1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang Pengaruh globalisasi perdagangan pangan sudah mulai meluas ke berbagai negara termasuk Indonesia. Ditinjau dari aspek keamanan pangan, globalisasi tersebut dapat memperbesar kemungkinan timbulnya bahaya yang terkandung dalam makanan yang akan dikonsumsi dan menyebarluaskan bahaya secara global pula. Oleh karena itu, tuntutan akan jaminan keamanan pangan terus bertambah sejalan dengan meningkatnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya kesehatan pangan yang akan dikonsumsi. Seluruh masyarakat Indonesia berhak mendapatkan pangan yang aman dan bermutu. Namun kenyataannya, belum semua masyarakat dapat mengakses makanan yang aman. Hal ini ditandai dengan masih tingginya angka kesakitan dan kematian akibat food borne illness. Food borne illness atau penyakit bawaan makanan (PBM) merupakan salah satu permasalahan kesehatan masyarakat yang paling banyak dijumpai. Penyakit ini pada umumnya menunjukkan gejala gangguan saluran pencernaan dengan rasa sakit perut, diare, dan kadang disertai muntah. Penyebabnya bersifat toksik maupun infeksius dan disebabkan oleh agenagen penyakit seperti bakteri E coli, salmonella, hepatitis dan bakteri yang masuk ke dalam tubuh melalui konsumsi makanan yang terkontaminasi. Penyakit ini menyerang bayi, anak, lansia, dan mereka yang kekebalan tubuhnya terganggu (WHO, 2006).
1
2
Di era pasar bebas ini industri pangan Indonesia harus mampu bersaing dengan derasnya arus masuk produk industri pangan negara lain yang telah mapan dalam sistem mutunya sehingga bahan pangan yang dikonsumsi oleh masyarakat banyak mengalami perubahan baik dari jenis maupun jumlah pangan yang dikonsumsi. Dengan meningkatnya jumlah penduduk, jumlah produksi pangan juga mengalami peningkatan untuk memenuhi kebutuhan penduduk. Disamping itu, perubahan jenis dan jumlah pangan juga disebabkan oleh kemajuan teknologi, ekonomi dan pendidikan. Masyarakat dengan pendidikan yang baik akan mengupayakan pangan yang dikonsumsinya berkualitas baik (Cahyono, 2002). Masyarakat telah menyadari bahwa industri yang bergerak di bidang pangan harus memberikan jaminan bahwa suatu produk yang akan dikonsumsi aman dari potensi bahaya yang berasal dari cemaran fisik, kimia, dan biologi sehingga industri pangan perlu menerapkan sistem quality control pada proses pengolahan makanan. Salah satu tempat penyelenggaraan atau pengelolaan makanan adalah Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP). Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia tahun 2012, IRTP adalah perusahaan pangan yang memiliki tempat usaha di tempat tinggal dengan peralatan pengolahan pangan manual hingga semi otomatis. Untuk mendukung upaya penerapan sistem quality control di IRTP, pemerintah memberlakukan sertifikasi terhadap IRTP dengan tujuan untuk meningkatkan pengetahuan, motivasi dan kesadaran produsen serta karyawan tentang pentingnya standar higiene sanitasi dalam pengolahan makanan. Produsen juga diharapkan bertanggung jawab
3
terhadap keselamatan konsumen sehingga implikasinya adalah meningkatnya kepercayaan konsumen terhadap produk pangan yang dihasilkan serta meningkatkan daya saing IRTP. Menindaklanjuti hal tersebut maka ditetapkan Cara Produksi Pangan yang Baik (CPPB) untuk IRTP sebagai panduan bagi pihak yang
berkecimpung di bidang keamanan pangan. CPPB IRTP diatur dalam
Peraturan Kepala BPOM Republik Indonesia Nomor HK. 03.1.23.04.12.2206 tanggal 5 April 2012 tentang CPPB untuk IRTP. CPPB IRTP merupakan salah satu faktor yang harus dipenuhi sebagai syarat terpenuhinya standar mutu atau persyaratan keamanan pangan dan dengan menerapkan CPPB-IRTP ini, industri pangan dapat menghasilkan pangan yang bermutu, aman dan layak dikonsumsi sehingga masyarakat yang mengkonsumsinya terlindung dari bahaya kesehatan akibat pangan. Di Indonesia, belum tersedia data yang lengkap mengenai jumlah IRTP namun dari hasil pengawasan ditemukan bahwa belum semua IRTP memiliki izin produksi bagi produknya. Temuan lain berupa penggunaan bahan makanan berbahaya, konstruksi bangunan yang tidak sesuai maupun higiene sanitasinya yang tidak memadai. Tindak lanjut yang dilakukan oleh Badan POM dan Balai Besar POM adalah berupa pembinaan sampai dengan penegakan hukum (BPOM RI, 2013a). BPOM melaporkan jumlah sarana IRTP di Provinsi Bali sampai dengan tahun 2014 adalah 765 sarana. Selama tahun 2014, BPOM telah melakukan pemeriksaan terhadap penerapan higiene sanitasi pada 128 IRTP dan hasilnya adalah 116 (90,63%) IRTP tidak memenuhi ketentuan (BPOM RI, 2014). Tindak lanjut yang
4
sudah dilakukan oleh BPOM adalah pembinaan pada IRTP yang belum memenuhi ketentuan dan peringatan bagi IRTP yang menggunakan bahan berbahaya. Data mengenai penerapan quality control pada IRTP belum tersedia baik di Indonesia maupun di Bali, namun beberapa perusahaan yang bergerak di bidang pangan di Bali dalam upaya promosinya mengklaim telah menerapkan sistem ini. Berdasarkan data yang diperoleh di Dinas Kesehatan Kabupaten Karangasem, jumlah IRTP mengalami peningkatan setiap tahunnya. Jumlah IRTP yang terdata pada tahun 2012 adalah sebanyak 179, tahun 2013 meningkat menjadi 231 dan sampai dengan bulan Juni 2014 terdata sebanyak 270 IRTP. Peran Dinas Kesehatan adalah menerbitkan rekomendasi pada penerbitan izin, pembinaan, pemantauan ulang dan pemeriksaan sarana IRTP. Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Seksi Registrasi,Akreditasi, Sertifikasi dan Perizinan di Dinas Kesehatan Kabupaten Karangasem, diketahui bahwa sampai dengan bulan Juni 2014, IRTP yang telah memiliki izin sebanyak 10 sarana dan telah dilakukan pemantauan ulang sebanyak satu kali ke masing-masing sarana tersebut. Hasil yang diperoleh adalah hanya satu IRTP yang telah menerapkan CPPB IRTP sedangkan sembilan dari sarana tersebut tidak lagi menerapkan beberapa aspek dalam CPPB IRTP. Keberadaan IRTP memberi lapangan pekerjaan bagi tenaga penjamah makanan. Tenaga penjamah makanan adalah seorang tenaga yang menjamah makanan dan terlibat langsung dalam menyiapkan, mengolah, maupun menyajikan makanan (BPOM RI, 2013b). Tenaga penjamah makanan memiliki risiko menularkan penyakit melalui perilakunya dalam pengolahan makanan (Fatima dkk, 2002). Oleh karena itu, peningkatan pengetahuan dan sikap sangat
5
dibutuhkan untuk mendorong penjamah makanan berperilaku baik khususnya dalam penerapan higiene dan sanitasi pengolahan pangan (Azira dkk, 2012). Penelitian mengenai IRTP dan penjamah makanannya di Kabupaten Karangasem belum pernah dilakukan sebelumnya, oleh karena itu pengkajian lebih mendalam diperlukan untuk mengetahui sejauh mana IRTP dan penjamah makanannya sudah menerapkan CPPB dan permasalahan yang dihadapi IRTP dalam menerapkan CPPB tersebut. Perhatian besar penelitian ini adalah pelaksanaan CPPB IRTP oleh penjamah makanan di IRTP yang ada di Kabupaten Karangasem terutama untuk IRTP yang produknya telah mendapatkan izin produksi sebab apabila penjamah makanan tidak melaksanakan aspek higiene dan sanitasi dalam CPPB IRTP, dikhawatirkan pangan yang diedarkan ke masyarakat melalui pasar tradisional dan toko modern adalah pangan yang tidak aman mengingat IRTP yang telah memiliki izin produksi memiliki akses masuk ke pasar tradisional dan toko modern lebih mudah dibandingkan IRTP tanpa izin produksi. Perlu juga diketahui apakah setelah mendapat izin tersebut penjamah makanan di IRTP Kabupaten Karangasem masih melaksanakan CPPB-IRTP dengan baik secara berkesinambungan dan faktor yang mempengaruhi pelaksanaanya di sarana IRTP tersebut. Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti tertarik untuk mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi perilaku penjamah makanan dalam menerapkan CPPB pada IRTP di Kabupaten Karangasem.
6
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian diatas, dapat dirumuskan beberapa masalah penelitian yaitu, apakah: 1.
umur mempengaruhi perilaku penjamah makanan dalam menerapkan CPPB pada IRTP di Kabupaten Karangasem?
2.
jenis kelamin mempengaruhi perilaku penjamah makanan dalam menerapkan CPPB pada IRTP di Kabupaten Karangasem?
3.
tingkat pendidikan mempengaruhi perilaku penjamah makanan dalam menerapkan CPPB pada IRTP di Kabupaten Karangasem?
4.
masa kerja mempengaruhi perilaku penjamah makanan dalam menerapkan CPPB pada IRTP di Kabupaten Karangasem?
5.
pengetahuan mempengaruhi perilaku penjamah makanan dalam menerapkan CPPB pada IRTP di Kabupaten Karangasem?
6.
sikap mempengaruhi perilaku penjamah makanan dalam menerapkan CPPB pada IRTP di Kabupaten Karangasem?
7.
penyuluhan mempengaruhi perilaku penjamah makanan dalam menerapkan CPPB pada IRTP di Kabupaten Karangasem?
8.
ketersediaan fasilitas mempengaruhi perilaku penjamah makanan dalam menerapkan CPPB pada IRTP di Kabupaten Karangasem?
9.
dukungan pengelola IRTP mempengaruhi perilaku penjamah makanan dalam menerapkan CPPB pada IRTP di Kabupaten Karangasem?
7
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1
Tujuan Umum
Tujuan dari penelitian ini
adalah
untuk
mengetahui
faktor
yang
mempengaruhi perilaku penjamah makanan dalam menerapkan Cara Pengolahan Pangan yang Baik (CPPB) Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) di Kabupaten Karangasem. 1.3.2
Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh: 1. umur terhadap perilaku penjamah makanan dalam menerapkan CPBB pada IRTP di Kabupaten Karangasem. 2. jenis kelamin terhadap perilaku penjamah makanan dalam menerapkan CPBB pada IRTP di Kabupaten Karangasem. 3. tingkat pendidikan terhadap perilaku penjamah makanan dalam menerapkan CPBB pada IRTP di Kabupaten Karangasem. 4. masa kerja terhadap perilaku penjamah makanan dalam menerapkan CPBB pada IRTP di Kabupaten Karangasem. 5. pengetahuan terhadap perilaku penjamah makanan dalam menerapkan CPBB pada IRTP di Kabupaten Karangasem. 6. sikap terhadap perilaku penjamah makanan dalam menerapkan CPBB pada IRTP di Kabupaten Karangasem. 7. Penyuluhan terhadap perilaku penjamah makanan dalam menerapkan CPBB pada IRTP di Kabupaten Karangasem.
8
8. ketersediaan fasilitas terhadap perilaku penjamah makanan dalam menerapkan CPBB pada IRTP di Kabupaten Karangasem. 9. dukungan pengelola IRTP terhadap perilaku penjamah makanan dalam menerapkan CPBB pada IRTP di Kabupaten Karangasem.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1
Manfaat Teoritis/Akademik
Untuk menambah wawasan keilmuan khususnya dalam hal CPPB dan sebagai dokumen ilmiah yang dapat dikembangkan pada penelitian selanjutnya. 1.4.2
Manfaat Praktis
1. Bagi
tempat
penelitian:
sebagai
masukan
kepada
IRTP
dalam
mengembangkan dan menyempurnakan proses produksi di IRTP berkaitan dengan CPPB IRTP. 2. Bagi masyarakat: sebagai informasi serta pertimbangan dalam memilih makanan yang aman dan sesuai dengan syarat higiene sanitasi. 3. Bagi peneliti: menambah pengetahuan dan pengalaman tentang pengolahan pangan yang baik di khususnya IRTP. 4. Bagi pengambil kebijakan: untuk membantu dalam perencanaan program intervensi pendidikan kesehatan bagi penjamah makanan agar memiliki peningkatan pengetahuan, sikap dan perilaku penerapan CPPB.
9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Cara Produksi Pangan yang Baik (CPPB) untuk Industri Rumah Tangga IRTP semakin banyak bermunculan di Indonesia sebagai salah satu dampak dari krisis moneter yang terjadi saat ini. Keinginan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan sedikit modal menyebabkan IRTP berkembang pesat dan tumbuh dalam skala usaha yang beragam. Untuk menghasilkan produk pangan yang aman dikonsumsi serta pengolahannya telah sesuai dengan standar keamanan pangan, dipandang perlu untuk dilakukan pembinaan kepada IRTP. Untuk menertibkan IRTP dalam mengolah makanan, pemerintah menerbitkan standar bagi IRTP yaitu CPPB. CPPB merupakan faktor penting yang harus dipenuhi agar standar mutu pangan tercapai. Disamping itu, CPPB wajib dilaksanakan oleh IRTP agar kegiatan yang dilakukan sesuai dengan persyaratan pengolahan pangan. CPPB penting bagi kelangsungan industri pangan karena dengan menerapkan CPPB, produk pangan yang dihasilkan IRTP menjadi baik mutunya, layak dikonsumsi dan aman bagi kesehatan serta kejadian gangguan kesehatan akibat pangan dapat dikendalikan (BPOM RI, 2012a). Beberapa aspek yang harus diperhatikan oleh IRTP dikelompokkan untuk pengelola dan untuk penjamah makanan. Aspek-aspek ini hendaknya diterapkan dengan tujuan yaitu menghasilkan produk pangan yang aman dan mutunya sesuai standar. Aspek yang diatur untuk pengelola diantaranya adalah mengenai lingkungan produksi, bangunan dan fasilitas IRTP, peralatan produksi,
9
10
pengendalian hama dan pengendalian proses. Sementara, untuk penjamah makanan diatur mengenai perilakunya terkait higiene dan sanitasi. Lokasi dan lingkungan produksi IRTP hendaknya berada di lokasi yang tidak berdekatan dengan sumber pencemaran misalnya tempat pembuangan sampah. Kebersihan lokasi dan lingkungan IRTP harus selalu dijaga agar tidak terjadi kontaminasi pada makanan (BPOM RI, 2012a). Bangunan IRTP yang sesuai dengan standar dari pemerintah memiliki lantai dan dinding yang kedap air dan mudah dibersihkan. Langit-langit diupayakan agar terbuat dari bahan yang licin untuk mencegah penempelan debu dan kotoran. Sirkulasi udara melalui jendela dan pintu juga harus diperhatikan. Fasilitas IRTP dikatakan lengkap apabila tersedia sarana cuci tangan lengkap dengan sabun dan pengeringnya serta tersedianya tempat sampah yang sudah dipilah menjadi sampah organik dan anorganik serta memiliki fasilitas penunjang lain seperti sarana pencucian bahan dan alat, toilet, dan sistem pembuangan limbah (BPOM RI, 2012a). Proses pengolahan makanan di IRTP membutuhkan peralatan produksi. Peralatan produksi sebaiknya terbuat dari bahan yang kuat, tidak berkarat serta mudah dibersihkan. Penempatan peralatan dilakukan sedemikian rupa untuk menghindari kontaminasi. Selain peralatan, ketersediaan air menjadi aspek vital dalam kegiatan di IRTP sehingga ketersediaan air senantiasa harus dijaga agar mencukupi kebutuhan dalam proses produksi (BPOM RI, 2012a). Sarana
yang telah disediakan juga harus
mendapat
pemeliharaan.
