BAB I PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang Pengkajian terhadap rumpun bahasa Austronesia sudah dilakukan oleh para ahli linguistik sejak tahun 1784. Rentang waktu yang panjang itu rupanya belumlah cukup mematenkan pengklasifikasian secara umum mengenai rumpun bahasa Austronesia itu sendiri. Perdebatan terkait pencabangan masih kerap terjadi terutama pengelompokan terhadap bahasa Austronesia rumpun bahasa Melayu batasan nya masih belum jelas (Collins, 1983: 83). Hal ini kemudian dirumitkan lagi dengan belum terbitnya sebuah buku pun yang menyajikan sejarah bahasa Indonesia, Malaysia, Brunei, dan Singapura secara komprehensif dan ilmiah. Itulah kemudian klasifikasi dan pemetaan terhadap bahasa-bahasa yang ada di Indonesia menjadi sangat penting dan mendesak dilakukan. Penelitian dialektologi dalam perkembangannya mulai menemukan bentuknya pada akhir abad ke-19, yang ditandai oleh unculnya dua penelitian yang dilakukan pada dua tempat (negara) yang berbeda dalam waktu yang relatif bersamaan. Penelitian yang pertama dilakukan di Jerman oleh Gustav Wenker pada tahun 1876 dan yang kedua dilakukan di Perancis oleh Jules Louis Gillieron pada tahun 1880 ( Moulton, 1969: 59). Kedua penelitian yang menjadi tonggak awal munculnya studi dialektologi tersebut secara umum bersifat diakronis (historis). Namun, oleh karena kedua penelitian itu disasarkan pada upaya pembuktian hukum perubahan bunyi yang dikemukakan kaum Neogrammarian, yang disebut dengan hukum bunyi tanpa kekecualian, maka segala kajian yang bersifat diakronis seperti hubungan dialekdialek/subdialek-subdialek dengan bahasa induk yang menurunkannya; hubungan antara dialek-dialek/subdialek-subdialek itu satu
sama lain, serta hubungan antara dialek-dialek/subdialek-subdialek itu dengan dialekdialek/subdialek-subdialek dari bahasa lain yang diduga ikut pula membentuk kejatian dialekdialek/subdialek-subdialek dari bahasa yang dteliti itu belum mendapat perhatian. Hal yang sama, yang juga belum mendapat perhatian yang memadai dalam kedua kajian dialektologi di atas adalah hal yang berkaitan dengan aspek sinkronis. Dalam hal ini yang dimaksudkan berkaitan dengan bidang kajian linguistic yang dijadikan dasar kajiannya lebih ditekankan pada perbedaan bidang fonologi daripada bidang linguistic lainnya, seperti bidang morfologi, sintaksis, leksikon, dan semantic. Hal ini dapat dimaklumi karena sasarannya diutamakan pada pembuktian kebenaran hukum perubahan bunyi yang diajukan kaum neogrammarian. Dalam pada itu pula , penentuan status isolek sebagai dialek atau subdialek sepenuhnya tidak didasarkan pada perbedaan yang terdapat pada semua bidang kajian linguistik di atas. Selanjutnya, perkembangan penelitian dialektologi pasca Wenker dan Gillieron memperlihatkan kecenderungan ke arah terbentuknya dua pola penelitian yang berbeda satu sama lain. Yang pertama, penelitian yang hanya menekannkan aspek sinkronis dan yang kedua penelitian yang tidak hanya menekankan aspek sinkronis, tetapi juga aspek diakronis. Penelitian dialektologi dilakukan oleh Teew (1958) untuk bahasa Sasak di pulau Lombok yang menjadi tonggak awal munculnya penelitian dialektologi di Indonesia merupakan contoh penelitian dialektologi yang bersifat sinkronis. Tampaknya, dalam perkembangan selanjutnya penelitian dialek geografis jenis ini mendapat tempat yang subur dalam penelitian dialektologi di Indonesia. Hal ini berkat munculnya seorang ahli dialektologi yang berkebangsaan Indonesia yaitu Ayatrohaedi dengan bukunya yang cukup dikenal pada kalangan dialektolog Indonesia adalah Dialektologi: Sebuah Pengantar (1983)
Jika merujuk ke hasil pemetaan bahasa-bahasa di Indonesia yang dilakukan oleh Pusat Bahasa, kini Badan Pembinaan, Pengembangan dan Perlindungan Bahasa (2008), dan oleh Grimes (2000) dalam The Languages of The World, di Indonesia terdapat tidak kurang 698 buah bahasa daerah dan dialeknya (dalam Masinambow dan Haenen: 2000). Bahasa daerah dan dialeknya itu memiliki jumlah pemakai dan luas daerah pemakaian yang berbeda-beda. Ada yang jumlah pemakainya sedikit misalnya bahasa Irian Jaya (Papua) dan Nusa Tenggara Timur (lihat Ayatrohaedi, 1985:1) Bahasa Muna (BM) adalah salah satu dari 698 bahasa daerah di Indonesia yang disebutkan di atas yang pemakaian nya tidak hanya terdapat di Kabupaten Muna di Pulau Muna tetapi juga tersebar/terdapat di Pulau Buton. Kajian geografi dialek terhadap bahasa Muna sama sekali belum pernah dilakukan. Hal yang sama terjadi pula pada pemakaian bahasa Muna yang ada sebagai daerah kantong (enclave) di pulau buton tidak pernah pula dilakukan penelitian sebelumnya. Sejauh ini kerja penelitian terkait bahasa Muna hanya