1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini, perkawinan bukan lagi hanya sekedar perbuatan pribadi dari mereka yang melangsungkan perkawinan, namun juga merupakan perbuatan yang menyangkut keagamaan serta perbuatan hukum yang terdapat campur tangan penguasa. Perkawinan merupakan perbuatan yang menyangkut keagamaan karena hampir semua agama di belahan bumi manapun mempunyai aturan tersendiri dalam melangsungkan perkawinan. Perkawinan merupakan perbuatan hukum yang terdapat campur tangan penguasa karena perkawinan merupakan perbuatan yang menimbulkan akibat hukum yang berupa hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi mereka yang melangsungkannya. Dalam hal inilah penguasa negara mengatur norma-norma hukum perkawinan menurut kebutuhan masyarakat di masing-masing negara.1 Di Indonesia, persoalan yang berkaitan dengan perkawinan telah diatur dalam Peraturan Perundangan-Undangan yang berlaku bagi Warga Negara Indonesia. Aturan yang dimaksud antara lain Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan peraturan pelaksanaannya dalam bentuk Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975. Undang-Undang ini merupakan hukum materiil dari perkawinan, sedangkan hukum formilnya ditetapkan dalam Undang-Undang No.7 Tahun 1989 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang No.3 Tahun 2006 dan 1
A.Mukhtie Fadjar, 1994, Tentang dan Sekitar Hukum Perkawinan di Indonesia, Fakultas Hukum Brawijaya, Malang, hlm 1
2
sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang No.50 Tahun 2009. Adapun aturan pelengkap yang menjadi pedoman bagi hakim di Pengadilan Agama adalah Kompilasi Hukum Islam, yang telah ditetapkan dan disebarluaskan melalui Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.2 Di dalam Pasal 1 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dijelaskan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Di dalam Kompilasi Hukum Islam, perkawinan dalam Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Di samping itu, menurut Ahmad Azhar Basyir, perkawinan ialah melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan seorang wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak, dengan dasar suka rela untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman dengan cara-cara yang diridhoi Allah3. Di dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dijelaskan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. Hal ini sejalan dengan Pasal 5 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyatakan bahwa : 1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatat. 2 3
Amir Syarifuddin, 2007, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Kencana, Jakarta, hlm 1 Ahmad Azhar Basyir, 1999, Hukum Perkawinan Indoesia, UII Press, Yogyakarta, hlm 14
3
2) Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat 1 dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No.22 Tahun 1946 jo Undang-undang 32 Tahun 1954. Dari keterangan di atas telah terlihat jelas bahwa tujuan dicatatkannya perkawinan adalah mewujudkan ketertiban dalam masyarakat Islam. Dari pencatatan ini jugalah, apabila terdapat permasalahan yang muncul di kemudian hari, maka hak dari suami istri akan tetap terlindungi. Negara mewujudkan perlindungan ini melalui suatu pembuktian pencatatan perkawinan berupa Akta Nikah yang dikeluarkan oleh Pegawai Pencatat Nikah di Kantor Urusan Agama. Bagi orang-orang Islam yang telah melaksanakan perkawinan sebelum disahkannya Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan mereka dapat mempunyai kekuatan hukum dengan mengajukan itsbat nikah atau penetapan pernikahan kepada Pengadilan Agama, sebagaimana yang telah disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 7 ayat 3. Di dalam pasal 7 Kompilasi Hukum Islam juga memberikan peluang bagi orangorang yang telah melakukan nikah sirri untuk dapat mengitsbatkan pernikahannya apabila dalam pernikahan sirri tersebut tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974. Pernikahan sirri dapat diartikan sebagai nikah yang dirahasiakan, berbeda dengan nikah pada umumnya yang dilakukan secara terang-terangan. Bagi sebagian masyarakat, menganggap bahwa nikah sirri adalah sah karena telah memenuhi rukun dan syarat perkawinan menurut aturan Islam. Mereka tidak menghiraukan apakah pernikahan yang mereka laksanakan tersebut mempunyai
4
kekuatan hukum atau tidak. Dengan demikian, dari ketentuan pasal tersebut, dapat dikatakan bahwa orang-orang yang telah melakukan nikah sirri dapat memperoleh Akta Nikah dan perkawinannya mempunyai kekuatan hukum dengan mengajukan permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama. Apabila suatu perkawinan tidak memiliki Akta Nikah maka akan menimbulkan konsekuensi serta akibat hukum di dalam kehidupan rumah tangga pasangan tersebut, hingga berdampak pada kurangnya perlindungan terhadap hakhak anak, karena salah satu syarat diterbitkannya Akta Kelahiran dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil adalah adanya Akta Nikah dari orangtuanya. Hal inilah yang mendasari pengajuan permohonan itsbat nikah karena pernikahan sirri di Pengadilan Agama Sleman, yang dilakukan oleh Mohammad Zakky Fananie dan Ayu Lidya Rahmah, dan sudah diputus oleh Majelis Hakim Pengadilan
Agama
Sleman
berdasarkan
Penetapan
Nomor
:
32/
Pdt.P/2012/PA.Smn. Pernikahan sirri tersebut dilakukan pada tanggal 1 Januari tahun 2009 dengan persetujuan dari kedua orang tua Mohammad Zakky Fananie dan Ayu Lidya Rahmah. Kemudian pasangan ini dikaruniai seorang anak perempuan pada Bulan Oktober 2010. Dua tahun kemudian setelah anak tersebut lahir, tepatnya Januari 2012 pasangan ini melakukan perkawinan sah di Kantor Urusan Agama, sehingga keluarlah Akta Nikah. Namun karena status anak belum diakui sebagai anak sah dari Mohammad Zakky Fananie dan Ayu Lidya Rahmah, pasangan ini kemudian mengajukan permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama Sleman, agar anak yang dilahirkan pada tahun 2010 tersebut mendapatkan pengakuan sebagai anak sah dalam akta kelahirannya.
5
Dari kasus di atas tentu menjadi tanda tanya besar, mengapa bisa terjadi perkawinan sah yang dilakukan dua kali, yakni yang pertama pada Januari 2012 dimana pasangan tersebut menikah di hadapan Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama (KUA) dan mendapatkan Akta Nikah, kemudian yang kedua dilakukan pada Maret 2012 dengan mengajukan permohonan itsbat nikah dan penetapan Pengadilan Agama Sleman menyatakan keabsahan pernikahan sirri pasangan tersebut. Maka dari itulah, Penulis tertarik untuk mengkaji lebih mendalam
mengenai
Penetapan
Pegadilan
Agama
Sleman
No:32/Pdt.P/2012/PA.Smn melalui penelitian yang hasilnya akan dituangkan dalam sebuah penulisan hukum berjudul: “Permohonan Itsbat Nikah Pasca Dilaksanakannya Perkawinan Sah Dalam Rangka Menentukan Status Anak Akibat Perkawinan Sirri (Studi Terhadap Penetapan Pengadilan Agama Sleman No : 32/ Pdt.P/ 2012/ PA Smn.)”. B. Rumusan Masalah Berpijak dari uraian pada Latar Belakang yang telah diungkapkan di muka, agar pembahasan dalam Penulisan Hukum ini lebih terarah, maka Penulis membatasi permasalahan yang akan diteliti dengan pembatasan pembahasan sebagai berikut: 1. Bagaimana pertimbangan Majelis Hakim dalam mengabulkan permohonan itsbat nikah pasca dilaksanakannya perkawinan sah dalam rangka menentukan status anak akibat perkawinan sirri ?
6
2. Bagaimana koordinasi dan sinkronisasi antara Pengadilan Agama, Kantor Urusan Agama, dan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil dalam rangka melindungi status anak dalam perkawinan sirri ? C. Tujuan Penelitian Suatu penelitian yang dilakukan tentu mempunyai tujuan yang ingin dicapai. Dalam merumuskan tujuan penelitian, penulis berpegang pada masalah yang telah dirumuskan. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Tujuan Objektif a. Mengatahui dasar pertimbangan Majelis hakim dalam mengabulkan permohonan itsbat nikah pasca dilaksanakannya perkawinan sah dalam rangka menentukan status anak akibat perkawinan sirri. b. Mengetahui koordinasi dan sinkronisasi antara Pengadilan Agama, Kantor Urusan Agama, dan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil dalam rangka melindungi status anak dalam perkawinan sirri. 2. Tujuan Subjektif Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data serta informasi yang berhubungan dengan objek yang akan diteliti dalam rangka penyusunan Penulisan Hukum sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. D. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran kepustakaan, khususnya di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, belum pernah dilakukan penelitian sebelumnya mengenai, “Permohonan Itsbat Nikah Pasca Dilaksanakannya Perkawinan
7
Sah Dalam Rangka Menentukan Status Anak Akibat Perkawinan Sirri (Studi Terhadap Penetapan Pengadilan Agama Sleman No:32/Pdt.P/2012/PA Smn)”. Adapun Penulisan Hukum sejenis yang berkaitan dengan apa yang akan diteliti oleh penulis, diantaranya yakni: 1. Penelitian yang ditulis oleh Fuad Zain, dengan judul Tinjauan Hukum Tentang Penetapan
Asal Usul Anak menurut Hukum Islam dan Penerapannya di
Pengadilan Agama Sleman 4 . Penelitian ini membahas mengenai penetapan asal-usul anak, baik dari sudut pandang fikih maupun hukum positif serta dasar pertimbangan hakim dalam menolak maupun mengabulkan permohonan penetapan anak. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan, yakni: 1) Dasar-dasar asal usul anak disebabkan karena beberapa hal, antara lain melalui perkawinan sah, melalui perkawinan yang fasid, dan melalui persetubuhan subhat. Sedangkan cara menetapkan asal usul anak dapat dengan cara : al-firasy, iqrar, dan bayyinah. 2) Menurut hukum positif Indonesia, perkara asal usul anak di Pengadilan Agama dapat terbagi menjadi : a. Pengakuan anak Dapat dilakukan dengan permohonan pengakuan anak bersifat voluntair yaitu pengakuan anak yang tidak di bawah kekuasaan atau perwalian orang lain, dan dengan gugatan yang bersifat contentius
4
Fuad Zain, 2012, “Tinjauan Hukum Tentang Penetepan Asal Usul Anak Menurut Hukum Islam dan Penerapannya di Pengadilan Agama Sleman (Studi Kasus Putusan Nomor: 408/Pdt.G/2006/PA.Smn dan Putusan Nomor: 692/Pdt.G/2010/PA.Smn”, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
8
yaitu pengakuan anak yang berada di bawah kekuasaan atau perwalian orang lain. b. Pengingkaran atau penyangkalan anak Pengingkaran anak dilakukan dengan cara li’an dan pembuktian biasa. 3) Mengenai alasan yang dipergunakan hakim Pengadilan Agama Sleman sebagai
dasar
pertimbangan
untuk
mengabulkan
atau
menolak
permohonan penetapan asal-usul anak, yakni di dalam Putusan nomor 408/ PDT.G/2006/PA.Smn, dimana di dalam amar hakim mengabulkan permohonan, didapat kesimpulan bahwa amar putusan tersebut tidak tepat karena kurang sesuai dengan fiqih, Undang-Undang No.1 tahun 1974 dan kompilasi
hukum
islam.
Sedangkan
di
dalam
Putusan
Nomor
629/Pft.G/2010/PA SMN, di mana di dalam amar putusan hakim menolak gugatan, didapat kesimpulan bahwa alasan yang digunakan sudah tepat karena sesuai dengan Fikih, Undang-Undang No.1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. 2. Penelitian yang ditulis oleh Patlu Parakasi dengan judul Kajian Yuridis Pengesahan Perkawinan di Pengadilan Agama Jember 5 . Penelitian ini membahas mengenai kesesuaian penetapan pengesahan perkawinan dalam Putusan Nomor 60/Pdt.P/2008/PA.Jr dengan ketentuan yang berlaku, serta membahas mengenai kedudukan perkawinan di bawah tangan
5
menurut
Patlu Parakasi, 2009, “Kajian Yuridis Pengesahan Perkawinan Di Pengadilan Agama Jember (Studi Kasus Putusan No.06/Pdt.P/2008/ PA Jr) “, Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang.
9
ketentuan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan yakni : 1) Apabila perkawinan di bawah tangan diakhiri dan “dilegalkan”, maka ada dua cara yaitu dengan mencatatkan perkawinan dengan permohonan itsbat nikah kepada pengadilan agama, sesuai dengan pasal 7 Kompilasi Hukum Islam, dan menikah ulang dengan mengikuti prosedur KUA. Sedangkan pengajuan itsbat nikah dengan alasan lain (bukan dalam rangka perceraian) hanya dimungkinkan jika sebelumnya sudah memiliki akta nikah dari pejabat berwenang. Sehingga apabila dilihat dari syarat pengajuan itsbat nikah, maka putusan Majelis hakim bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku yaitu Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam (KHI). 2) Kedudukan perkawinan di bawah tangan menurut hukum agama adalah sah apabila memenuhi rukun dan semua syarat sahnya nikah meskipun tidak dicatatkan. Menurut ketentuan pada Pasal 2 Ayat (1) UU Perkawinan, sebuah perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ini berarti bahwa jika suatu perkawinan telah memenuhi syarat dan rukun nikah atau ijab kabul telah dilaksanakan (bagi umat Islam) atau pendeta/pastur telah melaksanakan pemberkatan atau ritual lainnya, maka perkawinan tersebut adalah sah terutama di mata agama dan kepercayaan masyarakat. Tetapi sahnya perkawinan ini di mata agama dan kepercayaan masyarakat perlu disahkan lagi oleh negara, yang dalam hal ini ketentuannya terdapat pada Pasal 2 Ayat (2) UU Perkawinan.
10
3. Penelitian yang ditulis oleh Rifqy Yatunnisa dengan judul Praktik Itsbat Nikah Pernikahan Sirri6. Penelitian ini membahas mengenai alasan-alasan pengajuan penetapan itsbat nikah, prosedur pengajuan itsbat nikah, serta pertimbangan hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan dalam memberikan putusan. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan, yakni : 1) Prosedur yang harus dilakukan apabila seseorang akan mengajukan itsbat nikah adalah pemohon membawa surat keterangan dari RT, RW, dan Kapala Desa setempat. Kemudian mengajukan permohonan tertulis yang memuat identitas pemohon serta alasan-alasan pengajuan itsbat nikah. 2) Kemudian membayar uang muka biaya perkara, bagi yang tidak mampu dapat mengajukan prodeo (pembebasan biaya). 3) Prosedur yang diberikan oleh hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan dalam memberikan penetapan itsbat nikah khususnya dalam dua perkara tersebut diantaranya bahwa dalam pernikahan tersebut telah terpenuhi syarat-syarat rukun nikah. Dengan demikian, hakim memandang bahwa pernikahan tersebut dinyatakan sah menurut hukum Islam. Namun, kedua perkara juga menunjukkan bahwa para hakim sering menekankan unsur kemaslahatan dalam mengabulkan permohonan itsbat nikah. 4) Di antara alasan-alasan yang dapat diajukan oleh orang yang akan melakukan itsbat nikah yakni untuk melakukan perceraian, untuk membuat akta nikah, membuat akta nikah baru karena akta nikah yang lama hilang, untuk mengurus pensiunan dan TASPEN, dan untuk menetapkan ahli 6.
Rifqy Yatunnisa, 2010,“Praktik Itsbat Nikah Pernikahan Sirri (Analisis Putusan Hakim PA Jakarta Selatan Nomor 10/Pdt.P/2007/PA.JS dengan Nomor 040/Pdt.P/2008/PA.JS”, Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullaah Jakarta.
11
waris. Setelah dilaksanaknnya itsbat nikah maka status nikah tersebut sudah diakui oleh negara dan secara otomatis pernikahan tersebut sudah mempunyai kekuatan hukum, karena sudah jelas pasal 7 KHI menyatakan bahwa dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama, sehingga apabila ada permasalahan-permsalahan perdata dapat diajukan ke Pengadilan Agama. Objek penelitian dan lokasi penelitian yang ada di dalam penelitian di atas berbeda dengan penelitian yang dilakukan penulis. Dengan demikian, Penulis berkesimpulan bahwa penelitian ini asli, bukan merupakan duplikasi dari hasil karya orang lain, sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah. Jika sebelumnya sudah pernah ada penelitian sejenis yang hampir sama dengan penelitian ini, maka penelitian ini sifatnya untuk melengkapi penelitian yang telah ada sebelumnya. E. Manfaat Penelitian Penelitian ini mempunyai manfaat, baik secara akademis maupun secara praktis, adapun manfaatnya yaitu sebagai berikut : 1. Manfaat Akademis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan serta kontribusi dalam perkembangan ilmu hukum, khususnya ranah Hukum Islam, lebih khusus lagi Hukum Keluarga Islam dan hukum Acara Peradilan Agama.
12
2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi kepada masyarakat dan civitas akademika mengenai itsbat nikah dalam rangka menentukan status anak akibat perkawinan sirri serta koordinasi dan sinkronisasi antara Pengadilan Agama, Kantor Urusan Agama, dan Kantor Kependudukan dan Pencatatan Sipil dalam rangka melindungi status anak dari perkawinan sirri. Selain itu, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan kepada hakim Pengadilan Agama dalam memutus perkara yang berhubungan dengan Itsbat Nikah maupun pihak lain yang berkaitan dengan apa yang diteliti oleh Penulis.
13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan Manusia merupakan makhluk paling sempurna yang diciptakan oleh Allah Shubhanhuwata’ala. Kesempurnaan manusia dapat dilihat dari bentuk fisik tubuh, akal, serta cara beribadah pada Tuhannya. Salah satu contoh kesempurnaan manusia yang membedakannya dari makhluk lain seperti hewan atau tumbuhan adalah adanya perkawinan yang dilakukan menurut aturan. Manusia, hewan, dan tumbuhan sama-sama harus meneruskan keturunannya dengan berkembangbiak, namun hanya manusialah yang memiliki aturan untuk melakukan proses perkembangbiakan yang lazim disebut sebagai perkawinan. Secara bahasa kata nikah berarti “bergabung” ( dan juga berarti “akad” (
), “hubungan kelamin” ()وطء
). Adanya kemungkinan-kemungkinan arti ini karena
kata nikah yang terdapat dalam Al-Qur’an memang mengandung arti tersebut7. Menurut Abu Yahya Zakariyah Al-Anshari, Nikah menurut syara’ ialah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafadz nikah atau dengan kata-kata yang semakna dengannya. Sedangkan menurut Hukum Islam terdapat beberapa definisi, diantaranya, bahwa perkawinan menurut syara’ yaitu akad yang ditetapkan syara’ untuk membolehkan bersenang-senang
7
Amir Syarifuddin, op.cit, hlm.36
14
antara laki-laki dan perempuan, dan menghalalkan bersenang-senangnya perempuan dengan laki-laki8. Dua pengertian di atas, sejatinya hanya mengerucut pada satu aspek saja, yakni kebolehan hukum hubungan antara seorang laki-laki dan seorang wanita yang semula dilarang menjadi halal9. Pengertian yang lebih luas telah dituangkan di dalam hukum positif, yakni menurut ketentuan dalam Pasal 1 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pengertian perkawinan ialah: “ Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Perkawinan yang dilakukan antara seorang pria dengan seorang wanita, pada hakekatnya merupakan naluri atau fitrah manusia sebagai makhluk sosial guna melanjutkan keturunannya. Oleh karenanya dilihat dari aspek fitrah manusia tersebut, pengaturan perkawinan tidak hanya didasarkan pada norma hukum yang dibuat oleh manusia saja, melainkan juga bersumber dari hukum Tuhan yang tertuang dalam hukum agama. Tinjauan perkawinan dari aspek agama dalam hal ini terutama dilihat dari Hukum Islam yang merupakan keyakinan sebagian besar masyarakat Indonesia. Menurut Hukum Islam khususnya yang diatur dalam Ilmu Fiqih, pengertian perkawinan atau akad nikah adalah ikatan yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta bertolong-tolongan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang antara keduanya bukan merupakan
8 9
Ibid Ghazali Abd. Rahman, 2003, Fiqih Munakahat, Kencana Prenada Media, Jakarta, hlm 9
15
mahram. 10 Pengertian perkawinan tersebut menggambarkan bahwa perkawinan merupakan suatu perjanjian atau akad antara seorang laki-laki dengan seorang wanita untuk hidup berumah tangga, yang di dalamnya termasuk pengaturan hak dan kewajiban serta saling tolong menolong dari kedua belah pihak. Dalam pandangan umat Islam, perkawinan merupakan asas pokok kehidupan dalam pergaulan, sebagai perbuatan yang sangat mulia dalam mengatur kehidupan berumah tangga. Pertalian nikah atau perkawinan, juga merupakan pertalian yang seteguh-teguhnya dalam hidup dan kehidupan umat manusia11. Perkawinan yang merupakan perbuatan mulia tersebut pada prinsipnya, dimaksudkan untuk menjalin ikatan lahir batin yang sifatnya abadi dan bukan hanya untuk sementara waktu, yang kemudian diputuskan lagi. Atas dasar sifat ikatan perkawinan tersebut, maka dimungkinkan dapat didirikan rumah tangga yang damai dan teratur, serta memperoleh keturunan yang baik dalam masyarakat12. Selanjutnya sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Buku I tentang Hukum Perkawinan Kompilasi Hukum Islam (KHI) telah dirumuskan pengertian perkawinan, perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miltsaaqon gholidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Kemudian Pasal 3 mengatur bahwa tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah13.
