BAB I PENDAHULUAN
I. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan usaha dari manusia dewasa yang telah sadar akan
kemanusiaannya
dalam
membimbing,
melatih,
mengajar
dan
menanamkan nilai-nilai serta dasar-dasar pandangan hidup kepada generasi muda agar nantinya menjadi manusia yang sadar dan bertanggung jawab atas tugas-tugas hidupnya sebagai manusia, sesuai dengan sifat hakikat dan ciri-ciri kemanusiaannya. 1 Dunia pendidikan Islam tiada henti dihadapkan dengan berbagai persoalan. Maka setiap praktisi pendidikan hendaknya terpanggil untuk berupaya mengolaborasi akar persoalan apa sebenarnya yang dihadapi dunia pendidikan. Diakui bahwa persoalan-persoalan yang selalu menyelimuti dunia pendidikan Islam sampai saat ini selalu berada di dalam lingkungan tujuan yang tidak sejalan dengan kebutuhan masyarakat. Metode pengajaran yang statis dan kaku, sikap dan mental pendidikan, kurikulum yang tidak progresif. Belajar adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang. Perubahan sebagai hasil dari proses belajar dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk seperti berubahnya pengetahuan,
1
Prasetya, Filsafat Pendidikan (Bandung: Pustaka Setia, 2003), 5.
pemahaman, sikap dan tingkah laku, keterampilan, kecakapan, kebiasaan, serta perubahan aspek-aspek lain yang ada pada individu yang belajar. 2 Oleh sebab itu belajar adalah proses aktif, belajar adalah proses mereaksi terhadap semua situasi yang ada di sekitar individu. Belajar adalah suatu proses yang diarahkan kepada suatu tujuan, proses berbuat melalui berbagai pengalaman.3 Menyadari bahwa pendidikan itu sangatlah penting, khususnya pendidikan Islam, karena pendidikan Islam dikatakan sebagai suatu proses pengembangan potensi dan kreatifitas peserta didik yang bertujuan untuk mewujudkan manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, dan bersifat cerdas, berbudi pekerti luhur, mandiri dan bertanggung jawab pada dirinya, bangsa dan negara serta agama. Maka dalam hal ini penguasaan dan pengembangan terhadap pendidikan Islam sangatlah penting terutama dalam kehidupan sehari-hari. Dari pendidikan agama tersebut seseorang akan merasa percaya dengan adanya keberadaan Allah SWT dan berusaha meminta untuk diberi ilmu yang bermanfaat baginya khususnya ilmu agama yang akan membawa seseorang sadar dan mau belajar terus untuk mencapai semua apa yang mereka cita-citakan.4 Belajar mengajar adalah suatu proses yang bernilai edukatif. Nilai edukatif mewarnai interaksi yang terjadi antara guru dan anak didik. Interaksi yang bernilai edukatif dikarenakan kegiatan belajar mengajar 2
Nana Sudjana, Cara Belajar Siswa Aktif (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1996), 5. Syaiful Bahri Djamarah, Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), 5. 4 Arwai Ma’arif, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam (jakarta: Ciputat Press, 2002), 3. 3
yang dilakukan diarahkan untuk mencapai tujuan. Guru dengan sadar merencanakan kegiatan secara sistematis memanfaatkan sesuatu guna kepentingan pengajaran. 5 Seorang pendidik adalah sosok yang terlibat langsung dalam setiap proses pendidikan yang berlangsung dapat berhubungan dengan anak didik, sehingga dapat dicapai hasil evaluasi yang akan diperoleh anak didik, sehingga sangat tergantung bagaimana kecakapan seorang pendidik dalam pencapaian materi-materi pelajaran.6 Proses mengajar merupakan suatu proses yang bertujuan. Tujuan tersebut dinyatakan dalam rumusan kemampuan atau perilaku yang diharapkan dimiliki siswa setelah menyelesaikan kegiatan belajar mengajar. Untuk dapat mengetahui tercapai tidaknya tujuan pengajaran serta kualitas proses belajar mengajar yang telah dilaksanakan, perlu dilakukan suatu usaha penilaian atau evaluasi terhadap hasil belajar siswa. Penilaian atau evaluasi pada dasarnya adalah proses pemberian pertimbangan atau nilai tentang sesuatu berdasarkan kriteria tertentu. 7 Dalam pembelajaran yang terjadi di sekolah khususnya di kelas seorang guru adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas hasilnya. Dengan demikian guru patut dibekali dengan evaluasi-evaluasi yang
5
Syaiful Bahri Djamarah, Strategi Belajar Mengajar (Jakarta: Rineka Cipta, 2002),
6
Muhaimin, Strategi Belajar Mengajar (Surabaya; CV Media Karya Bangsa, 1996),
7
Ibrahim, Rencana Pengajaran (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), 85-86.
1. 74.
mendukung tugasnya yakni mengevaluasi ilmu yang dipelajari oleh siswa atas bimbingan guru sesuai dengan yang dirumuskan. 8 Pembelajaran terkait dengan bagaimana (how to) membelajarkan siswa atau bagaimana membuat siswa dapat belajar dengan mudah dan terdorong oleh kemauannya sendiri untuk mempelajari apa (what to) yang teraktualisasikan dalam kurikulum sebagai kebutuhan (need) peserta didik. 9 Salah satu upaya dalam meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar sebagai bahan dari peningkatan kualitas pendidikan dapat dilakukan melalui sistem penilaian. 10 Penilaian
dan
evaluasi
merupakan
serangkaian
kegiatan
pembelajaran yang tidak terpisahkan. Karena dengan penilaian dan evaluasi dapat ditemukan tingkat keberhasilan suatu program sekaligus dapat diukur hasil-hasil yang dicapai oleh suatu program. Dengan demikian evaluasi dan penilaian mutlak harus ada dalam proses pembelajaran. Penilaian menempati dan merupakan aspek yang penting karena berkenaan dengan tercapainya tujuan pengajaran, kelancaran dan efisiensi prosedur instruksional dan penentuan tingkat keberhasilan yang telah dicapai. Dengan demikian aspek penilaian dapat ditempatkan sebagai titik sentral dalam proses belajar mengajar.
8
Suharsimi Arikunto, Dasar-Dasar dan Evaluasi Pendidikan (Bandung: Bumi Aksara, tt). 4. 9 Drs. Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), 145. 10 Dr. Nana Sudjana, Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995), 1.
Penilaian
dapat
digunakan
untuk
mengetahui
kekuatan
dan
kelemahan yang ada dalam proses pembelajaran, sehingga dapat dijadikan dasar untuk mengambil keputusan, misalnya apakah proses pembelajaran sudah berjalan dengan baik dan dapat dilanjutkan ataukah masih perlu perbaikan dan penyempurnaan. Oleh sebab itu disamping kurikulum yang cocok dan proses pembelajaran yang benar perlu ada sistem penilaian yang baik dan terencana. Seorang guru yang profesional harus menguasai ketiga dimensi tersebut, yaitu penguasaan kurikulum dan termasuk di dalamnya penguasaan materi, penguasaan metode pengajaran dan penguasaan penilaian. Apabila guru memiliki kelemahan dalam satu dimensi tentunya hasil dari proses pembelajaran akan kurang optimum. 11 Perubahan pada suatu kurikulum juga berpengaruh pula pada pendidikan
sebagai
salah
satu
implementasi
kurikulum
berbasis
kompetensi. Dalam kurikulum berbasis kompetensi proses pembelajaran dilaksanakan dengan metode paedagogik yang mencakup strategi atau metode mengajar. Tingkat keberhasilan peserta didik dapat dilihat pada hasil belajar yang mencakup ujian, tugas-tugas dan pengamatan. Implikasi dari
penerapan
pengembangan
kurikulum silabus
dan
berbasis penilaian
kompetensi yang
adalah
menjadikan
perlunya mampu
mendemonstrasikan pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan dengan mengintegrasikan life skill. 12
11
Supranata, M. Hatta, Penilaian Portofolio Implementasi Kurikulum 2004 (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), 1-2. 12 Ahmadi B. Marimba, Pengantar Pendidikan Filsafat Islam (Bandung: Al-Ma’arif, 1998), 128.
Di dalam pendidikan terdapat bermacam-macam alat penilaian yang dapat dipergunakan untuk menilai proses dan hasil pendidikan yang telah dipergunakan untuk menilai proses dan hasil pendidikan yang telah dilakukan terhadap anak didik. 13 Instrument penilaian bisa berupa metode atau prosedur formal maupun informal, untuk menghasilkan informasi belajar peserta didik. Proses penilaian (tagihan) dapat berbentuk tes baik tertulis maupun lisan, lembar pengamatan, pedoman wawancara, tugas rumah dan lain sebagainya. Penilaian juga diartikan sebagai kegiatan menafsirkan data hasil pengukuran. 14 Tes pada umumnya digunakan untuk menilai dan mengukur hasil belajar siswa, terutama hasil belajar kognitif berkenaan dengan penguasaan bahan pengajaran sesuai dengan tujuan pendidikan dan pengajaran. Ada dua jenis tes yaitu tes uraian (esai) dan tes objektif. Tes sebenarnya adalah salah satu wahana program penelitian pendidikan. Sebagai salah satu alat penilaian, tes biasanya didefinisikan sebagai butir soal yang menjawabnya dapat dinyatakan dengan salah atau benar, definisi ini biasanya dipakai dalam usaha untuk membedakan alat atau teknik yang dipakai dalam penilaian haisl belajar, akan tetapi jawaban peserta didik pengikut tes mungkin diskor dengan salah atau benar, alat atau teknik lain dapat berupa angket, pengamatan dan sebagainya.
13
Drs. Ngalim Purwanto, Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1997), 33. 14 Mimin Haryati, Sistem Penilaian Berbasis Kompetensi (Jakarta: Gaung PersadaPress, 2007), 16.
