BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pendidikan sangat penting bagi kehidupan manusia karena merupakan jalan dan cara untuk membentuk kepribadian dalam usaha mencapai cita-cita dan tujuan hidupnya. Umat Islam yang merupakan jumlah yang terbanyak dari penduduk Indonesia sangat mendambakan putra putrinya kelak dapat tumbuh dan berkembang menjadi manusia dewasa berkepribadian muslim yang beriman dan bertaqwa kepada Allah swt, cerdas, terampil dan cakap serta menjadi warga negara yang baik. Kehadiran lembaga pendidikan dan pengajaran Agama Islam yang berbentuk Madrasah Diniyah merupakan jawaban atas harapan umat Islam di dalam menyalurkan putra putrinya untuk dapat lebih banyak memperoleh pendidikan Islam bagi kehidupan1. Madrasah berasal dari bahasa Arab yang artinya tempat belajar2. Sedangkan Diniyah berasal dari bahasa Arab Ad-dîn yang artinya agama. Jadi Madrasah Diniyah adalah madrasah yang semata-mata mengajarkan mata pelajaran agama3.
1
207.
Rochidin Wahab, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Bandung: Alfabeta, 2004),
2
Haidar Putra Daulay, Historisitas dan Eksistensi Pesantren Sekolah dan Madrasah (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 2001) 59. 3 Ibid., 90.
1
2
Pendidikan Madrasah Diniyah merupakan evolusi dari sistem belajar yang dilaksanakan di pesantren salafiyyah, karena memang pada awal penyelenggaraannya berjalan secara tradisional. Untuk mempertahankan tradisi pesantren dalam mempertahankan paradigma penguasaan “kitab kuning”4. Proses belajar mengajar menggunakan metode “halaqoh” yaitu seorang guru duduk di lantai, di kelilingi oleh murid-murid, mereka mendengarkan keterangan guru tentang ilmu-ilmu agama. Namun lama kelamaan berkembang dan metode yang digunakan pun berangsur-angsur mengalami perubahan, pembelajaran mulai diorganisasikan secara klasikal, materi yang diajarkan tidak hanya sekedar membaca al-Qur’an dan ilmu-ilmu dasar agama, tetapi meliputi pula ilmu-ilmu ke Islaman lainnya5. Sistem klasikal kemudian banyak memberikan pengaruh terhadap perkembangan pedidikan di tanah air termasuk pendidikan Islam, seperti bergesernya sistem halaqoh yang berlaku di pesantren menjadi sistem madrasah (klasikal). Pendidikan keagamaan semacam itu digolongkan sebagai pendidikan keagamaan yang tertutup terhadap pengetahuan umum. Kemudian banyak yang menyebutnya “Sekolah Agama / Sekolah Diniyah”6.
4
Amin Haedari, Peningkatan Mutu Terpadu Pesantren dan Madrasah Diniyah (Jakarta: Diva Pustaka, 2006), 18. 5 Choirul Fuad Yusuf, Inovasi Pendidikan Agama dan Keagamaan (Jakarta: Departemen Agama RI, 2006), 276. 6 Ibid., 277.
3
Madrasah Diniyah merupakan salah satu jenis pendidikan non formal yang biasanya dijadikan sebagai sekolah pendamping untuk menambah pengetahuan agama bagi madrasah dan sekolah umum7. Masyarakat tampaknya masih cenderung tetap mempertahankan adanya madrasah-Madrasah Diniyah tersebut, dengan maksud untuk memberikan kesempatan kepada murid-murid di sekolah umum yang ingin memperdalam ilmu pengetahuan agama. Umumnya Madrasah-Madrasah Diniyah ini masih tetap dipertahankan dalam lingkungan pondok pesantren atau langgar serta masjid terdiri dari tiga jenjang atau tingkatan, yaitu: (a) Madrasah Diniyah Awaliyah yaitu madrasah yang khusus mempelajari pengetahuan ilmu agama Islam pada tingkat pertama; (b) Madrasah Diniyah Wusthâ yaitu madrasah yang khusus mengajarkan ilmu pengetahuan agama pada tingkat menengah pertama; dan (c) Madrasah Diniyah Aliyah yaitu madrasah yang khusus mengajarkan ilmu pengetahuan agama pada tingkat menengah atas8. Pengajaran di Madrasah Diniyah yang secara klasikal berfungsi terutama untuk memenuhi hasrat orang tua (masyarakat) yang menginginkan anak-anaknya yang bersekolah di sekolah-sekolah mendapatkan pendidikan agama Islam9. Dalam pasal 15 PP No. 55 tahun 2007 menyebutkan bahwa pendidikan diniyah formal menyelenggarakan pendidikan ilmu-ilmu yang bersumber dari 7
Ali Riyadi, Politik pendidikan Menggugat Birokrasi pendidikan Nasional (Yogyakarta :: Ar-Ruzz, 2006), 217-218. 8 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia Lintasan Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembangan (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), 183. 9 Rochidin Wahab, Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia, 207.
4
ajaran agama Islam pada jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi.10 Pendidikan agama adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran / kuliah pada semua jalur jenjang dan jenis pendidikan. Pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama atau menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran agamanya.11 Pendidikan Madrasah Diniyah merupakan bagian dari sistem pendidikan pesantren yang wajib dipelihara dan dipertahankan keberadaannya karena lembaga ini telah terbukti mampu mencetak para kyai/ulama, asâtid dan sejenisnya. Lahirnya peraturan pemerintah no. 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan merupakan peluang sekaligus tantangan. Peluang, karena PP tersebut telah mengakomodir keberadaan pendidikan diniyah dan pesantren. Sedangkan tantangan yang akan dihadapi adalah bagaimana para pengasuh pesantren dan pengelola pendidikan diniyah secara arif dalam merespon pemberlakuan PP tersebut. Pembahasan tentang pendidikan Madrasah Diniyah banyak diminati apalagi kalau digabungkan dengan PP no. 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan. Untuk itulah penulis merasa perlu 10 11
PP No. 55 tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama Dan Pendidikan Keagamaan, 5. Ibid., 1.
5
menelaah konsep tersebut dalam kajian ini dengan judul:
“EKSISTENSI
PENDIDIKAN
PERATURAN
MADRASAH
DINIYAH
DALAM
PEMERINTAH NO. 55 TAHUN 2007 TENTANG PENDIDIKAN AGAMA DAN PENDIDIKAN KEAGAMAAN”.
B. Rumusan Masalah Dengan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka penulis mengambil rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah posisi pendidikan Madrasah Diniyah sebelum PP no. 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan? 2. Bagaimana kemungkinan posisi pendidikan Madrasah Diniyah menurut PP no. 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan? 3. Bagaimana kemungkinan implikasi PP. No. 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan terhadap perkembangan Madrasah Diniyah?
C. Tujuan Kajian Tujuan dari adanya pembahasan dari skripsi ini adalah: 1. Untuk menjelaskan posisi pendidikan Madrasah Diniyah sebelum PP no. 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan
6
2. Untuk menjelaskan kemungkinan posisi pendidikan Madrasah Diniyah menurut PP no. 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan 3. Untuk menjelaskan kemungkinan implikasi PP. No. 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan terhadap perkembangan Madrasah Diniyah.
D. Manfaat Kajian Manfaat yang dapat diambil dari kajian ini adalah: 1. Manfaat teoritis Kajian ini dapat dijadikan salah satu pemikiran dalam menentukan gambaran tentang sistem pendidikan Madrasah Diniyah yang sekaligus dapat memperkaya hazanah pengetahuan dalam bidang pendidikan. 2. Manfaat praktis a. Bagi sekolah sebagai sumbangan pemikiran dalam memecahkan masalah pendidikan yang dihadapi terutama dalam memberikan kegiatan perbaikan dalam proses belajar mengajar. b. Bagi guru sebagai bahan acuan dalam membimbing, mendidik, dan mengarahkan siswa dalam proses belajar mengajar. c. Bagi peneliti sebagai bekal untuk meningkatkan pengetahuan serta menambah wawasan di bidang pendidikan.
7
E. Landasan Teori dan Telaah Pustaka 1. Landasan Teori Pendidikan Islam adalah bimbingan yang dilakukan seorang dewasa kepada terdidik dalam pertumbuhan agar ia memiliki kepribadian muslim12. Madrasah adalah lembaga pendidikan berbasiskan kurikulum agama Islam, yang fokus hanya kepada kurikulum keagamaan disebut dengan Madrasah Diniyah sementara yang juga mengajarkan ilmu-ilmu umum (penunjang) disebut sebagai madrasah13. Madrasah Diniyah merupakan salah satu lembaga pendidikan keagamaan pada jalur luar sekolah yang diharapkan mampu secara terus menerus memberikan pendidikan agama Islam kepada anak didik yang tidak terpenuhi pada jalur sekolah yang diberikan melalui sistem klasikal serta menerapkan jenjang pendidikan yaitu: Madrasah Diniyah awaliyah, Madrasah Diniyah Wusthâ, dan Madrasah Diniyah 'Ulyâ14. Madrasah Diniyah ini terdiri dari 3 tingkat: a. Madrasah Diniyah Awaliyah ialah Madrasah Diniyah tingkat permulaan dengan masa belajar 4 tahun dari kelas 2 sampai kelas 4 dengan jam belajar sebanyak 18 jam pelajaran dalam seminggu.15 Tujuan institusional umum Madrasah Diniyah Awaliyah ialah agar para murid: 12
Djamaluddin, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Bandung: CV Pustaka Setia, 1998), 11. Muhammad Dian Nafi’, Praktis Pembelajaran Pesantren (Yogyakarta: PT. LKIS Pelangi Aksara, 2007), 165. 14 Pedoman Penyelenggaraan Dan Pembinaan Madrasah Diniyah. Pedoman Penulisan Laporan Penelitian (Jakarta: Departemen Agama RI, 2003), 7. 15 Nur Uhbiyati, Ilmu pendidikan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2005), 236. 13
8
1) Memiliki sikap sebagai seorang muslim dan berakhlak yang mulia 2) Memiliki sikap sebagai warga negara Indonesia yang baik 3) Memiliki kepribadian, percaya pada diri sendiri, sehat jasmani dan rohani 4) Memiliki pengalaman, pengetahuan, ketrampilan beribadah dan sikap terpuji yang berguna bagi pengembangan pribadinya. b. Madrasah Diniyah Wusthâ ialah Madrasah Diniyah tingkat pertama dengan masa belajar 2 tahun dari kelas 1 sampai dengan kelas II dengan jam belajar 18 jam pelajaran dalam seminggu. Tujuan istitusional umum Madrasah Diniyah Wusthâ ialah agar para siswa: 1) Memiliki sikap sebagai seorang muslim yang bertakwa dan berakhlak mulia 2) Memiliki sikap sebagai warga negara Indonesia yang baik 3) Memiliki kepribadian yang bulat dan utuh, percaya pada diri sendiri, sehat jasmani dan rohani 4) Memiliki pengalaman, pengetahuan, ketrampilan beribadah dan sikap terpuji yang berguna bagi pengembangan kepribadiannya. 5) Memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas hidupnya dalam masyarakat berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa guna mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. c. Madrasah Diniyah Aliyah ialah Madrasah Diniyah tingkat pertama atas dengan masa belajar 2 tahun dari kelas 1 sampai dengan kelas II
9
dengan jam belajar 18 jam pelajaran dalam seminggu. Tujuan istitusional umum Madrasah Diniyah Wusthâ ialah agar para siswa: 1) Memiliki sikap sebagai seorang muslim yang bertakwa dan berakhlak mulia 2) Memiliki sikap sebagai warga negara Indonesia yang baik 3) Memiliki kepribadian yang bulat dan utuh, percaya pada diri sendiri, sehat jasmani dan rohani 4) Memiliki pengalaman, pengetahuan, ketrampilan beribadah dan sikap terpuji yang berguna bagi pengembangan kepribadiannya. 5) Memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas hidupnya dalam masyarakat berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa guna mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.16 Pada hakikatnya tujuan didirikannya Madrasah Diniyah adalah untuk memberikan pendidikan ilmu-ilmu agama yang cukup kepada para santri. Eksistensi Madrasah Diniyah semakin dibutuhkan tatkala jebolan pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal (sistem kurikulum nasional). Dengan kenyataan itu, maka keberadaan Madrasah Diniyah sangat penting17 Visi pendidikan Madrasah Diniyah adalah terwujudkan pendidikan keagamaan yang berkualitas, berdaya saing dan kuat kedudukannya dalam sistem pendidikan nasional sehingga mampu menjadi pusat unggulan pendidikan agama Islam dan pengembangan masyarakat dalam rangka
16 17
Ibid., 238.. Amin Haedari, Peningkatan Mutu, 91.
10
pembentukan watak dan kepribadian santri sebagai muslim yang taat dan warga negara yang bertanggung jawab. Misi merupakan suatu yang harus dilaksanakan oleh pilar manajemen agar tujuan organisasi dapat terlaksana dan berhasil dengan baik. Dengan adanya misi diharapkan seluruh komponen organisasi mampu memahami peran dan program, sasaran serta hasil yang akan diperoleh organisasi di masa mendatang. Dengan misi diharapkan pula bahwa pelaksanaan program dapat dilaksanakan secara terarah, tepat dan cepat. Oleh karena itu misi pendidikan Madrasah Diniyah adalah meningkatkan pembelajaran
mutu serta
mengoptimalkan
pendidikan peningkatan
dukungan
dan
melalui sumber
pengembangan daya
partisipasi
sistem
pendidikan18
dan
masyarakat
dan
penyelenggaraan pendidikan keagamaan.19 2. Telaah Pustaka Disamping memanfaatkan berbagai teori yang relevan dengan bahasan ini, penulis juga melakukan telaah hasil penelitian terdahulu yang ada relevansinya dengan penelitian ini. Adapun hasil temuan penelitian terdahulu adalah:
18
Pedoman Administrasi Madrasah Diniyah. Pedoman Penulisan Laporan Penelitian (Jakarta: Departemen Agama RI, 2003), 41. 19 Amin Haedari, Bina Pesantren (Jakarta: CV. Harisma Jaya Mandiri, 2006) 67.
11
a. Nama Peneliti: Iman Ghozali, Tahun Penelitian : 2005, Hasil temuan : STUDI KOMPARASI ANTARA SISTEM PEMBELAJARAN DI MADRASAH DAN LEARNING SOCIETY. Persamaan antara tujuan pembelajaran di madrasah
dan learning
society adalah : sama-sama penguasaan terhadap ilmu pengetahuan meliput
informasi,
pengetahuan,
ketrampilan
dan
cara-cara
mengerjakan sesuatu yang diperlukan, sedangkan perbedaan antara tujuan pembelajaran di madrasah dan learning society adalah : dalam learning society tidak menyebutkan tujuan sedetail seperti tujuan belajar di madrasah seperti: mewujudkan pelayanan pendidikan yang mendukung perkembangan madrasah dan pendidikan agama Islam yang berkualitas, yang mampu mengantarkan peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa, berakhlak mulia, berkepribadian. b. Nama Peneliti : Abd Aziz Al Bone, Tahun : 2007, Temuan : STUDI KOMPETENSI
GURU
MADRASAH
DINIYAH
ULA
DI
KABUPATEN AGAM, SUMATERA BARAT. Kecenderungan guru Madrasah Diniyah Ula di kabupaten Agam adalah berpendidikan S1, biasanya guru Madrasah Diniyah Ula di kabupaten Agam adalah 6 sampai 15 tahun, status kerja guru Madrasah Diniyah 'Ulyâ
di kabupaten Agam adalah non PNS dan tingkat
kompetensi profesional guru Madrasah Diniyah Ula di kabupaten Agam adalah sangat baik, dan kompetensi pedagogik cukup dan
12
kompetensi guru Madrasah Diniyah adalah baik, dan kompetensi guru Madrasah Diniyah 'Ulyâ Kabupaten Agam adalah cukup.
