BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Sesuai
dengan
kodratnya
manusia
mempunyai
naluri
untuk
mempertahankan genarasi atau keturunannya. Tentunya dalam hal ini cara yang paling tepat untuk mewujudkannya adalah dengan melangsungkan perkawinan. Nilai penting perkawinan bagi manusia adalah, pergaulan antara laki-laki dan perempuan terjadi secara terhormat sesuai kedudukan manusia sebagai makhluk sosial. Pergaulan rumah tangga dibina dalam suasana damai, tentram dan saling mengasihi antara suami dan isteri. Anak dari hasil perkawinan menghiasi kehidupan keluarga dan sekaligus merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa. Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (selanjutnya disingkat UU Perkawinan Tahun 1974), perkawinan didefinisikan sebagai “Ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dalam undangundang ini sudah jelas dijelaskan bahwa tujuan dari perkawinan tersebut adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, untuk itu suami isteri perlu saling membantu
melengkapi,
agar
masing-masing
dapat
mengembangkan
kepribadiannya, membantu dan mencapai kesejahtraan spiritual dan materill.
1
2
Suatu keluarga dikatakan bahagia apabila telah terpenuhinya dua kebutuhan pokok, yaitu kebutuhan jasmaniah dan kebutuhan rohaniah. Kebutuhan jasmaniah yang dimaksudkan disni seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan. Sedangkan yang termasuk kebutuhan rohaniah seperti seorang anak yang berasal dari darah daging mereka sendiri.1 Dengan
perkembangan
zaman,
cara
pandang
manusia
terhadap
perkawinan itu sendiri telah semakin kritis. Sebelum diundangkannya UndangUndang Perkawinan Tahun 1974, sangat sedikit para calon pasangan suami-isteri yang mengenal bahkan mengaplikasikan lembaga perjanjian perkawinan dalam ikatan perkawinan mereka. Namun dalam era kekinian, justru yang terjadi sebaliknya. Perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang dibuat oleh calon suamiisteri sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibatakibat perkawinan terhadap harta benda mereka. Dalam kaitan ini menurut R.Subekti, “perjanjian perkawinan adalah suatu perjanjian mengenai harta benda suami-isteri selama perkawinan mereka, yang menyimpang dari asas dan pola yang ditetapkan oleh Undang-Undang.”2 Perjanjian perkawinan sebenarnya berguna untuk acuan jika suatu saat terjadi konflik yang berakhir dengan perceraian, meski semua pasangan suami-istri tentu tidak mengharapkan terjadi
1
Titik Triwulan Tutik, 2008, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Ed. I, Cet. I, Prenada Media Group, Jakarta, h.109. 2
Djaja S. Meliala, 2012, Hukum Perdata Dalam Prespektif BW, Cet. I, Nuansa Aulia, Bandung, h. 67.
3
perceraian. Ketika pasangan harus bercerai, perjanjian itu juga bisa dijadikan rujukan sehingga masing-masing mengetahui hak dan kewajibannya. Pada umumnya perjanjian perkawinan dibuat bilamana: 1. Terdapat sejumlah kekayaan yang lebih besar pada salah satu pihak dari pihak yang lain; 2. Kedua belah pihak masing-masing membawa pemasukan (inberg) yang cukup besar; 3. Masing-masing mempunyai usaha sendiri, apabila salah satu jatuh pailit yang lain tidak tersangkut; 4. Atas hutang mereka yang dibuat sebelum kawin, masing-masing akan bertanggung jawab secara sendiri-sendiri. 3 Terkait dengan uraian diatas, adapun urgensi perjanjian perkawinan dalam kerangka hidup bermasyarakat saat ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya : 1. Proses individualistis. Proses individualistis adalah proses kemandirian untuk membedakan harta yang didapat oleh suami-isteri secara masing-masing. 2. Proses kapitalistik. Proses kapitalistik adalah proses untuk mempertahankan harta suami-isteri dari kepailitan atau untung rugi. 3. Proses aktualisasi. Proses aktualisasi adalah proses untuk mengemukakan keinginan dari pribadi masing-masing suami isteri terhadap kelangsungan mengenai harta yang dia peroleh.4
3
Sutanto, Tanpa Tahun, “Pengertian Perjanjian Kawin”, URL : http://www.academia.edu .com, diakses pada tanggal 23 Juni 2015.