Pengamatan yang dilakukan pendidik seringkali menggambarkan apa yang ada pada penglihatannya daripada apa yang sebenarnya terjadi, sebab suatu proses pengamatan sulit dihindarkan dari unsur subyektifitas pengamatan. Inilah salah satu kekurangan pengamatan kalau dibandingkan dengan tes. Tes dilakukan dalam suatu kondisi yang sengaja diciptakan. Yang demikian para peserta tidak merasa terdorong untuk menunjukkan kemampuannya, termasuk kemampuan yang tadinya tidak terlihat oleh pendidik. Walaupun suatu pelaksanaan tes tidak dapat terlepas sama sekali dari unsur subyektifitas pendidik, namun karena alat dan kondisinya sudah diciptakan sedemikian rupa, maka bagaimanapun hal ini dapat menekan unsur subyektifitas tersebut sampai batas minimal, sehingga dapat menghasilkan informasi yang lebih obyektif. Apabila tes sudah dipersiapkan dan dilaksanakan dengan secermat dan sebaik mungkin, maka informasi yang dihasilkan dapat menunjukkan sejauh mana tujuan intruksional yang dapat tercapai, informasi dan data dari
pelaksanaan
tes
tersebut
juga
dapat
menunjukkan
beberapa
karakteristik perilaku peserta didik dalam arti apa yang telah mereka kuasai dan apa yang belum dikuasai. Selain itu informasi tersebut dapat dijadikan kebaikan untuk meningkatkan dan menyempurnakan proses belajar mengajar yang telah dilakukan serta mempertimbangkan tindakan apa yang selanjutnya akan dilakukan. Dalam Pendidikan Agama Islam evaluasi atau penilaian merupakan salah satu komponen dari sistem pendidikan Islam yang harus dilakukan
secara sistematis dan terencana sebagai alat pengukur keberhasilan atau target yang akan dicapai dalam proses pendidikan Islam dan pembelajaran. Namun pada kenyataannya yang terjadi di lapangan sangatlah berbeda, banyak siswa yang belum mengerti dengan jelas pentingnya penilaian, banyak siswa yang mendapatkan nilai di bawah standar dan tidak memahami kata-kata perintah mengerjakan soal. Mengingat penilaian pendidikan adalah kegiatan menilai yang terjadi dalam kegiatan pendidikan maka penilaian sangat diperlukan dengan maksud sejauh mana usaha yang dilakukan melalui penilaian mencapai tujuan. Dengan banyaknya siswa yang tidak mengerti pentingnya penilaian, mendapat nilai dibawah standar dan tidak memahami kata-kata perintah mengerjakan soal maka hal ini merupakan masalah yang layak untuk diteliti demi tercapainya tujuan pendidikan. Sehubungan dengan masalah ini, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul “IMPLEMENTASI PENILAIAN URAIAN OBYEKTIF DALAM PEMBELAJARAN FIQIH DI MTs PEMBANGUNAN AL-FATTAH KIKIL ARJOSARI PACITAN TAHUN PELAJARAN 2009/2010”.
BAB II PENILAIAN URAIAN OBYEKTIF DALAM PEMBELAJARAN FIQIH
A. Penilaian Uraian Obyektif dalam Pembelajaran 1. Pengertian Penilaian Uraian Obyektif dalam Pembelajaran Fiqih Penilaian merupakan salah satu dari tiga aspek dalam proses belajar mengajar yang meliputi (1) tujuan pengajaran, (2) prosedur belajar mengajar, dan (3) penilaian hasil belajar. Penilaian menempati dan
merupakan
aspek
yang
penting
karena
berkenaan
dengan
tercapainya tujuan pengajaran, kelancaran dan efisiensi prosedur instruksional, dan penentuan tingkat keberhasilan yang telah dicapai. Dengan demikian, aspek penilaian dapat ditempatkan sebagai titik sentral dalam proses belajar mengajar. 15 Penilaian adalah penerapan berbagai cara dan penggunaan beberapa alat. Penilaian untuk memperoleh berbagai ragam informasi tentang sejauh mana hasil belajar peserta didik atau informasi tentang ketercapaian kompetensi peserta didik. Proses penilaian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan tentang sebaik apa hasil atau prestasi belajar peserta didik.
15
Oemar Hamalik, Psikologi Belajar dan Mengajar (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2000), 203.
Penilaian uraian obyektif adalah penilaian yang menuntut peserta didik untuk mengembangkan kemampuan berfikirnya khususnya pada aspek analisis, sintesis, dan evaluasi. 16 Mata pelajaran fiqih dalam kurikulum Madrasah Tsanawiyah adalah salah satu bagian mata pelajaran pendidikan agama Islam yang diarahkan untuk menyiapkan peserta untuk mengenal, memahami, menghayati, dan mengamalkan hokum Islam yang kemudian menjadi dasar pandangan hidup melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan, penggunaan, pengalaman, dan pembiasaan. Mata pelajaran fiqih ini meliputi: fiqih ibadah, fiqih muamalah, fiqih jinayat, dan fiqih siyasah yang menggambarkan bahwa ruang lingkup fiqih mencakup perwujudan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan hubungan manusia dengan Allah SWT, dengan diri sendiri, sesama manusia, dan makhluk lainnya, maupun lingkungannya. Pembelajaran fiqih terdiri dari dua unsur yaitu pembelajaran dan fiqih. Pembelajaran menurut kamus besar mempunyai arti “proses atau cara, perbuatan menjadikan orang atau makhluk hidup belajar”. Kegiatan pembelajaran terjadi melalui interaksi antara peserta didik disatu pihak, dengan pendidik di lain pihak lainnya. Kegiatan belajar dilakukan oleh peserta didik dan kegiatan membelajarkan dilakukan
16
Mimin Haryati, Sistem Penilaian Berbasis Kompetensi: Teori dan Praktek (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), 16.
oleh pendidik. Maka pembelajaran merupakan upaya pendidik untuk membantu peserta didik dalam melakukan kegiatan belajar. 17 Tujuan penting dalam rangka sistem pembelajaran, yakni merupakan suatu komponen sistem pembelajaran yang menjadi titik tolak dalam merancang sistem yang efektif. 18 Yang menjadi kunci dalam rangka menentukan tujuan pembelajaran adalah kebutuhan siswa, mata pelajaran dan guru itu sendiri. Adapun salah satu jenis penilaian dalam pembelajaran fiqih adalah penilaian uraian obyektif. Penilaian uraian obyektif dalam pembelajaran fiqih yakni penilaian yang menuntut peserta didik untuk mengembangkan
kemampuan
berfikirnya
khususnya
pada
aspek
analisis, sintesis dan evaluasi untuk mengenai, memahami, menghayati dan mengamalkan hukum Islam yang kemudian menjadi dasar pandangan hidup melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan, penggunaan, pengalaman, dan pembiasaan.
2. Fungsi dan Tujuan Penilaian Uraian Obyektif dalam Pembelajaran Fiqih Fungsi penilaian bukan hanya untuk menentukan kemajuan belajar siswa tetapi sangat luas. Tujuan penilaian uraian obyektif yaitu menuntut peserta didik untuk mengembangkan kemampuan berfikirnya khususnya aspek analisis, sintesis, dan evaluasi. Sedangkan fungsi penilaian meliputi:
17 18
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), 17. Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), 75.
a. Penilaian membantu siswa merealisasikan dirinya untuk mengubah atau mengembangkan perilakunya. b. Penilaian membantu siswa mendapat kepuasan atas apa yang telah dikerjakannya. c. Penilaian membantu
guru untuk menetapkan apakah metode
mengajar yang digunakan telah memadai. d. Penilaian membantu guru membuat pertimbangan administrasi. Tujuan penilaian tidak hanya memberikan dasar pemberian angka atas dasar hasil belajar siswa. Program penilaian hasil belajar bertujuan untuk: a. Memberikan informasi tentang kemajuan individu siswa dalam rangka mencapai tujuan-tujuan belajar sehubungan dengan kegiatankegiatan belajar yang telah dilakukan. b. Memberikan informasi yang dapat digunakan oleh guru dan oleh siswa untuk mengetahui tingkat kemampuan siswa, menetapkan kesulitan-kesulitannya dan untuk melaksanakan kegiatan remedial (perbaikan). c. Memberikan informasi yang dapat digunakan untuk membina kegiatan-kegiatan belajar lebih lanjut, baik terhadap masing-masing individu siswa maupun terhadap kelas. d. Mendorong motivasi belajar siswa dengan cara mereka mengenal kemajuan sendiri dan merangsang untuk melakukan usaha perbaikan.
e. Memberikan informasi tentang semua aspek kemajuan setiap siswa, dan pada gilirannya guru dapat membantu pertumbuhannya secara efektif menjadi anggota masyarakat dan pribadi yang bulat f. Memberikan bimbingan yang tepat untuk memilih sekolah atau jabatan
yang
sesuai
dengan
kecakapan,
minat,
dan
kesanggupannya. 19 Sedangkan tujuan dan fungsi pembelajaran fiqih, yaitu: a. Tujuan Pembelajaran Fiqih Tujuan pembelajaran fiqih bertujuan untuk membekali peserta didik agar dapat: 1) Mengetahui dan memahami pokok-pokok hukum Islam secara terperinci dan menyeluruh baik berupa dalil naqli dan aqli. Pengetahuan dan pemahaman tersebut diharapkan menjadi pedoman hidup dalam kehidupan dan sosial. 2) Melaksanakan dan mengamalkan ketentuan hukum Islam dengan benar. Pengalaman tersebut diharapkan menumbuhkan ketaatan menjalankan hukum Islam, disiplin dan tanggung jawab sosial yang tinggi dalam kehidupan pribadi maupun sosial. b. Fungsi Pembelajaran Fiqih Pembelajaran fiqih berfungsi untuk:
19
Oemar Hamalik, Psikologi Belajar dan Mengajar (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2002), 204-205.
1) Penanaman nilai-nilai dan kesadaran beribadah peserta didik kepada Allah SWT sebagai pedoman pencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. 2) Penanaman kebiasaan dan rasa tanggung jawab sosial. 3) Pembentukan kedisiplinan dan rasa tanggung jawab sosial. 4) Pengembangan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT serta akhlak mulia peserta didik seoptimal mungkin, melanjutkan yang telah ditanamkan lebih dahulu dalam lingkungan keluarga. 5) Membangun mental peserta didik terhadap lingkungan fisik dan sosial melalui ibadah dan muamalah. 6) Perbaikan kesalahan-kesalahan, kelemahan-kelemahan peserta didik dalam keyakinan dan pelaksanaan ibadah dalam kehidupan sehari-hari. 7) Pembekalan peserta didik untuk mendalami fiqih atau hukum Islam pada jenjang yang lebih tinggi. 20 Selain fungsi dan tujuan dalam pembelajaran fiqih juga mengandung ruang lingkup. Hukum yang diatur dalam fiqih Islam itu terinci dari hukum wajib, sunah, mubah, makruh dan haram. Disamping itu ada pula dalam bentuk lain seperti shah, batal, benar, salah, berpahala, berdosa dan lain sebagainya. Disamping
hukum
itu
ditunjukkan
pula
alat
dan
cara
melaksanakan suatu perubahan dalam menempuh garis lintas kehidupan 20
2009.
