1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Pembangunan adalah proses natural mewujudkan cita–cita bernegara yaitu terwujudnya masyarakat makmur, sejahtera secara adil dan merata. Kesejahteraan ditandai dengan kemakmuran, yaitu meningkatnya konsumsi yang disebabkan oleh meningkatnya pendapatan. Pendapatan meningkat sebagai hasil produksi yang semakin meningkat pula. Proses natural tersebut dapat dilaksanakan jika asumsi–asumsi pembangunan yang ada, yaitu kesempatan kerja atau partisipasi masyarakat secara penuh. Setiap orang memiliki kemampuan yang sama dan masing–masing pelaku bertindak rasional dapat dipenuhi. Namun demikian dalam kenyataan asumsi–asumsi tersebut sangat sulit dipenuhi. Pasar sering kali tak mampu memanfaatkan tenaga kerja dan sumber daya alam sedemikian rupa, sehingga tak mampu berada pada kondisi full employment. Selain itu produktivitas pelaku ekonomi sangat beragam. Kondisi tersebut diperburuk oleh kenyataan bahwa setiap pelaku ekonomi mendasarkan pasar atas pertimbangan yang rasional dan efisien. Dalam kondisi demikian pasar atau ekonomi telah terdistorsi. Dalam jangka panjang hal tersebut akan melahirkan masalah pembangunan, seperti kesenjangan, pengangguran dan pada akhirnya kemiskinan (Wrihatnolo dan Dwidjowijoto, 2007). Untuk itu di tengah kondisi distortif tersebut, proses natural dalam pembangunan tidak dapat terjadi begitu saja. Proses natural harus diciptakan
1
2
melalui intervensi pemerintah, dengan kebijakan–kebijakan yang akan mendorong terciptanya kondisi yang mendekati asumsi–asumsi pembangunan. Menurut Wrihatnolo dan Dwidjowijoto (2007), disebutkan bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional ada tiga pertanyaan pokok yang perlu dijawab yaitu: 1) Pembangunan perlu diletakkan pada arah perubahan struktur. 2) Pembangunan perlu diletakkan pada pemberdayaan masyarakat untuk menuntaskan masalah kesenjangan berupa pengangguran, kemiskinan dan ketidakmerataan dengan memberikan ruang dan kesempatan yang lebih besar kepada rakyat banyak untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan. 3) Pembangunan perlu diletakkan pada arah koordinasi lintas sektoral mencakup program pembangunan antar sektor, pembangunan antar daerah, dan pembangunan khusus. Dalam pelaksanaannya, usaha untuk menjawab ketiga arah pembangunan itu harus dilaksanakan secara terpadu, terarah dan sistematis, pemberian ruang lingkup dan kesempatan yang lebih besar kepada rakyat untuk berpartisipasi dapat bersinergi dengan kemiskinan
dan
upaya
untuk
ketidakmerataan.
menanggulangi masalah Kebutuhan
manajemen
pengangguran, pemberdayaan
mendapatkan relevansinya dalam upaya pemerintah menanggulangi kemiskinan, masalah kemiskinan menjadi pembicaraan banyak pihak karena kemiskinan merupakan masalah multisektoral dan menjadi tanggung jawab semua pihak, baik dari tingkat kementerian/lembaga maupun individu masyarakat. Perhatian serius pada keluarga miskin dilihat dari kebijakan–kebijakan aktivitas yang dilakukan pemerintah
yang sasarannya
adalah
keluarga
miskin
(Wrihatnolo
dan
3
Dwidjowijoto, 2007). Kemiskinan merupakan permasalahan yang harus segera tuntas, karena kemiskinan membuat bangsa Indonesia menjadi bangsa yang lemah. Kondisi kemiskinan yang tengah dihadapi Indonesia dapat dilihat dari pendekatan konsumsi penduduk miskin, kemiskinan multidimensi dan kesenjangan antar wilayah. Penerapan pemberdayaan dalam menanggulangi kemiskinan secara konseptual dapat dilakukan oleh empat jalur strategis, yaitu perluasan kesempatan kerja, pemberdayaan masyarakat, peningkatan kapasitas dan perlindungan sosial. Strategi perluasan kesempatan kerja ditujukan untuk menciptakan kondisi dan lingkungan ekonomi, politik dan sosial yang memungkinkan masyarakat miskin baik laki- laki maupun perempuan dapat memperoleh kesempatan seluas-luasnya dalam memenuhi kebutuhan dasar dan peningkatan taraf hidup secara berkelanjutan. Strategi
pemberdayaan
masyarakat
dilakukan
untuk
memperkuat
kelembagaan sosial, politik, ekonomi dan budaya masyarakat, dan memperluas partisipasi masyarakat miskin baik laki–laki maupun perempuan dalam pengambilan keputusan kebijakan publik yang menjamin penghormatan, perlindungan dan pemenuhan kebutuhan dasar. Strategi peningkatan kapasitas dilakukan untuk mengembangkan kemampuan dasar dan kemampuan berusaha masyarakat miskin agar dapat memanfaatkan perkembangan lingkungan. Strategi perlindungan sosial dilakukan untuk memberikan perlindungan dan rasa aman bagi kelompok rentan dan masyarakat miskin baru yang disebabkan oleh bencana alam, dampak negatif krisis ekonomi dan konflik sosial.
