BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pemilu 2009 adalah pemilu yang di awal persiapan perhelatannya telah melahirkan banyak kontroversi di publik. Banyak fenomena yang mengusik atau mungkin bisa dikatakan
anomali. Tidak berhenti sampai di situ, produk calon
legislatif yang dimunculkan dari tiap partai politik belakangan juga menuai banyak kritikan dan cercaan. Proses rekruitmen bakal calon yang tidak jelas, jumlah partai politik yang banyak (44 partai politik), kurang matangnya persiapan pemerintah dalam proses penyelenggaraan pemilu serta minimnya sosialisasi tentang tata cara dan aturan Pemilu, adanya peraturan mengenai
parliament threshold, menjadikan
banyaknya kasus-kasus pelanggaran Pemilu yang terjadi di pemilu 2009 1. Banyaknya fenomena pelanggaran yang terjadi di dalam Pemilu 2009, misalnya penggelembungan suara caleg salah satu partai politik, pencontrengan yang dilakukan lebih dari 1 (satu) kali sampai money politic yang dilakukan salah satu caleg untuk mencari simpati rakyat. Diantara sekian banyak kasus pelanggaran Pemilu yang terjadi hampir di seluruh Indonesia, yang sangat urgent dan menjadi pembahasan apalagi untuk persiapan Pemilu Presiden yang akan dating adalah masalah DPT (Daftar Pemilih Tetap). Masalah DPT ini menjadikan Pemilu 2009 sebagai Pemilu paling buruk dibandingkan Pemilu 1999 dan 2004. Itu karena angka golput mencatat rekor tertinggi dalam sejarah Pemilu di Indonesia.
Angka golput diperkirakan
mencapai 30% dan angka pemilih yang tidak masuk DPT sekitar 10-12%, sehingga jika ditotal, angka pemilih yang tidak menggunakan hak pilih mencapai 40% lebih. 1
Umar Syadat Hasibuan, Unsophisticated Politicians di Parlemen, harian Waspada, edisi Kamis 30 April 2009, hal. 8.
Universitas Sumatera Utara
DPT tidak akurat, buruknya persiapan, serta rendahnya sosialiasi merupakan factor penyebab melambungnya angka golput 2. Kisruh masalah DPT akhirnya masuk ke wilayah politik DPR. Hak angket digunakan untuk membedah kesemrawutan daftar tersebut. Sebanyak 22 anggota DPR dari enam fraksi
menggunakan hak konstitusional mereka
untuk
mempersoalkan kesemrawutan DPT (Daftar Pemilih Tetap). Mereka menilai bahwa pemerintah ikut bertanggung jawab atas hilangnya hak pilih warga negara dalam pemilu legislatif 9 April 2009 yang lalu. Langkah politik DPR ini sangat masuk akal manakala langkah hukum atas hilangnya hak pilih warga negara belum menemukan salurannya. Pengaduan warga negara ke kepolisian belum mendapatkan tanggapan memadai. Padahal, hilangnya hak pilih warga negara adalah pelanggaran hak asasi manusia yang diatur dalam Konstitusi UUD 1945 dan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik 3. Adalah suatu kenyataan bahwa hingga kini belum ada pihak yang bertanggung jawab atas kesemrawutan DPT (Daftar Pemilih Tetap). Komisi Pemilihan Umum yang kewenangannya turun dari konstitusi menolak untuk bertanggung jawab, sementara Departemen Dalam Negeri menimpakan tanggung jawab kepada KPU. Pada akhirnya, rakyat ditempatkan sebagai pihak yang ikut bersalah karena tidak mau mengecek Daftar Pemilih Sementara (DPS) serta aktif mendaftarkan diri. Kecurangan Pemilu melalui manipulasi DPT atau electoral fraud merupakan pelanggaran HAM Pasal 25 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik. Hal ini adalah indikasi pengurangan integritas masyarakat. Suatu hal kritis yang telah memaksa BAWASLU (Badan Pengawas Pemilu) menyatakan perlunya suatu
2
Khofifah Indar Parawansa, Pencerdasan Demokrasi, Harian Seputar Indonesia, Edisi Senin, 27 April 2009, hal. 4. 3 Isu DPT Masuk Parlemen, Tajuk Rencana, Harian Kompas, Edisi Rabu, 29 April 2009, hal. 6.