http://tarbiyatulmujahidin.camze.com/htm/fiqih.htm, diakses tanggal 20 Oktober
yang tak dapat dipastikan oleh manusia liku dan panjangnya. Sebagai makhluk sendiri, ataupun dengan sesuatu di luar dirinya. Ilmu fiqih membicarakan hubungan itu yang meliputi kedudukannya, hukumnya, caranya, alatnya dan sebagainya. Hubungan-hubungan itu ialah: a. Hubungan manusia dengan Allah, Tuhannya dan para Rasulullah. b. Hubungan manusia dengan dirinya sendiri. c. Hubungan manusia dengan keluarga dan tetangganya. d. Hubungan manusia dengan orang lain yang tidak seagama dengan dia. e. Hubungan manusia dengan makhluk hidup yang lain seperti binatang dan lain-lain. f. Hubungan manusia dengan benda mati dan alam semesta. g. Hubungan manusia dengan masyarakat dan lingkungannya. h. Hubungan manusia dengan akal fikiran dan ilmu pengetahuan. i. Hubungan manusia dengan alam ghaib seperti syetan, surga, neraka, alam barzah, yaumul hisab, dan sebagainya. Hubungan-hubungan ini dibicarakan dalam fiqih melalui topiktopik bab permasalahan yang mencakup hampir seluruh kegiatan hidup perseorangan dan masyarakat, baik masyarakat kecil sepasang suamiistri (keluarga), atau masyarakat besar seperti negara dan hubungan internasional, sesuai dengan macam-macam hubungan tadi. Dilihat dari segi ruang lingkup pembahasan fiqih itu, wajar kalau mata pelajaran fiqih itu dikembangkan menjadi beberapa mata pelajaran
yang berdiri sendiri, bukan tidak mungkin menjadi beberapa disiplin ilmu. Dalam pengajaran agama, ada baiknya kalau guru menyinggung secara umum ruang lingkup mata pelajaran fiqih yang sudah dikemukakan oleh para fuqaha’ itu, untuk selanjutnya mengambil bagian tertentu untuk diajarkan sesuai dengan kurikulum dan GBPP yang sudah tersedia. Dalam
pelaksanaannya
pengajaran
fiqih
ini
pada
tingkat
permulaan tentu diberikan materi-materi yang sifatnya sederhana, tidak banyak
membutuhkan
fikiran
yang
berbelit-belit,
tidak
banyak
menggunakan dalil-dalil dan praktis serta mudah diamalkan. Semakin tinggi tingkatan pengajarannya semakin banyak pula masalah-masalah dan dalil-dalil yang dikemukakan. Selanjutnya dibicarakan pula materi perbandingan dan kemungkinan-kemungkinan pengalamannya, serta berbagai pendapat ulama tentang itu. Dilihat dari segi pengalaman ajaran Islam yang jelas pengajaran fiqih ini adalah pengajaran yang bersifat amaliyah, harus mengandung unsur teori dan praktek. Belajar fiqih untuk diamalkan bila berisi suruhan atau perintah harus dapat dilaksanakan. Bila berisi larangan harus dapat ditinggalkan atau dijauhi. Bukan sekedar teori yang berarti ilmu untuk ilmu. Lebih ekstrim lagi kalau dikatakan ilmu fiqih untuk diketahui, diamalkan, dan sekaligus menjadi pedoman atau pegangan hidup. Untuk itu, tentu saja materi yang praktis diamalkan sehari-hari
didahulukan dalam pelaksanaan pengajarannya, mulai dari pengajaran rendah. 21
3. Prinsip
dan
Prosedur
Penilaian
Uraian
Obyektif
dalam
Pembelajaran Fiqih Mengingat pentingnya penilaian dalam menentukan kualitas pendidikan, maka upaya merencanakan dan melaksanakan penilaian hendaknya memperhatikan beberapa prinsip dan prosedur penilaian. Begitu juga dalam penilaian pembelajaran fiqih harus memperhatikan prosedur penilaian yang ada. Prinsip penilaian yang dimaksudkan antara lain adalah sebagai berikut: a. Dalam menilai hasil belajar hendaknya dirancang sedemikian rupa sehingga jobs abilitas yang harus dinilai, materi penilaian, sifat penilaian, dan interpretasi hasil penilaian. b. Penilaian hasil belajar hendaknya menjadi bagian integral dari proses belajar mengajar. c. Agar diperoleh hasil belajar yang obyektif dalam pengertian menggambarkan
prestasi
dan
kemampuan
siswa
sebagaimana
adanya, penilaian harus menggunakan berbagai alat penilaian dan sikapnya komprehensif. d. Penilaian hasil belajar hendaknya diikuti dengan tindak lanjutnya. Pada hasil penilaian sangat bermanfaat bagi guru maupun siswa. 21
Proyek Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama /IAIN, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1984/1985).
Oleh karena itu, perlu dicatat secara teratur dalam catatan khusus mengenai kemajuan siswa. 22
4. Aspek Penilaian Pada umumnya hasil belajar dapat dikelompokkan menjadi tiga ranah yaitu ranah kognitif, psikomotorik, dan afektif. Secara eksplisit ketiga ranah ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Setiap mata ajar selalu mengandung ketiga ranah tersebut, namun penekanannya selalu berbeda. Mata ajar praktek lebih menekankan pada arah ranah psikomotor, sedangkan mata ajar pemahaman konsep lebih menekankan pada ranah kognitif. Namun kedua ranah tersebut mengandung ranah afektif. 23 Aspek termasuk
kognitif
di
berhubungan
dalamnya
dengan
kemampuan
kemampuan
memahami,
berfikir
menghafal,
mengaplikasi, menganalisis, mensitesis dan kemampuan mengevaluasi. Tujuan aspek kognitif berorientasi pada kemampuan berfikir yang mencakup kemampuan intelektual yang lebih sederhana, yaitu mengingat sampai pada kemampuan memecahkan masalah yang menuntut siswa untuk menghubungkan dan menggabungkan beberapa ide, gagasan, metode atau prosedur yang dipelajari untuk memecahkan masalah tersebut.
22
Nana Sudjana, Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995), 37. 23 Mimin Haryati, Sistem Penilaian Berbasis Kompetensi Teori dan Praktik (Jakarta: Gaung Persada, 2000), 64.
Tidak
jauh
berbeda
dengan
penilaian
kognitif,
penilaian
psikomotor pun dimulai dengan pengukuran hasil belajar. Perbedaannya adalah pengukuran hasil belajar ranah kognitif dilakukan dengan tes tertulis, sedangkan pengukuran hasil belajar ranah psikomotor dilakukan dengan menggunakan tes unjuk kerja, lembar tugas atau lembar pengamatan. Aspek yang ketiga adalah aspek afektif, aspek ini berkaitan dengan minat peserta didik terhadap pelajaran. Peserta didik yang tidak memiliki minat atau karakter terhadap mata ajar tertentu, maka akan kesulitan
untuk
mencapai
ketuntasan
belajar
secara
maksimal.
Sedangkan peserta didik yang memiliki minat atau karakter terhadap mata ajar, maka hal ini akan sangat membantu untuk mencapai ketuntasan pembelajaran secara maksimal.24
B. Instrumen Penilaian Uraian Obyektif dalam Pembelajaran Fiqih 1. Bentuk Tagihan Penilaian dalam Pembelajaran Fiqih Dalam membuat soal tagihan harus menggunakan tingkat berfikir dari yang sederhana atau konkrit terus bertingkat berlevel sampai akhirnya sampai pada berfikir kompleks, dengan proporsi yang sebanding dengan jenjang pendidikan.
Pada jenjang pendidikan
menengah, tingkat berfikir yang terlibat sebaiknya didominasi oleh tingkat pemahaman, aplikasi dan analisis. Namun semua ini tergantung
24
Ibid., 23.
pada karakteristik mata ajar. Bentuk tagihan yang digunakan di sekolah dapat dikategorikan menjadi dua yaitu tes objektif dan tes non obyektif. 25 Salah satu bentuk tes yang digunakan dalam pembelajaran fiqih adalah tes non obyektif yaitu tes uraian obyektif. Soal tes bentuk uraian menuntut kemampuan untuk menyusun jawaban dengan kata-kata sendiri dengan menggunakan informasi yang diperoleh dari pengalaman dan pengetahuannya sendiri. 26 Tes uraian ini juga sering dikenal dengan istilah tes subyektif adalah salah satu jenis tes hasil belajar yang memiliki karakteristik seperti di bawah ini: 1. Tes tersebut berbentuk pertanyaan atau perintah yang menghendaki jawaban berupa uraian atau paparan kalimat yang pada umumnya cukup panjang. 2. Bentuk-bentuk pertanyaan atau perintah itu menuntut ke pada testee untuk
memberikan
penjelasan,
komentar,
penafsiran,
membandingkan, membedakan dan sebagainya. 3. Jumlah butir soalnya umumnya terbatas, yaitu berkisar antara lima sampai dengan sepuluh butir.
25
Mimin Haryati, Sistem Penilaian Berbasis Kompetensi Teori dan Praktik (Jakarta: Gaung Persada, 2000), 16. 26 A. Tabrani Rusyan, dkk, Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), 219.
4. Pada umumnya butir-butir soal tes uraian itu diawali dengan katakata: “Jelaskan…, teragkan…, uraikan…, mengapa…, bagaimana…, dan kata-kata lain yang serupa dengan itu. Contoh soal penilaian uraian obyektif yang digunakan dalam pembelajaran fiqih adalah: materi tentang bab haid terdiri dari lima soal. A. Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini! 1. Jelaskan pengertian haid menurut istilah! 2. Sebutkan lama haid bagi perempuan! 3. Sebutkan masa suci bagi perempuan yang mengalami haid! 4. Sebutkan hal-hal yang tidak boleh dikerjakan oleh perempuan haid! 5. Biasanya haid berhenti pada perempuan yang berumur! Contoh soal uraian obyektif dalam pembelajaran fiqih lainnya yakni materi tentang bab tayamum, seperti di bawah ini: A. Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini! 1. Apa yang dimaksud tayamum menurut istilah? 2. Apa yang dimaksud tertib dalam rukun tayamum? 3. Sebutkan syarat-syarat tayamum! 4. Jelaskan sebab-sebab seseorang boleh tayamum! 5. Jelaskan urutan praktek tayamum yang benar! 27
27
Amir Abyan, Zainal Muttaqin, Pendidikan Agama Islam Fiqih (Semarang; Toha Putra, 2004), 35.
2. Kebaikan dan Kelemahan Penilaian Uraian Obyektif dalam Pembelajaran Fiqih Tes hasil belajar bentuk uraian, disamping memiliki keunggulankeunggulan juga tidak terlepas dari kekurangan-kekurangan. Diantara keunggulan yang dimiliki tes uraian adalah bahwa: a. Tes uraian adalah merupakan jenis tes hasil belajar yang pembuatannya dapat dilakukan dengan mudah dan cepat. b. Dengan menggunakan tes uraian, dapat dicegah kemungkinan timbulnya permainan spekulasi di kalangan testee. c. Melalui butir-butir soal tes uraian, testee akan terdorong dan bisa untuk
berani
mengemukakan
pendapat
dengan
menggunakan
susunan kalimat dan gaya bahasa yang merupakan hasil olahannya sendiri. Adapun kelemahan-kelemahan yang disandang tes uraian adalah: a. Tes uraian pada umumnya kurang dapat menampung atau mencakup dan mewakili isi dan luasnya materi atau bahan pelajaran yang telah diberikan kepada testee, yang seharusnya diujikan dalam tes hasil belajar. b. Cara mengoreksi jawaban soal tes uraian cukup sulit. c. Dalam pemberian skor hasil tes uraian terdapat kecenderungan bahwa testee lebih banyak bersifat subyektif. d. Pekerjaan koreksi terhadap lembar-lembar jawaban hasil tes uraian sulit untuk diserahkan kepada orang lain.
e. Daya ketepatan mengukur (validitas) dan daya keajegan mengukur (realibilitas) yang dimiliki oleh tes uraian pada umumnya rendah sehingga kurang dapat diandalkan sebagai alat pengukur hasil belajar yang baik. 28
3. Pemeriksaan dan Scoring
Penilaian Uraian Obyektif dalam
Pembelajaran Fiqih Cara memeriksa tes bentuk uraian obyektif sebaiknya menempuh langkah sebagai berikut: a. Tetapkan dulu kunci jawaban standar. b. Periksa soal demi soal untuk setiap orang. Artinya jangan diperiksa seorang demi seorang semua soal, tetapi satu nomor setiap orang. c. Sediakan waktu yang cukup untuk memeriksanya, jangan dipaksakan memeriksa sekaligus sehingga jika pemeriksa sudah lelah tidak sungguh-sungguh lagi memeriksanya. d. Teknik memberikan angka, sebaiknya menggunakan weight-sistem, artinya memberi angka untuk setiap nomor tidak sama bergantung kepada tingkat kesukaran yang dimiliki soal tersebut (sistem bobot). 29
28
Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), 102-104. 29 Nana Sudjana, Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar (Bandung: PT Sinar Baru Algesindo, 2000), 118.
