1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, mengatur terbentuknya Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). KKI menetapkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia dan Standar Pendidikan Profesi Dokter pada tahun 2006. Hal ini menjadi dasar bagi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) untuk mewajibkan institusi penyelenggara pendidikan kedokteran, menerapkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). KBK merupakan penyerapan dari problem-based learning dan prinsip integrasi berbagai ilmu kedokteran. Penerapan ini, pada kenyataannya tergantung pada kemampuan berbagai institusi pendidikan yang kondisinya berbeda-beda. Akibatnya timbul perbedaan yang cukup besar, terhadap kualitas pendidikan pada institusi pendidikan yang satu dengan yang lain. Saat ini, uji kompetensi dititikberatkan pada uji pengetahuan pilihan ganda. Model ujian ini kurang menggambarkan kompetensi lulusan, karena aspek
keterampilan klinik dan
perilaku kurang teruji. Hal ini semakin mendorong diterapkannya metode uji keterampilan klinik, salah satunya adalah OSCE yaitu Objective Structured Clinical Examination (Dikti, 2011). OSCE adalah suatu metode untuk menguji kompetensi keterampilan klinik secara obyektif dan terstruktur. Objektif karena semua peserta ujian diuji dengan materi ujian yang sama. Penguji OSCE, diberikan panduan lembar
2
penilaian dan cara menilai keterampilan klinik yang dilakukan peserta ujian. Subyektivitas dapat dihindari dengan menggunakan metode ini, karena penguji menilai berdasarkan tindakan yang dilakukan peserta kemudian mencocokannya dengan kriteria penilaian yang ada, bukan berdasarkan pengetahuan penguji. Terstruktur karena semua instruksi ujian dituliskan dengan urut pada lembar yang telah disediakan. Pada prosesnya, penguji akan menilai setiap peserta ujian di satu stasiun. Penguji menilai dengan cara melakukan observasi dan mengajukan pertanyaan serta menunjukan hasil pemeriksaan penunjang jika diminta dalam soal. Waktu ujian yang menjadi tanggungjawab setiap penguji, tergantung banyak sedikitnya materi yang harus diujikan. Standar OSCE Nasional adalah 15 menit, untuk setiap penguji yang bertanggungjawab pada setiap stasiun ujian. Kompetensi klinik yang diujikan yaitu anamnesa, pemeriksaan fisik, keterampilan prosedur klinik, interpretasi hasil laboratorium, manajemen terapi, kemampuan komunikasi dan perilaku profesional (Dikti, 2011). OSCE yang diterapkan di Fakultas Kedokteran Universitas Islam AlAzhar (FK UNIZAR) Mataram terdiri atas tiga jenis yaitu, (1) OSCE reguler yang dilakukan pada setiap akhir modul, bertujuan sebagai ujian keterampilan klinik modul. Pada setiap semester diberikan tiga sampai empat modul pembelajaran, sehingga dalam satu semester bisa dilakukan tiga sampai empat kali ujian OSCE reguler. Pada semester ganjil, minimal berlangsung 12 kali ujian OSCE reguler (semester I, III, V, VII) jika seluruh peserta dinyatakan lulus. Jumlah ujian OSCE reguler pada semester ganjil bisa bertambah, jika ada peserta yang dinyatakan tidak lulus. Sedangkan pada semester genap , minimal dilaksanakan 9 kali ujian
3
OSCE reguler (Semester II, IV, VI) jika semua peserta dinyatakan lulus. Jumlah OSCE reguler pada semester genap bisa juga bertambah, kalau ada peserta yang diharuskan mengulang karena tidak lulus sebelumnya. (2) OSCE Komprehensif, dilakukan setelah mahasiswa menyelesaikan program pendidikan sarjana kedokteran. Tujuannya sebagai tes masuk untuk mengikuti program pendidikan profesi dokter, diselenggarakan minimal tiga kali dalam setahun sesuai dengan format OSCE Nasional. (3) OSCE Nasional diselenggarakan mengikuti kalender Uji Kompetensi Dokter yang telah ditetapkan oleh Panitia Uji Kompetensi sebanyak empat kali dalam satu tahun. OSCE ini bertujuan untuk memperoleh sertifikat kompetensi dalam bentuk Surat Tanda Registrasi yang dapat digunakan memperoleh Surat Izin Praktik. Penguji OSCE reguler di FK UNIZAR yang sudah terlatih adalah enam orang dokter, berasal dari staf pengajar FK UNIZAR yang telah memenuhi syarat sebagai penguji OSCE, memenuhi kualifikasi pendidikan S2 dan atau dokter Spesialis serta telah mengikuti dan mendapatkan sertifikat pelatihan penguji OSCE Nasional yang diselenggarakan oleh Komite Bersama uji kompetensi Dokter Indonesia. Penguji OSCE reguler di FK UNIZAR harus melaksanakan tugas 10 jam. Pelaksanaan ujian OSCE reguler menggunakan enam dosen penguji yang harus bertanggungjawab pada satu stasiun ujian dengan alokasi waktu observasi simulasi keterampilan adalah 10 menit untuk setiap peserta ujian. Jumlah peserta yang di uji adalah 60 orang, sehingga total waktu menguji adalah 600 menit atau 10 jam. Penguji melaksanakan tugas menguji untuk 60 peserta ujian, dilakukan
4
sambil duduk selama kurang lebih 10 jam. Proses kerja yang sama dilakukan berulang dan melibatkan aktivitas fisik serta mental, dapat menimbulkan kelelahan umum maupun kebosanan bahkan keluhan otot. Hal ini dapat disebabkan oleh waktu yang digunakan melebihi jadwal yang telah ditetapkan, metode kerja yang kurang variatif atau bersifat monoton, sarana dan prasarana yang kurang sesuai dengan antropometri serta kurangnya melakukan istirahat berupa istirahat aktif. Dampak yang ditimbulkan dapat mempengaruhi ketelitian, kecepatan dan konstansi kerja yang pada akhirnya kinerja bisa terganggu (Sutajaya, 2006). Kinerja seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya keluhan kerja berupa kebosanan, keluhan muskuloskeletal, dan kelelahan (Mangkuprawira, 2003). Oleh karena itu, peningkatan kinerja secara ergonomis dapat
diukur
berdasarkan
indikator
penurunan
muskuloskeletal dan kelelahan (Arimbawa, 2010).
kebosanan,
keluhan
Kelelahan biasanya dapat
berupa adanya perasaan sakit, berat pada bola mata (mengantuk) pusing, jantung berdebar dan malas beraktivitas (Kroemer dan Grandjean, 2000). Kelelahan yang dialami penguji ditandai dengan beberapa aktivitas, seperti (1) menoleh ke kiri dan ke kanan; (2) menggeser-geser pantat; (3) menguap; dan (4) waktu ujian dirasakan berlangsung sangat lambat (Sutajaya, 2006). Studi pendahuluan mengenai kebosanan, kelelahan dan keluhan muskuloskeletal terhadap penguji dengan duduk statis dalam waktu lama didapatkan bahwa dari total enam orang penguji yang mengalami kelelahan sebanyak empat orang dan keluhan muskuloskeletal di bagian bahu sebanyak tiga orang, bagian punggung sebanyak empat orang, bagian pinggang sebanyak lima
5
orang serta bagian bokong sebanyak lima orang. Sebanyak enam orang atau semuanya mengalami kebosanan saat menguji. Penelitian lain yang dilakukan oleh Irwanti (2011) pada siswa kelas X SMK Pariwisata Triatma Jaya Badung dalam proses pembelajaran dengan duduk statis dalam waktu lama didapatkan bahwa sebanyak 44,5% peserta didik mengalami kelelahan dan keluhan muskuloskeletal di bagian bahu sebanyak 40,5%, bagian punggung sebanyak 45%, bagian pinggang sebanyak 62,7% serta bagian bokong sebanyak 47,3%. Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi kebosanan, kelelahan, dan keluhan muskeloskeletal adalah dengan melakukan peregangan, mengatur waktu istirahat yang lebih sering, pemberian teh manis serta menguji di beberapa stasiun secara bergantian. Upaya yang paling mungkin dilakukan untuk mengurangi kebosanan, kelelahan, keluhan muskuloskeletal pada ujian OSCE reguler adalah dengan melakukan peregangan otot dan pemberian teh manis selama kegiatan menguji. Pengaturan jam istirahat yang lebih sering dinilai tidak mungkin berkenaan dengan waktu pelaksanaan yang sudah tergolong sangat lama, demikian pula dengan menguji dibeberapa stasiun secara bergantian tidak memungkinkan karena akan mengakibatkan bertambahnya beban kerja penguji. Peregangan merupakan suatu usaha untuk memperpanjang otot istirahat (relaksasi) sehingga tidak menjadi tegang. Selain mempengaruhi tubuh, peregangan juga menyegarkan pikiran karena dapat beradaptasi secara visual terhadap kondisi lingkungan yang lebih variatif. Jika dilakukan dengan perlahan dan fokus, peregangan dapat menjadi alat penghilang stres (Alter, 2003). Teh dinyatakan mengandung kafein, selain theanine katekin dan flavonoid oleh Walton (2002) dalam Sofwan (2013) dapat meningkatkan ketahanan fisik serta
6
menunda terjadinya kelelahan karena meningkatkan kadar serotonin yang ada di otak. Selain itu, kafein dalam teh juga dapat meningkatkan konsentrasi sewaktu bekerja dan dapat memperbaiki mood saat bekerja sehingga membuat suasana kerja menjadi kondusif dan menyenangkan (Sofwan, 2013) Oleh karena itu, dipandang perlu melakukan penelitian kinerja penguji OSCE reguler berorientasi ergonomi dengan melakukan peregangan di sela-sela menguji dan pemberian teh manis untuk menurunkan kebosanan, kelelahan dan keluhan muskuloskeletal penguji OSCE di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar Mataram. Peningkatan kinerja tersebut, diharapkan meningkatkan mutu lulusan yang dihasilkan karena menguasai kompetensi sesuai Standar Kompetensi Dokter Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan masalah penelitian ujian OSCE reguler berorientasi ergonomi berupa istirahat aktif berbentuk peregangan dan minum teh manis sebagai berikut: a. Apakah Ujian OSCE reguler berorientasi ergonomi berupa istirahat aktif berbentuk peregangan dan minum teh manis dapat meningkatkan kinerja penguji di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar Mataram di lihat dari penurunan kebosanan? b. Apakah Ujian OSCE reguler berorientasi ergonomi berupa istirahat aktif berbentuk peregangan dan minum teh manis dapat meningkatkan kinerja
7
penguji di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar Mataram di lihat dari penurunan kelelahan? c. Apakah Ujian OSCE reguler berorientasi ergonomi berupa istirahat aktif berupa peregangan dan minum teh manis dapat meningkatkan kinerja penguji di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar Mataram di lihat dari penurunan keluhan muskuloskeletal?
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1
Tujuan umum
Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji adanya peningkatan kinerja penguji OSCE Reguler di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar Mataram dilihat dari penurunan kebosanan, penurunan kelelahan dan penurunan keluhan muskuloskeletal 1.3.2 Tujuan khusus Tujuan khusus penelitian ini sebagai berikut. a. Untuk mengetahui ujian OSCE reguler berorientasi ergonomi dapat meningkatkan kinerja penguji OSCE di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar Mataram di lihat dari penurunan kebosanan. b. Untuk mengetahui ujian OSCE reguler berorientasi ergonomi dapat meningkatkan kinerja penguji OSCE di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar Mataram di lihat dari penurunan kelelahan.
8
c. Untuk mengetahui ujian OSCE reguler berorientasi ergonomi dapat meningkatkan kinerja penguji OSCE di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar Mataram di lihat dari penurunan keluhan muskuloskeletal
1.4 Manfaat Hasil Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1.4.1 Manfaat praktis Secara praktis, penelitian ini diharapkan : a. Dapat memberikan solusi terhadap permasalahan ujian OSCE reguler dalam hal
peningkatan
kinerja
para
penguji OSCE di Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Al-Azhar Mataram b. Menjadi salah satu masukan bagi pengambil kebijakan pada perguruan tinggi Universitas
Islam Al-Azhar Mataram untuk memperhatikan proses ujian
OSCE reguler agar lebih memenuhi kaedah ilmu ergonomi. c. Dapat digunakan untuk membantu para penguji OSCE di perguruan tinggi manapun agar bekerja lebih optimal dengan kinerja yang baik. 1.4.2 Manfaat Teoritis Penelitian ini merupakan aplikasi dari teori ergonomi, diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan serta dapat dijadikan acuan untuk penelitian yang sejenis atau penelitian lebih lanjut yang mendalam
9
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1
Ujian OSCE di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar (FK UNIZAR) Mataram
2.1.1
Objective Structured Clinical Examination (OSCE) OSCE adalah suatu metode untuk menguji kompetensi klinik secara
objektif dan terstruktur, dalam bentuk putaran stasiun dengan waktu tertentu. Metode ini disebut objektif dan terstruktur, Objektif karena semua peserta ujian diuji dengan materi ujian yang sama. Penguji OSCE, diberikan panduan lembar penilaian dan cara menilai keterampilan klinik yang dilakukan peserta ujian. Subyektivitas dapat dihindari dengan menggunakan metode ini, karena penguji menilai berdasarkan tindakan yang dilakukan peserta kemudian mencocokannya dengan kriteria penilaian yang ada, bukan berdasarkan pengetahuan penguji. Terstruktur karena semua instruksi ujian dituliskan dengan urut pada lembar yang telah disediakan. Selama ujian penguji harus menguji peserta yang mendatangi beberapa stasiun secara berurutan. Pada masing-masing stasiun ada suatu tugas atau soal yang harus dikerjakan/ didemonstrasikan atau pertanyaan yang harus dijawab oleh peserta ujian. Penguji harus mengobservasi peserta yang datang pada stasiun ujian yang menjadi tanggungjawabnya mengenai kemampuan menginterpretasi data atau materi klinik serta menjawab pertanyaan lisan. Setiap stasiun, dibuat seperti kondisi klinik yang mendekati senyata mungkin. Penguji OSCE menilai
10
berdasarkan keputusan yang sifatnya menyeluruh, bersumber
dari berbagai
komponen kompetensi. Setiap penguji yang bertugas pada setiap stasiun, bertanggungjawab pada materi uji yang spesifik. Setiap penguji harus memberikan materi uji klinik yang sama kepada seluruh peserta ujian. Setiap penguji menyiapkan waktu untuk masing-masing peserta ujian, tergantung pada modul pembelajaran yang berkisar antara lima sampai lima belas menit. Paling sering menggunakan waktu sepuluh menit.
2.1.2
Jenis OSCE di FK UNIZAR
2.1.2.1 OSCE Nasional OSCE Nasional diselenggarakan mengikuti kalender Uji Kompetensi yang telah ditetapkan Panitia Nasional Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter, yaitu empat kali dalam satu tahun. OSCE ini bertujuan untuk memperoleh sertifikat kompetensi dalam bentuk Surat Tanda Registrasi yang dapat digunakan memperoleh Surat Izin Praktik. Beberapa aturan yang menjadi dasar pelaksanaan Uji Kompetensi di Indonesia dalam bentuk OSCE adalah (Dikti, 2011): a. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional b. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan c. Undang-undang Republik Indonesia nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
11
d. Perkonsil Nomor 1/2005 tentang Registrasi e. Keputusan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 20/KKI/KEP/IX/2006 tentang Pengesahan Standar Pendidikan Profesi Dokter f. Keputusan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 21 A/KKI/Kep/IX/2006 tentang Standard Kompetensi Dokter Indonesia Adapun tujuan dilaksanakannya OSCE secara nasional adalah: a. Penapisan dokter/dokter gigi untuk menghasilkan dokter/dokter gigi yang kompeten b. Menciptakan sistem ujian yang objektif dan terstandar secara nasional c. Melengkapi ujian kompetensi dari segi psikomotor dan perilaku Blue print OSCE menggambarkan materi yang proporsional.
Blue
print
menentukan
keterampilan
diujikan
klinik,
secara
keterampilan
komunikasi, dan pengetahuan yang diuji dengan memperhatikan keterwakilan sistem, lokasi, fokus
kompetensi, serta kasus sehingga peserta diuji secara
komprehensif. Adapun komponen penilaian berdasarkan blue print OSCE tersebut adalah penilaian kompetensi (Actual Mark) yang terdiri dari tujuh area kompetensi dan yang kedua adalah penilaian keseluruhan (Global rating). a. Penilaian Kompetensi (Actual Mark) Kompetensi yang dinilai dalam OSCE Uji Kompetensi Dokter Indonesia adalah: 1) Kemampuan Anamnesis Penilaian ini meliputi penilaian kemampuan peserta memfasilitasi pasien untuk menceritakan
kesakitannya. Menggunakan pertanyaan yang sesuai
12
untuk mendapatkan informasi yang akurat. Memberikan respon yang sesuai terhadap isyarat pasien baik yang verbal maupun non verbal. 2) Kemampuan pemeriksaan fisik Penilaian ini meliputi penilaian kemampuan peserta melakukan pemeriksaan fisik sesuai masalah klinik pasien dengan menggunakan teknik pemeriksaan yang logis, sistematik/runut dan efisien. Tanggap terhadap kenyamanan pasien dan memberikan penjelasan ke pasien 3) Melakukan tes/prosedur klinik atau interpretasi data untuk menunjang diagnosis banding atau diagnosis. Penilaian ini meliputi penilaian kemampuan peserta untuk melakukan suatu tes/prosedur klinik dengan benar dan menyampaikan prosedur atau hasilnya atau menginterpretasi hasil pemeriksaan penunjang dengan benar dan menjelaskan kepada pasien dengan tepat. 4) Penegakan diagnosis/diagnosis banding Penilaian
ini
meliputi
penilaian
kemampuan
peserta
menetapkan
diagnosis/diagnosis banding yang tepat, sesuai dengan masalah klinik pasien. 5) Tatalaksana a. Non-farmakoterapi (tindakan) Penilaian ini meliputi penilaian kemampuan peserta melakukan tindakan yang sesuai masalah klinik pasien dan menyampaikan alasan dan prosedur pelaksanaan tindakan.
13
b. Farmakoterapi Penilaian ini meliputi penilaian kemampuan peserta memilih obat yang rasional. 6) Komunikasi dan atau edukasi pasien Penilaian ini meliputi penilaian kemampuan peserta berkomunikasi dengan baik, yaitu menggali perspektif pasien dengan bahasa yang bisa dimengerti, memberikan
kesempatan
bertanya
kepada
pasien,
menanggapi
pertanyaan/pernyataan pasien baik verbal maupun non verbal, melakukan diskusi, negosiasi dan membina hubungan baik dengan pasien dan atau memberikan penyuluhan yang isinya sesuai dengan masalah pasien dengan cara yang tepat. 7) Perilaku Profesional Penilaian ini meliputi penilaian kemampuan peserta mempraktekkan aspek profesionalisme yaitu meminta informed consent, melakukan setiap tindakan dengan berhati-hati dan teliti sehingga tidak membahayakan pasien, memperhatikan kenyamanan pasien, melakukan tindakan sesuai prioritas dan menunjukan rasa hormat kepada pasien. Menyadari keterbatasan dengan merujuk pasien ke dokter/layanan kesehatan yang lebih baik. b. Penilaian Umum (Global Rating) Selain penilaian kompetensi, peserta ujian akan dinilai kemampuannya secara umum. Komponen penilaian ini merupakan impresi penguji setelah melihat kemampuan peserta secara keseluruhan apakah peserta mampu menjadi dokter
14
dengan kemampuan yang ada. Terdiri dari tidak lulus, borderline, lulus serta superior. Nilai borderline akan menjadi dasar dalam penentuan nilai batas lulus. Tujuh area kompetensi yang akan diujikan tidak harus selalu ada di tiap stasiun, bisa saja satu stasiun hanya menguji beberapa kemampuan kompetensi, misalnya di stasiun satu menguji kompetensi anamnesa dan pemeriksaan fisik serta perilaku profesional, di stasiun dua diujikan titik beratnya pada kemampuan diagnosis, terapi, edukasi pasien dan perilaku profesional dan sebagainya. Dari 12 stasiun yang diujikan, ketujuh area kompetensi tersebut harus masuk didalamnya. Satu area kompetensi yang wajib ada di tiap stasiun adalah perilaku profesional. Adapun 12 stasiun yang akan dinilai dalam OSCE Dokter, yaitu: 1) Endokrin dan metabolisme 2) Hematologi dan onkologi 3) Psikiatri 4) Sistem gastrointestinal 5) Sistem kardiovaskuler 6) Sistem muskuloskeletal 7) Sistem genitourinaria 8) Sistem pengindraan 9) Sistem reproduksi 10) Sistem respirasi 11) Sistem saraf 12) Kepala leher
15
Setiap stasiun dilaksanakan dalam waktu 15 menit. Minimal tujuh stasiun harus menggunakan Pasien Standar dan maksimal lima stasiun menggunakan manekin atau alat peraga. Penulisan soal perlu diperhatikan dengan baik agar peserta ujian tidak mengalami kesulitan saat membaca soal dan penguji, pasien standar, serta laboran mudah menjalankan perintah yang ada di soal pada stasiun tersebut. Format penulisan soalpun distandarkan secara nasional, meliputi unsur sebagai berikut: 1) Nomor stasiun 2) Judul stasion 3) Waktu yang dibutuhkan 4) Tujuan stasiun 5) Kompetensi 6) Kategori 7) Instruksi untuk peserta 8) Instruksi untuk penguji 9) Instruksi untuk pasien simulasi 10) Peralatan yang dibutuhkan 11) Penulis 12) Referensi 13) Lembar Penilaian (Rubrik) Soal OSCE dibuat oleh staf pendidik yang juga merupakan tenaga kesehatan sesuai profesi dari institusi pendidikan kedokteran di Indonesia. Proses pembuatan soal dilakukan bersama-sama dalam suatu lokakarya yang diadakan di
16
tingkat regional. Soal yang dihasilkan dari workshop ini kemudian ditelaah oleh Tim OSCE Nasional untuk analisis kemungkinan pelaksanaan stasiun tersebut. Soal yang telah dianggap layak selanjutnya ditelaah kembali oleh Kolegium terkait (panel expert). Selanjutnya soal ini diujicobakan pada pelatihan penguji OSCE dan pelatih Pasien Standarisasi (PS). Soal yang baik disimpan dalam bank soal UKDI dan memiliki kesempatan untuk diujikan pada OSCE UKDI. Setiap soal OSCE harus dibuat sesuai cetak biru penilaian dan format penulisan soal yang disepakati dengan menggunakan formulir yang terstandarisasi serta di review bersama sesuai formulir yang terstandarisasi. Soal OSCE yang telah dihasilkan disimpan dalam bank soal OSCE dalam bentuk komputerisasi. Penentuan batas lulus dilakukan setelah penyelenggaraan OSCE secara nasional selesai pada
periode ujian tertentu. Metode yang digunakan adalah
Borderline Group Method atau Borderline Regression Method. Metode ini memiliki kredibilitas yang lebih baik karena memiliki penilaian sebagai berikut. 1) Setiap peserta dinilai pada setiap stasiun menggunakan lembar penilaian peserta yang berdasarkan kemampuan peserta dengan memperhatikan daftar tilik yang disediakan (actual mark). 2) Pada bagian bawah dari lembar tersebut terdapat global performance yang merupakan
persepsi (kesan) umum dari penguji terhadap keseluruhan
penampilan peserta (sesuai aspek yang diuji, mulai anamnesis sampai dengan perilaku profesional) berupa superior, lulus, borderline atau tidak lulus. 3) Selanjutnya data dari setiap stasiun dikumpulkan dan dihitung.
