BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Perkawinan Campuran merupakan perkawinan yang melibatkan pasangan yang saling berbeda kewarganegaran, baik dari individu yang melangsungkan perkawinan maupun dari keluarga masing-masing individu. Perkawinan ini umum terjadi di beberapa negara maju maupun berkembang diakibatkan arus pekerja maupun wisatawan asing yang mendiami suatu wilayah negara. Di Indonesia sendiri acapkali ditemui pasangan-pasangan tersebut dan tersebar di beberapa kota. Collet (dikutip oleh Bisqolm 2014) menjelaskan alasan ekspatriat menikahi warga lokal di suatu negara yaitu terasing, merasa berbeda bahkan terdiskriminasi dengan lingkungan tersebut sehingga butuh bantuan orang lain terutama keluarga, dengan menikahi warga lokal seorang ekspatriat merasa dibantu baik langsung atau tidak langsung untuk dapat beradaptasi dengan lingkungannya. Sejarah mengenai keberlangsungan perkawinan tersebut pada awalnya telah ada bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka, dalam bukunya Ricklefs (1981) pernah menyebut dalam usaha menyebarkan Islam di Nusantara pada waktu itu, para pedagang Arab berusaha mengajarkan agama islam di daerah-daerah pesisir Sumatra maupun Jawa dengan memilih bermukim di daerah tertentu, melakukan perkawinan campuran dengan penduduk lokal, dan mengikuti gaya hidup masyarakat tersebut. Pada saat itu para pendatang berusaha menyesuaikan dirinya dengan penduduk agar dapat mencapai tujuan mereka yaitu menyebarkan agama Islam. Cara tersebut dilakukan dalam penyebaran agama Katolik oleh Portugis
sebagai bagian dari gold glory gospel dan berlokasi di Maluku yang juga lokasi dari awal kedatangan Portugis di wilayah Nusantara. (Zainuddin 2014) Pada era kolonial Hindia Belanda memerintah, tepatnya tahun 1926 dikeluarkan
Indische
Staatsregeling
(undang-undang)
pasal
131
yang
menggolongkan para penduduk menjadi tiga yaitu golongan teratas diisi bangsa Eropa dan Indo-Eropa, golongan kedua diisi oleh bangsa Timur Jauh (Cina), dan golongan yang terakhir diisi oleh bangsa pribumi (Wardhono 2010) . Pada awalnya kebijakan tersebut berlaku pada sektor perdagangan namun dalam perkembangan menjadi penggolongan secara keseluruhan, akibat adanya penggolongan tersebut, saat itu muncul istilah gundik yaitu wanita pribumi yang dijadikan simpanan oleh para tuan tanah kompeni. Memasuki era pasca kolonial, terdapat beberapa tokoh nasional yang melakukan perkawinan campuran maupun anak dari pasangan dari pasangan perkawinan campuran seperti pernikahan keenam presiden pertama Ir. Soekarno dengan perempuan Jepang bernama Naoko Nemoto yang di ‘indonesiakan’ menjadi Ratna Sari Dewi (Andrie 2012), kapten Pierre Tendean yang menjadi korban dari G30S merupakan anak dari pasangan ayah Minahasa dan Ibu seorang Prancis (dikutip dari Garuda Militer 2012), dan juga menteri Kelautan dan Perikanan saat ini, Susi Pudjiastuti yang dulunya bersuamikan ekspat asal Jerman. Dari ranah hiburan, sudah banyak contoh pesohor yang menikah dengan ekspat; seperti penyanyi Anggun C. Sasmi bersuamikan ekspat Prancis, model Indah Kalalo bersuamikan ekspat Australia; maupun anak dari pasangan campuran seperti Yuki Kato (Indo-Jepang), Cinta Laura (Indo-Jerman) dan masih banyak lagi, Bahkan ranah sepakbola pun ada seperti Irfan Bahdim (Indo-Belanda) dan Radja Nainggolan (Indo-Belgia).
Banyak faktor pendorong yang memicu adanya perkawinan campuran, seperti pariwisata yang terbuka bagi ekspatriat maupun dari pekerjaan yang menuntut orang lokal agar bertemu ekspatriat dengan beragam intensitas pertemuan, dua faktor tersebut sering ditemui terutama di wilayah-wilayah yang sering didatangi wisatawan mancanegara, seperti Bali, Lombok, Jakarta, maupun Yogyakarta. Dari faktor pariwisata juga mendorong keberagaman ekspatriat yang datang ke daerah tersebut sehingga muncul variasi komposisi pasangan pada Perkawinan Campuran yang tidak harus dari ras kulit putih, namun terbuka untuk lainnya seperti dari ras Kuning, Arab, India, maupun Melayu selama itu masih berbeda kewarganegaraan. Gambar 1.1. Grafik Perkawinan Campuran di Kota Yogya tahun 2013-2015 12
10
8
6
4
2
0 2013
2014
2015
Sumber: Disdukcapil Kota Jogja
Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Penduduk dan Catatan Sipil (Dikdukcapil) Kota Jogja, pada tahun 2013 sampai 2015 Dikdukcapil telah mencatat sebanyak 21 pemohon untuk melaksanakan perkawinan campuran,
dengan rincian tahun 2013 sebanyak 5 pemohon; 2014 dengan 10 pemohon; dan 2015 dengan 6 pemohon yang tersebar di seluruh kecamatan di Kota Yogyakarta. Jika melihat ilustrasi di atas, maka asumsi bahwa pelaku Perkawinan Campuran berada di wilayah pariwisata benar adanya. Penelitian ini akan membahas mengenai proses adaptasi dari pasangan perkawinan campuran, terutama dari pasangan berkewarganegaraan asing dalam menyesuaikan kulturbudaya masyarakat Yogyakarta.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah: Bagaimana proses adaptasi dan penyesuaian berlangsung dalam pasangan perkawinan campuran ?