Setelah
pemeriksaan
selanjutnya
adalah
penskoran
untuk
memberikan nilai penskoran diberikan berdasarkan kesulitan jawaban. 30
4. Menguji
Kehandalan
Penilaian
Uraian
Obyektif
dalam
Pembelajaran Fiqih Dalam rangka menentukan apakah tes hasil belajar bentuk uraian yang disusun oleh seorang staf pengajar telah memiliki daya keajegan mengukur atau reliabilitas yang tinggi ataukah belum, pada umumnya orang menggunakan sebuah rumus yang dikenal dengan rumus alpha. Adapun rumus alpha dimaksud adalah: 2 n ∑ Si r11 = 1− 2 St n - 1
Dimana :
rn
= koefisien reliabilitas tes
N
= banyaknya butir item yang dikeluarkan dalam tes
1
= bilangan konstan
∑S
= jumlah varian skor dari tiap-tiap butir item
S2t
=
2 i
varian total 31
Dengan penjelasan lebih lanjut, bahwa
∑S
2 i
dapat diperoleh
dengan menggunakan rumus seperti tertera di bawah ini. Misalkan tes
30
Mimin Haryati, Sistem Penilaian Berbasis Kompetensi Teori dan Praktik (Jakarta: Gaung Persada Press, 2000), 64. 31 Anas Sudjono, Pengantar Evaluasi Pendidikan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), 208-209.
uraian yang akan ditentukan reliabilitasnya terdiri atas 5 item, maka
∑S
2 i
dapat diperoleh dengan jalan menjumlah varian dari item nomor 1
sampai
∑S
2 i
dengan
item
nomor
= S i21 + Si2 2 + Si2 3 + Si2 4 + Si2 5
sedangkan
5.
Rumusnya:
S i21 + Si2 2 + Si2 3 + S i2 4 + S i2 5
sendiri, dapat diperoleh dengan menggunakan rumus:
(∑ ) −
2
S i21 =
∑X
2 i1
i1
N
N
(∑ ) −
2
S i2 2 =
∑X
2 i 2
i2
N
N
(∑ ) −
2
S
=
2 i3
∑X
2 i3
i3
N
N
(∑ ) −
2
S
2 i 4
=
∑X
2 i 4
i4
N
N
(∑ ) −
2
S
2 i5
=
∑X
2 i5
i5
N
N Selanjutnya dalam pemberian interprestasi terhadap koefisien
realibilitas tes ( r11 ) pada umumnya digunakan patokan sebagai berikut: a. Apabila r11 sama dengan satu lebih besar daripada 0,70 berarti tes hasil belajar yang sedang diuji reabilitas atau kehandalannya dinyatakan telah memiliki realibilitas yang tinggi (= reliabel ).
b. Apabila r11 lebih kecil daripada 0,70 berarti bahwa tes hasil belajar yang sedang diuji reliabilitasnya dinyatakan belum memiliki realibilitas yang tinggi (= in reliabel ). Suatu tes sebagai salah satu perangkat dalam melaksanakan penilaian harus memiliki bukti kesahihah dan kehandalan sehingga betul-betul menilai apa yang seharusnya dinilai dan hasilnya dapat dibandingkan. Kesahihan dan kehandalan tes tidak bersifat universal tergantung pada situasi dan kondisi serta tujuan penilaian itu sendiri. Alat tes yang memiliki kesahihan untuk tujuan tertentu belum tentu sahih untuk tujuan yang lain. 32
5. Tingkat Kesukaran dan Daya Beda Penilaian Uraian Obyektif dalam Pembelajaran Fiqih Tingkat kesukaran merupakan salah satu ciri dari soal yang perlu diperhatikan karena tingkat kesukaran soal menunjukkan seberapa sukar atau mudahnya soal tersebut secara keseluruhan yang telah diselenggarakan. Suatu soal tidak boleh terlalu mudah dan juga tidak boleh terlalu sukar. Sebuah soal yang terlalu mudah sehingga dapat dijawab benar oleh siswa-siswi bukanlah merupakan soal yang baik. Begitu pula soal yang terlalu sulit dan tidak bisa dikerjakan oleh semua siswa juga merupakan soal yang tidak baik. 33 32
Mimin Hariyati, Sistem Penilaian Berbasis Kompetensi: Teori dan Praktek (Jakarta: Gaung Persada Press, 2000), 57. 33 Wacan Nurkancana dan Sumartana, Evaluasi Pendidikan (Surabaya: Usaha Nasional, 1980), 130.
Butir-butir soal harus diketahui tingkat kesukarannya, hal itu bertujuan untuk mengetahui apakah soal itu mudah, sedang atau sukar. Tingkat kesukaran dapat dilihat dari kemampuan siswa menjawab soal. Rumus yang digunakan untuk menghitung tingkat kesukaran butir tes adalah:
TK =
B N x skor maks
TK = Tingkat kesukaran B = Jumlah skor siswa yang menjawab dengan benar N = Jumlah siswa Daya beda adalah analisis yang mengungkapkan beberapa besar suatu tes dapat membedakan antara siswa kelompok tinggi dengan siswa kelompok rendah. Siswa yang termasuk kelompok tinggi adalah siswa yang mempunyai rata-rata skor paling baik siswa yang termasuk kelompok terendah adalah siswa yang mempunyai rata-rata yang rendah. Rumus yang digunakan untuk menghitung daya pembeda butir tes adalah: DB =
U-L NUP x skor max
DB
= Daya beda
U
= Kelompok tinggi
N
= Jumlah siswa upper atau lower
NUP
= Jumlah siswa upper atau lower
6. Hasil Pelaksanaan Penilaian Uraian Obyektif dalam Pembelajaran Fiqih Mengacu pada pedoman penilaian berdasarkan kurikulum 2004, pelaksanaan penilaian baik ranah kognitif, psikomotrik, maupun afektif, dalam suatu semester dapat dilakukan beberapa kali melalui ulangan harian atau tes sumatif, mid semester dan akhir semester (sumatif), tes perbuatan atau kinerja atau performans, observasi atau pengamatan, portofolio penilaian, wawancara, tugas-tugas terstruktur baik individu maupun kelompok, dan catatan perilaku harian laporan aktivitas di luar kelas. 34 Skala penilaian untuk ketiga ranah dilakukan secara kuantitatif dan
kualitatif.
Untuk
ranah
kognitif
dan
psikomotor
biasanya
menggunakan skala penilaian kualitatif yakni dalam bentuk angka atau
numberik dengan rentang 0-100. Sedangkan untuk ranah afektif, biasanya menggunakan skala penilaian kuantitatif yakni dalam bentuk huruf, misalnya huruf A-C (A = amat baik, B = baik, C = cukup), guru dapat membuat kriteria secara mandiri mengenai siswa yang mendapat nilai A, B, dan C. Batas ketuntasan maksimum adalah 100 untuk ketiga aspek di atas. Namun pada prakteknya batas ketuntasan belajar yang banyak digunakan adalah 75% atau tergantung kepada tingkat kesulitan dan kedalaman kompetensi yang harus dicapai siswa. Guru bersama rekan 34
Arnie Fajar, Portofolio dalam Pembelajaran IPS (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005), 228.
semata pelajaran dapat bermusyawarah untuk menentukan batas atau standar minimal ketuntasan belajar siswa, dengan memperhatikan kondisi siswa atau sekolah dan secara bertahap dan terencana berupaya untuk mencapai ketuntasan masimal. Bagi siswa yang belum mencapai ketuntasan belajar harus mengikuti program remedial. Hasil penilaian akhir siswa terdiri dari perpaduan antara tes formatif, mid semester dan tugas-tugas yang telah diberikan dalam jangka waktu tertentu dan dalam berbagai rentang situasi. Pada akhir satuan waktu (semester atau tahun), guru perlu membuat keputusan akhir tentang kemampuan yang telah dikuasai siswa berkaitan dengan indikasi pencapaian yang telah ditetapkan oleh guru dengan mengacu kepada ketentuan nasional. Hasil penilaian yang telah diolah, harus ditindaklanjuti. Bagi siswa yang belum mencapai ketuntasan belajar perlu dilakukan remedial dengan berbagai cara sesuai dengan tipe kelemahan yang dimiliki siswa. Sedangkan bagi siswa yang sudah mencapai ketuntasan belajar perlu dilakukan pengayaan melalui penambahan tugas-tugas yang disesuaikan dengan ciri kelebihan dan minat mereka. Selain itu, guru perlu memberikan tugas-tugas ekstra kepada semua siswa sesuai dengan minat, perhatian dan kesenangan mereka, misalnya melakukan pengamatan kegiatan para gelandangan, pengamen jalanan, kenakalan remaja, perilaku remaja, tenaga kerja dibawah umur,
berbagai kesenian daerah, masyarakat tradisional, petani di desa, nelayan dan sebagainya, sesuai dengan kondisi daerah setempat. Dalam membuat penilaian yang akurat dan adil guru hendaknya bersikap optimal, yaitu: a. Memanfaatkan berbagai bukti hasil kerja siswa dan sejumlah penilaian yang dilakukan dengan berbagai strategi dan cara. b. Membuat keputusan yang adil terhadap penguasaan kemampuan siswa dengan mempertimbangkan hasil kerja yang dikumpulkan. 35
35
Ibid., 299-230.
BAB III IMPLEMENTASI PENILAIAN URAIAN OBYEKTIF DALAM PEMBELAJARAN FIQIH DI MTs PEMBANGUNAN AL-FATTAH KIKIL ARJOSARI PACITAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian 1. Sejarah Berdirinya MTs Pembangunan Al-Fattah Kikil Arjosari Pacitan Berdirinya MTs Pembangunan Al-Fattah Kikil Arjosari Pacitan tidak terlepas dari sosok KH. Ali Murtadlo pendiri pondok pesantren Al-Fattah Kikil. Hal ini karena MTs Pembangunan Al-Fattah Kikil merupakan bagian dan perkembangan dari Pondok Pesantren Al-Fattah Kikil. Sejak 14 tahun yang lalu tepatnya pada tahun 1866 Pondok Pesantren
Al-Fattah
Kikil
Arjosari
berdiri.
