1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penduduk merupakan faktor yang strategis dalam pembangunan. Beberapa alasan yang melandasi pemikiran bahwa kependudukan merupakan faktor yang sangat strategis dalam kerangka pembangunan nasional, antara lain adalah: Pertama, kependudukan, atau dalam hal ini adalah penduduk, merupakan pusat dari seluruh kebijaksanaan dan program pembangunan yang dilakukan. Dalam RPJM/P dengan jelas dikemukakan bahwa penduduk adalah subyek dan obyek pembangunan. Sebagai subyek pembangunan maka penduduk harus dibina dan dikembangkan sehingga mampu menjadi penggerak pembangunan. Sebaliknya, pembangunan juga har us dapat dinikmati oleh penduduk yang bersangkutan. Kedua, keadaan dan kondisi kependudukan yang ada sangat mempengaruhi dinamika pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Jumlah penduduk yang besar jika diikuti dengan kualitas penduduk yang memadai akan merupakan pendorong bagi pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya jumlah penduduk yang besar jika diikuti dengan tingkat kualitas yang rendah, menjadikan penduduk tersebut sebagai beban bagi pembangunan. Ketiga, dampak perubahan dinamika kependudukan baru akan terasa dalam jangka yang panjang. Karena dampaknya baru terasa dalam jangka waktu yang panjang, sering kali peranan penting penduduk
dalam
pembangunan
terabaikan.
Dengan
demikian,
tidak
1
2
diindahkannya dimensi kependudukan dalam rangka pembangunan nasional sama artinya dengan “menyengsarakan” generasi berikutnya (Tjiptoherijanto, 1997). Pertumbuhan penduduk di suatu negara pada hakekatnya didasarkan oleh tiga elemen utama yaitu fertilitas, mortalitas, dan migrasi (Mantra, 2000). Tingkat fertilitas memberikan pengaruh positif terhadap laju pertumbuhan penduduk. Sedangkan tingkat mortalitas memberikan pengaruh negatif atau faktor pengurang terhadap laju pertumbuhan penduduk. Tetapi untuk tingkat migrasi, pengaruhnya bisa positif maupun negatif tergantung pada besarnya jumlah penduduk yang masuk dan keluar suatu daerah. Terdapat beberapa ukuran tingkat kelahiran yang bisa digunakan, diantaranya: angka kelahiran kasar/Crude Birth Rate (CBR), angka fertilitas umum/General Fertility Rate (GFR), angka kelahiran menurut umur/Age Spesific Fertility Rate (ASFR), angka kelahiran total/Total Fertility Rate (TFR), dan lain sebagainya. Dari beberapa ukuran tersebut, TFR merupakan ukuran yang paling sering dipakai untuk menggambarkan tingkat kelahiran di suatu wilayah karena TFR merefleksikan banyaknya kelahiran dari seorang wanita hingga akhir masa reproduksinya. Atau dengan kata lain TFR merupakan gambaran tingkat fertilitas suatu daerah/wilayah. Tingkat fertilitas merupakan produk dari berbagai faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor sosial budaya, ekonomi, maupun nilai tentang anak merupakan faktor yang penting dan berperan dalam mempengaruhi tingkat fertilitas. Beberapa teori menerangkan, pengaruh faktor-faktor terhadap fertilitas cukup banyak, seperti: teori ekonomi mikro, pengambilan keputusan rumahtangga
3
tentang pemilihan akan pemilikan anak oleh Becker (1995), teori supply dan demand anak (integrasi teori ekonomi dan sosiologi) serta biaya regulasi fertilitas. Richard (1983) dalam United Nation (2001) mengatakan bahwa tingkat fertilitas merupakan bagian dari sistem yang sangat kompleks dalam bidang sosial, biologi, dan interaksinya dengan faktor lingkungan. Dalam penentuan tinggi rendahnya tingkat fertilitas seseorang, keputusan diambil oleh isteri atau suami-isteri atau secara luas oleh keluarga. Penentuan keputusan ini dapat dipengaruhi oleh latar belakang dan lingkungan, misalnya pendidikan, pendapatan, pekerjaan, norma keluarga besar, umur perkawinan, dan sebagainya. Oleh