4
Dari keempat jalur strategi tersebut yaitu khususnya strategi pemberdayaan masyarakat sangat memegang peranan penting dalam mendorong penduduk miskin untuk secara kolektif terlebih dalam proses pengambilan keputusan termasuk penanggulangan kemiskinan yang mereka alami sendiri, masyarakat bukan sebagai obyek. Semakin berdayanya masyarakat miskin ditandai dengan bertambahnya kesempatan kerja yang diciptakan sendiri oleh penduduk miskin secara kolektif yang pada akhirnya akan memberikan tambahan penghasilan, meringankan beban konsumsi, serta meningkatkan nilai simpanan/aset keluarga miskin, semakin berdayanya penduduk miskin juga ditandai dengan semakin meningkatnya kapasitas penduduk miskin secara kolektif dalam mengelola organisasi pembangunan secara mandiri. Upaya penanggulangan kemiskinan yang telah dilakukan oleh pemerintah selama ini ternyata masih dihadang oleh berbagai permasalahan, mulai dari permasalahan sosial, ekonomi, politik dan keamanan. Dampak yang ditimbulkan oleh krisis moneter dan ekonomi yang melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997 dan tragedi Bom Bali I pada tahun 2002 mengakibatkan semakin tidak berdayanya
rumah
tangga
miskin
dalam
memenuhi
kebutuhan
dasar.
Ketidakberdayaan mereka disebabkan antara lain hilangnya mata pencaharian, melemahnya daya beli, dan produk-produk industri kerajinan sepi pembeli karena jumlah kunjungan wisata menurun. Menurunnya kunjungan wisata akibat tragedi Bom Bali I membawa dampak yang luas karena selama ini Bali dalam pembangunannya sangat bertumpu pada sektor pariwisata. Kemiskinan merupakan fenomena global yang sangat memprihatinkan,
5
bagaimana tidak, dari tahun ke tahun masalah kemiskinan ini tidak kunjung surut bahkan cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat serta menurunnya kondisi perekonomian negara Indonesia. Kemiskinan merupakan masalah yang pada umumnya dihadapi hampir di semua negara-negara berkembang, terutama negara yang padat penduduknya seperti Indonesia. Dari seminar ke simposium, dari lokakarya ke semiloka, dari model top-down ke model bottom-up, dan variasinya program intervensi, pada akhirnya tetap menyisakan persoalan sepertinya tidak mampu menekan drastis angka kemiskinan. Kemiskinan merupakan masalah bersama yang harus ditanggulangi secara serius, kemiskinan bukanlah masalah pribadi, golongan bahkan pemerintah saja, akan tetapi hal ini merupakan masalah warga negara Indonesia. Kepedulian dan kesadaran antar sesama warga diharapkan dapat membantu menekan tingkat kemiskinan di Indonesia. Ketimpangan distribusi pendapatan dan kemiskinan umumnya disebabkan oleh ketidakmerataan sumber-sumber atau faktor produksi, antara lain rendahnya akses pendidikan, kesehatan, gizi dan akses akan kepemilikan tanah, modal serta fasilitas-fasilitas lain yang dapat dipergunakan untuk mengembangkan atau meningkatkan pendapatan penduduk. Ketimpangan dapat semakin luas akibat proses pembangunan mengalami polarisasi pertumbuhan antar sektor modern di daerah perkotaan dan sektor tradisional di daerah perdesaan (Sumodiningrat, 1977).
6
Pendapatan merupakan salah satu indikator untuk mengukur kesejahteraan seseorang atau masyarakat, sehingga pendapatan masyarakat ini mencerminkan kemajuan ekonomi suatu masyarakat. Kemajuan ini dapat dilihat dari empat aspek, yaitu: tingkat pendapatan, pertumbuhan dan perkembangan pendapatan serta distribusi pendapatan. Keempat aspek pendapatan tersebut dalam perekonomian yang kegiatannya diatur dan dilaksanakan secara berencana hendaknya berjalan seimbang agar tercapai stabilitas ekonomi yang mantap dan dinamis. Pembangunan kota sebagai salah satu realisasi pembangunan nasional, terlihat menyolok terjadi di banyak kota. Perubahan-perubahan fisik telah terjadi di kota-kota tersebut. Jalan-jalan semakin lebar, fasilitas yang lengkap serta adanya pembangunan gedung-gedung yang tinggi. Sejalan dengan perubahan fisik tersebut aktivitas penduduk kota semakin padat. Pembangunan kota yang berjalan dengan cepat tersebut menarik penduduk dari desa-desa sekitar kota untuk memasuki kota dan mencari rezeki di kota besar. Kota-kota besar seakan-akan memberikan tawaran dan jaminan kesempatan berusaha dan hidup yang lebih baik serta menyenangkan. Masalah urbanisasi menimbulkan permasalahan baru di bidang sosial, ekonomi dan pemukiman bagi kota. Beberapa faktor yang diduga sebagai penyebab kemiskinan diantaranya (1) tekanan ekonomi karena krisis dan berbagai tragedi yang mengikutinya, (2) kurang tepatnya berbagai program penanggulangan tersebut yang tidak berdasar penyebab kemiskinan. Terkait dengan penyebab kemiskinan Sharp.et al. (1996) mengidentifikasikan penyebab kemiskinan dipandang dari sisi ekonomi: pertama,
7
kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumber daya yang menimbulkan distribusi pendapatan yang timpang. kedua, akibat perbedaan kualitas sumber daya manusia, dan ketiga, kemiskinan muncul akibat perbedaan akses modal. Seharusnya penanggulangan kemiskinan itu megacu kepada faktor penyebab dikaitkan dengan potensi wilayah, dimana penduduk miskin berada. Hal ini dimaksudkan agar efektivitas penanggulangan kemiskinan semakin meningkat. Pada tahun 1999, pemerintah juga mengambil kebijakan dengan melaksanakan Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) kepada masyarakat yang tergolong miskin di perkotaan. Adapun tujuan dari Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) adalah sebagai suatu upaya pemerintah untuk membangun kemandirian masyarakat dan pemerintah daerah dalam menanggulangi kemiskinan secara berkelanjutan. Program ini sangat strategis karena menyiapkan landasan kemandirian masyarakat berupa institusi kepemimpinan masyarakat yang representatif, mengakar dan menguat bagi perkembangan modal sosial (social capital) masyarakat di masa mendatang serta menyiapkan kemitraan masyarakat dengan pemerintah daerah dan kelompok peduli setempat. Lembaga kepemimpinan masyarakat yang mengakar, representatif dan dipercaya tersebut (secara genetik disebut Badan Keswadayaan Masyarakat atau disingkat BKM) dibentuk melalui kesadaran kritis masyarakat untuk menggali kembali nilai-nilai luhur kemanusiaan dan nilai-nilai kemasyarakatan sebagai pondasi modal social (Capital Social) kehidupan masyarakat. Dengan demikian, Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) selain diharapkan mampu menjadi
8
wadah perjuangan kaum miskin dalam menyuarakan aspirasi dan kebutuhan mereka, sekaligus menjadi motor bagi upaya penanggulangan kemiskinan yang dijalankan oleh masyarakat secara mandiri dan berkelanjutan, mulai dari proses penentuan kebutuhan, pengambilan keputusan, proses penyusunan program hingga pemanfaatan dan pemeliharaan. Tiap Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) bersama masyarakat telah menyusun Perencanaan Jangka Menengah Program Penanggulangan Kemiskinan (PJM Pronangkis) secara partisipatif, sebagai prakarsa masyarakat untuk menanggulangi kemiskinan di wilayahnya secara mandiri. Atas fasilitasi pemerintah dan prakarsa masyarakat, BKM-BKM ini mulai menjalin kemitraan dengan pemerintah daerah dan kelompok peduli setempat. Sejak pelaksanaan Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)-1 hingga pelaksanaan P2KP-3 saat ini telah terbentuk sekitar 6.405 BKM (Badan Keswadayaan Masyarakat) yang tersebar di 1.125 Kecamatan di 235 Kota/Kabupaten, telah memunculkan lebih dari 291.000 relawan-relawan dari masyarakat setempat, serta telah mencakup 18,9 juta orang pemanfaat (penduduk miskin) melalui 243.838 KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat). Mempertimbangkan
perkembangan
positif
Program
Penanggulangan
Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) tersebut, Pemerintah Indonesia telah menetapkan kebijakan untuk memperluas jangkauan wilayah dan keberlanjutan pelaksanaan Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP), dengan mengalokasikan tambahan dana yang cukup signifikan.
9
Keberlanjutan pelaksanaan Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) ini sangat penting mengingat kontribusi Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) P2KP saat ini baru membiayai sekitar 10-15 persen dari kebutuhan program yang disusun masyarakat (Perencanaan Jangka Menengah Program Penanggulangan Kemiskinan (PJM Pronangkis), sehingga upaya penanggulangan kamiskinan masih belum optimal. Sedangkan perluasan wilayah sasaran dilakukan dalam rangka upaya mengurangi jumlah penduduk miskin menjadi 8,2 persen dari total penduduk Indonesia pada Tahun 2009. Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) hadir untuk melaksanakan amanah Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) yang menempatkan penanggulangan kemiskinan sebagai prioritas mendesak untuk segera ditangani. Upaya menanggulangi kemiskinan merupakan usaha yang tidak dapat diselesaikan dalam waktu tertentu. Penanggulangan kemiskinan merupakan suatu proses yang tidak pernah boleh berhenti karena kemiskinan itu sendiri sangat dinamis. Dalam P2KP, masalah kemiskinan dipandang bukan suatu hal yang terjadi dengan sendirinya, melainkan karena sebagai akibat dari suatu kebijakan. Masalah kemiskinan lebih cenderung merupakan suatu masalah kebijakan politik yang berkaitan dengan masalah kebijakan pembangunan pada umumnya (di segala bidang), baik di level atas maupun di level bawah. Dalam hal kebijakan pembangunan, tampak jelas lemahnya atau ketidakberdayaan posisi masyarakat terutama kelompok masyarakat miskin atau lapis bawah (grass roots) dalam
10
proses pengambilan keputusan. Bagaimana program pembangunan atau penanggulangan kemiskinan dapat berhasil apabila kebijakan atau sasarannya salah. Sering terlihat kurangnya koordinasi antar program pembangunan, tetapi justru menunjukkan indikasi adanya ego sektoral antar instansi, sehingga program-program tersebut terkesan kurang saling mendukung. Berbagai program-program intervensi tersebut, dalam kenyataannya cenderung kurang terkoordinasi dan berjalan sendiri-sendiri. Keterkaitan secara keseluruhan
sangat
lemah,
sehingga
terkadang
memancing
terjadinya
kebingungan hingga friksi-friksi antar stakeholders di daerah. Kondisi ini bahkan dipicu dengan banyaknya program-program dengan jargon pemberdayaan masyarakat dan program sektoral pusat, yang “mem-by pass” (melompati dan tidak menganggap) peran penting pemerintah daerah. Pada masa otonomi daerah, sangat ironis apabila masalah tersebut terjadi, karena di daerah otonomlah sebagai terminal titik koordinasi bertemunya aspirasi dari bawah dan kebijakan dari atas dipertemukan. Di Indonesia program-program penanggulangan kemiskinan sudah banyak pula dilaksanakan, seperti : pengembangan desa tertinggal, perbaikan kampung, gerakan terpadu pengentasan kemiskinan. Sekarang pemerintah menangani program tersebut secara menyeluruh, terutama sejak krisis moneter dan ekonomi yang melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997, melalui program-program Jaring Pengaman Sosial (JPS). Dalam JPS ini masyarakat sasaran ikut terlibat dalam berbagai kegiatan.