10 11 12
13
Sulaiman Rasjid, 1993, Fiqih Islam, Attahiriyah, Jakarta, hlm 355 Ibid, hlm 356 Mahmuda Junus,1989, Hukum Perkawinan Islam Menurut Mazhad : Sayfi’I, Hanafi, Maliki dan Hambali, Pustaka Mahmudiyah, Jakarta, hlm110 Abdurrahman, 1995, Kompilasi Hukum Di Indonesia, Akademika Presindo, Jakarta, hlm 114
16
Di samping itu, perkawinan juga dapat dilihat dari tiga segi pandangan, yaitu dari segi hukum, segi sosial, dan segi agama, yakni14 : a) Dari segi hukum Perkawinan itu merupakan suatu perjanjian, oleh Q.S. An-Nissa :21 disebutkan bahwa,“Perkawinan adalah perjanjian yang sangat kuat”, disebut dengan kata-kata mitsaqan galizhan. Juga dapat dikemukakan sebagai alasan untuk mengatakan perkawinan itu merupakan suatu perjanjian ialah karena adanya : 1) Cara mengadakan ikatan perkawinan telah diatur terlebih dahulu yaitu dengan akad nikah dan rukun atau syarat tetentu ; 2) Cara menguraikan atau memutuskan perkawinan juga telah diatur sebelumnya yaitu dengan prosedur talak, kemungkinan fasakh, syiqaq dan sebagainya. Perjanjian dalam perkawinan ini mempunyai atau mengandung tiga karakter yang khusus, yaitu : 1) Perkawinan tidak dapat dilakukan tanpa unsur suka rela dari kedua belah pihak ; 2) Kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan) yang mengikat persetujuan perkawinan itu saling mempunyai hak untuk memutuskan perjanjian tersebut berdasarkan ketentuan yang sudah ada hukumhukumnya ;
14
Mohd Idris Ramulyo, 2002, Hukum Perkawinan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, hlm.4
17
3) Pesetujuan perkawinan itu mengatur batas-batas hukum mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak. b) Dari segi sosial Dalam masyarakat, ditemui suatu penilaian yang umum bahwa orang yang berkeluarga atau pernah berkeluarga mempunyai kedudukan yang lebih dihargai dari pada mereka yang tidak kawin. c) Dari segi agama Dalam agama, perkawinan itu dianggap suatu lembaga yang suci. Upacara perkawinan adalah upacara yang suci, yang kedua belah pihak dihubungkan menjadi pasangan suami istri atau saling meminta menjadi pasangan
hidupnya
dengan
mempergunakan
nama
Allah
Subhanahuwata’ala. Menurut Soemiyati, tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk memenuhi tuntutan derajat tabiat manusia, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta dan kasih sayang, untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh syari’ah15. Dengan demikian perkawinan menurut hukum Islam pada prinsipnya merupakan ibadah dalam rangka menaati perintah Allah Shubhanahu wa ta’ala. Hal ini mengisyaratkan bahwa perkawinan tidak hanya sekedar ikatan antara seorang pria dengan wanita untuk membentuk rumah tangga guna memenuhi naluri kebutuhan duniawi, melainkan juga dimaksudkan untuk memenuhi 15
Soemiyati, 1986, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Liberty, Yogyakarta, hlm.10
18
kebutuhan ukhrowi (akhirat) di kemudian hari 16 . Sehingga, menurut Hukum Islam, perkawinan merupakan ikatan lahir dan batin yang sifatnya sakral dan suci antara laki-laki dan perempuan, yang bertujuan mulia, yakni untuk membentuk rumah tangga yang penuh ketenangan (sakinah), penuh rasa cinta kasih (mawaddah), dan senantiasa mengharapkan limpahan rahmat dari Allah Shubhanahu wa ta’ala. 2. Prinsip-Prinsip Perkawinan Menurut Andi Tahir Hamid, dalam bukunya Peradilan Agama dan Bidangnya, dalam proses pembuatan Undang-Undang Perkawinan berlangsung alot dan memakan waktu lama, hal ini dikarenakan ada prinsip-prinsip yang sangat berbeda yang diusahakan untuk menyatukannya dalam pengaturan, prinsip-prinsip tersebut antara lain17 : a) Perkawinan harus didasarkan atas kesukarelaan b) Kedudukan masing-masing seimbang c) Perkawinan dilakukan dengan partisipasi keluarga (jadi bukanlah soal pribadi belaka, harus seizin wali/ pengadilan bagi wanita dan pria yang belum berusia 21 tahun) d) Menurut Undang-Undang disyaratkan adanya persetujuan calon laki-laki maupun perempuan itu sendiri e) Prinsip kematangan jiwa raga, minimal 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita
16 17
Ibid, hlm 115 Andi Tahir Hamid, 2005, Peradilan Agama dan Bidangnya, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.14
19
Di samping itu, prinsip-prinsip perkawinan menurut Undang-Undang Nomor.1 Tahun 1974 dapat dilihat dalam penjelasan umumnya sebagai berikut : a) Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal b) Undang-Undang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Di samping itu, tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku c) Undang-Undang ini mengandung asas monogami d) Undang-Undang ini menganut prinsip bahwa calon suami istri itu harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. e) Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal dan sejahtera, maka Undang-Undang Perkawinan ini menganut prinsip untuk mempersulit terjadinya peceraian. Untuk memungkinkan perceraian harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan sidang pengadilan. f) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami istri.
20
3. Sahnya Perkawinan Sahnya Perkawinan merupakan hal yang sangat penting bagi pasangan yang melangsungkan perkawinan, karena perkawinan merupakan suatu perbuatan hukum yang tentu memiliki akibat hukum. Akibat hukum dari suatu perkawinan merupakan hal yang sangat vital yang berhubungan dengan sah atau tidaknya suatu perbuatan hukum. Ketentuan sah atau tidaknya perbuatan hukum hanya dapat diketahui melalui hukum positif. Apabila perkawinan tersebut tidak sah, maka akan berdampak pada tidak terlindunginya hak-hak para pihak dalam perkawinan, seperti hak bagi suami, istri, anak, maupun harta benda. Hukum positif Indonesia menentukan mengenai sahnya suatu perkawinan, yakni berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi : “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamnya dan kepercayaanya itu”. Kemudian ayat (2) yang berbunyi, “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Di dalam pasal tersebut menjelaskan mengenai dua hal, yakni pada ayat 1 tentang sahnya dan ayat 2 tentang pendaftarannya. Sehingga, dapat diketahui bahwa Undang-Undang Perkawinan menitikberatkan sahnya perkawinan pada dua unsur, yaitu : perkawinan harus dilaksanakan sesuai dengan syarat dan prosedur yang ditentukan oleh Undang-Undang (hukum negara) dan hukum agama 18 . Artinya kalau perkawinan hanya dilangsungkan menurut ketentuan Undang-Undang negara tanpa memperhatikan ketentuan-ketentuan agama maka perkawinan
18
Wahyono Darmabrata, 2003, Tinjauan UU No. 1 Tahun 1974, Gitama Jaya, Jakarta, hlm 101
21
tersebut tidak sah, demikian juga sebaliknya. Hal ini juga telah dipertegas oleh Pasal 10 ayat 3 Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975, yang berbunyi, “Dengan mengindahkan tatacara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu pekawinan dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi”. Pencatatan perkawinan akan memberikan perlindungan hak bagi suami, istri dan anak-anaknya, termasuk juga kepentingan harta benda dalam perkawinan. Misalnya dalam pembuatan akta kelahiran anak, pengurusan paspor, hak waris, dan lain sebagainya. Pencatatan perkawinan bagi yang beragama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatatan Nikah di Kantor Urusan Agama. Bagi mereka yang beragama selain Islam pencatatan dilakukan di Kantor Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Pencatatan tersebut tidak menentukan sahnya suatu peristiwa hukum suatu perkawinan, tetapi hanya memberikan pembuktian bahwa peristiwa hukum itu telah terjadi dan dilakukan, sehingga hanya bersifat administratif, karena sahnya perkawinan itu sendiri ditentukan oleh masing-masing agama dan kepercayaannya. 4. Hukum Melakukan Perkawinan Hukum asal melakukan perkawinan dalam Islam tidak diwajibkan tetapi juga tidak dilarang atau mubah atau dapat dikatakan sebagai kebolehan (ibadah). Asal hukum melakukan perkawinan yang mubah tersebut dapat berubah-ubah berdasarkan sebab-sebab kausanya, dapat menjadi makruh, sunnah, wajib, dan haram19.
19
Mohd.Idris Ramulyo, op.cit, hlm.21
22
a) Hukumnya berubah menjadi makruh Seseorang yang dipandang dari sudut pertumbuhan jasmaninya telah wajar untuk menikah, walaupun belum sangat mendesak, tetapi belum ada biaya untuk hidup sehingga kalau dia kawin hanya akan membawa kesengsaraan hidup istri dan anak-anaknya, maka makruhlah baginya untuk kawin. Tetapi jika ia ingin kawin juga tidak berdosa atau tidak pula berpahala sedangkan jika ia tidak menikah dengan pertimbangan kemaslahatan itu tadi ia mendapat pahala. Ditinjau dari sudut wanita yang telah wajar untuk menikah tetapi ia meragukan dirinya akan mampu mematuhi dan mentaati suaminya dan mendidik anak-anaknya, maka makruh baginya untuk menikah. Makruh menikahi pria yang belum mampu mendirikan rumah tangga dan belum mempunyai niat atau kehendak untuk menikah. Q.S. An-Nur ayat 33, “ Jangan nikah dahulu sampai Allaah memberikan kelapangan.” b) Hukumnya berubah menjadi sunnah Dipandang dari segi pertumbuhan fisik (jasmani) sesorang pria itu telah wajar dan berkeinginan untuk menikah, sedangkan baginya ada biaya hidup sederhana, maka baginya sunnah untuk melakukan pernikahan. Andaikata dia nikah mendapat pahala dan kalau dia tidak atau belum menikah tidak berdosa. Bagi wanita yang belum mempunyai keinginan untuk menikah tetapi butuh perlindungan atau nafkah dari seorang suami, maka sunnah baginya untuk nikah.
23
c) Hukumnya berubah menjadi wajib Apabila seseorang pria dipandang dari sudut fisik (jasmani) pertumbuhannya sudah sangat mendesak untuk menikah, sedangkan dari sudut biaya kehidupan telah mampu dan mencukupi, sehingga kalau dia tidak menikah mengkhawatirkan dirinya akan terjerumus kepada penyelewengan melakukan hubungan seksual, maka wajiblah baginya menikah. Bilamana dia tidak menikah akan berdosa di sisi Allaah. Demikian juga seorang wanita yang tidak dapat menghindarkan diri dari perbuatan orang jahat bilamana dia tidak menikah, maka wajib baginya untuk menikah. d) Hukumnya berubah menjadi haram Bila seorang pria atau wanita tidak bermaksud akan menjalankan kewajiban-kewajiban sebagai suami istri, atau pria ingin menganiaya wanita atau sebaliknya wanita ingin memperolok-olokkan pasangannya saja maka haramlah yang bersangkutan itu menikah. Q.S. Al-Baqarah ayat 231 menyebutkan, “Jangan kamu nikahi mereka untuk memberi kemudharatan atau menganiaya mereka. Barang siapa berbuat demikian maka berarti di telah berbuat dzalim terhadap dirinya sendiri.” 5. Rukun dan Syarat Perkawinan Rukun dan syarat merupakan hal yang sangat penting dalam suatu perkawinan. Perkawinan dapat dikatakan sah apabila terpenuhi semua rukun dan syaratnya. Rukun merupakan unsur yang wajib dalam suatu akad, sedangkan syarat dijadikan sebagai sandaran sah atau tidak sahnya suatu akad. Karena itu,
24
rukun dan syarat dalam perkawinan dijadikan sebagai hal yang penting yang harus diperhatikan guna terlaksananya cita-cita mulia, yaitu mewujudkan rumah tangga sebagai suatu institusi yang suci.20 Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwa rukun perkawinan terdiri dari : a. Calon suami b. Calon istri c. Wali nikah d. Dua orang saksi e. Ijab qabul Pasal 7 Undang-Undang No.1 tahun 1974 menetapkan bahwa untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan oleh calon suami istri yang telah mencapai umur bagi calon suami sekurang-kurangnya 19 tahun dan bagi calon istri sekurang-kurangnya 16 tahun. Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin dari orang tua sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5) Undang-Undang No.1 Tahun 1974. Di samping itu, calon mempelai harus menyatakan dengan tegas bahwa mereka menyetujui perkawinan yang akan dilangsungkan tersebut. Di dalam Pasal 19 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam dijelaskan bahwa wali nikah merupakan salah satu rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya. Kemudian Pasal 20 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwa orang yang akan menjadi wali, harus memenuhi syarat-syarat sesuai dengan Hukum Islam, yakni : 20
Helmi Karim, 2002, Perkawinan di Bawah Umur, Probematika Hukum Islam Kontemporer, Pustaka Firdaus, Jakarta, hlm.75
25
a. Muslim b. Baligh c. Berakal sehat d. Laki-laki e. Adil (baik dalam beragama) Adapun orang-orang yang berhak menjadi wali menurut kebanyakan ulama adalah sebagai berikut21 : a. Ayah, kakek, dan seterusnya ke atas dari garis laki-laki b. Saudara laki-laki sekandung atau seayah c. Kemenakan laki-laki sekandung atau seayah d. Paman sekandung atau seayah e. Saudara sepupu laki-laki sekandung atau seayah f. Sultan sebagai wali hakim Dari macam-macam orang yang berhak menjadi wali tersebut di atas dapat dibedakan menjadi 3 macam wali, yakni22 : a. Wali Nasab b. Wali Sultan atau Wali Hakim c. Wali yang diangkat oleh mempelai perempuan atau Muhakam Pasal 21 ayat (2), (3), dan (4) menjelaskan bahwa apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali adalah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita. Apabila dalam satu kelompok 21
Soemiyati, op.cit, hlm.45
22
Ibid
26
sama derajat kekerabatannya maka yang paling berhak menjadi wali nikah ialah kerabat kandung dari kerabat yang hanya seayah. Apabila dalam satu kelompok derajat kekerabatannya sama-sama derajat kandung atau sama-sama derajat kerabat seayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali. Apabila wali nikah yang paling berhak urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu, atau sudah uzur, maka menurut Pasal 22 Kompilasi Hukum Islam hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah lain menurut derajat berikutnya. Kemudian dalam Pasal 23 Kompilasi Hukum Islam dijelaskan bahwa Wali Hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib, atau adhal atau enggan. Dalam hal wali adhal atau enggan maka wali hakim dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada Putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut. Disamping wali, dalam perkawinan juga diperlukan dua orang saksi. Peranan saksi sangat diperlukan untuk kemaslahatan kedua belah pihak apabila ada pihak ketiga yang meragukan sahnya perkawinan serta sebagai alat bukti untuk menghilangkan keragu-raguan tersebut. Pasal 25 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa syarat-syarat saksi dalam perkawinan adalah sebagai berikut: a. Berakal sehat b. Baligh c. Beragama Islam d. Dua orang laki-laki
27
e. Adil f. Mendengar dan memahami sighat akad nikah Berdasarkan Pasal 26 Kompilasi Hukum Islam Saksi harus hadir dan menyaksikan langsung akad nikah, serta harus menandatangani akta nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan. Dalam prosesi akad nikah terdiri dari Ijab dan Qabul. Ijab merupakan pernyataan dari pihak calon istri yang biasanya dikatakan oleh wali pihak calon istri yang maksudnya bersedia dinikahkan dengan calon suaminya. Qabul adalah pernyataan atau jawaban pihak calon suami bahwa ia menerima kesediaan calon istri menjadi istrinya23. Di samping rukun perkawinan, hal yang tidak kalah penting adalah syaratsyarat perkawinan. Perkawinan dapat dilangsungkan apabila kedua calon mempelai memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Syaratsyarat perkawinan dalam perundang-undangan di Indonesia diatur dalam UndangUndang No.1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. Pada dasarnya syarat-syarat tersebut meliputi syarat materiil dan syarat formil24. a. Syarat Materiil Syarat Materiil adalah syarat-syarat mengenai pribadi calon mempelai, yang telah diatur dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Pasal 6 sampai dengan Pasal 12, yakni : 1) Adanya persetujuan calon mempelai (Pasal 6 ayat (1)) ; 2) Adanya izin dari orang tua atau wali bagi calon mempelai yang belum berusia 21 tahun (Pasal 6 ayat (2), (3), (4), (5), (6)) ; 23 24
Ibid, hlm. 54 Asmin, 1986, Status Perkawinan Antar Agama, Dian Rakyat, Jakarta, hlm.22
28
3) Sudah memenuhi batas usia yaitu bagi calon mempelai pria telah berumur 19 tahun dan bagi calon mempelai wanita telah berusia minimal 16 tahun (Pasal 7 ayat (1)) ; 4) Tidak melanggar larangan perkawinan, baik larangan menurut agama maupun peraturan lain yang berlaku (Pasal 8) ; 5) Tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain (Pasal 9) ; 6) Apabila antara suami istri telah bercerai untuk kedua kalinya, tidak boleh kawin lagi sepanjang hukum agamanya dan kepercayaannya tidak menentukan lain (Pasal 10) ; 7) Tidak berada di dalam masa tunggu bagi janda yang akan menikah lagi (Pasal 4 ayat (1)) . b. Syarat Formil Syarat formil yaitu syarat-syarat mengenai formalitas atau tata cara sebelum dan pada saat dilangsungkan perkawinan. Syarat-syarat formil diatur dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 pasal 12 yang kemudian pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Syarat-syarat formil itu antara lain : 1) Memberitahukan kehendak dilangsungkannya perkawinan secara lisan maupun tulisan oleh calon mempelai atau orang tua atau walinya. Pemberitahuan memuat identitas dan disampaikan 10 (sepuluh) hari sebelum perkawinan dilangsungkan. (Pasal 4 dan 5 Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975) ;
29
2) Setelah semua persyaratan dipenuhi dan tidak ada halangan untuk melangsungkan perkawinan menurut Undang-Undang, maka perkawinan tersebut dimasukkan dalam buku daftar dan diumumkan. (Pasal 6, 7, 8 dan 9 Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975); 3) Setelah perkawinan dilangsungkan kedua mempelai harus menandatangani Akta Perkawinan yang dihadiri dua saksi dan Pegawai Pencatat Nikah. Sedangkan yang beragama Islam akta tersebut juga ditanda tangani oleh wali nikah. (Pasal 12 dan 13 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975); 4) Untuk memberikan kepastian hukum kepada kedua mempelai masingmasing diserahkan kutipan akta perkawinan sebagai alat bukti. 6. Akibat Perkawinan Perkawinan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan secara sah membawa konsekuensi serta akibat hukum, baik akibat hukum antara suami atau istri, anak, maupun harta benda dalam perkawinan. Berikut ini merupakan penjelasan lebih lanjut mengenai akibat hukum dari perkawinan sah : a) Timbulnya akibat hukum antara suami dan istri. Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat (Pasal 30 Undang-Undang No.1 Tahun 1974). Disamping itu, suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala
sesuatu
keperluan
hidup
berumah
tangga
sesuai
dengan
kemampuannya; istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya ; jika suami istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat
30