karena itu, perbedaan-perbedaan fertilitas antar masyarakat maupun antar waktu dari suatu masyarakat baru dapat diketahui atau dipahami apabila telah memahami beragam faktor yang secara langsung maupun tidak langsung berinteraksi dengan fertilitas (Mantra, 2000). Jika merunut pada perjalanan sejarah kependudukan Indonesia, penurunan Total Fertility Rate (TFR) nasional antara tahun sensus ke tahun sensus berikutnya merupakan keberhasilan kebijaksanaan program Gerakan Keluarga Berencana Nasional (GKBN) yang telah di mulai sejak tahun 1967. Hal itu terlihat, dari hasil SP 1971 TFR Nasional adalah 5,61 kemudian SP 1980 menjadi 4,68 dan terus mengalami penurunan menjadi 2,26 pada SUPAS 2005, (Katalog BPS, 2005). Berkaitan dengan hal tersebut, jika mengacu pada target MDGs 2015 yang terdiri dari; 1), memberantas kemiskinan dan kelaparan ekstrim, 2) mewujudkan pendidikan dasar untuk semua, 3) mendorong kesetaraan gender dan
4
pemberdayaan perempuan, 4) menurunkan angka kematian anak, 5) meningkatkan kesehatan ibu hamil, 6) memerangi HIV/AIDs, malaria, dan penyakit lainnya, 7) memastikan kelestarian lingkungan, 8) mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan. Dari delapan target tersebut, secara langsung program KB tidak termuat di dalamnya. Sementara telah diketahui bahwa program KB sudah terbukti mampu menekan pertumbuhan penduduk dan penurunan angka Total Fertility Rate (TFR) nasional. Seiring dengan perjalanan waktu dengan perubahan struktur pemerintahan ke otonomi daerah, segala kewenangan di limpahkan ke daerah.
Harapan
pemerintah pusat adalah dengan pelimpahan kewenangan tersebut pemerintah daerah dapat melanjutkan program yang ada dengan konsistensi pada penurunan TFR. Namun harapan itu tidak sesuai dengan kenyataan yang ada, pemerintah daerah justru terkosentrasi pada pertumbuhan ekonomi semata sementara pembangunan kependudukan seakan terlupakan. Kondisi ini bukan hanya terjadi di satu daerah namun hampir di setiap daerah. Hal ini dapat terlihat TFR Indonesia mengalami peningkatan dari 2,26 pada SUPAS 2005 menjadi 2,6 pada SDKI 2007 namun pada SP 2010 TFR Indonesia stagnan pada angka 2,6 (BPS, 2010). Sementara itu pertumbuhan penduduk 1,49% pada tahun 2010 pertahun. Jika memperhatikan penurunan yang di capai sebelumnya maka dapat dikatakan bahwa perlu ada evaluasi kebijakan yang terkait dengan penurunan TFR. Kondisi peningkatan Total Fertility Rate (TFR) juga terjadi di Propinsi Sulawesi tenggara. Dari hasil SP 2000 Total Fertility Rate (TFR) Provinsi Sulawesi Tenggara adalah 3,31 menjadi 3,24 pada SP 2010. Jumlah penduduk
5
Sulawesi tenggara pada SP 2010 adalah 2.232.586 jiwa dengan tingkat pertumbuhan 2,09% pertahun (BPS Sulawesi Tenggara, 2010). Jika di bandingkan dengan TFR nasional maupun tingkat pertumbuhan nasional Provinsi Sulawesi Tenggara masih jauh di atas kondisi TFR nasional. Tentunya hal ini tidak terlepas dari input dari tingkat fertilitas penduduk di wilayah Sulawesi Tenggara yang tersebar pada 13 kabupaten/kota. Kabupaten Wakatobi adalah salah satu kabupaten yang terletak di Propinsi Sulawesi Tenggara memiliki jumlah penduduk sebesar 87.793 jiwa pada SP 2000 menjadi 10.3422 pada SP 2010, dengan laju pertumbuhan 1,92% pertahun pada SP 2010. Sementara TFR kabupaten Wakatobi pada SP 2010 adalah 3,1 dan ratarata ALH kabupaten Wakatobi 3,098 (BPS Kab. Wakatobi 2010). Data ini jika di banding dengan TFR nasional pun masih jauh melampaui. Kondisi ini tidak terlepas dari produk faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat fertilitas penduduk setempat dengan latar belakang suku, budaya, agama, termasuk faktor demografi yang lain. Tabel 1.1 Profil Demografi Kabupaten Wakatobi, Propinsi Sulawesi Indonesia Tahun 2000-2010 No.