Pemeliharaan dan kegiatan pembersihan dilaksanakan secara berkala. Untuk menghindari kontaminasi cemaran terhadap pangan. Cemaran dapat berasal dari
11
sisa-sisa makanan, hama seperti tikus, serangga dan hewan pemeliharaan, serta sampah yang dihasilkan dari proses produksi. Penumpukan sampah terutama di ruang pengolahan harus dihindari dengan melakukan pengangkutan sampah secara berkala. Aspek yang juga diatur untuk pengelola dalam CPPB adalah penyimpanan bahan makanan, penyimpanan makanan jadi dan penyimpanan bahan berbahaya. Penyimpanan bahan makanan hendaknya terpisah dari penyimpanan makanan jadi dan bahan berbahaya. Penyimpanan bahan makanan harus terhindar dari kontak langsung dengan lantai, dinding dan langit-langit ruangan. Sistem penggunaan bahan menggunakan sistem FIFO (First In First Out) yaitu bahan yang lebih dulu masuk atau memiliki tanggal kedaluwarsa lebih awal harus digunakan terlebih dahulu. Penyimpanan bahan makanan dan makanan jadi masih dapat dilakukan dalam satu ruangan, namun untuk bahan berbahaya seperti sabun, detergen, racun serangga dan tikus harus disimpan dalam ruangan terpisah (BPOM RI, 2012a). Menurut BPOM RI (2012a), beberapa aspek penting dari penjamah makanan yang wajib dipenuhi untuk menghindari pencemaran pangan adalah kesehatan, kebersihan dan kebiasaan atau perilaku penjamah makanan. Perilaku penjamah makanan yang diatur dalam CPPB IRTP adalah sebagai berikut: 1. Mencuci tangan Kebersihan tangan sangat penting bagi setiap orang terutama bagi penjamah makanan. Kebiasaan mencuci tangan harus dibiasakan karena sangat membantu dalam mencegah penularan bakteri dari tangan ke makanan. Mencuci tangan sebaiknya menggunakan sabun dan air yang mengalir
12
kemudian dikeringkan. Kebiasaan mencuci tangan sebaiknya dilakukan sebelum dan setelah menjamah makanan, sebelum menangani bahan/alat yang kotor, setelah menangani bahan mentah dan setelah keluar dari toilet. Cara mencuci tangan yang benar adalah basahi tangan dengan air mengalir sampai pergelangan tangan, gunakan sabun cuci tangan dan ratakan di seluruh tangan dan telapak tangan, sela-sela jari dan ujung kuku-kuku, gosok tangan dengan sabun ini kurang lebih 15-20 detik, bilas dengan air mengalir hingga bersih, keringkan dengan pengering tangan atau tisu sekali pakai dan tutup kran dengan tisu yang tadi sudah dipakai. 2. Menggunakan celemek Tujuan penggunaan celemek bagi penjamah makanan adalah mencegah pencemaran makanan dari pakaian yang digunakan oleh penjamah makanan. Selain itu, dengan menggunakan celemek dapat menunjukkan penampilan yang rapi dari penjamah makanan itu sendiri. 3. Menggunakan penutup kepala Penutup kepala digunakan oleh penjamah makanan untuk menghindari pencemaran terhadap makanan dari rambut penjamah makanan. Tanpa penutup kepala, kemungkinan helai rambut, ketombe atau kutu rambut dapat mengkontaminasi makanan yang sedang diolah. 4. Menggunakan masker Penjamah makanan wajib menggunakan masker saat mengolah makanan dengan tujuan menghindari pencemaran berupa air liur atau kotoran dari hidung penjamah makanan. Masker juga membantu menghindari terjadinya
13
pencemaran saat penjamah makanan batuk atau bersin ke arah makanan. Masker juga sebaiknya tidak digunakan berkali-kali. Apabila masker terbuat dari bahan yang dapat dicuci, setelah masker digunakan harus dicuci sebelum digunakan kembali. 5. Menggunakan sarung tangan Sarung tangan berfungsi agar tangan tidak kontak langsung dengan makanan sehingga apabila tangan sedang mengalami luka, makanan tidak akan tercemar oleh luka tersebut. Disamping itu, sarung tangan juga berfungsi sebagai perlindungan tambahan sekalipun penjamah makanan telah mencuci tangannya sebelum bekerja. 6. Menggunakan alat bantu atau penjepit saat mengambil makanan Alat bantu/penjepit biasanya digunakan untuk mengambil makanan matang saat melakukan pengemasan agar tidak terjadi kontak langsung dengan tangan penjamah makanan. 7. Menutupi makanan matang Perilaku menutupi makanan matang bertujuan untuk menghindari pencemaran dari serangga, debu atau kotoran dan menghindari kontaminasi silang dari bahan makanan lain. Selain harus ditutup, makanan matang sebaiknya ditempatkan pada wadah yang tertutup, disimpan pada suhu yang tepat, terpisah dari bahan makanan yang belum diolah.
14
8. Tidak bercakap-cakap Kebiasaan yang harus dihindari oleh penjamah makanan adalah bercakapcakap saat mengolah makanan untuk menghindari pencemaran makanan oleh air liur penjamah makanan. 9. Tidak menggaruk-garuk anggota tubuh Penjamah makanan sebaiknya tidak menggaruk-garuk anggota tubuh karena dapat menyebabkan tangan menjadi kotor sehingga berpotensi menyebabkan terjadinya pencemaran terhadap makanan. 10. Tidak mengunyah makanan Kebiasaan mengunyah makanan saat mengolah makanan juga harus dihindari oleh penjamah makanan, karena saat mengunyah makanan, kemungkinan air liur dapat menyebabkan terjadi pencemaran pada makanan yang sedang diolah. 11. Tidak menggunakan perhiasan Perhiasan penjamah makanan seperti cincin, gelang, jam tangan dan anting sebaiknya tidak digunakan saat bekerja karena kulit dibawah perhiasan dan pada perhiasan itu sendiri dapat menjadi tempat berkumpulnya kuman. Perhiasan seperti anting dikhawatirkan dapat jatuh ke dalam makanan tanpa dapat dicegah atau tanpa disadari sehingga dapat mengotori makanan, 12. Tidak memanjangkan kuku Penjamah makanan sebaiknya memotong kukunya menjadi pendek karena dalam kuku berkumpul kotoran yang menjadi sumber kuman penyakit yang akan mencemari makanan. Kuku dipotong pendek, sebab dalam kuku akan
15
terkumpul kotoran yang menjadi sumber kuman penyakit yang akan mencemari makanan. Hasil penelitian Mudey,dkk (2010) diketahui bahwa 97% dari penjamah makanan terinfeksi satu atau lebih parasit disebabkan oleh tinja dan kuku. Tingginya angka parasit pada penjamah makanan sebagian besar disebabkan oleh rendahnya praktek higiene perorangan dan sanitasi lingkungan sehingga dapat meningkatkan resiko kontaminasi makanan. 13. Memisahkan bahan mentah dengan produk akhir Bahan dan produk akhir harus disimpan terpisah dalam ruangan yang bersih, sesuai dengan suhu penyimpanan, bebas hama dan penerangan yang cukup. Pemisahan ini bertujuan untuk mencegah terjadinya kontaminasi silang antara bahan dengan produk akhir tersebut. 14. Tidak makan dan minum selama bekerja Penjamah makanan sebaiknya tidak makan dan minum selama bekerja dengan tujuan menghindari sisa-sisa makanan dan air ludah mencemari makanan yang sedang diolah. 15. Membuang sampah pada tempatnya Penanganan sampah yang wajib dilakukan penjamah makanan adalah membuang sampah dengan memilah sesuai dengan jenis sampahnya. Sampah daun, kertas, sisa makanan merupakan jenis sampah organik sedangkan plastik dan kaleng merupakan jenis sampah anorganik. 16. Menutup luka pada bagian tubuh Penjamah makanan wajib menutup luka pada bagian tubuh untuk mencegah pencemaran bakteri dan kuman pada luka terhadap makanan yang diolah.
16
Luka yang dimaksud adalah luka terbuka atau koreng, bisul dan bernanah. Kulit dalam keadaan normal mengandung banyak bakteri penyakit. Sekali kulit terkelupas akibat luka atau teriris, maka bakteri akan masuk ke bagian dalam kulit dan terjadilah infeksi. 17. Tidak meludah Perilaku meludah dapat menyebabkan terjadinya pencemaran makanan yang menggunakan perantara serangga seperti lalat dan semut. Hal yang mungkin terjadi adalah gangguan pencernaan pada penjamah makanan. 18. Tidak merokok Merokok dilarang saat mengolah makanan atau berada di dalam ruang pengolahan makanan. Kebiasaan merokok dapat menimbulkan resiko bakteri atau kuman dari mulut dan bibir dapat dipindahkan ke tangan sehingga tangan menjadi semakin kotor dan kemudian akan mengotori makanan, abu rokok dapat jatuh ke dalam makanan secara tidak disadari dan sulit dicegah, disamping itu, bau asap rokok yang dapat mengotori udara sehingga terjadi sesak yang mengganggu pekerja lain dan bau rokok dapat meresap ke dalam makanan. 19. Tidak bersin dan batuk ke arah pangan Bersin dan batuk menghasilkan partikel kecil di udara yang dapat mencemari makanan, sehingga diharapkan penggunaan alat pelindung diri berupa masker untuk meminimalisir kemungkinan tersebut.
17
2.2 Faktor yang Berpengaruh terhadap Perilaku Penjamah Makanan dalam Penerapan CPPB Penjamah makanan adalah setiap orang yang terlibat langsung dalam proses produksi makanan baik dari tahap pemilihan bahan makanan, proses pengolahan, maupun tahap pengemasan dan penyajian makanan (BPOM, 2012). Penjamah makanan pada umumnya memiliki kualifikasi pendidikan khusus di bidang tata boga, namun dengan pesatnya perkembangan IRTP dan permintaan akan penjamah makanan meningkat maka kualifikasi pendidikan formal menjadi hal yang tidak lagi diprioritaskan.
2.2.1
Pengetahuan
Pengetahuan penjamah makanan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perilakunya. Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia atau hasil tahu seorang manusia terhadap objek melalui indera yang dimiliki baik itu indera pengelihatan, pendengaran, penciuman dan sebagainya (Notoatmodjo, 2010). Pengetahuan mengenai CPPB dapat diperoleh dari informasi yang diperoleh baik dari media televisi, sosialisasi oleh dinas terkait, maupun dari pengelola IRTP. Pengetahuan yang diperoleh penjamah makanan mengenai CPPB umumnya diperoleh dari proses melihat dan mendengar. Penjamah makanan biasanya melihat penerapan CPPB dari pengelola maupun rekan kerja dan biasanya mendengar informasi mengenai CPPB dari pelatihan mengenai keamanan pangan. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu, faktor sikap juga disebutkan mempengaruhi perilaku seseorang.
18
2.2.2
Sikap
Sikap merupakan konsep penting dalam psikologi sosial yang membahas unsur sikap baik sebagai individu maupun kelompok. Banyak kajian dilakukan tentang sikap kaitannya dengan efek dan perannya dalam pembentukan karakter manusia (Notoatmodjo, 2010). Sikap dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu pengalaman pribadi, pengaruh orang lain yang dianggap penting, pengaruh kebudayaan, media massa, lembaga pendidikan dan faktor emosional. Budiyono (2008) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa pengetahuan penjamah makanan mengenai higiene sanitasi masih kurang, yaitu sebesar 63%. Senada dengan Budiyono, Meikawati dkk (2010) menyebutkan bahwa pengetahuan tidak memegang peranan penting terhadap higiene sanitasi makanan. Hal ini mungkin disebabkan karena responden kurang mengetahui benar tentang higiene sanitasi makanan, kurang mengetahui manfaat pemakaian perlengkapan khusus seperti pakaian kerja, penutup rambut dan celemek. Responden hanya mengikuti aturan dari atasannya tanpa tahu apa manfaatnya, sehingga tujuan pemakaian perlengkapan khusus tidak tercapai dan ada yang tidak memakainya karena alasan tidak nyaman dan mengganggu saat bekerja. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Rodmanee dkk (2013) di Thailand menyebutkan bahwa hanya 10% penjamah makanan yang mendapat pengetahuan dari mengikuti pelatihan tentang higiene dan sanitasi makanan, namun perilakunya dalam menerapkan kebersihan masih sangat kurang. Pendapat berbeda yang menyatakan adanya keterkaitan antara tingkat pengetahuan dengan sikap dan tindakannya, tingkat pengetahuan yang baik akan memiliki sikap yang
19
baik dan sikap yang baik ini akan mendorong untuk bertindak baik (Fatima dkk, 2002). Pendapat yang sama disampaikan juga oleh Rahmawati (2005) di Tembalang Semarang bahwa ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan, sikap dan perilaku penjamah makanan dalam menerapkan higiene sanitasi di tempat kerjanya.
2.2.3 Penyuluhan Keamanan Pangan Penyuluhan keamanan pangan sebaiknya diberikan kepada pengelola dan karyawan IRTP dengan tujuan meningkatkan pengetahuan pengelola dan karyawan mengenai pangan yang aman. Pada penyuluhan keamanan pangan akan diberikan pemahaman materi mengenai bahan pangan yang baik, bahan tambahan pangan, higiene sanitasi baik pada saat pemilihan bahan pangan, pengolahan, maupun penyajian makanan. Pemilik dan karyawan IRTP juga harus mengetahui tentang bahaya biologis,bahaya kimia, dan bahaya fisik yang mungkin terjadi pada makanan (BPOM RI, 2013c). Penyuluhan keamanan pangan dapat diberikan oleh BPOM atau diadakan oleh Dinas Kesehatan Provinsi dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Materi penyuluhan diberikan oleh Penyuluh Keamanan Pangan (PKP). PKP yang memberikan materi penyuluhan telah memiliki kualifikasi dan kompetensi dalam bidang produksi pangan serta telah ditunjuk oleh organisasi yang kompeten. Pengelola dan Karyawan IRTP yang telah mengikuti pelatihan akan memperoleh sertifikat penyuluhan keamanan pangan yang menjadi persyaratan mutlak dalam penerbitan Sertifikat Produksi Pangan (BPOM RI, 2012). Penelitian
20
yang dilakukan Thimoteo dkk (2014) menyebutkan bahwa pelatihan tidak berhubungan langsung dengan sikap dan praktek penjamah makanan dalam menerapkan higiene dan sanitasi, namun pelatihan merupakan alat yang efektif untuk meningkatkan pengetahuan. Sebuah penelitian meta analisis dilakukan oleh Jan Mei Soon dkk (2012) di Malaysia memperoleh hasil yang berbeda, program pelatihan keamanan pangan meningkatkan pengetahuan dan sikap penjamah makanan khususnya tentang praktek kebersihan tangan. Penelitian yang dilakukan Tokuca (2009) di Turki menyebutkan sangat diperlukan penyuluhan atau pelatihan bagi tenaga penjamah makanan untuk meningkatkan pengetahuan penjamah makanan dalam menyiapkan makanan pasien.
2.2.4 Ketersediaan Fasilitas IRTP Adanya fasilitas higiene sanitasi di IRTP bertujuan untuk menjamin ruang produksi dalam keadaan bersih dan terbebas dari cemaran serta produk pangan yang dihasilkan bebas dari cemaran. Syarat mutlak dari fasilitas di IRTP adalah tersedianya air bersih. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah sumber air berasal dari sumber yang aman, memenuhi persyaratan baku air serta cukup untuk melakukan proses produksi. Fasilitas higiene karyawan disediakan untuk menjamin kebersihan karyawan. Fasilitas yang sebaiknya tersedia adalah bak untuk mencuci tangan lengkap dengan sabun dan handuk atau alat pengering tangan, tempat ganti pakaian karyawan, toilet atau jamban dalam jumlah yang cukup serta terjaga kebersihannya. Jumlah toilet yang cukup adalah satu buah
21
untuk 10 karyawan pertama dan 1 buah untuk setiap penambahan 25 karyawan (BPOM RI, 2012).
2.2.5 Dukungan Pengelola Dukungan pengelola IRTP merupakan faktor berikutnya yang mempengaruhi perilaku penjamah makanan. Dukungan pengelola merupakan salah satu faktor penguat (reinforcing factors) bagi penjamah makanan untuk menerapkan CPPB IRTP di tempat kerjanya. Dukungan yang diberikan pengelola IRTP kepada penjamah makanan dapat berupa ucapan, sikap, serta pemberian reward bagi penjamah makanan. Reward yang diberikan dapat berupa imbalan atau insentif serta pemberian kesempatan untuk mengikuti penyuluhan keamanan pangan. Insentif atau bonus diberikan dengan tujuan menstimulasi dorongan internal dari penjamah makanan. Dengan pemberian insentif, diharapkan pengetahuan, sikap dan kemauan untuk menerapkan CPPB lebih meningkat (Dewi, 2014). Dukungan pengelola merupakan salah satu dukungan organisasi, seperti penelitian yang dilakukan oleh Schappe (1998) dan Moorman dkk (1998) menemukan bahwa penilaian karyawan terhadap keadilan, berbagai kebijakan, atau peraturan perusahaan juga ikut mempengaruhi perilaku karyawan. Karyawan yang merasa diperlakukan secara adil oleh perusahaan dalam hal peraturan atau kebijakannya, maka akan meningkat perilakunya. Begitu pula sebaliknya, karyawan yang merasa diperlakukan tidak adil akan semakin menurun perilakunya. Eisenberger dkk (1986) mengemukakan dua aspek untuk mengetahui kondisi dukungan organisasi yang dirasakan karyawan. Kedua aspek tersebut adalah penghargaan
22
organisasi terhadap kontribusi karyawan dan perhatian organisasi terhadap kesejahteraan karyawan. Menurut Rhoades dan Eisenberger (2002), terdapat tiga bentuk umum perlakuan dari organisasi yang dianggap baik dan akan dapat meningkatkan dukungan organisasi yang dirasakan karyawan yaitu keadilan, dukungan atasan dan imbalan dari organisasi dan kondisi kerja.
2.3 Keamanan Pangan Penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang seperti di Indonesia, karena morbiditas dan mortalitasnya yang masih tinggi. Survei morbiditas yang dilakukan oleh Subdit Diare, Departemen Kesehatan dari tahun 2000 sampai dengan 2010 terlihat kecenderungan insiden naik. Pada tahun 2000 IR penyakit diare 301/ 1000 penduduk, tahun 2003 naik menjadi 374/1000 penduduk, tahun 2006 naik menjadi 423/1000 penduduk dan tahun 2010 menjadi 411/1000 penduduk. Kejadian Luar Biasa (KLB) diare juga masih sering terjadi, dengan CFR yang masih tinggi. Pada tahun 2008 terjadi KLB di 69 Kecamatan dengan jumlah kasus 8133 orang, kematian 239 orang (CFR 2,94%). Tahun 2009 terjadi KLB di 24 Kecamatan dengan jumlah kasus 5.756 orang, dengan kematian 100 orang (CFR 1,74%), sedangkan tahun 2010 terjadi KLB diare di 33 kecamatan dengan jumlah penderita 4204 dengan kematian 73 orang (CFR 1,74 %). Menurut catatan World Health Organization (WHO), diare membunuh dua juta anak di dunia setiap tahun. Diare hingga kini masih merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian pada bayi dan anak-anak. Sebuah penelitian menunjukkan adanya hubungan antara praktek higiene produk
23
makanan, higiene peralatan, higiene perorangan dan praktek higiene sanitasi makanan dengan frekuensi diare pada anak. Praktik higiene dan higiene peralatan yang rendah akan menyebabkan meningkatnya kejadian diare pada konsumen makanan tersebut (Kusumawardani, 2010). Pemberlakuan UU Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan merupakan terobosan pemerintah dalam melindungi konsumen untuk serta menjamin masyarakat memperoleh pangan yang aman. Pangan yang aman dan bermutu dihasilkan oleh industri pangan dan industri rumah tangga yang telah menerapkan CPPB. Sehingga dalam hal ini, IRTP merupakan penentu bagi beredarnya pangan yang sesuai dengan standar yang ditetapkan pemerintah. Jaminan akan pangan yang aman merupakan hak asasi konsumen. Sesuai dengan UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, konsumen berhak mendapatkan pangan yang aman karena pangan merupakan kebutuhan dasar yang sangat esensial dalam kehidupan manusia. Selain harus mengandung cukup gizi, pangan yang dikonsumsi harus diolah secara benar dan aman. Namun pengetahuan dan kepedulian konsumen tentang keamanan pangan masih sangat kurang, hal ini tercermin dari rendahnya keluhan konsumen akan produk pangan yang telah mereka beli. Konsumen sangat jarang melaporkan ketidaksesuaian pangan dengan informasi produk pada kemasan. Padahal, kepedulian konsumen sangat mendukung peningkatan pengetahuan produsen serta perubahan tata cara pengolahan pangan ke arah yang lebih baik yaitu sesuai dengan syarat pangan yang aman (Cahyono, 2002).
