1
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa konflik pertanahan di Indonesia
semakin penting untuk dikaji. Hal ini dapat diketahui dengan semakin banyaknya konflik pertanahan yang terjadi baik yang diproses dan diselesaikan melalui lembaga-lembaga pengadilan maupun melalui pengaduan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) serta melalui Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).1 Dalam catatan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN RI) sampai dengan bulan September 2013, BPN RI mencatat jumlah kasus pertanahan sudah mencapai 4.223 kasus yang terdiri dari sisa kasus tahun 2012 sebanyak 1.888 kasus dan kasus baru sebanyak 2.335 kasus. Jumlah kasus yang telah selesai mencapai 2.014 kasus atau 47,69% yang tersebar di 33 Propinsi seluruh Indonesia.2 Senada dengan hal tersebut, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBH), sepanjang tahun 2010 pun menerima laporan 3.406 kasus konflik pertanahan yang melibatkan negara dan pihak swasta. Dan sepanjang tahun 2011, Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum (PMH) mencatat telah menerima surat aduan sebanyak 4.790 buah dengan 22% diantaranya adalah
1
H. Hambali Thalib,. 2009. Sanksi Pemidanaan Dalam Konflik Pertanahan: Kebijakan Alternatif Penyelesaian Konflik Pertanahan di Luar Kodifikasi Hukum Pidana. Jakarta: Kencana. Hal. 44 2 Badan Pertanahan Nasional, diakses pada tanggal 27 Oktober 2013, “Data Kasus Pertanahan”, http://bpn.go.id/Program-Prioritas-Penanganan-Kasus-Pertanahan.
2
mengenai sengketa tanah. Bandingkan juga rata-rata perkara perdata bidang pertanahan yang ditangani MA (2001-2005) tercatat 63% dari perkara perdata yang masuk ke MA.3 Berbagai instansi atau lembaga juga para ahli di bidang pertanahan mencatat konflik-konflik pertanahan selalu terjadi dalam setiap periodenya. Konflik pada dasarnya merupakan sebuah gejala sosial yang selalu hadir dalam masyarakat.4 Konflik agraria merupakan suatu rangkaian yang tidak dapat terpisahkan dalam hubungan agraris dalam sistem apapun.5 Walaupun demikian, tidak berarti konflik-konflik yang muncul tersebut sama bentuknya. Setiap periode menunjukkan bentuk konflik yang berbeda dan sangat bergantung kepada kondisi hubungan agraris yang ada, serta sistem dan kebijakan yang berlaku dalam kurun waktu tersebut. Pilihan politik agraria yang dituangkan dalam kebijakan agraria oleh pihak yang berkuasa, memberi pengaruh yang sangat besar pada kondisi agraria pada periode masing-masing. Perbedaan politik dan kebijakan agraria pada masingmasing kurun waktu, membawa pengaruh yang relatif berbeda pula, meskipun pada dasarnya terdapat suatu kecenderungan yang sama, yakni terjadinya penurunan akses dan aset agraria massa rakyat. Proses politik yang ada
3
Bernhard Limbong, 2012. Konflik Pertanahan. Jakarta: Margaretha Pustaka. Hal. 7 Lihat Ibid. Hal. 22 (dikutip dari Moore, Konflik dan Sengketa tanah di Indonesia, 1996, http://www.iains.com/artikel.php, Hal. 16) 5 Endang Suhendar dan Yohana Budi Winarni. 1998. Petani dan Konflik Agraria. Bandung: AKATIGA. Hal. 61 4
3