menjangkau identifikasi dan pengklasifikasiannya saja yang sudah dilakukan oleh Summer Institute of Linguistik (SIL) pada 2006, dan Pusat Bahasa 2008. Menurut Van den Berg (1989), bahasa Muna terdiri atas tiga dialek yaitu, (1) dialek Muna standar, (2) dialek Tiworo Kepulauan, dan (3) dialek selatan (daerah Siompu dan Gulamas). Bahasa Muna juga terdapat di kabupaten/pulau Buton. Daerah-daerah seperti Kamaru, Liabuku, Batauga, Siompu, Gu, Lakudo, Mawasangka, sebagian Lasalimu, Bungi, sebagian Sampolawa adalah daerah-daerah di Buton yang bahasanya adalah merupakan varian bahasa Muna. Daerah-daerah enklave Muna di Buton itu mengidentifikasi diri mereka sebagai Pancana. Pancana adalah komunitas Muna yang tinggal di daerah periveral, daerah pinggiran Muna, dan di pulau Buton bagian barat. statusPancana karena pengaruh bahasa Wolio yang lebih berprestise dianggap sebagai bahasa minoritas. Dinamika Muna lebih diberi peluang untuk hidup
daripada bahasa lain disamping bahasa Wolio, karena peranan Muna sebagai benteng penjaga dan penopang (Barata) kesultanan adalah hal lain yang mungkin bisa menunjang . Menarik dicermati bahwa jika ditarik mundur kebelakang, pada masa dahulu, Muna adalah sebuah kerajaan yang tunduk dan di bawah kontrol Kesultanan Buton. Dalam perspektif Kesultanan Buton, Muna adalah sebuah Barata bersama-sama dengan Kulisusu di Utara, Tiworo di Barat, dan Kaledupa di Timur. Barata adalah daerah penopang yang bertanggung jawab menjaga keamanan dan melindungi Kesultanan dari gangguan bajak laut ataupun serangan musuh. (lihat Zuhdi dalam labu rope labu wana, Sejarah Buton yang Terabaikan. 2005). Sebagai Kesultanan, Buton mempunyai bahasa sendiri yaitu bahasa Wolio, tetapi dapat dilihat kini pada daerah-daerah di Buton, bahasa Muna justru banyak sekali ditemukan khususnya pada daerah pesisir pantai barat dan selatan pulau Buton serta pulau-pulau kecil di sekitar lepas pantai pulau Buton seperti pulau Siompu, Kadatua, dan Talaga. Charles E. Grimes and Barbara D. Grimes dalam Languages of South Sulawesi (1987: 59) menyatakan bahwa rumpun Muna-Buton masuk dalam rumpun bahasa-bahasa di Sulawesi Selatan. Sedangkan La Ode Sidu dkk menyebut bahasa Muna-Buton masuk dalam rumpun Sulawesi tenggara. Penelitian lain yang dilakukan oleh Summer Institute of Linguistic (SIL) 2006 tidak menyebutkan adanya enklave Muna di Buton. SIL hanya mengidentfikasi dan kemudian mengklasifikasi bahasa Muna dalam empat dialek, yaitu Muna Utara (daerah Tongkuno, Kabawo, Lawa), Muna Selatan (daerah Gulamas), Muna Barat (daerah Lohia) Muna Timur (daerah Tiworo Kepulauan). Relasi historis menunjukan sangat dekatnya Enklave Muna di Pulau Muna, khususnya di Muna Selatan (daerah Gu, Lakudo, Mawasangka atau diakronimkan Gulamas) dengan Siompu,
Talaga, Batauga, Kapontori, Todanga, sebagian Kamaru, Lipu, Liabuku, sebagian Sampolawa, dan sebagian Lasalimu di Pulau Buton. Untuk melihat hubungan antarbahasa sekerabat dalam telaah komparatif pada prinsipnya dapat dibuktikan berdasarkan unsur-unsur warisan dari bahasa asal atau protobahasa. Secara genetis pengelompokan bahasa dalam telaah komparatif dapat menyajikan keterangan tentang hubungan historis bahasa-bahasa sekerabat secara khusus. Cara kerja komparatif yang digunakan adalah bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Prosedur metode komparatif yang bersifat kuantitatif ditempuh mengawali tahap rekonstruksi protobahasa dengan menerapkan metode komparatif yang bersifat kualitatif. Penelitian secara mendalam mengenai enklave bahasa Muna di Buton belum pernah sebelumnya dilakukan, padahal tema mengenai ini sangat penting diteliti untuk mengetahui dan memetakan secara visual daerah mana saja di kabupaten/pulau Buton yang masyarakatnya memiliki bahasa yang merupakan varian bahasa Muna dan sekaligus malanjutkannya pada analisis secara diakronis. Penelitian yang dilakukan oleh Summer Istitute Linguistic (SIL) 2006 dan Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara 2008 hanya menyentuh sedikit saja mengenai ini, tidak masuk menjangkau hal yang substansial. penelitian kedua lembaga itu baru sebatas pada pemetaan secara visual saja atau baru secara sinkronis belum mencapai kajian secara diakronis. Oleh karena itu, kajian terhadap sejumlah enklave Muna yang ada di pulau Buton dari aspek dialektologi diakronis perlu dilakukan, selain untuk memperkaya pemahaman tentang variasi bahasa Muna, diharapkan juga tersedianya kajian bahasa Muna secara komprehensif. Dengan demikian, enclave-enklave Muna yang ada di Pulau Buton dapat turut diperhitungkan dalam kajian linguistic diakronis (bandingkan dengan Collins, 1983 & 1994; Nothofer, 1995, dan Fernandez, 1998).