C. Tujuan Penelitian -
Mengetahui instrumen-instrumen apa saja yang dilakukan oleh pasangan perkawinan campuran tersebut dalam proses adaptasi.
-
Melihat bagaimana strategi pasangan tersebut bila menemui hambatan akibat perbedaan serta penyesuaian yang dilakukan untuk kedepannya.
D. Manfaat Penelitian Bagi peneliti sendiri, dengan adanya penelitian ini untuk mengetahui lebih lanjut
mengenai
fenomena
pasangan
perkawinan
campuran
beserta
permasalahannya Bagi akademisi, penelitian ini dapat dijadikan sebagai refrensi tambahan khususnya yang mempelajari dengan perkawinan campuran maupun cultural theory.
Bagi pembaca umum, memberikan penjelasan bahwa meskipun terdapat perbedaan dengan sekitar, setidaknya mereka berusaha menghilangkan perbedaan yang dimiliki.
E.
Penelitian dan Artikel Terkait E.1. Perkawinan Dalam penelitian ini, terdapat hubungan dengan tema perkawinan pada umumnya, Gunisya Kartika Sari (2016) dalam tulisannya menjelaskan mengenai makna perkawinan bagi para istri yang bekerja sebagai peddagang seks komersial atau PSK di desa Slaron, Cilacap, Jawa tengah. Menurutnya mereka memaknai perkawinan sebagai penerimaan dan kerelaan dari sikap para suami terhadap mereka, meskipun menpunyai profesi sebagai PSK. Dalam penelitiannya, Rusmayanti (2013) menjelaskan mengenai praktik pernikahan dini di desa Karangtengah, Wonosari, Gunungkidul. Menurutnya pernikahan dini tidak selamanya merugikan dan memungkinan untuk mencari kehidupan layak. Dalam penelitian ini, Pernikahan usia dini dianalogikan seperti pisau bermata dua, bila pernikahan atau perkawinan ini sesuai dengan harapan awal akan
menguntungkan,
namun
kemungkinan
faktor
merugikan
seperti
ketidaksiapan mental pasca-menikah, baik biologis,ekonomi, maupun sosial bisa merugikan pasangan tersebut jika tidak bisa diatasi. E.2. Perkawinan Campuran Belum ada tokoh yang membicarakan mengenai definisi Perkawinan Campuran secara detail namun dalam penjelasan beberapa tokoh postkolonial seperti Homi K. Bhabha dan Paul Gilroy menyebutkan adanya kemungkinan adanya persilangan antar-budaya yang berasal dari luar kebudayaan negara
tersebut, ketiga tokoh tersebut menjelaskan adanya kesamaan dalam berbagai masyarakat seperti Bhabha yang menjelaskan fenomena mengenai kalangan elit India yang mempunyai norma serta nilai ala Inggris semasa kolonial Inggris berkuasa (Bagchi 1996, p. 1) , dalam esainya yang berjudul Black Atlantic (Kraidy 2002, p. 3) Paul Gilroy meyebutkan alasan mengapa beberapa kawasan koloni Eropa (Afrika, Karibia, dan Amerika) terbuka untuk berbagai ras dan kebudayaan asing, hal ini disebabkan oleh perdagangan budak yang pernah dijalankan di negara-negara tersebut. Larantika menjelaskan bahwa terdapat perbedaan mengenai pola asuh anak yang dilakukan orangtua berbeda kewarganegaraan baik itu Indo-Eropa, Indo-Asia, maupun orangtua yang keduanya sama-sama WNI (Larantika 1998). Dalam artikel yang ditulis Takeda, Takeda (2014) melihat bahwa kenaikan wanita Jepang dalam menikah dengan orang asing, khususnya pria asal Korea selatan diakibatkan oleh media pop, terutama semenjak seringnya penayangan drama Korea di negara tersebut. Dalam artikel yang ditulis Pue dan Sulaiman (2013), mereka menjelaskan mengenai tantangan yang dihadapi pasangan peranakan (campuran) dalam kehidupan sosial masyarakat di Malaysia.