mengajukan gugatan kepada Pengadilan (Pasal 34 Undang-Undang No.1 Tahun 1974) b) Timbulnya harta benda dalam perkawinan. Suami istri yang terikat dalam perkawinan yang sah, akan menimbulkan akibat hukum pada harta benda, baik yang diperoleh sebelum perkawinan maupun selama perkawinan. Pengaturan terhadap harta kekayaan perkawinan tersebut selanjutnya diatur pada Pasal 35 sampai Pasal 37 Undang-Undang No.1 Tahun 1974. Timbulnya hubungan antara orang tua dan anak. Suami istri yang telah melangsungkan perkawinan, pastilah mendambakan kehadiran seorang anak untuk melanjutkan keturunannya. Apabila perkawinan dilakukan secara sah, maka hak-hak yang didapat oleh anak terhadap orangtua dapat diperoleh secara utuh, yakni hal-hal yang diatur dalam Pasal 45 sampai Pasal 49 Undang–Undang No. 1 Tahun 1974. Namun, apabila perkawinan dilaksanakan hanya secara agama saja, dan tidak dicatatkan pada institusi yang berwenang, maka suami dapat saja mengingkari perkawinan tersebut. Di samping itu, akibat hukum pada anak yang dilahirkan tersebut menjadi anak tidak sah. Menurut Mohd Idris Ramulyo dalam bukunya Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat, menjelaskan bahwa akibat hukum dari perkawinan yang sah adalah sebagai berikut25: a) Menjadi halal melakukan hubungan seksual dan bersenang-senang antara suami istri tersebut
25
Mohd Idris Ramulyo, op.cit, hlm.22
31
b) Mahar (mas kawin) yang diberikan oleh suami menjadi hak milik istri c) Timbulnya hak-hak dan kewajiban suami istri d) Suami menjadi Kepala Keluarga dan Istri menjadi Ibu Rumah Tangga e) Anak-anak yang dilahirkan dari hasil hubungan perkawinan itu menjadi anak yang sah f) Suami berkewajiban membiayai kehidupan istri beserta anak-anaknya g) Timbulnya larangan perkawinan karena hubungan semenda h) Bapak berhak menjadi wali nikah bagi anak perempuannya i) Bilamana salah satu pihak meninggal dunia, pihak lainnya berhak menjadi wali bagi anak-anak maupun harta bendanya j) Antara suami istri berhak saling waris-mewarisi, demikian pun antara anak-anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan dengan orang tuanya, dapat saling waris-mewarisi B. Tinjauan tentang Pernikahan Sirri Sejalan dengan berkembangnya zaman, pergeseran kultur lisan (oral) kepada kultur tertulis sebagai ciri masyarakat modern, menuntut dijadikannya akta sebagai bukti autentik. Saksi hidup tidak lagi bisa diandalkan, tidak saja karena bisa hilang dengan sebab kematian, tetapi juga karena manusia dapat mengalami kelupaan. Atas dasar itu diperlukan bukti yang abadi yaitu dalam bantuk akta. Dengan demikian, salah satu bentuk pembaharuan hukum kekeluargaan Islam adalah dimuatnya pencatatan perkawinan sebagai salah satu ketentuan perkawinan yang harus dipenuhi26. 26
Amiur Nurudin, 2006, Hukum Perdata Islam di Indoneisa (Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dan Fiqih, UU No.1 Tahun 1974 sampai KHI), Kencana Media Group, Jakarta, hlm 121
32
Istilah Sirri berasal dari bahasa arab sirra atau israr yang berarti rahasia. Nikah Sirri menurut arti kata adalah pernikahan yang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi atau rahasia27. Istilah nikah sirri atau nikah yang dirahasiakan memang dikenal di kalangan para ulama, paling tidak sejak masa Imam Malik bin Anas. Hanya saja nikah sirri yang dikenal pada masa dahulu berbeda pengertiannya dengan nikah sirri pada masa sekarang. Pada masa dahulu yang dimaksud dengan nikah sirri yaitu pernikahan yang memenuhi unsur-unsur atau rukun perkawinan dan syaratnya menurut syari’at, yaitu adanya mempelai lakilaki dan perempuan, adanya ijab qabul yang dilakukan oleh wali dengan mempelai laki-lai dan disaksikan oleh dua orang saksi, hanya saja saksi diminta untuk merahasiakan atau tidak memberitahukan terjadinya pernikahan terebut kepada khalayak ramai kepada masyarakat, dan dengan sendirinya tidak ada i’lanun-nikah (pengumuman perkawinan) dalam bentuk walimatul-ursy (pesta) atau dalam bentuk yang lain. Yang dipersoalkan adalah apakah pernikahan yang dirahasiakan, tidak diketahui oleh orang lain dan diumumkan kepada masyarakat dan tetangga sekitarnya sah atau tidak, karena nikahnya itu sendiri sudah memenuhi unsur-unsur dan syarat-syaratnya. Di antara para fiqh terdapat perbedaan pendapat memahami hal ini. Adapun nikah sirri (perkawinan yang tidak dicatatkan) yang dikenal oleh masyarakat Indonesia sekarang ini ialah pernikahan yang dilakukan oleh wali atau wakil wali dan disaksikan oleh para saksi, tetapi tidak dilakukan di hadapan Petugas Pencatat Nikah sebagai aparat resmi pemerintah atau perkawinan yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama
27
Mahmud Yunus, 1979, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Hadakarya Agung, Jakarta, hlm.176
33
bagi yang beragama Islam atau di Dinas Administrasi Kependudukan dan Pencatatan Sipil bagi yang tidak beragama Islam, sehingga dengan sendirinya tidak mempunyai Akta Nikah yang dikeluarkan oleh pemerintah. Perkawinan yang demikian di kalangan masyarakat dikenal dengan istilah nikah sirri. Nikah sirri yang dikenal masyarakat seperti yang disebutkan di atas muncul setelah diundangkannya Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 sebagai pelaksanaan Undang-Undang No.1 Tahun 1974. Dalam kedua peraturan tersebut disebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan selain harus dilakukan menurut ketentuan agama juga harus dicatatkan. Sehingga pernikahan sirri yang dimaksud di sini adalah suatu perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang tidak memenuhi Pasal 2 ayat (2) UU No.1 tahun 1974 dan tata cara perkawinan menurut PP No.9 Tahun 1975.
Dengan kata lain, Pernikahan sirri merupakan pernikahan yang tidak
memenuhi syarat administrasi yang telah diatur oleh negara, karena tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama dan tidak mempunyai Akta Nikah. Praktik perkawinan sirri yang kini merebak di masayarakat tidak lepas dari dari pengaruh tradisi Islam di Negara-negara Arab yang dilakukan pada masa setelah Nabi Muhammad dan sahabat-sahabatnya. Hanya saja, terdapat beberapa perbedaan dan bahkan penyimpangan terhadap apa yang dilakukan pada masyarakat di Indonesia sekarang. Istilah nikah sirri berkembang dan bahkan diIndonesiakan menjadi kawin bawah tangan, meski antara istilah nikah sirri dan kawin bawah tangan tidak selalu sama. Setidaknya ketidaksamaan itu adalah bila
34
nikah sirri identik dengan orang-orang (pelaku) Islam, sementara kawin bawah tangan bisa dilakukan siapa saja (berbagai agama)28. Nikah sirri yang terjadi di Indonesia ini tetap dipandang sah secara akad, asalkan terpenuhi rukun dan syaratnya, tetapi akibat yang timbul dari akad nikah sirri, lebih besar kemudaratannya daripada kemaslahatannya karena dapat menimbulkan dampak atau akibat hukum yang merugikan pada suami dan terutama pada istri. Akibat-akibat tersebut di antaranya29 : 1. Tidak adanya kekuatan hukum yang tetap terhadap legalitas perkawinan tersebut, sehingga apabila adanya hak-hak istrri yang dilanggar oleh suami, istrri tidak dapat menuntut hak-hak tersebut secara hukum. 2. Akad nikah yang dilakukan cenderung tidak dapat dibuktikan secara hukum dan suami isteri yang melaksanakan akad nikah sirri tidak dapat membuktikan bahwa keduanya merupakan pasangan yang legal di mata Hukum Islam maupun negara. Meskipun ada saksi, namun karena usia adalah terbatas, sehingga tidak bisa lagi menjadi saksi ketika diperlukan. Selain itu, kita bisa saja hidup berpindah-pindah ke tempat dan daerah yang lain, sehingga ketika diperlukan adanya bukti pernikahan tersebut, suami isteri akad nikah sirri tidak mungkin menghadirkan saksi tersebut. 3. Kepentingan-kepentingan suami isteri lainnya dalam menjalani kehidupan berumah tangga tidak dapat dilindungi;
28
Mardani, 2011, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, Graha Ilmu, Yogyakarta, hlm.17 29 Ali Uraidy, “ Perkawinan Sirri dan Akibat Hukumnya Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974”, Jurnal Ilmiah Fenomena, Vol.X , Nomor 2, 2012, hlm.990
35
4. Karena tidak ada bukti adanya perkawinan tersebut, kepentingan seperti terkait dengan pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK), Pasport, Akta Kelahiran anak, ataupun berkaitan dengan politik yaitu berhaknya memberikan suara atau dipilih pada pemilihan umum tidak dapat dilayani. Semua itu karena tidak adanya bukti pernikahan berupa Akta Nikah atau Buku Nikah yang akhirnya tidak dapat membuat KTP dan Kartu Keluarga, sementara untuk membuat Akta Kelahiran atau passport diharuskan adanya KTP, KK dan Akta Nikah.. 5. Akad nikah sirri cenderung membuat salah satu pasangan, khususnya suami
lebih
leluasa
untuk
meninggalkan
kewajibannya,
bahkan
memperlakukan isterinya dengan kekerasan; 6. Akad nikah sirri berakibat mengganggu kemaslahatan agama, ajaran agama cenderung dipraktikkan secara kacau. Kekacauan tersebut dapat digambarkan bahwa apabila suatu akad nikah tidak dicatat secara resmi di hadapan pejabat yang berwenang yakni Pegawai Pencatat Nikah, maka akad nikah seperti ini cenderung tidak dapat dikontrol. Akhirnya dapat membuka peluang pada suami untuk melakukan akad nikah kembali dengan perempuan lain tanpa terlebih dahulu mendapatkan persetujuan secara resmi dari isteri pertama melalui proses persidangan. Perilaku seperti ini cenderung akan terulang kembali sampai akhirnya suami pun berpotensi memiliki isteri melebihi dari ketentuan agama. Akhirnya kemaslahatan agama juga ikut terganggu dengan perilaku seperti yang digambarkan.
36
7. Akad nikah sirri dapat berakibat mempengaruhi kemaslahatan psikologis isteri dan anak, mereka pun merasa tidak nyaman dan tidak tenang. Terlebih ketika anak memasuki usia sekolah dan ketika didaftarkan, setiap lembaga pendidikan selalu mensyaratkan kepada pendaftar (orang tua anak) salah satunya adalah Akta Kelahiran anak. Syarat untuk membuat Akta Kelahiran anak adalah buku nikah dan orang yang memiliki buku nikah adalah orang yang ketika melangsungkan akad nikah mencatatkan pernikahannya. Apabila tidak mempunyai Buku Nikah atau Akta Nikah, maka Akta Kelahiran pun tidak dapat diberikan karena bukti hukum untuk menyatakan bahwa seorang anak tersebut adalah anak sah pasangan suami istri yang ingin membuat Akta Kelahiran anaknya tersebut tidak dimiliki. 8. Akad nikah sirri dapat berakibat mempengaruhi kemaslahatan akal. Dikatakan demikian karena dengan adanya rasa tidak nyaman bahkan hilangnya rasa percaya diri disebabkan orang tuanya tidak memiliki buku nikah, anak pun tidak dapat berpikir dengan baik. Artinya dengan kondisi psikologis yang tidak nyaman karena merasa keberadaannya sebagai aib dalam kehidupan manusia sehingga dapat berakibat hilangnya rasa percaya diri. Anak itu pun akhirnya mulai menghindar untuk bergaul dan lebih memilih untuk mengurung diri di rumah. 9. Akad nikah sirri dapat berakibat mempengaruhi kemaslahatan keturunan. Dikatakan demikian karena dengan tidak tercatatnya akad nikah, anak yang dilahirkan pun tidak memiliki identitas yang jelas dan asal usul yang
37
dapat dibuktikan secara hukum, sehingga cenderung dianggap orang sebagai anak hasil dari hubungan yang tidak sah. 10. Akad nikah sirri dapat berakibat mempengaruhi kemaslahatan harta. Disebut demikian karena dengan tidak jelasnya identitas pernikahan dan pernikahan pun tidak dapat dibuktikan melalui buku nikah, maka identitas anak yang dilahirkan juga tidak jelas, sehingga ketika orang tuanya meninggal, anak mendapatkan kesulitan untuk mendapatkan harta waris dari orang tuanya, termasuk pula isteri akibat akad nikah sirri ini, dia pun mendapatkan kesulitan untuk menyatakan dirinya sebagai ahli waris yang sah, baik sebagai isteri pertama atau sebagai isteri yang kedua dan seterusnya. Itulah beberapa akibat dari akad nikah secara sirri. Ternyata, walaupun akad nikah sirri dipandang sebagai akad nikah yang sah, asalkan terpenuhi rukun dan syaratnya, tetapi akibat yang timbul dari akad nikah sirri, lebih besar kemudaratannya daripada kemaslahatannya seperti yang salah satu kaidah fikih yang Artinya, “Menolak kemudaratan lebih diutamakan daripada mengambil kemaslahatan”. C. Tinjauan Umum Itsbat Nikah 1. Pengertian Itsbat Nikah Itsbat Nikah merupakan gabungan dua kata Itsbat dan Nikah. Itsbat mempunyai makna penetapan atau pembuktian30, sedangkan kata nikah menurut Undang-Undang No.1 tahun 1974 mempunyai arti ikatan lahir dan batin antara 30
Ahmad Warson Munawir, 2007, Kamus Al-Munawir Arab-Indonesia, Pustaka Progresif, Surabaya, hlm.145
38
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Dari dua pengertian di atas dapat diartikan bahwa Itsbat Nikah adalah penetapan oleh pengadilan atas ikatan akad yang membolehkan terjadinya hubungan suami istri. Hal ini juga dirumuskan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa itsbat nikah adalah penetapan tentang kebenaran (keabsahan) nikah. Pengertian lain dari Itsbat Nikah adalah suatu penetapan, penentuan, pembuktian, atau pengabsahan Pengadilan terhadap pernikahan yang dilakukan dengan alasan-alasan tertentu31. Singkatnya, Itsbat Nikah adalah penetapan oleh pengadilan dimana orang yang mengajukan sudah melakukan perkawinan yang sah, tetapi tidak mempunyai akta nikah. Di dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 64 berbunyi, “Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang dijalankan menurut peraturan-peraturan lama, adalah sah”. Dari ketentuan ini maka perkawinan yang ada sebelum Undang-Undang ini berlaku adalah sah. Begitu juga masalah itsbat nikah ini sudah ada dan melembaga dalam himpunan penetapan dan putusan Pengadilan Agama tahun 50-an32. Kemudian setelah diundangkannya Undang-Undang No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada tanggal 29 Desember 1989 yang menggantikan segala landasan hukum pengadilan agama sebelumnya, memang lembaga itsbat nikah tidak dimekarkan tetapi tidak berarti hilang. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 49 ayat (2) bidang perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a 31
32
Abdul Ghani Abdullaah, 1991, Himpunan Perundang-Undangan dan Peraturan Peradilan Agama, Intermasa, Jakarta ,hlm 187 Ibid, hlm.99
39
ialah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan Undang-Undang mengenai perkawinan yang berlaku, sedangkan dalam penjelasan pasal 49 ayat (2) tersebut dikatakan bahwa salah satu bidang perkawinan yang diatur dalam UndangUndang No. 1 Tahun 1974 adalah persyaratan tentang sahnya perkawinan menurut peraturan yang lain. Sehingga lembaga itsbat nikah atau pengesahan nikah yang ditampung oleh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo Undang-Undang No.3 Tahun 2006 jo. Undang-Undang No.50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, terbatas pada alasan perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang No.1 Tahun 1974, sedangkan Itsbat Nikah atau Pengesahan Nikah yang karena alasan-alasan lain tidak dimuat dan tidak ada pula penjelasan-penjelasan tentang ketidak bolehannya. 2. Alasan diajukannya Itsbat Nikah Kompilasi Hukum Islam menentukan bahwa perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah, kemudian dijelaskan pula bahwa dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah dapat diajukan Itsbat Nikahnya ke Pengadilan Agama. Alasan-alasan dimungkinkannya permohonan Itsbat Nikah diatur pula dalam pasal 7 Kompilasi Hukum Islam, yakni : a. Dalam rangka penyelesaian perceraian; b. Hilangnya akta nikah; c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;
40
d. Perkawinan terjadi sebelum berlakunya UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan; e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU No. 1/1974. 3. Syarat dan Prosedur Itsbat Nikah Perkawinan yang dilakukan diluar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama tidak mempunyai kekuatan hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 6 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam. Kemudian di dalam pasal 56 juga dijelaskan mengenai perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga, keempat, tanpa izin dari Pengadilan Agama tidak mempunyai kekuatan hukum. Berkaitan dengan perkara kewarisan, dalam hal terjadinya pernikahan sebelum adanya Undang- Undang No.1 Tahun 1974, bila istri tidak mempunyai Akta Nikah, maka untuk mengurus segala sesuatu yang menyangkut kewarisan haruslah ada buku nikah, untuk itu istri harus mengajukan Itsbat Nikah kepada Pengadilan Agama. Itsbat Nikah untuk perceraian bisa diputus bersama-sama, sepanjang para pihak dapat membuktikan tentang keadaan perkawinannnya dengan terlebih dahulu memeriksa Itsbat Nikah, baru kemudian diperiksa dalildalil gugatan perceraian33. Oleh karena itu Itsbat Nikah patut diperkirakan menimbulkan efek yang lebih luas, misalnya seorang istri yang mohon diitsbatkan pernikahannya dengan almarhum suaminya, maka patut diduga bahwa permohonan tersebut mempunyai tujuan lain, seperti menuntut harta bersama, harta warisan, dan sebagainya. Dalam 33
Mahkamah Agung RI, 2006, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, Buku II Teknisi Administrasi dan Teknisi Lingkungan Peradilan Agama, hlm.30
41
hal ini, pengajuan Itsbat Nikah ke Pengadilan Agama haruslah berbentuk surat gugatan contentius dengan mendudukan ahli waris almarhum suaminya yang dapat diperkirakan berkeberatan dengan adanya Itsbat Nikah tersebut sebagai pihak Tergugat34. Mengenai surat permohonan ialah suatu permohonan yang di dalamnya berisi tuntutan hak perdata oleh satu pihak yang berkepentingan terhadap suatu hal yang tidak mengandung sengketa, sehingga badan peradilan yang mengadili dapat dianggap sebagai suatu proses peradilan yang bukan sebenarnya. Dalam perkara gugatan terdapat dua pihak yang saling berhadapan (penggugat dan tergugat), sedangkan dalam perkara permohonan hanya ada satu pihak saja (pemohon). Namun demikian di Pengadilan Agama ada permohonan yang perkaranya mengandung sengketa, sehingga di dalamnya ada dua pihak yang disebut pemohon dan termohon, yaitu dalam perkara permohonan izin ikrar talak dan permohonan izin beristri lebih dari seorang. Pada prinsipnya semua gugatan atau permohonan harus dibuat secara tertulis, bagi penggugat/ pemohon yang tidak dapat membaca dan menulis, maka gugatan/permohonan diajukan secara lisan kepada Ketua Pengadilan Agama. Ketua dapat menyuruh kepada hakim untuk mencatat segala sesuatu yang dikemukakan oleh penggugat/ pemohon maka gugatan/ permohonan tersebut ditandatangani oleh ketua/hakim yang menerimanya itu berdasarkan ketentuan pasal 114 ayat (1) R.Bg atau pasal 120 HIR. Gugatan atau permohonan yang dibuat secara tertulis, ditandatangani oleh Penggugat atau Pemohon (Pasal 142
34
Ibid
42
ayat 1 R.Bg/118 ayat 1 HIR). Jika penggugat/ pemohon telah menunjuk kuasa khusus maka surat gugatan/ permohonan ditandatangani oleh kuasa hukumnya (Pasal 147 ayat 1 R.Bg123 HIR). Surat gugatan atau permohonan dibuat rangkap enam, masing-masing satu rangkap untuk Penggugat atau Pemohon, satu rangkap untuk Tergugat atau Termohon atau menurut kebutuhan dan empat rangkap untuk majelis hakim yang memeriksanya. Apabila surat gugatan hanya dibuat satu rangkap,maka harus dibuat salinannya sejumlah yang diperlukan dan dilegalisasi panitera. Adapun isi dari surat gugatan/ permohonan, yaitu ; a. Identitas para pihak (pemohon dan termohon) 1) Nama (beserta bin/ binti dan aliasnya) 2) Umur 3) Agama 4) Pekerjaan 5) Tempat tinggal. Bagi pihak yang tinggalnya tidak diketahui hendaknya ditulis, “dahulu bertempat di......., tetapi sekarang tidak diketahui tempat tinggalnya di Indonesia”. 6) Kewarganegaraan (jika diperlukan) b. Posita, yaitu penjelasan tentang keadaan/ peristiwa dan penjelasan yang berhubungan dengan hukum yang dijadikan dasar/ alasan gugat. Posita berisi : 1) Alasan yang berdasarkan fakta/ peristiwa hukum