Universitas Sumatera Utara
pemungutan suara ulang. Kecuarangan tersebut sudah tidak mungkin dipermaklumkan sebagai kesalahan yang tidak bisa dihindari. Kelemahan administrasi penyelenggaraan Pemilu sudah semakin terlihat sebagai bentuk lain dari strategi pemenangan dengan medium pemilu. 4 Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka penulis merasa tertarik untuk mengangkat pembahasan mengenai masalah ini dalam sebuah skripsi, khususnya pertanggungjawaban pidana kasus-kasus pidana yang terjadi dalam proses Pemilihan Umum, baik berdasarkan KUHP maupun UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu. Sebagaimana diketahui, beberapa kasus yang terjadi di Pemilu khususnya masalah DPT, seakan membawa kita masuk dalam kehidupan tanpa negara (stateless). KPU dan Departemen Dalam Negeri sebagai pihak yang bertanggung jawab atas DPT tidak mau mengakui DPT bermasalah itu. Bahkan, mereka saling lempar tanggung jawab satu ama lian. Sama dengan kasus Pilgub Jatim, kasus DPT Pemilu 2009 juga tak ditangani serius oleh pihak kepolisian. Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir tunggal undang-undang juga tidak mampu berbuat apa-apa.
B. Rumusan Permasalahan Rumusan permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah : 1. Bagaimana mekanisme pertanggung jawaban dan penyelesaian tindak pidana pemilu dalam KUHP. 2. Bagaimana mekanisme
pertanggung jawaban dan penyelesaian tindak pidana
pemilu dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu.
4
Agung Putri, Terulangnya Pemilu Manipulatif, Harian Kompas, Edisi Sabtu, 18 April 2009,
hal. 6.
Universitas Sumatera Utara
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka tujuan penulisan skripsi ini secara singkat, adalah sebagai berikut: 1.
Untuk mengetahui mekanisme pertanggung jawaban dan penyelesaian tindak pidana pemilu dalam KUHP.
2. Untuk mengetahui mekanisme pertanggung jawaban dan penyelesaian tindak pidana pemilu dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu. Selanjutnya, penulisan skripsi ini juga diharapkan bermanfaat untuk : 1. Manfaat secara teoritis Penulis berharap kiranya penulisan skripsi ini dapat bermanfaat untuk dapat memberikan masukan sekaligus
menambah khasanah ilmu pengetahuan dan
literature dalam dunia akademis, khususnya tentang hal-hal yang berhubungan dengan mekanisme pertanggung jawaban dan penyelesaian tindak pidana pemilu yang diatur dalam KUHP dan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu.
2. Manfaat secara praktis Secara praktis
penulis berharap agar penulisan skripsi ini dapat memberi
pengetahuan kepada masyarakat tentang mekanisme pertanggung jawaban dan penyelesaian tindak pidana pemilu yang diatur dalam KUHP dan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu, sehingga dapat memberikan pembelajaran politik bagi masyarakat. Sehingga untuk pemilu selanjutnya tidak akan ada lagi terjadi berbagai pelanggaran yang menimbulkan kerugian masyarakat untuk menyalurkan aspirasinya.