F. Kerangka Berfikir F.1. Definisi Perkawinan Sebelum membahas perkawinan campuran, ada baiknya menjelaskan terlebih dahulu mengenai perkawinan. Pada umumnya perkawinan merupakan proses menyatukan dua individu yang saling berbeda menjadi sepasang suami istri dengan tujuan membina rumah tangga dan juga mempererat persaudaraan antar
keluarga. Duvall dan Miller (1985) mendefinisikan perkawinan sebagai hubungan seksual antara pria dan wanita yang diakui masyarakat yang melibatkan hubungan seksual, adanya penguasaan dan hak mengasuh anak, serta saling mengetahui tugas masing-masing sebagai suami maupun istri. Terdapat beberapa pendapat terkait mengenai perkawinan, a. Perkawinan menurut UU No.1/1974 Mengenai perkawinan sendiri, Indonesia telah mengatur sebagaimana tertulis dalam Undang-Undang no.1 tahun 1974 bab I mengenai dasar perkawinan, pasal 1 menjelaskan definisi perkawinan menurut undang; Ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
a.i. Syarat sahnya sebuah perkawinan
UU no.1 tahun 1974 telah mengatur mengenai syarat sahnya suatu perkawinan yang berlangsung di Indonesia, dijelaskan dengan ayat 1 dan 2 dari pasal tersebut; (ayat 1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. (ayat 2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku Sementara itu pada bab II dalam UU No.1/1974 mengatur mengenai syarat-syarat dari berlangsungnya suatu perkawinan yang diatur oleh pasal 6 yang berbunyi; (ayat 1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. (ayat 2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
(ayat 3) Dalam hal seorang dari kedua orang tua meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin yang dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. (ayat 4) dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan menyatakan kehendaknya.
(ayat 5) Dalam hal ada perbedaan antara orang-orang yang dimaksud dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan ijin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang yang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) dalam pasal ini. (ayat 6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukun masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Pada pasal 7 yang terdiri 3 ayat berbunyi sebagai berikut
(ayat 1) Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun. (ayat 2) Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat minta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita. (ayat 3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6 ayat (6).
a.ii. Lembaga Pencatat Perkawinan Merujuk pada pasal 1 ayat 2 Undang Undang No.1 tahun 1974 yang menjelaskan “setiap perkawinan dicatat menurut undang undang”, meskipun tidak
menyebut secara detail kalimat tersebut namun dalam prakteknya institusi yang mengatur pencatatan setiap perkawinan adalah Kantor Urusan Agama dibawah Kementerian Agama serta Dinas Pencatatan dibawah Kementerian Dalam Negeri. Gambar 1.2. Logo Kantor Urusan Agama
Sumber: kemenag.go.id
Kantor Urusan Agama Lembaga ini bertugas mencatat perkawinan bagi pasangan yang beragama Islam, berikut persyaratan perkawinan di lembaga tersebut:
Surat pengantar untuk menikah dari RT / RW
Surat kehendak menikah model N1, N2, dan N4 sesuai KTP dari Kepala Desa / Lurah
Fotokopi KTP calon pengantin dan wali, akta kelahiran / ijazah, dan kartu keluarga masing-masing satu lembar
Pas foto calon pengantin berlatar biru ukuran 2x3 dua lembar dan 4x6 satu lembar
Surat izin dari orangtua (N5) bila calon pengantin berusia kurang dari 21 tahun
Surat keterangan kematian (N6) dari kelurahan bila duda / janda meninggal
Akta cerai bila duda / janda
Dispensasi dari Pengadilan Agama bila calon pengantin kurang dari 19 bagi putra dan 16 bagi putri
Izin dari atasan bila calon merupakan anggota TNI/Kepolisian
Dispensasi dari camat bila pendaftaran kurang dari 10 hari
Surat keterangan wali dari kelurahan jika, wali tidak sealamat dengan calon pengantin wanita atau wali bukan ayah kandung
Fotokopi akta kematian ayah bila sudah meninggal
Fotokopi sertifikat kursus pra-nikah
Fotokopi imunisasi TT
Izin dari Pengadilan Agama bila hendak poligami
Gambar 1.3. Kantor wilayah Kementrian Agama DIY, Membawahi seluruh KUA di D.I.Yogyakarta.