43
2) Alasan yang berdasarkan hukum, tetapi hal ini bukan merupakan keharusan. Hakimlah yang harus melengkapinya dalam keputusan nanti. c. Petitum, yaitu tuntutan yang diminta oleh pemohon agar dikabulkan oleh hakim35. Surat permohonan yang telah dibuat dan ditandatangani diajukan ke Kepaniteraan Pengadilan Agama. Surat gugatan diajukan pada Sub Kepaniteraan Gugatan, sedang permohonan pada Sub Kepaniteraan Permohonan. Kemudian calon pemohon mengahadap ke Meja 136. a. Meja I : 1) Menerima surat permohonan dan salinannya 2) Menaksir panjar biaya 3) Membuat SKUM (Surat Kuasa Untuk Membayar) b. Kasir : 1) Menerima uang panjar dan pembuktian 2) Menandatangani SKUM 3) Memberi nomor pada SKUM dan tanda lunas c. Meja II : 1) Mendaftar gugaran dalam register 2) Memberi nomor perkara pada surat gugatn sesuai nomor SKUM 3) Menyerahan kembali kepada penggugat satu helai surat gugat
35
36
Mukti Arto, 1996, Praktek Perkara Perdata Pada Peradilan Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm.39 Ibid, hlm.56
44
4) Mengatur berkas perkara dan menyerahkan kepada ketua melalui wakil Penitera dan panitera d. Ketua PA : 1) Mempelajari berkas 2) Membuat PMH (Penetapan Majelis Hakim) e. Panitera : 1) Menunjuk panitera sidang 2) Menyerahkan berkas kepada Majelis f. Majelis hakim : 1) Membuat PHS (Penetapan hari sidang dan perintah memanggil para pihak oleh jurusita 2) Menyidangkan perkara 3) Memberikan kepada meja II dan kasir yang berkaian dengan tugas mereka g. Meja III : 1) Menerima berkas yang telah diminta dari majelis hakim 2) Memberikan isi putusan kepada pihak yang tidak hadir lewat jurusita 3) Memberitahuan kepada meja II dan kasir yang bertalian dengan tugas mereka 4) Menetapkan kekuatan hukum h. Menyerahkan salinan kepada Penggugat dan Tergugat dan institusi terkait. Menyerahkan berkas yang telah dijahit kepada Panitera Muda Hukum i. Panitera Muda Hukum :
45
1) Mendata perkara 2) Melaporkan perkara 3) Mengarsipkan berkas perkara Pengadilan Agama merupakan lembaga peradilan yang independen dan kedudukannya sejajar dengan peradilan lain, seperti peradilan umum, peradilan militer, peradilan tata usaha negara, dan peradilan negeri. Hal ini dibuktikan dengan terbitnya Undang-Undang No.50 Tahun 2009 jo Undang-Undang No.3 Tahun 2006 jo Undang-Undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Adapun Prosedur Itsbat Nikah ke Pengadilan Agama yang dipaparkan oleh Yayan Sofyan sebagai berikut :37 a. Suami dan/atau istri, janda atau duda, anak-anak, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu (pemohon) datang ke kantor Pengadilan di wilayah kekuasaan relatif Pengadilan Agama tersebut (wilayah
tempat
tinggalnya)
dengan
membawa
surat-surat
yang
diperlukan. Misalnya surat keterangan dari rukun tetangga (RT), rukun warga (RW), lurah/ kepala desa setempat atau surat keterangan kehilangan Akta Nikah dari kepolisian bila akta nikah hilang. b. Mengajukan permohonan baik secara tertulis maupun secara lisan kepada Ketua Pengadilan Agama dengan menyampaikan sebab-sebab pengajuan permohonan. Permohonan harus memuat : a) identitas pihak (Pemohon/ para Pemohon) b) posita (alasan-alasan/ dalil yang mendasari diajukannya permohonan ) 37
Yayan Sofyan, “Itsbat Nikah bagi Perkawinan yang Tidak Dicatat Setelah Diberlakukan UU No 1 Tahun 1974 di Pengadilan Agama Jakarta Selatan”, Ahkam, volume IV, Nomor 8, 2002, hlm.76
46
c) petitum (yaitu hal yang dimohon putusannya dari pengadilan) c. Membayar uang muka biaya perkara. Bagi yang tidak mampu membayar uang perkara, Pengadilan Agama bisa mengajukan prodeo (pembebasan biaya). d. Membawa saksi-saksi yang diperlukan, yaitu orang yag bertindak sebagai wali dalam pernikahan yang telah terjadi, petugas atau orang yang menikahkan, para saksi perkawinan, orang-orang yang mengetahui adanya perkawinan itu. 4. Akibat Hukum Itsbat Nikah Apabila permohonan Itsbat Nikah sudah dikabulkan, maka secara otomatis yang berkepntingan akan mendapatkan bukti otentik tentang pernikahan mereka yang bisa dijadikan sebagai dasar untuk menyelesaikan persoalan di Pengadilan Agama nantinya, Itsbat Nikah ini berfungsi sebagai kepastian hukum, ketertiban hukum, dan perlindungan hukum atas perkawinan itu sendiri, dengan demikian maka
pencatatan
perkawinan
merupakan
persyaratan
formil
syaratnya
perkawinan, persyaratan formil ini bersifat prosedural dan administratif. Dengan adanya pencatatan perkawinan maka eksistensi perkaiwnan dianggap sah pabila telah memenuhi dua syarat, yakni : a. Telah memenuhi kententuan hukum materiil, yaitu telah dilakukan dengan memenuhi syarat dan rukun menurut hukum Islam. b. Telah memenuhi ketentuan hukum formil, yaitu telah dicatat pada pegawai pencatat nikah yang berwenang.
47
Sebaliknya perkawinan yang tidak dicatatkan dan tidak pula diminta Itsbat Nikahnya maka kedudukan perkawinan itu adalah38 : a. Tidak mempunyai kekuatan hukum karena dianggap tidak pernah ada perkawinan sehingga tidak menimbulkan akibat hukum, b. Tidak dapat dijadikan alasan untuk membatalkan perkaiwnan yang baru sebagimana diatur dalam pasal 24 UU No.1 Tahun 1974 c. Tidak dapat dijadikan dasar hukum menjatuhkan pidana berdasarkan ketentuan pasal 219 KUHP d. Tidak dapat dijadikan dasar untuk menuntut hak oleh pihak wanita sebagai isteri dan juga anak-anaknya. D. Pencatatan Perkawinan 1. Tinjauan Umum Pencatatan Perkawinan Pencatatan perkawinan dan aktanya, merupakan susuatu yang penting dalam Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Hal ini didasari oleh Firman Allaah dalam Surat Al-Baqarah ayat 282, yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaknya kamu menuliskannya...”. Para faqih dahulu tidak ada yang menjadikan dasar pertimbangan dalam perkawinan mengenai pencatatan dan aktanya, sehingga mereka menganggap bahwa hal itu tidak penting. Namun, bila diperhatikan perkembangan ilmu hukum saat ini pencatatan perkawinan dan aktanya mempunyai kemaslahatan serta sejalan dengan kaidah fiqh yang mengungkapkan Darulmafasiu muqoddamun ala jahabil mashlih (kaidah yang 38
Ahmad Mukti Arto, “Masalah Pencatatan Perkawinan dan Sahnya Perkawinan”, Mimbar Hukum , volume VII, Nomor 28, 1996, hlm 51-52
48
artinya menolak kemudharatan lebih didahulukan daripada memperoleh kemaslahatan). Dengan demikian, pelaksanaan peraturan pemerintah yang mengatur tentang pencatatan dan pembuktian perkawinan dengan Akta Nikah merupakan tuntutan dari perkembangan hukum dalam mewujudkan kemaslahatan (maslahat mursalah) di negara Republik Indonesia. Pemikiran itu didasari oleh asas yang kuat, yaitu qiyas dari ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan mu’amalah (Surat Al-Baqarah ayat 282) dan maslahat mursalah dari perwujudan dan kemaslahatan. Ayat di atas dikenal oleh para ulama dengan nama ayat al-Mudayanah (ayat utang-piutang).
Ayat
ini
berisi
tentang
penulisan
utang
piutang
dan
mempersaksikannya di hadapan pihak ketiga yang dipercaya/notaris, sambil menekankan perlunya menulis utang walaupun sendikit, disertai dengan jumlah dan ketetapan waktunya39. Mengenai ayat ini, ulama berbeda pendapat tentang hukum pencatatan tersebut. Sebagian ulama mengatakan bahwa pencatatan tersebut huumnya tidak wajib karena ia hanya bersifat anjuran. Hal ini menurut Quraish Shihab berdasarkan praktik para sahabat Nabi ketika itu, keadaan kaum muslimin ketika turunnya ayat ini sangat langka yang memiliki kepandaian tulis menulis, maka jika perintah tersebut bersifat wajib tentunya akan sangat memberatkan. Namun demikian ayat ini mengisyaratkan perlunya belajar tulis menulis, karena dalam hidup seorang dapat mengalami kebutuhan pinjam dan meminjamkan. Hal ini diisyaratkan oleh penggunakaan kata “idzaa” (apabila) pada awal pengalan ayat yang lazim digunakan untuk menunjukkan kapastian 39
M. Quraish Shihab, 2002, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Lentera Hati, Jakarta, hlm.562
49
akan terjadinya sesuatu40. Berdasarkan pendapat Quraish Shihab tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada kondisi saat ini dimana kepandaian tulis menulis sudah banyak, serta penggunaan pencatatan sebagai salah satu bukti yang diterima di mata hukum, maka pencatatan tersebut hukumnya menjadi wajib. Setiap perkawinan tentulah bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadah, dan rahmah. Oleh karena itu, untuk mewujudkan keluarga yang sakinah, mawadah, dan rahmah setiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undanagan yang berlaku, sebagaimana di sebutkan di dalam KHI tentang pencatatan perkawinan, yakni : a) Pasal 5 ayat (1) “Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.” b) Pasal 5 ayat (2) pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) di lakukan oleh pegawai pencatat nikah sebagaimana yang diatur dalam UndangUndang No.22 tahun 1946 jo Undang-Undang No.32 Tahun 1954 c) Pasal 6 menjelaskan mengenai teknik pelaksanaannya, yakni : 1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan pegawai pencatat nikah. 2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan pegawai pencatat nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. Dari beberapa ketentuan yang telah dikemukakan, terlihat bahwa pencatatan perkawinan merupakan persyaratan formil sahnya perkawinan. Persyaratan ini
40
Ibid, hlm.564
50
bersifat prosedural dan administratif. Sejalan dengan hal ini, A.Mukti Arto menjelaskan bahwa suatu perkawinan dianggap sah bila memenuhi dua persyaratan41, yakni: a. Memenuhi ketentuan hukum materiiil, dilakukan dengan memenuhi syarat dan rukum menurut hukum Islam b. Memenuhi ketentuan hukum formil, yaitu telah dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah yang berwenang. Bentuk perkawinan yang hanya memenuhi persyaratan materiil, dianggap tidak pernah ada atau tidak diakui, sedangkan perkawinan yang hanya memenuhi syarat formil saja, dapat dibatalkan 42 . Dengan demikian, perkawinan baru dianggap sempurna, jika telah memenuhi syarat dan rukum hukum Islam dan telah dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah yang berwenang. Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Hal ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui perundang-undangan untuk melindungi martabat dan kesucian (mitsaqon galidzon) perkawinan, dan lebih khusus lagi bagi perempuan dalam kehiduapan rumah tangga43. Bukti perkawinan yang telah dicatatkan adalah berupa Akta Nikah yang dapat dijadikan bukti otentik, bila suatu waktu di dalam perkawinan terjadi masalah. Ahmad Rofiq di dalam bukunya berjudul “Hukum Islam di Indonesia” berpendapat bahwa setidaknya ada dua manfaat dari pencatatan perkawinan yaitu manfaat represif dan manfaat preventif. Manfaat represif dari pencatatan
41
Mukti Arto, Op.cit, hlm 40 Iskandar Ritonga, 1999, Hak-hak wanita dalam Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, Nuansa Madani , Jakarta, hlm. 64-65 43 Ahmad Rofiq, 2003, Hukum Islam di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.107 42
51
perkawinan adalah terbentuknya kesempatan itsbat (penetapan) bagi suami istri yang karena suatu hal perkawinannya tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah (pasal 7 ayat 2 dan 3 Kompilasi Hukum Islam). Sedangkan manfaat preventif dari pencatatan perkawinan ialah untuk menanggulangi agar tidak terjadi kekurangan atau penyimpangan rukun dan syarat-syarat perkawinan bak menurut hukum agama maupun hukum perundang-undangan, dengan ini dapat dihindari pelanggar terhadap kompilasi relatif pegawai pencatat perkawinan, atau menghindari terjadinya pemalsuan (penyimpangan hukum), seperti identitas calon mempelai, status pekawinan, perbedaan agama, dan usia calon mempelai tersebut44. 2. Tinjauan Mengenai Kantor Urusan Agama (KUA) Kantor Urusan Agama atau lebih dikenal dengan KUA adalah unit pelaksana teknis Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam yang bertugas melaksanakan sebagian tugas Kantor Kementrian Agama Kabupaten/ Kota di bidang urusan Agama Islam (Pasal 1 Peraturan Mentri Agama No 39 Tahun 2012). KUA merupakan unit kerja terdepan Kementrian Agama, karena KUA secara langsung berhadapan dengan masyarakat, sehingga wajar bila keberadaan KUA sangat penting seiring keberadaan Kementrian Agama. Fakta sejarah menunjukkan bahwa kelahiran KUA hanya berselang sepuluh bulan dari kelahiran Kemnetrian Agama, tepatnya tanggal 21 November 1946. KUA berkedudukan di setiap kecamatan, yang tugasnya telah diatur dalam Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung RI No. 39 Tahun 2012, yakni :
44
Ibid, hlm.112
52
a. Pelaksana pelayanan, pengawasan pencatatan, dan pelaporan nikah dan rujuk b. Penyusunan statistik, dokumentasi, dan pengelolaan sistem informasi manejemen KUA c. Pelaksanaan tata usaha dan rumah tangga KUA d. Pelayanan bimbingan keluarga sakinah e. Pelayanan bimbingan kemasjidan f. Pelayanan bimbingan pembinaan syariah g. Penyelenggaraan fungsi lain di bidang agama Islam yang ditugaskan oleh Kepala Kantor Kementrian Agama Kabupaten/Kota Mengenai tugas KUA yang pertama, yakni pelayanan, pengawasan, pencatatan dan pelaporan nikah dan rujuk, maka sesuai dengan Ketentuan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa mereka yang melaksanakan perkawinan menurut ketentuan agama Islam, pencatatannya dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) di Kantor Urusan Agama Kecamatan. Pencatatan perkawinan tersebut dilakukan dengan melakukan penelitian yang seksama agar terpenuhi baik ketentuan perundang-undangan maupun kaidah munakahat, sehingga diperoleh data yang akurat. Tugas pelayanan nikah dan rujuk oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama adalah sebagai berikut :
53
a. Menerima
informasi/pelaporan
dari
masing-masing
pihak
yang
berkepentingan melakukan pernikahan (calon suami, calon istri, dan wali) dan mencatatnya dalam buku model N10. b. Melakukan penelitian awal tentang status dan keabsahan data masingmasing pihak, baik berdasarkan surat-surat keterangan yang dikeluarkan kepala desa/lurah dan institusi lainnya maupun berdasarkan wawancara langsung. c. Memberikan penasihatan kepada masing-maisng pihak tentang hal-hal yang sebaiknya dilakukan. Misalnya tentang hak dan kewajiban suamiistri, serta tentang perlunya memperoleh imunisasi TT dari puskesmas. d. Mengatur mereka ke KUA kecamatan untuk melaporkan rencana pernikahan, sekurang-kurangnya sepuluh hari sebelum pelaksanaan pernikahan. e. Mendampingi PPN dalam mengawasi pelaksanaan akad nikah baik yang dilakukan di balai nikah maupun di luar balai nikah. f. Melakukan sebagaimana tersebut pada huruf a sampai dengan huruf e mereka yang melaporkan akan melakukan rujuk. Berdasarkan KMA nomor 517 tahun 2001 tentang Penataan Organisasi Kantor Urusan Agama selain memiliki tugas tersebut di atas, Kantor Urusan Agama juga mempunyai fungsi melaksanakan kegiatan dengan potensi organisasi sebagai berikut :
54
a. Menyelenggarakan statistik dan dokumentasi. Menyelenggarakan kegiatan surat menyurat, pengurusan surat, kearsipan, pengetikan, dan rumah tangga Kantor Urusan Agama. b. Melaksanakan pencatatan Nikah dan Rujuk, mengurus dan membina masjid, zakat, wakaf, baitul maal dan ibadah sosial, kependudukan dan pengembangan keluarga sakinah sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggara Haji berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. KUA adalah satu-satunya lembaga pemerintah yang berwenang melakukan pencatatan pernikahan dikalangan umat islam. Artinya eksistensi KUA tidak semata arena pemenuhan tuntutan birokrasi tetapi secara subtansial bertanggung jawab penuh terhadap pelaksanaan keabsahan sebuah perkawinan. 3. Tinjauan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Sejarah berdirinya Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, sebenarnya merupakan kelanjutan dari lembaga catatan sipil pada zaman Belanda yang dikenal dengan nama “Burgerlike Stand” atau dikenal dengan singkatan B.S dan mengandung arti suatu lembaga yang ditugaskan untuk memelihara daftar-daftar atau catatan-catatan guna pembuktian status atau peristiwa-peristiwa penting bagi warga Negara, seperti kelahiran, perkawinan, dan kematian45. Undang-Undang No.23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, menyatakan bahwa pencatatn sipil adalah pencatatan peristiwa penting yang
45
Subekti dan R.Tjtrosudibro, 1979, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm.22
55
dialami oleh seseorang dalam register pencatatan sipil pada institusi pelaksana. Di dalam Undang-Undang tersebut juga menjelaskan bahwa penyelenggaraan pencatatan sipil di daerah merupakan tanggung jawab Gubernur sebagai Kepala Pemerintah provinsi dan Bupati/walikota sebagai kepala daerah pemerintah Kabupaten/Kota. Adapun kewajiban dan tanggung jawab penyelenggaraan urusan pencatatan sipil yang dilakukan oleh gubernur mempunyai kewenangan yaitu pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil. Tanggung jawab penyelenggaraan pencatatan sipil diselenggarakan pemerintah kabupaten/ kota dilakukan oleh bupati/walikota dengan kewenangannya membentuk institusi pelaksana tugas dan fungsinya di bidang administrasi pendudukan, instanis pelaksana berkewajiban : a. Mendaftar peristiwa kependudukan dan mencatat peristiwa penting b. Memberikan pelayanan sama dan profesional kepada setiap penduduk atas pelaporan peristiwa kepandudukan dan peristiwa penting c. Menerbitkan dokumen kependudukan d. Mendokumentasikan hasil pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil e. Menjalin kerahasiaan dan keamanan data atas peristiwa kependudukan dan peristiwa penting f. Melakukan verivikasi dan validasi data dan informasi yang disampaikan oleh penduduk dalam pelayanan pendaftaran penduduk dan catatan sipil. Ketentuan mengenai catatan sipil juga diatur dalam Keputusun Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 12 tahun 1983. Dimana, Keppres tersebut
56
menjelaskan bahwa tanggung jawab dan kewenangan Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil adalah : a. Menyelenggarakan pencatatan dan penerbitan Kutipan Akta Kelahiran, Akta Kematian, Akta Perkawinan dan Akta perceraian bagi mereka yang bukan beragama Islam, Akta pengakuan, dan Akta pengesahan anak b. Melakukan penyuluhan dan pengembangan kegiatan catatan sipil c. Penyediaan bahan dalam rangka perumusan kebijaksanaan dibidang kependudukan/ kewarganegaraan. Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil mempunyai tugas dalam hal pendaftaran peristiwa penting. Peristiwa penting yang dimaksud adalah meliputi kelahiran, perkawinan, perceraian, kematian, pengakuan anak, pengesahan anak, dan ganti nama. Pendaftaran ini diperlukan guna memperoleh suatu bukti diri dalam kedudukan hukum, supaya mudah mendapatkan kepastian tentang kejadian-kejadian tersebut. Di samping itu, juga digunakan sebagi bukti apabila ada pihak ketiga yang mempunyai kepentingan.