Universitas Sumatera Utara
D. Keaslian Penulisan. Pembahasan skripsi ini dengan judul: “TINJAUAN YURIDIS MENGENAI TINDAK PIDANA PEMILU DAN PROSES PENYELESAIAN PERKARANYA DALAM PERSFEKTIF UU NO. 10 TAHUN 2008
TENTANG PEMILIHAN
UMUM ANGGOTA DPR, DPD DAN DPRD”, adalah masalah yang sebenarnya sudah sering kita dengar, dimana seringkali terjadi berbagai pelanggaran yang terindikasi sebagai tindak pidana di dalam Pemilu legislatif 9 April 2009 yang lalu, padahal keseluruhan mekanisme pada dasarnya sudah diatur di dalam UU No. 10 Tahun 2009 tentang Pemilu. Permasalahan yang dibahas di dalam skripsi ini adalah murni hasil pemikiran dari penulis yang dikaitkan dengan teori-teori hukum yang berlaku maupun dengan doktrin-doktrin yang ada, dalam rangka melengkapi tugas dan memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dan apabila ternyata di kemudian hari terdapat judul dan permasalahan yang sama, maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap skripsi ini.
E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Pemilihan Umum Pemilihan Umum, selanjutnya disebut Pemilu, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 5
5
Pasal 1 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu.
Universitas Sumatera Utara
Pemilu dilaksanakan secara efektif dan efisien berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, 6 bertujuan untuk memilih anggota DPR, DPRD tingkat propinsi, DPRD tingkat kabupaten/kota dan anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah).
7
Pemilu dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali. Adapun t ahapan penyelenggaraan Pemilu meliputi :
8
a). pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih; b). pendaftaran Peserta Pemilu; c). penetapan Peserta Pemilu; d). penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan; e). pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota; f). masa kampanye; g). masa tenang; h). pemungutan dan penghitungan suara; i). penetapan hasil Pemilu; dan j). pengucapan sumpah/janji anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Peserta Pemilu adalah Partai Politik. 9 Partai politik dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan : 10 a). berstatus badan hukum sesuai dengan Undang-Undang tentang Partai Politik; b). memiliki kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlah provinsi; c). memiliki kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan; 6
Pasal 2 UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu. Pasal 1 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu. 8 Pasal 4 ayat (1) dan (2) UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu. 9 Pasal 7 UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu. 10 Pasal 8 UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu. 7
Universitas Sumatera Utara
d). menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat; e). memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000 (satu perseribu) dari jumlah Penduduk pada setiap kepengurusan partai
politik
sebagaimana dimaksud pada huruf b dan huruf c yang dibuktikan dengan kepemilikan kartu tanda anggota; f). mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan sebagaimana pada huruf b dan huruf c; dan g) . mengajukan nama dan tanda gambar partai politik kepada KPU.
2. Pengertian Komisi Pemilihan Umum (KPU) Secara institusional, KPU yang ada sekarang merupakan KPU ketiga yang dibentuk setelah Pemilu demokratis sejak reformasi 1998. KPU pertama (1999-2001) dibentuk dengan Keppres No 16 Tahun 1999 yang berisikan 53 orang anggota yang berasal dari unsur pemerintah dan Partai Politik dan dilantik oleh Presiden BJ Habibie. KPU kedua (2001-2007) dibentuk dengan Keppres No 10 Tahun 2001 yang berisikan 11 orang anggota yang berasal dari unsur akademis dan LSM dan dilantik oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada tanggal 11 April 2001. KPU ketiga (2007-2012) dibentuk berdasarkan Keppres No 101/P/2007 yang berisikan 7 orang anggota yang berasal dari anggota KPU Provinsi, akademisi, peneliti dan birokrat dilantik tanggal 23 Oktober 2007 minus Syamsulbahri yang urung dilantik Presiden karena masalah hukum Untuk menghadapi pelaksanaan Pemilihan Umum 2009, image KPU harus diubah sehingga KPU dapat berfungsi secara efektif dan mampu memfasilitasi pelaksanaan Pemilu yang jujur dan adil. Terlaksananya Pemilu yang jujur dan adil