Selain itu, yang menarik adalah penyebab perpindahan orang-orang Muna di pulau Buton yang berbeda-beda tujuan kedatangan mereka. Ada beberapa bukti yang memperlihatkan secara signifikan bahwa bahasa Muna juga digunakan di Pulau Buton terutama di Buton bagian Barat dan Selatan. Sebenarnya kedatangan orang-orang Muna di Pulau Buton itu tidak terjadi secara serentak, tetapi terjadi secara bertahap. Ditinjau dari perspektif sejarah, perpindahan orang Muna ke pulau Buton melalui fase sejarah yang berbeda, disebabkan sejumlah faktor yang berbeda pula. Jauh sebelum Mia Patamiana (si empat orang) datang di Pulau Buton yang kemudian mendirikan kerajaan Wolio pada sekitar tahun 1300-an, pulau Buton telah berpenghuni manusia. Adalah manusia-manusia asli tertua yang pernah hidup di dalam goa di daratan pulau Muna pada sekitar 4000 SM melakukan migrasi ke Pulau Buton. Manusia-manusia yang pernah hidup dalam goa ini kemudian berdiam tinggal di pulau Buton bagian barat dan selatan. Mereka inilah yang kemudian menjadi muasal moyang leluhur dan menurunkan suku Wakaokili, suku Kalende, suku Lipu, suku Lambusango, suku Kolagana, suku Lowu-Lowu, suku Wapancana, dan suku Todanga. Belakangan suku-suku ini kemudian mengidentifiaksi diri mereka sebagai Pancana. (Mudjur, 2009:60) Informasi historis yang lain menyebutkan bahwa berdasarkan teori mutakhir tentang migrasi mahluk Homo Sapiens, dapat diperkirakan bahwa pulau Buton dan Muna sudah pernah dihuni, atau paling tidak disinggahi oleh mahluk manusia sejak sekitar 50—30 ribu tahun yang lalu. Kelompok Homo Sapiens yang bermigrasi keluar dari Afrika dan pergi menuju Asia Selatan, Asia tenggara, dan lalu Australia inilah, dapat diperkirakan yang juga menjadi mahluk manusia pertama yang ada di pulau Buton dan Muna. Namun migrasi manusia modern ini bukan merupakan gelombang pertama dan terakhir dari persebaran mahluk manusia di permukaan bumi ini. Ini
merupakan gelombang terawal dan paling kuno dari persebaran mahluk manusia di kawasan asia Tenggara dan benua Australia termasuk Pulau Buton dan Muna (lihat Maula dkk, 2011:11) Pada sekitar 2500 SM (Zaman Neolitikum), gelombang migrasi berikutnya datang dari Cina Selatan melalui Taiwan dan kepulauan Filipina, menuju kepulauan Indo-Melayu. Para migran ini, yang berasal dari orang Mongoloid Selatan, umumnya dikenal sebagai orang-orang Austronesia; mereka yang bermukim di kepulauan ini dan Pasifik juga dikenal sebagai MalayoPolynesian, untuk membedakan mereka dari kelompok Austronesia lain nya, orang-orang Formosa, yang bermukim di Taiwan dan bahasanya telah berkembang secara berbeda. Gelombang-gelombang migrasi Austronesia ini bermigrasi ke arah selatan dari Taiwan melalui Filipina, dimana mereka kemudian terbagi menjadi dua cabang, (1) cabang yang pertama meneruskan perjalanan ke arah selatan dan bermukim di Sulawesi dan Kalimantan. Dari Kalimantan Utara, beberapa kelompok menyeberangi Laut Cina Selatan untuk bermukim di Vietnam Selatan. Kelompok-kelompok lain melanjutkan perjalanan sampai ke Bali, Jawa, Sumatera, dan Semenanjung Malaysia. Belakangan migrasi juga terjadi ke Madagaskar. (2) cabang kedua bermigrasi ke timur dan bermukim di Maluku, dimana mereka terbagi menjadi dua kelompok lagi, yang pertama terus ke Tonga, Samoa, dan Polinesia, sementara kelompok yang kedua pergi ke barat dan bermukim di kepulauan Sunda Kecil. Cabang ini jugalah yang sangat mungkin singgah dan bermukim di Pulau Buton dan Muna (Maula, 2011:14) Dalam hal arus pergerakan migrasi ini, menarik memperhatikan kesimpulan para ahli, sebagaimana ditulis oleh Christian Pelras berdasarkan analisis linguistik bahwa penghuni pertama Austronesia di Sulawesi Selatan memiliki hubungan dengan mereka yang saat ini menghuni bagian tengah dan tenggara Sulawesi. Mereka itu menggunakan bahasa yang tergolong ke dalam kelompok bahasa Kaili-Pamona, Bungku-Mori, dan Muna-Wolio (Buton). Bahwa bahasa tersebut
merupaka substratum bagi bahasa-bahasa yang kini digunakan oleh penduduk Sulawesi Selatan dapat dilihat dari analisis terhadap kata-kata tertentu yang masih ditemukan dalam bahasa Makassar dan Toraja, serta bahasa Bugis kuno serta bahasa Bugis para pendeta bissu. (lihat Pelras dalam Manusia Bugis). Lebih lanjut Pelras menulis bahwa sebelum tarikh masehi, mereka yang tergolong ke dalam kelompok penutur bahasa Muna-Buton yang keturunannya dewasa ini dapat ditemukan di daerah Wotu (Luwu), Layolo (Selayar), Kalao (dekat Selayar), Muna, dan Wolio agaknya bermukim di sekeliling pantai teluk Bone. Sedangkan kelompok penutur bahasa Pamona hidup berpencar di pedalaman Semenanjung Sulawesi Selatan (Pelras, 2005:42—43) Berdasarkan tinjauan sejarah dan linguistik di atas, dapat diasumsikan bahwa orang Muna yang terdapat di beberapa enklave Muna di Pulau Buton menggunakan bahasa Muna dengan dialek yang berbeda-beda. Sehubungan dengan itu, ada peluang untuk melakukan kajian yang mendalam terhadap isolek-isolek Muna yang ada di Pulau Buton. Alasannya, karena selain belum adanya kajian yang mendalam dan menyeluruh terhadap isolek-isolek itu melalui pendekatan linguistic diakronis, sampai saat ini belum ditetapkan bahasa atau dialek apa sebenarnya yang dipakai oleh desa-desa berpenutur bahasa Muna itu. Walaupun berdasarkan pengakuan sebagian besar penutur di masing-masing enclave itu bahwa mereka adalah orang-orang Pancana yang muasalnya datangnya dari pulau Muna. Perlu ditelusuri melalui kajian linguistik (dialektologi diakronis) muasal mereka ketika terjadi migrasi dari daerah asalnya. Berdasarkan bukti dari uraian sejarah seperti yang diungkapkan di atas, patron untuk menyimpulkan bahwa suatu bahasa berasal dari satu bahasa atau kelompok bahasa belum dapat diandalkan dan dipakai sebagai pegangan karena masih perlu dikaji eksistensi isolek-isolek tersebut melalui penelitian. Penelitian ini akan
memperjelas tidak hanya status bahasa daerah enklave Muna di pulau Buton tetapi juga bagaimana awal mula mereka bermigrasi serta alasan-alasan mereka melakukan perpindahan itu.