57
BAB III METODE PENELITIAN
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, dengan tujuan untuk mempelajari gejala hukum tertentu melalui analisis. Selain itu, juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut, kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan
46
. Penelitian hukum merupakan suatu proses dalam rangka
mendapatkan data yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan, sehingga di dalam proses tersebut diperlukan langkah atau tahapan tertentu secara berurutan agar pelaksananaan penelitian hukum dapat diselesaikan. Proses demikian berlaku untuk penelitian oleh perorangan maupun kelompok, baik normatif maupun penelitian hukum empiris47. Metode penelitian merupakan tata cara tertentu untuk melakukan prosedur penelitian sehingga dapat memahami obyek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Metode penelitian digunakan sebagai pedoman dalam mengorganisasikan serta mengintegrasikan penelitian, sehingga metode penelitian merupakan unsur yang mutlak harus ada dalam suatu penelitian ilmiah. Penelitian ini dilakukan secara metodologis, sistematis, dan konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode/cara tertentu, sistematis adalah
46 47
Soerjono Soekanto, 1996, Pengantar Penelitian Hukum, UI Pres, Jakarta, hlm 43 Bambang Waluyo, 1996, Penelitian Hukum dalam Praktik, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.21
58
berdasarkan suatu sistem, dan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu. A. Bahan atau Materi Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik
48
. Secara
deskriptif artinya penelitian ini memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan, atau gejala lainnya 49 . Metode deskriptif ini dimaksudkan untuk memberi gambaran secara jelas, riil, serta teliti mengenai objek dari suatu penelitian dengan menguraikan hal-hal yang berkaitan dengan koordiansi dan sinkronisasi antara Pengadilan Agama, Kantor Urusan Agama, dan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Dalam penelitian ini, deskripsi digunakan untuk menjelaskan koordinasi dan sinkronisasi antara Pengadilan Agama, Kantor Urusan Agama, dan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil dalam rangka melindungi status anak dalam perkawinan sirri, serta untuk mengetahui mengenai dasar pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan itsbat nikah pasca dilaksanakannya perkawinan sah dalam rangka menentukan status anak akibat perkawinan sirri. Analitik, artinya penelitian ini menganalisis unsurunsur pada Penetapan Pengadilan Agama Sleman No:32/Pdt.P/2012/PA Smn berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan pendapat para ahli di bidangnya.
48 49
Lexy J. Meleong, 1999, Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, hlm.198 Soerjono Soekanto, 1996, Pengantar Penelitian Hukum, UI Pres, Jakarta, hlm 10
59
2. Pendekatan Penelitian Dalam melakukan penelitian diperlukan suatu pendekatan penelitian yang tepat dan sesuai dengan jenis penelitian yang dilakukan serta harus sistematis dan konsisten. Pendekatan penelitian yang penulis pakai dalam penelitian ini adalah Yuridis Empiris, yaitu cara atau prosedur yang digunakan untuk memecahkan masalah dengan terlebih dahulu meneliti data sekunder yang ada kemudian dilanjutkan dengan penelitian terhadap data primer di lapangan 50 . Pendekatan penelitian yuridis empiris disebut pula sebagai pendekatan penelitian yuridis sosiologis di mana dalam penelitian tersebut menggunakan data primer
51
. Menurut Soerjono
Soekanto dan Sri Mamuji, cakupan dari pendekatan ini meliputi asas-asas hukum, sistematika hukum, taraf sinkronisasi hukum, dan sejarah hukum, serta mengkaji dan menghubungkan dengan fakta yang ada di lapangan52. Menurut pendekatan empiris, pengetahuan didasarkan atas fakta-fakta yang diperoleh dari hasil penelitian dan observasi53. Penulis menggunakan metode pendekatan ini karena pokok yang diteliti oleh Penulis adalah mengenai dasar pertimbangan hakim Pengadilan Agama Sleman dalam menerima permohonan itsbat nikah pasca dilaksanakannya perkawinan sah dalam rangka menentukan status anak akibat perkawinan sirri, serta meneliti mengenai koordinasi dan 50 51
52
53
Ibid, hlm 52 Ronny Hanitijo Soemitro, 1994, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm 10 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 1989, Penelitian Hukum Noramtif Suatu Tinjauan Singkat, CV. Rajawali, Jakarta, hlm.15 Ronny Kountur,2004,Metode Penelitian untuk Penulisan Skripsi dan Tesis,PPM, Jakarta, hlm 6
60
sinkronisasi antara Pengadilan Agama, Kantor Urusan Agama, dan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil dalam rangka melindungi status anak dalam perkawinan sirri. Sehingga untuk mendapatkan data primer, Penulis harus melakukan observasi di lapangan dengan terlebih dahulu meneliti data sekunder berupa PENETAPAN PENGADILAN AGAMA SLEMAN NO:32/ Pdt.P/ 2012/ PA Smn. 3. Sumber Data Dalam penulisan hukum ini Penulis menggunakan sumber data sebagai berikut : a. Penelitian Kepustakaaan Penelitian kepustakaan dimaksudkan untuk mendapatkan data sekunder. Data Sekunder merupakan data yang bersumber dari bahan pustaka, dimana sudut kekuatan mengikatnya digolongkan mengikat ke dalam54. Di dalam penulisan hukum ini, data sekunder mencakup : 1)
Bahan Hukum Primer
a)
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
b)
Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
c)
Undang-Undang No.23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana yang telah diubah dengan UndangUndang No.24 Tahun 2012
d)
Undang-Undang No.7 Tahun 1989 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan
54
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Op.cit, hlm 51
61
sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 e)
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang- Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
f)
Buku II Mahkamah Agung
g)
Instruksi Presiden Republik Indonesia (Inpres) tanggal 10 Juni 1991 No. I Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam
h)
Penetapan Pengadilan Agama Sleman No.32/Pdt.P/ 2012/PA SMN
2)
Bahan Hukum Sekunder
a)
Buku-buku yang berkaitan dengan Perkawinan
b)
Beberapa hasil penelitian, artikel, serta tulisan-tulisan lainnya yang berkaitan dengan permasalahan dari topik yang dibahas.
3)
Bahan Hukum Tersier
a)
Kamus Besar Bahasa Indonesia
b)
Ensiklopedia
4. Lokasi Penelitian Sesuai dengan judul yang penulis ajukan, maka untuk memperoleh data yang berkaitan dengan penulisan hukum ini Penulis mengambil lokasi penelitian di Pengadilan Agama Sleman, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Sleman dan Kantor Urusan Agama (KUA) Depok.
62
5. Subyek Penelitian Responden adalah orang yang terlibat langsung pada obyek penelitian. Dalam Penelitian ini, yang berperan sebagai Responden adalah Ibu Endang Sri Hartatik selaku Hakim Pengadilan Agama Sleman yang memeriksa dan menetapkan permohonan Itsbat Nikah (Penetapan Pengadilan Agama Sleman No:32/Pdt.P/2012/PA Smn) ; Bapak Sumardi selaku Pegawai Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Sleman yang berhadapan dengan Pemohon dan Bapak Fathoni selaku Penghulu Kantor Urusan Agama Depok yang berhadapan dengan Pemohon. B. Alat Penelitian 1. Metode Pengumpulan Data Untuk mengumpulkan data, maka Penulis akan menngunakan metode sebagai berikut : a) Studi Kepustakaan Yaitu metode pengumpulan data dengan cara membaca atau mempelajari buku peraturan perundang-undangan dan sumber kepustakaan lainnya yang berhubungan dengan obyek penelitian55. Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data sekunder mengenai permasalahan
yang ada
relevansinya dengan obyek yang diteliti, dengan cara menelaah, atau membaca buku-buku, literatur perundang-undangan, maupun kumpulan yang ada hubungannya dengan masalah yang dibahas.
55
Ibid
63
b) Studi Lapangan Yaitu cara pengumpulan data dengan cara terjun langsung ke dalam obyek penelitian, dalam pengumpulan data primer penulis menggunakan cara wawancara. Wawancara merupakan suatu bentuk komunikasi verbal, jadi semacam percakapan untuk memperoleh informasi 56 . Dalam metode ini penulis akan mengadakan tanya jawab langsung dengan Responden yaitu Ibu Endang Sri Hartatik selaku Hakim Pengadilan Agama Sleman yang memeriksa dan menetapkan permohonan Itsbat Nikah (Penetapan Pengadilan Agama Sleman No:32/Pdt.P/2012/PA Smn) ; Bapak Sumardi selaku Pegawai Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Sleman yang berhadapan dengan Pemohon dan Bapak Fathoni selaku Penghulu Kantor Urusan Agama Depok yang berhadapan dengan Pemohon. 2. Alat Mencari Data Alat yang digunakan untuk mendapatkan data sekunder adalah dengan mengumpulkan serta menelaah peraturan perundang-undangan, buku-buku, maupun literatur lain yang ada relevansinya dengan obyek yang diteliti. Sedangkan
untuk
mendapatkan
data
primer
digunakan
pedoman
wawancara serta daftar pertanyaan untuk bertanya jawab dengan responden maupun narasumber.
56
S. Nasution, 2001, Metode Research, Bumi Askara, Jakarta, hlm 20
64
C. Analisis Data Hasil Penelitian Setelah data dikumpulkan dengan lengkap, tahapan berikutnya adalah tahap analisis data. Pada tahap ini akan dimanfaatkan sedemikian rupa sehingga diperoleh kebenaran-kebenaran yang dapat dipakai untuk menjawab persoalan yang diajukan dalam penelitian. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini ialah analisis data secara kualitatif, yaitu segala sesuatu yang dinyatakan responden dan narasumber, baik secara tertulis maupun lisan serta perilaku nyata yang dipelajari dan diteliti sebagai sesuatu yang utuh. Penggunaan metode analisis kualitatif dalam penelitian adalah dengan cara membahas pokok permasalan berdasarkan data yang diperoleh baik dari studi kepustakaan maupun dari hasil penelitian di lapangan yang kemudian dianalisis secara kualitatif untuk pemecahan. Analisis ini dilakukan dengan bersamaan proses data. Tujuan penggunaan metode analisis kualitatif adalah untuk memperoleh pemahaman pengembangan teori, dimana analisis ini dilakukan secara terus menerus dari sejak awal sampai akhir dengan melakukan pendekatan secara umum dari tujuan penelitian57
57
Soerjono Soekanto dan H. Abdurrahman, 2005, Metode Penelitian Suatu Pemikiran dan Penerapan, Rineka Cipta, Jakarta, hlm 28-29
65
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pertimbangan Majelis Hakim dalam Menetapkan Perkara Nomor : 32/ Pdt.P/ 2012/ PA.Smn 1. Kasus Posisi Penetapan No.32/Pdt.P/2012/PA.Smn Penetapan Nomor: 32/Pdt.P/ 2012/ PA.Smn ini bermula pada saat diajukannya Surat Permohonan Itsbat Nikah tertanggal 14 April 2012 yang didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Agama Sleman di bawah perkara No. 32/ Pdt.P/ 2012/ PA.Smn, yang diajukan oleh Afiq Ansyori, CH., SH selaku Kuasa Hukum dari Mohammad Zakky Fananie selaku suami (Pemohon I) dan Ayu Lidya Rahmah selaku istri (Pemohon II). Permohonan Itsbat Nikah tersebut diajukan dengan alasan-alasan sebagai berikut : 1) Bahwa pada tanggal 1 Januari 2009, Pemohon I dan Pemohon Il telah melangsungkan pernikahan sah secara Agama Islam (sirri) di Jalan Anggajaya 11/24-B, Gejayan RT..03 / RW. 29, Condongcatur ; 2) Bahwa pada saat pernikahan tersebut Pemohon I berstatus jejaka dan Pemohon II berstatus perawan; 3) Bahwa yang menikahkan dan yang menjadi wali dalam pernikahan Pemohon I dan Pemohon II adalah Khairil A.M., ayah kandung Pemohon II, dengan mas kawin cincin emas seberat 3 gram dan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi yang bernama : - Bapak Jami', alamat: Jalan Gayam No: 93 A, Sanggrahan, Condongcatur, Depok, Sleman; - Bapak Partiman, alamat: Jalan Bakri, Sanggrahan, Condongcatur, Depok, Sleman ; 4) Bahwa antara Pemohon I dan Pemohon II tidak ada hubungan darah atau tidak sesusuan serta memenuhi syarat dan atau tidak ada larangan untuk melangsungkan pernikahan baik menurut ketentuan hukum Islam maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku; 5) Bahwa pernikahan secara Agama Islam tersebut dilaksanakan karena Pemohon I dan Pemohon II saling mencintai dan menyayangi serta sudah mendapat ridho dari orang tua Pemohon I dan Pemohon II;
66
6) Bahwa sebagaimana dituntunkan dalam Syariat Islam, apabila seorang lakilaki dan seorang perempuan sudah mampu dan berkehendak untuk menikah, maka wajib bagi walinya untuk menikahkan agar tidak terjadi perbuatanperbuatan haram yang dilarang oleh Agama Islam; 7) Bahwa pernikahan secara Agama Islam yang dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2009 tersebut sudah sangat tepat dan sesuai serta dibenarkan oleh ajaran Agama Islam maka oleh karenanya sudah seyogyanya pernikahan tersebut dinyatakan sah menurut hukum Islam dan dibenarkan menurut peraturan perundangan yang berlaku; 8) Bahwa setelah melangsungkan pernikahan, Pemohon I dan Pemohon II tinggal bersama di rumah orang tua Pemohon II yakni di Jalan Anggajaya II / 24-B, Gejayan Rt.03 / Rw. 29, Condongcatur, Depok, Sleman; 9) Bahwa Pemohon I dan Pemohon II telah melakukan hubungan layaknya suami istri (ba’da dukhul) dan dikaruniai seorang anak perempuan yang bernama QUINNSHA BILQA CHUMAERA FANANIE, lahir 30 Oktober 2010; 10) Bahwa oleh kerena lahirnya anak Pemohon I dan Pemohon II tersebut diatas sudah dalam perkawinan sah secara Agama Islam, maka tidak berlebihan kiranya Pemohon I dan Pemohon Il memohon agar anak yang bernama QUINNSHA BlLQA CHUMAERA FANANIE, lahir 30 Oktober 2010 tersebut ditetapkan dan dinyatakan sebagai anak yang sah hasil perkawinan antara Pemohon I dan Pemohon II yang kemudian secara hukum harus dinyatakan mempunyai hak-hak sebagaimana kedudukannya sebagai anak yang sah termasuk mendapatkan Akta Kelahiran sebagai anak sah dari Pemohon I dan Pemohon 11; 11) Bahwa pada Hari Sabtu, 14 Januari 2012, Pemohon I dan Pemohon 11 melangsungkan pernikahan di depan Petugas Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Depok, Sleman dan tercatat dalam buku kutipan Akta Nikah No : 0044 / 44 /1/ 2012, tertanggal 16 Januari 2012 ; Berdasarkan dalil-dalil/ alasan-alasan tersebut di atas, maka Pemohon I dan Pemohon II memohon kepada Ketua Pengadilan Agama Sleman Cq Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini berkenan untuk menjatuhkan Putusan sebagai berikut : PRIMAIR 1) Mengabulkan permohonan Pemohon I dan Pemohon II untuk seluruhnya; 2) Menyatakan pernikahan antara Pemohon I dengan Pemohon II yang dilangsungkan pada tanggal 1 Januari 2009 adalah sah menurut hukum Islam dan sah menurut perundangan yang berlaku; 3) Menetapkan dan menyatakan secara hukum anak yang bernama QUINNSHA BILQA CHUMAERA FANANIE, lahir 30 Oktober 2010 adalah anak sah dari hasil perkawinan sah antara Pemohon I dan Pemohon II ; 4) Menetapkan dan menyatakan secara hukum bahwa anak yang bernama QUINNSHA BILQA CHUMAERA FANANIE, lahir 30 Oktober 2010
67
mempunyai hak-hak sebagaimana kedudukannya sebagai anak yang sah, termasuk mendapatkan Akta Kelahiran sebagai anak sah dari Pemohon I dan Pemohon II ; 5) Memerintahkan kepada institusi terkait yang berwenang untuk menerbitkan Akta Kelahiran atas anak yang bernama QUINNSHA BILQA CHUMAERA FANANIE, lahir 30 Oktober 2010 sebagai anak sah Pemohon I dan Pemohon II; 6) Menetapkan biaya perkara menurut hukum yang berlaku; SUBSIDAIR Atau menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya; 2. Pertimbangan Hukum Perkara No.32/Pdt.P/2012/PA.Smn Dalam menetapkan suatu perkara, Majelis Hakim Pengadilan Agama haruslah mempertimbangkan berbagai landasan hukum, baik landasan hukum berupa Peraturan Perundang-Undangan maupun landasan hukum Syara 58 . Berdasarkan Kutipan Penetapan Pengadilan Agama Sleman No. 32/ Pdt.P/ 2012/ PA.Smn, Majelis Hakim Pengadilan Agama Sleman menggunakan berbagai landasan hukum pula dalam menetapkan Penetapan No.32/Pdt.P/2012/PA.Smn. Berikut merupakan pertimbangan hukum yang digunakan oleh Majelis Hakim dalam menetapkan perkara tersebut : 1)
Menimbang, bahwa maksud dan tujuan permohonan Pemohon adalah sebagaimana tersebut di atas ; 2) Menimbang, bahwa berdasarkan dalil Pemohon, yang dikuatkan dengan bukti P.2 dan P.3 (foto kopi KTP atas nama Pemohon I dan Pemohon II) serta P 5 (foto kopi Kartu Keluarga), maka harus dinyatakan terbukti bahwa para Pemohon bertempat tinggal di wilayah hukum Pengadilan Agama Sleman, maka dengan demikian Pengadilan Agama Sleman adalah berwenang secara Kompetensi Relatif untuk memeriksa dan memutus perkara ini; 3) Menimbang, bahwa menurut kesimpulan Majelis Hakim pokok permohonan Pemohon I dan Pemohon II adalah meminta Itsbat Nikah dalam Perkawinan atau Nikah Sirrinya yang dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2009 di Jalan Anggajaya II/24-B Gejayan Rt. 03 / Rw. 29 Condongcatur, Depok, Sleman, 58
Sulaskin Lubis, Wismar ‘Ain Marzuki, dan Gemala Dewi, 2005, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, Kencana, Jakarta, hlm.159
68