F. Metode Penelitian 1. Pendekatan dan jenis penelitian Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan historis, yaitu berupaya menjelaskan peristiwa-peristiwa penting di masa lampau melalui perangkat apa, dimana, kapan, bagaimana, apa sebabnya dan siapa pelakunya.20 Dalam hal ini, jenis penelitian yang digunakan dalam menyusun skripsi ini adalah jenis penelitian pustaka (library research) artinya sebuah studi dengan mengkaji buku-buku yang berkaitan dengan skripsi ini yang diambil dari perpustakaan, maksudnya data-data di cari dan ditemukan melalui kajian pustaka dari buku yang relevan dengan pembahasan.21 2. Sumber Data Sumber data yang dijadikan bahan-bahan dalam kajian ini merupakan sumber data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka yang dikategorikan sebagai berikut: a. Sumber primer merupakan bahan utama atau rujukan utama dalam mengadakan suatu penelitian untuk mengungkapkan data dan menganalisis penelitian tersebut. Adapun data primer yang penulis gunakan adalah: 20 21
1994), 23.
Nur Hakim, Metodologi Studi Islam (Malang: UMM Press, 2004), 22. Hadari Nawawi, Penelitian Terapan (Yogyakarta: Gadjah Mada University Pers,
13
1) UUD 1945 2) UU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003 3) PP No. 5 Tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan. b. Sumber sekunder, yaitu buku-buku yang ditulis oleh tokoh-tokoh lain yang berkaitan dengan masalah dalam kajian ini dan dengan sebagai pendukung dari data primer, yaitu: 1) Toto Suharto, Lembaga Pendidikan Islam Rekonstruksi dan Modernisasi. Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2005. 2) Choirul Fuad Yusuf, Inovasi Pendidikan Agama dan Keagamaan Jakarta : Departemen Agama RI, 2006 3) Ishom El Saha, Dinamika Madrasah Diniyah di Indonesia Menelusuri Akar Sejarah Pendidikan Non Formal. Jakarta: Pustaka Mutiara, 2008. 3. Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan, oleh karena itu teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah data literer yaitu bahan-bahan pustaka yang koheren dengan obyek pembahasan yang dimaksud22 Data yang ada dalam kepustakaan tersebut dikumpulkan dan diolah dengan cara:
22
Suharmini Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), 24.
14
a. Editing, yaitu pemeriksaan kembali data yang diperoleh terutama dari segi kelengkapan, kejelasan, makna dan keselarasan makna antara satu dengan yang lain. b. Organizing, yaitu menyatakan data-data yang diperoleh dengan kerangka yang sudah ada. c. Menemukan hasil temuan, yaitu melakukan analisis lanjutan terhadap hasil pengorganisasian data yang menggunakan kaidah-kaidah, teori dan metode yang telah ditentukan sehingga diperoleh kesimpulan tertentu yang merupakan hasil jawaban dari rumusan masalah 4. Analisis Data Dari data-data yang diolah tersebut, selanjutnya data-data tersebut dianalisa dengan menggunakan beberapa metode sebagai berikut: Content Analisis merupakan analisis ilmiah tentang isi, pesan suatu komunikasi23 Logika dasar komunikasi bahwa setiap komunikasi selalu berisi pesan dalam sinyal komunikasinya itu, baik berupa verbal maupun non verbal.24 Metode ini digunakan untuk menganalisis isi dan berusaha menjelaskan bangunan pemikiran tentang masalah yang dibahas dengan menggunakan metode berpikir induktif, deduktif dalam pemikiranpemikiran kesimpulannya.25
23
49.
24
Noeng Muhajir, Metode Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Bayu Indra Grafika, 1998),
Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif; Aktualisasi Metodologis Ke Arah Ragam Varian Kontemporer (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), 219. 25 Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta, 2006), 91-99.
15
G. Sistematika Pembahasan Skripsi ini terdiri atas lima bab yang saling berkaitan antara satu dengan yang lain, yaitu: Bab satu adalah pendahuluan. Dalam bab ini diuraikan gambaran global tentang isi penulisanm skripsi ini yang meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teori, dan telaah pustaka, metodologi penelitian dan sistematika pembahasan. Bab dua merupakan landasan teori tentang dinamika Madrasah Diniyah di Indonesia yang membahas tentang sejarah berdirinya Madrasah Diniyah di Indonesia yang meliputi sejarah Madrasah Diniyah, Lembaga pendidikan Islam di Indonesia, para pioner Madrasah Diniyah dan madrasah di Indonesia. Madrasah Diniyah sebagai institusi pendidikan Islam yang meliputi akar Madrasah Diniyah, pesantren dan Madrasah Diniyah, kegiatan Madrasah Diniyah dan kondisi objektif Madrasah Diniyah di Indonesia. Pertumbuhan Madrasah Diniyah di Indonesia yang meliputi kelemahan pendidikan Madrasah Diniyah, pendidikan Madrasah Diniyah ideal, pertumbuhan Madrasah Diniyah, perkembangan Madrasah Diniyah formal dan pendidikan diniyah formal. Bab tiga membahas tentang peraturan pemerintah No. 55 Tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan yang meliputi latar belakang Peraturan Pemerintah RI Nomor 55 Tahun 2007, sejarah munculnya PP. No. 55 tahun 2007 dan isi PP. No. 55 tahun 2007.
16
Bab empat merupakan implikasi PP No 55 Tahun 2007 terhadap Madrasah Diniyah yang meliputi kemungkinan posisi pendidikan Madrasah Diniyah sebelum PP No. 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan, kemungkinan posisi pendidikan Madrasah Diniyah menurut PP no. 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan dan kemungkinan implikasi PP. No. 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan terhadap perkembangan Madrasah Diniyah. Bab lima merupakan penutup yang meliputi kesimpulan dan saransaran dari penulis.
17
RANCANGAN DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL HALAMAN JUDUL LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING HALAMAN PENGESAHAN MOTTO ABSTRAK KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PEDOMAN TRANSLITERASI BAB I
: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah B. Rumusan Masalah C. Tujuan Kajian D. Manfaat Kajian E. Telaah Hasil Penelitian yang Telah Dilakukan F. Metodologi Penelitian 2. Pendekatan dan Jenis Penelitian 3. Sumber Data
18
a. Sumber data primer b. Sumber data sekunder 4. Teknik Pengumpulan Data 5. Analisis Data G. Sistematika Pembahasan BAB II : PENDIDIKAN MADRASAH DINIYAH DI INDONESIA A. Pendidikan Madrasah Diniyah Sebelum PP No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan 1. Lembaga pendidikan Islam di Indonesia 2. Madrasah di Indonesia 3. Kelemahan pendidikan Madrasah Diniyah 4. Pendidikan Madrasah Diniyah sebelum PP no. 55 tahun 2007 B. Pendidikan Madrasah Diniyah Menurut PP No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan 1. Madrasah Diniyah sebagai institusi pendidikan Islam a. Akar Madrasah Diniyah b. Pesantren dan Madrasah Diniyah c. Para pioner Madrasah Diniyah d. Kegiatan Madrasah Diniyah 2. Model Madrasah Diniyah ideal 3. Pendidikan Madrasah Diniyah menurut PP No. 55 tahun 2007
19
C. Perkembangan Madrasah Diniyah Setelah PP No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan 1. Kondisi objektif Madrasah Diniyah di Indonesia a. Aspek kelembagaan b. Aspek manajemen c. Keadaan tenaga pengajar d. Keadaan murid e. Pendanaan f. Gedung dan sarana-prasarana g. Aspek evaluasi 2. Eksistensi Madrasah Diniyah sekarang 3. Implikasi PP no. 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan
keagamaan
dalam
perkembangan
Madrasah
Diniyah. BAB III : PERATURAN PEMERINTAH NO. 55 TAHUN 2007 TENTANG PENDIDIKAN AGAMA DAN PENDIDIKAN KEAGAMAAN A. Sejarah Munculnya PP. No. 55 Tahun 2007 B. Isi PP. No. 55 Tahun 2007 BAB IV : ANALISA MADRASAH DINIYAH MENURUT PERATURAN PEMERINTAH NO. 55 TAHUN 2007 A. Analisa Tentang Posisi Pendidikan Madrasah Diniyah Sebelum PP No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan
20
B. Analisa tentang Posisi Pendidikan Madrasah Diniyah menurut PP No. 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan C. Analisa Tentang Implikasi PP. No. 55 tahun 2007 tentang Pendidikan
Agama
dan
Pendidikan
Perkembangan Madrasah Diniyah. BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran DAFTAR RUJUKAN BIOGRAFI PENULIS
Keagamaan
Terhadap
21
DAFTAR RUJUKAN SEMENTARA
Arikunto,Suharmini. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta, 1990. Daulay, Haidar, Putra. Historisitas dan Eksistensi Pesantren Sekolah dan Madrasah. Yogya : PT. Tiara Wacana, 2001. Hadi, Sutrisno. Metodologi Research. Yogyakarta : Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM, 1987 Haedari, Amin. Peningkatan Mutu Terpadu Pesantren dan Madrasah Diniyah. Jakarta : Diva Pustaka, 2006 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia Lintasan Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembangan. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1996 Muhajir, Noeng. Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta : Bayu Indra Grafika, 1998. Nafi’, Dian, Mohammad. Praktis Pembelajaran Pesantren. Yogyakarta : PT. LKIS Pelangi Aksara, 2007 Nawawi, Hadari. Penelitian Terapan. Yogyakarta : Gadjah Mada University Pers, 1994 Riyadi, Ali. Politik Pendidikan Menggugat Birokrasi Pendidikan Nasional. Yogyakarta : Ar-Ruzz, 2006 Uhbiyati, Nur. Ilmu pendidikan Islam. Bandung : Pustaka Setia. Wahab, Rochidin. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Bandung : Alfabeta, 2004 Yusuf, Choirul, Fuad. Inovasi Pendidikan Agama dan Keagamaan. Jakarta : Departemen Agama RI, 2006 PP. No. 55 tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama Dan Pendidikan Keagamaan
22
EKSISTENSI PENDIDIKAN MADRASAH DINIYAH DALAM PERATURAN PEMERINTAH NO. 55 TAHUN 2007 TENTANG PENDIDIKAN AGAMA DAN PENDIDIKAN KEAGAMAAN
SKRIPSI Diajukan Dalam Rangka Penulisan Skripsi S-1 Pada Jurusan Tarbiyah Program Studi Pendidikan Agama Islam Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Ponorogo
Oleh: EMI RIEZKY UMI SANIYAH NIM. 243052024
JurusanTarbiyah Program Studi Pendidikan Agama Islam
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) PONOROGO Maret 2009
23
Paragraf 1 Pendidikan Diniyah Formal Pasal 15 Pendidikan diniyah formal menyelenggarakan pendidikan ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran agama Islam pada jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi
Pasal 16 1. Pendidikan diniyah dasar menyelenggarakan pendidikan dasar sederajat MI / SD yang terdiri atas 6 (enam) tingkat dan pendidikan diniyah menengah pertama sederajat mts / SMP yang terdiri atas 3 (tiga) tingkat 2. Pendidikan diniyah menengah menyelenggarakan pendidikan diniyah menengah atas sederajat MA / SMA yang terdiri atas 3 (tiga) tingkat. 3. Penanaman satuan pendidikan diniyah dasar dan menengah sebagaimana di maksud pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan hak penyelenggara pendidikan yang bersangkutan.
Pasal 17 1. Untuk dapat diterima menjadi peserta didik pendidikan diniyah dasar seorang harus berusia sekurang-kurangnya 7(tujuh) tahun 2. Dalam hal daya tampung satuan pendidikan masih tersedia maka seseorang yang berusia 6 (enam) tahun dapat diterima sebagai peserta didik pendidikan diniyah dasar
24
3. Untuk dapat diterima peserta didik pendidikan diniyah menengah pertama seseorang harus berijazah pendidikan dasar atau yang sederajat. 4. Untuk dapat diterima peserta didik pendidikan diniyah menengah atas seseorang harus berijazah pendidikan diniyah menengah pertama atau yang sederajat.
Pasal 18 1. Kurikulum pendidikan diniyah dasar formal wajib memasukkan muatan pendidikan kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam dalam rangan pelaksanaan program wajib belajar. 2. Kurikulum pendidikan diniyah menengah formal wajib memasukkan muatan pendidikan kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam serta seni dan budaya
Pasal 19 1. Ujian Nasional pendidikan diniyah dasar dan menengah di selenggarakan untuk menentukan standart pencapaian kompetensi peserta didik atas ilmuilmu yang bersumber dari ajaran Islam 2. Ketentuan lebih lanjut tentang ujian nasional pendidikan diniyah dan standart kopetensi ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran Islam sebagai mana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan peraturan menteri agama dengan berpedoman kepada Standar Nasional Pendidikan
25
Pasal 20 1. Pendidikan
diniyah
pada
jenjang
pendidikan
tinggi
dapat
menyelenggarakan program akademik, fokasi, dan profesi berbentuk universitas, institute, atau sekolah tinggi 2. Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan untuk setiap program studi pada perguruan tinggi keagamaan islam selain menekankan pembelajaran
ilmu
agama,
wajib
memasukkan
pendidikan
kewarganegaraan dan bahasa indonesia 3. Mata kuliah dalam kurikulum program studi memiliki beban belajar yang dinyatakan dalam satuan kredit semester (sks) 4. Pendidikan diniyah jenjang pendidikan tinggi diselenggarkaan sesuai dengan standar nasional pendidikan
Paragraf 2 Pendidikan Diniyah Non Formal Pasal 21 1. Pendidikan diniyah non formal diselenggarakan dalam bentuk pengajian kitab, majelis ta’lim, pendidikan Al-Qur’an, pendidikan takmiliah atau bentuk lain yang sejenis 2. Pendidikan diniyah non formal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk satuan pendidikan 3. Pendidikan diniyah non formal yang berkembang menjadi satuan pendidikan wajib mendapatkan izin dari kantor Departemen Agama
26
kabupaten / kota setelah memenuhi ketentang tentang persyaratan pendirian satuan pendidikan.
Pasal 22 1. Pengajian kitab diselenggarakan dalam rangka mendalami ajaran Islam dan / atau menjadi ahli ilmu agama Islam 2. Penyelenggaraan pengajian kitab dapat dilaksanakan secara berjenjang dan tidak berjenjang 3. Pengajian kitab dilaksanakan di Pondok Pesantren, masjid, mushola atau tempat lain yang memenuhi syarat. Pasal 24 1. Pendidikan Al-Qur’an bertujuan meningkatkan kemampuan peserta didik membaca, menulis, memahami dan mengamalkan kandungan Al-Qur’an 2. Pendidikan Al-Qur’an terdiri dari Taman Kanak-Kanak Al-Qur’an (TKQ), Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ), Taklimul Qur’an Lil Aulad (TQA) dan bentuk lain yang sejenis 3. Pendidikan Al-Qur’an dapat dilaksanakan secara berjenjang dan tidak berjenjang 4. Penyelenggaraan Pendidikan Al-Qur’an dipusatkan di Masjid, mushola atau tempat lain yang memenuhi syarat. 5. Kurikulum pendidikan Al-Qur’an adalah membaca, menulis, dan menghafal ayat-ayat Al-Qur’an, tajwid, serta menghafal doa-doa utama
27
6. Pendidik pada pendidikan Al-Qur’an mimimal lulusan pendidikan diniyah menengah atas atau yang sederajat, dapat membaca Al-qur’an dengan tartil dan menguasai teknik pengajaran Al-Qur’an .
Pasal 25 1. Diniyah ta’ilmiah bertujuan untuk melengkapi pendidikan agama Islam yang diperoleh di SD / MI, SMP / MTs, SMA / MA, SMK / MSK atau di pendidikan tinggi dalam rangka meningkatkan keimanan dan ketaqwaan peserta didik kepada Allah SWT 2. Penyelenggaraan ta’limiyah dapat dilaksanakan secara berjenjang atau tidak berjenjang 3. Penyelenggaraan diniyah ta’limiyah dilaksanakan di Masjid, mushola atau tempat lain yang memenuhi syarat. 4. Penamaan atas diniyah ta’limiyah merupakan kewenangan penyelenggara 5. Penyelenggaraan diniyah ta’limiyah dapat dilaksanakan secara terpadu dengan SD / MI, SMP / MTs, SMA / MA, SMK / MSK atau pendidikan tinggi.