17
4) Dibuat
suatu perhitungan
menggunakan hasil dari
persamaan
dengan komputerisasi
dengan
global performance sebagai variabel bebas
(independen) dan hasil dari daftar tilik sebagai
variabel tergantung
(dependen). 5) Nilai batas lulus adalah perpotongan antara kandidat yang borderline dan lulus. 6) Nilai batas lulus ini menunjukkan minimum kemampuan seorang dokter untuk stasiun tersebut. Metode ini sangat tergantung dari kemampuan penguji untuk menjadi penilai yang tepat dalam menentukan penampilan minimal seorang kandidat dan juga sangat tergantung pada jumlah kandidat yang mengikuti OSCE pada periode tertentu. Kelulusan OSCE melihat kelulusan stasiun dengan penentuan metode di atas. 2.1.2.2 OSCE Komprehensif OSCE Komprehensif merupakan OSCE yang dilakukan setelah mahasiswa menyelesaikan program pendidikan sarjana kedokteran. OSCE ini syarat wajib sebelum mahasiswa mengikuti program pendidikan profesi dokter atau kepaniteraan klinik (Co Assisten/Co Ass) di rumah sakit atau sarana pelayanan kesehatan lain. Diselenggarakan minimal tiga kali dalam setahun mengikuti format OSCE Nasional. Format OSCE komprehensif mengacu kepada OSCE Nasional. Mahasiswa yang dinyatakan lulus di semua stasiun berhak melanjutkan ke jenjang pendidikan profesi dokter. Sebaliknya mahasiswa yang tidak lulus pada OSCE ini
18
diharuskan mengulang di OSCE komprehensif berikutnya sampai lulus disemua stasiun. 2.1.2.3 OSCE Reguler OSCE reguler dilaksanakan berdasarkan standar nasional mulai dari pembuatan soal, proses ujian hingga penentuan kelulusan menggunakan borderline group methode. Tujuan pelaksanaan OSCE reguler adalah menguji keterampilan klinis peserta didik, dilaksanakan pada setiap akhir modul setelah mempelajari materi klinik setiap modul. Ujian berlangsung dalam tiga sesi, yaitu: (1) sebelum istirahat makan siang; (2) setelah istirahat makan siang dan sebelum shalat ashar; (3) setelah selesai shalat ashar. Pada sesi pertama, penguji harus melaksanakan tugas selama 300 menit tanpa istirahat atau asupan kalori apapun karena jumlah peserta yang diuji adalah 30 orang. Waktu setiap peserta adaah 10 menit. Kegiatan yang dilakukan selama duduk 300 menit (5 jam) merupakan kegiatan yang sama dan diulang untuk 30 peserta ujian yaitu mengobservasi tindakan yang dilakukan peserta ujian. Pada sesi kedua dilakukan selama 180 menit (3 jam) mulai pukul 13.00-16.00 karena jumlah peserta ujian adalah 18 mahasiswa. Penguji melakukan kegiatan yang sama seperti pada sesi pertama, tetapi kondisi lingkungan sudah lebih panas dan jam biologis istirahat. Pada sesi ketiga dilakukan selama 120 menit (2 jam) mulai pukul 16.15-18.15 karena jumlah peserta ujian hanya 12 mahasiswa.
19
2.1.3
Frekuensi dan Durasi OSCE reguler di FK UNIZAR
2.1.3.1 Frekuensi Pada satu semester telah disiapkan tiga sampai empat modul pembelajaran, sehingga bisa dilakukan tiga sampai empat kali ujian OSCE. Pada semester ganjil terdapat empat semester aktif (semester I, III, V, VII), sehingga dalam 1 semester dilakukan sedikitnya 12 kali ujian OSCE reguler. Mahasiswa yang tidak lulus di salah satu stasiun OSCE reguler, harus mengikuti ujian ulangan OSCE reguler. Pada semester genap terdapat tiga semester aktif (semester II, IV, VI), maka dalam 1 semester genap dilakukan sedikitnya 9 kali ujian OSCE reguler. Mahasiswa yang tidak lulus di salah satu stasiun OSCE reguler, harus mengikuti ujian ulangan OSCE reguler. 2.1.3.2 Durasi OSCE reguler di FK UNIZAR dilakukan oleh enam penguji yang bertanggungjawab terhadap satu stasiun ujian dengan alokasi waktu bertugas adalah 10 menit untuk setiap peserta ujian yang pada awal dan akhir ujian ditandai bunyi bel. Total satu putaran OSCE adalah 60 menit. Enam peserta ujian yang telah dipanggil untuk ujian menempatkan diri di depan stasiun yang telah ditentukan, satu orang di stasiun satu, yang lain di stasiun dua, tiga, empat, lima dan enam. Bel pertama berbunyi menandakan peserta mulai mengerjakan ujian dan dimulai juga tugas penguji dalam menguji. Sepuluh menit berlalu bel akan berbunyi dan peserta ujian harus berpindah dari stasiun awal ke stasiun berikutnya. Peserta yang mulai ujian di stasiun satu pindah ke stasiun dua, peserta di stasiun dua pindah ke stasiun tiga, peserta di stasiun tiga pindah ke stasiun
20
empat, peserta di stasiun empat pindah ke stasiun lima, peserta di stasiun lima pindah ke stasiun enam, peserta di stasiun enam pindah ke stasiun satu. Demikian seterusnya hingga ada bel berbunyi dua kali menandakan peserta selesai mengerjakan ujian disemua stasiun. Berikutnya akan dipanggil enam peserta ujian lagi untuk ujian yang sama seperti prosedur yang telah dijelaskan, seterusnya hingga semua peserta. Total peserta ujian adalah 60 orang. Sehingga total ada 10 kali putaran ujian OSCE. Jika masing-masing putaran 60 menit, maka total ujian adalah 600 menit atau 10 jam.
2.1.4
Proses OSCE reguler di FK UNIZAR
2.1.4.1 Persiapan Persiapan merupakan tahapan terpanjang dalam rangkaian OSCE, meliputi sejumlah materi yang harus dipersiapkan sebelum OSCE dimulai. Pengarahan OSCE reguler diadakan maksimal satu hari sebelum OSCE dilaksanakan, bagi peserta ujian OSCE yang sudah memenuhi syarat kehadiran seratus persen diperkenankan mengikuti OSCE reguler dan wajib hadir pada pengarahan OSCE reguler. Peserta yang tidak menghadiri pengarahan maka tidak diikutsertakan dalam ujian OSCE. Pada pengarahan ini, dijelaskan jumlah penguji yang bertanggungjawab pada satu stasiun ujian. Pelaksanaan perputaran/rotasi, setelah peserta selesai di uji oleh seorang penguji yang bertanggungjawab disalah satu stasiun. Ketentuan lain yang wajib ditaati seperti: larangan membawa apapun ke dalam stasiun ujian dan lain sebagainya. Pada acara pengarahan ini juga dibagikan nomor peserta ujian, sebagai faktor yang paling menentukan tentang waktu
21
peserta akan memulai ujian, karena mereka dipanggil untuk ujian OSCE berdasarkan nomor peserta. Pengarahan diberikan oleh instruktur skills lab, sebagai penanggungjawab modul bersangkutan dan dihadiri juga oleh seluruh instruktur skills lab yang juga bertindak sebagai penguji OSCE. a. Membuat soal Pembuatan soal mengikuti format baku OSCE Nasional, terdiri atas: nomor stasiun, judul stasiun, waktu yang dibutuhkan, tujuan stasiun, kompetensi, kategori, instruksi untuk peserta, instruksi untuk penguji, instruksi untuk pasien simulasi, peralatan yang dibutuhkan, penulis, referensi, dan lembar penilaian. setiap instruktur, sebelumnya sudah diminta membuat soal terlebih dahulu, kemudian dirapatkan dengan seluruh instruktur yang juga menguji saat OSCE berlangsung. Soal yang digunakan pada OSCE disesuaikan dengan modul yang diujikan pada OSCE tetapi tetap mengacu pada tujuh area kompetensi dan Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) yang berkriteria kompetensi 4, artinya keterampilan tersebut wajib dikuasai oleh level dokter umum. Pada tahap ini juga terlihat instruksi untuk peserta yaitu soal yang harus dikerjakan, terdapat juga instruksi untuk penguji, instruksi untuk pasien simulasi, peralatan yang dibutuhkan sehingga dapat ditentukan lama perkiraan waktu yang dibutuhkan peserta untuk mengerjakan soal tersebut. Selain itu, diketahui jumlah pasien simulasi yang dibutuhkan pada OSCE tersebut dan jenis alat dan bahan yang dibutuhkan. Terakhir adalah membuat lembar penilaian/rubrik, berisi jawaban dari soal yang ditanyakan dan item yang dijadikan penilaian. Rubrik berisi dua hal pokok dalam penilaian yaitu penilaian actual mark dan global rating.
22
Pada Actual Mark, misalnya dalam satu stasiun kompetensi yang dinilai adalah kemampuan anamnesa, pemeriksaan fisik, komunikasi dan perilaku profesional. Skala penilaian adalah 0-3 untuk setiap kompetensi. Sebagai contoh pada kompetensi anamnesa, nilai 0 jika peserta ujian tidak melakukan anamnesa sama sekali, nilai 1 jika melakukan sebagian dari anamnesa, nilai 2 jika melakukan keseluruhan anamnesa tetapi tidak sempurna, nilai 3 jika melakukan seluruh poin anamnesa dengan sempurna. Ketentuan tersebut tidak baku, tetapi dapat dibakukan setelah disepakati dalam rapat. Pada kompetensi pemeriksaan fisik yang harus urut misalnya dapat digunakan skala angka, jika dalam satu pemeriksaan fisik terdapat 10 langkah misalnya, nilai 0 tidak melakukan sama sekali, nilai 1 melakukan 1-5 step, nilai 2 melakukan 6-8 step, nilai 3 melakukan 9-10 step. Begitu juga berlaku untuk menilai komunikasi dan perilaku profesional. Semua ketentuan tersebut mengacu kepada standar OSCE nasional, hanya titik berat penilaiannya, ditetapkan berdasarkan kesepakatan bersama. Pada global rating, penguji menilai keseluruhan penampilan peserta. Global rating dinilai paling belakang dari penampilan peserta secara umum. Nilai untuk global rating adalah lulus, tidak lulus, borderline dan superior. Penilaian global rating ini dijadikan acuan pada borderline group methode, karena semua nilai peserta yang mendapatkan borderline dijumlahkan kemudian dibagi sejumlah peserta yang mendapatkan nilai borderline. Hasil bagi tersebut adalah nilai yang menjadi batas lulus peserta ujian. Rubrik inilah yang dijadikan acuan penguji dalam menilai. Tahap membuat soal ini dilakukan maksimal satu minggu sebelum OSCE dilaksanakan
23
b. Review soal Setelah soal disepakati, melakukan review. Pada tahap ini, setiap penguji diberikan tugas menguji di salah satu stasiun. Penguji harus melakukan demonstrasi skills yang diujiankan. Dengan demikian, alokasi waktu ujian dapat lebih jelas lagi. Misalnya, Jika penguji mampu mengerjakan soal ujian dalam waktu delapan menit maka waktu yang akan disediakan pada saat ujian adalah sepuluh menit. Semua penguji melakukan review pada soal yang diujinya dan harus mencapai kesepakatan waktu ujian. Jika terlalu lama, jumlah soalnya dikurangi, sebaliknya jika terlalu cepat, maka soal harus ditambah. c. Persiapan tata ruang, alat dan bahan Setelah pengarahan atau satu hari menjelang ujian OSCE, ruangan harus sudah di tata sesuai dengan soal ujian. Pada stasiun yang mengharuskan peserta ujian melakukan anamnesa atau wawancara maka harus disediakan set meja dan kursi yang di tata untuk pasien simulasi dan peserta ujian, pada stasiun yang membutuhkan pemeriksaan fisik dada atau perut harus disediakan bed pasien berbaring. Peralatan dan bahan yang dibutuhkan, juga harus sudah di tempatkan pada stasiun masing-masing. 2.1.4.2 Proses Ujian OSCE Reguler Pukul enam pagi, semua yang terlibat dalam penyelenggaraan OSCE reguler sudah harus hadir di gedung skills lab. Peserta mulai mempersiapkan diri, penguji kembali melakukan cek semua yang dibutuhkan stasiunnya masingmasing termasuk melakukan briefing ulang terhadap pasien simulasi, ini penting agar pasien simulasi dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan tidak
24
menyimpang dari skenario soal. Dokter penanggungjawab, melakukan final briefing kepada peserta ujian. Setelah semua siap, enam orang dokter penguji memasuki stasiun masing-masing dan satu orang dokter penanggungjawab tidak ikut menguji, karena tugasnya mengawasi dan memastikan ujian OSCE berlangsung dengan baik dan lancar. Peserta ujian dipanggil berdasarkan nomor peserta, enam orang peserta ujian memasuki ruang ujian dan menunggu di depan stasiun masing-masing yang sudah diberi nama. Bel pertama berbunyi, peserta ujian mulai membaca soal yang tertempel di depan stasiun ujian, setelah dirasa cukup memahami isi instruksi peserta (soal) kemudian peserta ujian memasuki stasiunnya. Peserta mulai mengerjakan materi yang diinstruksikan oleh soal. Penguji memperhatikan dan mengamati setiap langkah demi langkah yang dikerjakan oleh peserta ujian, menilainya berdasarkan rubrik yang telah di persiapkan. Jika bel berbunyi, tandanya waktu habis dan peserta ujian harus berpindah ke stasiun berikutnya. Peserta ujian yang berada di stasiun satu berpindah ke stasiun dua, peserta di stasiun dua berpindah ke stasiun tiga, peserta di stasiun tiga berpindah ke stasiun empat, peserta di stasiun empat berpindah ke stasiun lima, peserta di stasiun lima berpindah ke stasiun enam, peserta di stasiun enam berpindah ke stasiun satu demikian seterusnya hingga enam stasiun mereka masuki dan mengerjakan semua soal.
25
STASIUN 4
STASIUN 5
STASIUN 6
STASIUN 3
STASIUN 2
STASIUN 1
Gambar 2.1: Denah ruang skills lab FK UNIZAR dan perpindahan antar stasiun
Bunyi bel dua kali menandakan waktu habis dan semua peserta menyelesaikan enam putaran stasiun. Peserta yang telah selesai ujian turun melalui tangga belakang dan peserta putaran berikutnya memasuki ruangan, demikian seterusnya hingga peserta melaksanakan ujian semuanya. 2.1.4.3 Penentuan kelulusan Peserta ujian OSCE dinyatakan lulus di salah satu stasiun, apabila nilainya di atas borderline. Pada saat ujian, penguji menilai peserta berdasarkan nilai actual mark (skala 0-3) setiap komponen kompetensi dan global rating (lulus, tidak lulus, borderline, superior) hasil semua peserta yang mendapatkan nilai borderline dijumlahkan menjadi satu. Misalnya dalam satu stasiun diujikan empat komponen kompetensi, setiap kompetensi nilai maksimal tiga jadi nilai tertinggi di stasiun tersebut adalah 12. Peserta yang mendapatkan predikat borderline misalnya ada 10 orang dengan nilai masing-masing 5,5,6,5,6,5,6,6,5,4, total 53. Nilai total tersebut dibagi sejumlah peserta yang mendapatkan predikat borderline yaitu 10 orang. Jadi nilai batas lulus di stasiun tersebut adalah 5,3.
26
Peserta yang jumlah nilai actual mark nya lebih dari itu dinyatakan lulus di stasiun tersebut. Sebaliknya, peserta yang jumlah nilai actual mark kurang dari atau sama dengan 5,3 dinyatakan tidak lulus. Jika peserta mendapatkan predikat lulus pada saat penilaian global rating namun jumlah nilai actual marknya di bawah atau sama dengan ambang batas lulus maka peserta tersebut dinyatakan tidak lulus. Sebaliknya peserta dengan predikat tidak lulus dan borderline yang jumlah nilai actual mark nya diatas nilai ambang batas lulus maka peserta tersebut hasil akhirnya dinyatakan lulus. Peserta yang hasil akhirnya dinyatakan tidak lulus, dapat mengikuti ujian ulang yang waktu pelaksanaan ditentukan kemudian. Peserta hanya mengulang pada stasiun yang tidak lulus saja.
2.2
Kondisi Penguji OSCE Reguler di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar (FK UNIZAR) Mataram
2.2.1
Stasiun Kerja Penguji OSCE di FK UNIZAR OSCE reguler dibagi dalam enam stasiun, masing-masing stasiun
terdapat seorang penguji OSCE reguler. Tiap stasiun dilengkapi dengan kursi dan meja kerja. Selain itu ada juga bed periksa dan meja alat untuk digunakan ujian. Penguji bertugas mengamati dan menilai di lembar penilaian yang telah disediakan dimeja masing-masing. Stasiun kerja penguji OSCE reguler dapat dilihat pada Gambar 2.2
27
Gambar 2.2 stasiun kerja penguji OSCE reguler FK UNIZAR Faktor yang penting dan mempengaruhi kondisi pengujii saat bekerja adalah lingkungan kerja, yang meliputi suhu, intensitas penerangan dan kebisingan. a. Suhu Suhu udara di setiap stasiun OSCE reguler dapat disesuaikan dengan kondisi masing-masing penguji OSCE reguler karena semua stasiun sudah dilengkapi pendingin ruangan. b. Intensitas penerangan Penerangan disetiap stasiun berasal dari cahaya matahari dan jika dirasa kurang memadai dapat menggunakan lampu. Rata-rata penerangan tiap stasiun adalah 500 lux. c. Kebisingan Setiap stasiun OSCE dilengkapi dengan dinding yang dapat meredam suara, sehingga ketika dalam keadaan tertutup, semua suara dari luar tidak terdengar.
28
2.2.2
Sikap kerja penguji OSCE reguler di FK UNIZAR Sikap kerja para penguji OSCE reguler selama menjalankan tugas
adalah posisi duduk dikursi dengan sandaran, dilengkapi meja kerja. Penguji mengamati dan menilai peserta ujian dari tempat duduk tersebut, dengan sikap kerjaseperti ditunjukan pada Gambar 2.3
Gambar 2.3 Sikap Kerja Penguji OSCE Reguler FK UNIZAR 2.2.3 Kinerja Penguji OSCE di FK UNIZAR Pada proses kerja yaitu menguji OSCE reguler di FK UNIZAR, penguji dengan kinerja baik akan mampu menilai dengan objektif sesuai lembar penilaian dan sesuai kemampuan peserta. Penguji dapat menilai dengan objektif jika dalam kondisi yang baik, tidak merasa bosan, tidak merasa kelelahan maupun terdapat keluhan muskuloskeletal. Kinerja seseorang sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya keluhan kerja berupa: kebosanan akibat beban kerja, keluhan muskuloskeletal, dan kelelahan (Mangkuprawira, 2003). Sehingga peningkatan kinerja secara ergonomis dapat diukur berdasarkan indikator penurunan kebosanan akibat beban kerja, keluhan muskuloskeletal dan kelelahan (Arimbawa, 2010).
29
Kinerja penguji OSCE reguler diniai baik pada akhirnya adalah jika dapat melakukan penilaian dengan obyektif. Hal ini dapat tercermin dari: 1)lembar penilaian terisi penuh, 2) terdapat feedback yang dituliskan pada lembar penilaian terutama
pada
saat
tidak
meluluskan
peserta
ujian,
3)
dapat
mempertanggungjawabkan apa yang dinilai saat rapat akhir penentuan kelulusan, 4) sedikit atau bahkan tidak ada komplain dari peserta ujian yang dirugikan akibat kesalahan penilaian saat nilai diumumkan.
2.2.4 Beban Kerja Penguji OSCE reguler di FK UNIZAR Penguji memperhatikan dan mengamati setiap langkah demi langkah tindakan peserta ujian, menilainya berdasarkan rubrik yang telah di persiapkan. Jika bel berbunyi, tandanya waktu habis dan penguji ujian harus menghentikan tugasnya sementara serta menunggu datangnya peserta ujian berikutnya. Peserta ujian yang berada di stasiun satu berpindah ke stasiun dua, peserta di stasiun dua berpindah ke stasiun tiga, peserta di stasiun tiga berpindah ke stasiun empat, peserta di stasiun empat berpindah ke stasiun lima, peserta di stasiun lima berpindah ke stasiun enam, peserta di stasiun enam berpindah ke stasiun satu demikian seterusnya hingga enam stasiun mereka masuki dan mengerjakan semua soal. Ujian berlangsung dalam tiga sesi, yaitu: (1) sebelum istirahat makan siang; (2) setelah istirahat makan siang dan sebelum shalat ashar; (3) setelah selesai shalat ashar. Pada sesi pertama, penguji harus melaksanakan tugas selama 300 menit tanpa istirahat atau asupan kalori apapun karena jumlah peserta yang
30
diuji adalah 30 orang. Waktu setiap peserta adaah 10 menit. Kegiatan yang dilakukan selama duduk 300 menit (5 jam) merupakan kegiatan yang sama dan diulang untuk 30 peserta ujian yaitu mengobservasi tindakan yang dilakukan peserta ujian. Pada sesi kedua dilakukan selama 180 menit (3 jam) mulai pukul 13.00-16.00 karena jumlah peserta ujian adalah 18 mahasiswa. Penguji melakukan kegiatan yang sama seperti pada sesi pertama, tetapi kondisi lingkungan sudah lebih panas dan jam biologis istirahat. Pada sesi ketiga dilakukan selama 120 menit (2 jam) mulai pukul 16.15-18.15 karena jumlah peserta ujian hanya 12 mahasiswa. Beban kerja fisik dan mental penguji OSCE reguler lebih dari 10 jam.
2.2.5
Kebosanan, Kelelahan Kerja dan Keluhan Muskuloskeletal Penguji OSCE di FK UNIZAR Studi pendahuluan mengenai kebosanan, kelelahan dan keluhan
muskuloskeletal terhadap penguji didapatkan bahwa dari total enam orang penguji yang mengalami kelelahan sebanyak empat orang dan keluhan muskuloskeletal di bagian bahu sebanyak tiga orang, bagian punggung sebanyak empat orang, bagian pinggang sebanyak lima orang serta bagian bokong sebanyak lima orang. Sebanyak enam orang atau semuanya mengalami kebosanan saat menguji.