Untuk
mengetahui
perkembangan MTs Pembangunan Al-Fattah Kikil Arjosari Pacitan berikut akan disajikan periodesasi kepemimpinan Pondok Pesantren AlFattah Kikil Arjosari Pacitan. a. Periode pertama, KH. Ali Murtadlo (1866-1906) Pada kepemimpinan KH. Ali Murtadlo ciri utama metode pengajaran yang diterapkan adalah metode salafi yaitu sistim bandongan dan sorogan.
b. Periode kedua, KH. Hasbullah (1906-1932) Sepeninggal KH. Ali Murtadlo kepemimpinan dipegang oleh KH. Hasbullah dimana pada periode ini santri semakin banyak dan kajian kitabpun mulai ditambah. Namun sistem pengajaran tidak jauh berbeda dengan masa periode pertama. c. Periode ketiga, KH. Bakri Hasbullah (1932-1976) Pada periode selanjutnya adalah masa kepemimpinan KH. Bakri Hasbullah di mana pada masa ini pembangunan mulai banyak dilakukan baik fisik maupun non fisik. Pembangunan dilakukan beliau setelah menyelesaikan dari nyantrinya di Pondok Pesantren Al-Hidayah Lasem Rembang Jawa Tengah. Pada periode inilah pembaharuan dimulai, yang diawali dengan memperbaiki sistem pengajaran dari sistem salafi ke sistem khalafi (klasikal), yang ditandai dengan berdirinya madrasah Islamiyah. d. Periode keempat, KH. Moch. Burhanuddin HB (1976 – sekarang) periode kebangkitan Pada periode KH. Burhanuddin HB inilah, pondok pesantren Al-Fattah Kikil Arjosari Pacitan mulai pembaharuan besar-besaran, setelah estafet kepemimpinan dipegang oleh putra KH. Bakri Hasbullah nomer dua ini, sistem pendidikan mulai diperbaharui. Yang pertama adalah madrasah Islamiyah yang sudah ada sejak periode sebelumnya kemudian dimunculkan mulai sejak tahun 1976. setelah beliau menyelesaikan pendidikannya di Pondok Modern
Gontor Ponorogo, madrasah inilah yang mengawali istiqomah beliau dalam pengembangan pondok pesantren Al-Fattah Kikil, setelah Madrasah Diniyah Islamiyah berdiri maka tahun berikutnya untuk menandai perkembangan didirikan institusi yang lebih tinggi yaitu Madrasah Tsanawiyah (MTs) tepatnya tanggal 20 Januari 1977, dengan berbekal ilmu dari Pondok Modern Gontor Ponorogo, beliau berusaha mengembangkan lembaga pendidikan ini dibawah naungan pondok pesantren Al-Fattah Kikil. Dengan berdirinya Madrasah Tsanawiyah Pembangunan (MTs P) maka kebangkitan mulai tampak, untuk memudahkan pengawasan dan menajemen serta meningkatkan profesionalisme maka beberapa tahun kemudian didirikan yayasan pondok pesantren Al-Fattal yang melengkapi kebangkitan dan pembaharuan di pondok ini. 36
2. Letak Geografis MTs Pembangunan Al-Fattah Kikil Arjosari Pacitan Madrasah Tsanawiyah Pembangunan Al-Fattah Kikil Arjosari Pacitan adalah madrasah yang sudah berdiri sejak tahun 1977 yang berlokasi di Dusun Kikil Desa Arjosari Kecamatan Arjosari Kabupaten Pacitan. Madrasah Tsanawiyah Pembangunan Al-Fattah Kikil Arjosari Pacitan menempati areal seluas 10.614,76 m 2.
36
Lihat transkrip dokumentasi nomor: 01/D/03.VIII/2009 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini.
Adapun batas wilayah MTs Pembangunan Al-Fattah Kikil Arjosari Pacitan adalah sebagai berikut: a. Sebelah utara berbatasan dengan Desa Jatimalang. b. Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Pagutan. c. Sebelah barat berbatasan dengan Desa Tremas. d. Sebelah timur berbatasan dengan Desa Gembong. 37
3. Visi, Misi dan Tujuan MTs Pembangunan Al-Fattah Kikil Arjosari Pacitan a. Visi Membentuk generasi yang tangguh, beriman, berilmu, dan berakhlak karimah.
b. Misi 1) Melaksanakan pembelajaran dan bimbingan secara efektif, sehingga santri dapat berkembang secara optimal sesuai dengan potensi yang dimiliki baik rohaniyah, IPTEK, dan
akhlakul
karimah. 2) Menumbuhkan semangat ketangguhan secara intensif kepada seluruh warga pondok pesantren sehingga termotivasi untuk berprestasi tinggi.
37
Lihat transkrip dokumentasi nomor: 02/D/03.VIII/2009 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini.
3) Mendorong dan membantu setiap santri untuk mengenali potensi dirinya sehingga tumbuh dan berkembang secara utuh dan optimal.
c. Tujuan 1) Semua santri rajin dan taat beribadah. 2) Semua santri dapat mengamalkan keimanan dan ketaqwaannya. 3) Semua santri gemar membaca untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. 4) Semua santri dapat diterima masyarakat. 38
4. Struktur Organisasi MTs Pembangunan Al-Fattah Kikil Arjosari Pacitan Organisasi pendidikan merupakan kerangka atau bentuk yang menjadi wadah dan usaha kerja bersama dalam satu lembaga pendidikan. Tanggung jawab pendidikan dan pengajaran adalah berada di tangan kepala sekolah dan guru-guru yang membidangi bidang studi masing-masing serta semua pihak-pihak yang mendukung, yang mana semuanya mempunyai pekerjaan dan tanggung jawab sendiri-sendiri. Kesemuanya bekerja sama untuk meningkatkan mutu pendidikan agar tercapai pendidikan dan pengajaran yang lebih ditentukan. 39
38
Lihat transkrip dokumentasi nomor: 03/D/03.VIII/2009 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini. 39 Lihat transkrip dokumentasi nomor: 04/D/05.VIII/2009 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini.
5. Sarana dan Prasarana MTs Pembangunan Al-Fattah Kikil Arjosari Pacitan Sarana dan prasarana merupakan penunjang kegiatan proses belajar mengajar. Dengan adanya sarana dan prasarana yang memadai tujuan pendidikan dapat dicapai secara maksimal. Adapun sarana dan prasarana yang dimiliki MTs Pembangunan Al-Fattah Kikil Arjosari Pacitan dapat dilihat dalam lampiran. 40
6. Keadaan Guru MTs Pembangunan Al-Fattah Kikil Pacitan Dalam pembelajaran guru adalah sebagai salah satu faktor yang mendukung proses belajar mengajar, tanpa adanya guru, proses belajar mengajar tidak bisa terlaksana. Adapun daftar guru-guru yang ada dapat dilihat di lampiran. 41
7. Keadaan Siswa MTs Pembangunan Al-Fattah Arjosari Pacitan Siswa merupakan faktor pendidikan yang penting karena siswa merupakan input yang akan dididik. Bagaimana keadaan siswa tertib atau tidak, berkualitas atau tidak juga akan mempengaruhi proses belajar mengajar. Jumlah di MTs Pembangunan Al-Fattah Kikil Arjosari Pacitan tahun ajaran 2009-2010 + 498 siswa. 42
40
Lihat transkrip dokumentasi nomor: 05/D/14.VIII/2009 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini. 41 Lihat transkrip dokumentasi nomor: 06/D/14.VIII/2009 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini. 42 Lihat transkrip dokumentasi nomor: 07/D/15.VIII/2009 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini.
Sedangkan dalam penelitian ini peneliti hanya memfokuskan pada siswa MTs Pembangunan Al-Fattah Kikil Arjosari Pacitan kelas VII yang berada di MTs Pembangunan Al-Fattah Kikil Arjosari Pacitan tidak termasuk MTs cabangnya. Adapun jumlah siswa bisa dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 3.1 Keadaan Siswa Kelas VII MTs Pembangunan Al-Fattah Kikil Arjosari Pacitan No 1. 2. 3.
Kelas
L 15 14 15
VII A VII B VII C
Jumlah P L+P 14 29 15 29 14 29
B. Deskripsi Data 1. Instrumen Penilaian Uraian Obyektif dalam Pembelajaran Fiqih di MTs Pembangunan Al-Fattah Kikil Arjosari Pacitan Madrasah Tsanawiyah Pembangunan Al-Fattah Kikil senantiasa meningkatkan kualitas peserta didiknya dengan berbagai cara melalui kegiatan pendidikan dan pengajaran. Dalam kegiatan pembelajaran merupakan tugas guru untuk bisa menentukan suatu cara agar siswa yang dibimbingnya bisa meraih prestasi yang baik dalam mata pelajaran yang telah diajarkan. Hal ini juga yang dilakukan oleh guru pelajaran fiqih,
keterlibatan
siswa
dalam
proses
belajar
mengajar
harus
ditonjolkan dalam menemukan dan mengungkapkan atau menjelaskan
dan menjawab soal-soal mata pelajaran fiqih. Dalam hal ini guru dituntut harus pandai dalam menentukan atau memilih instrumen penilaian yang akan digunakan. Salah satu instrumen penilaian yang digunakan oleh guru fiqih di MTs Pembangunan Al-Fattah Kikil Arjosari Pacitan adalah instrumen penilaian uraian obyektif. Penilaian uraian obyektif merupakan salah satu dari sekian macam-macam penilaian, yang bertujuan untuk mengukur kemampuan siswa pada aspek kognitif. Ada beragam teknik yang dapat dilakukan untuk mengumpulkan informasi tentang keberhasilan belajar peserta didik dalam pembelajaran fiqih, baik yang berhubungan dengan proses belajar maupun hasil belajar. Teknik pengumpulan informasi tersebut pada prinsipnya adalah cara penilaian kemajuan belajar peserta didik berdasarkan standar kompetensi
dan
kompetensi
dasar
(beserta
indikator-indikator
pencapaian meliputi satu ranah atau lebih). Penilaian uraian obyektif yang diterapkan di MTs Pembangunan Al-Fattah Kikil Arjosari Pacitan adalah untuk mengetahui seberapa jauh pemahaman
peserta
didik
dalam
memahami
materi
yang telah
disampaikan oleh pendidik. Pertanyaan uraian obyektif menuntut siswa untuk menjawab dengan uraian jawaban yang terbatas. Penilaian uraian obyektif merupakan salah satu instrumen penilaian yang sering digunakan oleh guru fiqih di MTs Pembangunan Al-Fattah Kikil
Arjosari Pacitan. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Ibu Wiwik Sri Barokah, S.Pd.I selaku guru bidang studi fiqih: "Dalam melaksanakan penilaian saya biasanya menggunakan instrumen penilaian uraian obyektif, dimana saya menginginkan agar peserta didik memberikan jawaban dalam bentuk uraian yang obyektif atau terbatas".43 Hal ini juga disampaikan oleh Bapak kamdi, S.Pd. selaku waka kurikulum MTs Pembangunan Al-Fattah Kikil Arjosari Pacitan: "Instrumen yang biasa digunakan oleh guru mata pelajaran fiqih di MTs ini meliputi pilihan ganda dan uraian obyektif, dimana instrumen uraian lebih ditekankan karena nilainya lebih tinggi". 44 Lebih lanjut Bapak Kamdi menyampaikan bahwa setiap akan mengajar
guru
harus
mempersiapkan
dan
menyusun
rencana
pelaksanaan pelajaran yang akan disampaikan disertai dengan instrumen penilaiannya. Dengan berganti-ganti dan materi terkadang tidak sesuai dengan yang dikemukakan oleh Ibu Wiwik Sri Barokah, S.Pd.I selaku guru fiqih: “Ya, saya menggunakan ketiga aspek penilaian yaitu: aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek psikomotorik, karena ketiga ranah tersebut selalu terkait dalam sistem penilaian.”45
Proses pembelajaran fiqih di MTs Pembangunan Al-Fattah Kikil Arjosari Pacitan selalu menuntut agar guru pandai dalam menguasai dan menyampaikan materi pelajaran yang diembannya agar para peserta
43
Lihat transkrip wawancara nomor: 04/4-W/F-1/14-VIII/2009 dalam lampiran hasil
penelitian. 44
Lihat transkrip wawancara nomor: 01/1-W/F-1/03-VIII/2009 dalam lampiran hasil
penelitian. 45
penelitian.