28
BAB II DINAMIKA MADRASAH DINIYAH DI INDONESIA
A. Sejarah Berdirinya Madrasah Diniyah di Indonesia 1. Sejarah Madrasah Diniyah Lembaga pendidikan Islam yang dikenal dengan nama madrasah, telah lama diselenggarakan di Indonesia. Lembaga pendidikan ini telah ada bersamaan dengan penyebaran agama Islam di Indonesia. Di masa pemerintahan Hindia Belanda, hampir di semua desa di Indonesia yang penduduknya mayoritas Islam terdapat madrasah antara lain Madrasah Diniyah dengan berbagai nama dan bentuk seperti "Pengajian AnakAnak", "Sekolah Kitab", sekolah agama dan lain-lain. Penyelenggaraan Madrasah Diniyah ini biasanya mendapatkan bantuan dari raja-raja atau sultan setempat. Setelah Indonesia merdeka dan setelah berdiri Departemen Agama, penyelenggaraan madrasah mendapat subsidi dan bimbingan dari Departemen Agama. Tetapi karena pendirian Madrasah Diniyah mempunyai latar belakang tersendiri dan kebanyakan dirikan atas usaha perorangan yang semata-mata untuk ibadah, maka sistem yang digunakan tergantung kepada latar belakang pendiri dan pengasuhnya, sehingga pertumbuhan Madrasah Diniyah di Indonesia mengalami demikian banyak ragam dan coraknya.
29
Sejalan dengan munculnya ide-ide pembaharuan pendidikan di Indonesia, dunia madrasahpun ikut mengadakan pembaharuan dari dalam. Beberapa organisasi pendidikan yang menyelenggarakan madrasahpun ikut mengadakan pembaharuan dari dalam. Beberapa organisasi pendidikan yang menyelenggarakan madrasah mulai menyusun kurikulum yang di dalamnya sudah terdapat mata pelajaran umum. Sementara itu pula pendirian madrasah negeri yang diasuh Departemen Agama dengan memasukkan pendidikan umum, banyak memberikan pengaruh terhadap Madrasah Diniyah sehigga banyak Madrasah Diniyah menyesuaikan diri dengan kurikulum madrasah negeri tersebut.26 Sebutan Madrasah Diniyah yang terkenal saat ini merupakan evolusi dari sistem belajar yang dilaksanakan pesantren salafiyah. Karena memang pada awal penyelenggaraannya berjalan secara tradisional. Proses belajar mengajar menggunakan metode "halaqoh".27 Halaqoh seperti halnya para pelajar atau thulâbah (tunggal: thâlib), yang diterjemahkan sebagai "para pencari ilmu", berusaha mendapatkan undangan (kesempatan) untuk belajar dengan seorang guru senior, yang apabila dia tidak suka dengan si pelajar itu, dapat dengan sesuka hati mengabaikannya. Pelajar-pelajar yang lebih tua, lebih dewasa dan berbakat, mengambil posisi semakin dekat dengan seorang guru dan
26 Pola Pengembangan Madrasah Diniyah, Pedoman Penulisan Laporan Penelitian (Jakarta: Departemen Agama RI, 2000), 27 Choirul Fuad Yusuf, Inovasi Pendidikan Agama dan Keagamaan (Jakarta: Departemen Agama RI, 2006), 276.
30
menerima perhatiannya yang lebih besar dalam forum diskusi dan pertemuan pribadi.28 Sehubungan dengan perkembangan Madrasah Diniyah yang demikian itu, maka untuk memudahkan pembinaan dan bimbingan Departemen Agama menetapkan beberapa peraturan tentang jenis-jenis Madrasah Diniyah diatur dalam peraturan menteri agama RI Nomor 13 tahun 1964 yang antara lain dijelaskan: a. Madrasah Diniyah ialah lembaga pendidikan yang memberikan pendidikan dan pengajaran secara klasikal dalam pengetahuan agama Islam kepada pelajar bersama-sama sedikitnya berjumlah 10 (sepuluh) orang atau lebih, diantara anak-anak yang berusia 7 (tujuh) sampai dengan 18 (delapan belas) tahun. b. Pendidikan dan pengajaran (pada Madrasah Diniyah) selain bertujuan untuk memberi tambahan pengetahuan agama kepada pelajar-pelajar yang merasa kurang menerima pelajaran agama di sekolah-sekolah umum. c. Madrasah Diniyah ada 3 (tiga) tingkatan yakni: diniyah awaliyah, diniyah wusthâ dan diniyah 'ulyâ.29 Dengan diberlakukannya undang-undang nomor 20 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional, maka untuk mengatur lembaga pendidikan yang beragam di Indonesia dikeluarkan pula peraturan
28
Charles Michael Staton, Pendidikan Tinggi Dalam Islam (Jakarta: Logos Publishing House, 1994), 156-157. 29 Pola Pengembangan, 10.
31
pemerintah yaitu hasil pendidikan non formal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah atau pemerintah daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan. Kurikulum Madrasah Diniyah telah mengalami beberapa kali perubahan. Hal ini bertujuan memenuhi kebutuhan masyarakat dan tujuan pembangunan nasional. Pada tahun 1983 telah disusun kurikulum Madrasah Diniyah sesuai keputusan menteri agama nomor 3 tahun 1983 yang membagi Madrasah Diniyah menjadi 3 tingkatan, yaitu: diniyah awaliyah, diniyah Wusthâ dan diniyah 'ulyâ. Pada tahun 1991 kurikulum Madrasah Diniyah dikembangkan menjadi 3 tipe, yaitu: 1) Tipe A berfungsi membantu dan menyempurnakan pencapaian tema sentral pendidikan agama pada sekolah umum terutama dalam hal praktek dan latihan ibadah serta membaca al-Qur'an. 2) Tipe B berfungsi meningkatkan pengetahuan agama Islam sehingga setara dengan madrasah. Madrasah ini lebih berorientasi pada kurikulum madrasah ibtidâiyah, madrasah tsanawiyah dan madrasah 'aliyah. 3) Tipe C berfungsi untuk pendalaman agama, dengan sistem pondok pesantren.30
30
Ibid., 11.
32
2. Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia Kata "lembaga" menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti badan atau organisasi yang tujuannya melakukan suatu penyelidikan keilmuan atau melakukan usaha.31 Sedangkan yang dimaksud pendidikan Islam menurut Umar Muhammad al-Thoumî al-Syaibanî adalah sebagai proses mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya atau kehidupan kemasyarakatannya dan alam sekitarnya melalui interaksi yang dilakukan oleh individu tersebut.32 H.M. Arifin menyebutkan, bahwa tujuan proses pendidikan Islam adalah idealitas (cita-cita) yang mengandung nilai-nilai Islam yang hendak dicapai dalam proses kependidikan yang berdasarkan ajaran Islam secara bertahap. Berdasarkan tujuan tersebut, maka pengertian pendidikan Islam yaitu sebuah proses yang dilakukan manusia yang seutuhnya, beriman dan bertakwa kepada Tuhan serta mampu mewujudkan eksistensinya sebagai khalifah Allah di muka bumi, yang berdasarkan kepada ajaran dan sunnah, maka tujuan dalam konteks ini berarti terciptanya insan-insan kâmil setelah proses pendidikan berakhir.33 Jadi yang dimaksud dengan lembaga pendidikan Islam adalah lembaga atau tempat berlangsungnya proses pendidikan yang dilakukan
31
580.
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), 579-
32 Toto Suharto, Lembaga Pendidikan Islam Rekonstruksi dan Modernisasi (Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2005), 102. 33 Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), 15-16.
33
dengan tujuan untuk mengubah tingkah laku individu ke arah yang lebih baik melalui interaksi dengan lingkungan sekitar.34 Berbicara tentang lembaga-lembaga pendidikan Islam memang terdapat banyak jenis dan bentuknya. Secara garis besar, ada tiga macam bentuk lembaga pendidikan Islam, yaitu: lembaga pendidikan informal, lembaga pendidikan non formal dan lembaga pendidikan formal. a. Pendidikan informal Maksud dari pendidikan informal di sini adalah pendidikan keluarga. Keluarga merupakan lembaga pendidikan yang pertama bagi anak-anak. Di dalam keluarga inilah tempat meletakkan dasar-dasar kepribadian anak didik pada usia yang masih dini, karena pada usia ini anak lebih peka terhadap pengaruh dari pendidikan orang tuanya atau anggota keluarga yang lainnya. Dalam
salah
satu
sabdanya,
nabi
Muhammad
telah
menyatakan: Sesungguhnya setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka sesungguhnya kedua orang tualah yang menjadikan Majusi, Yahudi atau Nasrani. Hadits ini menjelaskan bahwa orang tua memegang peranan penting dalam membentuk kepribadian anak didik.35 Pendidik pertama dan yang utama adalah orang tua sendiri yang bertanggung jawab penuh atas kemajuan perkembangan anak
34 35
Toto Suharto, Lembaga, 105. Ibid., 103.
34
kandungnya, karena sukses anaknya merupakan sukses orang tua juga. Firman Allah swt:
(٦ :Tabcde )ا.رًاPَR ْTVُ WِYْ َوَأ ْهTVُ ] َ ^ُ Rَ`ُ_ا أ Artinya: "Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka". (QS. At-Tahrîm: 6). Karena tuntutan orang tua semakin banyak, anaknya diserahkan pada lembaga sekolah sehingga definisi pendidikan di sini adalah mereka yang memegang suatu mata pelajaran tertentu di sekolah. Penyerahan anak didik ke lembaga sekolah bukan berarti orang tua lepas tanggung jawabnya sebagai pendidik yang pertama dan utama, tetapi orang tua masih mempunyai saham dalam membina dan mendidik anak kandungnya.36 b. Lembaga pendidikan non formal Pendidik berarti juga orang dewasa yang bertanggung jawab memberi pertolongan pada anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya, agar mencapai tingkat kedewasaan, mampu berdiri sendiri dan memenuhi tingkat kedewasaannya, mampu berdiri sendiri memenuhi tugasnya sebagai hamba dan khalifah swt dan mampu sebagai makhluk sosial dan sebagai makhluk individu yang mandiri.37
36
Ibid., 167. Muhaimin, Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalnya (Bandung: Trigena Karya, 1993), 168. 37
35
Lembaga pendidikan non formal maksudnya adalah lembaga pendidikan yang ada di masyarakat baik berupa pengajian-pengajian, majelis ta'lim dan juga Madrasah Diniyah.38 Pengajian-pengajian ini biasanya dilakukan oleh ibu-ibu rumah tangga yang menyempatkan diri untuk belajar bersama-sama di masjid. Pengajian ini berupa membaca al-Qur'an atau ceramah agama. Majelis ta'lim adalah lembaga pendidikan yang ada di masyarakat yang tumbuh dan berkembang dari kalangan masyarakat Islam itu sendiri, yang kepentingannya untuk kemaslahatan umat manusia. Oleh karena itu majelis ta'lim adalah lembaga swadaya masyarakat yang keberadaannya didasarkan pada keinginan untuk membangun masyarakat yang madani.39 Pendidikan diniyah non formal diselenggarakan dalam bentuk pengajian kitab, majelis ta'lim, pendidikan al-Qur'an, Diniyah ta'limiyah atau bentuk lain yang sejenis.40 c. Lembaga pendidikan formal atau sekolah Sekolah (madrasah) adalah lembaga pendidikan yang penting setelah keluarga. Semakin besar kebutuhan anak dan semakin berat kesibukan keluarga, orang tua biasanya menyerahkan tanggung jawab pendidikannya kepada lembaga sekolah. Sekolah di sini berfungsi sebagai pembantu lembaga keluarga dalam mendidik anak. Tugas guru 38 39
Toto Suharto, Lembaga, 103. Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1999), 94.
40
PP. No. 55 pasal 15-16 tahun 2007, Tentang Pendidikan Agama Dan Pendidikan Keagamaan,
36
dan pemimpin sekolah, di samping memberikan ilmu pengetahuan dan keterampilan, juga memberikan bimbingan yang sesuai dengan tuntutan agama. Setelah anak dimasukkan ke lembaga sekolah (madrasah), orang
tua
mengharapkan
kelak
anak-anak
mereka
memiliki
kepribadian yang sesuai dengan ajaran Islam atau dengan kata lain berkepribadian muslim. Yang dimaksud dengan kepribadian muslim ialah kepribadian yang seluruh aspeknya, baik tingkah laku, kegiatan jiwa maupun filsafat hidup dan kepercayaannya menunjukkan pengabdian dan penyerahan diri kepada Tuhan.41 Bentuk lembaga pendidikan sekolah, berkaitan dengan usaha mensukseskan ada tiga misi tuntutan hidup seseorang muslim, yaitu: 2) Pembebasan manusia dari ancaman api neraka. 3) Pembinaan umat manusia menjadi hamba Allah yang memiliki keselarasan dan keseimbangan hidup bahagia di dunia dan di akherat, sebagai realisasi cita-cita seseorang yang beriman dan bertaqwa yang senantiasa memanjatkan doa kepada Allah. 4) Membentuk pribadi manusia yang memancarkan yang kaya dengan ilmu pengetahuan, yang satu sama lain saling mengembangkan hidupnya untuk menghambakan dirinya kepada khaliknya.42 Jadi sangat jelas bahwa lembaga pendidikan Islam itu bertanggung jawab untuk membimbing dan mengembangkan tingkah laku anak didik 41 42
Toto Suharto, Lembaga, 104. Ibid., 105.
37
sesuai dengan tuntunan ilahi, yang pada akhirnya akan menemukan makna hidup yang sesungguhnya,43 dan tujuan pendidikan Islam adalah sesuai dengan tujuan hidup manusia, sebab pendidikan hanyalah alat yang digunakan oleh manusia untuk memelihara kelanjutan hidupnya, baik sebagai individu maupun masyarakat.44 Dalam UU sistem pendidikan nasional, madrasah termasuk kategori lembaga pendidikan keagamaan yang peran dan fungsinya sama dengan sekolah-sekolah pada umumnya. Dilihat dari kurikulumnya, kurikulum madrasah memuat semua kurikulum sekolah yang berada di bawah naungan Deperteman Pendidikan Nasional. Dalam madrasah bila dilihat dari materi yang diajarkan dapat disebut sebagai "sekolah plus". Keadaan ini bisa dilihat sebagai hal positif, karena siswa akan mendapatkan pengetahuan agama lebih dibanding mereka yang belajar di sekolah. Penguasaan agama siswa madrasah akan lebih mendalam. Ini rupanya yang menjadi daya tarik para orang tua untuk memasukkan anak-anak mereka ke madrasah.45 3. Para Pioner (Tokoh Pelopor) Madrasah Diniyah Tokoh Islam Indonesia yang dianggap pelopor berdirinya Madrasah Diniyah ialah; pertama, Syaih Muhammad Thaib 'Umar (lahir 1874). Ulama batu Sangkar, Sumatera Barat ini dikenal sebagai pencetus madrasah school (sekolah agama), yang didirikannya pada 1909. Sesuai
43
Ibid., 105. Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode Klasik dan Pertengahan (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2004), 12. 45 Khozin, Manajemen Pemberdayaan Madrasah (Malang: UMM Press, 2006), 78. 44
38
dengan namanya yang bercorak ragam modern, maka bentuk pendidikan di madrasah ini juga jauh berbeda dengan sistem pendidikan surau yang banyak berkembang di Sumatera, murid-murid tidak lagi bersila melingkari guru (halaqah), tetapi sudah mulai mempergunakan meja, kursi, dan papan tulis. Demikian juga dengan mata pelajarannya. Di madrasah ini tidak lagi diajarkan pelajaran keagamaan saja, tetapi juga diajarkan pengetahuan umum seperti; berhitung dan aljabar.46 Kedua, Syaih 'Abdullah Ahmad, lahir di Padang Panjang, Sumatera barat pada tahun 1878 M. bapak Buya Hamka ini dikenal sebagai pendiri Adabiyah School (Madrasah Adabiyah) pada 1909. Madrasah ini merupakan madrasah modern di eranya yang ditandai oleh sebuah perkumpulan serikat usaha yang dipimpinnya bersama rekannya, Syaih Thahir Jalaludîn atau akrab disebut Taher Marah Sutan, muslim Singapura yang mengembangkan pemikiran Muhammad 'Abduh di daratan Melayu. Madrasah
Adabiyah
diselenggarakan
dengan
mengadopsi
sistem
pendidikan barat yang diterapkan pemerintah Hindia Belanda. Ada kurikulum berjenjang dan materi yang diajarkan pun tidak hanya meliputi materi agama tetapi juga pengetahuan umum, seperti aljabar dan bahasa Belanda. Hal inilah yang menyebabkan madrasah ini kurang disukai masyarakat luas, namun justru mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah Hindia Belanda. Bahkan pada tahun 1915, madrasah adabiyah
46
Ishom El Saha, Dinamika Madrasah Diniyah di Indonesia Menelusuri Akar Sejarah Pendidikan Non Formal (Jakarta: Pustaka Mutiara, 2008), 47-50.