Universitas Sumatera Utara
tersebut merupakan faktor penting bagi terpilihnya wakil rakyat yang lebih berkualitas, dan mampu menyuarakan aspirasi rakyat. Sebagai anggota KPU, integritas moral sebagai pelaksana pemilu sangat penting, selain menjadi motor penggerak KPU juga membuat KPU lebih kredibel di mata masyarakat karena didukung oleh personal yang jujur dan adil. Tepat 3 (tiga) tahun setelah berakhirnya penyelenggaraan Pemilu 2004, muncul pemikiran di kalangan pemerintah dan DPR untuk meningkatkan kualitas pemilihan umum, salah satunya kualitas penyelenggara Pemilu. Sebagai penyelenggara pemilu, KPU dituntut independen dan non-partisan. Untuk itu atas usul insiatif DPR-RI menyusun dan bersama pemerintah mensyahkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu. Sebelumnya keberadaan penyelenggara Pemilu terdapat dalam Pasal 22-E Undangundang Dasar Tahun 1945 dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu diatur mengenai penyelenggara Pemilihan Umum yang dilaksanakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Sifat nasional mencerminkan bahwa wilayah kerja dan tanggung jawab KPU sebagai penyelenggara Pemilihan Umum mencakup seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sifat tetap menunjukkan KPU sebagai lembaga yang menjalankan tugas secara berkesinambungan meskipun dibatasi oleh masa jabatan tertentu. Sifat mandiri menegaskan KPU dalam menyelenggarakan Pemilihan Umum bebas dari pengaruh pihak mana pun. Perubahan penting dalam undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu, meliputi pengaturan mengenai lembaga penyelenggara
Universitas Sumatera Utara
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden; serta Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang sebelumnya diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan kemudian disempurnakan dalam 1 (satu) undang-undang secara lebih komprehensif. Dalam undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu diatur mengenai KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagai lembaga penyelenggara pemilihan umum yang permanen dan Bawaslu sebagai lembaga pengawas Pemilu. KPU dalam menjalankan tugasnya bertanggung jawab sesuai dengan peraturan perundang-undangan serta dalam hal penyelenggaraan seluruh tahapan pemilihan umum dan tugas lainnya. KPU memberikan laporan Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu juga mengatur kedudukan panitia pemilihan yang meliputi PPK, PPS, KPPS dan PPLN serta KPPSLN yang merupakan penyelenggara Pemilihan Umum yang bersifat ad hoc. Panitia tersebut mempunyai peranan penting dalam pelaksanaan semua tahapan penyelenggaraan Pemilihan Umum dalam rangka mengawal terwujudnya Pemilihan Umum secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Dalam rangka mewujudkan KPU dan Bawaslu yang memiliki integritas dan kredibilitas sebagai Penyelenggara Pemilu, disusun dan ditetapkan Kode Etik Penyelenggara Pemilu. Agar Kode Etik Penyelenggara Pemilu dapat diterapkan dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum, dibentuk Dewan Kehormatan KPU, KPU Provinsi, dan Bawaslu. Di dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD, jumlah anggota KPU adalah 11 orang. Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara
Universitas Sumatera Utara
Pemilu, jumlah anggota KPU berkurang menjadi 7 orang. Pengurangan jumlah anggota KPU dari 11 orang menjadi 7 orang tidak mengubah secara mendasar pembagian tugas, fungsi, wewenang dan kewajiban KPU dalam merencanakan dan melaksanakan tahap-tahap, jadwal dan mekanisme Pemilu DPR, DPD, DPRD, Pemilu Presiden/Wakil Presiden dan Pemilu Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah. Menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu, komposisi keanggotaan KPU harus memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen). Masa keanggotaan KPU 5 (lima) tahun terhitung sejak pengucapan sumpah/janji.