1.2 Rumusan Masalah Oleh karena alat komunikasi yang digunakan oleh penutur isolek di enckave-enklave Muna di Pulau Buton diasumsikan bervariasi, maka sebelum pembicaraan terhadap hubungan isolekisolek itu dengan dialek-dialek bahasa Muna di Pulau Muna terlebih dahulu perlu dilakukan identifikasi hubungan dan tingkat kekerabatan isolek-isolek itu dengan bahasa Muna dialek Selatan (Gu-Mawasangka) dan bahasa Muna dialek Utara. Untuk memudahkan pembicaraan dalam kajian ini penulis menggunakan istilah isolek yang lebih bersifat netral, karena status media komunikasi yang digunakan oleh sejumlah enklave tersebut masih belum jelas apakah bahasa ataukah dialek. Pembicaraan terhadap sejumlah isolek-isolek tersebut harus diarahkan pada upaya pembuktian secara linguistis dalam hal ini keeratan hubungan dan tingkat kekerabatan isolekisolek Muna di Pulau Buton dengan bahasa Muna dialek selatan atau Gu Mawasangka, dan bahasa Muna di daerah Tongkuno (Muna tinggi). Hubungan isolek-isolek itu dengan dialek-dialek bahasa Muna, dan pengaruh bahasa Muna dialek selatan di Pulau Muna. Dengan demikian permasalahn penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut. 1. Bagaimana hubungan kekerabatan isolek-isolek Muna yang ada di pulau Buton dengan dialek Selatan (Gu-Mawasangka), dan bahasa Muna dialek Utara? 2. Bagaimana hubungan isolek-isolek Muna yang ada di Pulau Buton dengan dialek-dialek bahasa Muna di Pulau Muna?
3. Bagaimanakah pengaruh bahasa Muna dialek Selatan (Gu-Mawasangka) terhadap isolekisolek Muna di Pulau Buton?
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan hubungan isolek Muna di pulau Buton dengan bahasa Muna, hubungan isolek-isolek Muna itu dengan dialek-dialek bahasa Muna, dan pengaruh bahasa Muna terhadap isolek-isolek Muna di pulau Buton. Jadi tujuan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut. 1. Mendeskripsikan hubungan kekerabatan isolek-isolek Muna yang ada di pulau Buton dengan dialek Selatan (Gu Mawasangka), dan bahasa Muna dialek Utara 2. Mendeskripsikan hubungan isolek-isolek Muna yang ada di Pulau Buton dengan dialek-dialek bahasa Muna di Pulau Muna; dan 3. Mendeskripsikan pengaruh bahasa Muna, dialek Selatan (Gu-Mawasangka), terhadap isolek-isolek Muna di pulau Buton.
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini mempunyai tujuan teoritis dan praktis. Kegunaaan teoritis adalah adanya gambaran yang memadai tentang hubungan kekerabatan isolek-isolek Muna di Pulau Buton dengan dialek Selatan (Gu-Mawasangka), dan bahasa Muna dialek Utara, hubungan isolek-isolek
Muna dengan dialek-dialek bahasa Muna, dan pengaruh dialek Selatan (Gu-Mawasangka), dan bahasa Muna dialek Utara terhadap isolek-isolek itu. Kegunaan praktis penelitian ini adalah dengan pengetahuan mengenai keadaan bahasa yang diteliti, hubungan dengan bahasa-bahasa lain yang sekerabat dengannya diharapkan dapat memberikan arah bagi penentuan kebijakan politik bahasa nasional khususnya dalam proses pengembangan dan pembinaan bahasa. Dengan kata lain, menjadi bahan masukan bagi pembangunan kebinekaantunggalikaan ke kebudayaan nasional Indonesia (lihat Danie, 1991: 8, dalam Mahsun, 1994:9). Dengan demikian dapat dikatakan sebagai salah satu upaya ikut memelihara bahasa daerah tersebut sebagai salah satu unsur kebudayaan nasional. Hal lainnya adalah sebagai bahan informasi bahwa bahasa-bahasa di Muna-Buton sekerabat yang itu kemudian dapat menumbuhkan solidaritas bersama dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kedua daerah tersebut dengan membentuk satu provinsi baru tersendiri sebagaimana yang kini sedang diupayakan yakni Provinsi Buton Raya, atau Provinsi Muna-Buton, atau Provinsi Sulawesi Tenggara Kepulauan.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian Berdasarkan informasi yang dikumpulkan dalam penelitian lapangan pendahuluan dipahami bahwa di pulau Buton terutama di daerah pesisir barat dan selatan ditemukan beberapa enklave Muna yaitu di Batauga, Lipu, Liabuku, Lowu-Lowu (ketiganya terdapat di Kota Bau-Bau, wilayah pesisir barat pulau Buton), Kapontori, Barangka, Kamaru, Todanga, Matanauwe, dan Kakenauwe (daerah di Barat Pulau Buton). Dari sekian banyak daerah enklave Muna tersebut hanya enklave Liabuku, Lipu, dan Laompo yang dijadikan sasaran dalam penelitian ini. Mengenai
tidak diambilnya beberapa enklave lainnya, disebabkan enklave-enklave itu berasal/pindah dari salah satu enklave yang telah dijadikan sasaran penelitian. Penentuan hubungan kekerabatan antara isolek-isolek Muna di pulau Buton dengan bahasa Muna dialek Selatan (Gu-Mawasangka) dan bahasa Muna dialek Utara mencakup penentuan keeratan dan tingkat kekerabatan antara ketiganya. Penentuan keeratan hubungan dimaksudkan untuk mendapatkan bukti secara linguistik-kualitatif keeratan hubungan isolek-isolek Muna di pulau Buton dengan dialek Selatan (Gu-Mawasangka) dan bahasa Muna dialek Utara melalui pendekatan Top Down Reconstruction. Hubungan kekerabatan ini diamati melalui sejumlah kata kerabat yang ditemukan dalam ketiganya dan adanya keterwarisan dari bahasa awal yang lebih tinggi darinya, baik yang berupa retensi maupun inovasi. Bahasa awal yang dimaksud adalah Proto-Austronesia (PAN) pada tingkat yang lebih tinggi dan proto Muna-Buton pada tingkat yang lebih rendah. Adapun penentuan tingkat kekerabatan dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran apakah isolek Muna di pulau Buton lebih dekat hubungannya dengan dialek Selatan (GuMawasangka), ataukah bahasa Muna dialek Utara. Selanjutnya dalam penentuan itu dapat dikatakan apakah hubungan isolek-isolek itu dengan kedua bahasa itu bersifat sebagai bahasa (yang berbeda) atau hanya merupakan variasi (dialek) dari satu bahasa. Secara kuantitatif penentuan tingkat kekerabatan menggunakan teknik leksikostatistik (lexsicostatistic), sedangkan secara kualitatif dilakukan dengan memanfaatkan metode inovasi bersama (shared innovation) dan retensi bersama (shared retention). Selanjutnya kegiatan penentuan hubungan isolek-isolek Muna di pulau Buton dengan bahasa Muna di pulau Muna selain mendapatkan gambaran yang memadai secara kualitatif yang menjelaskan hubungannya dengan prabahasa Muna yang diasumsikan telah menurunkan dialekdialek bahasa Muna juga untuk mendapatkan gambaran baik secara kuantitatif maupun kualitatif
hubungan isolek-isolek itu dengan dialek-dialek bahasa Muna. Dalam hubungan ini Prabahasa Muna dan klasifikasi dialek-dialek bahasa Muna yang dibuat oleh Berg lah yang akan dimanfaatkan, karena selain penelitian ini merupakan penelitian terakhir, juga menggunakan teori maupun metodologi mutakhir dibidang kajian dialektologi diakronis yang mencakup aspek sinkronis dan aspek diakronis dalam bahasa Muna. Pembuktian secara kualitatif atas kedua persoalan di atas ditekankan pada bidang fonologi dan leksikon. Adapun pembicaraan tentang pengaruh Dialek Selatan (Gu-Mawasangka), dan bahasa Muna dialek Utara terhadap enclave-enklave itu difokuskan pada pembicaraan unsur-unsur kebahasaan dan penentuan tingkat pengaruh bahasa-bahasa itu terhadap masing-masing enklave Muna tersebut.