24
Keamanan pangan di suatu tempat dibuktikan dengan terbebasnya masyarakat dari beredarnya pangan yang membahayakan kesehatan. Menurut Fardiaz (2006), masalah keamanan pangan biasanya terjadi karena produk pangan terpapar dengan lingkungan yang kotor, sehingga pangan menjadi tercemar oleh bahan-bahan yang dapat membahayakan kesehatan manusia. Bahan-bahan berbahaya yang dimaksud adalah cemaran kimia, fisik maupun mikrobiologi. Pada usaha perdagangan baik nasional maupun internasional, keamanan pangan menjadi pertimbangan pokok karena keamanan pangan memiliki peranan yang sangat vital. Pemerintah memberlakukan UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan dan PP No. 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan dengan tujuan melindungi masyarakat dari pangan yang tidak memenuhi persyaratan dan standar kesehatan. Adapun sasaran dari program keamanan pangan yang dicanangkan pemerintah adalah untuk melindungi masyarakat dari jenis pangan yang berbahaya bagi kesehatan yaitu yang terlihat dari meningkatnya pengetahuan serta kesadaran produsen terhadap keamanan pangan. Sasaran yang kedua yang termuat dalam peraturan ini adalah memantapkan kelembagaan pangan yaitu antara lain dicerminkan oleh adanya peraturan perundangan yang mengatur keamanan pangan. Sasaran yang ketiga adalah meningkatkan jumlah industri pangan yang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan. Cahyono (2002) menyatakan bahwa banyak pangan yang berbahaya yang masih beredar di masyarakat. Penggunaaan bahan tambahan pangan yang tidak sesuai takaran standar juga masih menjadi permasalahan pangan di masyarakat. Pemasalahan yang tidak kalah penting yaitu beredarnya pangan yang telah
25
kedaluwarsa, pangan impor tanpa izin edar, serta makanan yang pengolahannya tidak mengikuti kaidah higiene dan sanitasi. Harapan untuk mewujudkan kemanan pangan harus ditunjang dengan pendekatan dari good practices, quality control dan penerapan sanitasi yang baik. Tidak kalah pentingnya diperhatikan adalah penjamah makanan (food handler) yang bekerja pada penyelenggaraan makanan (Nurlaela, 2011). Quality control merupakan suatu sistem pengawasan dan pencegahan sejak awal untuk menghindari terjadinya pencemaran yang berlanjut dalam suatu proses produksi sehingga keamanan produk dapat dipertanggungjawabkan (quality assurance) bagi konsumen. Penerapan quality control dalam pengolahan pangan IRTP secara terpadu memungkinkan untuk mengantisipasi terjadinya bahaya (hazard) yang mengakibatkan ketidakamanan dan ketidaklayakan mutu produk IRTP. Penerapan quality control juga membantu tugas pengawasan rutin oleh pemerintah dan memfokuskan pengawasan pada makanan yang berisiko tinggi bagi kesehatan dan meningkatkan kepercayaan dalam perdagangan lokal (Kemenkes RI, 2012). Setiap orang yang terlibat dalam rantai pangan wajib mengendalikan risiko bahaya pada pangan, baik yang berasal dari bahan, peralatan, sarana produksi maupun dari perseorangan sehingga keamanan pangan terjamin serta wajib memenuhi persyaratan sanitasi yang meliputi sarana prasarana, penyelenggaraan kegiatan dan sanitasi personal. Pemenuhan persyaratan sanitasi di seluruh kegiatan rantai pangan pada IRTP dilakukan dengan menerapkan CPPB IRTP. Keberhasilan penerapan CPPB IRTP membutuhkan komitmen yang penuh dari
26
semua pihak termasuk keterlibatan pengelola dan penjamah makanan (Kemenkes RI, 2012).
2.4 Teori yang mendukung perilaku penjamah makanan dalam penerapan CPPB IRTP Menurut Green (1994), kesehatan individu sangat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor perilaku dan faktor luar perilaku. Selanjutnya faktor perilaku ini ditentukan oleh tiga kelompok faktor yang meliputi faktor predisposisi mencakup karakteristik, pengetahuan, persepsi, sikap, norma sosial, tradisi, keyakinan dan sebagainya. Faktor pemungkin atau pendukung adalah tersedianya fasilitas, biaya serta tersedianya cukup informasi dan faktor penguat yaitu dukungan pengelola dan kebijakan yang ditetapkan sarana untuk menguatkan keputusan seseorang 1. Faktor Predisposisi (Predisposing Factors) Faktor karakteristik penjamah makanan merupakan faktor predisposisi yang memiliki kemungkinan untuk mempengaruhi perilaku penerapan CPPB. Umur, jenis kelamin dan tingkat pendidikan adalah tiga faktor yang akan diteliti pengaruhnya terhadap perilaku penjamah makanan dalam penerapan CPPB pada penelitian ini. Apabila dikaitkan dengan perilaku penjamah makanan dalam menerapkan CPPB IRTP, maka pengetahuan yang dimaksud adalah sejauh mana penjamah makanan mengetahui kegiatan higiene sanitasi dan praktek higiene karyawan sedangkan sikap adalah tanggapan karyawan terhadap penerapan CPPB IRTP.
27
Masa kerja adalah lama bekerja penjamah makanan di satu sarana IRTP. Penjamah makanan yang mengikuti penyuluhan juga merupakan faktor predisposisi, karena dengan mengikuti penyuluhan, diharapkan pengetahuan penjamah makanan tentang penerapan higiene sanitasi dan CPPB IRTP dapat meningkat
sehingga
perilakunya
juga
sejalan
dengan
peningkatan
pengetahuannya.
2. Faktor Pemungkin (Enabling Factors) Faktor pemungkin berupa ketersediaan fasilitas yang mendukung penjamah makanan dalam pelaksanaan CPPB IRTP. Fasilitas yang dimaksud adalah fasilitas yang tersedia baik di ruang produksi maupun ruang penyimpanan. Sementara itu, jumlah informasi yang dimaksud apakah penjamah makanan pernah mendapat informasi mengenai pelaksanaan higiene sanitasi karyawan seperti yang dituangkan dalam peraturan mengenai penerapan CPPB IRTP.
3. Faktor Penguat (Reinforcing Factors ) Faktor penguat dalam penerapan CPPB adalah dukungan pengelola IRTP yaitu dalam memberikan reward dan punishment bagi penjamah makanan yang bekerja di sarana IRTP yang dikelola. Serta adanya kebijakan yang mengatur pelaksanaan CPPB IRTP di sarana tempat penjamah makanan bekerja. Reward dari pengelola dapat berupa insentif yaitu uang tambahan atau bonus apabila penjamah makanan menerapkan CPPB dengan baik. Faktor penguat dapat juga
28
berupa pujian dan penghargaan berupa rekomendasi bagi penjamah makanan yang ingin meningkatkan karirnya di bidang pengolahan makanan. Secara matematis, determinan perilaku menurut Green dapat digambarkan sebagai berikut:
B=F(Pf, Ef,Rf) Keterangan : B
= Behaviour
F
= Fungsi
Pf = Predisposing factors Ef = Enabling factors Rf = Reinforcing factors
29
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1. Kerangka Berpikir Penerapan CPPB adalah salah satu upaya melindungi masyarakat dari pangan yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan. Produsen pangan hendaknya memiliki pengetahuan dan kesadaran mengenai mutu dan kemanan pangan sehingga dapat menghasilkan pangan yang terbebas dari cemaran yang dapat membahayakan kesehatan masyarakat. Kebersihan dan higiene penjamah makanan dalam menerapkan CPPB IRTP sangat penting sebab penjamah makanan melakukan kontak langsung pada bahan pangan sehingga merupakan salah satu hal yang penting diperhatikan agar produk pangan yang dihasilkan IRTP bermutu dan aman dikonsumsi. Berdasarkan kajian yang dilakukan dan beberapa teori mengenai perilaku seseorang, maka hal-hal yang mempengaruhi perilaku pejamah makanan dalam menerapkan CPPB adalah faktor yang mendukung seperti karakteristik penjamah makanan (umur, jenis kelamin, pendidikan, masa kerja), persepsi, sikap, pengetahuan, dan pernah tidaknya mengikuti penyuluhan mengenai pengolahan pangan yang baik. Sementara faktor yang memungkinkan dalam penerapan CPPB IRTP adalah ketersediaan fasilitas yang mendukung pekerjaan penjamah makanan di sarana IRTP, jumlah informasi mengenai CPPB IRTP yang diterima penjamah makanan apakah ada manfaatnya apabila menerapkan CPPB IRTP tersebut serta biaya yang dikeluarkan untuk menunjang penerapan CPPB IRTP.
29
30
Selain faktor pendukung dan pemungkin, ada juga faktor yang dapat memperkuat dalam penerapan CPPB IRTP adalah kebijakan dari IRTP terkait aturan tertulis yang diterapkan sarana IRTP serta dukungan dari pengelola berkaitan dengan sanksi dan penghargaan yang diperoleh penjamah makanan apabila menerapkan CPPB di tempat kerjanya. Dengan adanya pengaruh dari faktor-faktor tersebut, penerapan CPPB di IRTP akan semakin baik sehingga pangan yang beredar dan dikonsumsi masyarakat adalah pangan yang aman serta bermutu. Persyaratan dalam CPPB memungkinkan untuk tidak diterapkan secara menyeluruh oleh IRTP misalnya karena alasan modal yang terbatas, fasilitas lingkungan yang tidak menunjang dan sebagainya. Dari beberapa aspek yang disyaratkan dalam CPPB IRTP, peneliti membatasi aspek yang akan diteliti yaitu aspek peralatan produksi, fasilitas dan kegiatan higiene sanitasi, kesehatan dan higiene karyawan, serta pemeliharaan dan program higiene sanitasi.
31
3.2. Konsep Penelitian Variabel Independen Faktor Predisposisi Umur Jenis Kelamin Pendidikan Masa Kerja Mengikuti Penyuluhan Pengetahuan Persepsi Variabel Dependen Sikap
Faktor Pemungkin Biaya Ketersediaan Fasilitas Jumlah Informasi
Perilaku Penjamah Makanan dalam menerapkan CPPB pada IRTP di Kabupaten Karangasem
Faktor Penguat Kebijakan IRTP Dukungan Pengelola Keterangan: : TidakDiteliti
: Diteliti
Gambar 3.1 Konsep penelitian faktor- faktor yang berpengaruh terhadap perilaku penjamah makanan dalam penerapan CPPB IRTP (merujuk teori L. Green).
32
3.3. Hipotesis Penelitian 1. Umur mempengaruhi perilaku penjamah makanan dalam menerapkan CPPB pada IRTP di Kabupaten Karangasem. 2. Jenis kelamin mempengaruhi perilaku penjamah makanan dalam menerapkan CPPB pada IRTP di Kabupaten Karangasem. 3. Tingkat Pendidikan mempengaruhi perilaku penjamah makanan dalam menerapkan CPPB pada IRTP di Kabupaten Karangasem. 4. Masa kerja mempengaruhi perilaku penjamah makanan dalam menerapkan CPPB pada IRTP di Kabupaten Karangasem. 5. Pengetahuan mempengaruhi perilaku penjamah makanan dalam menerapkan CPPB pada IRTP di Kabupaten Karangasem. 6. Sikap mempengaruhi perilaku penjamah makanan dalam menerapkan CPPB pada IRTP di Kabupaten Karangasem. 7. Penyuluhan mempengaruhi perilaku penjamah makanan dalam menerapkan CPPB pada IRTP di Kabupaten Karangasem. 8. Ketersedian fasilitas mempengaruhi perilaku penjamah makanan dalam menerapkan CPPB pada IRTP di Kabupaten Karangasem. 9. Dukungan pengelola mempengaruhi perilaku penjamah makanan dalam menerapkan CPPB pada IRTP di Kabupaten Karangasem.
33
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah analitik kuantitatif yaitu penelitian yang bermaksud untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan perilaku penjamah makanan dalam menerapkan CPPB di IRTP. Sedangkan rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah crosssectional yaitu peneliti melakukan pengukuran variabel pada waktu yang sama dan hanya dilakukan satu kali saja (Sudigdo, 2011).
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2.1 Lokasi Penelitian dilakukan di 10 Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) yang telah memiliki izin produksi IRTP di Kabupaten Karangasem. 4.2.2 Waktu Pengambilan data dilakukan pada bulan Januari-Maret 2015.
4.3 Penentuan Sumber Data 4.3.1 Populasi Populasi penelitian ini adalah semua penjamah makanan yang bekerja di IRTP yang telah memiliki izin IRTP di Kabupaten Karangasem. Adapun jumlah IRTP yang telah memiliki izin adalah 10 sarana.
33
34
4.3.2 Sampel Sampel penelitian ini adalah penjamah makanan yang bekerja di IRTP yang telah memiliki izin IRTP di Kabupaten Karangasem yang memenuhi kriteria inklusi. Adapun kriteria inklusi sampel adalah mampu berkomunikasi dengan baik dan bersedia menjadi responden. Pengelola yang bekerja sekaligus sebagai penjamah makanan tidak digunakan sebagai sampel penelitian.
4.3.3 Besar Sampel Sampel pada penelitian ini adalah seluruh populasi penelitian. Adapun jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 79 orang penjamah makanan yang bekerja di IRTP yang sudah memiliki izin IRTP.
4.4 Variabel Penelitian 4.4.1 Variabel Independen Variabel independen atau variabel bebas dalam penelitian ini adalah umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, masa kerja, pengetahuan, sikap, pernah mengikui penyuluhan, ketersediaan fasilitas dan dukungan pengelola IRTP
4.4.2 Variabel Dependen Variabel dependen atau variabel terikat dari penelitian ini adalah perilaku penjamah makanan dalam menerapkan CPPB pada IRTP di Kabupaten Karangasem.
35
4.5 Definisi Operasional Variabel Tabel 4.1. Definisi Operasional Variabel dan Skala Data Variabel
Definisi Operasional
Catatan tentang rencana analisis
Variabel Dependen Perilaku Penjamah makanan
Berbagai hal yang dilakukan oleh penjamah makanan terkait dengan produksi IRTP dan penerapan CPPB IRTP. Penilaian tentang perilaku dilakukan dengan lembar observasi. Item lembar observasi berjumlah 12 item. Pengamatan dilakukan sebanyak tiga kali dengan selang waktu tujuh hari dari pengamatan sebelumnya. Waktu pengamatan adalah saat penjamah makanan sedang melakukan kegiatan produksi di IRTP.
Skala pengukuran data adalah interval, diberikan skor 1 apabila perilaku dilakukan oleh responden dan 0 apabila tidak dilakukan. Lalu dikelompokkan berdasarkan Mean 1. Baik ( > mean) 2. Kurang baik (≤mean)
Variabel Independen Umur
Umur dalam tahun responden saat wawancara mengenai usia. Wawancara dilakukan dengan kuesioner.
Skala pengukuran data adalah interval Akan dikelompokkan dalam dua kategori yaitu: 1=Umur < 35 tahun 2=Umur ≥ 35 tahun (Nursalam, 2001)
Jenis Kelamin
Pembagian jenis seksual yang ditentukan secara biologis dan anatomis yang dinyatakan dalam jenis kelamin laki-laki dan jenis kelamin perempuan. Wawancara dilakukan dengan kuesioner.
Skala pengukuran data adalah interval Kemudian data dikelompokkan menjadi kelompok laki-laki dan perempuan
Pendidikan formal terakhir yang diselesaikan responden sampai dengan penelitian dilakukan. Wawancara terstruktur dilakukan dengan kuesioner.
Skala pengukuran data adalah nominal Dikelompokkan ke dalam dua kategori yaitu: 1=Rendah (Tidak sekolahSMP) 2=Tinggi (SMA-S1) (Rizky, 2009)
Pendidikan
36
Variabel
Definisi Operasional
Catatan tentang rencana analisis Skala pengukuran data adalah interval Dikelompokkan ke dalam dua kategori yaitu: 1= Baru (≤ 60 bulan) 2=Lama ( >60 bulan) (Agustini, 2008)
Masa Kerja
Lamanya waktu bekerja responden di IRTP terhitung mulai masuk bekerja sampai saat pengambilan data dilakukan. Masa kerja dihitung selama responden bekerja sebagai penjamah makanan walaupun di perusahaan yang berbeda. Wawancara terstruktur dilakukan dengan kuesioner.
Pengetahuan
Segala sesuatu yang dipahami oleh penjamah makanan tentang CPPB IRTP. Pengetahuan dinilai dengan menggunakan 12 item pertanyaan. Wawancara terstruktur dilakukan dengan kuesioner.
Skala pengukuran data adalah ordinal Akan diberikan skor yaitu skor 1 apabila responden tahu dan skor 0 apabila tidak tahu. Kemudian dikategorikan menjadi: 1. Pengetahuan Baik (≥80% dari skor total) 2. Pengetahuan kurang (<80% dari skor total)
Pernah mengikuti penyuluhan
Pernah mengikuti penyuluhan/pelatihan keamanan pangan baik yang diadakan oleh pemerintah maupun oleh IRTP tempat responden bekerja. Wawancara terstruktur dilakukan dengan kuesioner.
Skala pengukuran data adalah nominal Dikelompokkan menjadi kelompok pernah dan tidak pernah
Sikap
Tanggapan karyawan tentang penerapan CPPB pada IRTP. Penilaian sikap menggunakan 17 item pernyataan positif dan negatif. Respon terhadap masingmasing pernyataan diukur dengan dua tingkatan skala yaitu setuju dan tidak setuju. Pemberian skor dilakukan sebagai berikut: pernyataan positif : setuju diberi skor 1 dan tidak setuju diberi skor 0 Pernyataan negatif: setuju diberi skor 0 dan tidak setuju diberi skor 1. Wawancara terstruktur dilakukan dengan kuesioner.