3. Pengertian Tindak Pidana Dalam kitab undang-undang hukum pidana yang berlaku sekarang diadakan dua macam pembagian tindak pidana, yaitu kejahatan yang ditempatkan dalam Buku ke II dan pelanggaran yang ditempatkan dalam Buku ke III. Ternyata dalam KUHP, tiada satu Pasal pun yang memberikan dasar pembagian tersebut, walaupun pada bab-bab dari buku I
selalu ditemukan
penggunaan istilah tindak pidana, kejahatan atau pelanggaran. Kiranya cirri-ciri pembedaan itu terletak pada penilaian-kesadaran hukum pada umumnya dengan penekanan (stressing) kepada delik hukum (rechts-delichten) dan delik undangundang (wet-delichten). Beberapa sarjana mengemukakan sebagai dasar pembagian tersebut bahwa delik hukum sudah sejak semula dapat dirasakan sebagai tindakan yang bertentangan dengan hukum sebelum pembuat undang-undang menyatakan dalam undang-undang. Sedangkan delik undang-undang baru dipandang/dirasakan sebagai tindakan yang bertentangan dengan hukum, setelah ditentukan dalam undang-undang.
Universitas Sumatera Utara
Sebagai contoh dari delik hukum antara lain adalah pengkhianatan, pembunuhan, pencurian, perkosaan, penghinaan dan sebagainya, dan contoh dari delik undang-undang antara lain adalah pelanggaran, peraturan lalu lintas di jalan, peraturan pendirian perusahaan, peraturan pengendalian harga dan lain sebagainya. Sarjana lain yaitu VOS tidak dapat menyetujui bilamana dikatakan bahwa dasar pembagian pelanggaran adalah karena sebelumnya tindakan-tindakan tersebut tidak dirasakan sebagai hal yang melanggar kesopanan atau tak dapat dibenarkan oleh masyarakat (zedelijk of maatschappelijk ongeoorloofd), karena : a. ada pelanggaran yang diatur dalam Pasal-Pasal 489, 490 KUHP yang justru dapat dirasakan sebagai yang tidak dapat dibenarkan oleh masyarakat dan b. ada beberapa kejahatan seperti Pasal 396 (merugikan kreditur) yang justru dapat dirasakan sebelumnya sebagai tindakan yang melanggar kesopanan. Dasar pembedaan lainnya dari kejahatan dan pelanggaran yang dikemukakan adalah pada berat/ringannya pidana yang diancamkan. Seyogyanya untuk kejahatan diancamkan pidana yang berat seperti pidana mati atau penjara/tutupan. Ternyata pendapat ini menemui kesulitan karena pidana kurungan dan denda diancamkan, baik pada kejahatan maupun pelanggaran. Dari sudut pemidanaan, pembagian kejahatan sebagai delik hukum atau pelanggaran sebagai delik undang-undang, tidak banyak faedahnya sebagai pedoman. Demikian pula dari sudut ketentuan berat/ringannya ancaman pidana terhadapnya, seperti yang dikemukakan di atas, sulit untuk dipedomani. Dalam penerapan hukum positif tiada yang merupakan suatu kesulitan, karena dengan penempatan kejahatan dalam buku kedua dan pelanggaran dalam buku ketiga, sudah cukup sebagai pedoman untuk menentukan apakah sesuatu tindakan merupakan kejahatan atau pelanggaran.
Universitas Sumatera Utara
Mengenai tindak pidana yang diatur dalam perundang-undangan lainnya setingkat dengan KUHP telah ditentukan apakah ia merupakan kejahatan atau pelanggaran. Sedangkan tindak pidana yang diatur dalam peraturan yang lebih rendah tingkatannya (peraturan pemerintah, peraturan-peraturan gubernur/kepala daerah dan sebagainya) pada umumnya merupakan pelanggaran. Kegunaan pembedaan kejahatan terhadap pelanggaran, kita temukan dalam sistematika KUHP yang merupakan “buku induk” bagi semua perundangundangan hukum pidana. Sedangkan istilah tindak pidana merupakan salah satu terjemahan dari bahasa Belanda yaitu “Het Strafbare feit” yang setelah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti : a. Perbuatan yang dapat/boleh dihukum b. Peristiwa pidana c. Perbuatan pidana dan d. Tindak pidana Beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para sarjana mengenai istilah “Het Strafbare feit” antara lain
11
:
a. Rumusan Simon Simon
merumuskan
“Een
Strafbaar
feit”
adalah
suatu
handeling
(tindakan/perbuatan) yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum (onrechtmatig) dilakukan dengan kesalahan (schuld) oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab. Kemudian beliau membaginya dalam dua golongan unsur, yaitu : unsur-unsur objektif yang berupa tindakan yang dilarang/diharuskan, akibat keadaan/masalah tertentu, dan unsur subjektif yang 11
SR. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya, Alumni Ahaem – Petehaem, Jakarta, 1996, hal. 117.