2.3
Tinjauan Ergonomi Ergonomi adalah ilmu, teknologi dan seni untuk menserasikan cara, alat
dan lingkungan kerja terhadap kemampuan, kebolehan dan batasan manusia, demi terbentuknya kondisi kerja dan lingkungan yang sehat, aman, nyaman dan efisien
31
untuk tercapainya produktivitas kerja yang setinggi-tingginya. Sebagai ilmu yang bersifat multidisipliner dimana terintegrasi elemen-elemen fisiologi, psikologi, anatomi, higiene, teknologi dan ilmu-ilmu lainnya yang berkaitan dengan pekerjaan, perkembangan dan prakteknya bertujuan sebagai berikut: (Manuaba, 1998) a. Meningkatkan kesejahteraan fisik dan mental, khususnya dalam rangka mencegah munculnya cedera dan penyakit akibat kerja, menurunkan beban mental dan fisik serta mempromosikan kepuasan kerja. b. Meningkatkan kesejahteraan sosial dengan memperbaiki kualitas kontak sosial dan bagaimana megorganisasikan kerja yang sebaik-baiknya. c. Berkontribusi kepada keseimbangan rasional antara aspek teknis, ekonomi, antropologi dan budaya dari sistem manusia/mesin, demi tercapainya efisiensi yang lebih tinggi dari sistem tersebut Adapun aspek kajian dalam rangka mencapai ketiga tujuan di atas adalah sebagai berikut: 1) Energi (status nutrisi), dimana nutrisi yang cukup sebagai sumber energi pekerja mutlak diperlukan, untuk mampu menyelesaikan pekerjaan selama waktu kerja 2) Aplikasi dari tenaga, dimana diupayakan pemanfaatan tenaga otot secara optimal dan efisien dengan mendesain pekerjaan sebaik mungkin dan kalau perlu mengadakan latihan bagi pekerja untuk menekan “stress” (rangsangan aksi) kepada otot pekerja seminim mungkin
32
3) Posisi tubuh, dimana sikap kerja yang buruk dan terlalu banyak lembur akan menyebabkan adanya “strain” (reaksi) muskuloskeletal dan menimbulkan efek negatif kepada kesehatan. Untuk mencegah situasi seperti itu, posisi kepala, badan dan anggota gerak perlu diperhatikan, khususnya yang berkaitan dengan cara kerja dan ruang kerja. 4) Kondisi lingkungan, dimana panas, cahaya, bising dan getaran perlu dikaji untuk mencegah adanya “strain” (reaksi) mental dan fisik. 5) Kondisi yang berhubungan dengan waktu, dimana studi perlu dilakukan mengenai waktu istirahat, hari libur dan pola kerja bergilir, untuk mengurangi kelelahan dan pengaruh yang negatif kepada kesejahteraan pekerja. 6) Kondisi sosial, dimana perhatian harus diberikan kepada bagaimana pekerjaan harus diatur, pemberian “reward” (hadiah) dan kualitas interaksi sosial antar pekerja dengan berubahnya teknologi. 7) Kondisi informasi, dimana jumlah dan kualitas informasi yang diperlukan pekerja untuk mampu melaksanakan tugasnya dengan baik merupakan satu hal yang mutlak. Strain mental dan fisik akan muncul bila informasi yang dibutuhkan melebihi kapasitas kerja 8) Interaksi manusia/mesin, dimana menetapkan secara tepat apa yang menjadi tugas pekerja manusia/mesin Dengan upaya ergonomis, kelelahan kerja dengan segala bentuknya seperti karena adanya monotoni, besar dan lamanya kerja fisik atau mental, mikro-klimat yang buruk, masalah-masalah psikologis serta adanya penyakit, bekerja dengan perasaan sakit dan kurang energi, benar-benar bisa dilenyapkan (Manuaba, 1998).
33
2.3.1
Konsep Ergonomi Ergonomi merupakan suatu ilmu, seni dan teknologi yang berupaya
untuk
menyerasikan alat, cara dan lingkungan kerja terhadap kemampuan,
kebolehan dan segala keterbatasan manusia, sehingga manusia dapat berkarya secara optimal tanpa pengaruh buruk dari pekerjaannya. Dari sudut pandang ergonomi, antara tuntutan tugas dengan kapasitas kerja harus selalu dalam garis keseimbangan sehingga dicapai performansi kerja yang tinggi. Dengan kata lain, tuntutan tugas pekerjaan tidak boleh terlalu rendah (underload) dan juga tidak boleh terlalu berlebihan (overload). Karena keduanya, baik underload dan overload akan menyebabkan stres. Konsep keseimbangan antara kapasitas kerja dengan tuntutan tugas tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini :
Task/work place Characteristic
Personal Capacity
Material Characteristic
TASK DEMANDS Organization Characteristic
Physiological Capacity
WORK CAPACITY Psychological Capacity
Environmental Characteristic
PERFORMANCE Quality Fatique Discomfort Injury
Stress Accident Diseases Productivity
Gambar 2.4 Bagan Konsep Dasar Dalam Ergonomi (Manuaba, 2000)
Biomechanical Capacity
34
2.3.2
Sikap Kerja dalam Ergonomi Sikap kerja adalah sikap tubuh (posture) manusia saat berinteraksi
dengan alat/peralatan kerja. Sikap kerja yang baik adalah sikap kerja yang memungkinkan melaksanakan pekerjaan dengan efektif dan dengan usaha otot yang sedikit. Secara mendasar sikap tubuh dalam keadaan tidak melakukan gerakan atau pekerjaan adalah sikap berdiri, berbaring, berjongkok dan duduk (Pheasant, 1991). Posisi dan sikap kerja para pekerja saat melakukan aktivitas di tempat kerja berpengaruh terhadap respon fisiologis pekerja tersebut. Sikap kerja yang tidak alamiah/ fisiologis merupakan penyebab munculnya berbagai gangguan pada sistem muskuloskeletal (Manuaba, 1998). Untuk mengatasi masalah tersebut perlu diketahui kriteria sikap kerja yang ideal dalam melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan antara lain adalah sebagai berikut (Pheasant, 1991; Palilingan dkk, 2012) : 1) Otot yang bekerja secara statis sangat sedikit. 2) Dalam melakukan tugas dengan memakai tangan dilakukan secara mudah dan alamiah. 3) Sikap kerja yang berubah – ubah atau dinamis lebih baik daripada sikap kerja statis rileks. 4) Sikap kerja statis rileks lebih baik daripada sikap kerja statis tegang Menurut Pheasant (1991), prinsip dasar dalam mengatasi sikap tubuh selama bekerja adalah sebagai berikut: 1) Cegah inklinasi ke depan pada leher dan kepala. 2) Cegah inklinasi ke depan pada tubuh.
35
3) Cegah penggunaan anggota gerak bagian atas dalam keadaan terangkat. 4) Cegah pemutaran badan dalam sikap asimetris (terpilin). 5) Persendian hendaknya dalam rentangan sepertiga dari gerakan maksimum. 6) Jika menggunakan tenaga otot, hendaknya dalam posisi yang mengakibatkan kekuatan maksimal. Kasus yang paling umum berkaitan dengan sikap kerja pada saat melakukan aktivitas sehari– hari adalah sebagai berikut: (Pheasant, 1991). 1) Inklinasi ke depan pada leher dan kepala, karena medan display terlalu rendah atau objek terlalu kecil. 2) Sikap kerja membungkuk, karena medan kerja yang terlalu rendah dan objek diluar jangkauan. 3) Sikap asimetris (terpilin) yang mengakibatkan terjadinya perbedaan beban pada kedua sisi tulang belakang. 4) Sikap kerja yang salah dapat mengakibatkan postural deformitas pada tubuh antara lain: lordosis, khiposis dan skoliosis. Selanjutnya menurut Bridger (1995), sikap kerja yang dilakukan oleh pekerja dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu sebagai berikut: 1) Karakteristik pekerja (subjek): umur, jenis kelamin, antropometri, berat badan, kesegaran jasmani, pergerakan sendi, penglihatan serta ketangkasan. 2) Tuntutan jenis pekerjaan (task): posisi tubuh, siklus waktu kerja, periode istirahat, urut – urutan pekerjaan. 3) Rancangan luasan kerja (work space): ukuran peralatan yang digunakan, ukuran bahan yang dikerjakan, rancangan peralatan, ukuran luasan kerja
36
4) Lingkungan kerja (environment): intensitas penerangan, suhu lingkungan, kelembaban udara, kecepatan udara, kebisingan, debu, dan vibrasi. Sikap kerja hendaknya diupayakan dalam posisi alamiah sehingga tidak menimbulkan sikap paksa yang melampaui kemampuan fisiologis tubuh (Cumming, 2003). Sikap kerja paksa bisa terjadi pada saat memegang, mengangkat,
dan
mengangkut,
dan
berdiri
terlalu
lama
atau
karena
ketidaksesuaian antara alat kerja dengan ukuran tubuh pekerja (Dempsey, 2003; Hutagalung, 2008).
2.3.3
Mengurangi Beban Kerja dalam Ergonomi Dalam menghadapi dan mengerjakan suatu pekerjaan berarti tubuh pekerja
akan menerima beban dari luar tubuhnya. Beban tersebut dapat berupa beban fisik maupun beban mental. Dalam ergonomi setiap beban kerja yang diterima oleh seseorang harus sesuai atau seimbang baik terhadap kemampuan fisik, kemampuan kognitif maupun keterbatasan manusia yang menerima beban tersebut. Secara umum Menurut Adiputra (2002), Beban kerja (work load) merupakan faktor stressor tubuh yang dibedakan menjadi dua kelompok besar yaitu: 1) External load ( Stressor) adalah beban kerja yang berasal dari luar tubuh pekerja. Yang termasuk beban kerja eksternal adalah tugas (task) itu sendiri, organisasi dan lingkungan kerja. Tugas – tugas yang dilakukan baik bersifat fisik seperti ; sarana kerja, kondisi kerja dan sikap kerja, maupun bersifat mental seperti kompleksitas atau sulit tidaknya pekerjaan yang mempengaruhi
37
tingkat emosi pekerja. Organisasi mencakup lamanya waktu kerja, proses kerja dan sistem kerja. Lingkungan kerja seperti panas lingkungan, intensitas penerangan, kelembaban dan lain –lain. 2) Internal load (strain) adalah beban kerja yang berasal dari dalam tubuh pekerja yang berkaitan erat dengan adanya harapan, keinginan, kepuasan dan lain – lain. Kriteria penilaian beban kerja yang dapat dipakai (Rodahl, 1989), yaitu: a. Kriteria objektif, yang dapat diukur dan dilakukan oleh pihak lain yang meliputi reaksi fisiologis, reaksi psikologis/ perubahan tindak tanduk; b. Kriteria subjektif yang dilakukan oleh orang yang bersangkutan sebagai pengalaman pribadi, misalnya beban kerja yang dirasakan sebagai kelelahan yang menggangu, rasa sakit atau pengalaman lain yang dirasakan. Beban kerja pada proses menguji pada ujian OSCE dapat berupa beban kerja yang berasal dari faktor eksternal dan dapat juga berasa dari faktor internal. Untuk itu dalam penilaiannya ada dua kriteria yang dapat dipakai : (a) kriteria objektif, yang dapat diukur melalui reaksi fisiologis yaitu pengukuran denyut nadi dan pengukuran penurunan konsentrasi, (b) kriteria subjektif, yang dilakukan oleh orang yang bersangkutan sebagai pengalaman pribadi, misalnya beban kerja yang dirasakan sebagai kelelahan yang mengganggu, rasa sakit atau pengalaman lain yang dirasakan dinilai melalui kuesioner. Usaha – usaha menurunkan beban kerja menurut Hutagalung (2008), faktor – faktor yang harus menjadi perhatian adalah:
38
1) Status nutrisi yaitu jumlah kalori yang diperlukan, kualitas gizi, saat pemberian yang tepat, frekuensi yang tepat, selera, kemauan, kemampuan ekonomis yang bersangkutan. 2) Pemanfaatan tenaga otot yaitu dengan masih dipakainya tenaga manusia sebagai alat angkut, maka cara angkat – angkut barang dan besarnya kemasan yang boleh dibawa harus benar -benar serasi dengan kemampuan, kebolehan dan batasan manusia (Manuaba, 1998). 3) Posisi tubuh yang salah atau tidak alamiah, apalagi didalam sikap paksa jelas akan mengurangi produktivitas seseorang. 4) Kondisi lingkungan yang nyaman sangat dibutuhkan oleh pekerja untuk bisa bekerja secara optimal dan produktif. 5) Jam kerja manusia adalah 8jam/hari yang masih bisa ditoleransi ialah 1 jam lembur setelah 8 jam kerja/hari, dengan catatan bahwa selama 8 jam kerja tersebut terdapat 2 kali istirahat dan 1 kali makan siang. 6) Kondisi sosial seperti rasa harga diri, motivasi dan kepuasan kerja merupakan keharusan untuk adanya partisipasi karyawan didalam upaya pencapaian produktivitas yang setinggi-tingginya. Cara kerja dan sistem manajemen sangat perlu diperhatikan. 7) Komunikasi dan informasi yang berjalan dua arah jelas merupakan satu keharusan dalam upaya meningkatkan produktivitas tenaga kerja melalui adanya rasa ikut memiliki untuk kemudian menjadi ikut bertanggug jawab. 8) Dalam interaksi manusia – mesin, rangsangan melalui display dan reaksi melalui kontrol harus benar – benar diatur sedemikian rupa sehingga mudah
39
dikerjakan tanpa adanya beban mental atau fisik yag berlebihan (Manuaba, 1998).
2.3.4
Mencegah Kelelahan Kerja menurut Ergonomi
2.3.4.1 Karakteristik Kelelahan Istilah kelelahan biasanya menunjukkan kondisi yang berbeda – beda dari setiap individu, tetapi semuanya bermuara kepada kehilangan efisiensi dan penurunan kapasitas kerja serta ketahanan tubuh. Kelelahan adalah suatu mekanisme perlindungan tubuh agar terhindar dari kerusakan lebih lanjut sehingga terjadi pemulihan setelah istirahat. Kelelahan diatur secara sentral oleh otak. Keluhan subjektif merupakan tanda personal yang menyatakan adanya suatu kelelahan yang dialami seseorang akibat beban kerja yang membebaninya karena interaksi seseorang dengan jenis pekerjaan, rancangan tempat kerja, dan atau peralatan kerja, termasuk sikap kerjanya (Bridger, 1995; Suardana, 2001). Menurut Kroemer dan Grandjean (2000) kelelahan merupakan suatu keadaan yang tercermin dari gejala perubahan psikologis berupa kelambanan aktivitas motorik dan respirasi, adanya perasaan sakit, berat pada bola mata, pelemahan motivasi, penurunan aktivitas yang akan mempengaruhi aktivitas fisik dan mental.
Adiputra (2003) mengatakan bahwa terjadinya kelelahan pada
pekerja adalah adanya organ tubuh secara terus menerus menerima beban kerja eksternal dengan tanpa kesempatan istirahat atau mendapat beban kerja yang melewati kapasitasnya.
Sedangkan Manuaba (1998) berpendapat bahwa
kelelahan dapat terjadi karena adanya lingkungan kerja yang terlalu panas. Secara
40
fisiologis terdapat dua macam kelelahan (Guyton dan Hall, 1996, Suma’mur, 1995) yaitu: kelelahan otot dan kelelahan umum. Kelelahan otot adalah keadaan dimana otot mengalami kelelahan akibat ketegangan yang berlebihan, terlihat dari beberapa gejala tremor pada otot atau perasan nyeri yang terdapat pada otot, penurunan tenaga, gerakan otot yang lebih lambat dan juga koordinasi otot menurun. Kelelahan umum adalah gejala berkurangnya kemampuan
untuk
bekerja, terjadinya kekacauan pikiran, respirasi, lelah seluruh badan, terkadang juga perasaan sakit dan berat pada mata. Pulat (1992) mengemukakan secara umum gejala kelelahan dapat dimulai dari yang sangat ringan sampai perasaan yang sangat melelahkan. Kelelahan subjektif biasanya terjadi pada akhir jam kerja. Berikut ini adalah gambar skema taksonomi dari kelelahan yaitu sebagai berikut (Astrand dan Rodahl, K. 1989; Tarwaka, 2011):
Gambar 2.5 Skema Taksonomi Kelelahan Kelelahan sesungguhnya merupakan suatu mekanisme perlindungan tubuh agar terhindar dari kerusakan lebih lanjut atau dapat dikatakan sebagai
41
alarm tubuh yang mengisyaratkan seseorang untuk segera beristirahat. Mekanisme ini diatur oleh sistem saraf pusat yang dapat mempercepat impuls yang terjadi di sistem aktivasi oleh sistem saraf simpatis dan memperlambat impuls yang terjadi di sistem inhibisi oleh sistem saraf parasimpatis. Menurunnya kemampuan dan ketahanan tubuh akan mengakibatkan menurunnya efisiensi dan kapasitas kerja. Kelelahan bisa merupakan kelelahan fisik maupun psikologis. Kelelahan fisik disebabkan adanya bahan – bahan laktat hasil metabolisme, sedangkan kelelahan psikis lebih ke arah bagaimana keserasian hubungan perorangan antar tenaga kerja ke atas, mendatar maupun ke bawah. Lingkungan kerja yang tidak menyenangkan dapat menimbulkan kelalahan psikologis yang dapat dirasakan kelelahan tersebut pada awal – awal bekerja dimana secara fisik sebenarnya belum lelah. Untuk itu maka perlu dibina suasana lingkungan kerja yang harmonis, menyenangkan sehingga menimbulkan semangat kerja yang tinggi.
Menurut Grandjean (2000) dan Sedarmayanti (1996) bahwa kelelahan
yang berlanjut dapat menyebabkan kelelahan kronis dengan gejala yaitu : (1) terjadinya penurunan kestabilan fisik, (2) kebugaran berkurang, (3) gerakan lamban dan cenderung diam, (4) malas bekerja atau beraktivitas, (5) adanya rasa sakit yang semakin meningkat. Kelelahan yang berlanjut dapat menimbulkan efek psikologi juga yang ditandai dengan gejala – gejala berikut: (1) meningkatnya kejengkelan (tidak toleran), (2) kecenderungan ke arah depresi (kebingungan yang tidak bermotif) dan kelelahan umum dalam perjuangan dan malas akan pekerjaan. Disamping itu kelelahan juga menyebabkan gangguan psikosomatik yang ditandai dengan sakit kepala, pening kepala, mengantuk, jantung berdebar – debar,
42
keluarnya keringat dingin, nafsu makan berkurang atau hilang dan adanya gangguan pencernaan (Pheasant 1991). 2.3.4.2 Faktor Penyebab Kelelahan Kelelahan disebabkan oleh banyak faktor yang sangat kompleks dan saling mengkait antara faktor satu dengan yang lain. Yang terpenting adalah bagaimana menangani setiap kelelahan yang muncul agar tidak menjadi kronis. Agar dapat menangani kelelahan dengan tepat, maka harus mengetahui apa yang menjadi penyebab terjadinya kelelahan. Berikut ini adalah uraian secara skematis antara faktor penyebab terjadinya kelelahan, resiko dan cara menangani kelelahan seperti pada gambar di bawah ini (Tarwaka, 2011).
Gambar 2.6 Penyebab Kelelahan, Cara Mengatasi dan Manajemen Resiko Kelelahan
43
Kelelahan biasanya terjadi pada akhir jam kerja yang disebabkan oleh karena berbagai faktor seperti pekerjaan yang monoton, kerja otot statis, alat dan sarana kerja yang tidak sesuai dengan antropometri pemakainya, stasiun kerja yang tidak ergonomis, sikap paksa dan pengaturan waktu kerja – istirahat yang tidak tepat.
2.3.5 Mencegah Kebosanan Menurut Ergonomi 2.3.5.1 Pengertian kebosanan Menurut Anoraga (1998) kebosanan adalah ungkapan tidak enak dari perasaan tidak menyenangkan, perasaan lelah yang menguras seluruh minat dan tenaga. Biasanya kebosanan juga diartikan dengan kondisi kekurangan sesuatu seperti kedamaian, kepuasan dan perasaan ingin lari dari sesuatu, meskipun perasaan ini bukan saja disebabkan semata-mata oleh kebosanan. Singkatnya, kebosanan adalah bentuk lain dari perasaan tersiksa. Kebosanan adalah suatu pengingat akan adanya keterbatasan dan dapat terjadi pada segala hal. Kebosanan dapat timbul karena kurangnya perubahan pada sesuatu yang menjadi perhatian seseorang dan dapat menjadi suatu alat atau barometer dari kondisi seseorang. Kebosanan dapat juga dimanifestasikan dengan ketidakmampuan untuk duduk berlama-lama, keinginan untuk segera pergi ke suatu tempat atau ingin menjadi seseorang yang lain. 2.3.5.2 Fisiologi kebosanan Secara fisiologis Kroemer dan Grandjean (2000) menjelaskan secara singkat bahwa situasi dengan stimulus yang rendah, berulang-ulang atau dengan tuntutan fisik dan mental yang rendah akan menimbulkan stimulus yang kecil pula
44
pada daerah kesadaran di otak manusia. Dengan kata lain, daya tahan seseorang untuk memberikan perhatian pada suatu stimulus yang monoton lama kelamaan akan berkurang, sehingga dibutuhkan kehadiran stimulus lain untuk meningkatkan kesiagaan. 2.3.5.3 Faktor penyebab kebosanan Para ahli menyebutkan secara luas faktor-faktor penyebab kebosanan sebagai berikut (Pulat,1992; Kroemer dan Grandjean ,2000). 1. Pekerjaan kurang menarik. 2. Kurangnya motivasi terhadap pekerjaan. 3. Pekerjaan tidak membutuhkan ketrampilan yang tinggi. 4. Kecepatan kerja terlalu lambat. 5. Lingkungan tidak menarik atau suram. 6. Kurangnya kesempatan bagi tubuh untuk bergerak 7. Kondisi panas. Dari uraian di atas dapat disimpulkan sesuai dengan pendapat Anastasi (1989), bahwa sumber kebosanan sebagai berikut. 1. Individu. Karakteristik orang berbeda-beda sehingga setiap orang memiliki kerentanan yang berbeda-beda pula terhadap kebosanan sekalipun melakukan kegiatan yang sama 2. Lingkungan. Kondisi lingkungan yang sifatnya mengganggu pemusatan perhatian dapat meningkatkan kebosanan, demikian pula yang menimbulkan konflik antara keinginan untuk berpaling ke aktivitas lain yang lebih menarik
45
3. Jenis kegiatan Kegiatan yang membutuhkan sedikit perhatian, pekerjaan yang semi otomatis, pekerjaan monoton dan pekerjaan yang menimbulkan minat intrinsik kecil adalah jenis-jenis kegiatan yang berakibat membosankan. 2.3.5.4 Akibat kebosanan Efek dari tugas-tugas monoton yang membosankan antara lain adalah timbulnya rasa kesal, lemas, lelah dan berkurangnya kewaspadaan (Kroemer dan Grandjean, 2000; Pulat, 1992).