11
Sedangkan, P2KP sendiri sebagai program penanggulangan kemiskinan di perkotaan lebih mengutamakan pada peningkatan pendapatan masyarakat dengan mendudukan masyarakat sebagai pelaku utamanya melalui partisipasi aktif. Melalui partisipasi aktif dari masyarakat miskin sebagai kelompok sasaran tidak hanya berkedudukan menjadi obyek program, tetapi ikut serta menentukan program yang paling cocok bagi mereka. Mereka memutuskan, menjalankan, dan mengevaluasi hasil dari pelaksanaan program. Nasib dari program, apakah akan terus berlanjut atau berhenti, akan tergantung pada tekad dan komitmen masyarakat sendiri. Sejak dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2005 mengenai program penanggulangan kemiskinan, pemerintah telah melakukan intervensi percepatan penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat. Komponen intervensinya mencakup tiga hal yaitu bantuan modal, penyediaan prasarana/sarana,
dan
pendampingan
masyarakat.
Bantuan
modal
didistribusikan sebesar 20 juta rupiah per kelurahan IDT. Merasa tidak cukup, dilengkapi dengan bantuan pembangunan infrastruktur pekelurahanan melalui Pembangunan Prasarana Pendukung Kelurahan Tertinggal (P3DT) dan Program Pembangunan Jalan Poros Kelurahan (P2JPD). Penyediaan tenaga pendampingan disediakan baik untuk IDT maupun P3DT. Ini saja tidak cukup. Oleh karena itu, dengan mulai berakhirnya masa 3 tahun IDT, dikembangkanlah program yang lebih besar untuk mempercepat peningkatan sosial-ekonomi masyarakat di kelurahan (melalui Program Pengembangan Kecamatan (PPK) dan di perkotaan (melalui P2KP).
12
Bersamaan dengan itu, dengan pola mirip, dilaksanakanlah programprogram lain seperti P2MPD atau Community and Local Government Support, Program dalam Rangka Menanggulangi Dampak Krisis Ekonomi atau PDMDKE, dan yang terakhir adalah Jaring Pengamanan Sosial atau JPS khusus sebagai upaya
penanggulangan
krisis
dan mencegah
kemiskinan
yang makin
membengkak angkanya. Belajar dari pengalaman pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan di masa lalu yang masih memberikan porsi yang sangat besar kepada birokrasi, maka digulirkan intervensi ekstrim Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) yang melompati jenjang birokrasi peran Pemda. Program ini merupakan kerjasama antara pemerintah Indonesia dengan Bank Dunia melalui pinjaman Loan IDA credit yang merupakan salah satu program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat di perkotaan. Intervensinya ditekankan pada penciptaan lapangan kerja dan penyediaan dana pinjaman bergulir serta pengembangan prasarana dan sarana dasar lingkungan dengan penyediaan pendampingan pihak Konsultan Manajemen Wilayah dan Fasilitator Kelurahan (KMW dan Faskel). Program ini memiliki beberapa tujuan, antara lain; pertama, P2KP adalah sebuah program pemberdayaan masyarakat. Utamanya ditujukan bagi masyarakat miskin di daerah perkotaan yang menerima dampak paling berat akibat krisis ekonomi. Dijelaskan pula bukan berarti masyarakat miskin pedesaan tidak diperhatikan. Tetapi masyarakat perkotaan menjadi skala prioritas utama program ini, karena mereka tidak memiliki pilihan lain selain sandaran ekonomi
13
keluarganya. Di sisi lain menurut pemahaman penulis, masyarakat miskin perkotaan karena kondisi dan pengaruh kepentingan tertentu, memiliki peluang besar untuk melakukan gerakan massa guna memperoleh hak-hak dasar mereka. Bahkan yang paling ekstrim sekalipun. Seperti pernah terjadi, terprovokasinya gerakan anarki dalam bentuk penjarahan dan pengrusakan oleh sebagian massa daerah perkotaan sebagai akibat kecemburuan sosial dan ekonomi. Sementara masyarakat pedesaan meskipun memiliki peluang yang sama, tetapi karakter kepribadian dan lingkungan mereka yang saling berbeda, kemungkinan melakukan gerakan massa relatif sangat kecil. Kecuali provokasi bernuansa SARA, yang dilakukan secara sistematis untuk suatu kepentingan politik. Kedua, program P2KP bukan sekedar program pemberdayaan ekonomi yang bersifat penyelamatan (rescue) atau pemulihan (recovery) yang berjangka pendek seperti program sejenis lainnya. Tetapi lebih merupakan pengentasan kemiskinan (poverty allviation) melalui pemberdayaan masyarakat (community empowerment)secara utuh, simultan, berkelanjutan dan berjangka panjang. Di dalam implementasinya, lebih diutamakan pemberdayaan dan perkuatan kelembagaan di tingkat paling bawah (kelurahan) melalui pendekatan tribina (bina lingkungan, ekonomi dan sosial). Artinya, menurut pemahaman penulis, melalui program P2KP akan digali dan dibangun kembali akan budaya serta kelembagaan tradisional yang kental akan nuansa kebersamaan dan gotong royong. Sebuah tata kehidupan yang penuh dengan nuansa silih asah, silih asih dan silih asuh (saling mendidik, mengasihi, dan membantu).