Skala pengukuran data adalah ordinal Dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu: 1= Baik (≥ 80% dari skor total) 2= Kurang baik (<80% dari skor total) (Fatima dkk, 2002)
37
Variabel
Definisi Operasional
Ketersediaan Fasilitas
Fasilitas yang mendukung pelaksanaan CPPB pada IRT yang tercantum dalam pedoman CPPB. Fasilitas digolongkan menjadi dua yaitu fasilitas mutlak dan fasilitas penunjang lain. Fasilitas mutlak adalah fasilitas cuci tangan dengan air mengalir dan sabun, fasilitas penunjang adalah tempat sampah yang dilengkapi tutup, pengering tangan/lap, sarana pencucian bahan pangan, sarana pencucian peralatan, sarana toilet, sarana pembuangan limbah, tempat penyimpanan bahan makanan, tempat makanan jadi, dan sistem penerangan yang baik. Penilaian dilakukan dengan observasi. Pengkategorian saat pengamatan dibagi menjadi dua yaitu ada apabila memenuhi syarat, dan tidak ada apabila tidak memenuhi syarat atau fasilitas tersebut tidak ada sama sekali. Lembar observasi terdiri dari 10 item.
Dukungan Pengelola
Dukungan berupa ucapan, sikap dan reward dari pengelola IRTP serta pemberian kesempatan untuk mengikuti penyuluhan yang dapat mendorong karyawan menerapkan CPPB. Penilaian dukungan pengelola menggunakan lima item pertanyaan dengan dua pilihan jawaban yaitu ya diberikan skor 1 dan tidak diberikan skor 0. Wawancara terstruktur dilakukan dengan kuesioner.
Catatan tentang rencana analisis Skala pengukuran data adalah ordinal Dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu : 1= Lengkap (fasilitas mutlak ada dan ≥50% fasilitas penunjang ada) 2= Kurang lengkap (apabila tidak memenuhi kriteria diatas) (Agustini, 2008)
Skala pengukuran data adalah ordinal Dikelompokkan ke dalam dua kategori yaitu: 1= Baik (≥ 80% dari skor total) 2= Kurang baik (<80% dari skor total)
4.6 Instrumen Penelitian Instrumen penelitian yang digunakan adalah kuesioner dan lembar observasi. Kuesioner berisi pertanyaan tentang karakteristik, pengetahuan, dan sikap penjamah makanan serta pertanyaan mengenai dukungan pengelola IRTP. Lembar
38
observasi (check list) berisi item tentang ketersediaan fasilitas dan perilaku penjamah makanan dalam menerapkan CPPB IRTP. Uji coba kuesioner bertujuan untuk content analysis yaitu untuk mengetahui apakah pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner dapat dimengerti dan dipahami oleh responden. Uji coba kuesioner dilakukan pada delapan penjamah makanan dengan karakteristik yang hampir sama dengan karakteristik sampel yaitu penjamah makanan yang bekerja di industri jasa boga Kabupaten Karangasem.
4.7 Prosedur Penelitian 4.7.1
Jenis Data
Jenis data yang dikumpulkan pada penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data sekunder yaitu data mengenai jumlah IRTP di Kabupaten Karangasem yang telah memiliki izin IRTP dan penjamah makanan yang bekerja di masing-masing sarana tersebut sedangkan data primer adalah data mengenai karakteristik, pengetahuan dan sikap penjamah makanan, ketersediaan fasilitas di IRTP, dukungan pengelola IRTP kepada penjamah makanan, serta perilaku penjamah makanan dalam menerapkan CPPB IRTP. Data perilaku penjamah makanan yang dikumpulkan dibatasi hanya 12 jenis perilaku dari 19 jenis perilaku yang diatur dalam CPPB IRTP.
4.7.2
Cara Pengumpulan Data
Cara pengambilan dan pengumpulan data primer pada penelitian ini adalah dengan observasi dan wawancara yang berpedoman pada kuesioner. Pengumpulan
39
data dilakukan dengan cara wawancara langsung pada responden. Enumerator membacakan pertanyaan penelitian dan dijawab oleh responden. Untuk menghindari pertanyaan yang terlewatkan, enumerator mengecek kembali lembar pertanyaan sebelum mengakhiri wawancara. Observasi dilakukan pada fasilitas yang tersedia di IRTP serta pada perilaku penjamah makanan saat melakukan pengolahan pangan. Observasi akan dilakukan oleh observer yang sudah dilatih dengan waktu yang tidak disepakati sebelumnya. Adapun langkah-langkah wawancara yang dilakukan sebagai berikut. 1. Meminta izin kepada pengelola IRTP dan responden agar dapat melakukan penelitian dengan cara menjelaskan tujuan penelitian. 2. Memberikan lembar persetujuan untuk menjadi responden dalam penelitian kepada calon responden. 3. Membacakan pertanyaan pada responden dan dijawab langsung oleh responden kemudian peneliti mencatat jawaban dari responden tersebut. 4. Menjamin kerahasiaan informasi yang dikumpulkan dari responden 5. Melakukan pengecekan kembali pada semua item pertanyaan sebelum mengakhiri wawancara untuk menghindari pertanyaan yang terlewatkan. Apabila ada pertanyaanyang terlewatkan maka peneliti menanyakan kembali kepada responden untuk memperoleh data yang lengkap dan akurat.
4.7.3
Etika Penelitian
Sebelum memulai penelitian telah diperoleh rekomendasi penelitian di Badan Penanaman
Modal
dan
Perizinan
Provinsi
Bali
dengan
nomor
40
070/23803/IV/BPMP. Kemudian telah diperoleh pula ijin penelitian di Badan Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat (Kesbang Pol dan Linmas) Kabupaten Karangasem dengan nomor 070/191/KBPPM/2015. Oleh karena penelitian
ini melibatkan masyarakat maka dilengkapi juga dengan Ethical
Clearance dari Komisi Etik Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dengan nomor 101/UN.14.2/Litbang/2015. Sebelum memulai wawancara, responden menandatangani pernyataan kesediaan menjadi responden penelitian, setelah dibacakan tujuan penelitian oleh enumerator.
4.8 Teknik Pengolahan dan Analisis Data 4.8.1
Teknik Pengolahan Data
Data yang diperoleh diolah melalui beberapa tahapan : 1. Editing Setelah data terkumpul, tahap pertama yang dilakukan adalah melakukan pemeriksaan terkait kelengkapan dokumen data IRTP, lembar observasi, dan kuesiner untuk memudahkan proses penyempurnaan data apabila masih ada data yang belum lengkap. 2. Coding Merupakan proses penyusunan data mentah yang ada dalam kuesioner menjadi bentuk yang mudah dibaca oleh alat pengolah data. 3. Data Entry Merupakan tahap pemindahan data yang telah dirubah menjadi kode-kode ke dalam alat pengolah data.
41
4. Data Cleaning Tahap ini dilakukan untuk memastikan bahwa seluruh data yang telah dimasukkan ke dalam alat bantu pengolah data sudah sesuai dengan yang data sebenarnya yang terkumpul saat pengumpulan data. 5. Scoring Hasil pengisian kuesioner oleh responden dilakukan scoring untuk keperluan analisis.
4.8.2
Analisis Data
4.8.2.1 Analisis Univariat Analisis ini dilakukan secara deskriptif dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi yang meliputi karakteristik penjamah makanan, variabel dependen, dan variabel independen. Tujuan dari analisis ini adalah untuk mengetahui gambaran distribusi frekuensi dan proporsi dari masing-masing variabel baik variabel bebas maupun variabel terikat. Data disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi.
4.8.2.2 Analisis Bivariat Analisis yang dilakukan untuk menilai pengaruh satu variabel bebas dengan variabel tergantung yaitu pengaruh karakteristik, pengetahuan, sikap responden, ketersediaan fasilitas dan dukungan pengelola IRTP terhadap perilaku penjamah makanan dalam menerapkan CPPB IRTP. Hasil analisis bivariat akan ditampilkan dalam tabel 2x2. Ukuran asosiasi yang digunakan untuk menilai pengaruh variabel bebas terhadap variabel tergantung pada analisis ini adalah Crude
42
Prevalence Ratio (CPR) dan uji statistik yang digunakan adalah Chi square dengan tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05)
4.8.2.3 Analisis Multivariat Analisis multivariat dilakukan untuk mengetahui pengaruh dari masingmasing variabel bebas terhadap variabel tergantung dengan cara mengontrol keberadaan variabel bebas yang lain. Uji statistik yang digunakan adalah poisson regression dan ukuran asosiasi akan ditampilkan dalam bentuk Adjusted Prevalence Ratio (APR) dengan 95% CI serta perhitungan nilai p.
43
BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Gambaran Lokasi Penelitian Perekonomian masyarakat di Kabupaten Karangasem bergerak di bidang pertanian, peternakan, perikanan, industri dan perdagangan. Industri di Kabupaten Karangasem yang berkembang dengan pesat adalah industri kerajinan dan rumah tangga. Industri rumah tangga khususnya di bidang pangan menjadi salah satu mata pencaharian sebagian penduduk di Kabupaten Karangasem. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Karangasem, jumlah IRTP mengalami peningkatan setiap tahunnya. Jumlah IRTP yang terdaftar pada tahun 2012 adalah sebanyak 179, tahun 2013 meningkat menjadi 231 dan sampai dengan bulan Juni 2014 tercatat sebanyak 270 IRTP. Jumlah tenaga penjamah makanan yang bekerja di IRTP Kabupaten Karangasem mencapai 1246 orang. Program pembinaan yang dilakukan oleh Puskesmas dan Dinas Kesehatan berintegrasi dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan telah dilakukan dengan tujuan pangan yang dijual oleh IRTP aman dikonsumsi oleh masyarakat. Pembinaan yang dilakukan antara lain adalah penyuluhan kelompok kepada penjamah makanan, sosialisasi peraturan menteri kesehatan tentang CPPB IRTP dan Bahan Tambahan Pangan (BTP). Beberapa jenis pangan yang tergolong IRTP diantaranya hasil olahan tepung seperti roti, kue dan mie, hasil olahan buah seperti manisan, keripik buah, selai buah, dodol buah dan buah kering, dan hasil olahan kacang-kacangan seperti kacang kapri, kacang mente, kacang asin dan bumbu kacang.
43
44
Jumlah IRTP yang telah melengkapi legalitas usahanya dengan mengurus izin produksi IRTP sampai dengan bulan Juni 2014 adalah sebanyak 10 IRTP (3,7%) dengan jumlah tenaga penjamah makanan yang dipekerjakan adalah 79 orang. IRTP ini tersebar di 5 kecamatan yaitu Kecamatan Karangasem, Bebandem, Selat, Rendang, dan Kubu.
5.2 Karakteristik Responden Penelitian ini diawali dengan mencari data jumlah dan nama usaha IRTP di Kabupaten Karangasem. Berdasarkan data pada Seksi Registrasi, Akreditasi, Sertifikasi dan Perijinan Dinas Kesehatan Kabupaten Karangasem, jumlah IRTP sampai dengan bulan Juni 2014 di Kabupaten Karangasem sebanyak 270 IRTP dan 10 diantaranya telah memiliki izin produksi IRTP. Selain itu dilakukan cross check data jumlah IRTP pada Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Karangasem diperoleh data jumlah IRTP yang telah memiliki izin produksi IRTP sudah sesuai dengan data di Dinas Kesehatan Kabupaten Karangasem. Adapun jumlah penjamah makanan yang bekerja di 10 IRTP tersebut berjumlah 79 orang. Mengingat jumlah sampel minimal pada penelitian ini sebanyak 58 penjamah makanan, maka semua penjamah makanan yang bekerja di IRTP dengan izin produksi dipilih menjadi sampel. Data diambil dari pengisian kuesioner yang disebarkan kepada 79 orang tenaga penjamah makanan yang bekerja pada IRTP yang telah memiliki izin usaha IRTP. Karakteristik responden yaitu umur dikategorikan menjadi <35 tahun dan ≥35 tahun, pendidikan dikategorikan menjadi pendidikan rendah dan tinggi
45
sedangkan masa kerja dikategorikan menjadi ≤ 60 bulan dan > 60 bulan seperti yang disajikan pada tabel dibawah ini. Tabel 5.1 Karakteristik Penjamah Makanan pada Industri Rumah Tangga Pangan di Kabupaten Karangasem Tahun 2015 Karakteristik (n=79) Umur, rerata ±SD < 35 tahun ≥ 35 tahun Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan Tinggi Rendah Masa kerja, median (IQR) > 60 bulan ≤ 60 bulan Penyuluhan Pernah Tidak pernah
f
%
35,8 ± 11,6 tahun 41 51,9 38 48,1 17 62 46 33 48 (24-96) bulan 48 31 21 58
21,52 78,48 58,23 41,77 60,76 39,24 26,58 73,42
Tabel 5.1 menunjukkan bahwa distribusi subjek berdasarkan kelompok umur relatif seimbang antara subjek yang berumur lebih dari atau sama dengan 35 tahun (48,1%) dibandingkan yang berumur kurang dari 35 tahun (51,9%), sedangkan berdasarkan distribusi jenis kelamin, sebagian besar penjamah makanan adalah perempuan sebanyak 62 orang (78,48%) dan sisanya sebanyak 17 orang (21,52%) adalah laki-laki. Berdasarkan pendidikan, sebagian besar penjamah makanan berpendidikan tinggi (SMA, diploma, sarjana) sebanyak 46 orang (58,23%). Dilihat berdasarkan lama bekerja, penjamah makanan yang bekerja lebih dari 60 bulan berjumlah 48 orang (60,76%) dan sisanya bekerja kurang atau sama dengan
46
60 bulan. Karakteristik responden berdasarkan pernah tidaknya mengikuti penyuluhan tentang CPPB pada penelitian ini sebagian besar belum pernah mengikuti penyuluhan yaitu sebanyak 58 orang (73,42%).
5.3 Gambaran Perilaku Penjamah Makanan dalam Penerapan CPPB pada IRTP di Kabupaten Karangasem Penilaian perilaku penjamah makanan dilakukan pengamatan sebanyak tiga kali dengan selang waktu tujuh hari dari pengamatan sebelumnya. Dilakukan berulang dalam selang waktu tersebut untuk mendapatkan pola yang jelas atau konsistensi dalam perilaku dari waktu ke waktu. Pengamatan berulang juga mengontrol variasi normal perilaku yang diharapkan dalam interval waktu yang singkat (Milan dkk, 2001). Waktu pengamatan adalah saat penjamah makanan sedang melakukan kegiatan produksi di IRTP. Item lembar observasi berjumlah 12 item yang terdiri dari perilaku mencuci tangan, memakai perlengkapan kerja, menggunakan alat bantu saat mengambil makanan matang, menutup makanan matang, tidak bercakap-cakap, tidak menggaruk anggota tubuh, tidak mengunyah makanan, tidak menggunakan perhiasan dan tidak memanjangkan kuku saat melakukan pengolahan makanan. Penelitian ini dibatasi hanya 12 item perilaku karena pertimbangan lokasi IRTP tidak memiliki fasilitas yang dapat mendukung perilaku tersebut. Gambaran pengamatan perilaku, perilaku secara keseluruhan dan gambaran perilaku berdasarkan karakteristik penjamah makanan dapat dilihat pada tabel 5.2 dan 5.3 berikut ini.
47
Tabel 5.2 Gambaran Perilaku Penjamah Makanan pada IRTP di Kabupaten Karangasem Tidak Pernah
Perilaku
f
(%)
1 kali f
2 kali
(%)
f
(%)
Selalu f
(%)
Perilaku Positif Menutup Makanan Matang
46
(58,23)
17
(21,52)
6
(7,59)
10
(12,66)
Memakai Masker
39
(49,37)
6
(7,59)
5
(6,33)
29
(36,71)
Memakai Penutup Kepala
23
(29,11)
9
(11,39)
4
(5,06)
43
(54,43)
Memakai Sarung Tangan
18
(22,78)
43
(54,43)
6
(7,59)
12
(15,9)
Memakai Celemek
15
(18,99)
6
(7,59)
9
(11,39)
49
(62,03)
Memakai penjepit/alat bantu
9
(11,39)
13
(16,46)
19
(24,05)
38
(48,10)
Mencuci tangan
2
(2,53)
6
(7,59)
17
(21,52)
54
(68,35)
Bercakap-cakap
34
(43,04)
23
(29,11)
15
(18,99)
7
(8,86)
Menggaruk anggota tubuh
35
(44,30)
30
(37,97)
13
(16,46)
1
(1,27)
Memakai perhiasan
37
(46,84)
33
(41,77)
8
(10,13)
1
(1,27)
Mengunyah makanan
51
(64,56)
19
(24,05)
9
(11,39)
0
(0)
Memanjangkan kuku
62
(78,48)
13
(16,46)
4
(5,06)
0
(0)
Perilaku Negatif
Perilaku (Rerata±SD)
35,4±8,5 Baik
39
49,37
Tidak baik
40
50,63
Berdasarkan tabel 5.2 terlihat bahwa perilaku positif yang paling sedikit dilakukan oleh penjamah makanan adalah menutup makanan yang telah matang yaitu hanya 10 penjamah makanan (12,66%) yang selalu menutup makanan matang pada saat pengamatan dilakukan. Sebanyak 58,23% penjamah makanan tidak pernah menutup makanan yang matang, 21,52% yang satu kali menutup makanan matang selama pengamatan, 7,59% yang dua kali menutup makanan matang selama Perilaku yang juga jarang dilakukan oleh penjamah makanan adalah menggunakan sarung tangan dan masker, sebanyak 22,78% tidak pernah
48
menggunakan sarung tangan dan sebanyak 49,37% tidak pernah menggunakan masker selama pengamatan. Hanya 12 penjamah makanan (15,19%) yang menggunakan sarung tangan dan hanya 29 penjamah makanan (36,71%) yang selalu menggunakan masker saat pengamatan dilakukan. Perilaku negatif yang sering dilakukan oleh penjamah makanan adalah bercakap-cakap selama proses pengolahan makanan dan menggaruk anggota tubuh. Sebanyak 15 orang (18,99%) yang ditemukan bercakap-cakap pada dua kali pengamatan dan 13 orang (16,46) yang ditemukan menggaruk anggota tubuh pada dua kali pengamatan. Perilaku menerapkan CPPB pada IRTP secara keseluruhan dinilai menggunakan 12 kriteria diatas. Masing-masing kriteria diberikan bobot yang berbeda berdasarkan risiko pencemaran makanan. Perilaku mencuci tangan sebelum mengolah makanan diberi bobot tiga, perilaku menggunakan pakaian kerja seperti masker, penutup kepala, sarung tangan dan celemek diberi bobot dua dan perilaku lainnya diberi bobot satu. Dinyatakan berperilaku baik apabila skor total perilakunya lebih besar atau sama dengan daripada reratanya yaitu 35. Secara keseluruhan perilaku penjamah makanan dalam menerapkan CPPB pada IRTP dengan baik sebesar 49,37%.