39
telah berubah status menjadi HIS adabiyah yang pengelolanya mendapatkan subsidi dari pemerintah Belanda. Ketiga, Zainuddîn Labay el-Yunusi (1890-1924) yang telah mendirikan Madrasah Diniyah (diniyah school) pada tahun 1915 di Padang Panjang. Sebagaimana madrasah Adabiyah yang didirikan Syaih 'Abdullah Ahmad madrasah ini juga menggunakan sistem klasikal dengan susunan pelajaran yang terdiri atas ilmu-ilmu agama, bahasa arab, akhlak dan ilmu-ilmu umum seperti sejarah dan ilmu bumi. Bedanya, materi dan corak pendidikannya lebih Islami disebabkan keberadaannya sebagai lembaga pendidikan pribumi yang didirikan untuk mengajar agama. Hal ini bisa dilihat dari adanya penekanan penggunaan bahasa Arab dalam setiap mata pelajaran yang diajarkan kepada siswa. Hanya saja buku bahasa arab yang pergunakan sebagai bahasa bacaan para murid adalah buku yang sederhana seperti yang juga dipakai di sekolah dasar Mesir. Untuk mata pelajaran lainnya-terutama fiqh dan sejarah Islam, yang dahulu tidak diperhatikan- Zainuddîn Labay menyusun sendiri buku-bukunya itu. Untuk kelas rendah, dia menyusun dalam bahasa melayu sedang untuk kelas yang lebih tinggi dalam bahasa arab yang
sederhana.
Sedangkan
untuk
kelas
tertinggi,
dia
selalu
mempergunakan buku-buku yang di terbitkan di Kairo maupun Beirut. Sebetulnya masih banyak tokoh yang mempopulerkan Madrasah Diniyah misalnya; KH Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, KH. 'Abbas Buntet, Syaih Khatib Muhammad Ali, KH Ahmad Sanusi, dan sebagainya.
40
Pertimbangan secara khusus mengkatagorikan Syaih Muhammad Thaib Umar, Syaih 'Abdullah Ahmad, Sayyid Muhsin al-Palimbani dan Zainudin Labay el-Yunusi sebagai pioner adalah atas dasar ketokohan mereka mempopulerkan istilah madrasah dan diniyah, yang kemudian disatukan dan dibukukan menjadi Madrasah Diniyah. 4. Madrasah Diniyah di Indonesia Kalau dicermati istilah Madrasah Diniyah dari kata darasa yang berarti tempat belajar bagi siswa atau mahasiswa (umat Islam). Karenanya, istilah madrasah tidak hanya diartikan sekolah dalam arti sempit, tetapi juga bisa dimaknai rumah, istana, kuttâb, perpustakaan, surau, masjid dan lain-lain.47 Lahirnya lembaga ini merupakan kelanjutan sistem pendidikan pesantren
gaya
lama,
yang
dimodifikasikan
menurut
model
penyelenggaraan sekolah-sekolah umum dengan sistem klasikal. Di samping memberikan pengetahuan agama, diberikan juga pengetahuan umum sebagai pelengkap. Inilah ciri madrasah pada mula berdirinya di Indonesia sekitar akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20 sesuai dengan falsafah negara Indonesia, maka dasar pendidikan madrasah adalah ajaran agama Islam, falsafah negara Pancasila dan UUD 1945.48 Tumbuh dan berkembangnya madrasah di Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan tumbuh dan berkembangnya ide-ide pembaharuan 47
Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam (Jakarta: Putra Grafika, 2005), 214. Adib Abdushomad, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 90-91. 48
41
pemikiran di kalangan umat Islam. Di
permulaan abad ke-20 timbul
beberapa perubahan pemikiran bagi umat Islam Indonesia dengan masuknya ide-ide pembaharuan. Adapun
beberapa
faktor
pendorong
timbulnya
ide-ide
pembaharuan tersebut adalah: a. Adanya kecenderungan umat Islam untuk kembali kepada al-Qur'an dan al-Hadît. Kecenderungan itu dijadikan titik tolak dalam menilai kebiasaan agama dan kebudayaan yang ada. b. Timbulnya dorongan perlawanan nasional terhadap penguasa kolonial Belanda. c. Dorongan ketiga adalah usaha yang kuat dari orang-orang Islam untuk memperkuat organisasinya di bidang sosial ekonomi, baik untuk kepentingan mereka sendiri maupun untuk kepentingan masyarakat. d. Dorongan keempat berasal dari pembaharuan pendidikan Islam karena cukup banyak orang dan organisasi Islam tidak puas dengan metode tradisional dalam mempelajari al-Qur'an dan studi agama. Pribadipribadi dan organisai Islam pada awal abad ke-20 berusaha memperbaiki pendidikan Islam baik dari segi metode maupun isi.49 Lembaga pendidikan formal ini didirikan oleh masyarakat untuk belajar bagi anak-anak yang berumur 4 tahun ke atas. Lembaga pendidikan ini terdiri dari 6 jenjang yang secara berturut-turut adalah sebagai berikut:
49
Haidar Putra Daulay, Historisitas dan Efisiensi Pesantren Sekolah dan Madrasah (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 2001), 63.
42
1) Raudatul Atfal (Bustanul Atfal) 2) Madrasah Ibtidâiyah (SD) 3) Madrasah Tsanawiyah (SMP) 4) Madrasah 'Aliyah (SMA/SMK) 5) Madrasah Diniyah 6) Al-Jami'ah (IAIN/Institut Agama Islam Negeri)50 Madrasah akhir-akhir ini populer dengan sebutan sebagai sekolah umum berciri khas agama Islam. Keberadaannya semakin diperhitungkan masyarakat. Kelebihan madrasah dari sekolah umum, secara formal madrasah memberikan pengetahuan umum dengan perspektif keislaman, sementara pengetahuan agama yang diberikan madrasah jauh lebih besar dari sekolah umum. Kelebihan secara formal ini kalau dikelola secara baik tentu bisa menjadi keunggulan madrasah dibandingkan sekolah umum lainnya. Hal ini tentu sejalan dengan kecenderungan masyarakat yang semakin mendambakan dan mengedepankan relegiusitas. Kecenderungan hendaknya dapat ditangkap khususnya oleh para pengelola madrasah lebih-lebih yang di perkotaan. Persoalannya kemudian, bagaimana madrasah mengelola kelebihan perspektif keislaman hingga menjadi keunggulan dan menjadikan pendidikan agamanya sebagai nilai tambahan yang tidak bisa diberikan sekolah umum.51
50 51
Nur Uhbiyati, Ilmu pendidikan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 205), 233-239. Khozin, Manajemen, 4.
43
B. Madrasah Diniyah sebagai Institusi Pendidikan Islam 1. Akar Madrasah Diniyah Dalam kebudayaan pendidikan Islam di Indonesia, model pendidikan yang paling sederhana dipusatkan pada Al-Quran. Pada dasarnya pendidikan ini berupa pelajaran membaca beberapa bagian dari al-Quran. Untuk permulaan, diajarkan surat al-Fâtehah dan kemudian surat-surat pendidikan dalam Juzz ‘Amma terdiri dari surat 78 (an-Naba’) sampai dengan 144 (an-Nâs) yang penting di baca untuk melaksanakan ibadah.52 Dalam pengajaran ini para murid mempelajari huruf-huruf arab dan melafalkan teks-teks yang terdapat dalam al-Quran. Di samping itu, diajarkan pula peraturan dan tata tertib sholat, wudlu, dan beberapa doa. Mata pelajaran yang diajarkan semuanya tergantung pada kepandaian beberapa unsur ilmu tajwid yang bermanfaat untuk melafalkan ayat-ayat suci dengan baik. Pengajian ini diberikan secara individual di rumah guru, langgar atau surau. Namun dalam beberapa kasus juga dilaksanakan di dalam rumah orang tua murid, terutama kalau orang tua murid mempunyai kedudukan penting. Dalam sistem pendidikan yang bercorak individual ini, sering terjadi perbedaan waktu belajar yang besar, di mana ada murid yang cepat
52
Ishom El Saha, Dinamika Madrasah Diniyah di Indonesia Menelusuri Akar Sejarah Pendidikan Non Formal, 39-43.
44
tetapi ada yang lambat dalam menyelesaikan pendidikannya. Tujuan utama dalam pendidikan dasar ini sudah tercapai, kalau si murid pertama kali telah menamatkan membaca al-Quran secara keseluruhan. Membaca di sini mempunyai pengertian: melafalkan, karena dalam fase ini belum diberikan pengajaran tentang isi teks, juga pengajaran bahasa arab belum diberikan dalam periode ini. Kalau pengajian ini selesai, biasanya diadakan upacara “tamatan”, atau juga disebut “khataman”. Acara ini biasanya dilengkapi dengan sunnatan bagi anak laki-laki dan merupakan inisiasi dalam kehidupan agama Islam. Setelah peristiwa tersebut murid dianggap telah akil baligh (dewasa) dan wajib melaksanakan ibadah seperti shalat, puasa dan sebagainya. Seiring perubahan kondisi masyarakat, pola pendidikan agama Islam di atas ikut mengalami perubahan. Tempat mengaji yang tadinya tersebar di beberapa tempat dengan guru yang berbeda-beda dalam satu desa, mulai dikumpulkan dalam satu tempat yang biasanya bertempat di masjid atau juga dirumah guru ngaji yang masih dapat mengelola atau juga dirumah guru ngaji yang masih dapat mengelola jamaah ngaji secara maksimal. Kondisi ini biasanya disebabkan oleh peningkatan pelajaran yang sudah di dapat oleh murid sehingga ia harus berpindah ke guru lain untuk mendapatkan ilmu yang lebih tinggi. Ada juga yang mendapat ilmu yang lebih tinggi. Ada juga yang disebabkan karena si murid sekedar ingin mendapat pengalaman dan teman yang berbeda dengan berpindah ke tempat guru ngaji lain, hingga ada yang disebabkan oleh kesibukan sang
45
guru ngaji, sehingga tidak dapat mengelola pengajian secara maksiamal, sehingga dialihkan ke guru ngaji lain yang masih optimal. Selain tempat mengaji, materi pendidikan yang disampaikan juga ikut mengalami penambahan. Dari yang sekedar belajar membaca alQuran, dan ibadah (fiqh) dasar, mengalami penambahan pelajaran bahasa dan aqidah. Waktu mengaji yang biasanya diselenggarakan pada malam hari, setelah shalat maghrib, berubah menjadi sore hari. Perubahan ini terus berlangsung hingga mengikuti model pengajaran ala madrasah di mana murid tidak lagi duduk lesehan melingkar (halaqah) di musholla, surau, masjid atau rumah para guru dan wali murid. Tapi sudah masuk dalam ruang kelas dengan bangku, meja serta papan tulis sebagai instrument pengajaran. Madrasah Diniyah merupakan Madrasah Diniyah sore yang diorganisasikan berdasarkan sistem klasikal dan tidak mengikuti sistem pengajian tradisional yang individual. Begitu pula susunan pelajarannya berbeda dengan yang lain, yaitu dimulai dengan pengetahuan bahasa arab sebelum memulai membaca al-Quran. Di samping agama, juga diberikan pendidikan umum, terutama sejarah dan ilmu bumi. Dalam kelas tertinggi mata pelajaran tersebut menggunakan buku-buku berbahasa arab dan dengan begitu mata pelajaran ini lebih bersifat ektra bahasa arab daripada ilmu bumi atau sejarah.
46
2. Pesantren dan Madrasah Diniyah Pesantren dan Madrasah Diniyah merupakan dua dari tiga institusi pendidikan nasional yang telah ada sebelum Negara Indonesia ini lahir. Satunya lagi adalah Zending, sekolah Kristen yang diprakarsai pemerintah Hindia Belanda untuk tempat didik kalangan masyarakat pribumi.53 Tidak seperti pesantren dan Zending yang banyak dijadikan bahan kajian para pakar dan ahli sejarah pendidikan, Madrasah Diniyah hingga kini masih menjadi hazanah yang tak terurus. Salah satu kesatuan pendidikan ke pesantren, sehingga tereduksi peran dan posisinya. Tak kayal lagi kalau seseorang berbicara tentang Madrasah Diniyah maka yang terlintas dibenaknya adalah pesantren. Sejatinya Madrasah Diniyah merupakan istitusi pendidikan keagamaan yang berbeda dari pesantren, surau, ataupun zâwiyah. Munculnya Madrasah Diniyah didorong oleh keinginan masyarakat Islam secara luas yang merasa tidak puas terhadap pola pendidikan pesantren, surau maupun zawiyah yang dinilainya terlalu sempit dan terbatas dengan hanya mengajarkan ilmu-ilmu fardhu ‘ain. Di samping itu, model kolosal pendidikan
pesantren,
surau
maupun
zâwiyah
efektif
untuk
mengembangkan nalar santri/siswa yang sangat majmuk dan heterogen. Karena itulah, seiring dengan arus modernisasi pendidikan yang digalakkan pemerintah Kolonial, terpikir oleh para tokoh pembaru Islam untuk menyelenggarakan pendidikan secara klasikal dan berjenjang. 53
Ibid., 43-47.
47
Sesungguhnya terintegrasinya Madrasah Diniyah dalam sistem pendidikan pesantren dilakukan karena tuntutan internal maupun eksternal. Pada
pengasuh
pesantren,
surau
dan
zâwiyah
merasa
perlu
menyelenggarakan pendidikan madrasah selain karena faktor tuntutan zaman, juga karena faktor semakin membeludaknya jumlah santri yang belajar dan berguru kepadanya. Fenomena inilah yang melatarbelakangi banyak pesantren mulai beramai-ramai membuka Madrasah Diniyah. Pesantren Tebu Ireng dibawah asuhan KH. Hasyim Asy’ari mulai membuka Madrasah Diniyah, pesantren Tremas juga mulai menerapkan pola klasikal dengan dibidani santri seniornya KH. 'Ali Ma'sum, Kyai yang disebutkan belakangan ini juga membuka madrasah salafiyah di pesantren mertuanya KH. Munawir Krapyak yang awalnya dikenal sebagai pesantren al-Quran; begitupun pendidikan pesantren maupun surau, diperintahkan oleh para guru dan kiainya untuk mendirikan Madrasah Diniyah di kampung halamannya dalam rangka memenuhi kebutuhan pendidikan agama masyarakat secara luas. Dalam perkembangannya memang tidak sedikit Madrasah Diniyah yang kemudian berubah menjadi pesantren dengan pola pendidikan madrasah, seiring dengan pasang surut pesantren baik karena faktor tekanan penjajah maupun faktor melemahnya kaderisasi pesantren. Dengan demikian jelasnya, bahwa pesantren dan Madrasah Diniyah ibarat permukaan yang berbeda dari satu keping mata uang yang
48
sama. Keduanya berbeda tapi saling melengkapi dalam siklus pendidikan tradisional keagamaan. 3. Kegiatan Madrasah Diniyah Secara umum kegiatan Madrasah Diniyah diselenggarakan diwaktu sore, antara jam 14.00-15-00; karenanya sering juga disebut sekolah sore. Inisiatif
ini
di
kekurangsadaran
ambil
oleh
masyarakat
para
zaman
'ulama/kyai dahulu
ditengah-tengah
tentang
arti
penting
pendidikan bagi anak didiknya. Ada tiga alasan kenapa Madrasah Diniyah diselenggarakan di waktu sore; pertama, faktor sumber daya alam yang melimpah dengan sumber daya manusia yang minim. Disadari atau tidak kepemilihan tanah atau sawah oleh rata-rata kepala rumah keluarga di perkampungan pada tahun 40-an bisa mencapai “empat bahu” (satu bahu sama dengan 700m). Hal ini yang memicu orang tua untuk mengerahkan segala potensi yang dimiliki keluarga (termasuk anak) untuk menggarap lahan pertanian yang dimiliki keluarga. Pesantren pun untuk membiayai keberlangsungan operasionalnya, sangat bergantung pada hasil pertanian. Karenanya, kyai pesantren yang memiliki banyak lahan sawah banyak mempekerjakan para santrinya untuk bertani atau menjadi buru tani para juragan tanah disekitar pesantren dengan upah jagung atau beras untuk biaya nyantri. Pagi bekerja, sore belajar di madrasah!54 Kedua. Sebagai bias dari kolonisme yang telah memperlakukan diskriminasi kepada masyarakat pribumi dengan cara mempersulit hak 54
Ibid., 50-52.