Profil Demografi
Wktb
Tahun 2000 Sultra
Tenggara dan
Ind.
Wktb
Tahun 2010 Sultra
Ind.
1.
Jml. Penduduk
87.793
1.776.292
206.264.595
103.422
2.232.586
237.641.326
2.
Pert. Penduduk
*
3,15%
1,49%
1,92%
2,09%
1,49%
3.
Komposisi Umur : 0-14
*
15-64 65+ 4. 5.
TFR Rata-rata ALH
669.335
61.250.199
30.230
782.541
68.603.263
*
1.056.078
112.220.068
64.513
1.365.772
157.053.112
*
50.879
9.130.795
8.679
84.273
11.984.951
* *
3,31 3,305
Sumber : diolah dari BPS * Wakatobi belum pemekaran jadi kabupaten
2,34 2,341
3,10 3,098
3,24 3,244
2,605 2,61
6
Salah satu suku bangsa yang terdapat di Kabupaten Wakatobi adalah suku Bajo dimana suku bangsa ini mendiami wilayah pesisir Kecamatan Wangi-Wangi Selatan. Suku Bajo biasa juga disebut suku Sama‟ atau Bajau yaitu pelaut tangguh. Laut adalah hidupnya. Pada umumnya mereka memilih hidup atau bermukim di lautan baik secara nomaden maupun menetap dengan membangun rumah-rumah tiang di atas lautan yang terpisah dari daratan. Menurut Mahmud (1980) suku Bajo diidentikkan dengan suku pelaut yang memiliki banyak anak. Sebahagian besar suku Bajo mempertahankan hidupnya dengan menjadi nelayan. Sehingga untuk mendapatkan kebutuhan pangan dari hasil pertanian, keluarga Bajo menukarkan hasil tangkapan ikannya dengan masyarakat daratan di pasar-pasar. Namun sejalan dengan perkembangan sistem barter sudah jarang dilakukan, mereka memilih menjual hasil tangkapannya dalam bentuk uang. Sebagai masyarakat nelayan, suku Bajo menganggap anak laki-laki adalah tulang punggung keluarga dimana sejak kecil sudah digunakan tenaganya. Anak laki-laki ikut melaut dan mencari ikan bergelut dengan kerasnya ombak, sedangkan anak perempuan membantu ibunya di rumah. Suku Bajo di perkampungan Mola adalah suku Bajo yang berbeda dengan suku Bajo pada umumnya. Ada beberapa hal yang membedakan suku Bajo di perkampungan Mola dengan suku Bajo yang lain; pertama, dengan adanya perubahan sistem pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi (otonomi), Wakatobi mengalami pemekaran menjadi kabupaten pada tahun 2002 yang menjadikan permukiman suku Bajo di perkampungan Mola ke dalam wilayah administratif ibu kota kabupaten Wakatobi. Tentunya hal ini sedikit memudahkan
7
mereka menjangkau fasilitas publik seperti, fasilitas pendidikan, kesehatan, perekonomian dan lain sebagainya yang diharapkan dapat meningkatkan status sosial, ekonomi, tingkat kesehatan, dan lain sebagainya. Kedua, Suku Bajo di perkampungan Mola merupakan suku Bajo yang sebagian besar sudah mendarat dan membaur dengan masyarakat yang ada di darat. Dengan demikian dari dua hal tersebut dapat diasumsikan bahwa dengan perubahan ke arah moderenisasi yaitu dengan peningkatan status sosial, ekonomi, dan keterbukaan dengan masyarakat di darat seyogyanya dapat merubah pola pikir mereka diantaranya adalah perencanaan keluarga dan fertilitas. Namun hal itu bertentangan dengan apa yang di kemukakan oleh Abdul Manan, sang presiden suku Bajo Indonesia yang menuturkan bahwa betapa sulitnya suku Bajo menghadapi kehidupan sosial dimana pendidikan belum dipandang sebagai prioritas hidup mereka. Juga menurut laporan COREMAP Kabupaten Wakatobi kondisi sanitasi masyarakat Bajo masih kurang baik. Sampah rumah tangga di buang ke laut. Akan tetapi pada saat air laut pasang sampah-sampah kembali hanyut ke lokasi pemukiman mereka, sehingga terkesan kotor. Sedangkan angka kematian bayi cukup tinggi yaitu rata-rata 12 kematian pertahun. COREMAP juga melaporkan bahwa angka kelahiran bayi masih tinggi yaitu rata-rata 10 kelahiran setiap bulan. Hal itu diduga banyak pasangan usia subur yang tidak ber-KB serta faktor-faktor lain yang belum diketahui (COREMAP Wakatobi, 2009). Berdasarkan hasil pengamatan, setiap keluarga suku Bajo di perkampungan Mola memiliki anak yang masih hidup rata-rata lebih dari 2 orang. Sementara dari