4
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disingkat KUHPerdata), perjanjian perkawinan diatur pada BAB VII, Pasal 139 sampai dengan Pasal 154. Secara garis besar, perjanjian perkawinan berlaku mengikat para pihak atau mempelai apabila terjadi perkawinan. Dengan mengadakan perjanjian perkawinan kedua calon suami isteri berhak menyiapkan dan menyampaikan beberapa penyimpangan dari peraturan perundang-undang sekitar persatuan harta kekayaan, asal perjanjian itu tidak menyalahi tata susila yang baik dalam tata tertib umum dengan ketentuan antara lain : 1. Tidak boleh mengurangi hak suami sebagai kepala keluarga. 2. Tanpa persetujuan isteri, suami tidak boleh memindahtangankan barang-barang tak bergerak isteri. 3. Dibuat dengan akta notaris sebelum atau pada saat perkawinan berlangsung dan berlaku sejak saat perkawinan dilangsungkan. Secara spesifik, perjanjian perkawinan diatur dalam Pasal 29 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU Perkawinan Tahun 1974 yang menyatakan : (1)Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut. (2)Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas – batas hukum, agama, dan kesusilaan. (3)Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
4
Ibid.
5
(4)Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga. Apabila mencermati rumusan pasal-pasal tersebut diatas, maka dapat diketahui bahwa suatu perjanjian perkawinan dapat dikatakan telah sah bilamana tidak melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan serta telah disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan. Atas hal tersebut, maka menjadi persoalan kemudian terkait prasyarat pengesahan oleh pegawai pencatat perkawinan sebagaimana dimasud dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974. Bukankah suatu perjanjian apapun bentuknya dapat dikatakan telah sah bilamana telah memenuhi 4 (empat) unsur syarat sahnya suatu perjanjian, sebagaimana dimaksud dalam KUHPerdata? Kemudian, persoalan berikutnya adalah ketidakjelasan maksud rumusan Pasal 29 ayat (2) UU Perkawinan Tahun 1974 khususnya dalam frasa “batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan”. Dalam artian bahwa sejauh mana ruang lingkup atas batasan-batasan tersebut tidak diberikan penjelasan yang definitif baik dalam bagian penjelasan Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 ini maupun dalam peraturan perundang-undangan terkait. Berangkat dari persoalan diatas akan melahirkan persoalan baru dimana perjanjian perkawinan yang bagaimana yang dapat dikatakan tidak melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan, kemudian, apabila telah sesuai dengan batasan-batasan tersebut namun perjanjian perkawinan yang bersangkutan tidak disahkan oleh pegawai pencatat perkawinanan, bagaimanakah legalitasnya? Tidak jelasnya rumusan norma (vogue van normen) tersebut sangat menarik untuk
6
disusun sebuah skripsi dangan judul “Kekuatan Hukum Perjanjian Perkawinan yang Tidak Disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan”.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan-permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana kekuatan mengikat perjanjian perkawinan yang tidak disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan? 2. Bagaimanakah akibat hukum dari perjanjian perkawinan yang tidak disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan terhadap harta kekayaan suami-isteri?
