggambarkan peran lembaga-lembaga yang terkait dalam hal ini kemitraan pemerintah dengan lembaga kursus dan pelatihan serta pihak swasta dalam melaksanakan program pendidikan kecakapan hidup (life skill) bidang menjahit Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kemitraan yang dilaksanakan LKP dengan pemerintah dan kemitraan LKP dengan pihak swasta yang dapat dilihat dari peran pemerintah dan peran swasta dalam pelaksanaan program pendidikan kecakapan hidup (life skill) bidang menjahit di Kota Yogyakarta dan dalam penelitian ini digunakan metode penelitian interpretatif yang bermaksud untuk menggambarkan bagaimana peran pemerintah melalui kebijakan, polecy yang berupa Juklak, Juknis,
41
implementasinya, evaluasi dan monitoring tentang program PKH, bagaimana peran masyarakat yang berupa partisipasinya dalam PKH, pelaksanaanya, hasil yang didapat dan status pekerjaanya dan juga peran dunia usaha dalam mendukung program ini yang berupa penerimaan output, pendanaan, peralatan dan sebagainya. Pada intinya penelitian kualitatif dengan serangkaian prosedurnya digunakan untuk melihat peran pemerintah, masyarakat dan swasta dalam kontribusinya terhadap pemberdayaan masyarakat yang tujuan akhirnya dapat digunakan untuk mengurangi pengangguran dan kemiskinan di Kota Yogyakarta.
2. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian yang penulis pilih adalah lembaga kursus dan pelatihan bidang menjahit yang menyelenggarakan pendidikan kecakapan hidup (life skill). Jumlah LKP bidang menjahit di Kota Yogyakarta ini jumlahnya cukup banyak sehingga penulis menghubungi IPBI Kartini yaitu lembaga ikatan penata busana Indonesia Kota Yogyakarta yang mewadahi LKP Kota Yogyakarta dan tempat yang direkomendasi adalah LKP Ar-Rum, LKP Modisa, LKP Yogya Design School. Penulis memilih LPK Ar-Rum dengan alasan LKP Ar-Rum merupakan LKP yang telah sering melaksanakan program ini mengingat LKP ini berdirinya sejak tahun 2002 sehingga telah berpengalaman melaksanakan program pendidikan kecakapan hidup (life skill) bidang menjahit dan dalam penyaluran tenaga kerjadi LKP ini terdapat beberapa kegiatan yang
42
dilaksanakan untuk mengantisipasi penyaluran tenaga kerja yang tidak bekerja di perusahaan maupun pada lembaga lain dengan dibentuknya Kelompok usaha bersama Mekar Arum Sari dan Diah Arum Lestari serta usaha Ar-Rum Collection. LKP Modisa dipilih karena tempatnya di pinggiran kota dan di daerah lembaga iniberdiri warga pengangguran dan miskin lebih banyak sehingga tidak kesulitan untuk mencari warga belajarnya. LKP Yogya Design School dipilih karena pada lembaga ini program pembelajarannya pada muatan lokal terdapat muatan desain busana sehingga diharapkan lebih ada variasi materinya sehingga lulusannya dapat memilih lapangan pekerjaan dengan lebih bervariasi karena dapat bekerja sebagai tenaga desain baju selain sebagai penjahit seperti pada LKP lainnya. 3. Sumber Data Sumber data dalam penelitian ini adalah informan yang dapat menjelaskan pelaksanaan kemitraan dalam pendidikan kecakapan hidup bidang menjahit yang terdiri dari lima orang yang terbagi dalam: a. LKP Ar-Rum Sebagai informan lembaga ini adalah pimpinan penyelenggara Program PKH (life skill) yaitu pimpinan Ar-Rum untuk memberikan informasi dalam kemitraan yang dilaksanakan oleh LKP Ar-Rum baik kemitraan dengan pemerintah maupun dunia usaha yang dapat dilihat dari peran masing-masing dalam pelaksanaan pendidikan kecakapan hidup bidang menjahit serta bagaimana hasil pelaksanan program ini.