49
ajar, masyarakat di awal-awal kemerdekaan masih kurang menyadari tentang arti penting pendidikan untuk anak-anaknya. Ketiga. Madrasah
Diniyah sore juga dimaksudkan untuk
mengimbangi pendidikan umum yang diikuti anak-anak di sekolah rakyat (SR) di waktu pagi. Memobilasi orang tua dan anak yang telah belajar di SR agar mau belajar di diniyah sore bukanlah pekerjaan mudah. Mereka yang rata-rata berlatarbelakang kelas menengah-keatas umumnya telah menganggab cukup belajar di SR. Untuk menyiasati hal ini para ulama/kiyai lebih anyak mensosialisasikan Madrasah Diniyah dengan sebutan SRI (Sekolah Rakyat Islam). Sampai sekarang Madrasah Diniyah masih mempertahankan kegiatanya diselenggagarakan pada waktu sore, dengan pertimbangan untuk memberikan tambahan wawasan keagamaan kepada siswa sekolah pagi (MI/SD, MTs/SLTP, MA/SLTA) yang memang hanya sedikit mendapatkan materi agama di almamaternya. 4. Kondisi Obyektif Madrasah Diniyah di Indonesia a. Aspek Kelembagaan Saat ini secara legal-formal, sebenarnya Madrasah Diniyah sebagai
satuan
pendidikan
keagamaan
(Islam)
telah
diakui
eksistensinya dalam UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20/2003 maupun Peraturan Pemerintah (PP No 55 Tahun 2003). keberadaannya dinilai efektif untuk menambah pengatahuan agama para anak
50
didiknya, dimana hal itu tidak mereka peroleh di bangku sekolah formal. Diniyah, sebagai salah satu jenis/satuan pendidikan keagamaan yang memberikan pendidikan umum dengan tetap mempertahankan ciri khasnya sebagai lembaga pendidikan Islam, diniyah umumnya mengkhususnya pelajaran al-Quran, hadîts, fiqh, akhlak, sejarah Islam, dan bahasa Arab. Dalam penyelenggaraannya, kebanyakan diniyah telah menggunakan pendekatan klasikal seperti umumnya madrasah. Namun, diniyah memiliki variasi kelembagaan cukup banyak, diselenggarakan oleh pesantren maupun masyarakat (ta’mir masjid), perorangan atau yayasan dan organisasi (sosial-keagamaan). Dalam kategori sistem pendidikan nasional diniyah ada yang termasuk dalam pendidikan jalur sekolah (formal) dan luar sekolah (nonformal). Diniyah yang diselenggarakan pada jalur sekolah berada pada jenjang pendidikan dasar disebut diniyah ula atau diniyah awaliyah-di daerah tertentu disebut ibtidâiyah-yang terdiri dari enam tingkat seperti madrasah ibtidaiyah. Adapun diniyah pada jenjang pendidikan menengah terdiri atas diniyah Wusthâ dan diniyah 'Ulyâ, yang masingmasing terdiri dari tiga tingkatan sebagaimana MTs dan MA. Meskipun demikian, penjenjangan ini tidak rigid dan berlaku disemua tempat. Ada khusus dimana diniyah 'Ulyâ hanya sampai kelas empat. Jika diniyah jalur sekolah sedikit lebih teratur, pada diniyah jalur luar sekolah longgar dan ciri informalnya lebih merata. Selain
51
tidak ada jenjang pendidikan, penerimaan murid juga tidak mengikuti aturan yang ketat. Diniyah luar sekolah ini umumnya mendidik murid yang sudah mengikuti pendidikan pada jalur sekolah, seperti MI/SD, MTs/SLTP, MA/SMU. Sebagai co-school (sekolah pendamping) untuk menambah atau mendalami pengetahuan agama, siswa/santri yang belajar pada jenis pendidikan ini umumnya adalah siswa sekolah madrasah yang dipagi hari menghadiri kelas di madrasah atau sekolah umum, dan sore hari menghadiri kelas diniyah. Termasuk dalam kategori diniyah ini agama, kelompok-kelompok masyarakat muslim yang menyelenggarakan pengkajian agama atau dikenal dengan majelis ta’lim. Dan pendidikan keagamaan yang memberikan pendidikan khusus penguasaan Al-Quran, yaitu Taman Kanak-kanak Al-Quran (TKA), Taman Pendidikan al-Quran (TPA/TPQ), dan Ta’lim al-Quran lil Aulad (TQA). Namun demikian secara umum secara kelembagaan Madrasah Diniyah masih menghadapi problem tersendiri. Di antaranya adalah; pertama, dari aspek penyelenggaraan, Madrasah Diniyah bernaung di bawah organisasi keagamaan seperti NU, Muhammadiyah, Persis, Tarbiyah Islâmiyah, dan lain-lain. Ada juga yang merupakan milik perorangan, yayasan, di samping yang menjadi bagian dari pesantren. Keragaman ini menimbulkan bukan saja perbedaan orientasi dan kepentingan, tetapi kendala. Kedua, kuantitas Madrasah Diniyah lebih menonjol tanpa dibarengi dengan peningkatan kualitas dalam
52
pengelolaannya. Ketiga, hambatan psikologis. Karena merasa sebagai pemilik atau pendiri yang membina Madrasah Diniyah sejak awal, sebagai pengelola (tokoh agama, organisasi keagamaan, yayasan) tidak mudah menerima perubahan yang datang dari luar, termasuk dari pemerintah.55 b. Aspek Manajemen. Pelaksanaan manajemen Madrasah Diniyah secara umum masih belum baik. Madrasah Diniyah yang dikelola yayasan, organisasi social-keagamaan, atau pesantren umumnya menghadapi kendala dalam penyelenggaraan manajemen. Tidak adanya pemisahan yang jelas antara unsur pengelolaan (pemimpin) dan penanggung jawab madrasah (kepala madrasah) dalam tugas-tugas kependidikan menyebabkan tumpang tindiknya kewenangan, hak, dan tanggung jawab masing-masing. Sentralisasi pengelolaan keuangan juga sering dirasakan oleh kepala madrasah sehingga kerapkali menghambat aktivitas pendidikan. Posisi pimpinan yang dominan ini juga menimbulkan problem pada rekruitmen kepala madrasah, guru atau tenaga kependidikan lainnya. Pengangkatan dan pemberhentikan tenaga kependidikan ini biasanya diserahkan pada mekanisme yang ditetapkan pimpinan (pengelola).
55
Ishom El Saha, Dinamika Madrasah, 83-86.
53
c. Keadaan Tenaga Pengajar (Guru) Satu keteladanan barangkali bisa ditiru para tenaga pengajar di lembaga pendidikan formal dari kinerja guru Madrasah Diniyah. Merekalah “pahlawaan tanpa tanda jasa” yang sesungguhnya, sebab kebanyakan guru Madrasah Diniyah tidak memperoleh gaji, seperti halnya guru madrasah/sekolah. Hal ini disebabkan sumber pedanaan pendidikan Madrasah Diniyah hanya cukup untuk operasional keseharian pendidikan madrasah minus kesejahteraan guru dan stafnya. Kalaupun ada tunjungan hal ini diperoleh dari dana zakat, sedekah, dan infak yang didapat setahun sekali pada saat puasa dan hari raya. Memang ada beberapa Madrasah Diniyah di daerah kota setingkat kecamatan yang bisa menyisihkan anggaran pendidikannya untuk guru. Keadaan dan kemampuan guru sesungguhnya tidak perlu menjadi hal yang perlu diperhatikan, sebab guru dituntut memiliki kemampuan dalam segala hal yang berkenaan dengan pelaksanaan pendidikan dan pengajaran. Kalau pada suatu saat ia memiliki kekurangan, ia dituntut untuk segera belajar atau meningkatkan dirinya. Bagi guru yang pengalaman pengajarannya masih sangat sedikit, kekurangan kemampuan pada guru juga perlu diperhatikan.56 Motivasinya yang mampu menggerakkan aktivitas pendidikan diniyah adalah niat yang tulus untuk berjuang (jihâd fî sabîlillâh) dari segelincir orang yang peduli akan eksistensi diniyah di tengah-tengah 56
Ibrahim, Perencanaan Pengajaran (Jakarta: Rineka Cipta, 1956), 65.
54
masyarakat. Guru Madrasah Diniyah umumnya terdiri dari pengurus masjid/musholla, guru negeri, guru agama madrasah/sekolah, santri senior dan tidak jarang dari aktivitas keseharian untuk senior dan tidak jarang dari aktivitas keseharian untuk berjuang mengajarkan agama kepada para muridnya. Pendidikan dan pekerjaan keseharian guru diniyah yang beragam itu dengan sendirinya berpengaruh kepada kinerja dan kualitas serta intensitas mengajar mereka. Seperti halnya seseorang yang memiliki 20 staf pengajar dengan profesi harian kebanyakan buruh tani dan pabrik, katanya; tingkat kehadiran guru dan ketepatan waktu mengajar paling tinggi hanya 60%. Untuk mengisi kekosongan kelas, sering kali satu guru harus mengajar di dua kelas sekaligus pada waktu bersamaan. Caranya bila seorang guru mengajar di kelas A maka murid di kelas B diberi tugas menulis mata pelajaran atau mengerjakan soal. Tentu saja kondisi seperti ini tidak efektif bagi perkembangan murid maupun Madrasah Diniyah sendiri. d. Keadaan Murid Orang tua menyekolahkan anak mereka ke madrasah masih sangat rendah, bila dibandingkan dengan sekolah formal yang setiap jenjang kelasnya bisa menampung 100 murid. Kurangnya minat orang tua menyekolahkan anak mereka ke Madrasah Diniyah biasanya dilandasi pemikiran, bahwa anak mereka sudah cukup mendapatkan pendidikan agama di “madrasah pagi”. Di samping itu padatnya kegiatan ekstra-kurikuler madrasah/sekolah
55
menyebabkan suasana Madrasah Diniyah di beberapa daerah terasa kosong. Bahkan tidak sedikit diniyah yang mengalami gulung tikar. Hal ini hendaknya mendapatkan perhatian serius dari berbagai kalangan. Sebab tujuan awal dipertahankan kekurangan diniyah adalah dalam rangka melengkapi kekurangan pendidikan agama murid sekolah/madrasah. Ke depan, Madrasah Diniyah hendaknya bisa dipikirkan agar bisa menjadi bagian penyelenggaraan pendidikan nasional. e. Pendanaan Pendanaan Madrasah Diniyah sepenuhnya mengandalkan bantuan masyarakat. Pendanaan dan anggaran diniyah umumnya dikelola
langsung
oleh
penyelenggaraan
(yayasan,
pesantren,
organisas, organisasi keagamaan). Dana yang dihimpun biasanya berasal dari empat sumber utama: (1) uang sekolah/SPP; (2) seperti biaya pendaftaran masuk, biaya ujian, laboraterium dan praktek, registrasi, dan olah raga; (3) donasi dari dermawan, lembaga-lembaga keagamaan, yayasan swasta, alumni, atau tokoh masyarakat yang simpatik dengan perkembangan madrasah yang dikelola; dan (4) zakat, infak dan sedekah. Biaya SPP bervariasi antara satu madrasah dengan madrasah lainnya, tergantung dari status ekonomi adan kemampuan keluarga siswa. Begitu pula pembagiannya sebagai pendapat madrasah. Kebanyakkan Madrasah Diniyah menetapkan SPP yang terjangkau oleh
masyarakat.
Bahkan
dibeberapa
madrasah
memberikan
56
keringanan biaya atau membebaskan anak yang kurang mampu dari biaya SPP. Akibatnya pendapatan madrasah di SPP ini tidak bisa tetap. Sumbangan dari wali murid dan sumbangan sukarela dari masyarakat setempat juga merupakan sumber pendapatan yang penting bagi Madrasah Diniyah. Sebagian besar madrasah menggunakan sumber pendapat untuk mencukupi pembiayaan operasional madrasah terutama untuk gaji guru, karyawan, persediaan kelengkapan sekolah dan layanan-layanan penting lainnya. Hanya sebagian kecil saja Madrasah
Diniyah
yang
dapat
mengalokasikan
dana
untuk
meningkatkan fasilitas, bahan-bahan belajar, perawatan madrasah, atau pembinaan akademis. Jika dana ini tidak mencukupi untuk biaya operasional, pengelola madrasah biasanya menutupi sumbangan yang jumlahnya bervariasi menurut kebutuhan madrasah dan situasi ekonomi masyarakat setempat. Kalaupun tidak sebanding dengan kebutuhan dan jumlah Madrasah Diniyah. f. Gedung dan Sarana Prasarana Secara umum kegiatan belajar mengajar diniyah dilakukan di gedung madrasah pagi dan masjid. Di banyak daerah rata-rata yang menyelenggarakan Madrasah Diniyah merupakan pemilik lembaga pendidikan formal, sehingga gedung, sarana dan prasarana yang dipakai untuk kegiatan belajar mengajarnya. Madrasah Diniyah yang memiliki gedung, sarana dan prasarana sendiri hanyalah Madrasah Diniyah berdiri di tengah-tengah pesantren.
57
Hal ini bisa dimaklumi mengingat keterbatasan yang ada pada Madrasah Diniyah.57 g. Aspek Evaluasi Penilaian atau evaluasi (evaluation) berarti suatu tindakan untuk menentukan nilai sesuatu. Bila penilaian (evaluasi) digunakan dalam dunia pendidikan, maka penilaian pendidikan berarti suatu tindakan untuk menentukan segala sesuatu dalam dunia pendidikan.58 Meski Madrasah Diniyah tergolong pendidikan tradisional tapi tetap menerapkan evaluasi pendidikan. Umumnya evaluasi yang diterapkan di Madrasah Diniyah dikelompokkan menjadi tiga; (1) Ulangan yakni dengan mengevaluasi kemampuan murid memahami satu topik bahasan, dengan materi yang telah tersedia di dalam setiap topik pada buku mata pelajaran; (2) Cawu yakni ujian yang diselenggarakan 3 kali setahun, dengan materi pernyataan yang dibuat sendiri oleh guru atau tim; dan (3) Imtihân (ujian) yakni evaluasi tahunan yang diselenggarakan pada akhir tahun satu kelas ataupun satu jenjang. Evaluasi ini sudah sejak dahulu dikenal di lingkungan Madrasah Diniyah. Bahkan sebelum ada ikhtiyar Departemen Agama untuk menyelenggarakan evaluasi bernama melalui KKM (Kelompok Kerja Madrasah), diniyah sudah mempraktekkan evaluasi pendidikan. Sebagai bahan catatan prestasi murid, Madrasah Diniyah biasanya 57
Ibid., 93-95. Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2000), 207. 58
58
membeli buku raport dan ijazah yang diterbitkan oleh penerbitpenerbit khusus yang menyediakan kebutuhan diniyah, seperti Menara Kudus, Thaha Putra. Hanya saja setelah Departemen Agama membentuk KKM, kini penyelenggaraan evaluasi termasuk bahan-bahan dan legalisasinya telah
difasilitasi oleh
Departemen
Agama
di masing-masing
kabupaten/kota. Meskipun demikian memang diakui bahwa formalitas, kualitasnya jauh berbeda dengan penerapan evaluasi diniyah sebelum tahun 80-an dimana seorang murid harus betul-betul menguasai materi. Misalnya murid diajarkan Matân al-Jurûmiyah berarti pada saat imtihân ia harus dapat menghafalkannya. Kini model evaluasi semacam itu sudah langka diterapkan di Madrasah Diniyah.