dengan Wali Nikah adalah Ayah Kandung Pemohon II yang bernama KHAIRIL AM bin ABDUL AZIS; 4) Menimbang, bahwa Majelis Hakim telah mendengarkan keterangan Wali Nikah Pemohon II tersebut dan telah membenarkan bahwa dia telah menikahkan anaknya Pemohon II dengan Pemohon I pada waktu sebagaimana tersebut, dengan saksi-saksi JAMI, PARTIMAN, PARMAN dan MASRULI (ustadznya) dan Maharnya dengan Cincin Emas 3 (tiga) gram. Bahwa Pernikahan Sirri ini dilaksanakan adalah untuk menghindarkan agar anaknya terhindar dan tidak sampai melakukan perbuatan yang dilarang oleh agama (berzina) karena anaknya tidak tinggal bersama dan tidak bisa mengiontrol pergaulan anaknya dengan pacarnya itu. Selain itu Pernikahan Sirri ini dilakukan dengan harapan sebelum nikah di KUA, mereka belum akan mempunyai anak terlebih dahulu, akan tetapi karena hubungan dan pergaualan mereka telah menjadi halal, Pemohon II kemudian hamil dan melahirkan anaknya yang diberi nama QUINNSHA BILQA CHUMAERA FANANIE yang lahir tanggal 30 Oktober 2010; 5) Menimbang, bahwa keterangan dua orang saksi yakni JAMI bin KARYO PAWIRO dan PARTIMAN bin SASTRO HARJONO yang adalah juga saksisaksi ketika dilaksanakan Pernikahan Sirri antara Pemohon I dengan Pemohon II adalah telah menguatkan dan menerangkan bahwa Pernikahan Sirri tersebut betul dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2009, dan yang menikahkan adalah Wali Nikah orang tua Pemohon II yaitu bapak KHAIRIL AM bin ABDUL AZIS dengan Maharnya Cincin Emas 3 (tiga) gram, hal ini berarti bahwa pernikahan itu telah dilaksanakan dengan memenuhi syarat dan rukun nikah menurut Hukum Islam, oleh karenanya menyangkut keterkaitannya dengan kelahiran dalam masa perkawinan tersebut; seorang anak perempuan yang diberi nama QUINNSHA BILQA FANANIE yang lahir tanggal 30 Oktober 2010 sesuai dengan bukti surat P4 (Surat Keterangan Kelahiran), maka dengan demikian maka patutlah dinyatakan sah perkawinan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 jo. Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam; 6) Menimbang, bahwa berdasarkan bukti surat P1 yakni foto copi Kutipan Akta Nikah nomor 0044/44/1/2012 atas nama Pemohon I (MOHAMMAD ZAKKY FANANIE, S.KED bin Dr. H. MA’MUN) dengan Pemohon II (AYU LIDYA RAHMAH, S.KED binti KAHIRUL AM), maka terbukti bahwa Pemohon I dengan Pemohon II telah melangsungkan pernikahan di Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman pada Hari Sabtu tanggal 14 Januari 2012 (tanggal 19 Shofar 1433 H), maka dapatlah dipastikan bahwa antara keduanya adalah telah sah dan resmi pernikahannya yang dicatat oleh negara dan hal ini menunjukkan bahwa Pemohon I dan Pemohon II telah menunjukkan sikap dan keinginan baiknya untuk tunduk dan taat pada peraturan negara untuk mencatatkan perkawinannya pada Kantor Urusan Agama (KUA) sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (2) undang-Undang No. 1 Tahun 1974, jo. Pasal 5 ayat (1) dan (2) Kompilasi Hukum Islam, dengan demikian perkawinan yang sudah dicatatkan ini tidak perlu lagi untuk
69
dinyatakan sebagai perkawinan yang sah, seperti yang dimintakan dalam petitum Pemohon angka 2 karena dinilai Majelis sebagai berlebihan; 7) Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Undang-Undang No.1 tahun l974 tentang Perkawinan pasal 2 ayat (1), bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut Hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Kompilasi Hukum Islam Pasal 7 ayat (2) yaitu Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan Itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama. Kemudian ayat (3) huruf c berbunyi yakni: Itsbat Nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan; (c) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974; dan ayat (4) Yang berhak mengajukan permohonan Itsbat Nikah ialah suami atau isteri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu; 8) Menimbang, bahwa Hukum Islam dari segi substansinya adalah untuk mewujudkan mashlahah bagi kepentingan manusia, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, harta dan keturunan yang dalam istilah fiqih disebut “al-kulliyat al-Khamsah“ dengan suatu klasifikasi mashlahah ini menjadi 3 hal yaitu: 1) Mashlahah Dharuriyat (essensial): dimaksudkan untuk menerapkan dan memelihara lima prinsip pokok tersebut dalam kehidupan manusia; 2) Mashlahah Al-Hajjiyat (keperluan/kebutuhan); yang dimaksudkan adalah untuk menghilangkan kesulitan dalam memelihara lima prinsip pokok agar dapat berjalan dengan baik dan lancar; 3) Mashlahah Al-Tahsiniyat (keindahan) : yang dimaksudkannya adalah supaya manusia dapat melakukan yang terbaik untuk kesempurnaan pemeliharaan lima prinsip pokok tersebut59. 9) Menimbang, bahwa keadaan kehidupan keagamaan keluarga Pemohon terutama orang tuanya (Walinya) adalah menunjukkan niat dan prilaku yang baik, agar anaknya (Pemohon II) tidak sampai terjerumus dalam suatu pergaulan yang melanggar Syariat Islam, sehingga Pemohon II dinikahkan Sirri dengan Pemohon I, hal ini bukanlah berarti bahwa masih mutlak dan mendasar, telah melanggar apa yang tercantum dalam Undang-Undang perkawinan nomor 1 Tahun 1974, karena pada Pasal 2 ayat (1) telah menampung sahnya perkawinan itu jika dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu. Secara sosiologis masih banyak masyarakat muslim Indonesia yang lebih mengutamakan pemenuhan syarat dan rukunnya yang sah menurut agama daripada memenuhi persyaratan administratif untuk pencatatan, dan hal pencatatan perkawinan ini. Pasal 2 ayat (2) ini belum ada sanksi yang memadai dan membuat jera bagi prilaku masyarakat dan tentu akan terus muncul kasus-kasus seperti ini, namun apakah akibat hukumnya haruskah dibebankan kepada anak yang lahir dari perkawinan seperti ini, padahal kelahiran ini bukanlah kemauan dari si anak yang bersangkutan, kenapa tidak ditimpakan kepada pelaku Nikah Sirri itu ? 59
Abdul Wahab Khallaf, 1990, Ilmu Ushul al - Fiqh, Cairo, Maktabah al - Dakwah al-Islamiyah Shabab al-Azhar
70
10)
11)
12)
13)
Dalam hal pencatan ini pun telah dipenuhi oleh Pemohon I dan Pemohon II ketika mereka telah menyadari kekeliruan yang tidak diperhitungkannya dan kemudian mencatatkan perkawiannya tersebut ke KUA, adalah hal sebagai hukuman yang harus ditebus oleh mereka; Menimbang, bahwa keinginan Pemohon untuk pengesahan Itsbat Nikahnya ini adalah semata-mata untuk kepentingan pencatatan kelahiran anaknya sehingga dapat dibuatkan Akta Kelahiran sebagai Anak yang Sah dari dan sebagai akibat perkawinannya, keinginan ini adalah sebagai keinginan yang baik mengingat sangat pentingnya Akta Kelahiran itu bagi seorang anak untuk pengurusan surat menyurat baginya untuk masa-masa sekarang dan yang akan datang, dan hal ini adalah termasuk untuk menjaga kemashlahatan bagi Agama dan Keturunannya, menghindarkan dari keraguan dan fitnah yang dapat berakibat buruk bagi kehidupan anak, dan bagi anak yang bersangkutan pun tentulah sangat menggembirakan karena diakui sah dan resmi oleh negara sebagai anak kandung kedua orang tuanya (Pemohon I dengan Pemohon II) sebagaimana yang tercantum dalam Akta Kelahirannya; Menimbang, bahwa dengan memperhatikan ketentuan Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yakni Pasal 27 ayat (1): Identitas diri setiap anak harus diberikan sejak kelahirannya; ayat (2): Identitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dituangkan dalam akta kelahiran; ayat (3): Pembuatan Akta kelahiran didasarkan pada surat keterangan dari orang yang menyaksikan dan/ atau membantu proses kelahiran; dan ayat (4): Dalam hal anak yang proses kelahirannya tidak diketahui keberadaannya, pembuatan akta kelahiran untuk anak tersebut didasarkan pada keterangan orang yang menemukannya; juga dengan memperhatikan Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan Pasal 32 ayat (2): menyatakan bahwa pencatatan kelahiran yang melampaui batas waktu satu tahun dilaksanakan berdasarkan penetapan pengadilan yang menyatakan anak itu anak dari orang tua yang bersangkutan dan idealnya anak sudah diberikan Akta kelahiran paling lambat 30 hari terhitung sejak tanggal diajukannya permohonan di Kantor Catatan Sipil. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan pertimbangan tersebut di atas, maka Majelis dapat menyimpulkan bahwa permohonan para pemohon adalah telah memenuhi ketentuan Pasal Pasal 49 angka (22) penjelasan UndangUndang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan dengan Undang-Undang No.50 Tahun 2009, jo. Pasal 7 ayat (2), (3) dan (4) Kompilasi Hukum Islam; maka oleh karena itu permohonan para Pemohon patut untuk dikabulkan sebagaian dan ditolak untuk selebihnya; Menimbang, bahwa majelis memandang perlu untuk mengetengahkan dalil/hujjah syariyah yang diambil dari kitab-kitab untuk landasan hukum landasan sebagai berikut:
71
a) Kitab Al Asybah Wan Nadhoir Hal 138 yang berbunyi; ط ا Artinya: Pemerintah mengurus kemaslahatannya.
rakyatnya
م
فا
sesuai
dengan
ا
وإن آ ن
b) Kitab Al Bajuri II : 354; $ "#ا ! آ و
ـ
Artinya : Apabila penggugat/pemohon mempunyai bukti/saksi maka hakim menerima gugatan/permohonannya. (Al Bajuri II : 354) c) Kitab al-Bayan yakni qaidah fiqhiyah yang berbunyi: . Artinya:
ا%&
( ّم
) درء ا
Menolak kemadaratan didahulukan dari pada menarik kemaslahatan
14) Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan pasal 89 ayat (1) Undang – Undang Nomor 7 tahun 1989 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan dengan UndangUndang Nomor 50 Tahun 2009, maka biaya perkara ini dibebankan kepada Pemohon yang hingga penetapan ini dibacakan berjumlah Rp. 251.000,(dua ratus lima puluh satu ribu rupiah); 3.
Analisis terhadap Pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Agama Sleman dalam Menetapkan Perkara Nomor : 32/ Pdt.P/ 2012/ PA.Smn Itsbat Nikah merupakan penetapan pengadilan atas kebenaran (keabsahan)
nikah yang dilakukan menurut Pasal 7 ayat 3 Kompilasi Hukum Islam, yakni dengan alasan dalam rangka penyelesaian perceraian, hilangnya Akta Nikah, adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan, perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pihak-pihak yang dapat mengajukan Itsbat Nikah adalah
72
suami, istri, anak-anak, wali nikah, dan pihak-pihak yang mempunyai kepentingan dalam perkawinan tersebut. Buku II Mahkamah Agung menjelaskan bahwa dalam hal salah satu atau kedua pihak baik suami ataupun istri sudah meninggal dunia, maka dapat mengajukan Itsbat Nikah dalam bentuk gugatan atau dikenal pengajuan perkara secara contentius. Tujuan diajukannya gugatan Itsbat Nikah adalah untuk mengantisipasi apabila ada pihak-pihak yang melakukan penyelendupan hukum seperti poligami liar atau poligami yang dilakukan karena sirri. Sedangkan apabila kedua belah pihak masih hidup maka permohonan Itsbat Nikah diajukan secara volunteer. Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh Penulis dengan Ibu Endang Sri Hartatik selaku Hakim Pengadilan Agama Wonosari yang dulu menetapkan perkara No:32/Pdt.P/2012/PA.Smn, 60 Penulis mendapatkan informasi bahwa beliau pernah menangani perkara Itsbat Nikah yang diputus pada tahun 2012, dimana permohonan Itsbat Nikah diajukan oleh seorang istri dan anak-anaknya, sedangkan suami sudah meninggal dunia. Meskipun dalam hal ini suami telah meninggal dunia, namun perkara ini berbentuk volunter, dikarenakan setiap pemohon mempunyai kepentingan yang sama dan kepentingan tersebut sifatnya mendesak. Sehingga dapat dikatakan bahwa hakim harus sangat berhati-hati dalam memeriksa setiap kasus yang diajukan kepadanya karena setiap kasus mempunyai
spesifikasi
yang
berbeda-beda
(kasuistis)
dan
tidak
dapat
disamaratakan.
60
Wawancara dengan Ibu Endang Sri Hartatik pada 29 Januari 2015, saat ini beliau menjabat sebagai Hakim Pengadilan Agama Wonosari DIY
73
Perkara No.32/Pdt.P/2012/PA.Smn merupakan perkara Itsbat Nikah yang berbentuk permohonan atau volunteer, hal ini dikarenakan sepasang suami istri yang ingin mengesahkan perkawinannya masih sama-sama hidup dan mempunyai kepentingan yang sama yakni dalam rangka menentukan status anak. Sebelum Penulis menganalisis lebih lanjut mengenai perkara ini, terlebih dahulu Penulis akan menganalisis mengenai kewenangan relatif pengadilan agama serta keabsahan rukun dan syarat pernikahan antara Pemohon I dengan Pemohon II : a.
Analisis Mengenai Kewenangan Relatif Pengadilan Agama Kewenangan relatif pengadilan merupakan hal yang sangat penting di dalam proses beracara di Pengadilan. Apabila pengadilan yang memeriksa perkara tersebut tidak berwenang mengadili maka akan berdampak pada tidak diterimanya suatu gugatan oleh Majelis Hakim Pengadilan Agama. Dalam perkara Itsbat Nikah yang diajukan oleh Mohammad Zakky Fananie dan Ayu Lidya Rahmah, para pihak mengajukan permohonan Itsbat Nikah tersebut ke Pengadilan Agama Sleman, di mana tempat tinggal dari para pemohon adalah di Jalan Anggajaya II Gejayan RT.03 RW.29 No.24-B Desa Condongcatur Kecamatan Depok Kabupaten Sleman. Sehingga, kewenangan relatif pengadilan untuk memeriksa perkara Itsbat Nikah tersebut sudah tepat, mengingat permohonan Itsbat Nikah diajukan ke Pengadilan Agama di tempat Pemohon bertempat tinggal.
b.
Analisis Mengenai Rukun dan Syarat Perkawinan yang dilakukan oleh Pemohon 1 dan Pemohon II
74
Rukun dan syarat merupakan hal yang sangat penting dalam suatu perkawinan. Perkawinan dapat dikatakan sah apabila terepenuhi semua rukun dan syaratnya. Rukum merupakan unsur yang wajib dalam suatu akad, sedangkan syarat dijadikan sebagai sandaran sah atau tidak sahnya suatu akad. Karena itu, rukun dan syarat dalam perkawinan dijadikan sebagai hal yang penting yang harus diperhatikan guna terlaksananya cita-cita mulia, yaitu mewujudkan rumah tangga sebagai suatu institusi yang suci.61 Berikut merupakan analisis Penulis mengenai rukun dan syarat perkawinan antara Mohammad Zakky Fananie dan Ayu Lidya Rahmah yang kemudian diajukan Itsbat Nikahnya : 1) Calon suami Pasal 7 Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan menetapkan bahwa untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan oleh calon suami yang telah mencapai umur bagi calon suami sekurang-kurangnya 19 tahun. Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin dari orang tua sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Di samping itu, calon mempelai harus menyatakan dengan tegas bahwa mereka menyetujui perkawinan yang akan dilangsungkan tersebut. Dalam perkara tersebut, yang bertindak sebagai calon suami adalah Mohammad Zakky Fananie. Pada saat perkawinan dilangsungkan, ia 61
Helmi Karim, “Perkawinan di Bawah Umur”, dalam Chuzaimah T.Yanggo, 2002, Probematika Hukum Islam Kontemporer, Pustaka Firdaus, Jakarta, hlm.75
75
berstatus jejaka dan telah mencapai usia 19 tahun. Di samping itu, ia telah mendapatkan
izin
dari
orangtuanya
ketika
hendak
melangsungkan
perkawinan. Sehingga dapat ditarik benang merah bahwa mengenai calon suami telah terpenuhi rukun dan syaratnya. 2)
Calon istri Tidak berbeda dengan persyaratan calon suami di atas, Pasal 7 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menetapkan bahwa untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan hanya boleh dilakukan oleh calon istri sekurang-kurangnya 16 tahun. Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin dari orang tua sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Disamping itu, calon mempelai harus menyatakan dengan tegas bahwa mereka menyetujui perkawinan yang akan dilangsungkan. Dalam perkara tersebut, yang bertindak sebagai calon istri adalah Ayu Lidya Rahmah. Pada saat perkawinan dilangsungkan, ia berstatus perawan dan telah mencapai usia 19 tahun. Ia telah mendapatkan izin dari orangtuanya, dibuktikan dengan ketika ijab qabul dilangsungkan, yang bertindak sebagai wali adalah ayah kandung dari Ayu Lidya Rahmah. Sehingga untuk calon istri telah terpenuhi rukun dan syaratnya.
76
3) Wali nikah Wali nikah merupakan salah satu rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya. Orang yang akan menjadi wali, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a)
Muslim
b)
Baligh
c)
Berakal sehat
d)
Laki-laki
e)
Adil (baik dalam beragama) Adapun orang-orang yang berhak menjadi wali adalah :
a)
Ayah, kakek, dan seterusnya ke atas dari garis laki-laki;
b)
Saudara laki-laki sekandung atau seayah
c)
Kemenakan laki-laki sekandung atau seayah
d)
Paman sekandung atau seayah
e)
Saudara sepupu laki-laki sekandung atau seayah
f)
Sultan sebagai wali hakim
g)
Wali yang diangkat oleh mempelai perempuan Di dalam perkara tersebut, yang bertindak sebagai wali nikah adalah
Bapak Khairil AM, yang merupakan ayah dari calon istri (Ayu Lidia Rahmah). Persyaratan dari wali nikah juga telah terpenuhi. Sehingga, mengenai wali telah terpenuhi rukun dan syaratnya.
77
4) Dua orang saksi Di samping wali, dalam perkawinan juga diperlukan dua orang saksi. Peranan saksi sangat diperlukan untuk kemaslahatan kedua belah pihak apabila ada pihak ketiga yang meragukan sahnya perkawinan serta sebagai alat bukti untuk menghilangkan keragu-raguan tersebut. Syarat-syarat saksi dalam perkawinan adalah sebagai berikut : a) Berakal sehat b) Baligh c) Beragama Islam d) Dua orang laki-laki e) Adil f)
Mendengar dan memahami sighat akad nikah Dalam perkara tersebut yang bertindak sebagai saksi adalah Bapak Jami’
yang beralamat di Jalan Gayan No : 93 A, Sanggrahan, Condongcatur, Depok, Sleman dan Bapak Suratman yang beralamat di Jalan Bakri, Sanggrahan,
Condongcatur,
Depok,
Sleman.