1.6 Tinjauan Pustaka Penelitian mengenai bahasa Muna sudah banyak dilakukan oleh peneliti terdahulu, baik secara kolektif maupun secara individu. Pada umumnya penelitian bahasa Muna yang sudah dilakukan itu bersifat sinkronis, sangat jarang, bahkan mungkin tidak pernah telah dilakukan penelitian secara diakronis. Penelitian sinkronis terkait bahasa Muna sudh dilakukan oleh (1) Rene van den Berg (1989) dengan judul A Grammar of the Muna Language. (2) J. A. Sande dkk (1986) dengan judul Morfosintaksis Bahasa Muna. (3) Nurdin Yatim, dkk. (1986) dengan judul Morfologi Kata Kerja Bahasa Muna.(4) La Ode Sidu Marafad (1986) dengan judul Hubungan Kata Ganti Diri Bahasa Muna dengan Kata Ganti Diri Bahasa Indonesia. (5) La Ode Sidu Marafad, (1990) dengan judul Fonologi Generatif Bahasa Muna. (6) La Ode Halaidi, (1986) dengan judul A Study of Muna Language Affixes.
Di antara penelitian yang sudah dilakukan sebagaimana dituliskan di atas, penelitian sinkronis yang agak relevan dengan tesis ini adalah penelitian yang dilakukan Sidu (1990) yang berjudul Fonologi Generatif Bahasa Muna. Dalam temuan hasil penelitian nya, Sidu menyimpulkan bahwa kaidah-kaidah fonologis yang diperlukan dalam menerangkan perubahan realisasi fonologis menjadi realisasi fonetis dalam bahasa Muna sebanyak tujuh belas kaidah yang terdiri atas kaidah bersifat wajib dan tak wajib. Kaidah-kaidah itu ialah kaidah alofon istrilisasi (tak wajib), dekonsonantal, kaidah alofonis peninggian konsonan, kaidah bayangan cermin penegangan vocal, prenasalisasi konsonan (tak wajib) kaidah minor pengawasuaraan konsonan, penyelarasan vocal, pelesapan konsonan m pada –mo, penyelarasan pemanjangan vocal u atau o, pelesapan vocal u dan o pada akhir kata, asimilasi vocal (tak wajib), asimilasi nasal, degeminasi, pelesapan infiks, penambahan hambat glottal (tak wajib), dan pelesapan o pada –Kao (wajib/tak wajib) Sudah seperti yang dituliskan di atas bahwa penelitian secara diakronis bahasa Muna sangatlah jarang dilakukan. Hanya ada sangat sedikit penelitian yang khusus fokus meneliti bahasa Muna secara diakronis. Pada tahun 1987, Syahruddin Kaseng dkk, memulai penelitian memetakan bahasa-bahasa di daerah Sulawesi Tenggara tetapi hasil penelitian tersebut tak cukup memberi uraian detail yang jelas perihal eksistensi dan relasi bahasa Muna dengan bahasa-bahasa lain di Sulawesi Tenggara. Dalam penelitian itu, Kaseng dkk menemukan dua puluh bahasa di Sulawesi Tenggara. Dari dua puluh bahasa itu, terdapat beberapa bahasa yang memperlihatkan hubungan sangat dekat, dan di antara beberapa bahasa yang memperlihatkan hubungan sangat dekat itu, bahasa Muna tidak memiliki kedekatan dengan bahasa-bahasa lain nya. Temuan Kaseng dkk itu berkontras dan tak sejalan dengan apa yang dihasilkan oleh Summer Institut Linguistic SIL dan Pusat Bahasa. SIL, (2006) meskipun tak tegas mengatakan
adanya relasi Muna dengan bahasa-bahasa lain di Sulawesi Tenggara tetapi mereka tak pula menafikan adanya relasi itu. Pusat Bahasa, (2008) sedikit lebih tegas dalam melihat relasi bahasa Muna dengan bahasa-bahasa daerah lain nya di Sulawesi Tenggara, ada pertalian kerabat sangat dekat antara bahasa Muna dengan beberapa bahasa daerah lain nya di Sulawesi Tenggara, terutama di Pulau Buton bagian barat, selatan, dan beberapa pulau-pulau kecil di sekitarnya seperti Siompu, Kadatua, dan Talaga. Dengan mempelajari dan menyimak hasil penelitian terdahulu, baik yang secara sinkronis maupun diakronis, dapat dianggap bahwa penelitian ini merupakan penelitian awal yang dilakukan secara sinkronis dan diakronis yang mengkaji Enklave Muna di Pulau Buton.