C. Pertumbuhan Madrasah Diniyah di Indonesia 1. Kelemahan Pendidikan Madrasah Diniyah Pendidikan amat penting bagi kehidupan manusia, karena ia merupakan jalan dan cara untuk membentuk kepribadian dalam usaha mencapai cita-cita dan tujuan hidupnya.59 Dalam pendidikan, Madrasah Diniyah ada beberapa penerapan bahkan penyusunan kurikulum yang tidak sesuai. Di antaranya: Pertama, belum ada kurikulum yang tertulis. Mereka tidak mempunyai panduan dalam penerapan kurikulum tersebut. Namun tujuan utama dari
59
207.
Rochidin, Wahab, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Bandung: Alfabeta, 2004)
59
penyelenggaraan Madrasah Diniyah ini adalah memberikan bekal kepada murid untuk bisa membaca kitab suci al-Qur'an dengan baik dan benar. Kedua, kurikulum dipahami hanya sebatas buku-buku yang dipergunakan dan dijadikan acuan belajar. Penjabaran-penjabaran semisal target pencapaian, standar kompetensi atau pembagian tema-tema setiap pertemuan tidak menjadi hal yang penting. Ketiga, pendekatan kurikulum yang dipergunakan adalah menamatkan buku secara berurutan dan berjenjang. Seorang ustâd akan mengganti buku pegangannya dengan kitab yang lebih tinggi statusnya jika telah menamatkannya. Mereka menyebutnya "untuk tabarûkan" (mengambil berkah) dari buku yang dipelajarinya. Keempat, ketaktersedianya SDM yang tangguh. Para pengelola Madrasah Diniyah terutama yang jauh dari pondok pesantren banyak dikelola oleh orang tua yang nota bene adalah pensiunan PNS yang dibantu oleh beberapa pemuda setempat yang menjadi asistennya dalam mengajar baca tulis huruf al-Qur'an. Ada beberapa langkah taktis dan strategis yang perlu diperlihatkan dalam pengembangan Madrasah Diniyah di antaranya yaitu: a. Penyelenggaraan dan pembekalan bagi guru-guru Madrasah Diniyah tentang materi metode dan strategi pembelajaran yang menarik dan disesuaikan dengan kompetensi daerahnya masing-masing adalah sebuah keharusan. Karena, sebagian besar pengelola Madrasah Diniyah mengeluhkan ketiadaan-ketiadaan kreasi para pengajarnya
60
dalam proses pembelajarannya ini pula yang mengakibatkan pendidikan diniyah di Madrasah Diniyah kurang diminati calon siswa. b. Perlu pengiriman buku-buku pelajaran standar Madrasah Diniyah untuk wilayah-wilayah yang belum mempunyai kurikulum sendiri dan di bawah standar nasional. Jikalau Madrasah Diniyah yang berada di pondok pesantren telah mempunyai standar kompetensi lulusan, namun dalam Madrasah Diniyah di tengah masyarakat, standar kelulusan dan juga buku-buku yang dipergunakan sangat terbatas, sehingga tidak jarang Madrasah Diniyah yang ada hanya seperti pengajian biasa yang mengajarkan baca tulis al-Qur'an saja. c. Penyelenggaraan pengawasan, pembinaan dan pendampingan bagi masing-masing Madrasah Diniyah per region yang tersebar di berbagai wilayah yang meliputi, manajemen, pembelajaran dan lain sebagainya. Hal ini dimaksudkan untuk mengontrol perjalanan Madrasah Diniyah menuju madrasah yang bermutu dan berdaya saing serta berdaya guna bagi masyarakat. Para pengelola mengeluhkan bahwa keberadaan mereka selama ini kurang begitu diperhatikan. d. Membangun kerjasama dengan pemerintah-pemerintah lokal baik tingkat propinsi maupun kabupaten. Hal ini terkait dengan pengalokasian anggaran pendidikan. Beberapa wilayah sangat memperhatikan keberadaan Madrasah Diniyah. Di wilayah lain, Madrasah Diniyah tidak diperhatikan sama sekali dan dibiarkan hidup mandiri. Kerjasama dengan pemerintah lokal ini diharapkan minimal
61
bisa membantu dalam hal pendanaan dan pemenuhan sarana prasarana serta kegiatan pembelajaran.60 Permasalahan lain yang cukup sering dijumpai di madrasah secara umum adalah tentang kurang mantapnya perencanaan yang dibangun dalam mendirikan madrasah. Sebagaimana diketahui, lembaga pendidikan madrasah sebagian besar didirikan oleh yayasan atau lembaga keagamaan, yang memotivasi utamanya lebih merupakan keinginan
untuk
menghasilkan
melaksanakan
peserta
didik
dakwah
yang
Islam
berilmu,
yang
berperilaku
dapat dan
mengamalkan ilmu-ilmu agama untuk bekal di akherat nanti. Hal serupa juga menjadi motivasi utama orang tua menyekolahkan anaknya di madrasah. Motivasi pendirian madrasah sering tanpa disertai dengan persiapan yang matang. Baik dari segi tenaga pengajar maupun dana atau sarananya yang penting bahwa pendirian itu merupakan bagian dari ibadah kepada Allah, dengan harapan para pendirinya mendapatkan pahala dari-Nya. Di samping, sering juga pendirian madrasah itu tanpa perkembangan, apakah di daerah dekatnya sudah ada madrasah serupa atau belum, sehingga di beberapa tempat terlihat banyaknya madrasah yang letaknya berdekatan antara satu sama lainnya, dengan jumlah murid yang kecil pula.61
60 http://www.pondok pesantren.net/ponpren/index.php?option=com.content&task=viw& did= 189&iteid=28. 61 http://el.muttaqie.wordpress.com/tag/beberapa kelemahan mendasar madrasah/bag2/2008/ 09/06.
62
2. Pendidikan Madrasah Diniyah Ideal Madrasah Diniyah mempunyai peranan yang vital dalam menanamkan nilai dan ilmu-ilmu agama ke dalam diri para santri. Apalagi ditinjau dari perannya sebagai lembaga pendidikan pendukung bagi lembaga pendidikan formal yang dilaksanakan oleh pesantren. Hanya saja disayangkan bahwa sistem pendidikan yang dilaksanakan di Madrasah Diniyah lebih banyak terkesan biasa saja. Oleh karena itu perlu dirumuskan model pendidikan yang ideal untuk Madrasah Diniyah. Ada banyak langkah yang bisa ditempuh untuk mewujudkan model pendidikan Madrasah Diniyah yang ideal, antara lain: a. Integralisasi sistem pendidikan Madrasah Diniyah ke dalam sistem pendidikan formal pesantren. Begitu juga pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di pesantren harus disamakan dan disejajarkan dengan pendidikan formal, dalam hal alokasi waktu, sistem, dan prosesnya. Ini berarti bahwa pendidikan formal pesantren dan pendidikan yang diselenggarakan Madrasah Diniyah adalah satu kesatuan yang utuh dan integral. b. Penerapan manejemen pendidikan secara benar dalam Madrasah Diniyah. Meskipun Madrasah Diniyah bukan pendidikan formal, proses dan kegiatan belajar mengajarnya harus dimanaj dengan baik. Dalam hal ini prinsip-prinsip manajemen pendidikan yang diterapkan dalam lembaga-lembaga pendidikan formal juga harus di Madrasah Diniyah. Agar tujuan pendidikan yang telah ditetapkan oleh Madrasah
63
Diniyah, yakni melahirkan santri yang "mumpuni", penguasaan ilmuilmu agama dapat tercapai.62 c. Sistem pembelajaran yang dilaksanakan harus mengacu kepada pola pembelajaran yang terpola dan berpedoman kepada "kurikulum". Ini berarti pembelajaran yang dilaksanakan di Madrasah Diniyah harus terstruktur dengan baik. Misalnya dalam penyampaian materi kepada santri dalam setiap jam pelajaran, guru harus menetapkan tujuan instruksional umum dan tujuan tujuan instruksional khusus yang ingin dicapai. Singkatnya, sistem pembelajaran yang dilaksanakan di Madrasah Diniyah harus mengikuti pola sistem-sistem pembelajaran yang dilaksanakan di lembaga-lembaga formal. d. Melengkapi Madrasah Diniyah dengan media pendidikan yang sesuai. Seperti diketahui bahwa materi-materi pelajaran agama pun, dalam banyak hal membutuhkan media-media pendidikan untuk "praktikum", dengan tujuan untuk lebih memudahkan pemahaman dan penguasaan santri terhadap materi yang disampaikan. Penjelasan tentang ibadah haji misalnya, sangat bagus jika pihak pengelola mempersiapkan alat peraga berupa ka'bah-ka'bahan yang terbuat dari kayu triplek atau gabus, agar dapat dipraktekkan bagaimana pelaksanaan ibadah haji yang benar. Misalnya bagaimana melaksanakan thawaf (mengelilingi ka'bah sebanyak 7 kali) yang benar.63
62
Peningkatan Mutu Terpadu Pesantren dan Madrasah Diniyah (Jakarta: Diva Pustaka, 2006), 102. 63 Ibid., 103.
64
3. Pertumbuhan Madrasah Diniyah Meski posisi Madrasah Diniyah telah diambil alih oleh madrasah formal, hal ini tidak sekaligus berarti mematikan semangat para ulama untuk mempertahankan eksistensi Madrasah Diniyah. Madrasah Diniyah masih tetap diselenggarakan dengan mengambil jam pelajaran di waktu sore/malam, meskipun hanya dua atau tiga jam dalam seharinya. Bahkan pada separuh terakhir tahun 1980-an ada yang menghidupkan para pengelola sekolah/madrasah formal untuk menghidupkan kembali Madrasah Diniyah untuk memenuhi kebutuhan pendidikan agama pelajar yang dirasa kurang sewaktu belajar di sekolah. Dalam realisasinya memang pertumbuhan Madrasah Diniyah tidak begitu signifikan pada tahun 1980-an, karena faktor: (1) minat siswa yang “setengah-setengah” akibat benturan dengan kegiatan ekstra sekolah; dan (2) rendahnya kemampuan siswa dalam hal menulis dan membaca huruf Arab pada umumnya dan al-Qur’an pada khususnya. Faktor inilah yang kemudian mengalami pendirian Taman Pendidikan al-Qur’an (TPA/TPQ) dari pada Madrasah Diniyah, terutama diwilayah perkotaan. Selain itu juga pemerintah juga lebih memilih untuk membuka program baru bernama Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) pada 1987 dengan perbandingan jam pelajaran agama: pelajaran umum sekitar 70% : 30%. Dengan adanya program MAPK, pembelajaran kitab-kitab agama tidak
perlu
disembunyi-sembunyikan
pesantren tetapi sebagai kurikulum formal.
seperti
madrasah-madrasah
65
Walau demikian, kegigihan ulama, para guru, dan partisipasi aktif masyarakat yang sadar akan arti penting keberadaan Madrasah Diniyah di tengah-tengah berlangsungnya sistem pendidikan nasional akhirnya memetik hasil. Perjuangan tanpa henti tersebut berhasil mengetuk pemerintah untuk “mengakui” keberadaan diniyah. Dalam UU dijelaskan bahwa pendidikan nasional mencakup jalur sekolah dan luar sekolah, jenis-jenis pendidikan akademik, propesional, kejurusan, dan keagamaan. Madrasah Diniyah sendiri digolongkan ke dalam pendidikan luar sekolah keagamaan yang bertujuan secara terusmenerus memberikan pendidikan agama kepada peserta didik yang tidak terpenuhi pada pendidikan jalur sekolah. Depertemen agama pun yang menaungi penyelenggara pendidikan keagamaan tidak mau tertinggal untuk memanfaatkan momentum ini, dengan mengeluarkan tiga bentuk keajaiban dalam waktu yang berbeda: pertama, pada tahun 1994 depertemen agama cq Direktorat Pembinaan Perguruan Agama Islam (Ditbinrau Islam) cq Subdit Pembinaan Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah mencoba mengembangkan kurikulum Madrasah Diniyah dalam kurikulum diniyah 'Ulyâ dan Wusthâ. Kedua, pada tahun 1993 lewat Keputusan Mentri Agama No. 371 Tahun 1993, tentang Madrasah Aliyah Keagamaan. Kebijakan ini dasarnya melanjutkan program Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) pada 1987 yang di perlebar pemberlakuannya ke madrasahmadrasah aliyah secara umum, dan madrasah pesantren pada umumnya.
66
Sebagian besar madrasah materi agama ini merupakan kesempatan pertama menghirup udara segar selama bertahun-tahun mempraktekkan “tradisi
pembelajaran
telah
menerapkan
model
madrasah
aliyah
keagamaan”. Ketiga, berkaitan dengan upaya peningkatan kualitas pendidikan Islam dan perencanaan program wajib belajar 9 tahun (wajar 9 tahun), yaitu dengan adanya Madrasah Tsanawiyah Terbuka (MTs Terbuka) yang menerapkan Madrasah Diniyah 'Ulyâ dan Wusthâ secara baik dari segi manajemen maupun pendidikannya. Pola penyelenggaraan MTs Terbuka ini mengacu kepada pola penyelenggaraan SMP Terbuka yang diselenggarakan oleh Depaartemen Pendidikan dan kebudayaan (sekarang Diknas) dengan tambahan ciri khas agama. Tujuannya adalah agar murid Madrasah Diniyah/santri pesantern yang telah lulus MI/SD dan tidak lanjut ke jenjang sekolah formal tetapi memilih belajar di Madrasah Diniyah/pesantren, dapat memperoleh hak ajar dan pengakuan yang sama seperti lulusan SMP/MTs. Dengan seiring pergantian pemimpin baik di Departemen Agama maupun Departemen Pendidikan Nasional. Kini, Madrasah Diniyah secara khusus berada dalam kewenangan subdit khusus dibawah direktorat pendidikan keagamaan dan Pondok Pesantren (pekapontren), dengan nama subdit Diniyah dan Pendidikan Keagamaan meskipun adalah satu atas ini bisa memaklumi karena praktek penyelenggaraan pendidikan diniyah antara satu daerah dengan daerah lain ternyata berbeda.
67
Cikal bakal berkembangnya Madrasah Diniyah di Indonesia terdapat perbedaan kronologinya, terutama di Jawa dan Sumatera. Tradisi diniyah
di Jawa pada dasarnya merupakan perluasan dari pendidikan
pesantren, di mana pendirinya selain memaksudkan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan agama santri yang tidak mukim di pesantren, juga berperan untuk menyiapkan kemampuan dasar (ibtidâ'iyah) anak-anak dan remaja sebelum mereka belajar di pesantren. Hal ini berbeda dengan tradisi diniyah di Sumatera yang pada umumnya didirikan sebagai pengaruh pendidikan modern, maka pelaksanaan pendidikan diniyah di jawa selalu berkesenimbungan dengan pendidikan pesantren, baik dari sisi kurikulum maupun materi ajar. Diniyah terakhir inilah yang dimasudkan masuk dalam wilayah urusan diniyah yang dimaksudkan departemen agama. Sedangkan diniyah yang berkembang di luar jawa, yang biasa disebut surau atau lainnya, dikategorikan sebagi pendidikan keagamaan. Keduanya sampai sekarang masih tetap eksis ditengah urusan perubahan orientasi pendidikan nasional.64 4. Perkembangan Madrasah Diniyah Formal Kecintaan masyarakat terhadap Madrasah Diniyah masih cukup besar. Perbedaan sosial seperti jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan dan pekerjaan tidak menghalangi semangat masyarakat untuk memberikan
64
Ishom El Saha, Dinamika Madrasah Diniyah di Indonesia Menelusuri Akar Sejarah Pendidikan Non Formal, 78-81
68
dukungan kepada Madrasah Diniyah.65 Melalui hubungan baik yang formal maupun non formal biasanya ditemukan formula-formula untuk memajukan madrasah. Untuk menyamakan kurikulum misalnya, bisa dilakukan melalui pertemuan formal dengan mengambil tempat yang khusus dan biasanya diprakarsai oleh Departemen Agama. Inilah yang kemudian terakumulasi menjadi kegiatan-kegiatan dan sadar atau tidak menjadi dukungan masyarakat terhadap Madrasah Diniyah. Tidak lain dan tidak bukan dukungan tersebut dimotivasi tinggi untuk memajukan pendidikan agama dan keagamaan serta kecintaankecintaan mereka terhadap Madrasah Diniyah di daerah masing-masing.66 Sistem pendidikan dan pengajaran yang digunakan di madrasah merupakan perpaduan antara sistem pondok pesantren dengan sistem yang berlaku pada sekolah-sekolah modern.67 Pendidikan diniyah merupakan pendidikan keagamaan Islam yang diselenggarakan pada semua jalur jenis pendidikan.68 Madrasah Diniyah seperti yang dikenal masyarakat selama ini dalam pendidikan agama dan keagamaan disebut diniyah ta'limiyah, yang berarti diniyah suplemen (penyempurna). Penamaan diniyah ta'limiyah disebabkan karena madrasah akan diproyeksikan menjadi satuan pendidikan
65
formal.