Sumber: https://ssl.panoramio.com/user/7744889
Dinas Pencatatan Sipil (Catatan Sipil) Lembaga ini bertugas mencatat perkawinan bagi pasangan yang beragama non-Islam, berikut persyaratan perkawinan di lembaga tersebut:
Pas foto gandeng berdua ukuran 4x6cm, 10 lembar
Fotokopi KTP masing-masing dilegalisasi lurah, 2 lembar
Fotokopi paspor yang lembarannya telah dicap (bagi WNA), 2 lembar
Fotokopi kartu keluarga masing-masing dileglisasi lurah, 2 lembar
Surat keterangan dari lurah model N1 s/d N4 asli dan fotokopi, 2 set
Fotokopi surat baptis masing-masing, 2 lembar
Akte kelahiran masing-masing asli dan fotokopi, 2 lembar
Surat nikah perkawinan agama asli dan fotokopi, 2 lembar
Fotokopi KTP saksi masing-masing, 2 lembar
Akte kematian atau perceraian dari catatan sipil (bagi yang pernah nikah) asli dan fotokopi, 2 lembar
Akta kelahiran anak yang akan diakui/disahkan, 2 lembar
Materai Rp 6000, 6 lembar
Fotokopi SKBRI untuk WNI keturunan, 2 lembar
SK ganti nama untuk WNI keturunan, 2 lembar
Fotokopi K-1 masing-masing untuk WNI keturunan, 2 lembar
Izin dari Komandan bagi anggota TNI/Kepolisian asli dan fotokopi, 2 lembar
Surat izin dari Kedutaan/Konsul/Perwakilan (bagi WNA), 2 lembar
Surat bukti lunas pajak (bagi WNA yang bekerja di Indonesia), 2 lembar
Surat keterangan dari Imigrasi dan Departemen Tenaga Kerja (bagi WNA yang bekerja di Indonesia), 2 lembar
Surat Tanda Melapor Diri (STMD) dari Kepolisian, 2 lembar
Gambar 1.4. Dinas Pencatatan Sipil Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta
Sumber: panpages.co.id dan Google Maps
b. Perkawinan dalam pandangan Islam “Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan mengkayakan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberianNya) dan Maha Mengetahui.” (QS. An Nuur (24) : 32) “Dan segala sesuatu kami jadikan berpasang-pasangan, supaya kamu mengingat kebesaran Allah.” (QS. Adz Dzariyaat (51) : 49)
Berdasarkan dua ayat diatas cukup menyimpulkan bagaimana islam menyuruh umatnya menikah jika telah cukup umur, dalam Islam terutama di Indonesia sendiri tidak begitu umum dengan istilah perkawinan melainkan pernikahan karena terdapat pemikiran istilah perkawinan jika diindonesiakan lebih
ke proses dilakukan non-manusia jadi beberapa orang Islam menghindari pemakaian istilah ini. Pernikahan sendiri diartikan sebagai sarana menjaga diri untuk menghindari perbuatan maksiat dan menerapkan sya’riat –syar’iat dengan tujuan bertakwa kepada Allah S.W.T.
b.i. Rukun (syarat) sahnya pernikahan (a) Pengantin lelaki (suami) (b) Pengantin perempuan (istri) (c) Wali (d) Dua orang saksi lelaki (e) Ijab Qabul (akad nikah); merupakan prosesi perjanjian secara lisan pengantin sebelum pernikahan dan diketahui oleh masing-masing orangtua dan keluarga Dalam Islam, dijelaskan detail mengenai syarat dari kelima rukun yaitu syarat menjadi calon suami dan istri, syarat menjadi wali, dan syarat menjadi saksi pernikahan, a) Syarat menjadi calon suami; -
Islam
-
Lelaki
-
Bukan lelaki mahram (sedarah) dengan calon istri
-
Mengetahui wali dari calon istri
-
Tidak sedang berhaji/umrah
-
Dengan kerelaan sendiri bukan paksaan
-
Tidak mempunnyai empat istri yang sah dalam satu masa
-
Mengetahui calon istrinya yang hendak dinikahi
b) Syarat bagi calon istri; -
Islam
-
Perempuan
-
Bukan se-mahram (sedarah) dengan calon istri
-
Bukan khuntsa (waria), atau sengaja merubah jenis kelamin
-
Tidak sedang berhaji/umrah
-
Tidak dalam masa ’iddah; ‘iddah adalah masa berkabung jika calon istri ditinggal meninggal suami terdahulu
-
Bukan istri orang
c) Syarat bagi seseorang menjadi wali; -
Islam
-
Lelaki
-
Baligh (dewasa)
-
Sukarela menjadi wali
-
Tidak sedang berhaji/umrah
-
Tidak fasiq (perbuatan yang melepaskan keislamannya)
-
Tidak gila, dan terlalu tua dan lainnya (yang menghambatnya)
-
Merdeka, dalam hal ini bukan merupakan seorang tahanan
-
Tidak ditahan kuasanya dalam membelanjakan hartanya
d) Syarat menjadi saksi sebuah pernikahan; -
Sekurang-kurangnya dua orang
-
Islam
-
Berakal (tidak gila)
-
Baligh (dewasa)
-
Memahami kandungan dan arti Ijab Qabul yang dibacakan
-
Tidak melakukan dosa besar/terus melakukan dosa kecil
-
Merdeka, bukan budak atau menjadi tahanan
c. Perkawinan dalam pandangan sosiologis Mengutip pendapat Giddens, definisi dari perkawinan adalah; “Ikatan seksual antara dua orang dewasa yang sah dan juga sebagai upaya menyatukan dua keluarga dari masing-masing orang tersebut” (2009: 331) Sedangkan menurut Goode, berpendapat bahwa perkawinan merupakan; “perpindahan bagi setiap pasangan pemuda-pemudi dewasa secara ritual memasuki kedudukan kedewasaan dengan hak dan kewajiban baru” (1983: 5) dari kedua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa perkawinan merupakan proses perpindahan kedudukan pasangan menuju kedewasaan dengan hak dan kewajiban baru serta dalam rangka menyatukan keluarga dari masing-masing individu. F.2. Perkawinan Campuran Setelah panjang lebar mengenai beberapa definisi perkawinan, pada subbab ini menjelaskan spesifik mengenai perkawinan campuran. yang dimaksud peneliti disini perkawinan campuran adalah perkawinan yang melibatkan pria dan wanita yang mempunyai status kewarganegaraan berbeda. Selama pengambilan data berlangsung, peneliti sering mendapat dan mendengar pendapat bahwa perkawinan campuran merupakan perkawinan beda agama, baik dari orang awam maupun dari pegawai institusi pemerintahan terkait. Memang beberapa orang menggeneralisir
yang dimaksud campuran adalah beda agama, namun dalam peraturan indonesia perkawinan campur bukan dan tidak mengatur perkawinan beda agama beda halnya jika di negara lain. Berikut ini beberapa peraturan yang mengatur perkawinan campuran,
F.2.1.