49
Tabel 5.3 Distribusi Perilaku Penjamah Makanan dalam Menerapkan CPPB pada IRTP Berdasarkan Karakteristik di Kabupaten Karangasem Karakteristik
Perilaku Baik Tidak Baik f (%) f (%)
PR
95% CI
Nilai p
Umur < 35 tahun ≥ 35 tahun Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan Tinggi Rendah Lama kerja > 60 bulan ≤ 60 bulan Penyuluhan Pernah
20 (48,78) 20 (52,63)
21 (51,22) 18 (47,37)
1,1
0,7-1,7
0,732
8 (47,06) 32 (51,61)
9 (52,94) 30 (48,39)
0,9
0,5-1,6
0,739
28 (60,87) 12 (36,36)
18 (39,13) 21 (63,64)
1,7
1,0-2,8
0,032
26 (54,17) 14 (45,16)
22 (45,83) 17 (54,84)
1,2
0,8-1,9
0,434
16 (76,19)
5 (23,81)
1,8
1,2-2,7
0,006
Tdk pernah
24 (41,38)
34 (58,62)
Tabel 5.3 menunjukkan perilaku dalam penerapan CPPB pada IRTP berdasarkan karakteristik penjamah makanan. Berdasarkan kelompok umur, perilaku yang baik pada penjamah makanan pada kelompok lebih atau sama dengan 35 tahun sebesar 52,63%, lebih tinggi dibandingkan pada kelompok kurang dari 35 tahun dengan perilaku baik sebesar 48,78%, walaupun demikian secara statistik tidak bermakna dengan nilai p=0,732. Berdasarkan jenis kelamin perilaku baik pada penjamah makanan laki-laki mencapai 47,06% lebih rendah dibandingkan pada perempuan sebesar 51,61% walaupun demikian secara statistik tidak bermakna dengan nilai p=0,739.
50
Berdasarkan pendidikan perilaku baik pada penjamah makanan dengan tingkat pendidikan tinggi yaitu SMA, diploma dan sarjana sebesar 60,87% sedangkan pada penjamah makanan dengan tingkat pendidikan rendah (tidak sekolah, SD,SMP) hanya 36,36% yang berperilaku baik Perbedaan ini menghasilkan prevalence ratio (PR) sebesar 1,7 yang menunjukkan peluang perilaku baik pada penjamah makanan dengan pendidikan tinggi 1,7 kali dibandingkan penjamah makanan dengan pendidikan rendah. Berdasarkan hasil uji statistik, pengaruh pendidikan terhadap perilaku penjamah makanan dinyatakan bermakna dengan CI 95% dari PR 1,0-2,8 dan nilai p=0,032. Berdasarkan lama kerja, perilaku baik pada penjamah makanan yang bekerja kurang dari atau sama dengan 60 bulan sebesar 54,17% lebih besar dibandingkan dengan penjamah makanan yang bekerja lebih dari 60 bulan yaitu sebesar 45,16%. Walaupun demikian secara statistik tidak bermakna dengan nilai p=0,434. Perbedaan perilaku juga terlihat apabila dipilah berdasarkan pernah tidaknya mengikuti penyuluhan pangan. Penjamah makanan yang pernah mengikuti penyuluhan dan berperilaku baik sebesar 76,19% lebih tinggi daripada penjamah yang tidak pernah mengikuti penyuluhan yaitu hanya sebesar 41,38%. perbedaan tersebut secara statistik bermakna dengan nilai p=0,006.
5.4 Pengaruh Pengetahuan terhadap Perilaku Penjamah Makanan Pengetahuan penjamah makanan diukur dengan 12 item pertanyaan meliputi pertanyaan tentang tujuan pemeriksaan kesehatan sebelum melakukan pengolahan makanan, tujuan mencuci tangan, alasan tidak bekerja, manfaat penyuluhan
51
pangan, tujuan memotong kuku, manfaat perlengkapan dan pakaian kerja, alur penggunaan bahan makanan, dan cara menyimpan makanan matang. Gambaran penilaian pengetahuan penjamah makanan berdasarkan masing-masing poin penilaian yang terendah dan pengaruhnya terhadap perilaku dapat dilihat pada tabel 5.4 dan 5.5. Tabel 5.4 Pengetahuan Penjamah Makanan dalam Penerapan CPPB pada IRTP di Kabupaten Karangasem Penilaian Pengetahuan (n=79) Mengetahui tujuan pemeriksaan kesehatan sebelum mengolah makanan Mengetahui tujuan mencuci tangan sebelum mengolah makanan Mengetahui kapan sebaiknya tidak bekerja untuk alasan kesehatan Mengetahui manfaat penyuluhan pangan bagi Perusahaan IRTP Mengetahui manfaat memakai perlengkapan khusus dan pakaian kerja Mengetahui tujuan memotong kuku Mengetahui alur penggunaan bahan makanan Mengetahui cara menyimpan makanan matang yang baik Mengetahui mekanisme pencucian bahan Mengetahui ciri-ciri makanan yang berkualitas baik Mengetahui tujuan penyimpanan makanan dalam suhu rendah Mengetahui cara menghindari kontak langsung dengan makanan Pengetahuan Baik Kurang baik
f 77
% 97,47
53
67,09
53
67,09
78
98,73
5
6,33
76 54 54
96,20 68,35 68,35
76 76
96,20 96,20
77
97,47
77
97,47
41 38
51,90 48,10
52
Berdasarkan Tabel 5.4 terlihat pengetahuan penjamah makanan mengenai manfaat memakai perlengkapan khusus dan pakaian kerja masih sangat kurang hanya sebanyak 5 orang penjamah makanan (6,33%) menjawab dengan benar. Pertanyaan mengenai tujuan mencuci tangan sebelum mengolah makanan, dan alasan kesehatan sehingga tidak bekerja dijawab benar oleh 53 orang penjamah makanan (67,09%), dan untuk pertanyaan mengenai alur penggunaan bahan makanan serta cara menyimpan makanan matang yang baik mampu dijawab benar oleh 54 orang penjamah makanan (68,35%). Pengetahuan penjamah makanan secara keseluruhan dinilai menggunakan 12 pertanyaan. Dinyatakan memiliki pengetahuan baik apabila penjamah makanan mampu menjawab minimal 10 (80%) pertanyaan dengan benar. Secara keseluruhan pengetahuan penjamah makanan terhadap penerapan CPPB IRTP sudah baik karena sebanyak 41 penjamah makanan (51,90%) dinyatakan memiliki pengetahuan baik. Tabel 5.5 Pengaruh Pengetahuan terhadap Perilaku Penjamah Makanan dalam Penerapan CPPB pada IRTP di Kabupaten Karangasem Variabel
Kategori
Pengetahuan Baik Kurang
Perilaku Baik Tidak baik f (%) f (%) 28 (68,42) 13 (31,71) 12 (31,58)
26 (68,42)
PR
95% CI
Nilai p
2,2
1,3–3,6
0,001
Tabel 5.5 menunjukkan hasil analisis pengaruh pengetahuan terhadap perilaku penjamah makanan dalam penerapan CPPB pada IRTP. Terlihat ada perbedaan perilaku berdasarkan tingkat pengetahuan penjamah makanan. Pada
53
penjamah dengan pengetahuan baik memiliki perilaku baik sebesar 68,42% sedangkan pada penjamah makanan dengan pengetahuan kurang hanya 31,58%. Perbedaan ini menghasilkan prevalence ratio (PR) sebesar 2,2 yang menunjukkan bahwa peluang untuk berperilaku baik pada penjamah makanan dengan pengetahuan baik 2,2 kali dibandingkan penjamah dengan pengetahuan kurang. Berdasarkan hasil uji statistik, pengaruh pengetahuan terhadap perilaku penjamah makanan dinyatakan bermakna dengan 95% CI dari PR 1,3-3,6 dan nilai p=0,001.
5.5 Pengaruh Sikap terhadap Perilaku Penjamah Makanan Penilaian sikap terhadap perilaku penjamah makanan dalam penerapan CPPB pada IRTP menggunakan 17 item penilaian skala sikap meliputi pendapat penjamah makanan terhadap tujuan CPPB, pentingnya penggunaan kelengkapan khusus seperti masker, sarung tangan, penutup kepala dan celemek, penggunaan serta penyimpanan bahan makanan yang baik, kebiasaan yang tidak boleh dilakukan saat mengolah makanan seperti bercakap-cakap, bersin dan batuk dan penggunaan peralatan memasak yang baik. Sikap secara keseluruhan dikategorikan menjadi dua yaitu sikap baik dan kurang baik. Sikap penjamah dikatakan baik apabila memiliki pendapat yang baik minimal terhadap 14 penilaian skala sikap (80%) sedangkan apabila kurang dari 14 poin skala sikap maka sikapnya akan dianggap kurang baik. Gambaran sikap dalam penerapan CPPB pada IRTP berdasarkan beberapa poin penilaian dan pengaruhnya terhadap perilaku penjamah makanan dapat dilihat pada tabel 5.6 dan 5.7.
54
Tabel 5.6 Sikap Penjamah Makanan dalam Penerapan CPPB pada IRTP di Kabupaten Karangasem Penilaian sikap (n=79) Setuju tidak bercakap-cakap saat mengolah pangan Setuju menggunakan penutup rambut/ penutup kepala Setuju melepaskan perhiasan saat mengolah makanan Setuju tidak makan dan minum saat mengolah pangan Setuju mencuci tangan setelah keluar dari toilet Setuju apabila celemek tidak dipakai di dalam toilet Setuju apabila sebelum mencuci peralatan, membuang sisa makanan Setuju apabila tempat menyimpan peralatan tidak lembab dan basah Setuju tidak menggaruk anggota tubuh Setuju tidak batuk dan bersin ke arah makanan Setuju apabila mengambil makanan dengan alat bantu
f 52 75 68 67 70 58 58 55 74 64 72
% 65,82 94,94 86,08 84,81 88,61 73,42 73,42 69,62 93,67 81,01 91,14
Setuju apabila tidak menggunakan peralatan yang rusak Setuju apabila sampah daun dan plastik dipisahkan Setuju apabila penerapan CPPB dapat menjamin kualitas pangan Setuju apabila menyimpan bahan di tempat yang kering Setuju apabila permukaan peralatan diletakkan menghadap ke bawah Setuju apabila tempat bahan makanan terpisah dengan alat kebersihan
76 72 79 76 78 77
96,20 91,14 100 96,20 98,73 97,47
Baik
37
46,84
Kurang baik
42
53,16
Sikap
Berdasarkan Tabel 5.6 terlihat bahwa sebagian besar penjamah makanan memberikan pendapat yang positif pada poin-poin penilaian sikap. Hampir semuanya diatas 55%. Penilaian sikap secara keseluruhan mendapatkan bahwa sebagian besar penjamah makanan mempunyai sikap kurang baik terhadap perilaku penerapan CPPB pada IRTP yaitu sebanyak 42 orang (53,16%).
55
Tabel 5.7 Pengaruh Sikap terhadap Perilaku Penjamah Makanan dalam Penerapan CPPB IRTP di Kabupaten Karangasem Variabel Sikap
Baik
Perilaku Tidak baik Baik f (%) f (%) 26 (70,27) 11 (29,73)
Kurang baik
14 (33,33)
Kategori
28(66,67)
PR
95% CI
Nilai p
2,1
1,3-3,4
0,001
Tabel 5.7 menunjukkan hasil analisis pengaruh sikap terhadap perilaku penjamah makanan dalam penerapan CPPB pada IRTP. Terlihat ada perbedaan perilaku berdasarkan kategori sikap penjamah makanan. Pada penjamah makanan dengan sikap baik memiliki perilaku yang baik sebesar 70,27% sedangkan penjamah makanan dengan sikap kurang memiliki perilaku baik sebesar 33,33%. Perbedaan ini menghasilkan prevalence ratio (PR) sebesar 2,1 yang menunjukkan peluang perilaku baik pada penjamah makanan yang memiliki sikap baik 2,1 kali dibandingkan penjamah makanan yang memiliki sikap kurang baik. Berdasarkan hasil uji statistik, pengaruh sikap terhadap perilaku penjamah makanan dinyatakan bermakna dengan CI 95% dari PR 1,3-3,4 dan nilai p=0,001.
5.6 Pengaruh Dukungan Pengelola terhadap Perilaku Penjamah Makanan Penilaian dukungan pengelola terhadap perilaku penjamah makanan diukur menggunakan lima poin penilaian yang meliputi pertanyaan tentang pemberian pujian dari pengelola, disediakannya peraturan tertulis tentang higiene sanitasi, pemberian reward oleh pengelola, pemberian kesempatan mengikuti penyuluhan dan pemberian penghargaan kepada penjamah makanan. Dukungan pengelola
56
dikategorikan menjadi dua yaitu dukungan baik dan dukungan kurang. Dukungan pengelola dinyatakan baik apabila minimal empat poin penilaian dijawab ya sedangkan jika menjawab kurang dari empat maka dukungannya dianggap kurang. Gambaran dukungan pengelola terhadap perilaku penjamah makanan berdasarkan masing-masing poin penilaian dan pengaruhnya terhadap perilaku dapat dilihat pada tabel 5.8 dan 5.9. Tabel 5.8 Dukungan Pengelola dalam Penerapan CPPB pada IRTP di Kabupaten Karangasem Penilaian Dukungan Pengelola (n=79) Memberi pujian Membuat peraturan tertulis Memberikan insentif Memberi kesempatan mengikuti penyuluhan Memberi penghargaan Pengetahuan Baik Kurang
f 77 63 58 59 40
% 97,47 79,75 73,42 74,68 50,63
36 43
45,57 54,43
Berdasarkan Tabel 5.8 terlihat bahwa sebagian besar pengelola memberi pujian kepada penjamah makanan apabila bekerja mengenakan pakaian kerja, celemek, dan penutup kepala yaitu sebesar 97,47%. Pengelola yang membuat peraturan tertulis sebesar 79,75%. Pengelola yang memberikan insentif berupa uang tambahan apabila penjamah makanan menerapkan CPPB IRTP sebesar 73,42%, namun hanya 40 pengelola (50,63%) yang memberi penghargaan kepada penjamah makanan terkait penerapan higiene sanitasi di tempat kerja.
57
Tabel 5.9 Pengaruh Dukungan Pengelola terhadap Perilaku Penjamah Makanan dalam Penerapan CPPB IRTP di Kabupaten Karangasem Variabel
Kategori
Perilaku
Dukungan Baik
Baik f (%) 30 (83,33)
Tidak baik f (%) 6 (16,67)
Pengelola
10 (23,26)
33 (76,74)
Kurang baik
PR
95% CI
Nilai p
3,6
2,0-6,3
<0,001
Tabel 5.9 menunjukkan hasil analisis pengaruh dukungan pengelola terhadap perilaku penjamah makanan dalam penerapan CPPB pada IRTP. Terlihat ada perbedaan perilaku berdasarkan kategori dukungan pengelola. Pada dukungan pengelola baik, penjamah makanan memiliki perilaku yang baik sebesar 83,33% sedangkan pada dukungan pengelola kurang baik hanya 23,26%. Perbedaan ini menghasilkan prevalence ratio
(PR) sebesar 3,6 yang menunjukkan peluang
perilaku baik pada penjamah makanan yang mendapat dukungan pengelola baik 3,6 kali dibandingkan penjamah makanan mendapat dukungan pengelola kurang baik. Berdasarkan hasil uji statistik, pengaruh dukungan pengelola terhadap perilaku penjamah makanan dinyatakan bermakna dengan CI 95% dari PR2,0-6,3 dan nilai p<0,001.
5.7 Pengaruh Ketersediaan Fasilitas terhadap Perilaku Penjamah Makanan Ketersediaan fasilitas dinilai dari pengamatan yang dilakukan pada 10 sarana IRTP. Ketersediaan fasilitas dibagi menjadi dua jenis yaitu fasilitas utama dan fasilitas penunjang. Fasilitas utama terdiri dari adanya sarana cuci tangan dan tempat sampah yang memenuhi standar sementara itu fasilitas penunjang terdiri
58
dari tersedianya sarana pengering tangan, sarana pencucian bahan, sarana pencucian peralatan, sarana toilet, sarana pembuangan limbah cair, tempat penyimpanan bahan, tempat penyimpanan peralatan dan tersedianya meja kerja. Ketersediaan fasilitas secara keseluruhan dikategorikan menjadi dua yaitu fasilitas lengkap dan kurang. Ketersediaan fasilitas dinyatakan lengkap apabila seluruh fasilitas utama tersedia ditambah empat poin fasilitas penunjang terpenuhi. Dan apabila tidak memenuhi persyaratan diatas dikategorikan menjadi fasilitas kurang lengkap. Gambaran ketersediaan fasilitas dan pengaruhnya terhadap perilaku dapat dilihat pada Tabel 5.10 dan 5.11. Tabel 5.10 Ketersediaan Fasilitas dalam Penerapan CPPB pada IRTP di Kabupaten Karangasem Ketersediaan Fasilitas (n=79) Sarana cuci tangan Tempat sampah yang sudah dipilah Pengering tangan atau lap bersih Sarana pencucian bahan pangan Sarana pencucian peralatan Sarana toilet Sarana pembuangan limbah Tempat penyimpanan bahan makanan Tempat penyimpanan peralatan produksi Meja atau tempat kerja Ketersediaan Fasilitas Lengkap Kurang lengkap
f 37 37 51 64 58 57 59 54 54 52
% 46,84 46,84 64,56 81,01 73,42 73,42 72,15 74,68 68,35 65,82
35 44
44,3 55,70
Berdasarkan Tabel 5.10 terlihat bahwa hanya 46,84% IRTP yang memiliki sarana cuci tangan yang dilengkapi dengan sabun dan air yang mengalir serta tempat sampah yang sudah dipisah antara sampah organik dan anorganik. Dari
59
Tabel juga diketahui bahwa sebagian besar sarana IRTP telah memiliki sarana pencucian bahan pangan yaitu sebesar 81,01%. Ketersediaan sarana lain seperti toilet, pengering tangan, penyimpanan bahan dan meja kerja yang sesuai dengan persyaratan kesehatan telah dimiliki oleh sebagian besar IRTP terlihat dari persentase diatas 60%.