14
Ketiga, melalui pemberdayaan dan perkuatan kelembagaan masyarakat diharapkan bisa dikembangkan suatu proses pengorganisasian yang aspiratif, terbuka, adil dan demokratis yang mewakili kelompok usaha dari masyarakat di wilayah sasaran program. Perwujudannya adalah pembentukan kelompokkelompok keswadayaan masyarakat di tingkat kelurahan dan kelurahan sebagai wadah usaha bersama baik di bidang ekonomi, sosial maupun untuk kegiatan lainnya. Keempat, sebagai stimulan, melalui program P2KP diupayakan dana pinjaman sebesar USD 100 juta (sekitar Rp 800 milyar) dari Bank Dunia guna membantu masyarakat miskin di daerah perkotaan yang tergabung di dalam organisasi
Kelompok
memberdayakan
Swadaya
kehidupan
mereka
Masyarakat baik
di
(KSM) bidang
dalam
rangka
ekonomi
melalui
pengembangan usaha kecil (small scale bussiness), pembangunan dan perbaikan sarana dan prasarana lingkungan serta penyelenggaraan pelatihan sumber daya manusia dan penciptaan lapangan kerja. Artinya,
sekali
lagi
menurut
pemahaman penulis, bantuan dan pinjaman bagi masyarakat miskin bukanlah tujuan utama program P2KP. Dana hanyalah sekedar sarana untuk membangkitkan kesadaran masyarakat sasaran akan pentingnya membangun keberdayaan. Kelurahan sasaran P2KP di Kecamatan Jembrana adalah Kelurahan Dauhwaru dan Kelurahan Pendem, dapat dilihat pada Tabel 1.1 di bawah ini.
15
Tabel 1.1 Jumlah Kepala Rumah Tangga di Kelurahan Dauhwaru dan Pendem No.
Kelurahan
1. 2.
Dauhwaru Pendem
Jenis Kelamin Kepala Rumah Tangga % Laki-laki % Perempuan 212 69.74 92 30.26 541 73.31 197 26.69
Total 304 738
Jlh RT 586 3.507
(Sumber : BPM, 2009) Kualitas lingkungan perumahan dan permukiman jauh di bawah standar, dan kelayakan mata pencarian yang tidak menentu. Kondisi ini diperlukan perbaikan di segala sektor kehidupan masyarakat. Hal ini ditunjang dengan kondisi masyarakat miskin Kelurahan Dauhwaru pada tahun 2006 dengan jumlah penduduk 9.624 jiwa, atau 279 rumah tangga miskin. Pada tahun yang sama, jumlah penduduk di Kelurahan Pendem 23.342 jiwa atau 721 rumah tangga miskin. Berdasarkan hal tersebut, penulis tertarik untuk meneliti dan mengetahui Efektivitas Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) yang telah dilaksanakan di Kecamatan Jembrana.
1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka yang menjadi masalah adalah: 1) Bagaimanakah
efektivitas
Program
Penanggulangan
Perkotaan (P2KP) di Kecamatan Jembrana ?
Kemiskinan
16
2) Apakah terjadi peningkatan pendapatan keluarga sesudah mengikuti Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) di Kecamatan Jembrana ? 3) Apakah terjadi peningkatan kesempatan kerja keluarga sesudah mengikuti Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) di Kecamatan Jembrana ? 4) Masalah apakah yang dihadapi kelompok P2KP dalam pelaksanaan Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) di Kecamatan Jembrana ?
1.3 Tujuan Penelitian. Sesuai dengan rumusan masalah penelitian, maka tujuan penelitian ini adalah: 1)
Untuk mengetahui efektivitas dari pada pelaksanaan program P2KP di Kecamatan Jembrana.
2)
Untuk mengetahui ada/tidaknya peningkatan pendapatan keluarga sesudah mengikuti program P2KP di Kecamatan Jembrana.
3)
Untuk mengetahui ada/tidaknya peningkatan kesempatan kerja sesudah mengikuti program P2KP di Kecamatan Jembrana.
4)
Untuk mengetahui masalah yang dihadapi kelompok P2KP dalam pelaksanaan program P2KP di Kecamatan Jembrana.
17
1.4 Manfaat Penelitian. Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah: 1)
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran sebagai informasi yang mendalam, baik bagi pengambil kebijakan, pelaksana kebijakan, pengelola dan pembina, baik dalam hal penyaluran fasilitas permodalan, pembinaan usaha yang meliputi keterampilan sumber daya manusia (SDM), manajemen usaha, dan pemasaran maupun kegiatan produksi untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas produk peserta program P2KP, khususnya di Kecamatan Jembrana di masa mendatang.
2)
Secara teoritis, penelitian ini merupakan media untuk menerapkan konsep-konsep teori yang selama ini diproleh dalam perkuliahan, disamping
itu
hasil-hasil
penelitian
ini
akan
memperkaya
kemampuan keilmuan melalui berbagai temuan dilapangan yang sebelumnya belum terungkap.