43
b. LKP Modisa Sebagai informan dalam lembaga ini adalah pimpinan untuk digali tentang pelaksanaan program
pendidikan kecakapan hidup
bidang menjahit dan kemitraan yang dilaksanakan baik kemitran dengan pemerintah maupun kemitraan dengan dunia swasta dan hasil pelaksanaan program ini. c. Yogya Design School Sebagai informan dalam lembaga ini adalah pimpinan yang digali tentang informasi pelaksanaan program inidan kemitraan yang dilaksanakan baik kemitraan dengan pemerintah maupun swasta dan hasil pelaksanaan program ini. d. Dinas Pendidikan Luar Sekolah Dinas Pendidikan Luar Sekolah Kota Yogyakarta, dan dipilih sebagai informan adalah pejabat struktural yaitu kepala seksi pendidikan nonformal (PNFI) yang memberikan informasi tentang kebijakanprogram pendidikan life skill baik macam program, jumlah dan
tempat
penyelenggaraan
program
PKH,
jumlah
peserta,
persyaratan administrasi, jumlah dukungan dana, sistem yang digunakan dari mulai pengusulan sampai pada pelaksanaan dan evaluasi dan monitoring.
44
4. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian teknik pengumpulan datanya sebagai berikut : a. Wawancara mendalam (depth interview) dilakukan dengan pengelola LKP
yaitu
dengan
pimpinan sekaligus pemilik LKP Ar-Rum,
pimpinan dan sekaligus pemilikLKP Modisa dan dengan pimpinan sekaligus pemilik Yogya Design School
untuk memperoleh dan
menggali informasi dalam pelaksanaan pendidikan kecakapan hidup bidang menjahit yaitu tentang kemitraan yang dilaksanakan baik dengan pemerintah maupun pihak swasta, selain itu untuk memperoleh data tentang pelaksanaan program ini yaitu tentang frekuensi dan jumlah bantuan dari pemerintah yang diterima, tentang proses sosialisasi program, kendala yang dihadapi dan proses pelaksanaannya sampai pada kelulusan dan outcame dari pelaksanaan program ini. Dalam wawancara mendalam ini dilakukan dengan pimpinan lembaga karena yang bersangkutan merupakan penentu kebijakan dalam pelaksanaan program pendidikan kecakapan hidup (life skill). Dalam pelaksanannya penulis menggunakan interview guide yang dilaksanakan secara luwes tidak kaku untuk memudahkan pengumpulan dataagar terfokus pada topik.
Selain itu wawancara juga dilakukan dengan
kepala Dinas Pendidikan Luar Sekolah Kota Yogyakarta tentang peran pemerintah dalam program ini yang meliputi kebijakan yang diterapkan, pendanaannya, petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan
45
yang diterapkan, kendala yang dihadap dan hasil yang didapat. Selain itu penulis juga melakukan wawancara dengan salah satu peserta yang dapat memberikan penjelasan tentang tanggapan pelaksanaan program tersebut dan apakah peserta dapat berhasil dalam mengikuti program tersebut. b. Observasi dilakukan dengan pengamatan dan pencatatan langsung atas semua yang berkaitan dengan obyek penelitian ini, teknik ini digunakan sebagai pelengkap teknik yang lainnya. Adapun langkah yang dilakukan dalam observasi ini pertama kali melakukan observasi ke Dinas Pendidikan Luar Sekolah Kota Yogyakarta khususnya bagian pendidikan nonformal yang mempunyai data tentang penyelenggara pendidikan kecakapan hidup (life skill) bidang menjahit di Kota Yogyakarta, peraturan dan petunjuk tehnisnya, data alokasi dananya, dan lain-lain. Selanjutnya observasi dilakukan di masing-masing LKP untuk mengetahui kegiatan pelaksanaan pendidikan kecakapan hidup bidang menjahit terutama peranannya dalam program ini.
5. Analisis Data Proses analisis data dilakukan setelah data dikumpulkan kemudian direduksi yaitu data yang ada disaring melalui pemilihan, penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatancatatan dilapangan kemudian analisis penyajian data berupa sajian naratif dan data yang dimiliki dari berbagai informasi tersebut digabungkan agar
46
tersusun dalam bentuk terpadu dan mudah dipahami, kemudian dibuat deskripsi dan dibuat tendensinya terutama yang terkait dengan kemitraan dari ketiga peran yaitu peran pemerintah, peran LKP dan peran dunia usaha dalam pelaksanaan pendidikan kecakapn hidup (life skill) bidang menjahit. Kemudian diinterpretasi yang selanjutnya hasil interpretasi tersebut apakah sudah bisa menjawab pertanyaan dalam penelitian yang kemudian ditempatkan dalam kesimpulan hasil penelitian dalam peran tiga aktor dalam pemberdayaan yaitu pemerintah, swasta dan masyarakat sehingga akan terihat model kemitraannya seperti apa.
47