Tabel 5.11 Pengaruh Ketersediaan Fasilitas terhadap Perilaku Penjamah Makanan dalam Penerapan CPPB IRTP di Kabupaten Karangasem Variabel
Kategori
Ketersediaan Fasilitas
Perilaku Baik f (%)
Tidak baik f (%)
Lengkap
17 (48,57)
18 (51,43)
Kurang lengkap
23 (52,27)
21 (47,73)
PR
95% CI
Nilai p
0,93
0,5-1,4
0,744
Tabel 5.11 menunjukkan hasil analisis pengaruh ketersediaan fasilitas terhadap perilaku penjamah makanan dalam penerapan CPPB pada IRTP. Terlihat ada perbedaan perilaku berdasarkan kategori ketersediaan fasilitas. Pada fasilitas lengkap, penjamah makanan memiliki perilaku yang baik sebesar 48,57% sedangkan pada ketersediaan fasilitas kurang lengkap sebesar 52,27%. Perbedaan ini menghasilkan prevalence ratio (PR) sebesar 0,93. Nilai PR yang mendekati satu menunjukkan kecilnya (tidak ada) pengaruh ketersediaan fasilitas terhadap perilaku dan secara statistik pengaruh tersebut tidak bermakna dengan CI 95% dari PR 0,5-1,4 dan nilai p= 0,744.
60
5.8 Hasil Analisis Multivariat Analisis multivariat yang digunakan pada penelitian ini adalah Poisson Regresion Model. Analisis ini untuk mengetahui faktor yang secara mandiri (independent) berpengaruh terhadap perilaku penjamah makanan. Metode eliminasi yang digunakan dalam analisis ini adalah enter yaitu memasukkan semua variabel sekaligus ke dalam model. Variabel yang dimasukkan adalah variabel yang mempunyai pengaruh yang bermakna secara statistik berdasarkan chi square test. Hasil analisis sebelumnya menunjukkan ada 5 variabel yang secara statistik bermakna mempengaruhi perilaku penjamah makanan yaitu pendidikan, penyuluhan, pengetahuan, sikap, dan dukungan pengelola. Sehingga model dasar dari analisis multivariat hanya diisi oleh kelima variabel tersebut. Model dasar hasil analisis multivariat menggunakan Poisson Regresion dapat dilihat pada Tabel 5.12 Tabel 5.12 Hasil Analisis Multivariat Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Penjamah Makanan dalam Penerapan CPPB IRTP di Kabupaten Karangasem Variabel Pendidikan Penyuluhan Pengetahuan Sikap Dukungan pengelola
PR 1,28 1,02 1,48 2,13 3,01
Confidence Interval batas batas bawah atas 0,87 1,88 0,73 1,43 1,01 2,15 1,47 3,08 1,77 5,13
nilai p
R2
0,216 0,902 0,042 < 0,001 < 0,001
0,16
Berdasarkan model tersebut, dapat diinterpretasikan bahwa faktor yang secara mandiri (independent) mempengaruhi perilaku penjamah makanan dalam penerapan CPPB pada IRTP adalah faktor pengetahuan, sikap dan dukungan
61
pengelola. Pengetahuan penjamah makanan yang baik akan meningkatkan peluang terjadinya perilaku yang baik sebesar 1,48 kali dibandingkan penjamah yang pengetahuannya kurang dan secara statistik pengaruh tersebut bermakna dengan 95% CI dari PR 1,01-2,15 dan nilai p=0,042. Sikap penjamah yang baik akan meningkatkan peluang terjadinya perilaku yang baik sebesar 2,13 kali dibandingkan penjamah yang kurang mendapat dukungan dari pengelola dan secara statistik pengaruh tersebut bermakna dengan 95% CI dari PR 1,47- 3,08 dan nilai p< 0,001. Dukungan pengelola yang baik akan meningkatkan peluang terjadinya perilaku yang baik sebesar 3,01 kali dibandingkan penjamah yang kurang mendapat dukungan dari pengelola dan secara statistik pengaruh tersebut bermakna dengan 95% CI dari PR 1,77-5,13 dan nilai p < 0,001. Secara statistik kelima variabel independen tersebut (pendidikan, penyuluhan, pengetahuan, sikap dan dukungan pengelola) memberikan kontribusi untuk memprediksi perilaku penjamah makanan sebesar 0,16% (R2=0,16), sisanya kemungkinan dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti.
5.9 Analisis Lanjutan Faktor yang Mempengaruhi Sikap dan Dukungan Pengelola Analisis
lanjutan pasca analisis
multivariat
dilakukan untuk lebih
memperdalam hasil penelitian dengan mengidentifikasi apakah ada hubungan antar variabel yang membentuk suatu mekanisme tertentu dalam pengaruhnya terhadap perilaku penjamah makanan. Misalnya apabila hasil analisis multivariat menyatakan bahwa faktor yang berpengaruh secara langsung terhadap perilaku
62
hanya pengetahuan, sikap dan dukungan pengelola bukan berarti variabel lainnya tidak ada pengaruhnya. Kemungkinan ada pengaruh tidak langsung dari variabelvariabel yang lain. Untuk itu, analisis lanjutan ini bertujuan untuk mencoba mengidentifikasi apakah ada pengaruh variabel lain terhadap pengetahuan dan sikap serta apakah ada pengaruh dukungan pengelola terhadap variabel yang lain. Hasil analisis lanjutan dapat dilihat pada Tabel 5.13, 5.14 dan 5.15 Tabel 5.13 Pengaruh Pendidikan Terhadap Pengetahuan dalam Penerapan CPPB IRTP di Kabupaten Karangasem Variabel Kategori Pengetahuan PR 95% CI Nilai p Baik f (%)
Tidak baik f (%)
Tinggi
29 (63,04)
17 (36,96)
Rendah
12 (36,36)
21 (63,64)
Pendidikan 1,73
1,05-2,87
0,019
Tabel 5.14 merupakan hasil analisis pengaruh variabel pendidikan terhadap pengetahuan. Berdasarkan hasil analisis, ditemukan adanya pengaruh pendidikan terhadap pengetahuan dengan nilai PR sebesar 1,73 dan secara statistik dinyatakan bermakna dengan 95% CI dari PR 1,05-2,87 dan nilai p=0,019. Tabel 5.14 Pengaruh Penyuluhan Terhadap Sikap dalam Penerapan CPPB IRTP di Kabupaten Karangasem Variabel
Kategori
Baik f (%)
Sikap Tidak baik f (%)
PR
95% CI
Nilai p
7 (33,33) 35 (60,34)
2,2
1,0-5,0
0,034
Penyuluhan Pernah Tidak
14 (66,67) 23 (39,66)
63
Tabel 5.14 menunjukkan adanya pengaruh penyuluhan terhadap sikap, terlihat dari nilai PR sebesar 2,2. Penyuluhan akan meningkatkan peluang terjadinya sikap yang baik sebesar 2,2 kali dibandingkan penjamah yang tidak pernah mendapat penyuluhan dan secara statistik dinyatakan bermakna dengan 95% CI dari PR 1,0-5,0 dan nilai p=0,034. Tabel 5.15 Pengaruh Dukungan Pengelola Terhadap Pengetahuan dalam Penerapan CPPB IRTP di Kabupaten Karangasem Variabel Kategori Pengetahuan PR 95% CI Nilai p Baik f (%)
Tidak baik f (%)
Baik
26 (72,22)
10 (27,78)
Kurang
15 (34,88)
28 (65,12)
Dukungan Pengelola 2,1
1,3-3,3
0,001
Tabel 5.15 menunjukkan adanya pengaruh dukungan pengelola terhadap pengetahuan, terlihat dari nilai PR sebesar 2,1. Dukungan pengelola yang baik akan meningkatkan peluang pengetahuan penjamah sebesar 2,1 kali dan secara statistik dinyatakan bermakna dengan 95% CI dari PR 1,3-3,3 dan nilai p=0,001.
64
BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Pembahasan Hasil Penelitian 6.1.1
Perilaku Penjamah Makanan dalam Penerapan CPPB pada IRTP di Kabupaten Karangasem
Hasil penilaian perilaku penjamah makanan yang baik dalam penerapan CPPB IRTP pada penelitian ini menunjukkan angka yang masih relatif rendah yaitu 49,37%. Angka ini masih jauh dari harapan yaitu penjamah makanan yang bekerja di sarana IRTP yang berizin hendaknya selalu berperilaku baik karena dalam prosedur penerbitan izin IRTP, penjamah makanan telah memperoleh informasi dan pembinaan mengenai perilaku dalam pengolahan pangan (BPOM, 2012). Perilaku yang diteliti pada penelitian ini hanya 12 item perilaku dari 19 item yang diatur dalam CPPB IRTP. Hal ini karena pertimbangan lokasi yaitu tidak semua IRTP memiliki fasilitas yang mendukung perilaku tersebut. di samping itu, beberapa item perilaku juga diasumsikan tidak mungkin dilakukan pada semua kondisi IRTP yang diteliti. Perilaku yang paling berisiko mencemari makanan apabila tidak dilakukan adalah mencuci tangan sebelum melakukan pengolahan makanan. Mencuci tangan sebaiknya dilakukan dengan sabun dan air mengalir. Kebiasaan mencuci tangan harus dilakukan sebelum menjamah makanan, sebelum memegang peralatan, sebelum makan, setelah keluar dari toilet, setelah meracik bahan mentah seperti daging dan setelah mengerjakan pekerjaan lain seperti bersalaman atau
64
65
memperbaiki peralatan (BPOM, 2012). Dalam penelitian ini, pengamatan dilakukan sebelum semua penjamah makanan melakukan pengolahan pangan dan dari tiga kali pengamatan sebanyak 68,35% selalu mencuci tangan dan 2,53% tidak pernah mencuci tangan. Mencuci tangan bertujuan untuk menjaga kebersihan tangan dan mencegah penularan bakteri dari tangan ke makanan. Pada umumnya ada keengganan untuk mencuci tangan karena dirasakan memakan waktu sebelum mengerjakan sesuatu, dan letak sarana pencucian tangan yang cukup jauh. Beberapa penjamah makanan juga masih menggunakan perhiasan saat bekerja. Perhiasan yang dipakai dapat menjadi sumber cemaran karena adanya debu, kotoran atau keringat yang menempel di dalamnya dan akan menyulitkan penjamah saat mencuci tangan. Tangan yang menggunakan perhiasan akan sulit dicuci sampai bersih karena lekukan perhiasan dan kulit dibawah perhiasan dapat menjadi tempat berkumpulnya kuman atau bakteri (Kemenkes RI, 2012). Beberapa penjamah makanan juga masih enggan menggunakan perlengkapan kerja seperti celemek, penutup kepala, masker maupun sarung tangan. Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara, penjamah makanan tidak menggunakan perlengkapan kerja karena tidak mengetahui manfaatnya, merasa tidak nyaman dan justru merasa aktifitasnya menjadi terganggu karena menggunakan perlengkapan tersebut. Berdasarkan hasil analisis multivariat, pengetahuan, sikap dan dukungan pengelola
berpengaruh
langsung
terhadap
perilaku
penjamah
makanan.
Sedangkan hasil analisis tambahan menyebutkan bahwa pendidikan berpengaruh
66
terhadap pengetahuan dan ada pengaruh penyuluhan terhadap sikap. Ditemukan juga bahwa dukungan pengelola memberi pengaruh terhadap pengetahuan penjamah makanan. Sehingga dapat dinyatakan bahwa pendidikan dan penyuluhan berpengaruh secara tidak langsung terhadap perilaku penjamah makanan. Pendidikan mempengaruhi pengetahuan secara signifikan, pengetahuan yang baik akan mendorong seseorang untuk bersikap baik, dan sikap yang baik mendukung seseorang untuk berperilaku baik. Disamping itu, penyuluhan mempengaruhi sikap penjamah secara signifikan, dan sikap mendorong penjamah makanan untuk berperilaku baik. Penyuluhan bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan sikap penjamah makanan dalam menerapkan CPPB IRTP (Agustini, 2008). Dalam pemberian penyuluhan, selain menambah pengetahuan tentang CPPB IRTP, diperlukan juga pembentukan sikap untuk membangkitkan komponen afektif dan kognitif penjamah makanan sehingga selain pemahaman tentang CPPB IRTP meningkat, penghayatan terhadap pekerjaannya juga mengalami peningkatan (Robbin, 2011). Hasil penelitian ini sesuai dengan Social Learning Theory (Teori Belajar Sosial) dari Bandura (1989) yang menyatakan bahwa faktor internal dan eksternal sangat mempengaruhi perilaku seseorang. Faktor internal dalam penelitian ini adalah pengetahuan dan sikap penjamah makanan itu sendiri. Sedangkan faktor eksternal mempengaruhi diri dengan dua cara yaitu melalui role model dan penguatan (reinforcement). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yaitu penjamah makanan cenderung meniru pengelola yang dianggap sebagai role model dalam berperilaku dan dikuatkan oleh pemberian dukungan dari pengelola.
67
Hasil tersebut senada dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Azira dkk (2012) di Malaysia. Penelitian tersebut menyatakan bahwa hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan dengan sikap (p=0,008), pengetahuan dengan sikap (p ≤ 0,01), serta pengetahuan dengan perilaku (p=0,041). Meskipun hasil tersebut memuaskan, beberapa aspek masih perlu ditekankan serta dibutuhkan adanya penyuluhan untuk meminimalisir kesalahan dalam pengolahan pangan. Penelitian lain yang dilakukan oleh Maryam Ansari (2011) di Malaysia menyebutkan bahwa peningkatan pengetahuan dan sikap penjamah makanan tidak selalu menghasilkan perubahan positif pada perilaku penanganan makanan. Penjamah makanan yang memiliki pengetahuan dan sikap baik tidak selalu berperilaku baik dalam mengolah makanan.
6.1.2
Pengaruh Umur Terhadap Perilaku Penjamah Makanan
Umur adalah lamanya hidup yang dilalui terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat dilakukan penelitian. Umur responden pada penelitian ini paling rendah 17 tahun dan umur yang paling tinggi 65 tahun. Rerata umur responden adalah <35 tahun dan ≥ 35 tahun. Dari hasil analisis bivariat dapat diketahui bahwa penjamah makanan kelompok umur <35 tahun lebih banyak berperilaku baik yaitu sebesar 48,78% sedangkan pada kelompok umur ≥ 35 tahun sebesar 52,63% yang berperilaku baik. Berdasarkan analisis bivariat dengan uji chi square menunjukkan bahwa variabel umur tidak memiliki pengaruh terhadap perilaku penjamah makanan
68
dengan nilai p=0,732. Dapat disimpulkan bahwa bahwa variabel umur tidak berpengaruh terhadap perilaku penjamah makanan dalam penerapan CPPB IRTP. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan Marsaulina (2004) di Jakarta yang menyimpulkan adanya hubungan antara umur dengan perilaku menjaga kebersihan perorangan, semakin tinggi umur penjamah makanan maka makin baik perilaku penjamah makanan tersebut. Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan Adam Yosvita (2011) di Balikpapan yang menyatakan bahwa umur mempengaruhi pembentukan sikap dan perilaku seseorang. Semakin bertambahnya umur maka bertambah pula kedewasaannya, makin mantap pengendalian emosinya dan makin tepat segala tindakannya. Berdasarkan telaah literatur, perilaku kerja seseorang umumnya lebih stabil ketika menginjak umur dewasa. Perbedaan hasil penelitian ini disebabkan oleh perbedaan latar belakang budaya dan pengalaman kerja sehingga sikap dan perilaku seseorang menjadi sangat bervariasi (Wibowo, 2013). Hal ini berbeda dengan teori menurut Nubeis Aids (1998) yang menyatakan bahwa umur berpengaruh terhadap kemampuan untuk belajar menyesuaikan diri. Umur bukan suatu patokan untuk berperilaku baik jika bukan didasari oleh sikap dari penjamah makanan itu sendiri. Selain itu juga disebabkan adanya anggapan bahwa penerapan CPPB IRTP bukanlah hal yang penting untuk dilakukan, tidak pernah ada teguran dari pengelola apabila tidak menerapkan CPPB IRTP. Hal ini dapat terjadi karena perilaku tidak hanya dipengaruhi oleh umur seseorang, tetapi dapat juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan sekitar dan kebiasaan sehari-hari yang dilakukan orang tersebut.
69
6.1.3
Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Perilaku Penjamah Makanan
Berdasarkan hasil analisis bivariat ditemukan proporsi tertinggi yang berperilaku baik adalah penjamah makanan dengan jenis kelamin perempuan sebanyak 51,61% sedangkan penjamah makanan dengan jenis kelamin laki-laki yang berperilaku baik hanya 47,06%. Hasil uji chi square menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh jenis kelamin terhadap perilaku penjamah makanan dilihat dari nilai p=0,739. Hasil penelitian ini bertolak belakang dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Siew Lian Tan dkk (2013) di Selangor Malaysia yang menyebutkan bahwa jenis kelamin berhubungan dengan perilaku mencuci tangan (p=0,039), yaitu perempuan lebih sering mencuci tangan sebelum mengolah makanan daripada laki-laki. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa sebenarnya kinerja laki-laki dan perempuan dalam menangani pekerjaan relatif sama. Keduanya hampir sama konsistensinya dalam memecahkan masalah, keterampilan analitis, dorongan kompetitif, motivasi dan kemampuan belajar. Pendekatan psikologi menyatakan bahwa perempuan lebih patuh pada aturan dan otoritas sedangkan pria lebih agresif. Kecenderungan perempuan lebih patuh terhadap aturan pengolahan makanan terbukti dalam penelitian ini, sebagian besar penjamah makanan dengan jenis kelamin perempuan telah berperilaku baik dalam penerapan CPPB IRTP. Namun perbedaan hasil penelitian ini disebabkan oleh perbedaan yang signifikan dari jumlah sampel laki-laki dan perempuan yang menjadi responden. Jumlah penjamah makanan yang berjenis kelamin laki-laki hanya 17 orang sementara itu
70
jumlah penjamah makanan perempuan adalah 62 orang. Rentang jumlah yang jauh inilah menyebabkan proporsi penjamah laki-laki berperilaku baik jauh lebih sedikit dari penjamah makanan perempuan berperilaku baik.