2.3.6
Meningkatkan kinerja dalam ergonomi Kinerja adalah penampilan hasil karya personil baik kuantitas maupun
kualitas dalam suatu organisasi. Kinerja dapat merupakan penampilan individu maupun kelompok kerja personel (Ilyas, 2001). As’ad (2000) mengungkapkan bahwa penampilan kerja (job performance) adalah sebagai hasil kerja yang menyangkut apa yang dihasilkan seseorang dari perilaku kerjanya. Tingkat sejauhmana seseorang berhasil menyelesaikan tugasnya disebut tingkat prestasi (level of performance). Kinerja (performance) dapat juga diartikan sebagai suatu catatan keluaran hasil dari suatu fungsi jabatan atau seluruh aktivitas kerjanya dalam periode waktu tertentu (Singer, 1990). Kinerja adalah hasil yang dicapai melalui serangkaian kegiatan dan tata cara
tertentu
dengan
menggunakan
sumber
daya
perusahaan
untuk
mencapai sasaran perusahaan yang ditetapkan (Mangkunegara, 2000). Kinerja juga dikenal dengan istilah karya, di mana pengertian yang dikemukakan
46
oleh Cantika (2005) bahwa kinerja adalah Hasil pelaksanaan suatu pekerjaan, baik bersifat fisik ataupun material dan non fisik atau non material. Kinerja sumber daya manusia merupakan istilah yang berasal dari kata Job Performance
atau
Aktual
Performance
(prestasi
kerja
atau
prestasi
sesungguhnya yang dicapai seseorang). Definisi kinerja seseorang adalah hasil kerja
kualitas
dan
melaksanakan tugasnya
kuantitas sesuai
yang
dengan
dicapai
tanggung
seseorang
jawab
yang
dalam diberikan
kepadanya. Oleh karena itu maka dapat disimpulkan bahwa kinerja adalah prestasi kerja atau hasil kerja (output) baik kualitas maupun kuantitas yang dicapai per satuan periode waktu dalam melaksanakan tugas kerjanya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Faktor-faktor
yang
mempengaruhi
pencapaian
kinerja
adalah
(Mangkunegara, 2000) : a. Pengetahuan (knowledge). Pengetahuan yaitu kemampuan yang dimiliki yang
lebih
berorientasi
pada
intelejensi
dan
daya
pikir
serta
penguasaan ilmu yang luas yang dimiliki seseorang. Pengetahuan seseorang dapat
dipengaruhi
oleh
tingkat
pendidikan,
media
dan
informasi yang diterima. b. Ketrampilan (skill). Kemampuan dan penguasaan teknis operasional di bidang tertentu yang dimiliki seseorang. Seperti ketrampilan konseptual (Conseptual Skill),
ketrampilan
manusia
(Human
Skill),
dan
ketrampilan teknik (Technical Skill). c. Kemampuan
(ability).
Kemampuan
yang
terbentuk
dari
sejumlah
47
kompetensi yang
dimiliki
seorang yang
mencakup
loyalitas,
kedisiplinan, kerjasama dan tanggung jawab. d. Faktor motivasi (Motivation). Motivasi diartikan suatu sikap (attitude) pimpinan
dan
karyawan
terhadap
situasi
kerja
di
lingkungan
perusahaannya. Mereka yang bersikap positif terhadap situasi kerjanya akan menunjukkan motivasi kerja yang tinggi sebaliknya jika mereka bersifat negatif terhadap situasi kerjanya akan menunjukkan motivasi kerja yang rendah. Situasi kerja yang dimaksud mencakup antara lain hubungan kerja, fasilitas kerja, iklim kerja, kebijakan pemimpin, pola kepemimpinan kerja dan kondisi kerja. Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja juga terdiri dari faktor internal dan faktor eksternal (Mangkunegara, 2000). Faktor internal (disposisional) yaitu faktor yang dihubungkan dengan sifat-sifat seseorang. Misalnya,
kinerja
seseorang baik
disebabkan
karena
mempunyai
kemampuan tinggi maupun seseorang itu tipe pekerja keras, sedangkan jika karyawan mempunyai kinerja yang buruk disebabkan karena orang tersebut mempunyai kemampuan rendah dan orang tersebut tidak memiliki upayaupaya untuk memperbaiki kemampuannya. Faktor eksternal yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja seseorang yang berasal dari lingkungan. Seperti perilaku, sikap, dan tindakan- tindakan rekan kerja, bawahan atau pimpinan, fasilitas kerja, dan iklim organisasi.
48
2.3.7 Pengaruh Kebosanan, Kelelahan, Keluhan Muskuloskeletal terhadap Kinerja a. Pengaruh kebosanan terhadap Kinerja Kegiatan yang membutuhkan sedikit perhatian, pekerjaan yang semi otomatis, pekerjaan monoton dan pekerjaan yang menimbulkan minat intrinsik kecil adalah jenis-jenis kegiatan yang berakibat membosankan (Anastasi, 1989). Efek dari tugas-tugas monoton yang membosankan antara lain adalah timbulnya rasa kesal, lemas, lelah dan berkurangnya kewaspadaan (Kroemer dan Grandjean, 2000; Pulat, 1992). Keluhan kebosanan tersebut adalah ungkapan perasaan yang dirasakan oleh seorang pekerja dalam melakukan pekerjaan yang dapat mempengaruhi tingkat kinerja (level of performance) seorang pekerja dalam menjalankan tugasnya (Mangkuprawira, 2003) b. Pengaruh Kelelahan terhadap Kinerja Adiputra (2003) mengatakan bahwa terjadinya kelelahan pada pekerja adalah adanya organ tubuh secara terus menerus menerima beban kerja eksternal dengan tanpa kesempatan istirahat atau mendapat beban kerja yang melewati kapasitasnya. Munculnya kelelahan secara ergonomis diantaranya disebabkan oleh pekerjaan yang monotoni (Manuaba, 1983).
kelelahan ditandai dengan
adanya perubahan psikologis berupa kelambanan aktivitas motoris dan respirasi, adanya perasaan sakit, berat pada bola mata, pelemahan motivasi dan aktivitas fisik lainnya yang akan mempengaruhi aktivitas fisik maupun mental (Kroemer dan Grandjaen, 2000). Beban kerja fisik yang ringan dan suasana monoton di lingkungan kerja mempercepat timbulnya kelelahan yang dipicu oleh kebosanan (Suma’mur, 2009). Kebosanan dapat mempengaruhi tingkat kinerja (level of
49
performance) seorang pekerja dalam menjalankan tugasnya (Mangkuprawira, 2003). c. Pengaruh keluhan muskuloskeletal terhadap kinerja Sikap kerja statis dalam waktu lama dapat menyebabkan gangguan pada otot rangka (musculoskeletal disorder) (Hales and Bernard, 1996). Keluhan muskuloskeletal terutama keluhan pada leher bagian belakang (tengkuk atau kuduk) umumnya terjadi pada pekerja dengan pekerjaan manual dengan posisi duduk terus-menerus. Menurut Syaifuddin (2005) Duduk terlalu lama dapat menyebabkan nyeri pada pinggang bawah atau low back pain. Akibat posisi yang tidak alamiah tersebut, jelas akan mempengaruhi produktivitas seseorang (Manuaba, 1992). Pekerja yang memiliki produktivitas tinggi maka pekerja tersebut disebut memiliki kinerja (level of performance) tinggi. Sebaliknya pekerja dengan tingkat produktivitas rendah, maka mereka disebut memiliki kinerja (level of performance) rendah (Vroom dalam As’ad, 2000). Dapat disimpulkan bahwa faktor lain yang dapat mempengaruhi kinerja seseorang adalah
kebosanan akibat beban kerja, kelelahan dan keluhan
muskuloskeletal (Mangkuprawira, 2003). Sehingga peningkatan kinerja secara ergonomis dapat diukur berdasarkan penurunan: kebosanan akibat beban kerja, kelelahan dan keluhan muskuloskeletal (Arimbawa, 2010).
2.4 Peregangan otot 2.4.1
Pengertian peregangan otot Peregangan otot merupakan suatu usaha untuk memperpanjang otot
istirahat (relaksasi). Sehingga dengan adanya peregangan ini kelenturan
50
(fleksibilitas) menjadi meningkat. Kelenturan (fleksibilitas) adalah kemampuan untuk menggerakkan otot beserta persendian pada seluruh daerah pergerakan. Kurangnya kelenturan pada tubuh dapat menyebabkan ketidakseimbangan mekanis pada tubuh. Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui pentingnya peregangan dalam kegiatan sehari-hari, terlebih lagi untuk otot-otot yang bekerja statis, seperti proses menguji yang hanya duduk sepanjang hari menilai peserta ujian dengan soal yang sama beruang-ulang (Alter, 2003). Manfaat melakukan peregangan sebagai berikut. a. Peregangan dapat meningkatkan kebugaran fisik seseorang. b. Peregangan dapat meningkatkan mental dan relaksasi fisik. c. Peregangan dapat mengurangi risiko keseleo sendi dan cedera otot (kram). d. Peregangan dapat mengurangi risiko cedera punggung. e. Peregangan dapat mengurangi rasa nyeri otot. f. Peregangan dapat mengurangi rasa sakit yang menyiksa pada saat menstruasi. g. Peregangan dapat mengurangi ketegangan otot.
2.4.2
Beberapa metode peregangan Peregangan berhubungan dengan proses pemanjangan otot (elongation).
Latihan-latihan peregangan dapat dilakukan dalam beberapa cara tergantung pada tujuan yang ingin dicapai, kemampuan dan keadaan atau kondisi tubuh. Menurut Alter (2003) terdapat lima teknik peregangan dasar sebagai berikut.
51
1. Teknik peregangan statis Peregangan statis meliputi teknik peregangan dengan posisi tubuh bertahan (artinya, melakukan peregangan dengan tubuh tetap pada posisi semula tanpa berpindah tempat). Dalam teknik tersebut otot diregangkan pada titik yang paling jauh kemudian bertahan pada posisi meregang. Manfaat yang paling penting dalam teknik statis adalah bahwa teknik tersebut adalah cara yang lebih aman dalam melakukan peregangan. Manfaat lain dari teknik peregangan ini sebagai berikut. a. Memerlukan energi yang lebih sedikit. b. Memberikan waktu yang cukup untuk mengulang kembali kepekaan (sensitivity) pada otot. c. Dapat menyebabkan relaksasi pada otot. 2. Teknik peregangan balistik Peregangan balistik adalah gerakan-gerakan yang berbentuk ritmis. Teknik ini merupakan teknik peregangan yang paling kontroversial, sebab teknik ini sering kali menyebabkan rasa sakit dan cedera pada otot.
Kekurangan-
kekurangan lain dalam penggunaan teknik ini sebagai berikut a. Teknik ini tidak memberikan cukup waktu bagi jaringan-jaringan otot untuk menyesuaikan diri pada peregangan yang sedang dilakukan. b. Diawali dengan meningkatkan tegangan pada otot, hal ini membuat kita lebih sukar untuk meregangkan jaringan-jaringan penghubung pada otot. 3. Teknik peregangan pasif
52
Teknik peregangan pasif merupakan suatu teknik peregangan dimana seseorang dalam keadaan rileks dan tanpa mengadakan kontribusi pada daerah gerakan. Manfaat yang dapat diperoleh dari peregangan pasif tersebut sebagai berikut. a. Teknik ini efektif apabila otot antagonis (yaitu otot yang berperan dalam gerakan yang terjadi) dalam kondisi yang terlalu lemah untuk menerima respon gerakan. b. Arah, lamanya waktu melakukan peregangan, dan intensitasnya dapat diukur. c. Dapat memajukan kekompakan tim bila mana peregangan tersebut dilakukan bersama-sama dengan atlet-atlet lainnya. Kelemahan utama dari peregangan pasif adalah resiko adanya rasa sakit ataupun mengalami luka (cedera) yang lebih besar, apabila rekan kita mempergunakan tenaga eksternal secara tidak tepat. 4. Teknik peregangan aktif Peregangan aktif dilakukan dengan menggunakan otot-otot tanpa mendapat bantuan dari kekuatan eksternal. Kelemahan-kelemahan utama dari peregangan aktif ini adalah, bahwa peregangan ini menjadi tidak efektif dikarenakan adanya gangguan-gangguan tertentu pada tubuh dan juga adanya cedera seperti terkilir yang kuat, peradangan atau patah tulang. 5. Teknik proprioseptif Teknik ini merupakan peregangan yang dapat dipergunakan untuk memperbaiki jangkauan gerakan anda. Teknik ini juga berhubungan dengan teknik yang dikembangkan sebagai model terapi fisik pada rehabilitasi pasien.
53
2.4.3
Penggunaan peregangan dalam menguji OSCE Penggunaan peregangan dalam menguji dapat membantu penguji
mengurangi ketegangan pada otot-ototnya. Ketegangan otot-otot tersebut tentunya akan mengakibatkan kelelahan pada penguji itu sendiri. Beberapa bentuk adaptasi dapat diperolah dari aktivitas peregangan yang dilakukan dan tentunya peregangan tersebut di lakukan dengan teknik yang benar. Adapun teknik yang digunakan untuk menyelingi proses menguji yang dapat dilakukan oleh penguji adalah teknik peregangan statik. Beberapa bentuk adaptasi dapat diperoleh dari aktivitas peregangan yang telah dilakukan. Ketika otot tiba-tiba diregangkan maka pertama-tama akan timbul stretch reflex (refleks meregang), selanjutnya otot yang kita regangkan akan berkontraksi. Strech reflex adalah suatu operasi dasar dari sistem saraf yang membantu menjaga kesehatan otot yang sedang meregang. Otot yang sedang meregang akan memanjang (menjadi lebih panjang) pada serat–serat otot dan muscle spindles-nya. Selama kurun waktu bertambahnya tingkat peregangan, sarung-sarung (lapisan) facial yang menyelubungi otot-otot akan menyebabkan perubahan panjang menjadi semipermiabel. Sarung-sarung ini meliputi epymisium, endomysium, dan perimysium. Pada akhirnya peregangan yang dalam hal ini dipergunakan peregangan statik dapat menstimulasi produksi dan penyimpanan glycoaminoglycans (GAGs). GAGs tersebut bersama-sama dengan air dan asam hyaluron, melumasi dan menjaga jarak kritis antara serat-serat jaringan penghubung dalam tubuh (Alter, 2003).
54
Peregangan dapat diberikan setiap dua setengah jam menguji selama 5 menit. Karena diperkirakan pada saat itu penguji berada pada puncak kelelahan dan ketegangan otot akibat dari sikap statis.
2.5 Minum Teh Teh berasal dari daun teh yang sudah dikeringkan. Daun teh (Camellia sinensis) yang sudah dikeringkan mempunyai banyak manfaat bagi tubuh. Ada banyak jenis teh di dunia, tetapi secara umum ada enam jenis teh berdasarkan cara dan proses pembuatannya. Enam jenis teh tersebut yaitu: teh hijau teh kuning, teh putih, teh hitam, teh fermentasi, dan teh oolong. Walaupun berbeda jenis, kandungan zat yang ada di dalamnya hampir sebagian besar sama, hanya jumlahnya (kadar) saja yang berbeda. Teh mengandung kafein, theanin, katekin, serta flavonoid. Keempat kandungan inilah yang memiliki efek menguntungkan bagi tubuh jika dikonsumsi dalam jumlah yang tepat (Sofwan, 2013).
2.5.1 Kandungan Kafein dalam Teh Kafein merupakan suatu senyawa golongan alkaloid xantin. Zat ini dapat ditemukan pada berbagai tumbuhan ataupun buah-buahan, minuman energi, cokelat, kopi dan teh. Secara umum, kafein merupakan stimulan saraf bagi tubuh manusia, atas dasar inilah minum kopi atau teh akan menghilangkan rasa kantuk dan melawan rasa lelah (Sofwan, 2013). Menurut European Food Information Council (EUFIC) dan International Coffee Organization (ICO), jumlah kafein yang disarankan dan dalam batas aman untuk dikonsumsi adalah sebanyak 300 mg per hari. Ini setara dengan lima gelas teh, lima gelas kopi instan, tiga gelas robusta, atau dua gelas arabika. Walaupun
55
pada beberapa penelitian dikatakan konsumsi kafein 1000 mg sehari masih aman. Sebaiknya konsumsi dibatasi hanya sebanyak 300 mg per hari mengingat tingkat penerimaan kafein terhadap tubuh berbeda-beda pada tiap individu (Bonita, 2007). Mengkonsumsi kafein dalam jumlah besar dan frekuensi berlebihan dapat menyebabkan tubuh mengalami semacam ketagihan atau kecanduan. Astawan (2012) menyatakan bahwa konsumsi kafein sebanyak 600 mg selama 10-15 hari berturut-turut akan menyebabkan kecanduan. Orang tersebut akan sulit melepaskan diri dari minum kopi atau teh dan apabila dihentikan secara tiba-tiba akan menimbukan efek sakit kepala, sulit konsentrasi, lelah dan lemas. Ketagihan atau kecanduan akibat kafein ini sangat berbeda dengan ketergantungan akibat merokok dan narkoba yang lebih merusak tubuh. Ketagihan atau kecanduan akibat kafein dapat hilang dengan mudah dalam beberapa hari saja setelah tidak mengonsumsi kafein.
2.5.2 Manfaat Minum Teh Manfaat minum teh berdasarkan kandungan kafein didalamnya menurut Walton (2002) dalam Sofwan (2013) kafein jika dikonsumsi dengan benar dan tidak melebihi kadar yang dianjurkan dapat meningkatkan ketahanan fisik dan menunda terjadinya kelelahan dengan cara meningkatkan kadar serotonin yang ada di otak. Selain itu, kafein dalam teh juga dapat meningkatkan konsentrasi sewaktu bekerja dan dapat memperbaiki mood saat bekerja sehingga membuat suasana kerja menjadi kondusif dan menyenangkan (Sofwan, 2013).
56
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Berpikir Secara ergonomis faktor yang mempengaruhi kinerja seseorang untuk melakukan pekerjaan sebagai berikut. a. Faktor manusia yang berkaitan dengan karakteristik subjek, umur, jenis kelamin, ukuran antropometrik tubuh, pengalaman kerja, kondisi kesehatan. b. Faktor tugas (task) yang berkaitan dengan stasiun kerja, jenis tugas, sikap kerja, cara kerja c.
Faktor organisasi yang berkaitan dengan waktu kerja, waktu istirahat, durasi dan frekuensi kerja
d.
Faktor lingkungan yang berkaitan dengan suhu udara yang mengakibatkan terjadinya beban kerja tambahan menimbulkan adanya beban fisik dan mental yang berlebihan. Kinerja seseorang juga dipengaruhi oleh faktor lain yaitu
kebosanan
akibat beban kerja, kelelahan dan keluhan muskuloskeletal (Mangkuprawira, 2003). Sehingga peningkatan kinerja secara ergonomis dapat diukur berdasarkan penurunan:
kebosanan
akibat
beban
kerja,
kelelahan
dan
keluhan
muskuloskeletal (Arimbawa, 2010). Jam kerja yang panjang dan pekerjaan yang monoton mengakibatkan kebosanan, kelelahan dan munculnya keluhan muskuloskeletal saat menguji. Hal
57
ini akan mempengaruhi obyektifitas dalam menguji sehingga efeknya terjadi penurunan kinerja penguji. Faktor lain
yang dapat menimbulkan kebosanan,
kelelahan dan keluhan muskuloskeletal pada penguji adalah: (1) penguji duduk pasif dalam menjalankan tugas selama menguji; (2) waktu berlangsungnya proses ujian OSCE yang sangat panjang yaitu sepuluh jam, (3) menguji hal yang sama berulang-ulang sehingga menimbulkan ritme kerja yang monotone dan; (4) sarana dan prasarana yang digunakan kurang ergonomis. Salah satu yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan istirahat aktif berupa peregangan otot dalam proses menguji dan memberikan minum teh manis. Sehingga kebosanan, kelelahan dan keluhan muskuloskeletal yang dialami penguji dapat diminimalisir. Sebagaimana penjelasan diatas, kinerja pada dasarnya berkaitan erat dengan proses kerja. Proses kerja dipengaruhi oleh subjek, t ugas, f akt or organi sasi dan lingkungan kerja. Lebih spesifik, kinerja dipengaruhi oleh faktor kebosanan, kelelahan dan keluhan muskuloskeletal. Pada proses kerja yaitu menguji OSCE reguler di FK UNIZAR, penguji dengan kinerja baik akan mampu menilai dengan obyektif sesuai lembar penilaian dan sesuai kemampuan peserta. Indikatornya
adalah
muskuloskeletal.
menurunnya
kebosanan,
kelelahan
dan
keluhan
58
3.2 Konsep Penelitian Konsep dalam penelitian ini dapat digambarkan seperti bagan berikut ini : MASUKAN
PROSES
LUARAN
Kondisi Subjek: Umur, ketrampilan/ pengalaman, kondisi kesehatan.
Pekerjaan: Jenis pekerjaan, cara kerja dan tempat kerja
Organisasi: Durasi dan Frekuensi Kerja
Ujian OSCE Reguler Berorientasi Ergonomi yaitu dengan peregangan dan pemberian teh manis
Lingkungan: Suhu, penerangan, kebisingan
Gambar 3.1 Bagan Kerangka Konsep Penelitian
Peningkatan Kinerja Penguji OSCE dilihat dari penurunan kebosanan, kelelahan dan keluhan muskuloskeletal
59
3.3 Hipotesis Berdasarkan kajian pustaka, kerangka berpikir, dan konsep penelitian di atas, maka hipotesis penelitian ini adalah: a. Ujian OSCE reguler berorientasi ergonomi yaitu istirahat aktif dengan peregangan dan minum teh manis dapat meningkatkan kinerja penguji di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar dilihat dari penurunan kebosanan b. Ujian OSCE reguler berorientasi ergonomi yaitu istirahat aktif dengan peregangan dan minum teh manis dapat meningkatkan kinerja penguji di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar dilihat dari penurunan kelelahan c. Ujian OSCE reguler berorientasi ergonomi yaitu istirahat aktif dengan peregangan dan minum teh manis dapat meningkatkan kinerja penguji di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar dilihat dari penurunan keluhan muskuloskeletal
60
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian Penelitian eksperimental ini menggunakan rancangan sama subjek atau treatment by subjek design. Rancangan sama subjek adalah rancangan serial, karena semua sampel ditetapkan sebagai subjek kontrol dan juga subjek perlakuan, pada periode waktu yang berbeda (Bakta, 2000). Secara sederhana dapat diilustrasikan seperti Gambar 4.1. Berdasarkan rancangan tersebut pengukuran dilakukan dua kali pada setiap perlakuan yaitu sebelum dan sesudah ujian OSCE Reguler tanpa orientasi ergonomi serta sebelum dan sesudah OSCE Reguler dengan orientasi ergonomi. P0
P
TS
O1
P1
O2
WOP
O3
O4
Gambar 4.1 Rancangan Penelitian Treatment by Subject Design
Keterangan: P TS P0
: : :
P1
:
O1
:
O2
:
Populasi, yaitu Staf Pengajar Keterampilan Klinik FK UNIZAR Total Sampling Tahap1 yaitu proses ujian OSCE reguler tanpa orientasi ergonomi yaitu tanpa peregangan dan tanpa pemberian teh manis Tahap 2 yaitu Proses menguji OSCE reguler dengan orientasi ergonomi yaitu dengan peregangan dan diberikan teh manis Pendataan awal tahap 1 (Penguji OSCE Reguler menguji seperti biasa, tanpa orientasi ergonomi yaitu tanpa peregangan dan tanpa pemberian teh manis) sebelum kegiatan menguji Pendataan akhir tahap 1 (Penguji OSCE Reguler menguji seperti biasa, tanpa orientasi ergonomi yaitu tanpa istirahat aktif dengan peregangan dan tanpa pemberian teh manis) sebelum kegiatan menguji
61
WOP :
O3
:
O4
:
(Washing Out Period) dilakukan selama satu minggu untuk menghilangkan efek kondisi kerja sebelum intervensi. Pada masa ini sampel diberikan kesempatan adaptasi terhadap sistem kerja dengan intervensi ergonomi Pendataan awal tahap 2 (Penguji OSCE Reguler menguji dengan orientasi ergonomi yaitu adanya istirahat aktif dengan peregangan dan pemberian teh manis) setelah kegiatan menguji Pendataan akhir tahap 2 (Penguji OSCE Reguler menguji dengan orientasi ergonomi yaitu adanya istirahat aktif dengan peregangan dan pemberian teh manis) setelah kegiatan menguji
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Keterampilan Klinis (Skills Lab) Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar Mataram. Pengambilan data dilaksanakan pada bulan Oktober - November 2014.