Jika
Madrasah
Diniyah
diformalkan
maka
Wahid, Khozin, Edukasi Jurnal Pendidikan Agama dan Keagamaan (Jakarta: Redaksi Edukasi, 2006), 114. 66 Ibid., 115. 67 Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), 71. 68 PP. Np. 55 pasal 15-16 tahun 2007.
69
konsekuensinya, menurut UU Sisdiknas, harus memenuhi kriteria dan aturan pendidikan formal, yakni harus berbentuk satuan pendidikan, lengkap dengan persyaratan ijin pendirianya dan pula akan diakreditasi oleh pemerintah. Untuk menghindarkan hal-hal yang semacam ini maka Madrasah Diniyah dalam UU ini lalu dihindarkan dari formalitas semacam itu agar tetap esksis dan punya peranan strategis sebagai lembaga pendidikan suplemen.69 Yang dimaksud dengan lembaga pendidikan suplemen adalah bahwa Madrasah Diniyah yang sudah populer melayani siswa-siswa sekolah umum itu tetap bisa melayani penambahan pelajaran agama di luar jam sekolah.70 Dalam pendidikan diniyah yang diatur dalam PP No. 55 Tahun 2007, dengan memberikan penambahan-penambahan kompetensi serta lulus dari ujian nasional, maka lulusan lembaga-lembaga pendidikan memiliki hak yang sama dengan lulusan sekolah formal. Ini semua dikembangkan semata untuk memperkuat akses masyarakat terhadap pendidikan, sehingga rating SDM bangsa kita bisa meningkat.71 5. Pendidikan Diniyah Formal Pondok pesantren dipandang menjadi salah satu lembaga sosial independen alternatif dalam bidang etos ekonomi dan visi moral yang 69
Muhammad Khalid Fathoni, Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional Paradigma Baru (Jakarta: Departemen Agama RI, 2005), 104. 70 Ibid., 105. 71 Dede Rosyada, Arah Kebijakan Pembangunan Pendidikan di Indonesia (Sidoarjo: Seminar Nasional Pendidikan, 2008), 3.
70
dipimpin kiai bagi suatu perubahan. Dengan berkembangnya tuntunan dan kebutuhan masyarakat, pesantren menyediakan layanan pendidikan Islam bagi para santrinya mulai dari pendidikan dasar sampai dengan perguruan tinggi. Adanya varian pendidikan di lingkungan pesantren, menjadikan para santri memiliki pilihan pendidikan Islam sampai dengan minat dan bakatnya. Ketika internal pesantren mengalami perubahan dalam bidang pendidikan, terjadi dua pola pendidikan, yakni pola pendidikan pesantren salafî (pesantren yang mengkhsuskan pada ilmu keislaman) dan pola pendidikan khalafî (memadukan pendidikan agama dan pendidikan umum). Pendidikan Madrasah Diniyah merupakan bagian dari sistem pendidikan pesantren yang wajib dipelihara dan dipertahankan. Lahirnya peraturan pemerintah No. 55 Tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan merupakan peluang sekaligus tantangan. Peluang, karena PP tersebut telah mengakomodir keberadaan pendidikan diniyah dan pendidikan pesantren. Sedangkan tantangan yang akan dihadapi adalah bagaimana para pengasuh pesantren dan pengelola pendidikan diniyah secara arif dalam merespons pemberlakuan PP tersebut. Standarisasi pendidikan Madrasah Diniyah merupakan salah satu solusi dan alternatif yang harus dilakukan. Apapun bentuk atau pola standarisasi pendidikan Madrasah Diniyah yang akan diberlakukan, harus memperhatikan dua pilar utama sebagai berikut:
71
a. Pilar Filosofis, merupakan pilar yang dijadikan pijakan bahwa Madrasah Diniyah adalah fardhu 'ain untuk dipertahankan sebagai lembaga pendidikan tafaqqun fî al-dîn melalui sumber pembelajaran pada kitab-kitab kuning yang merupakan ide, cita-cita dan simbol keagungan dari pondok pesantren. b. Pilar Sosiologis adalah pilar yang dijadikan dasar pemikiran bahwa Madrasah Diniyah tidak berada dalam ruang kosong, tetapi ia bagian dari sistem sosial yang lebih luas untuk memberikan layanan pendidikan sesuai dengan kebutuhan dan tuntunan masyarakatnya. Dengan kedua pilar di atas, pendidikan madrasah dinyah di satu pihak akan mampu mempertahankan watak aslinya (salafî) sebagai tafaqquh fî al-dîn dan mampu mengakomodir tuntunan dan kebutuhan masyarakat dalam dunia pendidikan.72 Pendidikan diniyah formal menyelenggarakan pendidikan ilmuilmu yang bersumber dari ajaran Islam pada jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Pendidikan diniyah dasar menyelenggarakan pendidikan dasar sederajat MI/SD yang terdiri atas (enam) tingkat dan pendidikan diniyah menengah pertama sederajat MTs atau SMP yang terdiri atas 3 (tiga) tingkat.73
72 Hamid Syarif, Masa Depan Pesantren di Era Teknologi Informasi, 2008. http://pesantrenkranji.net/situs/index.php?option=com)_content&task=viewgid=53&itemid=1, diakses 9 Oktober 2008 73 PP. No. 55 pasal 15-16 tahun 2007.
72
Dalam pengembangan diniyah diarahkan untuk mewujudkan lembaga yang berkualitas, mandiri, berdaya saing, dan kuat kedudukannya dalam sistem pendidikan nasional. Dengan demikian Madrasah Diniyah mampu
menjadi
pusat
unggulan
pendidikan
agama
Islam
dan
pengembangan masyarakat dalam rangka pembentukan watak dan kepribadian santri sebagai muslim yang taat dan warga negara yang bertanggung jawab.74 Menurut peraturan pemerintah no 55 pasal 18 ayat 1 tahun 2007 pendidikan diniyah dasar formal wajib memasukkan muatan pendidikan kewarganegaraan, bahasa Indonesia, matematika dan ilmu pengetahuan alam dalam rangka pelaksanaan program wajib belajar dan ujian nasional pendidikan
diniyah
dasar
dan
menengah
diselenggarakan
untuk
menentukan standar pencapaian kompetensi peserta didik atas ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran Islam.75
74 75
Bina Pesantren, 60. PP. No. 55 pasal 15-16 tahun 2007.
73
BAB III PERATURAN PEMERINTAH NO. 55 TAHUN 2007 TENTANG PENDIDIKAN AGAMA DAN PENDIDIKAN KEAGAMAAN
A. Latar Belakang Peraturan Pemerintah RI Nomor 55 Tahun 2007 Undang-undang Dasar Negara RI tahun 1945 pasal 31 ayat: 3, berbunyi “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan UndangUndang”. Atas dasar amanat Undang-Undang 1945 tersebut, Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 3 menyatakan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulai, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dalam penjelasan umum Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ditegaskan bahwa strategi pertama dalam melaksanakan pembaharuan sistem pendidikan nasional adalah “pelaksanaan pendidikan agama dan akhlak mulia”. Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 37 ayat (1) Mewajibkan pendidikan agama dimuat dalam kurikulum pendidikan dasar, menengah dan tinggi. Pendidikan agama pada
74
jenis pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, dan khusus disebut pendidikan agama. Penyebutan pendidikan agama ini dimaksudkan agar agama dapat dibelajarkan secara lebih luas dari sekedar mata pelajaran/kuliah agama. Pendidikan agama dengan demikian sekurangkurangnya perlu berbentuk mata pelajaran Pendidikan Agama untuk menghindari kemungkinan peniadaan agama disuatu satuan pendidikan dengan alasan telah dibelajarkan secara terintegrasi. Kententuan tersebut terutama pada penyelenggaraan pendidikan formal dan pendidikan kesetaraan. Pendidikan
keagamaan
pada
umumnya
diselenggarakan
oleh
masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh dan untuk masyarakat. Pendidikan keagamaan juga berkembang akibat mata pelajaran/kuliah pendidikan agama yang dinilai menghadapi berbagai keterbatasan. Sebagian masyarakat mengatasinya dengan pendidikan agama di rumah, rumah ibadah, atau di perkumpulan-perkumpulan yang kemudian berkembang menjadi satuan atau program pendidikan keagamaan formal, nonformal atau informal. Secara
historis,
keberadaan
pendidikan
keagamaan
berbasis
masyarakat menjadi sangat penting dalam upaya pembangunan masyarakat belajar, terlebih lagi karena bersumber dari aspirasi masyarakat yang sekaligus mencerminkan kebutuhan masyarakat sesungguhnya akan jenis layanan pendidikan. Dalam kenyataan terdapat kesenjangan sumber daya yang besar antar satuan pendidikan keagamaan. Sebagai komponen Sistem Pendidikan Nasional pendidikan keagamaan perlu diberi kesempatan untuk berkembang,
75
dibina dan ditingkatkan mutunya oleh semua komponen bangsa, termasuk pemerintah dan pemerintah daerah. Rancangan peraturan pemerintah tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan merupakan kesepakatan bersama pihak-pihak yang mewakili umat Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu.76
B. Sejarah Munculnya PP No. 55 Tahun 2007 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pada pasal 37 ayat (1) mewajibkan pendidikan agama dimuat dalam kurikulum pendidikan dasar, menengah dan tinggi. Pendidikan agama pada jenis pendidikan umum kejuruan, akademik, profesi, vokasi dan khusus disebut "pendidikan agama". Penyebutan pendidikan agama ini dimaksudkan agar agama dapat dipelajarkan secara lebih luas dari sekedar mata pelajaran atau kuliah agama.77 Sedangkan
pendidikan
keagamaan
adalah
lembaga-lembaga
keagamaan yang selama ini berkembang di masyarakat seperti pesantren, diniyah, sekolah minggu Buddhis, Pabbajja Samanera dan lain-lain.78 Ormas Kristen sebenarnya menolak keberadaan PP, karena pemerintah turut mengatur atau ikut campur tangan. Menurutnya, pendidikan keagamaan adalah pendidikan dari keluarga dan orang tua pribadi dan lebih kental hak asasi manusia.
76
PP. No. 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan, 12-13. ibid, 12. 78 Muhammad Kholid Fathoni, Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional Paradigma Baru (Jakarta: Departemen Agama RI, 2005), 26. 77
76
Jadi sudah sepantasnya pemerintah tidak ikut campur, namun karena sudah ada PP-nya, maka sangat diharapkan pemerintah juga memperhatikan sekolah-sekolah swasta yang sudah lama berkecimpung di bidang agama dan keagamaan. Pemerintah sekiranya dalam memperhatikan masalah pendidikan agama dan keagamaan sekiranya tidak pilih kasih dan mengenyampingkan LPK swasta. Terwujudnya PP No. 55 Tahun 2007 ini merupakan tuntunan dari undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (Sisdiknas) yang menyatakan bahwa pendidikan agama dan keagamaan perlu diatur dengan peraturan pemerintah. Pemerintah harus mengimplementasikannya sehingga memberi pencerahan bagi lembaga pendidikan keagamaan khususnya yang dikelola oleh swasta.79 Dengan lahirnya PP, kemungkinan akan melahirkan ketentuan baru, yakni adanya pengaturan langsung di lapangan yang akan mengubah ketentuan, khususnya mengenai pendidikan agama di sekolah.80
C. Isi Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2007 Adapun isi Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan adalah sebagai berikut:81 1. Pendidikan Agama Pendidikan
agama
adalah
pendidikan
yang
memberikan
pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian dan keterampilan peserta 79
http://www.hariankomentar.com/arsip/arsip2007/nov.20/Lk Mim 001.html. http://www.reformata.com/index.php/m=mewe&a=view didi=257 & print=1 81 PP. No. 55 tahun 2007, 1-5 80
77
didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan sekurangkurangnya melalui mata pelajaran/kuliah pada semua jalur jenjang dan jenis pendidikan. Pendidikan agama berfungsi membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan mampu menjaga kedamaian dan kerukunan hubungan inter dan antar umat beragama. Pendidikan agama bertujuan untuk berkembangnya kemampuan peserta didik dalam memahami, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai agama yang menyerasikan penguasaannya dalam ilmu pengetahuan teknologi dan seni. Dalam setiap satuan pendidikan pada semua jalur jenjang dan jenis pendidikan wajib menyelenggarakan pendidikan agama. Pengelolaan pendidikan agama dilaksanakan oleh Menteri Agama, dalam kurikulum pendidikan agama dilaksanakan sesuai standar nasional pendidikan. Pendidikan agama diajaraan sesuai dengan tahap perkembangan kejiwaan peserta didik. Pendidik pendidikan agama pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah disediakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah sesuai kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan perundang-undangan. 2. Pendidikan Keagamaan Pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan
78
pengetahuan tentang ajaran agama dan menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran agamanya. Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya atau menjadi ahli ilmu agama. Pendidikan keagamaan bertujuan untuk terbentuknya peserta didik yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya atau menjadi ahli ilmu agama yang berwawasan luas, kritis, kreatif, inovatif dan dinamis dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang beriman, bertakwa dan berakhlak mulia. Pendidikan keagamaan meliputi pendidikan keagamaan Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu dan diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, non formal dan informal. Pengelolaan pendidikan keagamaan dilakukan oleh Menteri Agama. Peserta didik pada pendidikan keagamaan jenjang pendidikan dasar dan menengah yang terakreditasi berhak pindah ke tingkat yang setara di Sekolah Dasar (SD), Madrasah Ibtidâiyah
(MI),
Sekolah
Menengah
Pertama
(SMP),
Madrasah
Tsanawiyah (MTs), Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah 'Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah 'Aliyah Kejuruan (MAK) atau bentuk lain yang sederajat setelah mengikuti persyaratan.
79
3. Pendidikan Diniyah Formal Pendidikan diniyah formal adalah pendidikan keagamaan Islam yang diselenggaakan pada semua jalur dan jenjang pendidikan. Pendidikan keagamaan Islam berbentuk pendidikan diniyah dan pesantren. Pendidikan diniyah formal menyelenggarakan pendidikan ilmuilmu yang bersumber dari ajaran agama Islam pada jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi Pendidikan diniyah dasar menyelenggarakan pendidikan dasar sederajat MI / SD yang terdiri atas 6 (enam) tingkat dan pendidikan diniyah menengah pertama sederajat MTs / SMP yang terdiri atas 3 (tiga) tingkat dan pendidikan diniyah menengah atas sederajat MA / SMA yang terdiri atas 3 (tiga) tingkat. Untuk dapat diterima menjadi peserta didik pendidikan diniyah dasar seorang harus berusia sekurang-kurangnya 7(tujuh) tahun. Dalam hal daya tampung satuan pendidikan masih tersedia maka seseorang yang berusia 6 (enam) tahun dapat diterima sebagai peserta didik pendidikan diniyah dasar. Untuk dapat diterima peserta didik pendidikan diniyah menengah pertama seseorang harus berijazah pendidikan dasar atau yang sederajat. Untuk dapat diterima peserta didik pendidikan diniyah menengah atas seseorang harus berijazah pendidikan diniyah menengah pertama atau yang sederajat.