mempunyai suatu konfigurasi tersendiri yang menciptakan produk hukum yang berbeda.6 Berkaitan dengan hal tersebut, sejarah mencatat politik agraria Indonesia sangat besar memberikan konfigurasinya di masa pemerintahan orde lama dan orde baru. Pada masa ini terjadi perubahan paling signifikan dalam sistem kehidupan kenegaraan—ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya— Indonesia.7 Kokohnya kedaulatan bangsa, tak hanya diuji melalui ancaman dan gangguan yang datang dari luar, melainkan juga pada masa ini timbul berbagai macam pemberontakan dari dalam negeri. Pemberontakan PKI di Madiun, pemberontakan DI/TII, dan peristiwa Gerakan 30 September 1965/PKI adalah puncak perubahan kekuasaan di akhir pemerintahan orde lama menuju orde baru. Perubahan yang besar dalam peta kekuasaan ini mengakibatkan pula berubahnya kebijakan-kebijakan negara di semua sektor. Produk hukum dan konfigurasi politik agrariapun menjadi tidak stabil dan cepat berubah. Sejalan dengan hal tersebut, penulis menemukan sebuah fenomena atas konfigurasi politik pertanahan yang terjadi pada masa itu dan menuai konflik pertanahan hingga saat ini. Salah satunya adalah konflik pertanahan yang terjadi di daerah Kota Bandung. Konflik pertanahan ini bermula ketika Departemen Pertahanan dan Keamanan/Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Cq. Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Darat Pusat Senjata Infanteri Komando Daerah Militer III/Siliwangi (Pussenif Kodiklat TNI AD) berencana membangun fasilitas latihan perang kota di atas tanah yang saat ini dihuni oleh ± 442 kepala keluarga atau 6
Al Araf. Awan Puryadi. 2002. Perebutan Kuasa Tanah. Yogyakarta: Lappera Pustaka Utama. Hal. 53 7 Lihat Ibid. Hal. 34
4
sebanyak 2.121 jiwa di RW 06 Kelurahan Cikutra, RW 12, RW 14 dan RW 15 Kelurahan Cicadas Kecamatan Cibeunying Kidul dan RW 07 Kelurahan Cihaurgeulis Kecamatan Cibeunying Kaler sejak tahun 2000.8 Berdasarkan keterangan dalam rapat dengar pendapat antara Komisi A DPRD Kota Bandung dengan unsur Pussenif Kodiklat TNI AD, Zidam/III Siliwangi9, BPN, Dinas Perumahan Kota Bandung, Camat Cibeunying Kidul dan Cibeunying Kaler, Lurah Cikutra, Cicadas, Cihaurgeulis, Tim Peta Sucitra dan Para Ketua RT dan RW secara berturut pada tanggal 5 Juli 2000, 23 Agustus 2000, dan 5 September 2000 dapat diketahui bahwa pihak Pussenif Kodiklat TNI AD mengakui bahwa sesuai dengan perintah dari Mabes TNI AD, Pussenif Kodiklat TNI AD harus membangun fasilitas latihan perang kota yang akan dilaksanakan pada tahun 2000. Namun, mengingat lahan yang akan dipakai tapak pembangunan selama ini diduduki oleh masyarakat, maka pihak Pussenif Kodiklat TNI AD terlebih dahulu harus mengosongkan tanah-tanah tersebut dari penguasaan masyarakat. Pussenif Kodiklat TNI AD memberikan waktu enam bulan sejak tanggal 24 Mei 2000 kepada masyarakat yang bertempat tinggal di tanah tersebut, dengan alasan bahwa tanah yang diduduki masyarakat adalah tanah Pussenif Kodiklat TNI AD dengan sertipikat hak pakai. Pussenif Kodiklat TNI AD tidak pernah menyewakan atau menjual tanahnya kepada masyarakat yang menduduki tanah tersebut. Hal ini berbeda dengan penuturan dari masyarakat. Masyarakat mengatakan bahwa tanah yang mereka kuasai sampai saat ini, telah mendapatkan 8
DPRD Kota Bandung. April 2001. Hasil Pembahasan Komisi A DPRD Kota Bandung mengenai Masalah Lahan Pusenif. Bandung 9 Singkatan dari Zeni Daerah Militer (Pengelola aset TNI)
5