18
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Pendapatan Ketimpangan distribusi pendapatan dan kemiskinan umumnya disebabkan oleh ketidakmerataan sumber-sumber atau faktor produksi, antara lain rendahnya akses pendidikan, kesehatan, gizi dan akses akan kepemilikan tanah, modal serta fasilitas-fasilitas lain yang dapat dipergunakan untuk mengembangkan atau meningkatkan pendapatan penduduk. Ketimpangan dapat semakin luas akibat proses pembangunan mengalami polarisasi pertumbuhan antar sektor modern di daerah perkotaan dan sektor tradisional di daerah perdesaan (Sumodiningrat, 1977). Pendapatan merupakan salah satu indikator untuk mengukur kesejahteraan seseorang atau masyarakat, sehingga pendapatan masyarakat ini mencerminkan kemajuan ekonomi suatu masyarakat. Kemajuan ini dapat dilihat dari empat aspek, yaitu: tingkat pendapatan, pertumbuhan dan perkembangan pendapatan serta distribusi pendapatan. Keempat aspek pendapatan tersebut dalam perekonomian yang kegiatannya diatur dan dilaksanakan secara berencana hendaknya berjalan seimbang agar tercapai stabilitas ekonomi yang mantap dan dinamis. Menurut Sadono (2008), pendapatan individu merupakan pendapatan yang diterima seluruh rumah tangga dalam perekonomian dari pembayaran atas penggunaan faktor-faktor produksi yang dimilikinya dan dari sumber lain. Dalam
18
19
penelitian ini salah satu faktor produksi yang digunakan adalah modal untuk usaha-usaha ekonomi produktif dalam rangka meningkatkan pendapatan keluarga, khususnya keluarga miskin. Menurut Mubyarto (2003) pendapatan merupakan penerimaan yang dikurangi dengan biaya–biaya yang dikeluarkan. Pendapatan seseorang pada dasarnya tergantung dari pekerjaan dibidang jasa atau produksi, serta waktu jam kerja yang dicurahkan, tingkat pendapatan perjam yang diterima, serta jenis pekerjaan yang dilakukan. Tingkat pendapatan perjam yang diterima dipengaruhi oleh pendidikan, keterampilan dan sumber – sumber non tenaga kerja yang dikuasai, seperti tanah, modal dan teknologi. Menurut Putong (2000) untuk mengkaji pendapatan dapat dilakukan dengan tiga pendekatan yaitu : 1) Pendekatan Produksi ( production approach) yaitu dengan menghitung semua nilai produksi barang dan jasa yang dapat dihasilkan dalam periode tertentu. 2) Pendekatan Pendapatan (income approach) yaitu dengan menghitung nilai keseluruhan balas jasa yang dapat diterima oleh pemilik faktor produksi dalam suatu periode tertentu 3) Pendekatan Pengeluaran (expenditure approach) yaitu pendapatan yang diperoleh dengan menghitung pengeluaran konsumsi masyarakat. BPS Provinsi Bali (2003), mengukur pendapatan masyarakat bukanlah pekerjaan yang mudah, oleh karena itu BPS melakukan perhitungan pendapatan dengan menggunakan pengeluaran/konsumsi masyarakat. Hal ini didasari oleh
20
paradigma bahwa bila pendapatan mengalami kenaikan maka akan diikuti oleh berbagai kebutuhan yang semakin banyak sehingga menuntut pengeluaran yang tinggi pula. Pada umumnya semakin tinggi pengeluaran maka persentase pengeluaran makanan cenderung semakin kecil atau dengan kata lain meningkatnya pendapatan masyarakat akan menggeser pola konsumsi masyarakat dari lebih banyak mengkonsumsi makanan menjadi lebih banyak mengkonsumsi bukan makanan. Dari kondisi ini dapat juga dilihat bahwa apabila persentase pengeluaran masyarakat untuk makanan telah menurun dari tahun –tahun sebelumnya hal ini dapat menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat telah mengalami peningkatan.
2.2 Pengaruh Jumlah Penduduk terhadap Kesempatan Kerja Kesempatan
kerja
adalah
suatu
keadaan
yang
menggambarkan
ketersediaan pekerjaan untuk diisi oleh para pencari kerja. Namun bias diartikan juga sebagai permintaan atas tenaga kerja. Dalam Ilmu Ekonomi, kesempatan kerja berarti peluang atau keadaan yang mewujudkan tersedianya lapangan pekerjaan, sehingga semua orang yang bersedia dan sanggup bekerja dalam proses produksi dapat memperoleh pekerjaan sesuai dengan keahlian, ketrampilan dan bakatnya masing-masing. Kesempatan kerja
(demand
for
labour)
adalah
suatu
keadaan
yang
menggambarkan/ketersedian pekerjaan (lapangan kerja untuk diisi oleh para pencari kerja). Dengan demikian kesempatan kerja dapat diartikan sebagai permintaan atas tenaga kerja.
21
Kesempatan kerja adalah pemanfaatan sumber daya manusia untuk mewujudkan barang dan jasa. Kegiatan ekonomi di masyarakat membutuhkan tenaga kerja. Kebutuhan tenaga kerja itu dapat juga disebut sebagai kesempatan kerja (demand for labour). Semakin meningkat pembangunan, semakin besar pula kesempatan kerja yang tersedia. Hal ini berarti semakin besar pula permintaan akan tenaga kerja. Sebaliknya semakin besar jumlah penduduk, semakin besar pula kebutuhan akan lowongan pekerjaan (kesempatan kerja). Menurut Sukirno (2008) pertambahan penduduk tidak dengan sendirinya menyebabkan pertambahan permintaan. Tetapi pertambahan penduduk diikuti oleh perkembangan dalam kesempatan kerja. Pertambahan dalam jumlah penduduk akan menyebabkan terjadinya pertambahan permintaan terhadap output yang dihasilkan oleh perusahaan. Oleh karena permintaan terhadap tenaga kerja adalah suatu permintaan turunan (derived demand), yang disebabkan oleh adanya permintaan konsumen terhadap produk perusahaan, maka peningkatan jumlah penduduk yang meningkatkan permintaan terhadap output akan menyebabkan peningkatan dalam permintaan tenaga kerja. Sehingga, dalam hal ini jumlah penduduk mempunyai pengaruh positif terhadap kesempatan kerja.