80
Kurikulum pendidikan diniyah dasar formal wajib memasukkan muatan pendidikan kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam dalam rangan pelaksanaan program wajib belajar. Kurikulum pendidikan diniyah menengah formal wajib memasukkan muatan pendidikan kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam serta seni dan budaya. Pendidikan diniyah pada jenjang pendidikan tinggi dapat menyelenggarakan program akademik, fokasi, dan profesi berbentuk universitas, institut, atau sekolah tinggi. Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan untuk setiap program studi pada perguruan tinggi keagamaan islam selain menekankan pembelajaran ilmu agama, wajib memasukkan pendidikan kewarganegaraan dan bahasa Indonesia.
81
BAB IV IMPLIKASI PP NO 55 TAHUN 2007 TERHADAP MADRASAH DINIYAH
D. Posisi Pendidikan Madrasah Diniyah Sebelum PP No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan Madrasah Diniyah merupakan sejenis lembaga pendidikan ilmu agama suplemen (penyempurna), diselenggarakan oleh pesantren atau bukan, yang misinya menyediakan pendidikan tambahan ilmu agama bagi peserta didik yang sudah menempuh pendidikan formal di waktu lain. Dalam suatu daerah, Madrasah Diniyah ada yang diselenggarakan di sore hari, malam atau kapan saja. Selain sebutan Madrasah Diniyah, orang awam menyebutnya sekolah Arab, karena bahan ajarannya hampir semua menggunakan tulisan arab, setidaknya arab pegon. Madrasah Diniyah merupakan sistem belajar yang dilaksanakan di pesantren salafiyah karena sejak dulu penyelenggaraannya secara tradisional. Proses belajar mengajarnya menggunakan metode "halaqoh" yaitu santri mengelilingi kyai, dengan sistem "bendongan" yaitu kiai menyampaikan materi agama secara kolosal kepada santrinya tanpa membedakan jenjang dan usia santri dan "sorogan" yaitu santri membaca langsung di hadapan kyai, sesuai dengan unggahan atau materi yang dikuasai santri yang kemudian dinilai kebenarannya oleh kyai.
82
Dalam PP No. 55 Tahun 2007 disebutkan bahwa pendidikan diniyah formal menyelenggarakan pendidikan ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran agama Islam pada jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Akibat yang terjadi setelah adanya PP No. 55 Tahun 2007 adalah Madrasah Diniyah memperbaharui mutu pendidikannya dengan menyesuaikan diri dengan kurikulum madrasah negeri yang di dalamnya terdapat mutu pelajaran umum. Dan juga Madrasah Diniyah mulai menyadari akan kepentingannya untuk masa depan. Reaksi yang terjadi dalam lembaga pendidikan Madrasah Diniyah yaitu mengupayakan peningkatan kualitas pendidikan agama dan keagamaan Departeman Agama dengan mencanangkan tiga pilar kebijakan yaitu: pertama, mengejar ketinggalan mutu pendidikan; kedua, meningkatkan perhatian dan keberpihakan terhadap pelayanan pendidikan bagi komunitas yang kurang mampu dan ketiga, perlakuan yang sama terhadap lembaga pendidikan negeri dan swasta. Maka berdasarkan pembaharuan dan perkembangan kritis di atas, maka Madrasah Diniyah non formal harus lebih memantapkan perencanaan untuk memperbaharui mutu pendidikan madrasah agar menjadi Madrasah Diniyah formal sebagaimana yang telah diinginkan oleh pemerintah tercantum dalam PP No. 55 Tahun 2007.
83
E. Kemungkinan Posisi Pendidikan Madrasah Diniyah menurut PP No. 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan Pendidikan keagamaan Islam disebut juga dengan pendidikan Madrasah Diniyah, sesuai dengan makna kata aslinya diniyah yang berarti keagamaan. Dalam PP No. 55 Tahun 2007 pasal 18 menyebutkan bahwa kurikulum pendidikan diniyah dasar formal wajib memasukkan muatan pendidikan kewarganegaraan, bahasa Indonesia, matematika dan ilmu pengetahuan alam dalam rangka pelaksanaan program wajib belajar dan kurikulum pendidikan diniyah
menengah
formal
wajib
memasukkan
muatan
pendidikan
kewarganegaraan, bahasa Indonesia, matematika, ilmu pengetahuan alam serta sen dan budaya. Bagaimanapun penyelenggaraan pendidikan diniyah harus mengikuti ketentuan yang berlaku, lebih tepatnya mengacu kepada PP No. 55 Tahun 2007 yang memformalkan Madrasah Diniyah sebagaimana sekolah-sekolah pada umumnya, hanya saja lebih memfokuskan kepada pelajaran agama, yang akhirnya bisa meneruskan kepada jenjang sekolah yang lebih tinggi dengan hanya menggunakan ijazah dari pendidikan Madrasah Diniyah. Dengan adanya PP No. 55 Tahun 2007 terjadi proses evolusi perubahan pendidikan Madrasah Diniyah dari berbagai jenjang pendidikan yaitu: 1. MI (Madrasah Ibtidâiyah) dalam Madrasah Diniyah setara dengan Madrasah Diniyah awaliyah yaitu pendidikan yang diselenggarakan
84
selama 6 tahun yaitu sebagai sekolah dasar untuk bisa melanjutkan ke madrasah wusthâ. 2. MTs (Madrasah Tsanawiyah) dalam Madrasah Diniyah setara dengan Madrasah Diniyah wusthâ yaitu pendidikan yang diselenggarakan selama 3 tahun dan untuk bisa melanjutkan ke madrasah ulya maka harus bisa lulus dalam ujian akhir Madrasah Diniyah wusthâ. 3. MA (Madrasah 'Aliyah) dalam Madrasah Diniyah setara dengan Madrasah Diniyah 'ulyâ yaitu pendidikan yang diselenggarakan selama 3 tahun dan untuk bisa melanjutkan ke jenjang sekolah yang lebih tinggi maka harus bisa lulus dalam ujian nasional di Madrasah Diniyah 'ulyâ. Adapun pendidikan Madrasah Diniyah ini kebanyakan dikelola oleh pesantren, karena pada dasarnya memang menjadi sistem pendidikan di dalam pesantren dan juga biasanya Madrasah Diniyah ini termasuk lembaga pendidikan swasta yang berdiri sendiri yang sudah diakui oleh pemerintah tapi belum negeri selayaknya sekolah umum lainnya. Pendidikan diniyah yang diselenggarakan secara formal yang disetarakan dengan pendidikan sekolah atau madrasah dimungkinkan jika memasukkan sekurang-kurangnya mata pelajaran bahasa Indonesia, IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) dan matematika dalam rangka pelaksanaan program wajib belajar. Sementara kurikulum dirâsah islâmiyah-nya masih tetap memakai kurikulum diniyah yang telah turun temurun (tradisi diniyah) dengan menyesuaikan pengembangan kurikulum yang dilakukan BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan).
85
Dengan pembahasan di atas tentang Madrasah Diniyah dalam PP No. 55 Tahun 2007 membawa dampak positif yaitu Madrasah Diniyah dapat diterima oleh masyarakat sebagaimana sekolah umum lainnya. Karena kurikulumnya disamakan dengan sekolah-sekolah pada umumnya sehingga dapat melanjutkan ke jenjang sekolah yang lebih tinggi.
F. Kemungkinan Implikasi PP. No. 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan Terhadap Perkembangan Madrasah Diniyah Dalam pendidikan diniyah yang disesuaikan dengan PP No. 55 Tahun 2007 memberi pengaruh terhadap perkembangan Madrasah Diniyah yang mana pendidikan yang akan diberikan disesuaikan dengan perkembangan zaman. Dewasa ini kita telah melihat dan merasakan perubahan yang dahsyat baik bagi orang tua maupun murid tentang sekolah Madrasah Diniyah yang semakin hari semakin banyak peminatnya karena dalam pendidikannya membawa dampak yang sangat tinggi untuk masa depan dengan memfokuskan kepada ilmu agama dan memprioritaskan pendidikan umum dalam ujian akhir sebagai tambahan agar dapat melanjutlan ke pendidikan lebih tinggi. Maka dari itu eksistensi Madrasah Diniyah semakin diakui oleh masyarakat pada umumnya. Pandangan mereka tentang Madrasah Diniyah sebenarnya sama halnya dengan sekolah-sekolah pada umumnya. Hanya saja mungkin karena
86
Madrasah Diniyah mutu pendidikannya lebih terjamin maka mereka lebih tertarik untuk masih ke Madrasah Diniyah. Posisi sekolah pada saat ini sebenarnya juga masih banyak peminatnya hanya saja mungkin dalam sekolah hanya terdapat 10% ilmu agamanya. Jika dibandingkan dengan Madrasah Diniyah sangatlah jauh mutunya. Dalam PP No. 55 Tahun 2007 pasal 20 menyebutkan baha pendidikan diniyah pada jenjang pendidikan tinggi dapat menyelenggarakan program vokasi dan profesi berbentuk universitas, institut atau sekolah tinggi. Dengan demikian kita bisa melihat sebagaimana kemajuan pendidikan Madrasah Diniyah tanpa harus bersekolah di sekolah umum lainnya karena ijazahnya dapat digunakan untuk mendaftarkan dalam jenjang lebih tinggi, misalnya: STAIN, IAIN.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 1. Posisi Madrasah Diniyah sebelum PP No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan sebagai lembaga pendidikan non formal. Karena pada dasarnya Madrasah Diniyah merupakan sistem belajar yang dilakukan di pesantren menggunakan metode "halaqoh". Sehingga dengan semakin berkembangnya zaman,
87
Madrasah Diniyah memperbaharui perkembangannya dengan sistem klasikal. 2. Kemungkinan Posisi Madrasah Diniyah menurut PP No. 55 Tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan yaitu dalam Madrasah Diniyah ada 3 (tiga) jenjang pendidikan diantaranya adalah Madrasah Diniyah Awaliyah setara dengan SD, Madrasah Diniyah Wusthâ setara dengan MTs dan Madrasah Diniyah 'Ulyâ setara dengan MA. Dalam ujian Madrasah Diniyah formal wajib memasukkan pelajaran umum yang sekiranya dapat dijadikan tolak ukur sekolah pada umumnya agar bisa melanjutkan ke jenjang sekolah yang lebih tinggi. Madrasah Diniyah lebih banyak diminati oleh masyarakat karena lebih memfokuskan kepada ilmu agama ketimbang ilmu umum 3. PP No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan pada saat ini belum diterapkan di Madrasah Diniyah dimanapun, dan juga belum ada aturan teknis. Secara prinsip PP No. 55 Tahun 2007 mengamanatkan untuk terjadi perubahan terhadap Madrasah Diniyah yaitu disetarakan dengan pendidikan umum lainnya sebagai lembaga pendidikan formal. Maka dari itu dengan hanya menggunakan ijazah Madrasah Diniyah dapat melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi. Contoh: STAIN, IAIN tanpa mengikuti pendidikan umum lainnya.
B. Saran
88
Untuk lembaga pendidikan Madrasah Diniyah hendaknya mengikuti prosedur dari pemerintah untuk menerapkan program PP No. 55 Tahun 2007 untuk menjadi pendidikan Madrasah Diniyah yang formal agar peserta didik dapat melanjutkan jenjang sekolah yang lebih tinggi tanpa haris mengikuti sekolah umum yang lain.
89
DAFTAR PUSTAKA
Abdushomad, Adib. Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal. Jakarta: Pustaka Pelajar, 2006. Arief, Armai. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Pers, 2002. Arikunto, Suharmini. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta, 1990. Bungin, Burhan. Metodologi Penelitian Kualitatif; Aktualisasi Metodologis Ke Arah Ragam Varian Kontemporer. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001. Daulay, Haidar Putra. Historisitas dan Eksistensi Pesantren Sekolah dan Madrasah. Yogya : PT. Tiara Wacana, 2001. Djamaluddin. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Bandung : CV Pustaka Setia, 1998. Djamarah, Syaiful Bahri. Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2000. El Saha, Ishom. Dinamika Madrasah Diniyah di Indonesia Menelusuri Akar Sejarah Pendidikan Non Formal. Jakarta: Pustaka Mutiara, 2008. Fathoni, Muhammad Kholid. Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional Paradigma Baru. Jakarta: Departemen Agama RI, 2005. Haedari, Amin. Bina Pesantren. Jakarta: CV. Harisma Jaya Mandiri, 2006. . Peningkatan Mutu Terpadu Pesantren dan Madrasah Diniyah Jakarta: Diva Pustaka, 2006. Hakim, Nur. Metodologi Studi Islam. Malang: UMM Press, 2004. Hasbullah. Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia Lintasan Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembangan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996. , Kapita Selekta Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999.
90
http://el.muttaqie.wordpress.com/tag/beberapa.kelemahan.mendasar.madrasah/bag -2 /2008/ 09/06. http://www.hariankomentar.com/arsip/arsip2007/nov.20/Lk Mim 001.html. http://www.pondok.pesantren.net/ponpren/index.php?option=com.content&task= viw&did=189&iteid=28. http://www.reformata.com/index.php/m=mewe&a=view didi=257 & print=1 Ibrahim. Perencanaan pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta, 1956. Khozin. Manajemen Pemberdayaan Madrasah. Malang: UMM Press, 2006. Muhaimin. Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalnya. Bandung: Trigena Karya, 1993. Muhajir, Noeng. Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Bayu Indra Grafika, 1998. Nafi’, Muhammad Dian. Praktis Pembelajaran Pesantren. Yogyakarta: PT. LKIS Pelangi Aksara, 2007. Nata, Abuddin. Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode Klasik dan Pertengahan. Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2004. Nawawi, Hadari. Penelitian Terapan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Pers, 1994. Pedoman Administrasi Madrasah Diniyah. Pedoman Penulisan Laporan Penelitian. Jakarta : Departemen Agama RI, 2003. Pedoman Penyelenggaraan Dan Pembinaan Madrasah Diniyah. Pedoman Penulisan Laporan Penelitian. Jakarta : Departemen Agama RI, 2003. Peningkatan Mutu Terpadu Pesantren dan Madrasah Diniyah. Jakarta: Diva Pustaka, 2006. Pola Pengembangan Madrasah Diniyah, Pedoman Penulisan Laporan Penelitian. Jakarta: Departemen Agama RI, 2000. PP. No. 55 pasal 15-16 tahun 2007, Tentang Pendidikan Agama Dan Pendidikan Keagamaan. Riyadi, Ali. Politik Pendidikan Menggugat Birokrasi pendidikan Nasional. Yogyakarta : Ar-Ruzz, 2006.
91
Rochidin, Wahab, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Bandung: Alfabeta, 2004. Rosyada, Dede. Arah Kebijakan Pembangunan Pendidikan di Indonesia. Sidoarjo: Seminar Nasional Pendidikan, 2008. Staton, Charles Michael. Pendidikan Tingga Dalam Islam. Jakarta: Logos Publishing House, 1994. Syarif, Hamid. Masa Depan Pesantren di Era Teknologi Informasi, 2008. http://pesantrenkranji.net/situs/index.php?option=com)_content&task= view gid=53&itemid=1, diakses 9 Oktober 2008 Sugiyono. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta, 2006. Suharto, Toto. Lembaga Pendidikan Islam Rekonstruksi dan Modernisasi. Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2005. Suwito. Sejarah Sosial Pendidikan Islam.Jakarta: Putra Grafika, 2005. Tim Penyusun. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1999. Uhbiyati, Nur. Ilmu pendidikan Islam. Bandung : Pustaka Setia, 2005. Upaya Peningkatan Dan Pembinaan Perguruan Agama Islam Swasta, Pedoman Penulisan Laporan Penelitian. Surabaya: Departemen Agama Propinsi Jawa Timur Bidang Perguruan Agama Islam, 1992. Wahab, Rochidin. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Bandung : Alfabeta, 2004. Wahid, Khozin. Edukasi Jurnal Pendidikan Agama dan Keagamaan. Jakarta: Redaksi Edukasi, 2006. Yusuf, Choirul Fuad. Inovasi Pendidikan Agama dan Keagamaan. Jakarta : Departemen Agama RI, 2006.