1.3 Ruang Lingkup Masalah Dalam suatu penulisan ilmiah berdasarkan permasalahan tersebut diatas, maka perlu ditentukan secara tegas mengenai batasan-batasan materi yang akan dibahas sehingga memudahkan penyampaian isi pembahasan agar tidak menyimpang dari pokok permasalahan dan apa yang menjadi permasalahan tersebut dapat diuraikan secara tepat dan sistematis demi terjaminnya keutuhan dan ketegasan serta mencegah kekaburan permasalahan. Adapun ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas dalam usulan penelitian ini adalah sebagai berikut : Terhadap permasalahan pertama akan diuraikan mengenai kekuatan mengikat mengenai perjanjian perkawinan tanpa adanya pengesahan oleh pegawai
7
pencatat perkawinan yang meliputi : syarat sahnya perjanjian pada umumnya, syarat sahnya perjanjian perkawinan, keabsahan perjanjian pekawinan tanpa adanya pengesahan oleh pegawai pencatat perkawinan, dan keterikatan pihakpihak terkait terhadap perjanjian perkawinan yang tidak disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan. Terhadap permasalahan yang kedua akan diuraikan mengenai akibat hukum dari perjanjian perkawinan tanpa adanya pengesahan oleh pegawai pencatat perkawinan terhadap harta kekayaan suami-isteri yang meliputi : kedudukan hukum harta benda suami-isteri dalam perkawinan, dan ketiadaan pemisahan harta benda bersama dalam perkawinan.
1.4 Orisinalitas Penelitian Untuk menjamin orisinalitas penelitian dalam penulisan skripsi ini, maka akan disajikan beberapa karya tulis sebelumnya yang mengangkat tema serupa diantaranya: a. Skripsi yang berjudul “Perjanjian Kawin ditinjau dari Aspek dalam UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dan Hukum Islam”, oleh Suci Rahmadani, NIM : 061010075 Tahun 2011. Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Riau Pekanbaru dengan pokok permasalahan : 1. Bagaimanakah aspek perjanjian kawin dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dan Hukum Islam?
8
2. Apakah alasan para pihak melakukan perjanjian kawin? b. Skripsi yang berjudul “Pelaksanaan Perjanjian Perkawinanan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan di Kabupaten Klaten”, oleh Syahuddin Iskandar Muda, NIM : 20040610135, Tahun 2009. Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, dengan pokok permasalahan : 1. Bagaimana bentuk dan isi perjanjian perkawinan yang dibuat pasangan suamiisteri di Kabupaten Klaten? 2. Apa saja syarat-syarat perubahan dan pembatalan perjanjian perkawinan yang telah dibuat oleh pasangan suami-isteri? 3. Bagaimana cara pembatalan atau perubahan perjanjian perkawinan?
1.5 Tujuan Penelitian Penelitian ini mempunyai 2 (dua) tujuan, yakni tujuan umum dan tujuan khusus yang diantaranya adalah sebagai berikut : 1.5.1Tujuan umum. 1. Untuk mengetahui kekuatan mengikat perjanjian perkawinan yang tidak disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan. 2. Untuk mengetahui akibat hukum atas perjanjian perkawinan yang tidak di disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan terhadap harta kekayaan suami-isteri. 1.5.2 Tujuan khusus.
9
1. Untuk memahami kekuatan mengikat perjanjian perkawinan yang tidak disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan. 2. Untuk memahami akibat hukum atas perjanjian perkawinan yang tidak di disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan terhadap harta kekayaan suami-isteri.
1.6 Manfaat Penelitian 1.6.1 Manfaat teoritis. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran sebagai penambah wawasan ataupun refrensi melalui pemahaman terhadap konsep kekuatan hukum terhadap perjanjian perkawinan yang tidak disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan. 1.6.2 Manfaat praktis. Secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan pedoman untuk menyelesaikan permasalahan sejenis baik bagi pemerintah, masyarakat, mahasiswa atau siapapun yang bersinggungan dengan persoalan kekuatan hukum perjanjian perkawinan yang tidak disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan.