Dalam pandangan peundang-undangan Pasal mengenai Perkawinan campuran telah diatur dalam UU No.1/1974
perkawinan bab III mengenai Perkawinan Campuran, dalam pasal 57 dijelaskan mengenai penjelasan istilah perkawinan campuran; Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarga-negaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Individu berkewarganegaraan asing yang melakukan perkawinan dengan orang Indonesia diberi kebebasan untuk melepas kewarganegaraannya dan menjadi warganegara Indonesia sebagaimana diatur pasal 58; Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/istrinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang undang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku. Mengenai tatacara dalam perkawinan campuran seperti dijelaskan pasal 59 ayat 2; Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut undang undang Perkawinan (ini). Berdasarkan pasal tersebut, maka seorang asing bila berkeinginan dengan seorang Indonesia maka harus mengikuti perundangan-undangan perkawinan yang telah diatur sebelumnya, dan yang telah dijelaskan dalam sub-bab sebelumnya.
F.2.2.
Dalam perundangan-undangan negara lain Untuk melangsungkan pernikahan, pasangan campuran yang menikah di
Indonesia harus melalui izin tertulis dari kedutaan/konsulat/perwakilan negara dari pihak pasangan yang berkewarganegaraan asing. Kedutaan/konsulat/perwakilan tersebut merupakan suatu lembaga yang legal untuk mewakili suatu negara dalam beberapa hal, termasuk pengajuan izin menikah bagi pasangan campuran dan biasanya kedutaan negara-negara asing terletak di Ibukota negara dalam Indonesia yaitu Jakarta namun bagi Konsulat, yang berada dibawah Kedutaan; terdapat di kota-kota besar seperti Surabaya, Bandung, Medan, dan Denpasar.
Bagi pasangan dengan salah satu kewarganegaraan Prancis,
Gambar 1.5. Halaman depan website Kedutaaan Prancis
Sumber: http://www.ambafrance-id.org
Kedutaan Prancis memberi kebebasan menikah di kedutaan (Mariage à l’ambassade) atau menikah di KUA domisili (Mariage devant les autorités locales), keduanya sama-sama diberikan sertifikat nikah dari Pemerintah Prancis namun jika menikah di KUA harus melapor ulang pernikahan di kedutaan yang mana berarti dua kali kerja. Persyaratan transkrip pernikahan di kedutaan/konsulat/perwakilan Prancis; a) Bukti identitas dari pasangan berkewarganegaraan Prancis
b) Sertifikat nikah yang dilegalisir c) Untuk yang muslim, dua buku nikah masing-masing d) non-Muslim, yaitu Salinan lengkap perkawinan dan Akte nikah e) salinan lengkap pernyataan pernikahan. f) dokumen tambahan yang ingin diklaim
Bagi pasangan dengan salah satu kewarganegaraan Filipina
Gambar 1.6. Halaman depan website Kedutaan Filipina
Sumber: http://philembjkt.com
Sama dengan Prancis, kebijakan Kedutaan Filipina memberi kebebasan menikah di kedutaan atau menikah di KUA domisili sesuai perjanjian otoritas catatan sipil Filipina di sana dengan Kementrian Luar Negeri Filipina (Sec.664 of the Phillipine Foreign Code). Dengan mengisi sejumlah persyaratan: a) Mengisi form yang telah ada b) Surat nikah (dalam bahasa Inggris) yang telas dilegalisir oleh KUA/Catatan sipil setempat c) Jika diluar Indonesia, fotokopi lima lembar dari surat nikah (dalam Inggris) serta sudah dilegalisir otoritas pencatatan setempat dengan diketahu kedutaan/konsulat Filipina terdekat.
Salah satu pasangan berkewarganegaraan New Zealand
Gambar 1.7. Halaman depan website pemerintahan New Zealand
Sumber :https://www.govt.nz
Peraturan dari pemerintahan New Zealand memperbolehkan pernikahan yang berlangsung di luar negeri (Overseas Marriage). Berbeda dengan peraturan negara sebelumnya, New Zealand hanya mengharuskan pencatatan status perkawinan dan mengikuti syarat sesuai negara yang didiami, dan tidak wajib untuk mencatatkan diri kembali di lembaga perkawinan New Zealand kecuali bila yang bersangkutan memerlukan. Semua perkawinan yang dilakukan di luar negeri diperbolehkan terkecuali bigamy yang merupakan hal kriminal di New Zealand.