4.3 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dibatasi pada bidang ergonomi fisiologi kerja yang diterapkan pada penguji OSCE Reguler Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar Mataram
4.4 Penentuan Sumber Data 4.4.1
Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi Penelitian Populasi target dalam penelitian ini adalah semua Dosen FK UNIZAR. Populasi terjangkau adalah Dosen FK UNIZAR yang sudah pernah mengikuti pelatihan Penguji OSCE. Pada pelaksanaan penelitian ini yang dapat dijadikan subjek berjumlah 6 orang.
62
2.Sampel Penelitian Sampel dalam penelitian ini adalah 6 orang penguji OSCE reguler FK UNIZAR Mataram 3. Teknik Pengambilan Sampel Sampel dalam penelitian ini dipilih berdasarkan teknik total sampling, karena semua dosen yang pernah menjadi pengajar dan penguji OSCE reguler di FK UNIZAR dipergunakan sebagai sampel yaitu berjumlah 6 orang penguji.
4.4.2
Kriteria subjek
1. Kriteria inklusi subjek: a. Umur antara 25 tahun sampai 35 tahun; b. Dosen di FK UNIZAR Mataram; c. Pernah mengajar di laboratorium keterampilan klinik (skills lab) FK UNIZAR; d. Pernah mendapatkan pelatihan penguji OSCE sesuai standar baku; e. Pernah menjadi penguji OSCE reguler FK UNIZAR; f. Bersedia menjadi subjek penelitian dengan menandatangani lembar informed consent. 2. Kriteria eksklusi a. Dalam kondisi sakit/cacat fisik yang mengganggu b. Dalam kondisi hamil
63
c. Patut diduga menggunakan obat-obatan yang dapat mempengaruhi hasil penelitian 3 Kriteria drop out: a. Subjek tidak dapat mengikuti penelitian secara penuh sehingga tidak dapat meneruskan kegiatan dalam penelitian ini; b. Jatuh sakit atau cidera saat penelitian berlangsung c. Subjek tidak bisa diajak kerjasama d. Memberikan data yang ekstrim.
4.5 Variabel Penelitian 4.5.1
Identifikasi dan Klasifikasi Variabel Variabel
penelitian
ini
adalah
semua
faktor
yang
dapat
mempengaruhi faktor risiko dan kinerja Penguji OSCE Reguler, antara lain: Kondisi subjek yang meliputi umur, tingkat pendidikan/keterampilan, kondisi kesehatan; Pekerjaan yang meliputi jenis pekerjaan, sikap kerja, dan tempat kerja; Organisasi yang meliputi durasi dan frekuensi; dan Lingkungan yang meliputi suhu, intensitas penerangan dan kebisingan. Variabel-variabel tersebut di atas dapat diklasifikasikan menjadi variabel bebas, variabel tergantung, dan variabel kontrol. Analisis hubungan antara variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. a. Variabel bebas meliputi dua kategori yaitu : 1. Menguji OSCE tanpa perlakuan ergonomi; 2. Menguji OSCE dengan perlakuan ergonomi; b. Variabel tergantung adalah peningkatan kinerja dilihat dari penurunan
64
kebosanan,penurunan kelelahan dan penurunan keluhan muskuloskeletal c. Variabel pengganggu yang dikontrol adalah : 1. Kondisi subjek (umur, tingkat ketrampilan/pengalaman, dan kondisi kesehatan); 2. Pekerjaan (jenis pekerjaan, cara kerja, tempat kerja); 3. Organisasi kerja (durasi dan frekuensi kerja); dan kondisi lingkungan (suhu, intensitas penerangan, kebisingan.). Hubungan antara variabel dalam penelitian ini secara bagan dapat dilihat pada gambar berikut. Variabel Bebas
Variabel Kontrol
a. Menguji OSCE reguler tanpa orientasi ergonomi yaitu tanpa peregangan dan tanpa pemberian teh manis b. Menguji OSCE reguler dengan orientasi ergonomi yaitu dengan peregangan dan dengan pemberian teh manis
a. Kondisi subjek (umur, tingkat ketrampilan/pengalaman, dan kondisi kesehatan). b. Pekerjaan (jenis, cara, dan tempat kerja). c. Organisasi Kerja (durasi dan frekuensi kerja). d. Lingkungan Kerja (suhu, intensitas penerangan, kebisingan).
Variabel Tergantung Peningkatan kinerja yang dilihat dari penurunan kebosanan, penurunan kelelahan dan penurunan keluhan muskuloskeletal
Gambar 4.2 Bagan Hubungan antara Variabel Penelitian
65
4.5.2 Definisi Operasional Variabel Variabel yang digunakan dalam penelitian ini dapat didefinisikan sebagai berikut. 1. Kinerja adalah prestasi kerja atau hasil kerja (output) baik kualitas maupun kuantitas yang dicapai per satuan periode waktu dalam melaksanakan tugas kerjanya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Kinerja pada dasarnya berkaitan erat dengan proses kerja. Proses kerja di pengaruhi oleh subjek, t ugas, fak t or or gani sasi dan lingkungan kerja. Pada proses kerja yaitu menguji OSCE reguler di FK UNIZAR, penguji dengan kinerja baik akan mampu menilai dengan obyektif sesuai lembar penilaian dan sesuai kemampuan peserta. Kinerja penguji OSCE reguler diniai baik pada akhirnya adalah jika dapat melakukan penilaian dengan obyektif. Hal ini dapat tercermin dari: 1)lembar penilaian terisi penuh, 2) terdapat feedback yang dituliskan pada lembar penilaian terutama pada saat tidak meluluskan peserta ujian, 3) dapat mempertanggungjawabkan apa yang dinilai saat rapat akhir penentuan kelulusan, 4) sedikit atau bahkan tidak ada komplain dari peserta ujian yang dirugikan akibat kesalahan penilaian saat nilai diumumkan. Istirahat aktif berupa peregangan otot dan pemberian teh manis dalam proses menguji
akan
menurunkan
kebosanan,
kelelahan
dan
keluhan
muskuloskeletal yang dialami penguji sehingga akan meningkatkan kinerja penguji OSCE reguler di FK UNIZAR Mataram. 2. Kebosanan adalah tingkat ungkapan perasaan yang tidak menyenangkan, perasaan lelah yang menguras seluruh minat dan tenaga. Di data dengan
66
menggunakan kuesioner kebosanan. Pendataan tingkat kebosanan dilakukan sebelum menguji, dan setelah menguji, rinciannya yaitu: 1) Pukul 06.45 WITA dilakukan pendataan tingkat kebosanan sebelum menguji 2) Pukul 18.25 WITA dilakukan pendataan tingkat kebosanan setelah menguji. Jadi pendataan tingkat kebosanan dilakukan sebanyak empat kali. Dua kali pada tahap satu, yaitu tanpa intervensi ergonomi dan dua kali pada tahap dua yaitu dengan intervensi ergonomi. 3. Kelelahan adalah tingkat reaksi fungsional dari pusat kesadaran yang dipengaruhi oleh dua sistem antagonistik yaitu sistem penghambat (inhibisi) dan sistem penggerak (aktivasi). Di data dengan menggunakan 30 item of rating scale yang dikeluarkan oleh Japan Association of Industrial and Health. Kuesioner ini terdiri atas tiga kategori yaitu: pelemahan aktivitas (item 1 – 10), pelemahan motivasi (Item 11 – 20) dan kelelahan fisik (item 21 – 30). Pendataan tingkat kelelahan dilakukan sebelum menguji dan setelah menguji, rinciannya yaitu: 1) Pukul 06.50 WITA dilakukan pendataan tingkat kelelahan sebelum menguji 2) Pukul 18.30 WITA dilakukan pendataan tingkat kelelahan setelah menguji . Jadi pendataan tingkat kelelahan dilakukan sebanyak empat kali. Dua kali pada tahap satu, yaitu tanpa intervensi ergonomi dan dua kali pada
67
tahap dua yaitu dengan intervensi ergonomi. 4. Keluhan muskuloskeletal adalah keluhan otot skeletal yang terjadi pada otot rangka yang dialami penguji OSCE reguler FK UNIZAR. Keluhan muskuloskeletal diukur dengan kuesioner Nordic Body Map yang dimodifikasi dengan empat skala Likert. Pendataan keluhan muskuloskeletal dilakukan sebelum menguji dan setelah menguji, rinciannya yaitu: 1) Pukul 06.55 WITA dilakukan pendataan keluhan muskuloskeletal sebelum menguji 2) Pukul 18.35 WITA dilakukan pendataan keluhan muskuloskeletal setelah menguji . Jadi pendataan keluhan muskuloskeletal dilakukan sebanyak empat kali. Dua kali pada tahap satu, yaitu tanpa intervensi ergonomi dan dua kali pada tahap dua yaitu dengan intervensi ergonomi. 5. Menguji OSCE reguler tanpa orientasi ergonomi adalah proses menguji OSCE reguler tanpa intervensi ergonomi dalam hal ini tanpa melakukan peregangan otot dan tanpa pemberian teh manis. 6. Menguji OSCE reguler dengan orientasi
ergonomi
adalah
proses
menguji OSCE reguler dengan intervensi ergonomi dalam hal ini dengan melakukan peregangan otot dan pemberian teh manis. 7. Peregangan otot merupakan suatu usaha untuk memperpanjang otot istirahat (relaksasi). Sehingga dengan adanya peregangan ini kelenturan (fleksibilitas) menjadi meningkat. Peregangan otot dilakukan sebanyak 5 kali selama
68
proses menguji yang berlangsung dari pukul 07.00 – 18.00 Wita dengan pembagian sebagai berikut: 1) Peregangan pertama pukul 07.00 WITA selama lima menit 2) Peregangan kedua Pukul 09.30 WITA selama lima menit 3) Peregangan ketiga pukul 12.05 WITA selama lima menit 4) Peregangan keempat pukul 15.30 WITA selama lima menit 5) Peregangan kelima pukul 18.20 WITA selama lima menit Gerakan peregangan otot yang dapat dilakukan adalah peregangan otot pada kondisi statis sebagai berikut. a) Peregangan
otot
leher:
berfungsi
untuk
meregangkan
otot
sternocleidomastoideus dan otot trapezius. Gerakan peregangan itu sendiri terdiri atas gerakan sebagai berikut. 1) Menundukkan kepala ke bawah dan meregangkan kepala ke atas dengan hitungan 8 – 10 detik diulangi 2 sampai 3 kali. 2) Menolehkan kepala ke kanan dan ke kiri dengan hitungan 8 – 10 detik diulangi 2 sampai 3 kali 3) Gerakan seolah-olah Mematahkan kepala ke kanan dan ke kiri dilakukan dengan hitungan 8 – 10 detik diulangi 2 sampai 3 kali. b) Peregangan otot tangan dan lengan: bertujuan untuk meregangkan otot triceps brachii, deltoideus, biceps brachii, fleksor antebrachii, dan ekstensor antebrachii. Gerakan peregangan itu sendiri terdiri atas gerakan sebagai berikut.
69
1) Menekuk tangan kanan menyamping ke kiri dengan ditahan menggunakan tangan kanan dan kemudian sebaliknya dengan dengan hitungan 8 – 10 detik diulangi 2 sampai 3 kali. 2) Tangan kanan ditekuk di belakang kepala kemudian ditekan menggunakan tangan kiri dan kemudian sebaliknya dengan dengan hitungan 8 – 10 detik diulangi 2 sampai 3 kali. 3) Meregangkan atau menarik kedua tangan ke atas dengan hitungan 8 – 10 detik diulangi 2 sampai 3 kali. 4) Menekuk telapak tangan kanan ke atas dan ke bawah dengan dengan hitungan 8 – 10 detik diulangi 2 sampai 3 kali serta demikian juga dengan tangan kiri. c) Peregangan otot pinggang dan perut: ditujukan untuk meregangkan otot serratus anterior, rectus abdominis, latissimus dorsi, obliquus abdominis eksternus, dan inscriptiones tendineii. Gerakan peregangan itu sendiri terdiri atas gerakan sebagai berikut. 1) Mencondongkan badan ke samping kanan dan ke samping kiri dengan hitungan 8 – 10 detik diulangi 2 sampai 3 kali. 2) Memutar badan ke kanan dan kiri dengan hitungan 8 – 10 detik diulangi 2 sampai 3 kali. d) Peregangan otot punggung, bertujuan untuk meregangkan otot trapezius dan latissimus dorsi. Gerakan peregangan itu sendiri terdiri atas gerakan sebagai berikut. Posisi berdiri, meletakkan telapak tangan pada punggung bagian bawah (tepat di bagian ginjal) dengan jari-jari tangan menunjuk ke bawah dan ibu jari menunjuk keluar dengan hitungan 8 – 10 detik diulangi 2 sampai 3
70
kali. e) Peregangan bahu, bertujuan untuk meregangkan otot deltoideus. Tarik bahu ke atas, kearah telinga. Ulangi dengan hitungan 3 – 4 detik diulangi 5 sampai 6 kali. 8. Umur Penguji OSCE reguler adalah selang waktu dari sejak lahir sampai pada saat dilakukan pengukuran, dilihat dari KTP berdasarkan tahun lahir, satuan tahun; 9. Keterampilan/pengalaman adalah ketrampilan/pengalaman subjek dalam hal menguji OSCE reguler, dinyatakan dengan pengakuan subjek dan surat tugas sebagai instruktur dan penguji OSCE reguler. 10. Durasi kerja adalah Jam kerja menguji OSCE yaitu mulai pukul 07.00 WITA s.d 18.00 WITA. 11. Frekuensi kerja adalah banyaknya jumlah menguji OSCE reguler yang harus dilakukan penguji dalam satu semester. 12. Suhu udara adalah suhu lingkungan dalam derajat celcius yang diukur dengan thermometer ruangan merk Luxtron LM 800. Pengukuran dilakukan pada setiap stasiun OSCE reguler. Pengukuran dilakukan sebanyak 3 kali yaitu pada pukul 07.00 WITA dan 13.00 WITA dan 18.20 13. Intensitas penerangan adalah fluks cahaya yang jatuh pada suatu bidang seluas 1 m2 diukur
satuan untuk intensitas penerangan adalah luks (lx),
dengan luxmeter, merek Sanwa buatan Sanwa Electronic Japan.
Pengukuran dilakukan pada setiap stasiun OSCE reguler. Pengukuran dilakukan sebanyak 3 kali yaitu pada pukul 07.05 WITA, pukul 13.05 WITA dan pukul 18.25 WITA
71
4.6 Instrumen Penelitian Instrumen atau alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. a. Thermometer ruangan merk Luxtron LM 800, digunakan untuk mengukur suhu ruang, dengan satuan derajat celcius (0C) b. Luxmeter untuk mengukur intensitas penerangan, dengan spesifikasi merek Sanwa, buatan Sanwa Electric Japan; c. Sound Level Meter merk Rion dengan satuan decibel A (dB. A), digunakan untuk mengukur tingkat kebisingan. d. Kamera film merek Nikon D40x degan lensa 18-55mm digunakan untuk mendokumentasikan proses kerja selama OSCE. e. Kuesioner kebosanan saat menguji dengan lima skala Likert yang dimodifikasi untuk mengetahui tingkat kebosanan subjek f. Kuesioner 30 daftar pertanyaan dengan empat skala Likert dari IFRC (Industrial
Fatigue
Research
Committee)
Jepang
digunakan
untuk
identifikasi kelelahan secara umum. g. Kuesioner Nordic Body Map dengan empat skala Likert digunakan untuk menginterpretasikan keluhan otot skeletal penguji OSCE. h. Form persetujuan sebagai subjek penelitian, berisi pernyataan bahwa subjek bersedia dijadikan subjek penelitian
72
4.7 Prosedur Penelitian 4.7.1 Alur Penelitian Populasi Target Dosen FK UNIZAR Kriteria Inklusi Populasi Terjangkau 6 Orang Penguji
Total Sampling
Sampel 6 Orang Penguji
PERIODE 1 (P0) 3x Pengulangan
PERIODE 2 (P1) 3x Pengulangan
Data Sebelum Menguji OSCE (O1) Kebosanan, Kelelahan, keluhan muskuloskeletal, Suhu, intensitas penerangan, kebisingan Menguji OSCE Reguler tanpa Orientasi Ergonomi
Data Sebelum Menguji OSCE (O3) Kebosanan, Kelelahan, keluhan muskuloskeletal, Suhu, intensitas penerangan, kebisingan WOP
Data Setelah Menguji OSCE (O1) Kebosanan, Kelelahan, keluhan muskuloskeletal, Suhu, intensitas penerangan, kebisingan
Menguji OSCE Reguler dengan Orientasi Ergonomi Data Setelah Menguji OSCE (O4) Kebosanan, Kelelahan, keluhan muskuloskeletal, Suhu, intensitas penerangan, kebisingan
ANALISIS Gambar 4.3 Alur Penelitian
73
4.7.2 Tata Laksana Penelitian 1. Tahap Persiapan Pada penelitian ini, tahap persiapan sebelum dilakukan penelitian adalah sebagai berikut: a. Pendataan subjek yang menjadi populasi target dan populasi terjangkau b. Menyiapkan kelengkapan administrasi yang diperlukan untuk mendukung jalannya
penelitian, yaitu informed consent (surat persetujuan sebagai
subjek), formulir biodata, kuesioner kebosanan, kuesioner 30 item dengan empat skala Likert, kuesioner Nordic Body Map. c. Menghubungi subjek untuk diminta kesediannya mengikuti penelitian. d. Melakukan pemilihan sampel berdasarkan metode dan kriteria yang telah ditetapkan. Menggunakan total sampling yaitu 6 orang penguji dengan tiga kali pengulangan jadi total 18 sampel. e. Mengadakan diskusi dengan subjek untuk menjelaskan penelitian yang akan dilakukan. f. Subjek mengisi biodata yang telah disediakan. g. Mempersiapkan bahan-bahan yang akan digunakan dalam penelitian. h. Mempersiapkan prosedur OSCE reguler dan pengambilan data. 2. Tahap pelaksanaan penelitian Penelitian ini adalah penelitian sama subjek, terdiri dari dua periode yaitu periode satu menguji tanpa intervensi ergonomi sebanyak 6 orang dokter penguji OSCE reguler dan diakukan pengulangan sebanyak tiga kali jadi total 18 sampel dan periode kedua dengan subjek yang sama menguji dengan intervensi ergonomi.
74
Lama OSCE reguler untuk tiap tahap adalah sepuluh jam yaitu dari pukul 07.00 Wita hingga pukul 18.20 Wita dengan asumsi istirahat satu jam. Tahap kegiatan pelaksanaan penelitian adalah sebagai berikut. a. Sebelum mulai menguji 1) Subjek mengisi kuesioner (kebosanan, 30
daftar pertanyaan dari
IFRC (Industrial Fatigue Research Committee Jepang dan Kuesioner Nordic Body Map). 2) Pencatatan suhu lingkungan (dalam
o
C), intensitas penerangan dan
kebisingan. 3) Penguji melakukan cek ulang alat bahan ujian serta kelengkapan rubrik, template dan lembar penilaian ujian OSCE reguler satu jam sebelum ujian dimulai 4) Dokumentasi pengukuran.
b. Pada waktu menguji (sesi 1 pagi) 1) Pencatatan suhu lingkungan (dalam
o
C) intensitas penerangan dan
kebisingan. 2) Pada tahap satu (tanpa intervensi ergonomi) penguji hanya duduk selama menguji. Sedangkan pada tahap dua (dengan intervensi ergonomi) Penguji melakukan istirahat aktif dengan peregangan dan pemberian teh manis. 3) Dokumentasi pengukuran. c. Pada saat istirahat siang Subjek istirahat makan siang dan melakukan ibadah shalat dzuhur
75
Pada waktu menguji (sesi 2 siang) 1) Pencatatan suhu lingkungan (dalam
o
C) intensitas penerangan dan
kebisingan. 2) Pada tahap satu (tanpa intervensi ergonomi) penguji hanya duduk selama menguji. Sedangkan pada tahap dua (dengan intervensi ergonomi) Penguji melakukan istirahat aktif dengan peregangan dan pemberian minum teh manis 3) Dokumentasi pengukuran. d. Setelah Menguji 1) Subjek mengisi kuesioner (kebosanan, 30
daftar pertanyaan dari
IFRC (Industrial Fatigue Research Committee Jepang dan Kuesioner Nordic Body Map). 2) Dokumentasi Pengukuran.
e. Protokol pelaksanaan penelitian Protokol pelaksanaan kegiatan penelitian adalah sebagai berikut. Tahap satu 1) Pukul 06.00 WITA subjek dikumpulkan
(satu jam sebelum penelitian)
penguji melakukan cek ulang kesiapan tata ruang, alat dan bahan OSCE, rubrik dan lembar penilaian. 2) Pukul 06.45 WITA Subjek
mengisi
kuesioner kebosanan, 30
item
kelelahan dari IFRC (Industrial Fatigue Research Committee) Jepang dan Kuesioner Nordic Body Map).