1.7 Landasan Teoritis Landasan teoritis dalam penelitian sangat penting dalam hal untuk menunjang keberhasilan penelitian, karena teori merupakan serangkaian asumsi,
10
konsep, definisi, dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep.5 Adapun landasan teorits yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.7.1 Asas kepastian hukum. Medio tahun 1970an bertempat di Amerika Serikat, lahir suatu aliran hukum kritis (Critical Legal Studies), dimana aliran ini merupakan kelanjutan dari aliran hukum realisme Amerika yang menginginkan suatu pendekatan yang berbeda dalam memahami hukum, tidak hanya seperti pemahaman selama ini yang bersifat Socratis. Beberapa nama yang menjadi penggerak aliran hukum kritis adalah Roberto M. Unger, Duncan Kennedy, Karl Klare, Peter Gabel, Mark Tushnet, Kelman, David Trubeck, dan yang lainnya. Dalam pandangan aliran ini, dirumuskan bahwa idealnya hukum itu; (1) harus dirumuskan dalam rumusan yang tegas dan jelas demi kepastian hukum melalui proses politik yang disebut demokrasi; (2) memiliki sifat formalisasi (mengahasilkan hukum positif) dalam bentuk peraturan-peraturan resmi yang ukurannya dipandang paling kuat; (3) harus dipandang bahwa peraturan hukum itu pada hakikatnya bertingkat (hierarki); dan (4) haruslah dicermati oleh para ahli dan profesional hukum agar benar dalam kedudukannya dan benar dalam keberlakuannya. Pada dasarnya kepastian hukum secara normatif lahir ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan
5
Burhan Ashshofa, 1996, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, h.19.
11
logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tasfir) dan logis dalam artian ia menjadi suatu sistem norma dimana antara satu norma dengan norma yang lain terjadi suatu sinkronisasi. Kepastian hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap, konsisten dan konsekuen yang pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subyektif.6
Dikaitkan
dengan
permasalahan
dalam
skripsi
ini,
adanya
ketidakjelasan norma dalam rumusan Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UU Perkawinan Tahun 1974 dapat mengesampingkan bahkan meniadakan aspek kepastian hukum, sehingga dalam pelaksanaannya tidak konsisten dan konsekuen dengan aturan yang ada. 1.7.2 Asas lex specialist derogat legi generali. Dalam khazanah ilmu hukum secara umum dikenal adanya asas lex specialis derogat legi generalli yang artinya peraturan
yang bersifat umum
dikesampingkan oleh peraturan yang bersifat khusus jika pembuatnya sama. Maksud dari asas ini adalah bahwa terhadap peristiwa khusus wajib diperlakukan undang-undang yang menyebut peristiwa itu, walaupun untuk peristiwa khusus tersebut dapat pula diberlakukan peraturan perundang-undangan yang menyebut peristiwa yang lebih luas atau lebih umum yang dapat juga mencakup peristiwa khusus tersebut.7 Dengan kata lain, aturan yang khusus itulah sebagai hukum yang valid, dan mempunyai kekuatan mengikat untuk diterapkan terhadap peristiwa-
6
Yance, 2013, “Apa itu Kepastian Hukum”, URL : http//yancearizona.com, diakses pada tanggal 29 Juni 2015. 7
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, 1979, Perundang-Undangan dan Yurisprudensi, Alumni, Bandung, h. 16-17
12
peristiwa konkrit. Disini, asas lex specialist derogat legi generali ini dapat diterapkan sebagai ketentuan-ketentuan hukum normatif yang mempunyai daya ikat dan daya paksa terhadap suatu permasalahan hukum yang sifatnya mengkhusus. Terkait dengan uraian diatas, perlu juga diketahui bahwa asas ini tidaklah dapat diterapkan secara begitu saja terhadap suatu permasalahan hukum, melainkan dalam pemberlakuannya itu harus pula diperhatikan rambu-rambu yang diejawantahkan dalam prinsip-prisnip yang menjiwainya. Adapun prinsip-prinsip tersebut antara lain : (1) sepanjang belum ditentukan secara spesifik dalam aturan hukum khusus, maka aturan hukum yang bersifat umum tetap dapat diberlakukan terhadap suatu permasalahan hukum konkrit; (2) hirarki antara hukum khusus dan aturan hukum umum haruslah sederajat dalam arti bahwa kedudukannya setara dimata hukum, contoh : KUHPerdata dan UU Perkawinan Tahun 1974 yang sama-sama berjenis sebagai undang-undang dengan hirarki 1 (satu) tingkat dibawah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan (3) materi muatan yang dikandung dalam aturan hukum khusus maupun aturan hukum umum haruslah berada dalam lingkup pengaturan yang sama, misalnya : KUHPerdata dan UU Perkawinan Tahun 1974 sama-sama mengatur tentang perihal perkawinan berikut segala aspek terkait.8
8
Sunaryati Hartono, Tanpa Tahun, “Prinsip-Prinsip yang Membingkai Asas Lex Specialist Derogat Legi Generali”, URL : www.hukumpedia.com, diakses pada tanggal 14 Maret 2016.