F.2.3. Dalam prespektif Islam “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang lakilaki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Qs. Al-Hujurat: 13) Dalam pandangan Islam perkawinan/pernikahan campuran tidak diatur dalam Al-Qur’an sehingga dipersilahkan menikah dengan warga negara manapun asalkan, calon pengantin memenuhi ‘rukun dan syarat-syarat yang di tentukan dan sesuai dengan ajaran Islam.
G.
Landasan Teori Sebelum menjelaskan landasan teori, peneliti akan menjelaskan mengenai
teori hybridity atau percampuran budaya yang mendasari tema penelitan ini, Pemakaian istilah ini dalam ilmu pertanian dan peternakan sering disebut Hibrida, yaitu upaya menyatukan manfaat dua hewan/tumbuhan berbeda dengan cara kawin silang untuk menghasilkan sesuatu yang lebih efektif dan menguntungkan, dalam llmu sosial, istilah ini berarti sebagai penyatuan dan mengompromikan dua kebudayaan atau kultur yang berbeda sehingga masuk dalam cultural theory. Contoh Hybridity dalam ilmu sosial adalah konsep Mimicry yang dipopulerkan oleh Homi K. Bhabha (Bagchi 1996), konsep ini merupakan konsep teori postkolonial yang muncul akibat fenomena kelas menengah British Raj sewaktu India masih merupakan daerah koloni Inggris, British Raj merupakan bangsawan atau raja-raja tradisional yang mendukung pemerintahan Inggris, dikarenakan kedekatannya dengan penguasa saat itu lambat laun merubah kultur mereka menjadi seperti orang Inggris. Kemunculan wacana pencampuran budaya (cultural hybridity) seperti contoh diatas tidak lepas dari praktek-praktek kolonialisme yang berlaku saat itu yang menggangap kebudayaan lokal (indigenous costum) tidak cocok dan perlu diperbarui dengan kebudayaan milik penguasa yang lebih beradab. Simmel beranggapan, “bentuk superordinasi dan subordinasi (dapat) ditemukan dalam berbagai latar ” (2008: 180 dengan tambahan) Simmel menjelaskan bahwa setiap lini kehidupan, akan selalu ada opini mengenai superordinasi dan subordinasi dalam sebuah interaksi sosial, dalam hal ini interaksi penguasa kepada masyarakat yang dikuasai.
Dengan adanya praktek kolonialisme yang berusaha memperbarui budaya setempat, salah satunya dengan cara amalgamasi. Amalgamasi merupakan proses pencampuran biologis dari dua individu yang masing-masing memiliki ciri fisik berbeda menjadi suatu kesatuan, seringkali amalgamasi terjalin melalui suatu perkawinan campuran dari dua individu yang berbeda baik dari suku, ras, maupun antar-negara seperti yang dijelaskan dalam penelitian ini.
Dalam adanya amalgamasi tersebut, otomatis pada awal-awalnya akan ada perbedaan yang mungkin dianggap tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku atau perilaku-perilaku yang dianggap berbeda. Teori Habitus dapat menjadi alat analisis dan juga menjawab penelitian ini, teori ini merupakan kritikan atau fakta sosial Durkheim dan strukturalisme Saussure yang dianggap mengabaikan proses konstruksi sosial aktor untuk mempresepsi suatu tindakan (ibid: 577), pengertian dari Habitus menurut Pierre Bourdieu (ibid. :581) terjadi akibat dari ditempatinya posisi di dunia sosial dalam waktu yang panjang dan bervariasi tergantung pada posisi seseorang, menurutnya terdapat kemungkinan seseorang memiliki habitus yang tidak pas atau yang disebut histeria seperti pedagang yang beralih profesi menjadi tukang ojek yang akan berbeda habitusnya dikarenakan ia berada di lingkungan (field) yang berbeda dengan lingkungan sebelumnya. Berdasarkan beberapa rangkaian teori yang menjadi kerangka berfikir dalam penelitian ini, teori terakhir yang disebutkan yaitu habitus akan dipakai untuk menganalisis rumusan masalah berdasarkan temuan dan data yang terdapat di lapangan.
H.