76
3) Pukul 07.00 WITA subjek dipersilahkan mulai menguji OSCE reguler sesi satu. 4) Melakukan
pengukuran
suhu, intensitas penerangan, kebisingan di
stasiun kerja, mulai pukul 07.00 WITA 5) Penguji melakukan tugas dalam menguji OSCE reguler pada sesi 1 (pagi). 6) Pukul 12.00 WITA, subjek berhenti menguji. 7) Pukul 12.00 WITA istirahat makan siang dan ibadah shalat Dzuhur 8) Pukul 13.00 WITA subjek dipersilahkan mulai menguji OSCE reguler sesi dua. 9) Melakukan
pengukuran
suhu, intensitas penerangan, kebisingan di
stasiun kerja, mulai pukul 13.00 WITA 10) Penguji melakukan tugas dalam menguji OSCE reguler pada sesi dua (siang). 11) Pukul 15.30 subjek menjalankan ibadah shalat Ashar 12) Pukul 15.45 subjek Kembali melanjutkan tugas menguji 13) Pukul 18.15 WITA, subjek berhenti menguji. 14) Pukul 18.15 WITA Subjek mengisi kuesioner
(kebosanan,
30
daftar pertanyaan dari IFRC (Industrial Fatigue Research Committee) Jepang dan Kuesioner Nordic Body Map). 15) Melakukan
pengukuran
suhu, intensitas penerangan, kebisingan di
stasiun kerja, mulai pukul 18.20 WITA
77
Tahap dua 1) Pukul 06.00 WITA subjek dikumpulkan
(satu jam sebelum penelitian)
penguji melakukan cek ulang kesiapan tata ruang, alat dan bahan OSCE, rubrik dan lembar penilaian. 2) Pukul 06.45 WITA Subjek
mengisi
kuesioner kebosanan, 30 item
kelelahan dari IFRC (Industrial Fatigue Research Committee) Jepang dan Kuesioner Nordic Body Map. 3) Pukul 07.00 WITA subjek melakukan istirahat aktif dengan peregangan otot selama 5 menit dan pemberian teh manis sebanyak 2 kotak, masingmasing 300 ml. 4) Pukul 07.05 WITA subjek dipersilahkan mulai menguji OSCE reguler sesi satu. 5) Melakukan
pengukuran
suhu, intensitas penerangan, kebisingan di
stasiun kerja, mulai pukul 07.05 WITA 6) Pukul 09.30 WITA subjek melakukan istirahat aktif dengan peregangan otot selama 5 menit dan pemberian teh manis 7) Pukul 09.35 WITA subjek kembali menguji 8) Pukul 12.05 subjek berhenti menguji, subjek melakukan istirahat aktif dengan peregangan otot selama 5 menit 9) Pukul 12.05 wita istirahat makan siang dan ibadah shalat Dzuhur 10) Pukul 13.00 WITA subjek dipersilahkan mulai menguji OSCE reguler sesi dua (siang)
78
11) Pemberian teh manis sebanyak 2 kotak, masing-masing 300ml dan melakukan pengukuran suhu, intensitas penerangan, kebisingan di stasiun kerja, mulai pukul 13.00 WITA 12) Pukul 15.30 subjek melakukan istirahat aktif dengan peregangan otot selama 5 menit 13) Pukul 15.35 subjek menjalankan ibadah shalat Ashar 14) Pukul 15.50 subjek Kembali melanjutkan tugas menguji 15) Pukul 18.20 WITA, subjek berhenti menguji. 16) Melakukan
pengukuran
suhu, intensitas penerangan, kebisingan di
stasiun kerja, mulai pukul 18.20 WITA 17) Pukul 18.20 WITA subjek melakukan istirahat aktif dengan peregangan otot selama 5 menit 18) Pukul 18.25 WITA Subjek
mengisi
kuesioner kebosanan, 30 item
kelelahan dari IFRC (Industrial Fatigue Research Committee) Jepang dan Kuesioner Nordic Body Map).
4.7.3
Prosedur
pengukuran
Kebosanan,
Kelelahan
dan
keluhan
muskuloskeletal Penilaian
kebosanan
d e n ga n
m e n g gu n a k a n
kuesioner
k e b o s a n a n d e n ga n l i m a s k a l a Li k e r t ya n g t e l a h d i m o d i f i k a s i . kelelahan secara umum dinilai dengan kuesioner 30 item kelelahan dengan empat
skala
Likert
dari
IFRC (Industrial Fatigue Research Committee)
79
Jepang dan keluhan otot skeletal yang dinilai dengan kuesioner Nordic Body Map empat skala Likert. Adapun langkah penilaiannya adalah sebagai berikut. a. Persiapan 1) Mempersiapkan kuesioner kebosanan, kuesioner 30 item pertanyaan dari IFRC (Industrial Fatigue Research Committee) Jepang, kuesioner Nordic Body Map sesuai dengan jumlah subjek. 2) Menjelaskan cara pengisian kuesioner kepada subjek penelitian. b. Prosedur penilaian 1) Sebelum mulai ujian OSCE, masing-masing subjek kuesioner kebosanan, kuesioner
30
item
kelelahan
diberikan dari
IFRC
(Industrial Fatigue Research Committee) Jepang, kuesioner Nordic Body Map dan subjek diminta untuk mengisi sendiri kuesioner tersebut dengan memberi tanda rumput ( √ ) pada item-item yang sesuai, kemudian hasilnya dikumpulkan. 2) Setelah selesai ujian OSCE, masing-masing subjek kuesioner kebosanan, kuesioner
30
item
kelelahan
diberikan lagi dari
IFRC
(Industrial Fatigue Research Committee) Jepang, kuesioner Nordic Body Map dan subjek diminta untuk mengisi sendiri kuesioner tersebut dengan memberi tanda rumput ( √ ) pada item yang sesuai, kemudian hasilnya dikumpulkan. 3) Penilaian ini dilakukan sebanyak dua kali, yaitu: pertama dilakukan pagi sebelum ujian OSCE dimulai dan kedua sore hari setelah selesei ujian OSCE.
80
c. Pencatatan 1) Skor kebosanan sebelum kerja adalah jumlah skor kebosanan sebelum kerja dengan menggunakan 5 skala Likert. 2) Skor kebosanan setelah kerja adalah jumlah skor kebosanan setelah kerja dengan menggunakan 5 skala Likert. 3) Skor kelelahan sebelum kerja adalah jumlah skor keluhan kelelahan sebelum kerja dengan menggunakan 4 skala Likert. 4) Skor kelelahan setelah kerja adalah jumlah skor keluhan kelelahan setelah kerja dengan menggunakan 4 skala Likert. 5) Skor keluhan otot skeletal sebelum kerja adalah jumlah skor keluhan otot skeletal sesuai dengan tingkat keluhan yang dirasakan sebelum kerja dengan menggunakan 4 skala Likert. 6) Skor keluhan otot skeletal setelah kerja adalah jumlah skor keluhan otot skeletal sesuai dengan tingkat keluhan yang dirasakan setelah kerja dengan menggunakan 4 skala Likert. 7) Skor kebosanan dihitung berdasarkan selisih nilai skor kebosanan setelah kerja dikurangi nilai skor kebosanan sebelum kerja. 8) Skor kelelahan dihitung berdasarkan selisih nilai skor kelelahan setelah kerja dikurangi nilai skor kelelahan sebelum kerja. 9) Skor keluhan otot skeletal dihitung berdasarkan selisih nilai skor keluhan otot skeletal setelah kerja skeletal sebelum kerja.
dikurangi nilai skor keluhan otot
81
4.8 Pengolahan dan analisis data Pengolahan data dari hasil pengukuran adalah sebagai berikut. 1) Uji normalitas Uji normalitas dimaksudkan untuk meyakinkan bahwa sampel benar-benar berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Uji normalitas data terhadap kebosanan, kelelahan dan keluhan muskuloskeletal menggunakan statistik Kolmogorow-Smirnov (K-S) dengan menggunakan program SPSS 16 for Windows. Kriteria pengujian data menggunakan taraf signifikansi 95% (α = 0,05). 2) Uji t sampel berpasangan (a) Data kondisi lingkungan dianalisis dengan uji paired-sample t test pada taraf signifikansi 95%. (b) Data kebosanan, kelelahan dan keluhan muskuloskeletal dianalisis dengan uji paired-sample t test karena datanya berdistribusi normal pada taraf signifikansi 95%. Uji t sampel berpasangan (paired-sample t test) merupakan pengujian yang dilakukan terhadap dua sampel yang berpasangan. Sampel yang berpasangan dapat diartikan sebagai sampel dengan subjek yang sama namun mengalami dua treatment atau perlakuan berbeda.
82
BAB V HASIL PENELITIAN
5.1 Karakteristik Subjek Penelitian Penelitian dengan rancangan treatment by subject design ini telah dilakukan pada bulan Oktober - November 2014 di Laboratorium Keterampilan Klinik (skills lab) Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar Mataram. Jumlah sampel pada penelitian ini sebanyak 18 orang. Sampel pada tahap satu (tanpa intervensi ergonomi yaitu tanpa melakukan peregangan otot dan tanpa diberikan minum teh manis) dan pada tahap dua (dengan intervensi ergonomi yaitu dengan melakukan peregangan dan dengan diberikan minum teh manis). Hasil analisis deskriptif terhadap data karakteristik subjek yang meliputi variabel umur, berat badan dan tinggi badan disajikan pada Tabel 5.1.
Tabel 5.1 Data Karakteristik Subjek Penguji OSCE Reguler di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar Mataram (n=18) No 1 2 3
Variabel Umur (tahun) Berat Badan (kg) Tinggi Badan (cm)
Rentangan 27-32 55-78 157-170
Rerata 29,3 62,3 165,3
Simpang Baku 2,7 15,7 4,7
Dari Tabel 5.1 diketahui bahwa rerata umur, berat badan dan tinggi badan penguji OSCE reguler termasuk dalam rentangan ideal.
83
5.2 Kondisi Lingkungan Kerja Kondisi lingkungan kerja yang diindikasikan dapat berpengaruh terhadap kondisi kerja adalah suhu, intensitas penerangan, dan intensitas kebisingan. Hasil uji normalitas terhadap data kondisi lingkungan menunjukkan bahwa data berdistribusi normal. Dengan demikian dilanjutkan dengan analisis parametric menggunakan uji paired-sample t test. Hasil analisis data kondisi lingkungan di ruang skills lab Fakultas Kedokteran universitas Islam Al-Azhar dapat dilihat pada Tabel 5.2. Tabel 5.2 Data Kondisi Lingkungan Ruang Skills Lab OSCE Reguler di Fakultas Kedokteran Universitas IslamAl-Azhar Mataram (n=18) No
Variabel
1
Suhu ruang (0C) Intensitas Penerangan (Lux) Intensitas Kebisingan (dB)
2 3
Tahap 1 Rerata SB
Tahap 2 Rerata SB
T -2,400
P
24,4
0,38
25,1
0,29
0,174
507,6
10,17
509,2
2,54
-0,444
0,699
69,8
0,57
70,1
0,68
-1,581
0,169
Data pada Tabel 5.2 menunjukkan bahwa kondisi lingkungan dilihat dari suhu, intensitas penerangan, intensitas kebisingan di ruang skills lab pada tahap satu (tanpa intervensi ergonomi) dan tahap dua (dengan intervensi ergonomi) adalah tidak berbeda bermakna (p>0,05). Ini berarti data kondisi lingkungan antar kedua perlakuan adalah sama.
84
5.3 Kebosanan Dalam Proses Menguji OSCE Reguler 5.3.1 Analisis efek sisa terhadap kebosanan dalam proses menguji OSCE reguler Efek sisa ini diukur dengan membandingkan rerata nilai kebosanan pada penelitian tahap 1 dan tahap 2 antar subjek penelitian, ditampilkan pada Tabel 5.3. Tabel 5.3 Efek Sisa Nilai Rerata Kebosanan antar Perlakuan pada Penguji OSCE Reguler di Fakultas Kedokteran Universitas IslamAl-Azhar Mataram (n=18) Kelompok Tahap 1 Tahap 2
Rerata 37,866 38,135
Simpang Baku 6,189 6,108
Nilai t
Nilai p
0,228
0,693
Jumlah nilai kebosanan pada tahap satu dan perlakuan tahap dua diuji normalitasnya dengan uji Kolmogorov-Smirnov (K-S), didapat data berdistribusi normal, dimana (p>0,05). Dari hasil uji independent samples test diketahui perbedaan jumlah nilai kebosanan pada tahap 1 dan perlakuan pada tahap 2 dari subjek penelitian tidak berbeda, di mana t= 0,228 dengan p=0,693. Hal ini berarti bahwa tidak terdapat efek sisa dari tahap satu terhadap perlakuan pada tahap dua.
5.3.2 Analisis
efek
perlakuan
terhadap
kebosanan
dalam
proses
menguji OSCE Reguler. Kebosanan
diukur
dengan
menggunakan
kuesioner
kebosanan
menggunakan empat skala Likert dan diperoleh skor kebosanan sebelum dan sesudah perlakuan, sebagaimana terlihat pada Tabel 5.4
85
Tabel 5.4 Nilai Rerata Kebosanan antar Perlakuan pada Penguji OSCE Reguler di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar Mataram (n=18)
Sebelum Menguji Sesudah Menguji Beda
Tahap 1 Rerata SB 37,866 6,189
Tahap 2 Rerata SB 38,135 6,108
Nilai t
Nilai p
2,014
0,056
77,590
10,127
64,550
8,739
3,160
0,003
39,724
12,172
26,415
10,233
3,231
0,003
Sebelum dilakukan uji paired-sample t test data kebosanan dalam proses menguji, diuji menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov (K-S) pada tingkat kepercayaan (α=0,05). Data tersebut pada masing-masing tahap adalah berdistribusi normal (p>0,05), sehingga dilanjutkan dengan menggunakan uji paired-sample t test. Hasil uji paired-sample t test terhadap kebosanan sebelum menguji tidak berbeda bermakna (p>0,05), ini berarti kebosanan sebelum menguji untuk masing-masing tahap adalah sama. Sedangkan kebosanan sesudah menguji berbeda bermakna (p<0,05), ini berarti skor kebosanan sesudah menguji untuk kedua perlakuan adalah berbeda.
5.4 Kelelahan dalam Proses Menguji OSCE Reguler 5.4.1 Analisis efek sisa terhadap kelelahan dalam proses menguji OSCE reguler Efek sisa terjadi apabila washing out period tidak cukup sehingga efek tahap satu masih ada pada waktu diberikan perlakuan pada tahap dua. Efek sisa ini dicari dengan membandingkan rerata nilai kelelahan pada penelitian perlakuan
86
tahap satu dan perlakuan pada tahap dua antar subjek penelitian, ditampilkan pada Tabel 5.5 Tabel 5.5 Efek Sisa Nilai Rerata Kelelahan antar Perlakuan pada Penguji OSCE Reguler di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar Mataram (n=18)
Kelompok Tahap 1 Tahap 2
Rerata 32,225 32,225
Simpang Baku 1,818 1,846
Nilai t
Nilai p
0,000
1,000
Jumlah nilai kelelahan pada tahap satu dan perlakuan pada tahap dua dari masingmasing kelompok perlakuan diuji normalitasnya dengan uji Kolmogorov-Smirnov (K-S), didapat data berdistribusi normal, dimana (p> 0,05). Dari hasil uji independent samples test diketahui perbedaan jumlah nilai kelelahan pada tahap satu dan perlakuan pada tahap dua dari masing-masing kelompok perlakuan subjek penelitian tidak berbeda, di mana t= 0,000 dengan p=1,000. Hal ini berarti bahwa tidak terdapat efek sisa dari tahap satu terhadap perlakuan pada tahap dua.
5.4.2 Analisis efek perlakuan terhadap kelelahan dalam proses menguji OSCE reguler Kelelahan subjektif adalah rerata skor pengisian kuesioner 30 item yang terbagi menjadi tiga bagian, 1 – 10 adalah pelemahan aktivitas, 11 – 20 adalah pelemahan motivasi dan 21 – 30 adalah kelelahan fisik akibat keadaan umum. Hasil analisis kelelahan dalam proses menguji antara tahap satu dan perlakuan tahap dua disajikan pada Tabel 5.6.
87
Tabel 5.6 Nilai Rerata Kelelahan antar Perlakuan pada Penguji OSCE Reguler di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar Mataram (n=18)
Sebelum Menguji Sesudah Menguji Beda
Tahap 1 Rerata SB 32,225 1,819
Tahap 2 Rerata SB 32,225 1,847
Nilai t
Nilai p
0,001
1,000
76,275
3,823
55,750
4,292
28,665
0,001
44,050
3,843
23,525
4,635
28,696
0,001
Dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov (K-S) diperoleh bahwa skor kelelahan berdistribusi normal, sehingga dilanjutkan dengan uji paired-sample t test. Hasil uji t-paired skor kelelahan sebelum perlakuan tidak berbeda bermakna (p>0,05), ini berarti skor kelelahan sebelum perlakuan untuk kedua perlakuan adalah sama. Sedangkan skor kelelahan sesudah perlakuan berbeda bermakna (p<0,05), ini berarti skor kelelahan sesudah menguji antara tahap satu (tanpa intervensi ergonomi) dengan perlakuan tahap dua (dengan intervensi ergonomi) adalah berbeda.
5.5 Keluhan Muskuloskeletal dalam Proses Menguji OSCE Reguler 5.5.1 Analisis efek sisa keluhan muskuloskeletal Efek sisa terjadi apabila washing out period tidak cukup sehingga efek pada tahap satu (tanpa intervensi ergonomi) masih ada pada waktu diberikan pada tahap dua (dengan intervensi ergonomi). Efek sisa ini dicari dengan membandingkan rerata nilai keluhan muskuloskeletal pada penelitian perlakuan pada tahap satu dan dua antar subjek penelitian, ditampilkan pada Tabel 5.7.
88
Tabel 5.7 Efek Sisa Nilai Rerata Keluhan Muskuloskeletal antar Perlakuan pada Penguji OSCE Reguler di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar Mataram (n=18) Kelompok Tahap 1 Tahap 2
Rerata 31,225 31,875
Simpang Baku 2,547 2,524
5.5.2 Analisis efek perlakuan
Nilai t
Nilai p
1,147
0,255
terhadap keluhan
muskuloskeletal
dalam proses menguji Keluhan muskuloskeletal diukur menggunakan Nordic Body Map dengan penilaian empat skala Likert. Analisis data mengenai keluhuan muskuloskeletal terlihat pada Tabel 5.8 Tabel 5.8 Nilai rerata Keluhan Muskuloskeletal antar Perlakuan pada Penguji OSCE Reguler di Fakultas Kedokteran Universitas IslamAl-Azhar Mataram
Sebelum Menguji Sesudah Menguji Beda
Tahap 1 Rerata SB
Tahap 2 Rerata SB
Nilai t
Nilai p
31,225
2,547
31,875
2,524
1,433
0,160
70,475
4,674
45,900
5,213
36,382
0,001
39,250
5,633
14,025
4,999
29,291
0,001
Dengan menggunakan uji normalitas Kolmogorv-Smirnov diperoleh bahwa keluhan muskuloskeletal sebelum dan sesudah menguji berdistribusi normal, sehingga dilanjutkan dengan uji paired-sample t test. Hasil uji paired-sample t test skor keluhan muskuloskeletal sebelum menguji tidak berbeda bermakna (p>0,05), ini berarti skor keluhan muskuloskeletal sesudah menguji antara tahap satu (tanpa intervensi ergonomi) dengan tahap dua (dengan intervensi ergonomi) adalah berbeda.
89
BAB VI PEMBAHASAN
6.1.
Karakteristik Subjek Penelitian Subjek pada penelitian sebanyak 18 orang dengan karakteristik yang akan
dibahas adalah umur, tinggi badan dan berat badan. Umur subjek yang terlibat dalam penelitian ini antara 27 – 37 tahun dengan rerata 29,3 ± 2,7 tahun. Rentangan umur ini merupakan rentangan umur yang sesuai untuk dosen yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang mereka miliki. & Suparmoko (2002) – 64 tahun.
menyatakan
Irawan
bahwa umur produktif berkisar antara 15
Grandjean (2000) mengatakan bahwa kondisi umur berpengaruh
terhadap kemampuan kerja fisik atau kekuatan otot seseorang. Kemampuan fisik maksimal seseorang dicapai pada umur antara 25 – 35 tahun dan akan terus menurun seiring dengan bertambahnya umur. Dilihat dari umur subjek, berat badan dan tinggi badan dapat dinyatakan bahwa pada penelitian ini kondisi fisik subjek berada pada umur produktif dan dalam kondisi yang baik dengan tubuh yang termasuk ideal sehingga pengaruhnya terhadap penelitian dapat diabaikan.
6.2 Kondisi Lingkungan Kondisi lingkungan yang didata dalam penelitian ini adalah suhu ruangan, intensitas pencahayaan, dan intensitas kebisingan sebelum perlakuan dan sesudah perlakuan. Kelembaban tidak diukur karena semua ruang dalam proses ujian
90
OSCE menggunakan pendingin ruangan. Temuan pada penelitian ini adalah rerata suhu ruang ujian pada tahap 1 adalah 24,4°C dan tahap 2 adalah 25,1°C. Manuaba (1998) menyatakan bahwa orang Indonesia yang berada di daerah tropis teraklimatisasi atau merasa nyaman dengan suhu kering antara 24-28°C. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa suhu pada kedua perlakuan berada pada kategori nyaman. Hasil uji paired-sample t test membuktikan bahwa suhu ruang untuk kedua tahap adalah tidak berbeda bermakna (p>0,05), ini berarti subjek penelitian terpapar oleh suhu ruang relatif sama antara kedua tahap, serta tidak bertindak sebagai variabel pengganggu karena pengaruhnya dapat dikontrol. Pencahayaan merupakan salah satu hal yang penting dalam proses belajar mengajar termasuk saat ujian OSCE berlangsung. Pencahayaan yang baik memberikan situasi yang nyaman dalam melihat objek dengan jelas sehingga otototot mata tidak mengalami kelelahan. Rerata intensitas cahaya pada tahap 1 adalah 507,6 lux dan tahap 2 adalah 509,2 lux. Untuk kegiatan membaca dan menulis diperlukan intensitas pencahayaan sebesar 350-700 lux (Kroemer dan Grandjean, 2000). Jadi intensitas cahaya di dalam ruang ujian, masih berada dalam batas kenyamanan. Berdasarkan uji paired-sample t test terlihat bahwa intensitas cahaya kedua perlakuan adalah tidak berbeda bermakna dengan p>0,05. Manuaba (1998) menyatakan apabila penerangan tidak memadai akan dapat menimbulkan 2 macam kelelahan, baik penglihatan maupun saraf. Bila kondisi ini berlangsung kronis, maka akan ditandai dengan tanda-tanda pusing dan vertigo, sulit tidur, dan hilang nafsu makan serta malas dan lamban dalam bertindak.