2.3 Teori Produktivitas Kerja Menurut Sukirno (2008) produktivitas didefinisikan sebagai produksi yang diciptakan oleh seorang pekerja pada suatu waktu tertentu. Kenaikan produktivitas berarti pekerja itu dapat menghasilkan lebih banyak barang pada jangka waktu yang sama, atau suatu tingkat produksi tertentu dapat dihasilkan dalam waktu
22
yang lebih singkat. Kenaikan produktivitas disebabkan oleh beberapa faktor, yang terpenting adalah. 1) Kemajuan Teknologi Memproduksi Kemajuan teknologi menimbulkan dua akibat penting kepada kegiatan memproduksi dan produktivitas. Yang pertama, kemajuan teknologi memungkinkan penggantian kegiatan ekonomi dari menggunakan binatang dan manusia kepada tenaga mesin. Kedua, kemajuan teknologi memperbaiki mutu dan kemampuan mesin-mesin yang digunakan. 2) Perbaikan Sifat-Sifat Tenaga Kerja Kemajuan ekonomi menimbulkan beberapa akibat yang akhirnya meninggikan kepandaian dan keterampilan tenaga kerja. Kemajuan ekonomi mempertinggi taraf kesehatan masyarakat, mempertinggi taraf pendidikan dan latihan teknik, dan menambah pengalaman dalam pekerjaan. Faktor-faktor ini besar sekali peranannya dalam mempertinggi produktivitas tenaga kerja. 3) Perbaikan dalam Organisasi Perusahaan dan Masyarakat Dalam perekonomian yang mengalami kemajuan, bentuk menajemen perusahaan mengalami perubahan. Pada mulanya pemilik merupakan juga pemimpin perusahaan. Tetapi semakin maju perekonomian, semakin banyak perusahaan diserahkan kepada manajer profesional. Dengan perubahan ini juga organisasi perusahaan diperbaiki, dan diselenggarakan menurut cara-cara manajemen yang modern. Langkah seperti itu meninggikan produktivitas.
23
Secara umum produktivitas didefinisikan sebagai sumber-sumber ekonomi untuk menghasilkan barang dan jasa. Secara mikro, produktivitas biasanya terkait dengan kemampuan organisasi dalam mencapai daya saingnya. Semakin tinggi produktivitas, semakin tinggi daya saingnya di pasar. Produktivitas yang tinggi dapat disebabkan oleh perubahan teknologi atau perbaikan mutu modal manusia dalam organisasi. Jika organisasi dapat beroperasi secara produktif maka keuntungan yang diperoleh juga cenderung meningkat. Karena biaya tenaga kerja umumnya
ditentukan
berdasarkan
proporsi
keuntungan,
maka
dengan
produktivitas tinggi, terdapat kecenderungan naiknya tingkat upah. Sebaliknya, jika produktivitas pekerja dan organisasi secara keseluruhan turun, kemungkinan besar terjadi penurunan tingkat upah. Produktivitas tenaga kerja dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut. Produktivitas
PDRB ................................................................................... (2.1) KK
Keterangan: PDRB
= Produk Domestik Regional Bruto
KK
= Kesempatan Kerja
2.4 Kemiskinan 2.4.1 Pengertian Kemiskinan Kemiskinan sering dianalogkan dengan semua sifat kekurangan dan ketidakberdayaan. Analog ini mengakibatkan definisi kemiskinan menjadi sangat luas sehingga sulit untuk memahaminya dan kesulitan untuk menentukan langkah kebijakan yang perlu dilakukan untuk menanggulangi kemiskinan.
24
Kemiskinan dapat didefinisikan dalam berbagai versi. Ada batasan sederhana yang mengkaitkan kemiskinan dengan standar minimal yang dihitung berdasarkan pendapatan (income based poverty line). Mereka yang dinyatakan miskin adalah individu, rumah tangga, masyarakat, atau kelompok sosial lainnya yang
memperoleh
pendapatan
dibawah
standar
minimal.
Batasan
ini
mengabaikan sumber daya tunai (non cash) yang tersedia di masyarakat dan sulit digunakan dalam situasi setempat yang terbatas (Soedijanto Padmowihardjo, 2004). Kemiskinan diartikan sebagai ketidak mampuan berpartisipasi dalam bermasyarakat secara ekonomi, sosial budaya dan politik. Pengertian ini melihat kemiskinan bersipat multidemensi yang mencakup kemiskinan insani dan martabat, konsep kemiskinan multidemensi melihat kemiskinan menjadi berapa katagori yaitu kemiskinan pendapatan, kesehatan, pendidikan, ketenaga kerjaan, ketimpangan struktur usaha, ketidak berdayaan, penyandang masalah kesejahtraan sosial, ketimpangan gender dan kesenjangan antar golongan dan wilayah (Solehatul Mustofa , 2005). Selama dekade 1970-an pada saat minat dan perhatian pada masalah kemiskinan tengah meningkat, para ahli ekonomi pembangunan mulai berusaha mengukur luasnya atau kadar parahnya tingkat kemiskinan di dalam suatu negara dan kemiskinan relative antarnegara dengan cara menentukan atau menciptakan suatu batasan yang lazim disebut sebagai garis kemiskinan (poverty line). Setelah melakukan telaah yang lebih mendalam mereka menemukan konsep kemiskinan absolut (absolute poverty) yang kemudian dipakai secara luas. Konsep ini
25
dimaksudkan untuk menentukan tingkat pendapatan minimum yang cukup untuk memenuhi kebutuhan–kebutuhan fisik minimum setiap orang berupa kecukupan makanan, pakaian serta perumahan sehinggga dapat menjamin kelangsungan hidupnya (Todaro, 2004). BAPPENAS (2005) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi dimana seseorang atau kelompok orang, laki–laki dan perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya
untuk mempertahankan dan mengembangkan
kehidupan yang
bermartabat. Definisi kemiskinan ini beranjak dari pendekatan berbasis hak yang mengakui bahwa masyarakat miskin, baik laki–laki maupun perempuan, mempunyai hak- hak dasar yang sama dengan anggota masyarakat lainnya. Kemiskinan tidak lagi dipahami hanya sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan pemenuhan hak–hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang, laki–laki dan perempuan, dalam menjalani kehidupan secara bermartabat. Hak–hak dasar terdiri dari hak–hak yang dipahami masyarakat miskin sebagai hak mereka untuk dapat menikmati kehidupan yang bermartabat dan hak yang diakui dalam peraturan perundang–undangan. Hak–hak dasar yang diakui secara umum antara lain meliputi terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial politik, baik bagi perempuan maupun laki–laki. Hak–hak dasar tidak berdiri sendiri tetapi saling mempengaruhi satu sama lain sehingga tidak terpenuhinya satu hak dapat mempengaruhi pemenuhan hak lainnya.