surat keterangan yang disahkan oleh Lurah/Kepala Desa Tjibeunying pada tanggal 1 April 1960. Surat keterangan tersebut menerangkan bahwa masyarakat telah memiliki sebuah rumah yang didirikan pada tahun 1960 yang terletak di Kampung Sekemelang Desa Tjibeunying Kewedanaan Tjibeunying Kota Bandung. Masyarakat mengakui tanah yang didudukinya selama ini bukanlah milik mereka, melainkan diperkirakan tanah negara yang dikuasai oleh Pemerintahan Kota Bandung. Dengan landasan historis yang cukup kuat, masyarakat menegaskan alasan penguasaan tanah karena merajalelanya gerombolan yang menyebut dirinya sebagai Gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan Sukarmadji Maridjan Kartosuwiryo, sejak tahun 1948 sampai dengan 1962 di Jawa Barat, khusunya di pinggiran Kota Bandung. Gerakan DI/TII di Jawa Barat muncul pada waktu terjadinya penarikan pasukan TNI di wilayah yang diduduki Belanda ke wilayah RI sebagai akibat Persetujuan Renville. Untuk itu Kartosuwiryo menghimpun orang-orang yang setia kepadanya, yakni tentara Darul Islam. Pada tanggal 4 Agustus 1949 Kartosuwiryo memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII). Tindakannya sangat membahayakan persatuan dan kesatuan nasional, pada waktu itu. Masyarakat sangat dirugikan karena
Kartosuwiryo
dan
anggotanya
melakukan
teror,
pembunuhan,
pengrusakan, dan pengambilan harta kekayaan penduduk secara paksa. Dengan adanya gerakan tersebut, masyarakat pinggiran kota Bandung mengungsi ke Kota Bandung dan tempat lain yang dianggap aman. Penumpasan Gerakan DI/TII di Jawa Barat memakan waktu yang lama. Baru pada tahun 1960-an, Divisi
6
Siliwangi mulai melancarkan operasi secara sistematis dan besar-besaran. Dengan dibantu rakyat dalam operasi “pagar betis”, sampai akhirnya pada tahun 1962 gerombolan DI/TII akhirnya dapat dihancurkan. Namun ternyata, para penduduk yang telah mengungsi tidak kembali ke wilayah asalnya melainkan menetap di Kota Bandung. Sebagian dari mereka menempati daerah Cibeunying, yang saat ini menuai konflik pertanahan seperti yang telah Penulis ungkapkan di atas. Konflik pertanahan ini semakin bias arah penyelesaiannya, karena ditemukan data formal yang tidak saling mendukung atas apa yang telah diterangkan oleh masing-masing pihak yang berkonflik. Berdasarkan data awal yang telah dihimpun, dapat diketahui bahwa adanya Berita Acara Pembelian Tanah Kotapradja tertanggal 28 Agustus 1961 seluas 110.424 m² di Kampung Sukarajin Desa dan Kewedanaan Cibeunying Bandung yang telah dilepas oleh Pemerintah Kotapradja Bandung kepada Pussenif Kodiklat TNI AD dengan cara ganti rugi. Sayangnya dari hasil peninjauan langsung di lapangan tertanggal 10 Agustus 2000, Komisi A DPRD Kota Bandung menyimpulkan bahwa tanah tersebut masih harus diteliti apakah termasuk tanah yang dilepas kepada Pussenif Kodiklat TNI AD atau bukan. Adapun data formal yang sama biasnya juga diungkapkan oleh Dinas Perumahan Pemerintah Kota Bandung tertanggal 13 Maret 2007 dan Kantor Pertanahan Kota Bandung tertanggal 11 April 2008.10 Atas permohonan izin sewa dan permohonan status tanah oleh warga masyarakat, secara berturut Dinas Perumahan Pemerintah Kota Bandung hanya mengatakan bahwa tanah yang masyarakat duduki adalah tidak termasuk sebagai aset tanah 10
Surat Keluar dari Kantor Pertanahan Kota Bandung Nomor 610.32.73/497/KP/III/2008 tertanggal 11 April 2008 dan Surat Keluar dari Dinas Perumahan Pemerintah Kota Bandung Nomor 593/204-Disrum tertanggal 13 Maret 2007