Universitas Sumatera Utara
berupa
kesalahan
(schuld)
dan
kemampuan
bertanggung
jawab
(toerekeningsvatbaar) dari petindak. b. Rumusan Van Hammel Van Hammel merumuskan “Strafbaar feit” itu sama dengan yang dirumuskan oleh Simon, hanya ditambah dengan kalimat “tindakan mana bersifat dapat dipidana”. c. Rumusan VOS VOS merumuskan “Strafbaar feit” adalah suatu kelakukan (gedraging) manusia yang dilarang dan oleh undang-undang diancam dengan pidana. d. Rumusan Pompe Pompe merumuskan “Strafbaar feit” adalah suatu pelanggaran kaidah (penggangguan ketertiban hukum), terhadap mana pelaku mempunyai kesalahan untuk mana pemidanaan adalah wajar untuk menyelenggarakan ketertiban hukum dan menjamin kesejahteraan umum. Para sarjana Indonesia juga telah memberikan definisi mengenai tindak pidana ini, yaitu
12
:
a. Karni mendefinisikan tindak pidana sebagai perbuatan yang boleh dihukum. b.
R. Tresna mendefinisikan tindak pidana sebagai peristiwa pidana.
c. Moeljatno mendefinisikan tindak pidana sebagai perbuatan pidana. d. Wirdjnono Prodjodikoro mendefinisikan tindak pidana sebagai suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana dan pelaku itu dapat dikatakan merupakan “subjek” tindak pidana. Setelah melihat pendapat beberapa ahli mengenai pengertian tindak pidana, maka selanjutnya dapat dikatakan bahwa tindak pidana adalah terdiri dari dua
12
Ibid, Hal. 204-206.
Universitas Sumatera Utara
suku kata yaitu tindak dan pidana. Istilah tindak dan pidana adalah merupakan singkatan dari tindakan dan penindak. Artinya ada orang yang melakukan suatu tindakan, sedangkan orang yang melakukan tindakan itu dinamakan penindak. Mungkin suatu tindakan dapat dilakukan oleh siapa saja, tetapi dalam banyak hal suatu tindakan tertentu hanya mungkin dilakukan oleh seseorang dari suatu golongan jensi kelamin saja, atau seseorang dari suatu golongan yang bekerja
pada
negara/pemerintah (pegawai negeri, militer, nakhoda dan sebagainya) atau seseorang dari golongan lainnya. Jadi status/kualifikasi seseorang petindak harus ditentukan apakah ia salah seorang dari “barang siapa”, atau seseorang dari suatu golongan tertentu. Bahwa jika ternyata petindak itu tidak hanya orang (natuurlijk-persoon) saja melainkan juga mungkin berbentuk badan hukum 13. Setiap tindakan yang bertentangan dengan hukum atau tidak sesuai dengan hukum, menyerang kepentingan masyarakat atau individu yang dilindungi hukum, tidak disenangi oleh orang atau masyarakat, baik yang langsung atau tidak langsung terkena tindakan tersebut. Pada umumnya untuk menyelesaikan setiap tindakan yang sudah
dipandang
merugikan
kepentingan
umum
di
samping
kepentingan
perseorangan, dikehendaki turun tangannya penguasa. Apabila penguasa tidak turun tangan, maka tindakan-tindakan tersebut akan merupakan sumber kekacauan yang tak akan habis-habisnya. Demi menjamin keamanan, ketertiban dan kesejahteraan dalam masyarakat, perlu ditentukan mengenai tindakan-tindakan yang dilarang atau yang diharuskan. Sedangkan pelanggaran kepada ketentuan tersebut diancam dengan pidana. Singkatnya perlu ditentukan tindakan-tindakan apa saja yang dilarang atau diharuskan dan ditentukan ancaman pidananya dalam perundang-undangan 14.