Keduanya
hadir
dan
menyaksikan langsung akad nikah yang dilangsungkan pada tanggal 1 Januari 2009. Sehingga mengenai saksi telah terpenuhi rukun dan syaratnya. 5) Ijab qabul Dalam prosesi akad nikah terdiri dari Ijab dan Qabul. Ijab merupakan pernyataan dari pihak calon istri yang biasanya dikatakan oleh wali pihak calon istri yang maksudnya bersedia dinikahkan dengan calon suaminya. Qabul adalah pernyataan atau jawaban pihak calon suami bahwa ia menerima
78
kesediaan calon istri menjadi istrinya. Dalam prosesi Ijab Qabul, Pemohon 1 atau calon suami memberikan mahar berupa cincin emas seberat 3 gram tunai. Sehingga mengenai ijab qabul telah terpenuhi rukun dan syaratnya. Menurut Penulis, rukun dan syarat dari suatu perkawinan telah dipenuhi oleh kedua belah pihak, sehingga perkawinan antara Mohammad Zakky Fananie dan Ayu Lidya Rahma tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UndangUndang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun Hukum Islam, sehingga Pemohon I dan Pemohon II berhak mengajukan Itsbat Nikah seperti yang disebutkan dalam Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam. Pendapat Penulis dikuatkan oleh Ibu Endang Sri Hartatik, beliau mengungkapkan bahwa rukun dan syarat pernikahan antara Pemohon I dan Pemohon II telah terpenuhi dan tidak ada halangan pernikahan apapun dari pernikahan antara Pemohon I dan Pemohon II, permasalahannya hanya terletak pada tidak dicatatkannya pernikahan tersebut di Kantor Urusan Agama atau status pernikahan tersebut adalah pernikahan sirri. Ibu Endang Sri Hartatik mengungkapkan bahwa pada waktu itu Majelis Hakim Pengadilan Agama Sleman sangat detail dan rinci dalam menangani perkara ini hingga memasukkan berbagai landasan hukum, dari Al-Qur’an dan AlHadits; Maqasid Syariah; Kitab-Kitab Fiqih seperti Kitab Al Asybah Wan Nadhoir, Kitab Al-Bajuri II, dan Kitab Al-Bayan Qaidah Fiqhiyah; UndangUndang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; Undang-Undang No.23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan; Undang-Undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang No.3
79
Tahun 2006 dan sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang No.50 Tahun 2009 ; dan Kompilasi Hukum Islam. Lebih lanjut Ibu Endang Sri Hartatik menerangkan bahwa perkawinan sirri yang dilakukan setelah berlakunya Undang-Undang No.1 Tahun 1974 sulit untuk dikabulkan kecuali permohonan Itsbat Nikah dalam rangka perceraian. Hal inilah yang kemudian memunculkan Dissenting Opinion ketika Majelis Hakim berdiskusi untuk menetapkan perkara ini. Hakim Anggota III berkeberatan apabila amar penetapan perkara menyatakan mengesahkan perkawinan antara Pemohon I dan Pemohon II dikarenakan pernikahan sirri tersebut terjadi setelah berlakunya Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Namun hakim ketua dan Hakim Anggota II (Ibu Endang Sri Hartatik) lebih condong untuk mengesahkan perkawinan antara Pemohon I dan Pemohon II. Karena pemeriksaan yang begitu rinci dan memperhatikan berbagai aspek seperti di atas, maka akhirnya Hakim Anggota III mengurungkan niatnya untuk mengajukan Dissenting Opinion dalam perkara tersebut. Sehingga dapat ditarik benang merah bahwa apabila terdapat Itsbat Nikah dari perkawinan sirri yang dilakukan setelah berlakunya UndangUndang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Itsbat Nikah tersebut dikabulkan, maka perkara tersebut merupakan perkara yang benar-benar “pantas” untuk dikabulkan setelah hakim memeriksa dengan sangat hati-hati. Dalam proses pemeriksaan hingga merumuskan amar penetapan perkara No: 32/ Pdt. P/2012/ PA.Smn, bukanlah hal yang mudah bagi Majelis Hakim. Hal ini dikarenakan perkara tersebut bukanlah perkara yang biasa terjadi, sebab setelah dilangsungkannya pernikahan sirri pada tahun 2009, Pemohon I dan Pemohon II
80
menikah secara resmi di Kantor Urusan Agama (KUA) Depok pada Januari 2012 sebelum mengajukan Itsbat Nikah ke Pengadilan Agama Sleman, namun Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Sleman belum berkehendak membuatkan Akta Kelahiran dari anak pasca pernikahan sah mereka, karena salah satu syarat pembuatan Akta Kelahiran adalah adanya kutipan Akta Nikah dari orangtuanya. Dalam perkara ini, kutipan Akta Nikah yang dimilliki oleh para pihak adalah Akta Nikah dari perkawinan resmi di Kantor Urusan Agama Depok tahun 2012, padahal anak tersebut lahir pada tahun 2010, sehingga pihak Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Sleman belum berkenan untuk membuat Akta Kelahiran kecuali dalam Akta Kelahiran dicatatkan hanya atas nama ibu. Namun, Pemohon I dan Pemohon II berkeberatan apabila dalam Akta Kelahiran anak hanya ada nama ibu, maka dari itulah kemudian Pemohon I dan Pemohon II mengajukan permohonan Istbat Nikahnya ke Pengadilan Agama Sleman. Pernikahan Sirri merupakan pernikahan yang tidak memenuhi syarat administrasi yang telah diatur oleh negara karena tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama dan tidak mempunyai Akta Nikah. Dalam berbagai kasus di masyarakat, pihak-pihak yang melakukan Nikah Sirri biasanya memiliki alasan yang bersifat darurat hingga memutuskan melakukan nikah sirri. Apabila para pihak tidak memiliki hal-hal darurat atau kepentingan khusus, tentu pihak-pihak tersebut tidak akan melakukan pernikahan sirri dan akan melakukan pernikahan secara sah secara negara maupun secara agama. Berdasarkan keterangan dari ayah Pemohon II ketika proses pemeriksaan perkara No.32/Pdt.P/2012/PA.Smn,
81
pernikahan sirri tersebut merupakan kehendak darinya. Hal ini dikarenakan ayah Pemohon II sering mendapat laporan dari tetangga sekitar bahwa ada seorang lakilaki (Pemohon I) yang sering bertandang ke rumah pemohon II hingga larut malam. Ayah Pemohon II merasa malu dan tidak enak dengan tetangga sekitar karena ia merupakan tokoh agama. Terlebih lagi ayah Pemohon II bekerja di luar kota sehingga tidak dapat terus mengawasi anaknya (Pemohon II). Lingkungan rumah Pemohon II termasuk lingkungan yang agamis, sehingga jarang ada lakilaki yang bertandang ke rumah perempuan sampai larut malam. Dengan alasan itulah, ayah Pemohon II menghendaki adanya pernikahan sirri karena Pemohon I dan Pemohon II sama-sama masih menempuh pendidikan dokter, dengan catatan mereka tidak mempunyai anak terlebih dahulu sebelum menikah di KUA. Urgensi dari pernikahan sirri tersebut adalah untuk melegalkan hubungan Pemohon I dan Pemohon II dan untuk menghindari dosa, karena ajaran Islam melarang untuk mendekati zina. Sehingga faktor pendorong dilakukannya pernikahan sirri antara Pemohon I dan Pemohon II adalah faktor lingkungan masyarakat, kekhawatiran orangtua, dan kemauan pasangan tersebut untuk dinikahkan secara sirri. Namun, dalam perjalanan pernikahan Pemohon I dan Pemohon II lahirlah seorang anak, sementara pernikahan mereka masih berstatus pernikahan sirri, maka kemudian pasangan tersebut mengajukan itsbat nikah di Pengadilan Agama Sleman setelah menikah sah di KUA. Proses pembuktian dalam perkara voluntair khususnya Itsbat Nikah dari perkawinan sirri, dilakukan oleh Majelis Hakim dengan terlebih dahulu meneliti kebenaran dari pernikahan sirri tersebut. Pemeriksaan Majelis Hakim mengarah
82
pada alasan, latar belakang, serta terpenuhi tidaknya rukun dan syarat perkawinan ketika pernikahan sirri dilangsungkan seperti siapa wali, apa maharnya, dan siapa yang menjadi saksi. Kemudian pemeriksaan ada tidaknya keterlibatan pihak ketiga juga perlu dibuktikan mengingat banyak penyelundupan hukum dari kasus Itsbat Nikah dari perkawinan sirri. Majelis Hakim Pengadilan Agama Sleman sangat berhati-hati, detail, dan rinci dalam memeriksa perkara Itsbat Nikah No.32/2012/PA.Smn, tidak hanya aspek hukum yang menjadi dasar atau pedoman dalam mengabulkan permohonan Itsbat Nikah tersebut, namun majelis hakim juga berpedoman pada moral justice maupun social justice. Digunakannnya moral justice maupun social justice oleh Majelis Hakim dikarenakan Majelis Hakim berpedoman pada perlindungan untuk semua, perlindungan bagi suami istri, anak, maupun keluarga dari suami maupun istri. Perlindungan untuk anak dimaksudkan untuk melindungi status anak dari pernikahan sirri tersebut, sedangkan perlindungan untuk keluarga dimaksudkan untuk melindungi nama baik keluarga Pemohon I dan Pemohon II, dikarenakan Keluarga dari Pemohon I dan Pemohon II merupakan keluarga yang terpandang di masyarakat, Pemohon I merupakan mahasiswa kedokteran UGM dan ayahnya adalah seorang dokter, sedangkan Pemohon II merupakan mahasiswa kedokteran UMY dan ayahnya merupakan seorang tokoh agama (ustadz) yang bekerja di pengeboran minyak, sehingga perlu dipertimbangkan prestige-nya. Penekanan dari pertimbangan majelis hakim terletak dalam hal-hal tersebut, meskipun pada hakikatnya adalah perlindungan hukum bagi semuanya.
83
Sejatinya kedua belah pihak telah menunjukkan iktikad baiknya dengan menikah secara resmi di Kantor Urusan Agama. Namun karena kurangnya pengetahuan Pemohon I dan Pemohon II mengenai prosedur pengesahan anak dari perkawinan sirri, maka Pemohon I dan Pemohon II
kurang tepat dalam
menetukan langkah pengesahan perkawinan mereka. Penulis sependapat dengan Majelis Hakim Pengadilan Agama Sleman yang memeriksa dan mengadili permohonan tersebut. Penulis menilai, Majelis Hakim Pengadilan Agama Sleman cukup bijak dan memperhatikan asas keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum serta perlindungan terhadap hak anak. Hal ini dapat Penulis lihat dari pertimbangan hukum Penetapan Nomor 32/Pdt.P/2012/PA.Smn yang melibatkan berbagai landasan hukum baik landasan hukum Peraturan Peundangan-undangan maupun Landasan Hukum Syara’, yakni dari Al-Qur’an dan Al-Hadits; Maqasid Syariah; Kitab-Kitab Fiqih seperti Kitab Al Asybah Wan Nadhoir, Kitab AlBajuri II, dan Kitab Al-Bayan Qaidah Fiqhiyah; Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; Undang-Undang No.23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan; Undang-Undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 ; dan Kompilasi Hukum Islam.
84
4. Amar Penetapan Pengadilan Agama Sleman Nomor 32/Pdt.P/ 2012/ PN.Smn Setelah Majelis Hakim Pengadilan Agama Sleman memeriksa perkara ini dengan detail, rinci, dan hati-hati, kemudian pertimbangan hukum tersebut mengerucut pada Amar Penetapan Pengadilan Agama Sleman Nomor 32/Pdt.P/2012/PA.Smn. Berikut merupakan Amar Penetapan Majelis Hakim Pengadilan Agama Sleman dalam menetapkan perkara tersebut : 1) Mengabulkan permohonan Pemohon I dan Pemohon II untuk sebagian; 2) Menyatakan Pernikahan Sirri antara Pemohon I dengan Pemohon II yang dilangsungkan pada tanggal 1 Januari 2009 adalah sah menurut hukum Islam dan sah menurut perundangan yang berlaku; 3) Menenetapkan dan menyatakan secara hukum anak yang bernama QUINNSHA BILQA CHUMAERA FANANIE, lahir 30 Oktober 2010 dalam perkawinan sirri tersebut adalah anak sah dari Pemohon I dan Pemohon II; 4) Menetapkan dan menyatakan secara hukum bahwa anak yang bernama QUINNSHA BILQA CHUMAERA FANANIE, lahir 30 Oktober 2010 mempunyai hak-hak sebagaimana kedudukannya sebagai anak yang sah, termasuk mendapatkan Akta Kelahiran sebagai anak sah dari Pemohon I dan Pemohon II; 5) Memerintahkan kepada institusi terkait yang berwenang untuk menerbitkan Akta Kelahiran atas anak yang bernama QUINNSHA BILQA CHUMAERA FANANIE, lahir 30 Oktober 2010 sebagai anak sah Pemohon I dan Pemohon II; 6) Menghukum Pemohon untuk membayar biaya perkara yang hingga penetapan ini dibacakan berjumlah Rp.251.000 ,- ( Dua ratus lima puluh satu ribu rupiah ) ; 5. Analisis Penulis Terhadap Amar Penetapan Perkara Nomor 32/ Pdt.P/ 2012/ PA. Smn Amar putusan merupakan hal yang paling penting dalam suatu putusan karena merupakan penentu dari suatu perkara. Sejalan dengan itu, Amar Penetapan Pengadilan Agama Sleman Nomor :32/Pdt.P.2012/ PA. Smn adalah penentu dari keabsahan perkawinan sirri dari Pemohon I dan Pemohon II serta keabsahan dari
85
anak yang dilahirkan dari perkawinan sirri tersebut. Amar Penetapan Pengadilan Agama Sleman No:32/Pdt.P/2012/PA.Smn menyatakan bahwa Pernikahan Sirri antara Pemohon I dengan Pemohon II yang dilangsungkan pada tanggal 1 Januari 2009 adalah sah menurut hukum Islam dan sah menurut perundangan yang berlaku. Sebagai konsekuensi dari sahnya pernikahan sirri antara pemohon I dan Pemohon II, maka secara hukum anak yang bernama QUINNSHA BILQA CHUMAERA FANANIE yang lahir 30 Oktober 2010 dalam perkawinan Sirri tersebut dinyatakan dan ditetapkan sebagai anak sah dari Pemohon I dan Pemohon II dan mempunyai hak-hak sebagaimana kedudukannya sebagai anak yang sah, termasuk mendapatkan Akta Kelahiran. Kemudian Majelis Hakim memerintahkan kepada institusi terkait yang berwenang untuk menerbitkan Akta Kelahiran atas anak yang bernama QUINNSHA BILQA CHUMAERA FANANIE sebagai anak sah Pemohon I dan Pemohon II. Bapak Nashrudin Salim selaku Hakim Ketua Majelis dalam perkara tersebut menjelaskan 62, bahwa sebagian permohonan Pemohon I dan Pemohon II tidak dikabulkan oleh Majelis Hakim. Permohonan yang tidak dikabulkan adalah mengenai pencatatan perkawinan. Di dalam amar penetapan tersebut tidak lagi memerintahkan untuk mencatatkan perkawinan Pemohon I dan Pemohon II, karena Pemohon I dan Pemohon II sudah melakukan perkawinan sah pada Janauari 2012 di Kantor Urusan Agama (KUA) Depok dan telah mendapatkan kutipan Akta Nikah No: 0044/44/1/2012, tertanggal 16 Januari 2012. Sehingga dalam rangka melindungi hak anak yang lahir dari perkawinan tersebut, maka 62
Nashruddin Salim, Focus Group Discussion “Ijtihad Hakim Pengadilan Agama Dalam Penentuan Status dan Hak-Hak Anak Luar Kawin”, 9 November 2013
86
Mejelis Hakim hanya menyatakan keabsahan dari QUINNSHA BILQA CHUMAERA FANANIE sebagai anak sah dari Pemohon I dan Pemohon II agar anak tersebut mendapatkan Akta Kelahiran. Ibu Endang Sri Hartatik selaku hakim anggota II dalam perkara tersebut63 , juga membenarkan pernyataan Bapak Nashruddin bahwa hanya sebagian permohonan dari Pemohon yang dikabulkan oleh Majelis Hakim. Kemudian beliau menambahkan bahwa pengajuan Itsbat Nikah yang dilakukan oleh Pemohon I dan Pemohon II semata-mata demi kepentingan anak yakni untuk menerbitkan Akta Kelahiran Anak. Tidak adanya perintah kepada Kantor Urusan Agama untuk mencatatkan perkawinan mereka setelah dikabulkannya Itsbat Nikah dikarenakan Pemohon I dan Pemohon II sudah mempunyai kutipan Akta Nikah ketika pernikahan sahnya di KUA pada tahun 2012. Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil belum berkenan membuatkan Akta Kelahiran karena anak tersebut lahir 2 (dua) tahun sebelum pernikahan resmi. Sebenarnya pasangan tersebut memang salah prosedur, namun kesadaran hukum mereka yang tinggi harus diapresiasi. Ibu Endang Sri Hartatik mengungkapkan bahwa Majelis Hakim selalu dilematis ketika bertemu kasus pengesahan anak di luar perkawinan, karena hakim selalu dibenturkan terhadap permasalahan, yakni Majelis Hakim tidak akan mengesahkan anak yang lahir di luar perkawinan yang sah, tetapi di sisi lain seorang anak lahir dalam keadaan suci dan tidak dapat memilih orang tua. Sejatinya setiap anak mempunyai hak yang sama, sebagaimana tercantum dalam 63
Endang Sri Hartatik, Focus Group Discussion “Ijtihad Hakim Pengadilan Agama Dalam Penentuan Status dan Hak-Hak Anak Luar Kawin”, 9 November 2013
87
Undang-Undang Perlindungan Anak. Sebagai umat Islam kita diwajibkan untuk saling melindungi satu sama lain. Apabila dalam amar Penetapan Pengadilan Agama Sleman No.32/Pdt.P/2012/PA.Smn, Majelis Hakim tidak menetapkan sahnya anak, padahal perkawinan Pemohon I dan Pemohon II adalah sah, meskipun pasangan tersebut salah prosedur, alangkah merasa berdosanya Majelis Hakim. Hal tersebut merupakan kesalahan orangtua, sehingga jangan sampai anak menanggung kesalahan dari orangtua. Judgement dari masyarakat terkadang akan dibawa sampai meninggal dunia, bisa saja masyarakat menjuluki anak tersebut sebagai anak haram karena dalam Akta Kelahiran tidak ada nama ayahnya. Di masyarakat Indonesia, biasanya ketika sudah mendapat judgement dari masyarakat sulit untuk mencucinya, bisa saja sampai meninggal dunia masih menjadi bahan pembicaraan orang. Sehingga maqasid dari dikabulkannya permohonan Itsbat Nikah oleh Majelis Hakim Pengadilan Agama Sleman lebih menekankan pada hal tersebut.
88
B. Analisis Koordinasi dan Sinkronisasi antara Pengadilan Agama, Kantor Urusan Agama, dan Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil Dalam Rangka Melindungi Status Anak Dalam Perkawinan Sirri
Adanya harmoni dan keselarasan antar institusi yang berkaitan langsung dengan masyarakat merupakan suatu keharusan, karena dengan adanya harmoni dan keselarasan tersebut akan tercipta suasana nyaman dan kondusif ketika terjadi permasalahan di masyarakat. Masyarakat Indonesia dengan berbagai latar belakang suku dan budaya memiliki berbagai kebutuhan pula dalam proses kehidupannya di dunia, sehingga koordinasi dan sinkronisasi antar institusi memiliki nilai penting sebagai katalisator dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Salah satu wujud dari harmoni dan keselarasan antar institusi yang berkaitan langsung dengan masyarakat adalah adanya koordinasi dan sinkronisasi tugas dan fungsi institusi dalam melayani masyarakat. Koordinasi merupakan proses pengintegrasian tujuan-tujuan dan kegiatankegiatan pada satuan-satuan yang terpisah (institusi-institusi atau bidang-bidang fungsional) pada suatu organisasi untuk mencapai tujuan secara efisien dan efektif 64 . Tipe koordinasi terbagi menjadi koordinasi vertikal dan koordinasi horizontal. Koordinasi vertikal merupakan kegiatan-kegiatan penyatuan dan pengarahan yang dilakukan oleh atasan terhadap kegiatan unit-unit atau kesatuankesatuan kerja yang ada di bawah wewenang dan tanggung jawabnya. Sedangkan koordinasi horizontal merupakan koordinasi tindakan-tindakan atau kegiatan64
Hani Handoko dan Reksodiprojo, 2003, Manajemen Sumber Daya Manuasia dan Perusahaan, BPFE UGM, Yogyakarta, hlm.195
89
kegiatan penyatuan dan pengarahan yang dilakukan terhadap kegiatan-kegiatan dalam tingkat organisasi (aparat) yang setingkat. Koordinasi horizontal terbagi menjadi interdisciplinary dan inrellated. Interdisciplinary adalah suatu koordinasi dalam rangka mengarahkan, menyatukan tindakan-tindakan, mewujudkan, dan menciptakan disiplin antara unit yang satu dengan unit yang lain secara intern maupun ekstern pada unit-unit yang tugasnya sama. Sedangkan Inrellated adalah koordinasi antar badan (institusi) beserta unit-unit yang fungsinya berbeda, tetapi institusi yang satu dengan yang lain saling bergantung atau mempunyai kaitan secara intern atau ekstern yang levelnya setaraf 65 . Dalam melakukan suatu koordinasi dibutuhkan sinkronisasi dari masing-masing unit atau institusi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sinkronisasi merupakan proses pengaturan beberapa proses yang terjadi pada waktu yang bersamaan agar sesuai dan selaras. Tujuan dari sinkronisasi dalam suatu koordinasi adalah untuk mencapai tujuan dari suatu proses secara efektif dan efisien. Realisasi dari koordinasi dan sinkrosnisasi antar institusi yang sangat erat kaitannya dengan kemaslahatan umat tersebut adalah koordinasi dan sinkronisasi dari Pengadilan Agama, Kantor Urusan Agama, dan Kantor Administrasi Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Koordinasi antara ketiga institusi tersebut dapat digolongkan sebagai tipe koordinasi horizontal inrellated, karena fungsi dari ketiga institusi tersebut berbeda namun memiliki ketergantungan atau keterkaitan antar satu institusi dengan institusi lain.