6.1.4
Pengaruh
Tingkat
Pendidikan
Terhadap
Perilaku
Penjamah
Makanan Pendidikan adalah pendidikan formal terakhir yang pernah diselesaikan oleh penjamah makanan. Dari hasil analisis bivariat, proporsi tertinggi yang berperilaku baik adalah penjamah makanan dengan pendidikan tinggi sebanyak 28 orang (60,87%) sedangkan penjamah makanan berpendidikan rendah yang berperilaku baik hanya 12 orang (36,36%). Uji poisson regresion mendapatkan bahwa tingkat pendidikan tidak berpengaruh terhadap perilaku penjamah makanan yaitu nilai p=0,216 dengan PR=1,28 dan 95%CI= 0,87-1,88. Namun, hasil analisis tambahan menunjukkan bahwa pendidikan memberikan pengaruh secara tidak langsung terhadap perilaku melalui mekanisme peningkatan pengetahuan. Tingginya tingkat pendidikan menunjukkan pengetahuannya baik sehingga mempengaruhi perilakunya dalam penerapan CPPB IRTP. Berdasarkan hasil analisis pada penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan tidak mempengaruhi perilaku seseorang untuk berperilaku baik. Seharusnya meningkatnya tingkat pendidikan seseorang akan membuat orang tersebut semakin peduli terhadap kebersihan personal dan kesehatannya. Pendidikan yang lebih tinggi tidak
menjamin perilaku penjamah makanan
menjadi baik khususnya dalam hal pengolahan makanan.
71
Hasil penelitian ini kurang sesuai dengan teori perilaku yang menyebutkan bahwa pendidikan merupakan faktor predisposisi yang mempermudah terjadinya perilaku seseorang. Seseorang yang berpendidikan baik yang baik akan meningkatkan kemampuan memahami, mengaplikasi, menganalisis, mensintesis dan mengevaluasi perilakunya (Notoatmodjo, 2010). Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Zain Maison dkk (2002) di Malaysia yang menyebutkan bahwa penjamah makanan yang berpendidikan tinggi cenderung berperilaku lebih baik dan sesuai dengan aturan (p=0,006) sehingga pemberian penghargaan bagi penjamah makanan sangat dibutuhkan untuk menjaga perilaku mereka agar tetap baik. Perbedaan berbagai hasil penelitian tersebut disebabkan oleh perbedaan kondisi masyarakat seperti kondisi geografis, tingkat mobilisasi penduduk, tingginya arus informasi yang diterima masyarakat serta karakteristik masyarakat setempat. Rendahnya perilaku penjamah makanan dalam menerapkan CPPB IRTP banyak juga disebabkan oleh kurangnya tingkat kewaspadaan masyarakat terhadap penyakit bawaan makanan (Bas,M dkk, 2006). Melihat hasil penelitian ini, dapat disampaikan bahwa pendidikan tidak selalu mempengaruhi tindakan atau perilaku seseorang, walaupun pendidikannya tinggi tidak selalu menjamin perilaku yang lebih baik dalam penerapan CPPB IRTP mengingat banyak faktor lain yang mempengaruhi perubahan perilaku disamping faktor sosial ekonomi, pengetahuan dan sikap juga dukungan dari pengelola IRTP serta ketersediaan fasilitas pada IRTP.
72
6.1.5
Pengaruh Masa Kerja Terhadap Perilaku Penjamah Makanan
Masa kerja adalah lamanya waktu bekerja responden di IRTP terhitung mulai masuk bekerja sampai saat pengambilan data dilakukan, masa kerja ini dihitung selama bekerja sebagai penjamah makanan walaupun di perusahaan yang berbeda. Pada penelitian ini, sebanyak 31 orang responden bekerja ≤ 60 bulan dan 48 orang bekerja >60 bulan. Menurut teori, secara empiris umur berpengaruh terhadap bagaimana perilaku seorang individu, termasuk bagaimana kemampuannya untuk bekerja, merespon stimulus yang dilancarkan oleh individu lainnya (Wibowo, 2013). Berdasarkan hasil analisis bivariat ditemukan penjamah makanan dengan masa kerja ≤ 60 bulan berperilaku baik dalam penerapan CPPB IRTP sebesar 45,16% lebih rendah daripada penjamah makanan dengan masa kerja >60 bulan sebesar 54,17%. Perbedaan ini menghasilkan prevalence ratio (PR) sebesar 1,2 dan secara statistik pengaruh tersebut tidak bermakna dengan CI 95% dari PR 0,81,9 dan nilai p= 0,434. Hasil penelitian ini senada dengan penelitian mengenai masa kerja dan pengaruhnya terhadap perilaku penjamah makanan yang pernah dilakukan oleh Marsaulina (2004) di Jakarta. Penelitian ini menyebutkan bahwa masa kerja atau pengalaman kerja tidak memiliki konsistensi hubungan dengan perilaku. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori perilaku tentang masa kerja, yaitu tenaga kerja dengan masa kerja lebih lama umumnya berperilaku lebih baik berdasarkan pengalamannya (Notoatmodjo, 2010). Penjamah makanan yang memiliki masa kerja lebih dari 5 tahun lebih banyak yang berperilaku baik
73
dibandingkan yang bekerja kurang dari 5 tahun. Hal ini dapat diasumsikan bahwa semakin lama seseorang bekerja maka prestasi kerjanya akan semakin stabil bahkan cenderung meningkat karena faktor kebiasaan dan rutinitas pekerjaan. Berdasarkan hasil wawancara, penjamah makanan merasa perilaku tersebut sebagai rutinitas yang harus dilakukan setiap hari, disamping itu adanya reward dari pengelola berupa peningkatan gaji penjamah makanan dan uang tambahan saat hari raya memberi motivasi kepada penjamah makanan untuk bekerja dengan baik dan sesuai dengan CPPB IRTP. Relevansi masa kerja adalah berkaitan langsung dengan senioritas dalam pekerjaan. Artinya tidak relevan membandingkan masa kerja dengan perilakunya karena penelitian menunjukkan bahwa belum tentu orang yang baru bekerja memiliki produktifitas lebih tinggi karena bisa saja orang yang sudah lama bekerja dan pengalamannya lebih baik akan memiliki produktifitas kerja yang tinggi karena semakin rendah keinginannya meninggalkan pekerjaannya. Masa kerja ditemukan tidak berpengaruh terhadap perilaku penjamah makanan karena peran dari faktor lain sangat besar salah satunya adalah dukungan dari pengelola. Masa kerja tidak akan memiliki pengaruh terhadap perilaku apabila tidak ada upaya retensi dari pengelola. Rendahnya perhatian dan pembinaan khusus menyebabkan penjamah makanan baik yang memiliki masa kerja baru dan lama menjadi enggan menerapkan CPPB IRTP.
74
6.1.6
Pengaruh Pengetahuan Terhadap Perilaku Penjamah Makanan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indra manusia yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku seseorang. Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan langgeng daripada tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2010). Hasil penelitian mendapatkan bahwa sudah sebagian besar (51,90%) pengetahuan penjamah makanan tergolong baik. Materi yang ditanyakan untuk mengukur pengetahuan merupakan materi yang diberikan saat penyuluhan atau saat dilakukannya peninjauan lapangan dalam rangka pemberian izin produksi IRTP. Penyuluhan tentang pangan sangat penting untuk terus dilakukan. Kegiatan ini seharusnya dilakukan secara berkala dan berkesinambungan agar pemahaman dan pengetahuan penjamah makanan semakin meningkat. Selain itu penyuluhan sangat penting dilakukan karena tanpa penyuluhan, penjamah makanan akan kesulitan mendapatkan informasi penting tentang pangan. Adapun informasi yang yang sebaiknya diketahui oleh penjamah makanan adalah prinsip higiene sanitasi, penyakit bawaan makanan, bahan pencemar makanan, sanitasi peralatan, kebersihan lingkungan, pengendalian hama, higiene personal dan bahan tambahan makanan. Sesuai dengan hasil analisis univariat, informasi mengenai manfaat penggunaan perlengkapan khusus dan pakaian kerja sangat dibutuhkan oleh penjamah makanan.
75
Hasil penelitian mendapatkan adanya perbedaan peluang antara IRTP dengan penjamah makanan berperilaku baik dibandingkan IRTP dengan penjamah makanan berperilaku kurang baik. Hal ini menunjukkan pengetahuan penjamah makanan yang baik akan meningkatkan perilaku penjamah makanan dalam penerapan CPPB pada IRTP. Perbedaan tersebut bermakna secara statistik sehingga pengetahuan berpengaruh langsung terhadap perilaku. Analisis tambahan juga menemukan bahwa dukungan pengelola memiliki pengaruh secara langsung terhadap pengetahuan penjamah makanan dalam menerapkan CPPB. Dukungan pengelola yang dimaksud adalah pemberian kesempatan untuk mengikuti penyuluhan baik yang diselenggarakan sendiri maupun yang diselenggarakan
oleh
pemerintah.
Penyuluhan
yang
diperoleh
mampu
meningkatkan pengetahuan penjamah makanan sehingga mereka mampu berperilaku sesuai dengan CPPB IRTP. Hasil ini didukung oleh penelitian lain yang mempelajari tentang pengetahuan dan perilaku di bidang kesehatan. Penelitian kesehatan tentang pengetahuan pada penjamah makanan salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Fatmawati, dkk (2010) di Jawa Tengah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pengetahuan dengan perilaku penjamah makanan. Penelitian ini mendapatkan bahwa pengetahuan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku penjamah makanan saat melakukan pengolahan makanan. Namun disamping pengetahuan masih ada faktor lain yang berpengaruh lebih kuat terhadap perilaku higiene pengolah makanan seperti kebiasan dari tenaga pengolah makanan yang belum memperhatikan higiene dalam mengolah
76
makanan, lingkungan yang tidak mendukung seperti tidak disediakan alat pelindung diri bagi tenaga pengolah makanan, pengalaman tenaga pengolah makanan yang masih sedikit dalam hal pengolahan makanan dan belum pernah mengikuti pelatihan tentang higiene dalam pengolahan makanan, serta belum pernah mendapatkan informasi seperti sosialisasi tentang higiene pengolahan makanan. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Azira dkk (2012) di Malaysia juga menyebutkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan dan perilaku (p=0,041), namun masih ada aspek yang masih perlu ditekankan seperti langkah-langkah kebersihan seperti penyimpanan bahan makanan, penggunaan perhiasan dan jam tangan untuk meningkatkan pengetahuan penjamah makanan. Penelitian lain yang senada dilakukan oleh Calin Jianu dkk (2012) di Romania menyebutkan bahwa ada korelasi positif antara tingkat pengetahuan dengan perilaku penjamah makanan dalam menangani makanan. Penjamah makanan dengan pengetahuan baik memiliki kecenderungan untuk menangani makanan dengan baik pula. Sehingga asumsi peneliti, pengetahuan penjamah makanan meningkat karena adanya faktor dukungan pengelola dalam pemberian kesempatan untuk mengikuti penyuluhan sehingga peningkatan pengetahuan berimplikasi terhadap perilaku penjamah makanan dalam penerapan CPPB IRTP.
77
6.1.7
Pengaruh Sikap Terhadap Perilaku Penjamah Makanan
Sikap
adalah
suatu
bentuk
evaluasi/reaksi
terhadap
suatu
obyek,
memihak/tidak memihak yang merupakan keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi) dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya Hasil penelitian mendapatkan bahwa 46,84% sikap penjamah makanan pada IRTP tergolong baik. Hal ini tentu merupakan hasil yang positif mencerminkan pendapat dan persepsi penjamah makanan yang baik terhadap penerapan CPPB IRTP. Dari penelitian ini juga diketahui bahwa penjamah makanan yang memiliki sikap baik sebagian besar juga berperilaku baik (70,27%). Hal ini sesuai dengan teori tentang terjadinya perilaku yang menyebutkan bahwa terbentuknya perilaku didahului oleh terbentuknya sikap. Seseorang yang memiliki sikap yang baik memiliki kecenderungan untuk berperilaku yang baik (Wawan, 2010). Sikap dapat menjadi suatu perubahan nyata apabila terdapat kondisi tertentu yang mempengaruhi antara lain fasilitas dan dukungan. Sikap merupakan hal penting dalam kehidupan sehari-hari, karena apabila sikap sudah terbentuk, dalam diri seseorang maka sikap tersebut dapat
menentukan tingkah laku terhadap
sesuatu. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Notoatmodjo (2010) bahwa selain domain kognitif (pengetahuan), domain attitude (sikap) juga merupakan salah satu komponen dalam pembentukan perilaku. Pengetahuan penjamah makanan sejalan dengan sikap artinya apabila pengetahuan penjamah makanan berada dalam kategori baik maka sikap juga akan berada dalam kategori baik dan sebaliknya jika pengetahuan kurang maka sikap
78
juga akan kurang. Sesuai pendapat Soejoeti (2005) bahwa ada tiga faktor yang menyebabkan timbulnya perubahan, pemahaman, sikap dan perilaku seseorang, sehingga seseorang mau mengadopsi perilaku baru yaitu: (1) kesiapan psikologis ditentukan oleh tingkat pengetahuan, kepercayaan, (2) adanya tekanan positif dari kelompok atau individu dan (3) adanya dukungan lingkungan. Dijelaskan juga oleh Green (1994) bahwa mewujudkan sikap menjadi perbuatan yang nyata diperlukan faktor pendukung atau kondisi yang memungkinkan. Faktor yang mendukung tersebut adalah: 1) faktor predisposisi (pengetahuan, sikap, keyakinan dan persepsi), 2) faktor pendukung (akses pada pelayanan kesehatan, keterampilan dana danya referensi), 3) faktor pendorong terwujud dalam bentuk dukungan keluarga, tetangga dan tokoh masyarakat. Dharmasari (2007) juga menyatakan bahwa pengetahuan dan sikap berhubungan dengan pengobatan sendiri yang aman, tepat dan rasional. Sikap dapat dianggap sebagai suatu predisposisi umum untuk berespons atau bertindak secara positif atau negatif terhadap suatu objek atau orang disertai emosi positif atau negatif. Dengan kata lain sikap perlu penilaian, ada penilaian positif, negatif dan netral tanpa reaksi afektif apapun, misalnya tertarik kepada seseorang, benci terhadap suatu iklan dan suka pada makanan tertentu. Sikap mempengaruhi pandangan seseorang terhadap suatu objek, mempengaruhi perilaku dan relasi dengan orang lain. Untuk bersikap harus ada penilaian sebelumnya yaitu sikap yang baik atau tidak baik. Perasaan sering berakar dalam sikap dan sikap dapat diubah sehingga sikap biasanya berhubungan dengan kepercayaan (Wawan, 2010).
79
Sikap penjamah makanan yang sebagian besar baik ini tentu merupakan suatu potensi yang besar dalam mendukung penerapan CPPB IRTP. Berdasarkan hasil analisis terbukti ada pengaruh sikap terhadap perilaku penjamah makanan dengan nilai prevalence ratio sebesar 2,13 itu menunjukkan bahwa peluang perilaku baik pada penjamah makanan yang memiliki sikap baik 2,13 kali dibandingkan penjamah makanan yang memiliki sikap kurang. Pengaruh sikap yang baik terhadap perubahan perilaku ke arah yang lebih baik sudah dibuktikan pada beberapa penelitian kesehatan. Berdasarkan hasil penelusuran ditemukan penelitian oleh Meikawati dkk (2010) yang dilakukan di Semarang. Sikap mendukung responden akan berhubungan dengan perilaku atau praktek higiene dan sanitasi makanan karena dianggap responden memahami betul pengetahuan tentang higiene dan sanitasi makanan, selain itu sikap juga dapat didasari oleh pengalaman yang didapat serta budaya yang biasa dilakukan, selain itu masih ada lagi yaitu dengan fasilitas yang tersedia (Meikawati dkk, 2010).
6.1.8
Pengaruh Penyuluhan Terhadap Perilaku Penjamah Makanan
Penjamah makanan yang pernah mengikuti penyuluhan hanya sebanyak 21 orang (26,58%). Penyuluhan yang selama ini dilakukan hanya melibatkan pengelola atau penanggung jawab IRTP padahal yang berperan terhadap hygiene dan sanitasi makanan adalah penjamah makanan yang melakukan kontak langsung dengan makanan. Penyuluhan merupakan alat yang efektif untuk meningkatkan pengetahuan penjamah makanan tentang higiene sanitasi makanan.
80
Berdasarkan data yang dikumpulkan pada penelitian ini tidak ada pengaruh antara penyuluhan pangan terhadap perilaku penjamah makanan. Namun berdasarkan hasil analisis tambahan, penyuluhan terbukti memberikan pengaruh terhadap sikap penjamah makanan. Sehingga dapat disimpulkan, penyuluhan memberikan pengaruh secara tidak langsung terhadap perilaku penjamah makanan. Temuan ini memiliki implikasi dalam penguatan program implementasi penerapan CPPB IRTP di masa mendatang. Penyuluhan pangan umumnya dilakukan tidak hanya untuk memberi pengetahuan tentang CPPB IRTP saja tetapi diberikan juga pemahaman yang lebih mendalam tentang konsep dan tujuan implementasi CPPB IRTP agar dapat memperbaiki sikap penjamah makanan. Selain itu dalam setiap berakhirnya penyuluhan yang penting untuk dievaluasi adalah peningkatan sikap penjamah makanan dan selanjutnya menilai perilaku mereka. Dalam berbagai telaah literatur didapatkan penyuluhan memiliki pengaruh yang besar terhadap perilaku penjamah makanan. Seperti pada penelitian meta analisis yang dilakukan Jan Mei Soon dkk (2012) di Malaysia memperoleh hasil bahwa penyuluhan dan pelatihan keamanan pangan dapat meningkatkan pengetahuan dan sikap penjamah makanan khususnya tentang praktek kebersihan tangan. Namun kenyataan lain ditemukan oleh Zain Maizon (2002) di Malaysia yang menyatakan tidak ada perbedaan yang signifikan dari sikap dan perilaku penjamah makanan yang pernah mendapat penyuluhan maupun tidak. Sehingga dipandang perlu untuk melakukan perencanaan program intervensi bagi tenaga penjamah makanan tersebut.