13 14
Ibid, Hal. 209. Ibid, Hal. 210.
Universitas Sumatera Utara
F.
Metode Penelitian
1.
Sifat/Bentuk Penelitian Dalam penulisan skripsi ini, penulis mempergunakan dan melakukan
pengumpulan data-data untuk mendukung dan melengkapi penulisan skripsi ini dengan cara Library Research (penelitian kepustakaan). Selanjutnya penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif. Langkah pertama dilakukan penelitian hukum normatif yang didasarkan pada bahan hukum sekunder yaitu inventarisasi peraturan-peraturan yang berkaitan dengan mekanisme penyelesaian tindak pidana Pemilu menurut KUHP dan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu. Selain itu dipergunakan juga bahan-bahan tertulis lainnya yang berkaitan dengan persoalan ini. Penelitian bertujuan menemukan landasan hukum yang jelas dalam meletakkan persoalan ini dalam perspektif hukum pidana khususnya yang berkaitan dengan mekanisme penyelesaian tindak pidana Pemilu menurut KUHP dan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu. 2. D a t a Data yang diteliti adalah data sekunder yang terdiri dari : a. Bahan/sumber primer berupa peraturan perundang-undangan, buku, kertas kerja. b. Bahan/sumber skunder berupa bahan acuan lainnya yang berisikan informasi yang mendukung penulisan skripsi ini, seperti tulisan-tulisan, surat kabar, internet dan sebagainya. 3. Teknik Pengumpulan Data Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi, maka penulis menggunakan metode pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan, yaitu mempelajari dan menganalisa secara sistematis buku-buku, majalah-majalah, surat
Universitas Sumatera Utara
kabar, peraturan perundang-undangan
dan bahan-bahan lain yang berhubungan
dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini. Analissi data yang digunakan dalam skripsi ini adalah analisis kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas.
G. Sistematika Penulisan Untuk lebih mempertegas penguraian isi dari skripsi ini, serta untuk lebih mengarahkan pembaca, maka berikut di bawah ini penulis membuat sistematika penulisan/gambaran isi skripsi ini sebagai berikut : BAB I
PENDAHULUAN Pada bab ini merupakan bab pendahuluan yang menguraikan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan Latar Belakang, Perumusan Masalah, Keaslian
Penulisan,
Tujuan
dan
Manfaat
Penulisan,
Tinjauan
Kepustakaan yang diakhiri dengan Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan. BAB II
BENTUK-BENTUK TINDAK PIDANA PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA Pada bab ini akan dibahas hal-hal yang berkaitan dengan bentuk-bentuk tindak pidana Pemilihan Umum berdasarkan peraturan perundangundangan yang ada di Indonesia, baik yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun di dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Universitas Sumatera Utara
BAB
III MEKANISME PENYELESAIAN TINDAK PIDANA PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA Pada bab ini akan dibahas hal-hal yang berkaitan dengan mekanisme penyelesaian tindak pidana pemilihan umum di Indonesia baik berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun di dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum, serta diakhiri dengan kasus-kasus Tindak Pidana Pemilihan Umum yang pernah terjadi di Indonesia. Pada bab ini juga akan dibahas hal-hal yang berkaitan dengan analisa mengenai tindak pidana Pemilihan Umum yang
pernah terjadi di
Indonesia berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia baik yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun di dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN Pada Bab ini dibahas mengenai kesimpulan dan saran sebagai hasil dari pembahasan dan penguraian skripsi ini secara keseluruhan.
Universitas Sumatera Utara