Metode Penelitian Selama penelitian ini berlangsung, peneliti memakai cara dalam
pengambilan data dari berbagai informan yaitu observasi, dalam hal ini observasi non-partisipan seperti percakapan dengan tetangga maupun teman informan, mengamati lingkungan sekitar kediaman, serta rumah informan. Teknik pengumpulan lainnya yaitu wawancara, baik secara langsung bertemu maupun tidak langsung seperti lewat media teknologi seperti e-mail, Skype, dan WhatsApp. Teknik wawancara memakai media teknologi ini pun pada awalnya sempat meragukan peneliti dikarenakan tidak seperti wawancara pada umumnya namun, setelah membaca buku metode penelitian kualitatif yang ditulis Cresswell (pp. 267 dan 269; 2014) akhirnya penulis memakai metode ini. H.1. Objek penelitian Objek penelitian dalam penelitian ini adalah pasangan perkawinan campuran yaitu pasangan perkawinan campuran yaitu ekspatriat atau bule yang menikah dengan warganegara Indonesia serta bertempat tinggal maupun yang pernah bermukim di suatu wilayah di D.I Yogyakarta, dalam ini hanya mencakup Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman. H.2. Teknik Pengumpulan Data
Telaah dokumen Proses pertamakali sebelum melakukan wawancara yaitu mengetahui data-
data mengenai pasangan yang terdapat di wilayah Kota Yogya maupun Kabupaten Sleman, dalam hal ini maka harus melihat dokumen-dokumen catatan perkawinan milik Kantor Urusan Agama maupun Dinas Catatan Sipil di kedua wilayah tersebut. Untuk urusan ini hampir selama 3 minggu karena untuk dapat mengakses data negara
maka banyak persyaratannya seperti izin dari beberapa petinggi dari Dinas Perizinan, Dinas Catatan Sipil, Ketua dari Kanwil Kementrian Agama DIY dan Ketua KUA , sampai izin dari Walikota Yogyakarta, ditambah dengan kendala nonteknis seperti yang bersangkutan cuti atau sedang sakit bahkan tidak masuk tanpa keterangan dikenakan saat itu sudah mendekati akhir tahun dan pergantian awal tahun. Untuk wilayah Kabupaten Sleman melihat waktu yang terbatas serta lokasi pasangan tersebut yang terpusat (hanya sekitar Monjali), maka untuk Kabupaten Sleman hanya melalui perorangan saja tidak melalui proses perizinan seperti wilayah Kota Yogyakarta. Berdasarkan hasil telaah dokumen yang ada, maka didapat data-data mengenai pasangan Perkawinan Campuran berdasar kedua wilayah tersebut, Tabel 1.1. Pasangan Perkawinan Campuran di Kota Yogyakarta, NO
NAMA SUAMI
WN
NAMA ISTRI
WN
1
Dedi Dharmawan
IDN
Judyta Kalota
POL
2
Gerry Rangga
IDN
Lonneke Janosik
NED
3
Bernard Raphael
FRA
Desy Anggraeni
IDN
Sumber: Kantor Urusan Agama di wilayah Kota Yogyakarta (Kraton dan Gedongtengen)
Tabel 1.2. Pasangan Perkawinan Campuran di Kabupaten Sleman, NO
NAMA SUAMI
WN
NAMA ISTRI
WN
1
Jonathan Milligan
AUS
Adinda Keim
IDN
2
Muhammad Kurniawan
IDN
Amber V Breen
NZL
3
Yudho Nugroho
IDN
Zsazsa Dumotan
PHI
Sumber: diolah dari beberapa keterangan teman informan
Dari 6 pasangan yang didapat, terdapat berbagai kendala dalam mewawancarai pasangan tersebut seperti diusir, dianggap mengganggu, terdapat kepentingan mendesak diluar kota, dan sebagainya. Akhirnya didapat 3 informan yang mewakili
pasangan tersebut yang bersedia diwawancarai dengan berbagai syarat untuk dapat diwawancarai.
Proses Observasi dan Wawancara lapangan Proses pengumpulan data berlangsung 5 bulan dimulai dari awal bulan
Desember 2015 sampai dengan Mei 2016 kecuali Februari dikarenakan saat itu terdapat acara keluarga yang peneliti harus hadiri. Pada Desember hingga Januari peneliti masih berurusan dengan pengambilan data dari lembaga-lembaga pemerintahan, seharusnya bisa berlangsung 1 bulan saja namun karena berbagai hambatan non-teknis seperti orang yang mengurusi sedang sakit, cuti, bahkan absen dan juga karena berdekatan dengan libur natal dan tahun baru maka proses pengambilan data dari lembaga-lembaga tersebut menjadi dua bulan. Waktu efektif untuk mengambil data lapangan setelah melewati proses tersebut adalah 3 bulan ditambah lima hari, mulai dari akhir Januari sampai pertengahan Mei kecuali Februari. Pada pengamatan pertamakali peneliti mendatangi kampung Suryoputran di kecamatan Kraton tempat infoman pertama bertempat tinggal, pada awalnya penulis bertanya kepada warga sekitar namun warga sekitar namun sebagian besar tidak mengenal. Akhirnya setelah memberanikan diri, peneliti mendatangi kantor polisi dekat wilayah tersebut, peneliti pun bertemu dengan Pak Bambang selaku Kepala bagian Bimas (bina masyarakat) dari Polsek Kraton yang mempunyai data yang berhubungan dengan warga sekitar. Karena tidak sesuai dengan data yang peneliti punya maka dengan penasaran ia bersama peneliti mendatangi rumah yang dimaksud ternyata diketahui bahwa informan di tempat tersebut hanya mengontrak kamar sehingga untuk alamat resmi mengikuti rumah induk dan saat itu informan sedang bekerja, akhirnya peneliti mendapati tetangga kamarnya yaitu Pak Jefri, Pak Jefri bekerja