8
hasil observasi awal yang dilakukan peneliti yaitu dengan wawancara dengan beberapa tokoh suku Bajo, peneliti memperoleh data bahwa pada umumnya suku Bajo Mola menginginkan anak lebih dari 2 orang. Adapun alasan klasik yang mendasari mereka adalah sebagai berikut: (1) adanya pandangan dari mereka bahwa anak merupakan aset masa depan bagi orang tua terutama anak laki-laki, (2) adanya kekhawatiran akan adanya serangan wabah penyakit yang menimpa anak, sehingga jika satu atau dua yang meninggal masih ada anak yang lain (3) banyak anak banyak rezeki. Menurut Becker (1995) jika dilihat dari aspek permintaan bahwa harga anak lebih besar pengaruhnya dibandingkan dengan income. Disamping itu nilai anak dipandang aspek produksi. Berdasarkan aspek produksi, utilitas anak berbeda dengan aspek konsumsi. Karena utilitas anak lebih dilihat dari aspek kuantitas dan bukan kualitas. Artinya semakin memandang bahwa anak adalah merupakan modal maka permintaan akan anak akan meningkat. Dengan demikian jika permintaan akan anak tinggi diduga tingkat fertilitas dalam hal ini Total Fertility Rate (TFR) ikut meningkat. Tabel 1.2 Anak Lahir Hidup Perkecamatan di Kabupaten Wakatobi Tahun 2010 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Kecamatan Wangi-wangi Wangi-wangi Selatan Kaledupa Kaledupa Selatan Tomia Tomia Timur Binongko Togo Binongko Jumlah
Anak Lahir Hidup 503 482 151 112 156 162 171 115 1.852
Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Wakatobi, 2010
Jumlah penduduk usia 0-5 2.623 3.277 592 506 773 942 768 481 9. 962
9
Data kuantitatif menunjukkan di kecamatan Wangi-Wangi Selatan jumlah anak Lahir Hidup (ALH) mencapai 482 dengan jumlah penduduk 24.534 jiwa. Sementara jumlah anak pada kelompok umur 0-5 menunjukkan 3.277 jiwa. Angka ini merupkan angka yang tertinggi jika di bandingkan dengan wilayah kecamatan lain. Data ini menunjukkan bahwa di kecamatan Wangi-Wangi Selatan (daerah penelitian) di duga memiliki tingkat fertilitas yang tinggi. Data lain yang menjadi acuan adalah adanya tren peningkatan Pasangan Usia Subur (PUS). Pasangan Usia Subur (PUS) di Kecamatan Wangi-Wangi Selatan Kabupaten Wakatobi pada tahun 2007 menunjukkan 3.100, meningkat menjadi 4.241 pada tahun 2008, selanjutnya meningkat lagi menjadi 5.015 pada tahun 2010. Fenomena ini merupakan peningkatan yang paling tinggi jika di bandingkan dengan kecamatan lain yang ada di Kabupaten Wakatobi. Tabel 1.3 Data Pasangan Usia Subur (PUS) Kabupaten Wakatobi Perkecamatan No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Nama Kecamatan Wangi-Wangi Wangi-Wangi Selatan Kaledupa Kaledupa Selatan Tomia Tomia Timur Binongko Togo Binongko Jumlah
Thn 2007 3.707 3.100 1.436 287 1.740 665 1.835 12.770
Jumlah PUS Thn 2008 4.259 4.241 1.498 1.511 1.463 1.802 1.680 1.207 17.661
Thn 2010 4.997 5.015 1.938 2.077 1.298 1.781 1.346 912 19.364