Lihat transkrip wawancara nomor: 04/4-W/F-1/14-VIII/2009 dalam lampiran hasil
didik mudah menerima dan menyerap materi yang disampaikan. Kegiatan belajar mengajar di MTs Pembangunan Al-Fattah Kikil Arjosari Pacitan menekankan adanya kerjasama antara pendidik dan peserta didik agar pembelajaran berjalan lancar. Ketika pendidik menyampaikan dan menjelaskan materi para peserta didik menyimak dan memperhatikan dengan seksama sambil mencatat materi-materi yang penting. Hal ini tidak terlepas dari cara mengajar guru yang disukai oleh peserta didik dan pelajaran fiqih yang banyak diminati. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Puji Asmawati siswa kelas VIIB MTs: “Senang, karena gurunya sabar dan enak dalam menyampaikan materi-materi pelajaran”.46 Hal senada juga disampaikan oleh Devi Yunita Sari siswa kelas VII A MTs bahwa dia senang dengan pelajaran dan cara mengajar guru fiqih: “Ya, karena pelajarannya mudah dan berkaitan dengan kehidupan kita sehari-hari. Senang karena gurunya sabar dan mengajarnya pun enak sehingga materi yang disampaikan mudah diterima.” 47 Untuk mengetahui sejauhmana penerimaan siswa terhadap materi yang diberikan guru mengadakan ulangan harian setiap selesai satu bab. Dalam pelaksanaan penilaian pembelajaran yang digunakan ada tes tulis dan praktek. Untuk instrumen penilaian yang dipakai adalah pilihan ganda atau uraian bahkan campuran keduanya, tapi guru lebih 46
Lihat transkrip wawancara nomor: 05/5-W/F-1/14-VIII/2009 dalam lampiran hasil
penelitian. 47
penelitian.
Lihat transkrip wawancara nomor: 03/3-W/F-1/07-VIII/2009 dalam lampiran hasil
menekankan kepada uraian obyektifnya. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Ibu Wiwi Sri Barokah, S.Pd.I: “Ya tidak pasti, kadang pilihan ganda, kadang uraian obyektif, kadang campuran keduanya. Tapi saya lebih menekankan yang uraian obyektif karena skornya lebih tinggi.” 48 Terkait dengan penilaian hasil belajar peserta didik yang dilakukan oleh guru fiqih selain untuk melihat proses, juga digunakan untuk memantau kemajuan perkembangan hasil belajar peserta
didik
sesuai dengan kemampuan dan potensi yang dimiliki oleh masingmasing individu, juga sebagai umpan balik kepada guru agar dapat menyempurnakan dan memperbaiki perencanaan, proses, dan program pembelajarannya. Tes tertulis bentuk uraian obyektif adalah alat penilaian yang menuntut
peserta
didik
untuk
mengingat,
memahami,
dan
mengorganisasikan gagasannya atau hal-hal yang sudah dipelajari. Peserta didik mengemukakan atau mengekspresikan gagasan tersebut dalam bentuk uraian tertulis dengan menggunakan kata-kata sendiri. Instrumen ini dapat menilai berbagai jenis kompetensi, misalnya mengemukakan pendapat, berpikir logis, dan menyimpulkan. Ada beberapa instrumen penilaian yang sering digunakan oleh guru fiqih saat menilai para siswa-siswinya dalam pembelajaran fiqih di MTs Pembangunan Al-Fattah Kikil arjosari Pacitan. Hal ini sesuai dengan yang diutarakan Nia Mathul Amanah siswi kelas VIIIB MTs: 48
penelitian.
Lihat transkrip wawancara nomor: 04/4-W/F-1/14-VIII/2009 dalam lampiran hasil
“Bentuk instrumen penilaiannya kadang pilihan ganda ada juga yang uraian obyektif atau perpaduan antara pilihan ganda dan uraian. Tapi saya lebih senang dengan instrumen pemutaran uraian obyektif karena nilainya lebih banyak.” 49 Contoh istrumen uraian obyektif yang digunakan di MTs Pembangunan Al-Fattah Kikil Arjosari Pacitan jumlahnya lima soal, yaitu: 1. Sebutkan sumber-sumber fiqih! 2. Ada berapa macam sumber-sumber fiqih? 3. Apa isi fiqih? 4. Perbuatan manusia terkena hokum! Sebutkan hokum tersebut! 5. Apa manfaat anda mempelajari fiqih? 50
2. Menguji
Kehandalan
Instrumen
Penilaian
Obyektif
Dalam
Pembelajaran Fiqih di MTs Pembangunan Al-Fattah Arjosari Pacitan Suatu tes sebagai salah satu perangkat dalam penilaian harus memiliki bukti kehandalan sehingga betul-betul menilai apa yang seharusnya dinilai dan hasilnya dapat dibandingkan. Kehandalan tes tidak berlaku universal tergantung pada situasi dan kondisi serta tujuan penilaian itu sendiri. Penilaian uraian obyektif merupakan salah satu dari sekian macam-macam penilaian yang tidak lepas dari kehandalan-kehandalan 49
Lihat transkrip wawancara nomor: 02/2-W/F-1/05-VIII/2009 dalam lampiran hasil penelitian. 50 Lihat transkrip dokumentasi nomor: 08/D/18-X/2009 dalam lampiran hasil penelitian.
dalam penggunaannya tidak terkecuali juga dalam penerapannya pada mata pelajaran fiqih di MTs Pembangunan Al-Fattah Kikil Arjosari Pacitan. Dari hasil wawancara yang peneliti lakukan dengan guru fiqih diketahui bahwa sebelum mengadakan penilaian guru harus menyiapkan dan menentukan instrumen penilaian yang akan digunakan dan harus memperhatikan tingkat kehandalannya. Dalam hal ini guru mata pelajaran fiqih di MTs Pembangunan Al-Fattah Kikil Arjosari Pacitan menguji
kehandalan
instrumen
uraian
obyektif
dengan
melihat
kemampuan siswa dalam menjawab soal-soal yang diberikan. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Ibu Wiwik Sri Barokah, S.Pd.I: "Ya, saya mengujinya dengan melihat soal-soal apakah sudah sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang ada dan melihat jawaban-jawaban siswa." 51
Dari Pembangunan
contoh
uraian
Al-Fattah
obyektif
Kikil
yang
Arjosari
diterapkan
Pacitan, 52
di
maka
MTs dapat
digambarkan tingkat kehandalannya, antara lain: a. Untuk soal nomor 1, 3, 4 dan 5 tingkat kesukarannya mudah karena nilai yang diperoleh peserta didik sudah sesuai atau mendekati skor maksimal yang telah ditetapkan.
51
Lihat transkrip wawancara nomor: 06/ -W/F-2/25-VIII/2009 dalam lampiran hasil penelitian. 52 Lihat transkrip dokumentasi nomor: 08/D/19-XI/2009 dalam lampiran hasil penelitian.
b. Untuk soal nomor 2 tingkat kesukarannya sedang atau baik karena butir soal sudah memenuhi tingkat ideal yaitu nilai yang diperoleh peserta didik berkisar antara 0,40-0,80. Sedangkan daya beda soal uraian obyektif yang telah diujikan adalah sebagai berikut: 7. Untuk soal nomor 1, 2, 4 dan 5 daya beda soal uraian obyektif sudah cukup baik karena sudah dapat membedakan antara kelompok mampu dan kelompok kurang mampu. 8. Untuk soal nomor 3 daya beda soal uraian obyektif jelek karena belum membedakan mana siswa yang kelompok mampu dengan kelompok kurang mampu.
3. Hasil Pelaksanaan Penilaian Uraian Obyektif dalam Pembelajaran Fiqih di MTs Pembangunan Al-Fattah Kikil Arjosari Pacitan Belajar adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang. Perubahan sebagai hasil dari proses belajar dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk seperti berubahnya pengetahuan, pemahaman, sikap dan tingkah laku, keterampilan, kecakapan, kebiasaan, serta perubahan aspek-aspek lain yang ada pada individu yang belajar. Madrasah Tsanawiyah Pembangunan Al-Fattah Kikil Arjosari Pacitan adalah salah satu madrasah yang sangat memperhatikan dan menjunjung tinggi kualitas dan nilai-nilai pendidikan. Sebagai madrasah
yang bercirikan ke-Islaman Madrasah Tsanawiyah Pembangunan AlFattah Kikil Arjosari Pacitan selalu berusaha meningkatkan mutu lulusan-lulusan dari sekolah umum. Maka dari itu pihak madrasah senantiasa berusaha dengan berbagai upaya agar dapat mewujudkan visi, misi madrasah yang ingin dicapai. Hasil belajar dapat diketahui dengan diadakannya penilaianpenilaian yang digunakan oleh guru fiqih salah satunya adalah penilaian uraian obyektif. Dimana penilaian dilakukan setiap kali selesai satu pokok bahasan. Dari hasil wawancara yang peneliti lakukan, sejauh ini hasil pelaksanaan penilaian yang diberlakukan oleh guru pelajaran fiqih sudah bisa memenuhi nilai yang ditentukan. Nilai yang ditentukan oleh guru fiqih adalah 70. dan kebanyakan peserta didik mendapatkan nilai di atas 70. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Ibu Wiwik Sri Barokah, S.Pd.I selaku guru fiqih di MTs Pembangunan Al-Fattah Kikil Arjosari Pacitan: “Untuk sejauh ini hasil yang kami capai sudah memenuhi standar nilai kriteria ketuntasan minimal karena banyak siswa yang mendapatkan nilai di atas 70.”53 Hal senada juga disampaikan oleh Bapak Kamdi, S.Pd. selaku Waka Kurikulum Madrasah Tsanawiyah bahwa saat ini nilai yang
53
Lihat transkrip wawancara nomor: 07/4-W/F-3/25-VII80I/2009 dalam lampiran hasil penelitian.
diperoleh anak didik cukup baik dan banyak yang telah memenuhi KKM yang telah ditentukan yaitu diatas 70.54 Hasil dari pelaksanmaan instrumen penilaian uraian obyektif yang telah diterapkan di MTs Pembangunan Al-Fattah Kikil Arjosari Pacitan adalah sudah cukup memenuhi nilai KKM yang ditentukan. Hal ini dapat dilihat dari hasil nilai yang didapatkan oleh peserta didik: 55
No Urut 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. No Urut 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27
Nama Siswa Abdul Latif Muhtar Agus Supriyanto Ahmad Zaki Deni Nasfatah Dwi Febriantoro Fahrur Rozi Hafid Syaefudin Heri Kiswanton Imam Vachrudin M. Arifan Bahauddin M. Najmudin al-Maulidi Nurul Yuda Prasetya Solichin Yoyok Triono Aida Aprianti Aprilia Zulia Ningrum Devi Yunita Sari Difa Tri Arisma Evi Selviana Nama Siswa Hidayatul Mufidah Lia Masitoh Dianti Nopi Mustika Nurul Badriyatis Sholihah Qotrunnada Assofiyati Siti Chotimah Siti Masruroh Tyas Ellifah Hani
Hasil Nilai Ulangan 90 100 90 90 100 95 70 70 100 100 90 80 70 90 80 80 80 90 Hasil Nilai Ulangan 90 90 80 95 90 100 -
54 ` Lihat transkrip wawancara nomor: 01/1-W/F-3/03-VIII/2009 dalam lampiran hasil penelitian. 55 Lihat transkrip dokumentasi nomor: /D/19-XI/2009 dalam lampiran hasil penelitian.