81
Secara teori, penyuluhan bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan seseorang pada suatu hal. Penyuluhan sebagai proses perubahan perilaku tidak mudah. Titik berat penyuluhan sebagai proses perubahan perilaku adalah penyuluhan yang berkelanjutan (Kemenkes RI, 2012). Dalam proses perubahan perilaku dituntut agar sasaran berubah tidak semata-mata karena penambahan pengetahuan saja namun diharapkan juga adanya perubahan pada keterampilan sekaligus sikap mantap yang menjurus kepada tindakan atau kerja yang lebih baik, produktif, dan menguntungkan (Lucie, 2005). Sehingga asumsi peneliti, penyuluhan menjadi tidak berpengaruh terhadap perilaku penjamah makanan dalam menerapkan CPPB pada IRTP karena rendahnya jumlah penjamah makanan yang sudah memperoleh penyuluhan dalam penelitian ini (26,58%). Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa penjamah makanan tidak diwajibkan memiliki sertifikat penyuluhan khususnya dalam proses pengurusan izin IRTP. Pengelola IRTP hanya melampirkan sertifikat penyuluhan yang dimiliki oleh pengelola sebagai salah satu kelengkapan berkas permohonan izin. Oleh karena tidak adanya peraturan yang mewajibkan penjamah makanan untuk memiliki sertifikat penyuluhan serta tidak adanya sanksi bagi yang tidak memiliki sertifikat penyuluhan menyebabkan penjamah makanan enggan mengikuti penyuluhan tersebut.
82
6.1.9
Pengaruh Ketersediaan Fasilitas Terhadap Perilaku Penjamah Makanan
Fasilitas di IRTP harus dapat menjamin bahwa pangan tidak tercemar oleh bahaya fisik, biologis, dan kimia selama dalam proses produksi serta mudah dibersihkan dan disanitasi (BPOM, 2012). Peranan fasilitas dalam higiene sanitasi makanan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari prinsip higiene sanitasi. Dalam penelitian ini ditemukan kepemilikan sarana cuci tangan dan tempat sampah masih rendah yaitu hanya 46,84%. Kedua fasilitas ini dikategorikan sebagai fasilitas utama karena kedua fasilitas ini mampu mencegah kontaminasi bakteri dan kuman dari tangan penjamah maupun dari serangga. Fasilitas cuci tangan dinyatakan memenuhi syarat apabila dilengkapi dengan air mengalir dan sabun, sementara tempat sampah baru memenuhi syarat apabila dipilah menjadi sampah organik dan anorgnik. Pemilahan ini bertujuan untuk memudahkan penanganan masalah sampah (pengangkutan, pendistribusian, dan pengolahan sampah). Penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2014) di Pantai Kedonganan menyatakan hal yang berbeda yaitu ketersediaan fasilitas memiliki hubungan dengan perilaku mencuci tangan. Penjamah makanan akan melakukan perilaku mencuci tangan apabila tersedia fasilitas cuci tangan. Ketersediaan tempat mencuci tangan yang dekat dengan tempat kerja, adanya sabun dan lap pengering secara kontinu akan menyebabkan terjadi peningkatan perilaku cuci tangan pada penjamah makanan. Namun hasil ini tidak melihat keterkaitan antara dukungan pengelola dengan fasilitas sehingga kemungkinan besar dukungan pengelola yang
83
baik di Pantai Kedonganan ini juga mempengaruhi perilaku penjamah makanan untuk mencuci tangan. Hasil analisis menemukan tidak ada pengaruh dari ketersediaan fasilitas terhadap perilaku penjamah makanan dalam menerapkan CPPB IRTP. Ketersediaan fasilitas menjadi tidak berpengaruh terhadap perilaku karena hanya 55,70% penjamah makanan bekerja di IRTP yang memiliki fasilitas lengkap. Berdasarkan hasil observasi, hanya 46,84% penjamah makanan bekerja di sarana yang memiliki fasilitas utama berupa sarana cuci tangan dan tempat sampah sesuai standar. Namun tidak semata-mata fasilitas yang lengkap dapat menjamin perilaku penjamah menjadi baik. Dari hasil pengamatan, tidak semua IRTP memiliki peraturan tertulis mengenai higiene dan sanitasi
berupa Standard
Operating Procedures (SOP) di lingkungan tempat kerjanya sehingga penjamah makanan merasa tidak berkewajiban menggunakan fasilitas tersebut dengan benar. Salah satu contoh yaitu fasilitas cuci tangan yang disediakan oleh pengelola sudah lengkap dengan sabun, air mengalir dan lap pengering namun tidak diikuti oleh perilaku penjamahnya untuk mencuci tangan sebelum mengolah makanan. Artinya selain menyediakan fasilitas lengkap, pengelola juga berkewajiban memberikan dukungan kepada tenaga kerjanya dalam hal ini penjamah makanan dengan menyiapkan peraturan tertulis berupa SOP sehingga pemanfaatan fasilitas yang disediakan menjadi lebih maksimal.
84
6.1.10 Pengaruh
Dukungan
Pengelola
Terhadap
Perilaku
Penjamah
Makanan Penilaian dukungan pengelola merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mempengaruhi perilaku penjamah makanan dalam penerapan CPPB pada IRTP. Berbeda dengan penelitian yang pernah dilakukan yaitu penilaian
dukungan
hanya
menanyakan
apakah
pengelola
menyiapkan
perlengkapan kerja seperti pakaian kerja, celemek, masker dan penutup kepala, pada penelitian ini dukungan pengelola dinilai dari ada tidaknya penghargaan berupa pujian atau insentif apabila pelengkapan kerja tersebut digunakan setiap melakukan pengolahan makanan dan apakah pengelola membuat kebijakan tertentu untuk mendorong penjamah makanan untuk berperilaku baik. Salah satu bentuk kebijakan yang dibuat oleh pengelola adalah kebijakan tentang pemberian kesempatan mengikuti penyuluhan, pemberian insentif, pemberian pujian dan penghargaan. Dengan kata lain hasil penilaian dukungan pada penelitian ini lebih kongkrit dengan mencerminkan adanya aspek perilaku. Dengan berbedanya kriteria yang digunakan untuk menilai dukungan tersebut maka hasil penelitian ini sedikit berbeda yaitu pengelola dengan dukungan baik sebesar 45,57%. Dukungan pengelola terbukti mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap perilaku baik penjamah makanan dalam penerapan CPPB IRTP mencapai 83,33%. Berdasarkan hasil analisis multivariat menggunakan poisson regression didapatkan pengaruh independent dukungan terhadap perilaku penjamah makanan sangat kuat yang tercermin dari prevalence ratio sebesar 3,01 yang artinya peluang perilaku baik pada IRTP dengan dukungan pengelola yang
85
baik 3,01 kali dibandingkan peluang perilaku baik pada IRTP dengan dukungan pengelola yang kurang. Berdasarkan hasil uji statistik pengaruh dukungan pengelola ini dinyatakan bermakna. Selain itu, berdasarkan analisis tambahan ternyata dukungan pengelola yang baik mempengaruhi pengetahuan penjamah makanan. Dengan kata lain, dukungan pengelola melalui pemberian kesempatan mengikuti penyuluhan dapat meningkatkan pengetahuan penjamah makanan. Dengan pengetahuan yang baik, penjamah makanan akan terdorong untuk berperilaku baik. Penelitian lain yang mendukung hasil penelitian ini dilakukan oleh Dewi di Pantai Kedonganan tahun 2014. Hasil penelitian dengan analisis uji chi square menunjukkan ada hubungan dukungan pemilik usaha/pengelola (p=0,000) dengan perilaku cuci tangan. Hasil uji Binary Logistic Regression, untuk mengetahui pengaruh variabel secara bersama-sama menunjukkan faktor dukungan pemilik usaha/pengelola dan fasilitas cuci tangan memberikan pengaruh secara bersamasama dengan perilaku cuci tangan sebesar 68,3%. Faktor dukungan pemilik usaha/pengelola merupakan faktor yang memberikan kontribusi paling dominan terhadap perilaku cuci tangan di Pantai Kedonganan. Dukungan pengelola memberikan pengaruh yang kuat terhadap perilaku penjamah makanan dalam menerapkan CPPB IRTP. Berdasarkan hasil wawancara, perilaku penjamah makanan menjadi baik karena adanya reward dari pengelola. Jenis reward yang diberikan berupa peningkatan gaji bagi penjamah makanan yang bekerja cukup lama di perusahaan yang sama, bonus atau uang tambahan bagi penjamah makanan yang menerapkan CPPB IRTP, uang lembur
86
bagi penjamah makanan yang bersedia bekerja di luar jam kerja, dan tunjangan hari raya (THR) bagi penjamah makanan yang merayakan hari raya keagamaan. Hasil penelitian ini mempunyai implikasi penting terhadap program peningkatan higiene dan sanitasi makanan. Perlu dipertimbangkan berbagai strategi untuk mendorong pengelola membuat kegiatan atau membuat kebijakan yang mendorong penerapan CPPB IRTP seperti adanya punishment bagi penjamah makanan yang tidak menerapkan CPPB IRTP dan membentuk tim kendali mutu internal yang berfungsi sebagai pengawas intern perusahaan.
6.2 Keterbatasan Penelitian Dalam setiap penelitian tentu tidak akan bisa sepenuhnya bisa terbebas dari berbagai keterbatasan. Begitu pula dengan penelitian ini memiliki keterbatasan internal saat proses pengumpulan data. Pengumpulan data saat wawancara tidak dapat dilakukan secara rahasia pada semua responden karena pada beberapa IRTP tidak memberikan waktu khusus untuk mewawancarai penjamah makanan sehingga proses wawancara dilakukan saat penjamah makanan sedang bekerja. Untuk mengatasi hal tersebut, enumerator menjelaskan kepada responden bahwa akan merahasiakan informasi yang diperoleh dalam penelitian tersebut serta memberikan satu rangkap kuesioner sebagai pedoman untuk mengurangi kemungkinan penjamah makanan tidak mendengar pertanyaan dari enumerator. Pengumpulan data variabel sikap juga mengalami keterbatasan yaitu terjadi social desirable bias yaitu kecenderungan seseorang untuk menjawab pertanyaan sedemikian rupa sehingga membuat dirinya terlihat positif sesuai dengan norma
87
yang standar yang diakui banyak orang. Untuk mengatasi hal tersebut, sebelum wawancara dimulai enumerator menjelaskan bahwa jawaban responden tidak akan berdampak terhadap pekerjaanya maupun IRTP tempatnya bekerja. Sedangkan saat observasi, beberapa responden juga mengalami hallo effect karena mengetahui kehadiran observer sehingga cenderung berperilaku sesuai dengan norma yang benar. Untuk mengatasi hal tersebut, observer datang sebagai pembeli yang secara tidak langsung dapat mengamati perilaku penjamah makanan. Disamping itu dalam penelitian ini masih ada faktor yang ditemukan memperoleh hasil yang berbeda dari penelitian yang sudah ada sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut dengan metode yang berbeda ataupun jumlah sampel yang lebih besar. Sementara itu, untuk keterbatasan eksternal penelitian ini hanya dilakukan pada IRTP yang sudah memiliki izin saja sehingga tidak dapat digeneralisasi terhadap seluruh penjamah makanan di Kabupaten Karangasem.
6.2.1
Rancangan Penelitian
Penelitian ini bersifat observasional dengan rancangan yang digunakan adalah crossectional analitik. Pertimbangan pemilihan rancangan penelitian karena waktu penelitian yang jauh lebih singkat, biaya yang diperlukan lebih murah, dan bisa digunakan untuk mengidentifikasi faktor risiko terjadinya variabel tergantung (perilaku penjamah makanan). Keterbatasan penelitian sebagai akibat dari pemilihan rancangan peneliian ini adalah tidak mampu membuktikan salah satu kriteria hubungan kausa adanya temporal relationship.
88
Walaupun penelitian ini memiliki kelemahan tidak bisa menjelaskan adanya hubungan temporal tetapi masih bisa membuktikan beberapa kriteria lainnya. Salah satu kriteria hubungan kausa yang bisa dibuktikan adalah kriteria hubungan kausa yang pertama yaitu membuktikan kuatnya hubungan berdasarkan ukuran asosiasi. Ukuran asosiasi yang digunakan pada penelitian ini adalah prevalence ratio yang membandingkan dua buah prevalence. Prevalence ratio pada penelitian ini adalah perbandingan prevalence perilaku penjamah makanan dalam penerapan CPPB IRTP pada masing-masing kelompok penjamah makanan. Selain itu kriteria hubungan kausa yang lain seperti adanya konsistensi, spesifik, koheren dan analogi bisa terpenuhi.
6.2.2
Kualitas Data
Sumber data pada penelitian ini adalah data primer yang dikumpulkan menggunakan instrumen penelitian berupa lembar observasi dan kuesioner terstruktur. Lembar observasi yang digunakan adalah lembar observasi yang telah disesuaikan untuk mengukur perilaku penjamah makanan dalam penerapan CPPB IRTP dan ketersediaan fasilitas IRTP. Kuesioner yang digunakan untuk wawancara
dengan
pengelola
telah
dikembangkan
berdasarkan
definisi
operasional yang jelas dan setiap pertanyaan telah mewakili poin-poin yang harus diukur pada masing-masing variabel. Pertanyaan pada kuesioner sebagian besar adalah pertanyaan tertutup dengan dua atau tiga pilihan jawaban sehingga memudahkan responden untuk menjawab. Sebelum turun kelapangan kuesioner telah dicobakan pada saat latihan enumerator. Hasilnya semua pertanyaan bisa
89
dimengerti dengan baik dan tidak memberikan makna ganda atau ambigu. Berdasarkan penilaian terhadap instrumen yang digunakan maka data yang dihasilkan dapat dijamin kualitasnya. Dilihat dari enumerator yang mengumpulkan data, mereka merupakan petugas puskesmas telah memahami tentang variabel yang diteliti. Selain itu dua orang enumerator yang mengumpulkan data merupakan yang diseleksi dan dilatih untuk melakukan observasi pada penjamah makanan sebelum turun ke lapangan. Mempertimbangkan hal tersebut maka dilihat dari personil pengumpul data dapat dikatakan bahwa kualitas data yang berhasil dikumpulkan dapat dijamin validitasnya.
90
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa faktor yang terbukti mempengaruhi perilaku penjamah makanan secara signifikan dalam penerapan CPPB pada IRTP di Kabupaten Karangasem adalah pengetahuan, sikap dan dukungan pengelola. Sedangkan umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, masa kerja, penyuluhan dan ketersediaan fasilitas tidak mempengaruhi perilaku penjamah makanan dalam penerapan CPPB pada IRTP.
7.2 Saran Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terutama pembahasan implikasi hasil penelitian terhadap upaya mendukung penerapan CPPB pada IRTP dan berdasarkan simpulan yang diambil maka dapat dirumuskan saran sebagai berikut: 1. Bagi pengelola IRTP a. Menciptakan suasana kerja yang mendukung seperti suasana kekeluargaan dan menyenangkan sehingga penjamah makanan dapat menerapkan CPPB IRTP. b. Memberi reward berupa pujian, peningkatan gaji, pemberian uang tambahan atau bonus, dan pemberian tunjangan hari raya bagi penjamah makanan yang sudah menerapkan CPPB IRTP dengan baik. Pemberian reward ini diharapkan meningkatkan pembentukan sikap dan motivasi kerja penjamah makanan.
90
91
c. Memberi kesempatan kepada penjamah makanan untuk mengikuti penyuluhan dengan tujuan meningkatkan pengetahuan penjamah makanan mengenai penerapan CPPB IRTP. d. Menyediakan fasilitas IRTP yang lengkap khususnya fasilitas utama yang wajib ada yaitu sarana cuci tangan dan tempat sampah sesuai standar serta melengkapinya
dengan
peraturan
tertulis
untuk
mengoptimalkan
penggunaan fasilitas tersebut. 2. Bagi penjamah makanan Meningkatkan rasa memiliki terhadap IRTP sehingga dapat menerapkan CPPB IRTP dengan tujuan meningkatkan kualitas produk yang dihasilkan. Menghasilkan produk yang berkualitas tinggi sama artinya dengan menyediakan pangan yang aman untuk masyarakat. 3. Bagi Dinas Kesehatan a. Pada IRTP yang sudah memiliki izin Melakukan kegiatan yang mendukung penerapan CPPB pada IRTP seperti pemantauan rutin, pendampingan secara berkelanjutan serta memberikan penyuluhan tidak hanya kepada pengelola tetapi juga kepada penjamah makanan dengan metode dan media yang lebih dikembangkan untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan sikap penjamah makanan. Inspeksi pada IRTP juga perlu dilakukan untuk memantau penerapan CPPB. Inspeksi ini dilakukan bekerjasama dengan petugas puskesmas untuk mengetahui waktu produksi IRTP tersebut. Diharapkan juga agar Dinas Kesehatan melakukan advokasi kepada pemerintah daerah untuk
92
merancang sanksi tertulis (punishment) berupa peraturan daerah bagi IRTP yang melanggar aturan mengenai CPPB dan disosialisasikan kepada seluruh IRTP yang sudah memiliki izin. b. Pada IRTP yang belum memiliki izin Melakukan pembinaan agar IRTP tersebut menerapkan CPPB dalam proses produksinya, melakukan integrasi, koordinasi dan kerjasama lintas program dan lintas sektor untuk melakukan sosialisasi prosedur perizinan termasuk memberi informasi bahwa pengurusan izin IRTP tersebut tidak dipungut biaya. Selain itu, upaya advokasi perlu dilakukan agar dinas terkait menyederhanakan alur birokrasi untuk mempermudah penerbitan izin serta agar dinas terkait menggunakan sistem jemput bola untuk mendorong pengelola IRTP melengkapi legalitas usahanya.
4. Bagi peneliti selanjutnya a. Melakukan eksplorasi variabel lain untuk meneliti perilaku penjamah makanan seperti persepsi, biaya, jumlah informasi, dan kebijakan IRTP serta mengkaji kembali faktor yang tidak ditemukan berpengaruh secara signifikan.