7
milik/dikuasai Pemerintah Kota Bandung, sedangkan Kantor Pertanahan Kota Bandung pun demikian, hanya menyatakan bahwa Kantor Pertanahan tidak bisa memberikan penjelasan mengenai status tanah tersebut, sehubungan data-data tanah yang dimaksud tidak jelas. Tampak jelas bahwa instansi/lembaga penyelesai konflik cuci tangan atas permohonan yang diajukan kepada mereka. Tidak ada rekomendasi penyelesaian ataupun rekomendasi perbuatan hukum apa yang harus dilakukan oleh pihakpihak yang berkonflik. Arsip pertanahan yang tidak lengkap juga begitu mewarnai kemelut konflik pertanahan yang terjadi. Konflik pertanahan yang terjadi di Kota Bandung memang tidak bisa terlepas dari tipologi konflik pengadaan tanah untuk pembangunan. Konflik pengadaan tanah untuk pembangunan memang selalu menjadi masalah berkenaan dengan ketersediaan tanah yang begitu terbatas. Benturan kepentingan tanah terjadi manakala di satu sisi pembangunan sangat memerlukan tanah sebagai sarana utamanya, sedangkan di sisi lain sebagian besar dari warga masyarakat juga memerlukan tanah sebagai tempat pemukiman dan tempat mata pencahariannya. Paradoksnya adalah bahwa manakala tanah tersebut diambil begitu saja dan dipergunakan untuk keperluan pembangunan, maka jelas hak asasi warga masyarakatlah yang dikorbankan.11 Walaupun dapat berlaku sebaliknya, yakni usaha-usaha pembangunan akan terhambat manakala tidak dilakukannya pengadaan tanah untuk pembangunan. Sampai sekarang konflik pertanahan tak kunjung selesai. Penulis memfokuskan penelitian ini pada aspek yuridis tentang pemetaan konflik pertanahan yang terjadi dan bagaimana potensi
11
Bernhard Limbong. 2012. Konflik..., Op. cit. Hal. 367
8
cara penyelesaiannya dilakukan. Penulis berharap dapat menemukan potensi cara penyelesaian yang tepat, guna menjadikan masalah ini sebagai pelajaran bagi tipologi konflik pertanahan yang sama di kemudian hari. Telah dilakukan pra penelitian, semakin memperkuat latar belakang penulis untuk mencoba menganalisis penyebab konflik pertanahan dan menentukan potensi cara penyelesaian konflik tersebut.
B.
Rumusan Masalah Berdasarkan dari latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan
diteliti oleh penulis adalah: 1.
Apa sajakah faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya konflik pertanahan antara Departemen Pertahanan dan Keamanan/Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Cq. Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Darat Pusat Senjata Infanteri Komando Daerah Militer III/Siliwangi dengan Warga Masyarakat RW 07 Kelurahan Cihaurgeulis, Kecamatan Cibeunyingkaler, Kota Bandung ?
2.
Bagaimanakah potensi cara penyelesaian konflik pertanahan yang dapat dirancang, guna terciptanya kepastian hukum dan keadilan ?
C.
Tujuan Penelitian Bertolak dari rumusan masalah tersebut, maka penulis bermaksud untuk
melihat dan mencermati bagaimana faktor terjadinya konflik pertanahan dan potensi cara penyelesaiannya dengan tujuan sebagai berikut:
9
1.
Mengidentifikasi dan memetakan konflik pertanahan dengan semua penyebab, actor, wacana, kepentingan actor-aktor yang terlibat di dalamnya serta upaya hukum yang telah dilakukan oleh masing-masing pihak.
2.
Memberikan gambaran potensi cara penyelesaian konflik pertanahan, agar dapat diambil langkah-langkah yang dapat menyelesaikan konflik pertanahan.
D.