91
6.3 Kebosanan Penguji OSCE Reguler Kebosanan dalam proses menguji ditandai dengan berkurangnya perhatian Penguji OSCE reguler terhadap peserta ujian atau penguji OSCE reguler mengalami kesulitan dalam mempertahankan perhatiannya pada tugas yang sedang dilaksanakan. Kondisi seperti ini sering menyertai penguji OSCE reguler pada proses ujian yang terlalu lama dan penguji OSCE menilai hal yang sama berulang-ulang. Jika kondisi yang membosankan tersebut berkepanjangan, akan muncul perasaan gelisah, ingin menghindar dari aktivitas tersebut dan menurunnya motivasi untuk menguji dengan objektif. Kebosanan berhubungan dengan Reticular Activating System (RAS). RAS di bagian atas batang otak diyakini memiliki sel-sel khusus yang dapat mempertahankan kewaspadaan dan kesadaran, memberi stimulus visual, pendengaran, nyeri, dan sensori raba, serta emosi dan proses berfikir. Pada saat sadar, RAS melepaskan katekolamin, sedangkan pada saat tidur terjadi pelepasan serum serotonin dari Bulbar Synchronizing Region (BSR) (Potter & Perry, 2005). Bila aktivitas RAS ini meningkat maka orang tersebut dalam keadaan sadar jika aktivitas RAS menurun, orang tersebut akan dalam keadaan tidur. Aktivitas RAS ini
sangat
dipengaruhi
serotoninergik,
oleh
noradrenergik,
aktivitas
neurotransmitter
kolinergik,
histaminergik
seperti
sistem
(Japardi,
2002).
Serotoninergik sangat dipengaruhi oleh hasil metabolisme asam amino triptofan. Dengan bertambahnya jumlah triptofan, maka jumlah serotonin yang terbentuk juga meningkat akan menyebabkan keadaan mengantuk.
92
Tubuh mengalami proses kimia karena glukosa yang didapat dari makanan diubah menjadi energi mekanik, membuat otot bekerja dan menjadi sumber tenaga. Energi ini disebut ATP (adenosin tri fosfat), yaitu gugus adenosin yang mengikat tiga gugus fosfat. Ketika satu gugus fosfat lepas dari ATP akan dilepas energi sebesar 30 KJ, yang dapat digunakan untuk menggerakkan otot. Tubuh punya dua cara untuk mengambil energi dari glukosa, yang pertama aerobik (memerlukan udara) disebut juga siklus Krebs, melepas energi 3.000 KJ dan yang kedua anaerobik (tanpa udara), mengubah glukosa menjadi asam laktat dan melepas energi 150 KJ. Dalam keadaan normal, tubuh bergantung pada proses aerob. Saat tubuh kelelahan, kadar oksigen dalam aliran darah tidak cukup untuk menghasilkan energi melalui proses aerob. Karena itu, terjadi proses anerob. Proses anaerob ini terjadi di otot. Pada keadaan statis, asam laktat pun terkumpul di otot dan menimbulkan rasa lelah. Kumpulan asam laktat ini dan kondisi yang anaerob (kurang oksigen) membuat tubuh mengirim sinyal lelah ke otak dan otak pun balik memerintahkan tubuh untuk istirahat, yang ditandai dengan rasa bosan dan kantuk. Situasi dengan stimulus yang rendah, berulang-ulang atau dengan tuntutan fisik dan mental yang rendah akan menimbulkan stimulus yang kecil pula pada daerah kesadaran di otak manusia. Dengan kata lain, daya tahan seseorang untuk memberikan perhatian pada suatu stimulus yang monoton lama kelamaan akan berkurang. Akibatnya timbul rasa bosan, sehingga dibutuhkan kehadiran stimulus lain untuk meningkatkan kesiagaan. Stimulus tersebut dalam hal ini adalah melakukan peregangan otot.
93
Hasil uji paired-sample t test sebelum menguji antara tahap satu (tanpa intervensi ergonomi) dan perlakuan pada tahap dua (dengan intervensi ergonomi) membuktikan bahwa kedua tahap tersebut tidak berbeda bermakna dengan nilai p>0,05. Ini membuktikan bahwa kondisi penguji OSCE reguler dilihat dari faktor kebosanan sebelum proses menguji adalah sama. Proses menguji yang berkepanjangan sering memunculkan rasa bosan yang ditandai dengan mood yang negatif, lelah, lemas, dan menurunnya konsentrasi serta ingin beralih dari aktivitas tersebut. Hasil uji beda terhadap rerata skor kebosanan setelah proses menguji membuktikan bahwa kedua tahap tersebut berbeda bermakna dengan nilai p < 0,05. Ini membuktikan bahwa kondisi penguji OSCE reguler dilihat dari faktor kebosanan setelah proses menguji adalah berbeda. Hal ini terlihat dari perbedaan rerata skor kebosanan pada perlakuan tahap satu (tanpa intervensi ergonomi) yaitu 39,724 dan perlakuan pada tahap dua (dengan intervensi ergonomi) yaitu 26,415. Hasil analisis ini membuktikan bahwa menguji dengan menyisipkan peregangan dan pemberian teh manis mengurangi rerata kebosanan sebesar 33,5% secara signifikan (p<0,05) seperti terlihat pada Tabel 5.4. Temuan ini didukung oleh Wulanyani (2004) yang melaporkan bahwa pengaturan istirahat mampu mengurangi kebosanan secara signifikan (p<0,05) pada pelinting kertas rokok di CV ”X” Denpasar. Hasil ini juga didukung oleh Irwanti (2011) pembelajaran dengan menyisipkan peregangan mengurangi rerata kebosanan sebesar 18,54% secara signifikan (p<0,05) pada peserta didik kelas X SMK Pariwisata Triatma Jaya Badung.
94
6.4 Kelelahan Penguji OSCE Reguler Hasil uji paired-sample t test kelelahan sebelum menguji antara tahap satu (tanpa intervensi ergonomi) dan perlakuan pada tahap dua (dengan intervensi ergonoi) menunjukkan bahwa kedua perlakuan tersebut tidak berbeda bermakna dengan nilai p>0,05. Ini membuktikan bahwa kondisi penguji OSCE reguler dilihat dari faktor kelelahan sebelum proses menguji adalah sama. Hasil uji beda terhadap rerata skor kelelahan setelah proses menguji menunjukkan bahwa kedua tahap tersebut berbeda bermakna dengan nilai p<0,05. Ini membuktikan bahwa kondisi penguji OSCE reguler dilihat dari faktor kelelahan setelah proses pembelajaran adalah berbeda. Hal ini terlihat dari perbedaan rerata skor kelelahan pada tahap satu (tanpa intervensi ergonomi) yaitu 44,050 dan perlakuan pada tahap dua (dengan intervensi ergonomi) yaitu 23,525. Terjadi penurunan kelelahan pada perlakuan dua sebesar 46,59%. Terjadinya peningkatan kelelahan dalam menguji karena tubuh penguji OSCE reguler melakukan posisi statis terus menerus. Dengan kondisi tersebut, maka tubuh akan mengeluarkan energi yang lebih banyak karena harus mempertahankan posisi tersebut selama proses menguji. Sedangkan pada proses menguji yang menyisipkan peregangan otot (perlakuan pada tahap 2), penguji OSCE reguler lebih merasa nyaman dan menjadi lebih rileks karena kondisi tubuh tidak lagi melakukan posisi statis secara terus menerus, sehingga berkurangnya penumpukan produk sampah metabolisme di darah. Adanya peregangan mengurangi monotoni dan mengaktifkan Reticular Activating System (RAS). Pada saat lelah dan bosan, akan membuat stimulus ke RAS mengunci rapat, sehingga
95
otak tidak dapat menerima informasi dengan baik, Sebaliknya pada kondisi peregangan akan terjadi relaksasi, maka lebih banyak stimulusmenuju RAS akan membuka, sehingga dapat berpikir dengan jernih (Ratna, 1996). Ini berarti menguji dengan menyisipkan peregangan dan pemberian teh manis mampu mengurangi kelelahan penguji OSCE reguler secara bermakna (p<0,05). Temuan ini juga didukung oleh Sutajaya (2006) yang menyatakan bahwa pembelajaran sistemik, holistik, interdisipliner, dan partisipatori (SHIP) yang menerapkan prinsip ergonomi menurunkan kelelahan mahasiswa dalam proses perkuliahan. Dengan adanya peregangan di sela menguji OSCE reguler maka tingkat kelelahan dalam menguji dapat diturunkan. Arimbawa (2010) menyatakan bahwa redesain peralatan kerja secara ergonomis menurunkan kelelahan sebesar 17,72 atau sebesar 25,07% pada pembuat minyak kelapa tradisional di kecamatan Dawan Klungkung. Wiradharma (2012) menyatakan bahwa kelelahan pada praktikan mengalami penurunan sebesar 20,3% pada Praktikum odontektomi berorientasi ergonomi di jurusan kedokteran gigi universitas mahasaraswati denpasar.
6.5 Keluhan Muskuloskeletal Penguji OSCE Reguler Proses menguji yang dilakukan dengan posisi duduk lama di ruangan, umumnya didominasi oleh aktivitas yang melibatkan kontraksi otot yang bersifat statis karena penguji OSCE saat mendengar, melihat dan menilai peserta ujian tetap berada di tempat duduknya. Sikap kerja seperti ini dilakukan penguji OSCE reguler selama kurang lebih 10 jam, yang dapat mengakibatkan kekuatan otot
96
berkurang, bertambah panjangnya waktu laten kontraksi dan kurangnya koordinasi sehingga timbul keluhan muskuloskeletal (Suma’mur, 2009). Keluhan muskuloskeletal dihitung berdasarkan selisih skor keluhan dari pengisian kuesioner Nordic Body Map sebelum dan sesudah perlakuan berdasarkan empat skala likert. Pada penelitian ini proses menguji pada tahap satu didominasi oleh aktivitas dengan sikap kerja statis. Melalui proses menguji yang diselingi dengan peregangan, sikap kerja statis menjadi dinamis. Peregangan otot yang dilakukan memberikan efek berkurangnya keluhan muskuloskeletal. Hasil uji paired-sample t test sebelum perlakuan antara tahap satu dan perlakuan pada tahap dua menunjukkan bahwa kedua perlakuan tersebut tidak berbeda bermakna dengan nilai p>0,05. Ini membuktikan bahwa kondisi penguji OSCE reguler dilihat dari faktor keluhan muskuloskeletal sebelum proses menguji adalah sama. Hasil uji beda terhadap rerata skor keluhan muskuloskeletal setelah proses menguji menunjukkan bahwa kedua perlakuan pada tahap satu dan tahap dua tersebut berbeda bermakna dengan nilai p<0,05. Ini membuktikan bahwa kondisi penguji OSCE reguler dilihat dari faktor keluhan muskuloskeletal setelah proses menguji adalah berbeda. Hal ini terlihat dari rerata skor keluhan muskuloskeletal pada tahap satu (tanpa intervensi ergonomi) yaitu 39,25 dan pada perlakuan pada tahap dua (dengan intervensi ergonomi) yaitu 14,02. Tingginya keluhan muskuloskeletal pada tahap satu disebabkan karena sikap kerja statis dalam waktu yang lama berakibat penumpukan sisa-sisa metabolisme seperti asam laktat karena tidak optimalnya sirkulasi tubuh. Hal ini disebabkan oleh karena penekanan kapiler-kapiler otot akibat kontraksi otot statis
97
(Suma’mur, 2009). Kadar asam laktat yang tinggi juga menggambarkan ketidakmampuan sistem energi aerobik, sehingga suplai energi bergeser ke sistem anaerobik. Keadaan ini menyebabkan peningkatan produksi asam laktat dalam jaringan dan menurunkan asam laktat dalam hati karena terhambatnya glikolisis (Citrawati dkk, 2001) Peregangan menyebabkan keluhan muskuloskeletal menurun sebesar 64,28%. Penurunan ini disebabkan karena pada saat diberikan peregangan, perbaikan sirkulasi darah berakibat otot dapat pulih kembali dan dapat membangun zat-zat yang diperlukan bagi otot, dalam hal ini adalah pendaurulangan asam laktat sisa metabolisme otot untuk diubah menjadi karbon dioksida (CO2), air, dan glikogen serta protein yang akan dimanfaatkan kembali. Nala (1998) menyatakan bahwa proses pemulihan berusaha untuk mengembalikan kondisi tubuh ke kondisi semula. Disini diupayakan agar darah yang terkumpul di otot skeletal lebih cepat bersirkulasi menuju hati, jantung dan paru. Hal ini berfungsi pula untuk membersihkan sisa hasil metabolisme berupa tumpukan asam laktat yang berada di dalam otot dan darah. Asam laktat ini merupakan limbah hasil metabolisme sel otot sebagian besar (65%) akan didaur ulang dengan cara oksidasi (sistem aerobik) menjadi karbondioksida dan air. Sisanya diubah menjadi glikogen hati dan darah (20%) serta protein (15%) dimanfaatkan kembali untuk menjadi energi. Itu bisa terjadi melalui proses pemulihan, yang salah satunya adalah dengan cara melakukan berbagai gerakan aktif yang ringan seperti jalan atau menggerak-gerakkan tubuh serta anggota tubuh atas dan bawah (lengan dan tungkai) secara ringan setelah melakukan aktivitas fisik.
98
Pada peregangan di sela proses menguji akan memberikan peluang kepada penguji OSCE reguler untuk melakukan istirahat aktif sehingga mengurangi keluhan muskuloskeletal. Temuan ini juga didukung oleh Sutajaya (2006) yang menyatakan bahwa peregangan disela waktu pembelajaran menurunkan keluhan muskuloskeletal mahasiswa dalam proses perkuliahan.
6.6 Penurunan Kebosanan, Kelelahan dan Keluhan Muskuloskeletal Meningkatkan Kinerja Penguji OSCE Reguler Hasil analisis menunjukkan bahwa terjadi perbedaan yang signifikan (p <0,05) pada
rerata skor kebosanan, kelelahan dan keluhan muskuloskeletal.
Rerata skor kebosanan perlakuan tahap satu yaitu 39,724 dan perlakuan tahap dua yaitu 26,415. Terjadi penurunan rerata kebosanan sebesar 33,5%. Rerata skor kelelahan tahap satu yaitu 44,050 dan tahap dua yaitu 23,525. Terjadi penurunan kelelahan pada perlakuan dua sebesar 46,59%. Rerata
skor keluhan
muskuloskeletal perlakuan tahap satu yaitu 39,25 dan perlakuan tahap dua yaitu 14,02. Terjadi penurunan rerata keluhan muskuloskeletal sebesar 64,28%. Proses ujian OSCE reguler dengan orientasi ergonomi yaitu dilakukan peregangan dan diberikan teh manis dapat menurunkan kebosanan, kelelahan dan keluhan muskuloskeletal para penguji OSCE reguler di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar Mataram. Kinerja penguji OSCE reguler dinilai baik pada akhirnya adalah jika dapat melakukan penilaian dengan obyektif. Hal ini dapat tercermin dari: 1)lembar penilaian terisi penuh, 2) terdapat feedback yang dituliskan pada lembar penilaian
99
terutama
pada
saat
tidak
meluluskan
peserta
ujian,
3)
dapat
mempertanggungjawabkan apa yang dinilai saat rapat akhir penentuan kelulusan, 4) sedikit atau bahkan tidak ada komplain dari peserta ujian yang dirugikan akibat kesalahan penilaian saat nilai diumumkan. Pada tahap satu yaitu menguji OSCE tanpa orientasi ergonomi (tanpa peregangan dan tanpa pemberian teh manis) masih banyak ditemukan pada lembar penilaian mahasiswa yang tidak lulus namun tidak dituliskan oleh penguji sebab ketidaklulusannya, dalam hal ini penguji tidak memberikan feedback pada lembar penilaian. Pada saat rapat penentuan kelulusan, banyak diantara penguji yang lupa dasar menetapkan tidak lulus kepada peserta ujian karena tidak menuliskan feedback di lembar penilaian. Pada tahap dua yaitu menguji OSCE dengan orientasi ergonomi (dengan peregangan dan dengan pemberian teh manis) semua lembar penilaian dan lembar feedback bagi yang tidak lulus terisi penuh. Selain itu semua penguji dapat mempertanggungjawabkan yang dinilai saat rapat akhir penentuan kelulusan. Terjadi peningkatan kinerja penguji yang signifikan akibat penerapan prinsip ergonomi dalam menguji OSCE reguler di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar Mataram. Peningkatan Kinerja tersebut terjadi karena Proses menguji OSCE reguler berorientasi ergonomi yaitu dengan peregangan dan pemberian teh manis dapat menurunkan kebosanan, kelelahan dan keluhan muskuloskeletal para penguji OSCE reguler. Kebosanan, kelelahan dan keluhan muskuloskeletal selama menguji disebabkan karena penguji duduk lama kurang lebih 10 jam, pekerjaan yang
100
monoton harus menguji enam puluh orang berbeda dengan meteri observasi yang sama. Jika dibiarkan, keadaan tersebut mengakibatkan penguji tidak objektif dalam menilai peserta ujian. Intervensi ergonomi yaitu peregangan otot dan pemberian teh manis dapat menurunkan kebosanan, kelelahan dan keluhan muskuloskeletal sehingga tubuh tetap bugar, penguji dapat fokus dan dapat konsentrasi dengan baik. Akibatnya penguji penuh semangat menjalankan tugasnya. Efek dari hal tersebut adalah produktivitas meningkat sehingga kinerja meningkat
101
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan Berdasarkan pembahasan di atas yang dikaji berdasarkan literatur yang mendukung dan temuan di lapangan dapat disimpulkan sebagai berikut. 1. Ujian OSCE reguler berorientasi ergonomi yaitu istirahat aktif dengan peregangan dan minum teh manis dapat meningkatkan kinerja penguji di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar di lihat dari penurunan kebosanan 2. Ujian OSCE reguler berorientasi ergonomi yaitu istirahat aktif dengan peregangan dan minum teh manis dapat meningkatkan kinerja penguji di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar di lihat dari penurunan kelelahan 3. Ujian OSCE reguler berorientasi ergonomi yaitu istirahat aktif dengan peregangan dan minum teh manis dapat meningkatkan kinerja penguji di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar di lihat dari penurunan keluhan muskuloskeletal
7.2 Saran Berdasarkan temuan pada penelitian ini dapat disarankan sebagai berikut. 1. Dari hasil penelitian ini, dipandang perlu untuk memberikan mata kuliah ergonomi pada fakultas kedokteran sehingga nantinya proses kerja
102
dokter maupun dosen di fakutas kedokteran lebih produktif dan sesuai dengan kaidah ergonomi. 2. Perlu dilakukan penelitian yang lebih mendalam dengan menggunakan intervensi ergonomi lain dalam memecahkan masaah ergonomi pada proses ujian OSCE di fakultas kedokteran. Misalnya: pengaturan waktu, durasi dan frekuensi ujian OSCE reguler. Selain itu, menggunakan subjek dengan perbedaan usia, berat dan tinggi badan yang kecil agar simpang baku tidak terlalu besar sehingga kinerja bisa lebih tinggi 3. Perlu menyiapkan stasiun ujian OSCE reguler yang lebih representatif. Selain itu, waktu ujian dipersingkat menjadi 5 jam agar jam kerja penguji dapat optimal dan kinerja dapat lebih ditingkatkan
103
DAFTAR PUSTAKA
Adiputra, I.N. 2002. Denyut Nadi dan Kegunaannya Dalam Ergonomi. Jurnal Ergonomi Indonesia. Vol. 3. No. 16: 22-26. Adiputra, I.N. 2003. Kapasitas Kerja Fisik Orang Bali. Majalah Kedokteran Udayana (Udayana Medical Journal). 34 (120,4) p ;108-110 Alter, MJ. 2003. 300 Tehnik Peregangan Olahraga. Yogyakarta: Grafindo Persada Anastasi, A. 1989. Field of Applied Psychology . Jakarta: CV Rajawali. Anoraga, P. 1998. Psikologi Kerja. Jakarta: Rineka Cipta Arimbawa, IMG. 2010. Redesain Peralatan Kerja Secara Ergonomis. Denpasar: Udayana University Press As’ad, M., 2000. Psikologi Industri, Edisi ke-4, Yogyakarta: Penerbit Liberty. Bakta I.M. 2000. Rancangan Penelitian. Denpasar: Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Bonita, JS. 2007. Coffee and Cardiovascular disease: In Vitro, cellular, animal, and human studies. Pharmacological Research. Bridger, R.S. 1995. Introduction to Ergonomic. Singapore: McGraw Hill Inc. Cantika.