Sumber : BKKBN Kabupaten Wakatobi Fertilitas
merupakan
produk
dari
berbagai
faktor-faktor
yang
mempengaruhinya. Davis dan Blake dalam Mantra (2000) mengemukakan bahwa faktor sosial mempengaruhi fertilitas melalui variabel antara. Menurut Davis dan Blake faktor-faktor itu tidak berpengaruh secara langsung namun melalui 11 variabel antara. Sedangkan
menurut Mantra (2000), faktor-faktor yang
10
mempengaruhi tinggi rendah fertilitas adalah faktor-faktor demografi dan faktor non demografi. Faktor demografi diantaranya, struktur umur, status perkawinan, paritas, dan proporsi yang kawin sedangkan faktor non demografi antara lain keadaan ekonomi, tingkat pendidikan, perbaikan status wanita, urbanisasi dan industrialisasi. Menagacu pada beberapa konsep di atas jika dihubungkan dengan data yang mendeskripsikan lokasi penelitian, maka penulis tertarik untuk meneliti faktorfaktor apa yang menentukan perencanaan keluarga suku Bajo dalam kaitannya dengan fertilitas dimana suku Bajo sudah mulai mendarat dan menjadi masyarakat perkotaan. Adapun judul dari penelitian ini adalah “Perencanaan Keluarga dan Fertilitas Suku Bajo di Era Perubahan”. Penelitian ini difokuskan pada masyarakat suku Bajo di perkampungan Mola, Kecamatan Wangi-Wangi Selatan Kabupaten Wakatobi. Mengingat faktor-faktor yang mempengaruhi fertilitas relatif banyak, maka pada penelitian ini dibatasi hanya pada ekonomi (status pekerjaan, penghasilan), status sosial (pendidikan) perencanaan keluarga (jumlah anak idel, preferensi anak), penggunaan KB, demografi (umur, umur kawin pertama) sosial budaya (upacara adat, nilai anak, mata pencaharian, religi dan kepercayaan-kepercayaan, pola perkawinan, sistem pengetahuan, dan sistem kekerabatan).
1.2. Rumusan Masalah Adanya peningkatan Total Fertility Rate (TFR) nasional sudah barang tentu merupakan fenomena kependudukan yang menarik untuk di kaji. Pada SP 2000 TFR nasional menunjukkan 2,34 menurun pada SUPAS 2005 menjadi 2,26
11
kemudian meningkat pada SDKI 2007 menjadi 2,6 dan stagnan pada SP 2010 pada angka 2,6. Yang menarik di sini adalah pada tahun 1997 kondisi perekonomian nasional yang tidak stabil (krisis) angka TFR nasional justru mengalami penurunan yaitu 2,8 pada SUPAS 1995 menjadi 2,34 pada SP 2000. Kondisi tersebut ternyata juga di alami oleh Propinsi Sulawesi Tenggara. Data SP 2000 TFR Sulawesi Tenggara adalah 3,31 turun menjadi 3,16 pada SUPAS 2005 namun meningkat menjadi 3,24 pada SP 2010. Sementara itu TFR kabupaten Wakatobi masih jauh melampaui TFR nasional yaitu 3,2. Hal ini menunjukkan perlu ada evaluasi terutama program-program yang terkait dengan penurunan tingkat fertilitas baik di tingkat nasional maupun tingkat daerah. Disamping itu dari data yang ada, terlihat bahwa ada ketimpangan antara angka TFR nasional dengan TFR daerah penelitian. Dari analisa sederhana peneliti ingin menyatakan bahwa keberhasilan program nasional yang menurunkan angka TFR nasional tidak diikuti oleh Provinsi Sulawesi Tenggara terutama Kabupaten Wakatobi yang mana penduduknya terdapat suku Bajo. Tingginya angka fertilitas bukan hanya disebabkan tingkat pendidikan yang rendah saja ataupun tingkat perekonomian yang rendah, hal yang sebaliknya bisa saja terjadi di daerah yang mempunyai tingkat perekonomian yang tinggi. Dengan adanya
pembangunan
dan
perkembangan
pembatasan
keluarga,
maka