13
1.7.3 Asas Konsensualisme. Dalam hukum perjanjian, berlaku suatu asas yang dinamakan asas konsesnsualisme. Perkataan ini berasal dari bahasa latin ialah consensus yang artinya sepakat. Maksudnya, asas konsensualisme ialah bahwa suatu perjanjian atau perikatan telah lahir seketika pada saat tercapaiya kata sepakat antara para pihak, atau dengan kata lain suatu perikatan telah lahir pada saat terjadinya kata sepakat dan perjanjian itu sudah sah, tanpa memerlukan suatu formalitas.9 Adapun asas konsensualisme ini dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata dimana dalam ketentuan normatif tersebut ditentukan syarat keabsahan suatu perjanjian yang paling fundamental ialah adanya kata sepakat. 1.7.4 Asas kebebasan berkontrak. Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang menduduki posisi sentral didalam hukum perjanjian, meskipun asas ini tidak dituangkan menjadi aturan hukum namun mempunyai pengaruh yang sanagat kuat dalam hubungan kontraktual para pihak. Asas ini tercermin dalam substansi Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Dalam rumusan pasal ini, frasa “semua” yang ada dimuka frasa “perjanjian” mengarah kepada eksistensi asas tersebut yang menekankan para pihak boleh membuat perjanjian apa saja asalkan tidak bertabrakan dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Frasa
9
Hardy, Tanpa Tahun, “Hukum Umum”, URL : www.hardyhukumumum.com, diakses pada tanggal 29 Juni 2015.
14
“semua” tersebut memberikan kebebasan sepenuhnya kepada para pihak untuk melakukan atau tidak melakukan perjanjian, bebas dengan siapa ia mengadakan perjanjian, bebas tentang apa yang diperjanjikan dan bebas untuk menetapkan syarat-syarat perjanjian termasuk bebas pula untuk menuangkannya dalam bentuk perjanjian standar.10 1.8 Metode Penelitian Menurut Kartini Kartono, metode penelitian adalah cara-cara berpikir dan berbuat, yang dipersiapkan dengan baik untuk mengadakan penelitian dan guna mencapai tujuan.11 Dapat dipahami bahwa penelitian pada dasarnya ialah suatu kegiatan yang telah direncanakan menggunakan suatu metode ilmiah dan bertujuan untuk mendapatkan data baru guna mendapat kebenaran ataupun ketidakbenaran dari suatu gejala yang ada.12 1.8.1 Jenis penelitian. Berdasarkan pada judul dan rumusan masalah dalam penelitian ini, menunjukan bahwa penelitian ini menggunakan penelitian yuridis-normatif yaitu penelitian yang menguraikan terhadap permasalahan-permasalahan yang ada, untuk selanjutnya dibahas dengan kajian teori-teori hukum kemudian dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam praktek hukum.
10
Agus Yuda Hernoko, 2011, Hukum Perjanjian (Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h.110. 11
Kartini Kartono, 1995, Metode Pembuatan Kertas Karya atau Skripsi Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, h.58. 12
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Edisi I Cetakan V, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.13.
15
1.8.2 Jenis pendekatan. Dalam penelitian hukum normatif ada beberapa metode pendekatan yang dapat digunakan yakni, pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep (conceptual approach), pendekatan analitis (analytical approach), pendekatan perbandingan (comparative approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan filsafat (philosophical approach), dan pendekatan kasus (case approach).13 Dalam penelitian ini digunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konsep (conceptual approach), yang artinya disini dilakukan dengan menelaah peraturan perundangundangan yang khususnya mengatur terhadap perjanjian perkawinan di Indonesia. 1.8.3 Sumber bahan hukum. Dalam penulisan skripsi ini sumber bahan hukum yang digunakan, yaitu: a. Bahan hukum primer Bahan hukum yang mengikat dalam penelitian ini adalah ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat seperti KUHPerdata, UU Perkawinan Tahun 1974, dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. b. Bahan hukum sekunder Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang bersifat membantu atau menunjang bahan hukum primer dimana pada akhirnya memperkuat penjelasan
13
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Interpratama Offiset, Jakarta, h. 93-137.