Keaslian Penelitian Setelah penulis melakukan penelusuran dalam katalog Perpustakaan
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, kemudian melihat secara cermat dan teliti dalam kumpulan disertasi, tesis, skripsi, jurnal dan penelitian dosen, penulis meyakini bahwa belum ada satupun penelitian yang dilakukan terkait dengan “Faktor Penyebab Konflik Pertanahan dan Potensi Cara Penyelesaian, Studi: Konflik
Pertanahan
di
RW
07,
Kelurahan
Cihaurgeulis,
Kecamatan
Cibeunyingkaler, Kota Bandung”. Selama penelusuran, penulis menemukan beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian yang diteliti penulis. Adapun penelitian tersebut dilakukan oleh Abdul Kholek (2011) yang merupakan tesis Megister Sosiologi Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan judul Strategi Advokasi NGO dalam Konflik Pertanahan (Studi pada NGO Walhi Sumsel dan LBH Palembang dalam Advokasi Konflik Pertanahan Petani Rengas Versus PTPN VII Cinta Manis). Fokus penelitian tersebut adalah mengkaji dinamika konflik pertanahan paska masuknya
10
PTPN VII, sehingga menjadi gerakan perlawanan petani Rengas dari periode 1981-2009, strategi advokasi yang dilakukan oleh WALHI, dan analisis capaian advokasi. Dalam penelitian tersebut, Penulis menemukan bahwa tawaran capaian advokasi dapat digunakan pada penyelesaian konflik pertanahan untuk kasus yang lain, yakni dapat dilakukan dengan perubahan kebijakan strategis penguatan masyarakat sipil, dan pengembangan demokrasi lokal. Peluang yang terbuka untuk penulis teliti adalah kajian dari aspek hukumnya masih terbuka lebar, karena merupakan kajian sosiologis. Adapun dalam pemetaan konflik hanya mengkaji isu konflik, aktor yang terlibat dan akibat paska konflik yang terjadi. Penelitian selanjutnya adalah penelitian yang dikaji oleh Farhan Fajar (2011), tesis Megister Administrasi Publik UGM dengan judul Upaya dalam Penyelesaian Konflik Pertanahan (Studi Kasus Konflik Penguasaan Tanah Blang Padang Kota Banda Aceh Propinsi Aceh). Fokus penelitian tersebut adalah konflik berupa saling klaim tanah yang tidak bersertipikat antara TNI AD dengan Pemerintahan Aceh mengenai hak penguasaan tanah. Pada penelitian ini dilakukan pengkajian atas upaya penyelesaian konflik pertanahan dimulai dengan melihat akar lahirnya konflik, upaya yang telah dilakukan dan penyebab kegagalan terhadap upaya yang telah dilakukan. Penulis menemukan adanya kesamaan pada salah satu pihak yang berkonflik, dan upaya dari salah satu pihak dalam penguasaan tanah. Hasil analisa mengungkapkan bahwa yang menjadi penyebab konflik adalah ketidaktertiban administrasi pertanahan, pengelolaan atas tanah-tanah terlantar, dan ketidaklengkapan data menyangkut risalah atau sejarah tanah. Penyelesaian dengan jalan mediasi dapat dijadikan tinjauan untuk
11
merumuskan potensi penyelesaian konflik karena berhasilnya penyelesaian tersebut. Dalam penelitian ini, hanya disinggung bahwa salah satu faktor yang menjadi penyebab konflik adalah adanya double inventarisir aset antara aset Pemda dan aset TNI, sehingga terbuka peluang bagi Penulis untuk mengkaji apa yang menjadi faktor penyebab tidak terinventarisirnya suatu aset, yang diklaim oleh salah satu pihak sebagai status hak atas tanah dalam konflik pertanahan tersebut. Adapun penelitian berikutnya adalah tesis Megister Hukum Bisnis UGM dengan judul Konflik Kewenangan di Bidang Pertanahan Terhadap Penguasaan Tanah di Batam, yang diteliti oleh Bastoni Solichin (2007). Penelitian ini berfokus untuk mengetahui aspek-aspek konflik kewenangan di bidang pertanahan di Batam, serta untuk mengetahui jalan keluar menyelesaikan konflik kewenangan bidang pertanahan di Batam. Temuan Penulis dari penelitian ini adalah konflik kewenangan yang diidentifikasikan meliputi konflik dari aspek perencanaan, pengendalian, pembangunan, perencanaan pemanfaatan dan pengawasan tata ruang, penyediaan