kemungkinan terjadi fertilitas pada beragam kondisi sosial-ekonomi, budaya dan demografi maupun geografi. Dengan demikian rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “aspek-aspek apa sajakah yang menentukan fertilitas dikalangan suku
12
Bajo di Perkampunagn Mola”. Selanjutnya, dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimanakah pandangan pasangan suami-istri terhadap perencanaan keluarga (jumlah anak ideal yang diinginkan, preferensi anak) 2. Bagaimana keterkaitan antara kondisi sosial (pendidikan), ekonomi (status pekerjaan, penghasilan) demografi (umur, umur kawin pertama) dan sosial budaya (upacara adat, nilai anak, mata pencaharian, pola perkawinan, religi dan kepercayaan-kepercayaan, sistem pengetahuan, sistem kekerabatan) dengan perencanaan keluarga (jumlah anak ideal, preferensi anak) suku Bajo? 3. Bagaimana kondisi-kondisi di atas (pertanyaan 1 dan 2) terwujud dalam penggunaan alat kontrasepsi KB dan fertilitas (anak lahir hidup) suku Bajo?
1.3. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui pandangan suami-istri terhadap perencanaan keluarga (jumlah anak ideal yang diinginkan, preferensi anak) 2. Untuk mengidentifikasi kondisi sosial (pendidikan), ekonomi (status pekerjaan, penghasilan), demografi (umur, umur kawin pertama) dan sosial budaya (upacara adat, nilai anak, mata pencaharian, pola perkawinan, religi dan kepercayaan-kepercayaan, sistem pengetahuan, sistem kekerabatan) dan kaitannya dengan perencanaan keluarga. 3. Untuk menganalisis penggunaan kontrasepsi KB dan fertilitas (anak lahir hidup) suku Bajo.
13
1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada semua pihak, baik pada tataran akademisi maupun tataran praktisi. Adapun manfaat yang dimaksud adalah: 1. Memberikan informasi pengetahuan tentang perencanaan keluarga dan fertilitas yang berlaku pada suku Bajo di perkampungan Mola 2. Sebagai rekomendasi dalam rangka perumusan kebijakan pemerintah daerah setempat dalam upaya menurunkan tingkat fertilitas dan meningkatkan keberhasilan keluarga berencana. 3. Memberikan masukan bagi kegiatan penelitian sejenis di masa yang akan datang.
1.5 Keaslian Penelitian Keaslian penelitian dalam tesis ini disajikan dengan membandingkannya dengan hasil-hasil penelitian terdahulu yang menurut penilis memiliki kemiripan dengan penelitian yang dilakukan. Sepanjang pengetahuan penulis, penelitian tentang perencanaan keluarga dan fertilitas suku Bajo yang mengulas tentang faktor-faktor yang menentukan fertilitas suku Bajo disaat suku Bajo telah mendarat dan menjadi bagian dari masyarakat kota (di era perubahan) belum pernah dilakukan. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada tabel 1.4 berikut.
14
Tabel 1.4 Penelitian Terdahulu Terkait Dengan Penelitian Yang Akan Dilakukan No.
Judul, Nama Peneliti,Tahun
Tujuan Penelitian
Metode dan Teknik Analisis
Hasil Penelitian
1
Fertilitas dan Praktek KB Suku Batak Toba Di Perkotaan dan Pedesaan Sumatera Utara (Laurentina Pangarimbuan, 1991)
1) untuk mengetahui ALH suku Batak Toba yang tinggal di perkotaan dan pedesaan, 2) untuk mengetahui jumlah anak yang diinginkan, 3) untuk mengetahui tingkat pemakaian kontrasepsi, 4) untuk mengetahui pengaruh faktor demografi dan sosial ekonomi terhadap fertilitas
Pengumpulan data dilakukan dengan survey dan wawancara. Analisis yang dilakukan adalah analisis kualitatif regresi linear.