16
dan penelitian ini, yang diantaranya meliputi : literatur-literatur, karya tulis dalam bidang hukum dan bahan hukum tertulis lainnya yang terkait. c. Sumber bahan hukum tersier Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang dapat membantu dan menunjang bahan huku primer dan sekunder, diantaranya terdiri dari kamus hukum dan tulisan-tulisan yang diakses melalui internet yang tentunya masih relevan dan berkaitan dengan permasalahan yang diteliti dalam penulisan ini. 1.8.4 Data penunjang. Dalam penelitian ini, pendapat para sarjana yang berkompeten di bidangnya selaku informan diperlukan untuk membedah beberapa permasalahan yang terkait dimana dalam bahan hukum primer, sekunder, dan tersier tidak ditemukan
pemecahannya.
Disini,
informan-informan
yang
memberikan
sumbangsih pemikirannya melalui argumen-argumen hukum terkait permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah sebagai berikut : 1. Ni Luh Lely Sriadi (Kepala Seksi Pengawasan dan Penyuluhan Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Denpasar); 2. I Gede Raka Sukarta (Notaris di Kabupaten Badung); 3. Menurut Muhamad Choirun (Kepala Seksi Kepenghuluan dan Pemberdayaan
Kantor Urusan Agama Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Bali); 4. Januar Simatupang (Pembimbing Masyarakat Kristen (Protestan) Kantor
Wilayah Kementerian Agama Provinsi Bali); 5. Yulius Galle (Pembimbing Masyarakat Katolik Kantor Wilayah Kementerian
Agama Provinsi Bali);
17
6. I Wayan Santa Adnyana (Kepala Seksi Informasi Bidang Urusan Agama Hindu
Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Bali); 7. Bodhi Giri Ratana (Pembimbing Masyarakat Budha Kantor Wilayah
Kementerian Agama Provinsi Bali); dan 8. Saefudin (Kepala Sub Bagian Hukum dan Kerukunan Umat Beragama Kong
Hu Cu Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Bali). 1.8.5 Teknik pengumpulan bahan hukum. Teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan sistem bola salju (snow ball system) dimana hal ini diawali dengan pencarian literatur, dari satu literatur dengan merujuk pada daftar pustaka untuk kemudian dicatat dan dilakukan pencarian literatur lainnya sesuai dengan permasalahan yang di teliti. Demikian untuk seterusnya sehingga bahan hukum telah dirasa cukup untuk membahas permasalahan. 1.8.6 Teknik analisis bahan hukum. Dalam penelitian ini, teknik analisis bahan hukum yang dipergunakan adalah teknik deskripsi. Analisis dilakukan dengan memaparkan isi hukum dengan menguraikannya secara lengkap dan jelas untuk selanjutnya dilakukan pengklasifikasikan terhadap bahan-bahan hukum tertulis melalui proses analisis dan dikaitkan dengan teori, konsep serta doktrin para sarjana.14
14
I Wayan Ananda Yadnya Putra, 2013, “Kewenangan Notaris dalam Membuat Akta Risalah Lelang”, Tesis, Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar, h.16.
18
Selanjutnya, dilakukan penafsiran sistematis dan gramatikal. Penafsiran sistematis dilakukan dengan titik tolak dari aturan suatu konsep/aturan hukum dan mengaitkannya dengan konsep/aturan hukum lainnya. Sedangkan penafsiran secara gramatikal dilakukan dengan mencari arti/esensi dari suatu substansi aturan secara keseluruhan atau bagian-bagiannya per kalimat menurut bahasa hukum ataupun bahasa keseharian.