sebagai penjual angkringan sehingga pada siangnya masih di kontrakan, setelah berbincang dengan tetangga kontrakannya diketahui informan yang bernama Mas Dedi ini bekerja sebagai seniman yang juga sebagai dosen di ISI Yogyakarta dan mengontrrak kamar tersebut hanya sebagai tempat kerja karena aslinya mempunyai rumah di Monjali, setelah berbincang lama peneliti meminta nomer telepon informan agar bisa menghubungi langsung namun dikarenakan tidak mempunyai hape maka peneliti dianjurkan untuk datang besok pada malam hari untuk bertemu dengan anaknya Mas Dedi yang sudah jadi langganan angkringannya. Pada Rabu malam, peneliti mendatangi angkringan tersebut dan mendatangi Pak Jefri perihal maksud kemarin, setelah itu Pak Jefri pergi sebentar untuk memanggil anaknya Mas Dedi yang bernama Galih, setelah menyampaikan maksud peneliti maka Galih memberikan nomer telepon ayahnya namun saat itu ayahnya sedang di luar kota dan menyarankan agar menghubung ayahnya pada minggu depan pada saat ayahnya sudah tiba. Setelah menunggu minggu depan, akhirnya peneliti bisa bertemu dengan Mas Dedi yang baru pulang mengajar dan sedang istirahat di kontakannya, setelah berbincang lama dengan Mas Dedi diketahui bahwa ia mempunyai latar pendidikan S-2 seni rupa dari Kanada, sedangkan S-1 berasal dari teknik perminyakan di UPN Yogyakarta, pada saat di Kanada itulah dia pertamakali dikenalkan dengan istrinya, yang merupakan adik dari teman seangkatannya yang berasal dari Polandia. Pada saat itu ia sudah berstatus duda karena sebelum berangkat ke Kanada, istri terdahulunya yang orang Jawa meminta cerai kepadanya. Setelah panjang lebar bercerita akhirnya Mas Dedi pamit karena sudah ada janji dengan temannya sesama pengusaha travel agent dan sorenya ada janji dengan temannya sesama seniman.
Untuk informan kedua, karena peneliti dengan pasangan kedua merupakan keluarga dengan suaminya adalah kakak dari peneliti, maka peneliti sudah mempunayi data observasi namun juga ditambah data hasil wawancara bersangkutan. Peneliti beruntung karena pada saat acara kaluarga pada Februari, pasangan tersebut juga tiba jauh-juah dari Australia, karena saat ini pasangan tersebut pindah dari Jogja ke Australia disebabkan urusan pekerjaan yang mengharuskan untuk tinggal di sana, selama kesempatan itulah peneliti menambah data observasi tambahan untuk penelitian ini. Dalam observasi, peneliti mendapati bahwa pasangan informan sudah mengerti bahasa Indonesia dikarenakan mempunyai kepribadian ramah kepada orang lain sehingga banyak memiliki teman Indonesia dan kadang-kadang berbicara bahasa meskipun pada akhirnya memakai Inggris juga. Dari data yang diketahui peneliti, informan ini bernama Mas Yudho dan mempunyai latar pendidikan D-3 konsentrasi juru masak dari AMPTA (sekarang STIPRAM) Yogyakarta. Awal pertemuan yaitu sewaktu bekerja menjadi chef di kepulauan Turks Caico, Karibia yang juga tempat istrinya bekerja di hotel yang sama sebagai staff F&B, setelah menikah mereka sempat mempunyai rumah di Wedomartani namun saat ini dijual karena tidak ada yang mengurus rumah tersebut.
Karena saat wawancara terkendala jarak Jogja-Australia, maka
wawancara dilakukan dengan cara mengirim e-mail, setelah meminta izin maka peneliti mengirim interview guide ke sana. Peneliti sempat bingung karena yang berkeinginan menjawab adalah istri informan yang tidak begitu memahami tulisan bahasa indonesia, maka solusinya adalah peneliti mengirim interview guide dengan tulisan berbahasa inggris campuran indonesia, setelah pertanyaan terkirim maka dua hari setelahnya datang kiriman yaitu jawaban dari inteview guide tersebut yang
tentu saja dalam bahasa inggris, namun dalam bahasa yang gampang di mengerti sehingga peneliti mudah memahami maksud jawaban tersebut. Untuk informan ketiga, karena kesibukan dan aktivitas informan sebagai aktivis lingkungan sehingga termasuk sulit diwawancarai bahkan baru bisa diwawancarai melalui aplikasi pesan Whatsapp. Sebelum wawancara dimulai, pertamakali peneliti mendapat informasi mengenai informan melalui teman jurusan bahwa ia mempunyai teman komunitas yang sesuai dengan kriteria penelitian ini namun sulit ditemui, akhirnya setelah diberikan nomor teleponnya peneliti menghubungi informan tersebut dan setuju diwawancarai namun hanya lewat Whatsapp. Wawancara pun dimulai dengan menanyakan biodata, semula informan menjawab lengkap biodatanya namun ketika ditanya biodata istri, informan meminta untuk tidak dijawab. Dari keterangan tersebut terungkap nama informan adalah Mas Wawan dan mempunyai latar belakang S-1 dari UII manajemen namun mempunyai minat pada lingkungan sehingga memilih menjadi aktivis lingkungan. Pertemuan dengan pasangan sewaktu Mas Wawan bekerja di sebuah LSM lingkungan di Bali, yang saat itu istrinya menjadi volunteer di LSM tersebut. Setelah lama mengobrol dan dirasa cukup, maka peneliti meminta izin pamit.