1.7 Kerangka Teori Setiap bahasa berubah dengan polanya sendiri yang berbeda dengan pola perubahan bahasa kerabat yang lain (Bynon, 1979:22 dalam Mbete, 1990:27). Dalam perjalanan sejarahnya, suatu bahasa memiliki kemandirian itu, karena factor-faktor tertentu, bercabang menjadi dua atau lebih (Jefers dan Lehiste, 1979:27 dalam Mbete 1990:27). Bahasa-bahasa turunan itu mewarisi pula unsur-unsur bahasa asalnya, baik unsur-unsur yang berubah maupun unsur-unsur yang tidak berubah. Dengan demikian maka struktur bahasa-bahasa turunan itu berunsur retensi dan inovasi . Retensi dan inovasi yang dimaksud itu dapat berwujud fonologis leksikal, semantik, dan unsurunsur gramatikal (Mbete, 1990:27) Pemikiran di atas terkait dengan studi komparatif yang pada dasarnya mengkaji hubungan antara bahasa kerabat. Hal ini didasarkan pula pada pandangan, bahwa dialektologi itu diasumsikan sebagai alat untuk merekonstruksi sejarah suatu bahasa. Dengan kata lain, bahwa
segmentasi dialektal merupakan akibat dari perkembangan historis (Nothofer, 1990:5 dalam Mahsun 1994:25). Hubungan antarbahasa sekerabat dalam telaah komparatif pada dasarnya dapat dibuktikan berdasarkan unsur-unsur warisan dari bahasa asal atau proto bahasa (proto-language) (Fernandez, 1996:21). Melalui pengamatan terhadap perangkat kognat yang mempunyai relevansi historis dapat diformulasikan kaidah-kaidah perubahan bunyi yang teratur atau korenspondensi fonem antar bahasa sekerabat. Dengan demikian, berdasarkan pemahaman terhadap kaidah perubahan bunyi yang teratur dapat dilakukan pemilihan kata-kata bahasa sekarang yang merupakan kelanjutan dari bahasa asalnya (Dyen, 1978:34 dalam Fernandez, 1996:21) Secara genetis, pengelompokan bahasa dalam telaah komparatif dapat menyajikan keterangan tentang hubungan historis bahasa-bahasa sekerabat secara khusus. Pengelompokan bahasa sekerabat dapat dilakukan melalui pendekatan kuantitatif disamping kualitatif melalui prosedur yang sesuai dengan persentase leksikostatistik (Dyen, 1978:50 dan Nothofer, 1986:1 dalam Fernandes, 1996:23). Pendekatan ini menggunakan alat utama berupa daftar Swadesh (dua ratus kosa dasar yang baku) untuk menelusur padanan perangkat bahasa-bahasa yang diteliti. Setelah daftar diisi, persentase kognat ditetapkan dengan mengandalkan pemahaman tentang hukum perubahan bunyi yang teratur antarbahasa tersebut. Garis silsilah kekerabatan atau pohon kekerabatan (family tree) yang dihasilkan pendekatan kuantitatif menggambarkan kekerabatan yang lebih erat atau tidak antarbahasa sekerabat dalam usaha pengelompokan tersebut. Gambaran mengenai kekerabatan antarbahasa yang dicapai berdasarkan perhitungan persentase leksikostatistik dapat diuji secara lebih seksama dan mendalam melalui pendekatan kualitatif melalui pengamatan terhadap ciri-ciri inovasi bersama. Dalam kaitannya dengan itu, ada
kecenderungan beberapa sarjana untuk menerapkan pendekatan kuantitatif sebelum pendekatan kualitatif dilakukan (Dyen, 1978:51-52 dalam Fernandez, 1996:23). Pengelompokan pendekatan kualitatif harus berdasarkan bukti-bukti berupa inovasi bersama secara ekslusif (exlusive shared innovation) (Brugmann, 1884 dalam Fernandez, 1996) sejumlah inovasi yang ditemukan pada bahasa-bahasa turunan, senantiasa memperlihatkan pula kesamaan pola dan ciri-ciri perubahan .diantara perubahan itu, ada yang hanya ditemukan pada bahasa atau bahasa-bahasa tertentu, dan perubahan itu bersifat ekslusif. Ciri-ciri perubahan bersama yang ekslusif baik yang teratur maupun yang tidak teratur ada tataran fonologi dan perangkat leksikon yang hanya ditemukan pada bahasa-bahasa tertentu, atau juga unsur-unsur morfologis, dapat dijadikan bukti keeratan hubungan bahasa-bahasa kerabat (Jeffers dan Lehiste, 1979:31; Blust, 1974:39 dalam Mbete, 1990). Dengan demikian semakin banyak kaidah perubahan yang ditemukan dan dimiliki bersama, maka semakin kuat pula bukti-bukti keeratan hubungan ke(sub-)kelompokkan bahasa kerabat (Bynon, 1979:64 dalam Mbete, 1990) Hubungan kekerabatan dan keseasalan bahasa-bahasa dapat dibuktikan melalui fakta-fakta kebahasaan berupa keteraturan kesepadanan yang ditemukan pada bahasa-bahasa sekerabat. Kesepadanan-kesepadanan yang teratur melihatkan bukti adanya keaslian bersama yang terwaris dari moyang yang sama (Bynon, 1979:47). Dengan adanya ciri warisan yang sama, maka keeratan hubungan keasalan antara bahasa-bahasa kerabat dapat ditemukan. Menurut Bynon (1979:178 bandingkan dengan Laas, 1991:357) bahwa sebuah perubahan bunyi itu tidak mempengaruhi kata-kata dalam leksikon secara sekaligus, melainkan satu persatu, sehingga pada saat perubahan itu terjadi ada kata-kata tertentu yang lain yang belum mengalami perubahan
Perubahan bunyi yang terjadi pada bahasa-bahasa yang berkerabat atau pada dialekdialek/subdialek-subdialek dari suatu bahasa ada yang muncul secara teratur da nada pula yang muncul secara sporadic atau tidak teratur. Selanjutnya ihwal perubahan yang muncul secara teratur itu disebut korespondensi, sedangkan untuk perubahan yang muncul secara sporadik atau tidak tetap disebut variasi (Mahsun, 1994:27) Kekorespondensian dan kevariasian suatu kaidah berkaitan dengan dua aspek yaitu aspek linguistik dan aspek geografi. Dari aspek linguistik, perubahan itu disebut korespondensi, jika perubahan itu terjadi karena persyaratan linguistic tertentu; sebaliknya perubahan itu disebut variasi jika kemunculan perubahan bunyi itu tidak disyarati oleh lingkungan yang bersifat linguistiktertentu, maka data tentang kaidah yang berupa korespondensi itu tidak terbatas jumlahnya; sedangkan data tentang kaidah yang berupa variasi hanya terbatas pada satu atau dua contoh saja. Adapun dari aspek geografi, kaidah perubahan bunyi disebut korespondensi, jika daerah sebaran kaidah itu terjadi pada daerah pengamatan yang sama, sebaliknya disebut variasi jika daerah sebarannya tidak sama. Namun demikian, dapat saja terjadi kaidah korespondensi itu untuk beberapa contoh memperlihat daerah sebaran tidak sama. Hal itu mungkin disebabkan adanya pengaruh antar daerah pengamatan dank arena proses pinjaman (Mahsun, 1994:28) Perubahan bunyi yang muncul secara tidak teratur (berupa variasi) antara lain adalah: (1) lenisi (pelemahan), (2) epentesis, (3) apokop, (4) sinkop, (5) apheresis, (6) kompresi (perampatan), (7) asimilasi, (8) disimilasi, (9) metatesis, (10) kontraksi (Lehman, 1973:153-168 dan Hock, 1986:62-110 dalam Mahsun, 1994:29) Namun demikian, perubahan bunyi yang dikategorikan sebagai perubahan yang muncul secara tidak teratur di atas, kadang-kadang dalam bahasa tertentu muncul sebagai perubahan yang teratur (Hock, 1986:11-112 dalam Mahsun, 1994:29). Dalam analisis penentuan bentuk asli atau
inovasi baik inetranal maupun eksternal dari satu makna yang memiliki makna ganda, dilakukan dengan cara: a. mengetahui struktur bahasa purba; b. mengetahui kaidah perubahan bunyi dalam bahasa yang diteliti; dan c. mengetahui sejarah dan kebudayaan masyarakat, yang bahasanya diteliti. (Mahsun, 1990).