(1) rata-rata ALH di perkotaan lebih rendah (3,4 anak) sedangkan di pedesaan lebih tinggi yaitu (4,7 anak), (2) rata anak yang diinginkan pada umur (15-34 tahun) di pedesaan lebih tinggi yaitu 4,7 sedangkan perkotaan lebih rendah yaitu 3,7 anak. Sementara anak yang diinginkan pada umur (3549 tahun) lebih tinggi di daerah pedesaan yaitu 5,9 anak sedangkan di daerah perkotaan lebih rendah yaitu 4,9 anak, (3) tingkat pemakaian alat kontrasepsi lebih tinggi di daerah perkotaan sedangkan di pedesaan lebih rendah, (4) variasi umur kawin pertama merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap ALH. Variabel AMH merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap jumlah anak yang diinginkan. Usia kawin pertama, AMH, pendidikan dan status ekonomi istri tidak selalu mempengaruhi tingkat pemakaian alat kontrasepsi.
2
Pengaruh Faktor “Non Contraceptive” Terhadap Peningkatan Fertilitas (Studi Kasus di Propinsi Nusa Tenggara Barat), (Wahyu Hidayat Yusuf, 2011).
Untuk mengetahui dan menguji hubungan antara variabel-variabel penentu fertilitas di luar variabel pemakaian alat kontrasepsi
Menggunakan data sekunder yaitu data SDKI 2007. Analisis yang dilakukan adalah kuantitatif regresi linear.
1) tidak ditemukan efek mediasi pada variabel jumlah anak ideal dan preferensi anak. Hanya sebagian variabel sosio demografi dan ekonomi yang berpengaruh karena faktor intermediate ditentukan bukan hanya dari jumlah anak ideal dan preferensi anak, tetapi ada faktor lain seperti penggunaan kontrasepsi, proporsi wanita yang belum kawin, dan angka aborsi.
15
Lanjutan Tabel No.
Judul, Nama Peneliti,Tahun
Tujuan Penelitian
Metode dan Teknik Analisis
3
Perilaku Fertilitas Penduduk Pedesaan Dalam Menuju Norma Keluarga Kecil (Studi Kasus Di Kelurahan Margodadi, Kecamatan Seyegan Kabupaten Sleman), (Sujalai, 1985).
1) untuk mengetahui pengaruh tingkat sosial ekonomi terhadap fertilitas, 2) untuk mengetahui peran dan keuntungan dari anak terhadap jumlah anak yang diinginkan, 3) untuk mengetahui pengaruh dari pekerjaan istri terhadap jumlah anak yang diinginkan.
Menggunakan data primer dengan survey dan wawancara mendalam. Analisis dilakukan dengan kuantitatif crosstab dan korelasi.
4
Penelitian Penulis: Perencanaan Keluarga Dan Fertilitas Suku Bajo Di Era Perubahan (Studi Kasus: Suku Bajo di Perkampungan Mola Kec. Wangi-wangi Selatan, Kab. Wakatobi), (Subardjan, 2013).
1) Untu mengetahui pandangan suamiistri terhadap perencanaan keluarga, 2) untuk mengidentifikasi kondisi sosial, ekonomi, demografi dan sosial budaya dan kaitannya dengan perencanaan keluarga, 3) untuk menganalisis penggunaan alat kontrasepsi KB dan fertilitas.
Menggunakan metode gabungan (mix metode) yaitu survey dan wawancara mendalam dan parsipatory. Analisis yang digunakan adalah crosstab dan analisis kualitatif Miller dan Hubermen.
Hasil Penelitian
1) Tingkat sosial ekonomi berkorelasi negative dengan ALH. Dengan peningkatan sosial ekonomi keluarga cenderung memperkecil jumlah anak, 2) anak dalam keluarga bukan sebagai faktor produksi utama(tenaga kerja) atau anak tidak berperan ekonomi. Sehingga keluarga tidak menghendekai untuk memiliki jumlah anak yang banyak, 3) Pekerjaan istri berpengaruh terhadap fertilitas. Deskripsi daerah penelitian; pandangan suami istri terkait perencanaan keluarga di era perubahan (mendarat dan menjadi bagian dari orang kota); kondisi sosial, ekonomi, demografi serta budaya dalam kaitannya dengan perencanaan keluarga; pemakaian alat kontasepsi dan tingkat fertilitas.