sarana prasarana umum, pengendalian lingkungan hidup, pelayanan pertanahan serta administrasi penanaman modal. Penyelesaian konflik dapat dilakukan bukan hanya oleh pemegang atau pemangku kewenangan lembaga/instansi penyelesaian konflik melainkan juga dapat dilakukan oleh lembaga politis-perancang peraturan daerah, yakni Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), salah satunya dengan memasukkannya kedalam produk hukum daerah. Peluang yang terbuka untuk Penulis teliti adalah dalam penelitian ini tidak dikaji sejauh mana peran dari lembaga/instansi terkait dalam menangani
12
penyelesaian konflik pertanahan ketika terjadi dualisme hukum dalam menafsirkan konsep kewenangan di bidang pertanahan. Hal ini penting bagi Penulis guna menghindari adanya tarik ulur di antara lembaga/instansi yang berwenang dalam menyelesaikan konflik pertanahan. Penelitian relevan selanjutnya juga terdapat pada penelitian Priyo Handoyo (2005) yang merupakan tesis Megister Administrasi Publik UGM yang berjudul Konflik Peran Organisasi antara Badan Pengendalian Pertanahan Daerah dan Kantor Pertanahan dalam Fungsi Pengendalian Kebijakan Pertanahan di Kabupaten Sleman. Fokus penelitian ini mengkaji konflik antara BPPD Kabupaten Sleman dan Kantor Pertanahan dalam melaksanakan fungsi pengendalian kebijakan di bidang pertanahan. Penelitian ini menekankan pembahasannya pada konflik peran dan konflik organisasi. Penulis menemukan bahwa konflik peran terjadi karena belum adanya ketetapan hukum yang tegas untuk menentukan uraian tugas spesifik dan kurangnya kordinasi BPPD dan Kantor Pertanahan. Adapun peluang yang terbuka untuk diteliti adalah penjabaran atas pengertian konflik dalam penelitian ini, lebih didominasi pada doktrin-doktrin dari ilmu sosial atau pendekatannya dari sisi administrasi publik sehingga masih terbuka mengkajinya dari sisi hukum. Selain penelitian di atas, ada pula penelitian terkait lainnya yang berjudul Manajemen Konflik dalam Kasus Pertanahan di Kabupaten Labuhan Bat (Studi Kasus PT. Grahadura Leidong Prima dengan Masyarakat Desa Air Hutam Kecamatan Kualuh Hulu dan Masyarakat Sukarame Kecamatan Kualuh Leidong, karya Abdi Yoso (2005) yang merupakan tesis Megister Politik dan Pemerintahan
13
UGM. Penelitian ini mengkaji tentang faktor penyebab dan manajemen konflik pertanahan antar masyarakat petani dalam wadah Koperasi Unit Desa Sumber Rezeki dan Koperasi Usaha Tani Sumber Rezseki dengan PT. Grahadura Leidong Prima. Dalam penelitiannya, penulis menemukan bahwa adanya faktor penyebab lain yang bersifat multidimensional dari terjadinya konflik pertanahan. Adapun untuk menyelesaikan konflik, Pemerintah Daerah punya peran yang cukup besar untuk menyelesaikannya. Penelitian ini sangat terfokus pada manajemen konflik yang berarti mengatur konflik untuk dikelola kemudian diselesaikan, bukan sekedar menghilangkan keberadaan konflik itu sendiri. Terbuka peluang bagi penulis untuk meneliti penyelesaian konflik dari sisi legal formalnya. Kemudian ada juga penelitian karya Harahap Kanna (2005) yang merupakan tesis Megister Kenotariatan yang berjudul Penyelesaian Konflik Penguasaan Hak atas Tanah antara Masyarakat dengan PT. Poleka Jaya Agung di Dusun Kassa Kecamatan Patampanua Kabupaten Pinrang. Penelitian ini mengkaji penyebab terjadinya konflik, cara penyelesaian, dan kendala penyelesaiannya atas penguasaan tanah masyarakat dengan PT Poleka Jaya Agung. Dalam penelitian ini, penulis menemukan bahwa desakan yang dilakukan oleh DPRD dan LSM tidak serta merta membuat BPN dapat membentuk tim verifikasi HGU PT Poleka Jaya Agung walaupun hal tersebut adalah sebuah bentuk penyelesaian konflik yang telah disepakati. Tidak dijelaskan bagaimana penyelesaian konflik yang tepat jika ada faktor kekuasaan sebagai hal yang mempengaruhi proses terjadinya konflik, menjadi peluang yang terbuka bagi penulis untuk ditelusur.