2005. Manajemen Sumber Daya Manusia. Malang: Penerbit Universitas Muhammadiyah Malang.
Citrawati, DM., Sutajaya, IM., dan Maharta, IK, 2001. Anatomi dan Fisiologi Manusia. Jakarta: Bhatara Niaga Media. Choi HK, Willett W, Curhan G. 2007. Coffee Consumption and Risk of Incident Gout in Men. Arthritis and Rheumatism. Cummings, B. 2003. Interactive Physiology. San Francisco: Pearson Education Inc. Dempsey, P.G. 2003. A Survey of Lifting and Lowering Task. International Journal of Industry Ergonomics. P 31 (1) 11-16. Dikti, 2006. Health Professional Education Quality Project: Pedoman Persiapan dan Penyelenggaraan Objective Structured Clinical Examination (OSCE) untuk Dokter Dan Dokter Gigi. [cited 2014 January 14]. Available-from:URL:
104
http://hpeq.dikti.go.id/v2/images/Produk/Panduan_Penyelenggaraan_ Ujian_Osce.pdf Ganong, W.F. 2001. Review of Medical Physiology. 20th Edition. New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill Medical Publishing Division. Grandjean, E. 2000. Fitting the Task to The man. A Textbook Of Occupational Ergonomics. 4th edition. New York: Taylor & Francis. Guyton.1995. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. (terjemahan). Jakarta: EGC. Penerbit Buku Kedokteran Guyton, A.C. dan J.E. Hall. 1996. Medicine Physiology. Pensylvania: W. B. Sounders Company. Hales, TR and Bernard, BP. 1996. Epidemiology of Work Related Musculoskeletal Disorder. Journal Orthopedic Clinic. North America. 27:679-709 Hutagalung, R. 2008. Perbaikan Kualitas Kerja Dengan Menerapkan Pendekatan Ergonomi Meningkatkan Kinerja Buruh AngkatAngkut Tradisional Di Pasar Badung Denpasar. Denpasar: Program Pascasarjana Universitas Udayana. Ilyas, Y., 2001. Kinerja Teori Penilaian dan Penelitian. Jakarta: FKM UI. Irawan dan Suparmoko. 2002. Ekonomika Pembangunan. Yogyakarta : BPFE Universitas Gajah Mada. Irwanti, NKD. 2011, Peregangan Otot Di Sela Pembelajaran Mengurangi Kebosanan, Kelelahan Dan Keluhan Muskuloskeletal Peserta Didik Kelas X, Smk Pariwisata Triatma Jaya Badung. Denpasar: Program Pascasarjana Universitas Udayana. Kroemer, K.H.E, dan Grandjean, E. 2000. Fitting The Task To The Human; A Textbook Of Occupational Ergonomics. 5th Edition. U.K: Taylor & Francis. Mangkunegara, A.A, dan Prabu, A. 2000. Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan, Cetakan Pertama. Bandung: Remaja Rosda Karya Mangkuprawira, S. 2003. Managemen Sumber Daya Manusia Strategik. Cetakan Kedua. Jakarta: Ghalia Indonesia
105
Manuaba, I.B.A. 1998. Dengan Desain yang Aman Mencegah Kecelakaan dan Cedera. Bunga Rampai Ergonomi. Volume 1. Denpasar: Program Studi Ergonomi - Fisiologi Kerja. Denpasar: Universitas Udayana. Manuaba, I.B.A. 2000. Ergonomi Meningkatkan Kinerja Tenaga Kerja dan Perusahaan. Dalam Hermansyah editor. Prosiding Simposium dan Pameran Ergonomi Indonesia 2000. Bandung : ITB Press. p. 11-9. Manuaba, I.B.A. 1992. Pengaruh Ergonomi Terhadap Produktivitas. Seminar Produktivitas Tenaga Kerja. Jakarta 30 Januari 1992 Nala, N. 1998. Prinsip Pelatihan Fisik Olahraga. Denpasar: Program Pascasarjana Program Studi Fisiologi Olahraga Universitas Udayana. Palilingan, R., Adiputra, I., Dinata, K., Dewi, A., 2012b. Analisis Sikap Kerja Dengan Menggunakan Metode REBA (rapid entire body assessment) Pada Buruh Angkat Angkut Wanita di Pasar Tradisional Badung Denpasar. Seminar IAIFI, Manado, 17-18 Mei 2012. Perry, A.G dan Potter, P.A. 2005. Buku ajar Fundamental Keperawatan. Jakarta: penerbit EGC Pheasant, S. 1991. Ergonomics, Work and Health. London: Macmillan Academic. Profesional Ltd Pulat, B.M. 1992. Fundamentals of Industrial Ergonomics. Prentice-Hall, Englewood Cliffs, New Jersey. Ratna. M. 1996. Buku Kuliah Susunan Saraf Otak Manusia. Jakarta: CV. Infomedika. Rodahl, K. 1989. The Physiologi of Work. London: Taylor & Francis. Sedarmayanti. 1996. Tata kerja dan produktivitas kerja, suatu tinjauan aspek Ergonomi atau kaitan antara manusia dengan lingkungan kerja. Bandung: CV. Mandar Maju. Singer, M.G. 1990. Human Resource Management. Boston: PSW-Kent Publising Company. Sofwan, R. 2013. Bugar Selalu di Tempat Kerja. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer Suardana, E. 2001. Penggunaan Tangkai Tambahan Pada Sekop Menurunkan Beban Kerja Serta Keluhan Subjektif Penyekop Pasir. Magister
106
Program Studi Ergonomi - Fisiologi Kerja. Denpasar: Universitas Udayana. Suma’mur, PK. 1995. Higene Perusahaan Dan Kesehatan Kerja. Jakarta: PT. Toko Gunung Agung. Suma’mur, P.K. 2009. Hygiene Perusahaan Dan Kesehatan Kerja. Jakarta: Sagung Seto Sutajaya, IM. 2006. Pembelajaran Melalui Pendekatan Sistemik Holistik Interdisipliner dan Partisipatori (SHIP) Mengurangi Kelelahan Keluhan Muskuloskeletal dan Kebosanan serta Meningkatkan Luaran Proses Belajar Mahasiswa Biologi IKIP Singaraja. (Disertasi). Denpasar: Program Pascasarjana Universitas Udayana. Sutjana, D. P. dan Sutajaya, I.M. 2005. Penuntun Tugas Lapangan Program Studi Ergonomi-Fisiologi Kerja. Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar. Syaifuddin, M. 2005. Supply Chain Risk Management (Studi Literatur Dan Pengembangan Framework). Prosiding Seminar Nasional The Application of Technology Toward a Better Life. Universitas Teknologi Yogyakarta (UTY) Yogyakarta 29-30 Juli 2005 Tarwaka. 2011. Ergonomi Industri : Dasar-dasar pengetahuan ergonomi dan aplikasi di tempat kerja. Cetakan kedua. Surakarta : Harapan Press Solo. Walton C, Kalmar JM Cafarelli E. “Effect of Caffeine on self-sustained Firing in Human Motor Units”. Journal of Physiology. 2002 Wiradharma, N. 2012. Praktikum Odontektomi Berorientasi Ergonomi Meningkatkan Kinerja Praktikan Di Jurusan Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar. (Tesis). Denpasar: Program Pascasarjana Universitas Udayana Wolinsky, I., Hickson, J.F.1994. Nutrition in Exercise and Sport. London: CRC. Press. Yoshitake, H. 1971. Relations between the symptoms and the feeling of fatigue, In K. Hashimoto, K. Kogi, & E. Grandjean (Eds), Methodology in human fatigue assessment. London : Taylor & Francis Ltd
107
Lampiran 1. Kuesioner Kebosanan KUESIONER KEBOSANAN DALAM PROSES MENGUJI Berilah tanda silang (X) pada jawaban yang tersedia sesuai dengan kondisi saudara saat ini. STS : Sangat Tidak Setuju S : Setuju SS : Sangat Setuju SS : Sangat Setuju AS : Agak Setuju NO
PERTANYAAN
1 2 3 4 5 6
Saya menyukai materi yang sedang diujikan Saya menyukai cara peserta memberikan jawaban Saya menyukai penampilan peserta Saya selalu penuh semangat saat menguji Saya merasa ketinggalan informasi jika tidak hadir Pada saat menguji saya merasa ingin cepat-cepat keluar dari ruang ujian Proses ujian saya rasakan sangat lamban Saya merasa waktu berlalu dengan cepat saat menguji Saya merasa kurang termotivasi untuk menguji Saya merasa kesulitan dalam menguji Saya merasa malas mencatat penilaian peserta Saya merasa malas mendengarkan jawaban peserta Saya merasa enggan untuk berkomentar atas performance peserta Saya merasa enggan untuk menjawab pertanyaan peserta Saya selalu merasa gelisah Saya sering menguap Saya sering menggeser-geser pantat Saya sering menoleh ke kiri dan ke kanan Saya merasa kurang konsentrasi Saya sulit menahan rasa kantuk Saya sering melamun Saya sering terkejut jika ditanya peserta Saya lebih suka ngobrol daripada menguji Saya merasa jawaban peserta dapat dengan mudah dimengerti Saya merasa metode ujian bersifat monoton Saya mengalami kesulitan saat ingin mencatat feedback peserta
JAWABAN (1)
7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
(Sumber: Anoraga, 1998 (modifikasi))
(2)
(3)
(4)
(5)
108
Lampiran 2 KUESIONER KELELAHAN SECARA UMUM DENGAN 30 ITEM PERNYATAAN N a m a : ________________________________ Sampaikan perasaan saudara terhadap pertanyaan di bawah ini, dengan mengisi kolom disebelah kanannya. Pilihlah : A : tidak sama sekali C : ya merasa B : agak merasa D : sangat merasa NO
PERTANYAAN
JAWABAN (1)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Apakah saudara merasa berat di bagian kepala ? Apakah saudara merasa lelah pada seluruh badan ? Apakah kaki saudara terasa berat ? Apakah saudara menguap ? Apakah pikiran saudara terasa kacau ? Apakah saudara merasa mengantuk ? Apakah saudara merasakan ada beban di mata ? Apakah saudara merasa kaku atau canggung dalam bergerak ? Apakah saudara merasa sempoyongan ketika berdiri ? Apakah ada perasaan ingin berbaring ? Apakah saudara merasa susah berpikir ? Apakah saudara merasa lelah untuk bicara ? Apakah perasaan saudara menjadi gugup ? Apakah saudara tidak bisa berkonsentrasi ? Apakah saudara tidak dpt memusatkan perhatian thd sesuatu ? Apakah saudara punya kecendrungan untuk lupa ? Apakah saudara merasa kurang percaya diri ? Apakah saudara merasa cemas terhadap sesuatu ? Apakah saudara merasa tidak dapat mengontrol sikap ? Apakah saudara merasa tidak dapat tekun dalam pekerjaan ? Apakah saudara merasa sakit kepala ? Apakah saudara merasa kaku di bagian bahu ? Apakah saudara merasakan nyeri di punggung ? Apakah nafas saudara terasa tertekan ? Apakah saudara merasa haus ? Apakah suara saudara terasa serak ? Apakah saudara merasa pening ? Apakah kelopak mata saudara terasa kejang ? Apakah anggota badan saudara terasa bergetar (tremor) ? Apakah saudara merasa kurang sehat ?
(Sumber: Sutjana, 2005)
(2)
(3)
(4)
109
Lampiran 3. Kuesioner Keluhan Muskuloskeletal KUESIONER NORDIC BODY MAP PETUNJUK : berilah tanda silang ( X ) pada kolom yang tersedia SESUAI DENGAN keluhan sakit / kaku pada otot yang Saudara rasakan. Nama
:................................................................................ NO
JENIS KELUHAN
TINGKAT KELUHAN (1) (2) (3) (4)
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
Sakit/kaku pada leher bagian atas Sakit/kaku pada leher bagian bawah Sakit pada bahu kiri Sakit pada bahu kanan Sakit pada lengan atas kiri Sakit pada punggung Sakit pada lengan atas kanan Sakit pada pinggang Sakit pada bokong Sakit pada pantat Sakit pada siku kiri Sakit pada siku kanan Sakit pada lengan bawah kiri Sakit pada lengan bawah kanan Sakit pada pergelangan tangan kiri Sakit pada pergelangan tangan kanan Sakit pada tangan kiri Sakit pada tangan kanan Sakit pada paha kiri Sakit pada paha kanan Sakit pada lutut kiri Sakit pada lutut kanan Sakit pada betis kiri Sakit pada betis kanan Sakit pada pergelangan kaki kiri Sakit pada pergelangan kaki kanan Sakit pada kaki kiri Sakit pada kaki kanan
(Sumber: Sutjana, 2005) KETERANGAN : A : Tidak sakit (dapat melaksanakan pekerjaan tanpa keluhan) B : Agak sakit (dapat bekerja meskipun kadang-kadang merasa sakit) C : Sakit (tetap dapat bekerja meskipun tidak sepenuhnya) D : Sangat sakit (merasa sakit dan tidak dapat melaksanakan pekerjaan)
110
Lampiran 4. Surat Persetujuan SURAT PERSETUJUAN
Yang bertanda tangan di bawah ini,
1.
Nama
: .....................................................................
2.
Umur/Tanggal Lahir : .....................................................................
3.
Jenis kelamin
: Pria/Wanita
4.
TB/BB
:
Dengan ini menyatakan sepenuhnya menyadari manfaat dan resiko penelitian yang berjudul ”Ujian OSCE Reguler Berorientasi Ergonomi Meningkatkan Kinerja Penguji di Fakultas kedokteran Universitas Islam Al-Azhar Mataram” oleh karena itu dengan sukarela saya menyetujui untuk diikutsertakan sebagai subjek penelitian dengan catatan apabila suatu saat merasa dirugikan dalam bentuk apapun dapat menarik diri dari persetujuan ini.
Mengetahui
Mataram, ...............................
Peneliti,
Hormat saya,
Dr. IING
...............................................
111
Lampiran 5. Karakteristik Subjek subjek 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 rerata SB Min Maks
Umur (tahun) 28 30 29 32 27 30 28 30 29 32 27 30 28 30 29 32 27 30 29,3 2,7 27 32
Berat Badan (kg) 62 65 78 58 55 56 62 65 78 58 55 56 62 65 78 58 55 56 62,3 15,7 55 78
Tinggi Badan (cm) 170 157 170 164,5 161,5 169 170 157 170 164,5 161,5 169 170 157 170 164,5 161,5 169 165,3 4,7 157 170
112
Lampiran 6. Data Lingkungan dan Analisis Statistik 6.1 rerata kondisi lingkungan pada tahap 1 dan tahap 2
pengukura n 1 2 3
P0 In In Suhu cahaya Suara 24,7 508,6 69,7 8 24,1 511,7 69,1 24,6 502,4 70,5
rata-rata SB
24,4 0,38
507,6 10,17
P1 In In Suhu cahaya Suara 25,2 511,7 70,5 24,9 513,6 69,4 25,1 502,5 70,3
69,8 0,57
25,1 0,29
509,2 2,54
70,1 0,68
6.2 Analisis Deskriptif Data Lingkungan N
Minimum
Maximum
Mean
Std. Deviation
P0_Suhu
3
24,10
24,70
24,4000
,37777
P0_intensitas_cahaya
3
502,40
511,70
507,6000
10,16031
P0_intensitas_suara
3
69,10
70,50
69,8000
,56772
P1_suhu
3
24,90
25,10
25,0800
,28749
P1_intensitas_cahaya
3
502,50
513,60
509,2000
2,54229
P1_intensitas_Suara
3
69,40
70,50
70,1000
,67823
3
Sig. ,200*
Statistic ,894
Valid N (listwise)
6.3 Uji Normalitas a
Kolmogorov-Smirnov P0_Suhu_
Statistic ,229
df
Shapiro-Wilk Df 3
Sig. ,377
P0_intensitas_cahaya
,277
3
,200*
,885
3
,331
P0_intensitas_suara
,242
3
,200*
,879
3
,305
P1_suhu
,213
3
,200*
,939
3
,656
P1_intensitas_cahaya
,217
3
,200*
,927
3
,578
P1_intensitas_Suara
,322
3
,098
,858
3
,221
*. This is a lower bound of the true significance. a
. Lilliefors Significance Correction
113
6.4 Analisis Uji T data lingkungan
T-Test Group Statistics
Suhu
Perlakuan2 Perlakuan1
3 3
25,0800
,28749
intensitas_cahaya
507,6000
10,16031
,12410 4,54383
Perlakuan2
3
509,2000
2,54229
1,14307
Perlakuan1
3
69,8000
,56772
,24495
Perlakuan2
3
70,1000
,67823
,30332
intensitas_suara
N 3
Mean 24,4000
Std. Deviation ,37777
Std. Error Mean ,16000
kelompok Perlakuan1
114
Lampiran 7 Uji Normalitas Data Kebosanan Tests of Normality a
Kolmogorov-Smirnov Perlakuan Kebosananpre
kebosananpost
Statistic
df
Shapiro-Wilk Sig.
tanpa perlakuan
.094
18
.200
dengan perlakuan
.109
18
.200
tanpa perlakuan dengan perlakuan
bedakebosanan tanpa perlakuan dengan perlakuan
.088
18
.076
18
.127
18
.065
18
a. Lilliefors Significance Correction *. This is a lower bound of the true significance.
.200 .200
Statistic * * * *
.106 .200
*
Df
Sig.
.956
18
.124
.951
18
.082
.977
18
.586
.978
18
.631
.971
18
.397
.988
18
.942
115
Lampiran 8 Uji Independent Samples Test untuk efek sisa kebosanan Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval of the
Sig. (2F
Sig.
kebosananpre Equal variances assumed
.001 .971
t
df -
.228
Mean
Std. Error
tailed) Difference Difference
78
.693
-.17500
1.36480
77.998
.693
-.17500
1.36480
Difference Lower 2.89211
Upper
2.54211
Equal variances not assumed
.228
2.89211
2.54211
116
Lampiran 9 Uji Beda terhadap Kebosanan Paired Samples Statistics Mean Pair 1
Kebosanan sebelum
N
Std. Deviation
Std. Error Mean
38.0000
18
6.08908
.96277
38.1750
18
6.11802
.96734
72.9500
18
10.12727
1.60126
66.6500
18
8.73998
1.38191
34.9500
18
12.17174
1.92452
28.4750
18
10.23315
1.61800
perlakuan Kebosanan sebelum perlakuan 2
Pair 2
Kebosanan setelah perlakuan 1 Kebosanan setelah perlakuan 2
Pair 3Beda kebosanan perlakuan 1 Beda kebosanan perlakuan 2
Paired Samples Correlations N Pair 1
Correlation
Sig.
Kebosanan sebelum perlakuan & Kebosanan
18
.996
.000
18
.112
.490
18
.370
.019
sebelum perlakuan 2 Pair 2
Kebosanan setelah perlakuan 1 & Kebosanan setelah perlakuan 2
Pair 3
Beda kebosanan perlakuan 1 & Beda kebosanan perlakuan 2
117
Paired Samples Test
Paired Differences 95% Confidence Interval of the Difference Std. Error Mean
Std. Deviation
Lower
Upper
Mean
t
df
Sig. (2tailed)
Pair Kebosanan 1
sebelum perlakuan 1 - Kebosanan sebelum perlakuan 2
-.17500
.54948
.08688
-.35073
.00073
-2.014
39
.056
6.30000
12.61094
1.99397
2.26682
10.333 18
3.160
39
.003
6.47500
12.67339
2.00384
2.42185
10.528 15
3.231
39
.003
Pair Kebosanan 2
setelah perlakuan 1 - Kebosanan setelah perlakuan 2
Pair Beda 3
kebosanan perlakuan 1 - Beda kebosanan perlakuan 2
118
Lampiran 10. Uji Normalitas Data Kelelahan Tests of Normality a
Kolmogorov-Smirnov Statistic
df
Shapiro-Wilk Sig.
Statistic
Df
Sig.
Kelelahanpreseb1
.175
18
.200
.883
18
.001
Kelelahanpreseb2
.182
18
.200
.870
18
.000
Kelelahansed1
.124
18
.123
.972
18
.425
kelelahansed2
.122
18
.136
.953
18
.095
Bedaperlakuan1
.127
18
.104
.962
18
.201
Bedaperlakuan2
.125
18
.115
.962
18
.196
a. Lilliefors Significance Correction
Descriptive Statistics N
Minimum
Maximum
Mean
Std. Deviation
Kelelahanpreseb1
18
30.00
35.00
32.2250
1.81853
Kelelahanpreseb2
18
30.00
35.00
32.2250
1.84651
Kelelahansed1
18
64.00
81.00
73.7250
3.82292
kelelahansed2
18
45.00
64.00
51.7000
4.29191
Bedaperlakuan1
18
33.00
48.00
41.5000
3.84308
Bedaperlakuan2
18
11.00
31.00
19.4750
4.63536
Valid N (listwise)
119
Paired Samples Statistics Mean Pair 1
Kelelahan sebelum
N
Std. Deviation
Std. Error Mean
32.2250
18
1.81853
.28753
32.2250
18
1.84651
.29196
76.275
18
3.82292
.60446
55.750
18
4.29191
.67861
Beda kelelahan perlakuan 1
44.050
18
3.84308
.60764
Beda kelelahan perlakuan 2
23.525
18
4.63536
.73291
perlakuan 1 Kelelahan sebelum perlakuan 2 Pair 2
Kelelahan sesudah perlakuan 1 Kelelahan sesudah perlakuan 2
Pair 3
120
Lampiran 11 Uji Independent Samples Test untuk efek sisa kelelahan Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval of the
Sig. (2F
Sig.
t
.014
.905 .000
df
Mean
Std. Error
tailed) Difference Difference Lower Upper
kelelahanpre Equal variances
78 1.000
.00000
.40978
.000 77.982 1.000
.00000
.40978
assumed Equal variances not assumed
Difference
.81580
.81581
.81580
.81581
121
Lampiran 12 Uji Beda terhadap Kelelahan Paired Samples Correlations N Pair 1
Kelelahan sebelum perlakuan 1 &
Correlation
Sig.
18
.664
.000
18
.287
.027
18
.356
.024
Kelelahan sebelum perlakuan 2 Pair 2
Kelelahan sesudah perlakuan 1 & Kelelahan sesudah perlakuan 2
Pair 3
Beda kelelahan perlakuan 1 & Beda kelelahan perlakuan 2
Paired Samples Test Paired Differences
Mean
Std. Std. Error Deviation Mean
95% Confidence Interval of the Difference Lower
Upper
T
Df
Pair Kelelahan sebelum 1 perlakuan 1 Kelelahan sebelum .00000 1.50214 .23751 -.48041 .48041 .000 39 perlakuan 2 Pair Kelelahan sesudah 2 perlakuan 1 Kelelahan sesudah 2.20250E1 4.85950 .76835 20.47086 23.57914 28.665 39 perlakuan 2 Pair Beda kelelahan 3
perlakuan 1 - Beda 2.20250E1 4.85422 .76752 20.47254 23.57746 28.696 39 kelelahan perlakuan 2
Sig. (2tailed)
1.000
.000
.000
122
Lampiran 13 Uji Normalitas Data Keluhan Muskuloskeletal Tests of Normality a
Kolmogorov-Smirnov Statistic Keluhan sebelum
df
Shapiro-Wilk
Sig.
Statistic
Df
Sig.
.185
18
.200*
.909
18
.004
.146
18
.200*
.950
18
.074
.180
18
.200*
.911
18
.004
.192
18
.200*
.874
18
.000
.113
18
.200*
.952
18
.086
.102
18
.200*
.965
18
.241
perlakuan 1 Keluhan sebelum perlakuan 2 Keluhan sesudah perlakuan 1 Keluhan sesudah perlakuan 2 Perbedaan keluhan perlakuan 1 bedakeluhan2
a. Lilliefors Significance Correction *. This is a lower bound of the true significance
123
Lampiran 14 Uji Independent Samples Test untuk efek sisa keluhan muskuloskeletal Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval of the
Sig. (2F
Sig.
.011
.916
keluhanpre Equal variances assumed Equal variances not assumed
t
df -
1.147
1.147
Mean
Std. Error
tailed) Difference Difference
78 .255
-.65000
.56690
77.993 .255
-.65000
.56690
Difference Lower Upper 1.77862
1.77862
.47862
.47862
124
Lampiran 15 Uji Beda terhadap Keluhan Muskuloskeletal Paired Samples Statistics Mean Pair 1
Keluhan sebelum perlakuan 1 Keluhan sebelum perlakuan 2
Pair 2
Keluhan sesudah perlakuan 1 Keluhan sesudah perlakuan 2
Pair 3
N
Std. Deviation
Std. Error Mean
31.2250
18
2.54687
.40270
31.8750
18
2.52361
.39902
70.4750
18
4.67392
.73901
45.9000
18
5.21241
.82415
39.2500
18
5.63301
.89066
14.0250
18
4.99994
.79056
Perbedaan keluhan perlakuan 1 bedakeluhan2
Paired Samples Correlations N
Correlation
Sig.
Pair 1Keluhan sebelum perlakuan 1 & Keluhan sebelum
18
.360
.023
18
.631
.000
18
.480
.002
perlakuan 2 Pair 2Keluhan sesudah perlakuan 1 & Keluhan sesudah perlakuan 2 Pair 3
Perbedaan keluhan perlakuan 1 & bedakeluhan2
125
Paired Samples Test Paired Differences 95% Confidence Interval of the Std. Std. Error Difference Deviation Mean Lower Upper
T
2.86938
.45369
-1.56767
-1.433 39
.160
2.45750E1 4.27208
.67547
23.20872 25.94128 36.382 39
.000
Pair Perbedaan 3 keluhan perlakuan 2.52250E1 5.44665 1 - bedakeluhan2
.86119
23.48308 26.96692 29.291 39
.000
Mean Pair Keluhan sebelum 1 perlakuan 1 Keluhan sebelum -.65000 perlakuan 2 Pair Keluhan sesudah 2 perlakuan 1 Keluhan sesudah perlakuan 2
.26767
df
Sig. (2tailed)