1.8 Hipotesis 1. Isolek-isolek Muna di Pulau Buton dan bahasa Muna di Pulau Muna diturunkan dari satu bahasa purba yang sama karena keeratan hubungan kekerabatan kedua bahasa tersebut 2. Secara garis besar hubungan keeratan tersebut berdasarkan hipotesis para peneliti memiliki hubungan dwipilah, artinya bahasa Muna di pulau Muna dan isolek-isolek Muna di pulau Buton pada masa lampau merupakan bahasa yang sama
1.9 Metode Penelitian 1.9.1 Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode yang pernah diterapkan oleh Nothofer (1981), yaitu peneliti langsung mewawancarai informan disetiap titik pengamatan. Karena daftar pertanyaan berupa kosa kata dasar, maka pertanyan dilaksanakan secara lisan dengan menggunakan daftar pertanyaan. Dalam menanyakan sebuah bentuk untuk suatu makna, oleh Nothofer (1981:13) ditetapkan syarat bahwa pertanyaan itu dilakukan dengan menggunakan
bahasa Indonesia, dapat pula dilakukan dengan bahasa daerah atau bahasa ibu informan. Namun, untuk penelitian ini, pertanyaan dilakukan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini didasarkan pada pengalaman, bahwa apa yang dikhawatirkan oleh Nothofer akan banyaknya bentuk baku. Jika pertanyaan menggunakan bahasa daerah benar-benar dialami.Namun demikian, bukan berarti bahwa peggunaan bahasa daerah dihindari samasekali.Pada tahap awal pertemuan dengan para informan peneliti menggunakan bahasa daerah untuk memperkenalkan diri.Hal ini dimaksudkan agar suasana santai, penuh keakraban, dan kekeluargaan, dan tanpa kecurigaan para informan pada peneliti dapat tercipta. Kemudian dalam bertanya peneliti menggunakan pula bentuk parafrasa. Seperti yang dicontohkan Nothofer (1981), jika kita bertanya tentang makna ‘telur’, maka dapat dilakukan dengan parafrasa: “apa yang dihasilkan oleh ayam betina?”. Dalam melakukan wawancara faktor kesiapan informan sangat diperhatikan, dalam arti menjaga jangan sampai terjadi kejenuhan. Dengan demikian, dapat ditentukan bahwa satu kali wawancara dilakukan dalam selang waktu maksimal dua jam. Jadi, secara eksplisit dalam penelitian ini digunakan metode cakap, teknik dasar pancingan dengan teknik lanjutan teknik cakap semuka, teknik catat, dan teknik rekam (Sudaryanto, 1993:137).Teknik cakap semuka, peneliti langsung mendatangi setiap daerah pengamatan dan melakukan percakapan dengan informan.Teknik ini disejajarkan dengan metode pupuan lapangan (Ayatrohaedi, 1983:34).Teknik catat dilakukan oleh peneliti sendiri, terutama untuk mengingatkan bagaimana bunyi dihasilkan. Apapun teknik rekam hanya untuk melengkap teknik catat. Artinya apa yang dicatat dapat dicek kembali dengan rekaman yang dihasilkan.
1.9.2 Daftar Pertanyaan
Daftar pertanyaan disusun berdasarkan maknanya agar informan berada pada suasana yang memungkinkannya memberikan jawaban yang langsung dan spontan. Untuk keperluan tersebut daftar tanyaan disusun berdasarkan tautan arti sesuai dengan bidang masing-masing. Hal-hal yang mempunyai tautan arti tertentu dikelompokkan sesamanya, seperti pertanyaan tentang bagian tubuh, bagian alam, system kekerabatan, tanaman, pohon-pohonan, dan pembagian waktu (Ayatrohaedi, 1979:41). Daftar pertanyaan tidak hanya berisi 200 kosa kata dasar Swadesh yang direvisi Blust yang dikutip dalam penelitian Fernandez (1996), tetapi diperluas dengan daftar Nothofer yang disesuaikan dengan kebutuhan data untuk penetapan kaidah bahasa pada isolekisolek itu. Dalam hal ini telah dikutip karya Ayatrohaedi (1997) dan Mahsun (1995).