14
Penelitian relevan berikutnya adalah penelitian yang berjudul Resolusi Konflik Pertanahan: Studi Kasus Strategi Ulama Basra Dalam mengelola Konflik Pertanahan Pembangunan Jembatan Suramadu di Masaran, Kecamatan Tageh, Bangkalan, Madura yang diteliti oleh Nurun Sholeh (2004), tesis Megister Sosiologi UGM. Penelitian ini memiliki fokus pada peran ulama dalam penyelesaian konflik, ditambah dengan penyelesaiannya dengan pendekatan nilai budaya madura (budaya santri dan budaya carok). Penulis menemukan bahwa penyebab konflik bisa dipengaruhi oleh faktor budaya, ekonomi dan politik. Adapun peluang yang terbuka untuk penulis teliti adalah penelitian ini bertumpu pada teori fungsionalisme struktural (teori dalam ilmu sosiologi), sehingga pengkajian pendekatan dari aspek hukumnya tidak terlalu diperhatikan. Penelitian
yang
berjudul
Kebijakan
Sanksi
Pemidanaan
Dalam
Penyelesaian Konflik Pertanahan di Luar Kodifikasi Hukum Pidana karya Hambali Thalib (2002), Disertasi Program Doktoral Ilmu Hukum UGM juga menjadi penelitian yang relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis. Penelitian ini berfokus pada konflik pertanahan di luar kodifikasi hukum pidana dikaji melalui pendekatan analisis normatif dan empiris terhadap penerapan sanksi pidana. Temuan yang didapatkan penulis dalam penelitian ini adalah bahwa dinamika pembangunan dengan ketersediaan tanah yang terbatas dan kebutuhan tanah yang semakin meningkat merupakan faktor penyebab yang dapat memicu terjadinya perbuatan merugikan atau kriminalitas di bidang pertanahan. Terbuka peluang bagi penulis untuk mencari penyelesaian konflik pro justicia dan non pro justicia atas terjadinya gejala tersebut.
15
Terakhir, ada juga penelitian Hariyono (2002) yang berjudul Perlawanan Petani terhadap TNI AD: Sebuah Studi Kasus Penguasaan Tanah Tegal Buret oleh Kodim 0731 dengan Menggunakan Legitimasi Negara, Desa Kranggan, Kecamatan Galur, Kabupaten Kulonprogo, tesis Megister Sosiologi UGM. Fokus penelitian ini adalah untuk mengetahui latar belakang terjadinya perlawanan petani terhadap TNI-AD (Kodim 0731) tentang kasus Tegal Buret Desa Kranggan Kecamatan Galur Kabupaten Kulonprogo, serta untuk mengetahui bentuk-bentuk perlawanan yang dilakukan oleh petani terhadap TNI AD tentang kasus tersebut. Temuan yang didapatkan penulis adalah bahwa petani merupakan pihak yang lemah. Dalam perjalanannya, petani berpotensi diwarnai oleh konflik-konflik keagrariaan. Keberadaan mereka sering kali ditenggelamkan oleh kelompokkelompok sosial yang kuat, salah satunya adalah oleh aparat keamanan. Tidak dilakukan pembahasan mendalam tentang hal-hal yang berkaitan dengan konflik pertanahan, membuka peluang bagi penulis untuk dilakukan penelitian. Dengan demikian, penulis tetap menjunjung orisinalitas penulisan hukum sesuai dengan etika dalam penyusunan karya ilmiah pada umumnya dengan tidak melakukan plagiat, penjiplakan, atau tindakan kontraproduktif lainnya terhadap penulisan atau karya-karya lainnya yang sejenis.
E.
Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini bagi penulis, adalah: 1.
Manfaat Akademis
16
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum, khususnya bidang ilmu hukum agraria dan potensi penyelesaian konflik pertanahan di Kota Bandung. 2.
Manfaat Praktis Manfaat penelitian ini secara praktis diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya maupun bagi Pemerintah dalam rangka menyelesaikan konflik pertanahan.