65
Malayu Hasibuan, 2006, Manajemen Dasar, Pengertian, dan Masalah, Bumi Aksara, Jakarta, hlm.86
90
Penetapan Itsbat Nikah No.32/Pdt.P/2012/PA.Smn merupakan produk hukum Pengadilan Agama Sleman yang memiliki implikasi terhadap Kantor Urusan Agama Depok dan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Sleman. Keterkaitan antara ketiga institusi tersebut adalah pada penentuan status anak dari perkawinan sirri. Pengadilan Agama mempunyai peran penting sebagai pemutus atau penentu dari keabsahan perkawinan sirri serta penentu keabsahan anak dari perkawinan sirri tersebut. Apabila Pengadilan Agama menetapkan keabsahan dari suatu perkawinan sirri, maka Kantor Urusan Agama akan membuatkan Akta Nikah. Kemudian apabila Pengadilan Agama menetapkan keabsahan anak dari perkawinan sirri tersebut maka Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil akan membuatkan Akta Kelahiran anak berdasarkan penetapan Pengadilan Agama serta Akta Nikah dari orangtuanya yang dibuat oleh Kantor Urusan Agama. Amar Penetapan Pengadilan Agama Sleman Nomor 32/Pdt/P/2012/PA.Smn dalam point 2 menyatakan bahwa Pernikahan Sirri antara Pemohon I dengan Pemohon II yang dilangsungkan pada tanggal 1 Januari 2009 adalah sah menurut hukum Islam dan sah menurut perundangan yang berlaku. Kemudian dalam point 3 menetapkan dan menyatakan secara hukum anak yang bernama Quinnsha Bilqa Chumaira Fanannie yang lahir pada 30 Oktober 2010 dalam perkawinan sirri tersebut merupakan anak sah dari Pemohon I dan Pemohon II, dan pada point 5 memerintahkan kepada Kantor Administrasi Kependudukan dan Pencatatan Sipil untuk membuat Akta Kelahiran sebagai anak sah dari Pemohon I dan Pemohon II. Pernyataan di dalam amar penetapan tersebut, menegaskan bahwa Majelis Hakim Pengadilan Agama sangat mengakomodir kepentingan anak dalam memperoleh
91
haknya untuk mendapatkan Akta Kelahiran. Namun di dalam Amar Penetapan No.32/Pdt.P/2012/PA.Smn tidak memerintahkan kepada Kantor Urusan Agama untuk membuat Akta Nikah. Di sinilah peran penting dari koordinasi dan sinkronisasi antar institusi, karena apabila salah satu dari ketiga institusi tersebut tidak saling berkoordinasi dan menyinkronkan permasalahan ini, maka akan menimbulkan kerugian pada anak karena kurang terlindunginya status anak. Idealnya, penetapan sahnya pernikahan atau Itsbat Nikah oleh Majelis Hakim Pengadilan Agama merupakan dasar dari pembuatan Akta Kelahiran anak oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Setelah keluar Penetapan dari Pengadilan Agama, maka penetapan tersebut kemudian dibawa ke Kantor Urusan Agama terlebih dahulu untuk dibuatkan Akta Nikah, kutipan Akta Nikah tersebut dijadikan sebagai persyaratan dari penerbitan Akta Kelahiran. Namun, dalam perkara ini, Pemohon I dan Pemohon II kurang memahami prosedur yang ada karena pasangan ini menikah secara resmi di Kantor Urusan Agama terlebih dahulu sebelum mengajukan permohonan Itsbat Nikah. Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh Penulis dengan Bapak Fathoni selaku Penghulu dari perkawinan resmi Pemohon I dan Pemohon II di Kantor Urusan Agama Depok66, maksud dan tujuan awal dari Pemohon I dan Pemohon II datang ke Kantor Urusan Agama Depok adalah untuk mencatatkan pernikahan sirri mereka, agar mereka medapatkan buku kutipan Akta Pernikahan. Namun, pihak Kantor Urusan Agama tidak berkenan untuk mencatat perkawinan sirri mereka karena hal tersebut bertentangan dengan tugas pokok dan fungsi dari 66
Wawancara dengan Bapak Fathoni, pada 18 Februari 2015, saat ini beliau menjabat sebagai Penghulu Kantor Urusan Agama Ngaglik, Sleman, DIY
92
Kantor Urusan Agama. Menurut Bapak Fathoni, tugas pokok dan fungsi Kantor Urusan Agama yang dalam hal ini dilakukan oleh Penghulu, adalah mengawasi dan mencatat pernikahan. Proses pengawasan dilakukan dengan melihat secara langsung peristiwa pernikahan. Apabila seorang Penghulu tidak melakukan pengawasan, maka Penghulu tidak akan mencatat peristiwa tersebut. Sehingga untuk bisa mencatat, Penghulu haruslah menunggu peristiwanya terlebih dahulu. Penolakan oleh Kantor Urusan Agama Depok untuk mencatat pernikahan sirri antara Pemohon I dan Pemohon II, merupakan suatu bukti adanya proses pengawasan oleh Kantor Urusan Agama terhadap pernikahan sirri yang terjadi di masyarakat. Setelah adanya penolakan dari Kantor Urusan Agama Depok, beberapa minggu kemudian Pemohon I dan Pemohon II datang kembali ke Kantor Urusan Agama Depok untuk mendaftarkan pernikahan mereka secara resmi, serta menyerahkan persyaratan pernikahan yang dikehendaki oleh Kantor Urusan Agama. Menurut Bapak Fathoni, ketika persyaratan dan rukun pernikahan telah terpenuhi, maka tidak ada alasan bagi Kantor Urusan Agama untuk menolak suatu pernikahan. Sehingga Pemohon I dan Pemohon II akhirnya menikah secara resmi di Kantor Urusan Agama Depok pada tanggal 14 Januari 2012 dan tercatat dalam Akta Nikah No: 0044/44/I/2012 tertanggal 16 Januari 2012. Pihak Kantor Urusan Agama Depok sebenarnya sudah memberikan rekomendasi kepada Pemohon untuk melakukan Itsbat Nikah di Pengadilan Agama Sleman, hal ini dikarenakan Pemohon sudah menikah sirri dan sudah dikaruniai seorang anak. Namun,
93
Pemohon kurang berkenan dan lebih memilih menikah secara resmi di Kantor Urusan Agama Depok. Setelah diterbitkannya buku kutipan Akta Pernikahan, Pemohon kemudian datang ke Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Sleman. Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh Penulis dengan Bapak Sumardi selaku pegawai Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil yang berhadapan langsung dengan Pemohon 67 , beliau menjelaskan bahwa Pemohon datang ke Kantor Kependudukan dan Pencatatan Sipil untuk meminta dibuatkan Akta Kelahiran anak. Namun, ketika meneliti berkas persyaratan pembuatan Akta Kelahiran, pihak Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Sleman menemukan adanya kejanggalan pada buku kutipan Akta Pernikahan Pemohon I dan Pemohon II, karena di dalam kutipan Akta Pernikahan tersebut tercatat tahun 2012, sedangkan anak dari Pemohon I dan Pemohon II lahir pada tahun 2010, sehingga Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil tidak berkenan untuk membuatkan Akta Kelahiran anak, karena anak tersebut lahir 2 tahun sebelum pernikahan resmi dilangsungkan. Lebih lanjut Bapak Sumardi menjelaskan bahwa Akta kelahiran yang diterbitkan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil haruslah memenuhi beberapa persyaratan yang tercantum dalam Pasal 52 Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2008, yakni adanya Surat kelahiran dari dokter/bidan/penolong kelahiran; nama dan identitas saksi kelahiran; KK orang tua; KTP orang tua; dan Kutipan Akta Nikah/Akta Perkawinan orang tua. Dalam hal pelaporan kelahiran tidak 67
Wawancara dengan Bapak Sumardi, pada 23 Januari 2015, saat ini beliau menjabat sebagai Kepala Seksi Perkawinan di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Sleman, DIY
94
disertai kutipan akta nikah/ akta perkawinan orang tua pencatatan kelahiran tetap dapat dilaksanakan, namun dengan konsekuensi hanya atas nama ibu dan tidak ada nama ayah di dalam Kutipan Akta Kelahiran tersebut. Undang-Undang No.23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dalam Pasal 27 menjelaskan bahwa setiap kelahiran wajib dilaporkan oleh keluarganya atau orangtuanya di tempat peristiwa kelahiran. Namun pada tahun 2013 Undang-Undang ini diganti dengan Undang-Undang No.24 Tahun 2013, dimana bunyi pasal 27 diubah menjadi, “Setiap kelahiran wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada institusi Pelaksana setempat...”. Sehingga berdasarkan UndangUndang dahulu yakni Undang-Undang No.23 Tahun 2006 menggunakan asas peristiwa sedangkan sekarang menggunakan Undang-Undang No.24 Tahun 2013 yang menggunakan asas domisili. Setelah adanya penolakan dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Sleman, Pemohon I dan Pemohon II kembali datang ke Kantor Urusan Agama Depok untuk meminta perubahan pada buku kutipan Akta Pernikahan mereka agar pernikahan mereka dicatat sejak tahun 2009, namun Kantor Urusan Agama Depok tetap menolaknya. Bapak Fathoni menjelaskan bahwa pada saat yang sama di Bulan Februari 2012, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan terkait status anak yang diajukan oleh Macica Muchtar. Dari situlah kemudian Pemohon mempunyai semangat untuk mengurus ke Pengadilan Agama Sleman dengan mengajukan permohonan Itsbat Nikah. Amar Penetapan Pengadilan Agama Sleman Nomor 32/Pdt/P/2012/PA.Smn dalam point 2 menyatakan bahwa Pernikahan Sirri antara Pemohon I dengan
95
Pemohon II yang dilangsungkan pada tanggal 1 Januari 2009 adalah sah menurut hukum Islam dan sah menurut perundangan yang berlaku. Kemudian dalam point 3 menetapkan dan menyatakan secara hukum anak yang bernama Quinnsha Bilqa Chumaira Fanannie yang lahir pada 30 Oktober 2010 dalam perkawinan sirri tersebut merupakan anak sah dari Pemohon I dan Pemohon II, dan pada point 5 memerintahkan kepada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil untuk membuat Akta Kelahiran sebagai anak sah dari Pemohon I dan Pemohon II. Pernyataan di dalam amar penetapan tersebut, menegaskan bahwa Majelis Hakim Pengadilan Agama sangat mengakomodir kepentingan anak dalam memperoleh haknya untuk mendapatkan Akta Kelahiran. Namun di dalam Amar Penetapan No.32/Pdt.P/2012/PA.Smn tidak memerintahkan kepada Kantor Urusan Agama untuk membuat Akta Nikah. Setelah dikeluarkannya Penetapan Itsbat Nikah No:32/Pdt.P/2012/ PA.Smn, Pemohon kembali ke Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Sleman untuk meminta dibuatkan Akta Kelahiran anak dengan membawa salinan Penetapan Itsbat Nikah tersebut. Namun, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil tetap tidak berkenan untuk membuatkan Akta Kelahiran karena belum ada Akta Nikah dari Kantor Urusan Agama, meskipun sudah ada perintah dari Pengadilan Agama Sleman untuk membuatkan Akta Kelahiran anak dari Pemohon I dan Pemohon II. Bapak Sumardi mengungkapkan bahwa sempat terjadi percekcokan kecil antara Pengacara dari Pemohon dengan pihak Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Namun, Bapak Sumardi berhasil menengahi permasalahan tersebut dengan memberikan rekomendasi kepada Pengacara dan
96
Pemohon untuk meminta Kantor Urusan Agama menuliskan di catatan pinggir Akta Pernikahan Pemohon I dan Pemohon II bahwa pernikahan mereka telah sah sejak tahun 2009 berdasarkan Penetapan Itsbat Nikah No.32/Pdt.P/2012/PA.Smn. Setelah mendapat rekomendasi dari Bapak Sumardi, kemudian pengacara beserta Pemohon kembali ke Kantor Urusan Agama (KUA) Depok untuk meminta menuliskan catatan pinggir di Akta Nikah Pemohon I dan Pemohon II yang pada intinya menjelaskan bahwa pernikahan mereka telah sah sejak 2009 berdasarkan Penetapan Itsbat Nikah No.32/Pdt.P/2012/PA.SMN. Bapak Fathoni yang ketika itu berhadapan dengan Pemohon dan mendengar permohanan dari Pemohon, tidak berkenan secara langsung melakukan apa yang diminta oleh Pemohon sebelum mempelajari salinan putusan dari Pengadilan Agama Sleman. Setelah Bapak Fathoni mempelajari, ternyata tidak ada amar penetapan yang memerintahkan kepada Kantor Urusan Agama untuk melakukan pencatatan pernikahan. Karena tidak ada perintah dari Pengadilan Agama Sleman, maka pihak Kantor Urusan Agama tidak berkenan untuk melakukan perubahan apapun di dalam Akta Nikah Pemohon. Setelah diskusi panjang, akhirnya para pihak melalui pengacara bersedia mengalah dan kembali lagi ke Pengadilan Agama Sleman untuk meminta perubahan amar penetapan dengan memasukkan perintah kepada Kantor Urusan Agama untuk melakukan pencatatan. Bapak Fathoni menjelaskan bahwa satu bulan kemudian, Pemohon dan Pengacara datang kembali ke Kantor Urusan Agama dengan membawa salinan Penetapan No:32/Pdt.P/2012/PA.Smn yang telah diubah amarnya oleh Pengadilan Agama Sleman. Dalam amar penetapan tersebut, yang semula tidak ada perintah
97
kepada Kantor Urusan Agama untuk mencatatkan, kemudian ditambahkan satu point adanya perintah kepada Kantor Urusan Agama untuk mencatatkan pernikahan Pemohon I dan Pemohon II sejak tahun 2009. Karena sudah ada perintah dari Pengadilan Agama kepada Kantor Urusan Agama Depok untuk mencatatkan, maka Bapak Fathoni bersedia melakukan penambahan catatan di dalam Akta Nikah Pemohon I dan Pemohon II Bapak Fathoni mengatakan bahwa selama Pengadilan Agama tidak memerintahkan kepada Kantor Urusan Agama untuk mencatat maka Kantor Urusan Agama tidak akan melakukan perubahan apapun dalam Akta Nikah dari Pemohon I dan Pemohon II. Hal ini dikarenakan ketika dalam amar penetapan tidak ada perintah kepada Kantor Urusan Agama maka dalam hal ini berarti Kantor Urusan Agama tidak dilibatkan. Setelah adanya perubahan amar tersebut, kemudian Bapak Fathoni memberikan catatan pinggir di Akta Pernikahan Pemohon I dan Pemohon II yang diletakkan di lembar terakhir buku kutipan Akta Pernikahan (Catatan Status Perkawinan).
Di
dalam
catatan
pinggir
tersebut,
Bapak
Fathoni
menuliskan,“Berdasarkan Penetapan Pengadilan Agama Sleman Nomor 32/ Pdt.P/ 2014/ PN.Smn maka pernikahan antara Mohammad Zakky Fanannie dan Ayu Lidya Rahmah berlaku sejak tahun 2009 sebagaimana Penetapan Pengadilan Agama Sleman”, kemudian diberi paraf serta stempel. Setelah adanya catatan pinggir di kutipan Akta Nikah kemudian Pemohon beserta
Pengacara
membawa
kutipan
Akta
Nikah
tersebut
ke
Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil untuk menerbitkan Akta Kelahiran anak Pemohon I dan Pemohon II. Karena sudah ada catatan pinggir di kutipan Akta
98
Nikah mereka, kemudian Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil bersedia membuatkan Akta Kelahiran anak yang bernama Quinnsha Bilqa Chumaera Fananie, lahir 30 Oktober 2010. Menurut Bapak Sumardi, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil sifatnya adalah eksekutor, ketika ada Penetapan dari pengadilan serta terpenuhi syarat-syarat dari pembuatan suatu akta, maka Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil tidak akan mempermasalahkan dan berani untuk mengeksekusi pembuatan akta tersebut. Dalam penelitian Penulis di lapangan, Penulis menemukan adanya kejanggalan dan ketidaksinkronan ketika Penulis melakukan wawancara dengan pihak Kantor Urusan Agama dan pihak Pengadilan Agama Sleman. Bapak Fathoni selaku penghulu dan Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama yang berhadapan langsung dengan para pihak mengungkapkan bahwa terjadi perubahan amar dalam Penetapan Pengadilan Agama Sleman No:32/ Pdt.P/ 2012/ PA.Smn, yang pada awalnya tidak melibatkan Kantor Urusan Agama dan kemudian berubah amarnya dengan bertambah satu point yang pada intinya memerintahkan Kantor Urusan Agama untuk mencatat pernikahan sejak tahun 2009. Namun ketika Penulis melakukan wawancara dengan Ibu Endang Sri Hartatik selaku Hakim yang menangani perkara No. 32/ Pdt.P/ 2012/ PA.Smn, beliau mengungkapkan bahwa tidak ada perubahan apapun dalam amar Penetapan Itsbat Nikah No. 32/ Pdt.P/ 2012/ PA.Smn. Hal ini dikarenakan asas dari produk hukum Pengadilan adalah “Res Judicata Pro Veritate Habetur”, yang memiliki arti bahwa putusan hakim harus dianggap benar. Apabila Pemohon I dan Pemohon II
99
berkebaratan dengan Penetapan tersebut maka solusi yang dapat diambil adalah dengan Kasasi Mahkamah Agung. Penulis kemudian datang ke Pengadilan Agama Sleman untuk meminta salinan Penetapan Itsbat Nikah No.32/Pdt.P/2012/PA.Smn karena Penulis ingin mencocokkan salinan Penetapan milik Penulis yang diberi oleh Ibu Endang Sri Hartatik dengan Penetapan yang disimpan di Pengadilan Agama Sleman. Ketika itu Penulis juga ditunjukkan dokumen asli dari Penetapan No.32/ Pdt.P/ 2012/ PA.Smn. Dari ketiga dokumen tersebut, salinan Penetapan milik Penulis dari Ibu Endang Sri Hartatik, salinan penetapan yang disimpan di Pengadilan Agama Sleman, serta dokumen asli Penetapan Pengadilan Agama Sleman, ternyata ketiganya sama dan tidak ada perubahan apapun dalam amar penetapan Pengadilan Agama Sleman. Kemudian Penulis kembali ke Kantor Urusan Agama Depok untuk menanyakan keberadaan dari Penetapan Pengadilan Agama Sleman yang amarnya telah di ubah, namun pihak Kantor Urusan Agama tidak menemukannya dengan alasan “ketlisut”. Menurut hemat Penulis, sebagai kantor yang melayani masyarakat dalam hal persuratan atau Akta, seharusnya Kantor Urusan Agama dapat menyimpan dokumen dengan rapi dan sistematis. Namun, ketika sampai ada dokumen yang hilang atau “ketlisut”, hal ini menunjukkan buruknya sistem penyimpanan dokumen di Kantor Urusan Agama Depok. Di samping itu, adanya kejanggalan atau ketidaksinkronan pernyataan dari Pengadilan Agama dan Kantor Urusan Agama seperti yang telah Penulis jelaskan di atas menimbulkan spekulasi Penulis bahwa dalam perkara ini terdapat indikasi pemalsuan dokumen atau dalam hal ini
100
adalah pemalsuan amar Penetapan Pengadilan Agama Sleman No.32/ Pdt.P/ 2012/ PA.Smn oleh Pengacara Pemohon, namun Penulis tidak akan mencari tahu lebih mendalam karena hal tersebut di luar pokok Pembahasan Penulis dalam Penulisan Hukum ini.