BAB IV ANALISIS IMPLEMENTASI PENILAIAN URAIAN OBYEKTIF DALAM PEMBELAJARAN FIQIH DI MTs PEMBANGUNAN AL-FATTAH KIKIL ARJOSARI PACITAN TAHUN PELAJARAN 2009/2010
A.
Analisis Mengenai Instrumen Penilaian Uraian Obyektif
Dalam
Pembelajaran Fiqih di MTs Pembangunan Al-Fattah Kikil Arjosari Pacitan Penilaian merupakan istilah yang umum dan mencakup semua metode yang biasa dipakai untuk mengetahui keberhasilan belajar siswa dengan cara menilai unjuk kerja individu, peserta didik atau kelompok. Penilaian adalah penerapan berbagai cara dan penggunaan beragam alat penilaian untuk memperoleh informasi tentang sejauh mana hasil belajar peserta didik atau informasi tentang ketercapaian kompetensi peserta didik. Proses penilaian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan tentang sebaik apa hasil atau prestasi peserta didik. Dalam
proses
belajar
mengajar
penilaian
menempati
dan
merupakan aspek yang penting karena berkenaan dengan tercapainya tujuan pengayaan, kelancaran dan efisiensi prosedur instruksional dan penentuan tingkat keberhasilan dalam proses belajar mengajar. Di MTs Pembangunan Al-Fattah Kikil Arjosari Pacitan proses penilaian mata pelajaran fiqih yang digunakan oleh guru mata pelajaran fiqih adalah instrumen pilihan ganda dan uraian obyektif. Selain penilaian
aspek kognitif, aspek psikomotorik juga dinilai. Hal ini bertujuan selain peserta didik cakap dan pandai dalam kontekstualnya dia juga mampu mempraktekkan mata pelajaran fiqih dalam kehidupan sehari-harinya. Karena mata pelajaran fiqih merupakan salah satu mata pelajaran yang sangat berguna sekali dalam kehidupan sehari-hari, sebab fiqih menyentuh langsung dengan realitas sosial masyarakat yang ada. Mata pelajaran fiqih dalam kurikulum Madrasah Tsanawiyah adalah salah satu bagian mata pelajaran pendidikan agama Islam yang diarahkan untuk menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati dan mengamalkan hukum Islam yang kemudian menjadi dasar pandangan hidup melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan, pengalaman dan pembiasaan. Madrasah Tsanawiyah Pembangunan Al-Fattah Kikil Arjosari Pacitan untuk meraih tercapainya tujuan pembelajaran, aspek penilaian yang digunakan tidak terlepas dari tiga ranah yaitu: aspek kognitif, aspek afektif dan aspek psikomotorik. Penilaian yang dilakukan oleh guru fiqih MTs Pembangunan AlFattah Kikil Arjosari Pacitan selain untuk memantau proses, juga digunakan untuk mengetahui kemajuan perkembangan hasil belajar peserta sesuai dengan potensi yang dimiliki, juga sekaligus sebagai umpan balik kepada guru agar dapat menyempurnakan perencanaan, proses dan program pembelajaran yang dilakukan.
Instrumen
penilaian
uraian
obyektif
yang
diterapkan
MTs
Pembangunan Al-Fattah Kikil dalam pembelajaran Fiqih biasanya terdiri dari 5 soal. Instrumen penilaian uraian obyektif ini diterapkan untuk mengetahui sejauh mana pengetahuan dan pemahaman peserta didik terhadap materi yang telah disampaikan oleh pendidik. Dengan diterapkannya instrumen penilaian uraian obyektif maka peserta didik dituntut untuk mengembangkan kemampua berfikirnya khususnya pada aspek analisis, sintesis dan evaluasi. Melihat contoh-contoh soal instrumen penilaian obyektif yang diterapkan di MTs Pembangunan Al-Fattah Kikil Arjosari Pacitan sudah baik karena telah memenuhi karakteristik-karakteristik yang ada dalam penilaian uraian obyektif. Seperti yang telah dijelaskan di bab II penilaian uraian obyektif memiliki karakteristik seperti di bawah ini: 1. Tes tersebut berbentuk pertanyaan atau perintah yang menghendaki jawaban berupa uraian atau paparan kalimat yang pada umumnya cukup panjang. 2. Bentuk-bentuk pertanyaan atau perintah itu menuntut kepada testee untuk memberikan penjelasan, komentar, penafsiran, membandingkan, membedakan dan sebagainya. 3. Jumlah butir soalnya umumnya terbatas, yang berkisar antara lima sampai dengan sepuluh butir. 4. Jumlah butir soalnya umumnya terbatas, yaitu berkisar antara lima sampai dengan sepuluh butir.
5. Pada umumnya butir-butir soal tes uraian itu diawali dengan kata-kata: “jelaskan…, terangkan…, mengapa…, bagaimana…., dan kata-kata lain yang serupa dengan itu”.
B.
Analisa Mengenai Menguji Kehandalan Instrumen Penilaian Uraian Obyektif dalam Pembelajaran Fiqih di MTs Pembangunan Al-Fattah Kikil Arjosari Pacitan Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa penilaian merupakan suatu pendekatan yang sering dilakukan oleh guru untuk mengukur pemahaman siswa terhadap materi yang telah disampaikan. Dalam hal ini penilaian mempunyai berbagai ragam dan macamnya. Penilaian uraian obyektif merupakan salah satu dari sekian macam-macam penilaian. Sebagaimana halnya dengan penilaian yang lainnya, penilaian uraian obyektif tidak lepas dari kehandalan-kehandalannya dalam penerapannya tidak terkecuali dalam penerapannya dalam pembelajaran fiqih. Dalam
penilaian
pasti
tidak
lepas
dari
kehandalan
dan
kelemahannya masing-masing, begitu juga dengan penilaian uraian obyektif yang diterapkan di MTs Pembangunan Al-Fattah Kikil Arjosari Pacitan. Penilaian uraian obyektif mengharapkan peserta didik untuk mengembangkan kemampuan berpikirnya khususnya pada aspek analisis, sistesis dan evaluasi. Bentuk instrumen penilaian ini bertujuan agar peserta didik mengungkapkan pikirannya ke dalam suatu kerangka
terstruktur, menguraikan hubungan dan mempertahankan pendapat secara tertulis. Penilaian bentuk uraian obyektif disamping memiliki keunggulan juga tidak terlepas dari kekurangan-kekurangannya. Diantara keunggulan yang dimiliki tes uraian obyektif adalah seperti yang telah dijelaskan pada teori sebelumnya meliputi: 1. Tes uraian pada umumnya kurang dapat menampung atau mencakup dan mewakili isi dan luasnya materi atau bahan pelajaran yang lebih diberikan kepada testee, yang seharusnya diajukan dalam tes hasil belajar. 2. Cara mengoreksi jawaban soal tes uraian cukup sulit. 3. Dalam pemberian skor hasil tes uraian terdapat kecenderungan bahwa
testee lebih banyak bersifat subyektif. 4. Pekerjaan koreksi terhadap lembar-lembar jawaban hasil tes uraian sulit untuk diserahkan kepada orang lain. 5. Daya ketepatan mengukur ( validitas ) dan daya keajegan mengukur (reabilitas ) yang dimiliki tes uraian pada umumnya rendah sehingga kurang dapat diandalkan sebagai alat pengukur hasil belajar yang baik. Dengan mengetahui kehandalan dan kelemahan yang ada pada instrumen penilaian uraian obyektif maka perlu diadakan pengujian mengenai kehandalan instrumen penilaian uraian obyektif yang diterapkan untuk sistem penilaian.
Hal ini juga dilakukan oleh guru pelajaran fiqih di MTs Pembangunan Al-Fattah Kikil Arjosari Pacitan. Instrumen penilaian uraian obyektif diuji dengan melihat apakah soal-soal sudah sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang ada dan melihat jawabanjawaban siswa. Selain itu butir soal instrumen penilaian uraian obyektif yang diterapkan di MTs Pembangunan Al-Fattah Kikil Arjosari Pacitan tidak lepas dari tingkat kesukaran dan daya beda. Adapun tingkat kesukarannya adalah: a. Untuk soal nomor 1, 3, 4 dan 5 tingkat kesukarannya mudah karena nilai yang diperoleh peserta didik sesuai atau mendekati skor maksimal yang telah ditetapkan. b. Untuk soal nomor 2 tingkat kesukarannya sedang atau baik karena butir soal sudah memenuhi tingkat ideal yakni nilai yang diperoleh peserta didik berkisar antara 0,40-0,80. Tingkat kesukaran merupakan salah satu cirri dari soal yang perlu diperhatikan, karena tingkat kesukaran soal menunjukkan seberapa sukar atau mudahnya butir-butir soal yang diujikan. Butir soal yang baik adalah butir soal yang memiliki tingkat kesukaran sedang. Soal yang terlalu mudah itu tidak baik, begitu juga dengan soal yang terlalu sukar juga tidak baik. Tingkat kesukaran dapat dilihat dari jawaban siswa, semakin sedikit jumlah yang dapat menjawab soal itu dengan benar, berarti soal itu termasuk sukar dan sebaliknya semakin banyak siswa yang dapat
menjawab soal dengan benar, berarti itu mengindikasikan soal itu apakah soal itu sudah mencapai tingkat kesukaran apa belum dan bila belum maka hendaknya mengganti dengan soal yang lain. Dalam tingkat kesukaran itu berkisar 0,00-1,00. Sedangkan untuk daya beda butir soal uraian obyektif yang diterapkan di MTs Pembangunan Al-Fattah Kikil Arjosari Pacitan adalah: a. Untuk soal nomor 1, 2, 4 dan 5 daya beda soal uraian obyektif sudah cukup baik karena sudah dapat membedakan antara kelompok mampu dan kelompok kurang mampu. b. Untuk soal nomor 3 daya beda soal uraian obyektif jelek karena belum membedakan mana siswa yang kelompok mampu dan kelompok kurang mampu. Salah satu ciri butir soal yang baik adalah mampu membedakan antara kelompok atas (yang mampu) dan kelompok bawah (kurang mampu). Daya beda adalah analisis yang mengungkapkan seberapa besar suatu butir tes dapat membedakan antara siswa kelompok tinggi dengan siswa kelompok rendah. Dengan adanya tingikat kesukaran dan daya beda yang terkandung dalam butir soal uraian obyektif mata pelajaran fiqih yang diterapkan di MTs Pembangunan Al-Fattah Kikil Arjosari Pacitan maka hal itu dapat dijadikan untuk menguji kehandalan instrumen penilaian uraian obyektif, apakah sudah handal atau belum. Melihat kemampuan siswa yang banyak menjawab benar dari soal-soal yang diberikan yang rata-rata tiap soal
memiliki tingkat kesukaran dan daya beda maka penilaian uraian obyektif yang diterapkan termasuk cukup handal.