1.9.3 Informan Jumlah informan yang diambil adalah tiga orang untuk setiap titik pengamatan. Dari tiga orang ditentukan satu orang sebagai informan utama, sedangkan dua orang informan lainnya dijadikan sebagai informan pembantu (Samarin, 1988:28). Dalam pemilihan informan digunakan kriteria: a. berjenis kelamin pria atau wanita b. berusia antara 25—45 tahun c. orang tua, istri, atau suami informan lahir dan dibesarkan di desa tersebut d. berpendidikan maksimal sekolah dasar e. berstatus sosial menengah (tidak rendah dan tidak tinggi) dengan harapan tidak terlalu tinggi mobilitasnya f. pekerjaannya petani atau buruh g. dapat berbahasa Indonesia (Nothofer, 1981:5) dan
h. sehat jasmani dan rohani. Sehat jasmani maksudnya tidak cacat organ bicaranya, sedangkan sehat rohani, maksudnya waras, tidak gila (Mahsun, 1995:106)
1.9.4 Penentuan Titik Pengamatan Karena penelitian ini bertujuan mendeskripsikan isolek Muna di Pulau Buton dari aspek diakronis, maka titik pengamatan yang dijadikan objek dalam penelitian ini adalah daerah yang diandaikan berpenutur bahasa Muna. Pengandaian berdasarkan informasi awal perihal keberadaan orang-orang Muna di pulau Buton, misalnya berdasarkan informasi sejarah, hasil penelitian sebelumnya, instansi pemerintah, ataupun informasi dari masyarakat. Berdasarkan informasi berbagai pihak tersebut, untuk sementara ditetapkan daerah pemukiman Muna di pulau Buton terdapat di, Liabuku dan Lipu (di Kota Bau-Bau), Laompo (di Kabupaten Buton Selatan). Dengan demikian , titik pengamatan yang ditentukan untuk dikunjungi dalam penelitian ini berjumlah tiga daerah.
1.9.5 Perihal Analisis Data Metode analisis yang dimasud menyangkut metode analisis yang digunakan dalam penentuan hubungan kekerabatan antara isolek-isolek Muna di pulau Buton dengan Dialek Selatan (Gu-Mawasangka) dan bahasa Muna dialek Utara; penentuan hubungan isolek-isolek itu dengan dialek-dialek bahasa Muna, dan penentuan pengaruh Dialek Selatan (Gu-Mawasangka), dan bahasa Muna dialek Utara terhadap masing-masing isolek itu. Penentuan hubungan kekerabatan, dalam hal ini keeratan hubungan antara isolek Muna dengan Dialek Selatan (Gu-Mawasangka), dan bahasa Muna dialek Utara secara kualitatif menggunakan metode inovasi bersama secara eksklusif (exclusively shared innovation) melalui
pendekatan dari atas ke bawah (top down reconstruction). Sedangkan penentuan tingkat kekerabatan antara masing-masing isolek itu dengan Dialek Selatan (Gu-Mawasangka), dan bahasa Muna dialek Utara dilakukan selain secara kuantitatif juga secara kualitatif. Secara kuantitatif memanfaatkan metode leksikostatistik (lexicostatistic), sedangkan secara kualitatif digunakan untuk menopang simpulan kuantitatif melalui metode inovasi bersama secara eksklusif (exclusively shared innovation). Begitu juga penentuan hubungan isolek-isolek Muna di pulau Buton dengan dialek-dialek bahasa Muna, penetapan awal dilakukan secara kuantitatif dengan menggunakan metode leksikostatistik, selanjutnya dilakukan pembuktin secara kualitatif melalui metode inovasi bersama.Penetapan metode leksikostatistik dilakukan dengan teknik mengumpulkan kosa kata dasar bahasa (Muna, Gu-Mawasangka, dan isolek Muna di pulau Buton); menetapkan dan menghitung pasangan-pasangan mana yang merupakan kata kerabat; dan menghubungkan hasil perhitungan yang berupa persentase kekerabatan dengan kategori kekerabatan. Setelah kosa kata dasar diperoleh kemudian dilakukan perhitungan jumlah kosa kata yang berkerabat dengan memperhatikan pedoman (1) mengeluarkan glos yang tidak diperhitungkan yaitu kata-kata kosong dan kata-kata pinjaman; dan (2) menetapkan kata kerabat, yang dapat berupa kata yang identik (yaitu kata yang sama makna dan formatifnya); dan kata yang memiliki korespondensi bunyi. Penerapan metode inovasi bersama bersifat eksklusif untuk mengetahui bentuk-bentuk kebahasaan yang mengelompokan bahasa turunan ke dalam satu kelompok yang lebih dekat hubungannya, karena memperlihatkan inovasi yang berciri linguistik eksklusif yang menyebar pada bahasa-bahasa yang diperbandingkan, termasuk penentuan hubungan kedekatan antardialek yang ada dalam satu bahasa (periksa Mahsun, 2000)
Sedangkan pembicaraan pengaruh Dialek Selatan (Gu-Mawasangka), dan bahasa Muna dialek Utara terhadap masing-masing isolek Muna di pulau Buton dilakukan dengan analisis yang bersifat kualitatif dan analisisi yang bersifat kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan untuk mengetahui apakah bentuk-bentuk yang terdapat pada dialek, subdialek, atau daerah pengamatan itu sebagai bentuk-bentuk inovasi atau bentuk yang diwarisi bahasa awal. Analisis kualitatif ini menggunakan metode padan intralingual dengan teknik hubung banding menyamakan (HBM) dan teknik hubung banding membedakan (HBB). Adapun analisis kuantitatif, digunakan untuk melihat frekuensi munculnya bentuk-bentuk pengaruh Dialek Selatan (Gu-Mawasangka), dan bahasa Muna dialek Utara terhadap isolek Muna di pulau Buton, yang pada gilirannya digunakan sebagai dasar untuk mengkategorisasikannya sebagai isolek yang mendapat pengaruh kuat, sedang, atau rendah (Mahsun, 1995:142-143)
1.10. Sistematika Penulisan Hasil penelitian disajikan dalam empat bab, dengan rincian sebagai berikut. Bab 1 Pendahuluan, berisi: Latar Belakang Penelitian, Rumusan Masalah, Tujuan penelitian, Manfaat penelitian, Ruang Lingkup penelitian, Tinjauan Pustaka, Kerangka Teori, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan. Bab II Sekilas tentang daerah Pengamatan, Berisi Gambaran Singkat Daerah Penelitian. Bab III Enklave Muna di Pulau Buton Kajian Dialektologi Diakronis, memuat analisis hubungan dan tingkat kekerabatan isolek-isolek Muna di pulau Buton dengan bahasa Bahasa Muna Dialek Gu-Mawasangka dan bahasa Muna; Hubungan Isolek-Isolek Muna di Pulau Buton dengan Dialek-Dialek Bahasa Muna; dan Pengaruh Dialek Gu-Mawasangka Tehadap isolek-Isolek Muna di Pulau Buton.