C.
Analisa Mengenai Hasil dari Pelaksanaan Penilaian Uraian Obyektif dalam Pembelajaran Fiqih di MTs Pembangunan Al-Fattah Kikil Arjosari Pacitan Penilaian menempati dan merupakan aspek yang penting karena berkenaan dengan tercapainya tujuan pengajaran, kelancaran dan efisiensi prosedur instruksional dan penentuan tingkat keberhasilan yang telah dicapai. Dengan demikian aspek penilaian dapat ditempatkan sebgai titik sentral dalam proses belajar mengajar. MTs
Pembangunan
Al-Fattah
Kikil
Arjosari
Pacitan
yang
merupakan salah satu lembaga pendidikan formal senantiasa berusaha untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang ada, sehingga tujuan pendidikan dapat tercapai dengan semaksimal mungkin. Langkah untuk mencapai dan meningkatkan kualitas pendidikan tersebut dilakukan dengan cara meningkatkan mutu pembelajaran dan mengadakan penilaian untuk mengetahui sejauh mana proses belajar mengajar telah berhasil atau belum. Untuk mengetahui keberhasilan proses belajar mengajar yang telah dilakukan, para pendidik di MTs Pembangunan Al-Fattah Kikil Arjosari Pacitan selalu mengadakan penilaian untuk mengetahui peserta didik menerima materi yang lebih diberikan.
sejauh mana
Berdasarkan
teori
di
bab
II
bahwasannya
hasil
belajar
dikelompokkan menjadi tiga ranah, yaitu ranah kognitif, psikomotorik, dan afektif. Secara eksplisit ketiga ranah ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Dari ketiga aspek ini haruslah dinilai, aspek kognitif berhubungan
dengan
kemampuan
berpikir,
aspek
psikomotorik
berhubungan dengan praktek atau unjuk kerja peserta didik dan kedua aspek itu selalu mengandung aspek afektif, aspek ini berkaitan dengan minat peserta didik terhadap pelajaran. Hal ini juga sudah diterapkan di MTs Pembangunan Al-Fattah Kikil Arjosari Pacitan dalam memberikan penilaian pembelajaran fiqih. Pada umumnya hasil belajar dapat dikelompokkan menjadi tiga aspek yaitu ranah kognitif, psikomotorik dan afektif secara eksplisit ketiga aspek tersebut tidak dipisahkan satu sama lain. Apapun jenis mata ajarannya selalu mengandung tiga aspek tersebut namun memiliki penekanan yang berbeda. Untuk aspek kognitif lebih menekankan pada teori, aspek psikomotorik menekankan pada praktek dan kedua aspek tersebut selalu mengandung aspek afektif. Instrumen penilaian yang digunakan oleh guru mata pelajaran fiqih di MTs Pembangunan Al-Fattah Kikil Arjosari Pacitan adalah pilihan ganda dan uraian obyektif. Instrumen uraian obyektif yang digunakan dalam penilaian dilakukan oleh guru setiap selesai satu pokok bahasan untuk mengetahui sejauh mana peserta didik menerima dan memahami materi yang lebih disampaikan.
Dalam hal ini Ibu Wiwik Sri Barokah menegaskan bahwa sebelum penilaian dilaksanakan guru memberikan saran agar peserta didik mempelajari kembali pelajaran yang telah disampaikan, sehingga pada waktu ulangan peserta didik menjawab soal-soal yang diberikan. Penilaian fiqih yang dilakukan di MTs Pembangunan Al-Fattah Kikil Arjosari Pacitan meliputi penilaian kognitif sekaligus penilaian psikomotorik. Karena pembelajaran fiqih selain mempelajari materi harus dipraktekkan agar dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Maka dari itu untuk materi yang berkaitan dengan aspek psikomotorik guru selalu menekankan untuk dipraktekkan. Aspek psikomotorik dapat dinilai dari hasil unjuk kerja atau praktek peserta didik pada saat pembelajaran berlangsung atau setelah pembelajaran selesai. Dengan adanya penilaian uraian obyektif, maka akan melatih siswa untuk mengembangkan pikirannya dalam menjawab soal-soal yang telah diberikan. Maka dari itu sebelum menyusun instrumen penilaian uraian obyektif haruslah memperhatikan dan mengetahui fungsi dan tujuan dari penilaian itu sendiri. Seperti teori sebelumnya telah dijelaskan fungsi dan tujuan dari penilaian itu, menurut Oemar Hamalik dalam bukunya Psikologi Belajar dan Mengajar.
Hal ini juga sudah diterapkan di MTs Pembangunan Al-Fattah Kikil Arjosari Pacitan dalam menyusun instrumen penilaian uraian obyektif yang dipakai untuk penililaian pelajaran fiqih. Salah satu dari pelaksanaan penilaian yang dilakukan oleh guru fiqih di MTs Pembangunan Al-Fattah Kikil Arjosari Pacitan adalah ulangan harian setiap kali selesai satu materi pokok pembahasan. Dengan diadakannya penilaian setiap kali selesai materi pembahasan akan mempermudah pendidik mengetahui sejauh mana tingkat keberhasilan peserta didik dalam menerima materi yang telah disampaikan oleh pendidik. Dalam penilaian yang diterapkan guru mata pelajaran fiqih telah menentukan kriteria ketuntasan minimal. KKM yang ditentukan adalah 70. Jadi peserta didik yang mendapat nilai 70 berarti lulus sementara yang mendapat nilai kurang dari 70 tidak lulus dan harus mengikuti remedial. Hal ini sesuai dengan teori bahwa batas ketuntasan maksimum adalah 100 untuk ketiga aspek yaitu aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Namun pada prakteknya batas ketuntasan belajar yang banyak digunakan adalah 75 atau tergantung kepada tingkat kesulitan dan kedalaman kompetensi yang harus dicapai siswa. Dan bagi siswa yang belum mencapai ketuntasan belajar harus mengikuti remedial. Hasil dari pelaksanaan penilaian instrumen uraian obyektif yang diterapkan di MTs Pembangunan Al-Fattah Kikil Arjosari Pacitan sudah memenuhi standar ketuntasan minimal yang telah ditetapkan oleh
pendidik. Batas kriteria ketuntasan adalah 70 dan rata-rata peserta didik mendapat nilai di atas 70. Sesuai dengan teori hasil penilaian harus ditindaklanjuti. Bagi siswa yang belum mencapai ketuntasan belajar perlu dilakukan remedial dengan berbagai cara sesuai dengan tipe kelemahan yang dimiliki siswa. Sedangkan bagi siswa yang sudah mencapai ketuntasan belajar perlu dilakukan pengayaan melalui penambahan tugas-tugas yang disesuaikan dengan ciri kelebihan dan minat mere ka. Sistem remedial bagi siswa yang tidak mencapai nilai kriteria ketuntasan minimal inipun diterapkan oleh guru fiqih di MTs Pembangunan Al-Fattah Kikil Arjosari Pacitan dalam pembelajaran fiqih.
BAB V KESIMPULAN
A. Kesimpulan 1. Instrumen penilaian uraian obyektif dalam pembelajaran fiqih di MTs Pembangunan Al-Fattah Kikil Arjosari Pacitan terdiri dari soal, instrumen penilaian uraian obyektif ini digunakan untuk menilai aspek kognitif. Penilaian ini selain untuk memantau proses, juga digunakan untuk mengetahui kemajuan perkembangan hasil belajar peserta didik sesuai dengan potensi yang dimiliki, juga sekaligus sebagai umpan balik kepada guru agar dapat menyempurnakan perencanaan, proses dan program pembelajaran yang dilakukan. 2. Menguji
kehandalan
instrumen
penilaian
uraian
obyektif
dalam
pembelajaran fiqih di MTs Pembangunan Al-Fattah Kikil Arjosari Pacitan dilakukan dengan melihat hasil jawaban peserta didik dalam menjawab soal-soal tersebut terdapat tingkat kesukaran dan daya beda. Dalam soal-soal tersebut terdapat tingkat kesukaran dan daya beda yang digunakan untuk menguji kehandalan soal instrumen penilaian uraian obyektif. Kehandalan instrumen penilaian uraian obyektif di MTs Pembangunan Al-Fattah Kikil Arjosari Pacitan sudah cukup handal. 3. Hasil pelaksanaan penilaian uraian obyektif dalam pembelajaran fiqih di MTs Pembangunan Al-Fattah Kikil cukup bagus karena banyak peserta
didik yang mendapatkan nilai yang bagus di atas nilai kriteria ketuntasan belajar minimal yang telah ditentukan yaitu 70.
B. Saran 1. Kepada pendidik a. Hendaknya dalam penyusunan butir soal harus disesuaikan dengan pedoman yang telah ditentukan. b. Soal yang disajikan tidak terlalu mudah dan tidak terlalu sulit. c. Soal
harus
memiliki
kehandalan
yang
sesuai
dengan
karakteristiknya. 2. Kepada peserta didik hendaknya mengikuti pembelajaran fiqih dengan baik agar dalam penilaian dapat mencapai hasil belajar yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
Arief, Armai. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam . Jakarta: Ciputat Pers, 2002. Arikunto, Suharsimi. Dasar-Dasar dan Evaluasi Pendidikan. Bandung: Bumi Aksara, tt. Bahri Djamarah, Saiful, Zain Aswan. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta, 1996. B. Marimba, Ahmadi. Pengantar Pendidikan Filsafat Islam. Bandung: AlMa’arif, 1998. Depdiknas. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2000. Fajar, Arnie. Portofolio dalam Pembelajaran IPS . Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005. Hamalik, Oemar. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara, 1999. Hamalik, Oemar. Psikologi Belajar dan Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2002. Haryati, Mimin. Sistem Penilaian Berbasis Kompetensi Teori dan Praktek. Jakarta: Gaung Persada Press. http://tarbiyatulmujahidin.camze.com/html/fiqih.htm. Ibrahim. Rencana Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta, 1996. Moleong, Lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000. Muhaimin. Strategi Belajar Mengajar. Surabaya: CV Media Karya Bangsa, 1996. Muhaimin. Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004. Muttaqin, Zainal dan Abyan, Amir. Pendidikan Agama Islam Fiqih. Semarang: Toha Putra, 2004. Nasar Bakri, Sidi. Fiqih dan Ushul Fiqih . Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.
Nurkancana, Wayan dan Sumartana. Evaluasi Pendidikan . Surabaya: Usaha Nasional, 1980. Purwanto, Ngalim. Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1997. Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama / IAIN Metodik Khusus Agama Islam. Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1985. Prasetya. Filsafat Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia, 2003. Rusyan. Tarbiyah, dkk. Pendidikan dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1992. Sudjiono, Anas. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo, 2001. Sudjana, Nana. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995. Sudjana, Nana. Cara Belajar Siswa Aktif. Bandung: Pustaka Setia, 2003. Sugiyono. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta, 2005. Supranata, Hatta. Penilaian Portofolio Implementasi Kurikulum. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006.