26
Kemiskinan merupakan fenomena yang kompleks, bersifat multidemensi dan tidak dapat secara mudah dilihat dari suatu angka absolut. Luasnya wilayah dan sangat beragamnya budaya masyarakat menyebabkan kondisi dan permasalahan kemiskinan di Indonesia menjadi sangat beragam dengan sifat–sifat lokal yang kuat dan pengalaman kemiskinan yang berbeda antara perempuan dan laki–laki. Kondisi dan permasalahan kemiskinan secara tidak langsung tergambar dari fakta yang diungkapkan menurut persepsi dan pendapat masyarakat miskin itu sendiri, berdasarkan temuan dari berbagai kajian, dan indikator sosial dan ekonomi yang dikumpulkan dari kegiatan sensus dan survai. Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan dua macam pendekatan, yaitu: pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach) dan pendekatan head count index yaitu merupakan ukuran yang menggunakan kemiskinan absolut (Kuncoro, 2004). Lebih
lanjut
Sharp,
dkk.
dalam
Kuncoro
(2004)
mencoba
mengidentifikasikan penyebab kemiskinan dipandang dari sisi ekonomi. Pertama, secara mikro, kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumberdaya yang menimbulkan distribusi pendapatan yang timpang. Penduduk miskin hanya memiliki sumberdaya dalam jumlah terbatas dan kualitasnya rendah. Kedua, kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam kualitas sumberdaya manusia. Kualitas sumberdaya manusia yang rendah berarti produktivitasnya rendah, yang pada gilirannya upahnya rendah. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia ini karena rendahnya pendidikan, nasib yang kurang beruntung, adanya diskriminasi, atau karena keturunan. Ketiga, kemiskinan muncul akibat perbedaan
27
akses dalam modal. Ketiga penyebab kemiskinan ini bermuara pada teori lingkaran setan kemiskinan
(vicious
circle
ot
poverty).
Adanya
keterbelakangan,
ketidaksempurnaan pasar, dan kurangnya modal menyebabkan rendahnya produktivitas. Rendahnya produktivitas mengakibatkan rendahnya pendapatan yang mereka terima. Rendahnya pendapatan akan berimplikasi pada rendahnya tabungan dan investasi. Rendahnya investasi berakibat pada keterbelakangan, dan seterusnya (lihat gambar). Logika berpikir ini dikemukakan oleh Ragnar Nurkse, ekonom pembangunan ternama, di tahun 1953 yang mengatakan : “a poor country is poor because it is poor “ (negara miskin itu miskin karena dia miskin). Gambar 2.1 Lingkaran Setan Kemiskinan Versi Nurkse
Kemiskinan
Ketidaksempurnaan pasar, Keterbelakangan Ketertinggalan
Kekurangan modal
Investasi Rendah
Produktivitas Rendah Tabungan Rendah
Sumber : Kuncoro (2004)
Pendapatan Rendah
28
Kuncoro (2003), menyatakan penyebab kemiskinan jika diidentifikasi sangat kompleks dan saling terkait yaitu: 1) kualitas sumber daya manusia yang rendah, baik motivasi maupun penguasaan management dan teknologi; 2) kelembagaan yang belum mampu menjalankan dan mengawal pelaksanaan pembangunan; 3) prasarana dan sarana yang belum merata dan sesuai dengan kebutuhan pembangunan; 4) minimnya modal dan; dan 5) berbelitnya prosedur dan peraturan yang ada. Kelemahan ini menyebabkan penduduk miskin tidak mampu memanfaatkan peluang yang ada sehingga potensi dan peluang ekonomi yang ada diserap dan dimanfaatkan sepenuhnya oleh kelompok wilayah dan sektor yang kaya dan mampu, akibatnya penduduk miskin relatif menjadi lebih miskin lagi karena tertinggal. Pada bagian lain juga disebutkan berdasarkan penyebabnya, kemiskinan dapat dibedakan dalam tiga pengertian: kemiskinan natural (alamiah), kemiskinan struktural (buatan) dan kemiskinan kultural. Kemiskinan natural adalah keadaan miskin, karena asalnya memang miskin. Kelompok masyarakat ini miskin karena tidak memiliki sumber daya yang memadai, baik sumber daya alam, sumber daya manusia maupun sumber daya pembangunan lainnya. Alfian, dkk. (1980) mendefinisikan kemiskinan struktural (kemiskinan buatan) adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena struktur masyarakat itu mengakibatkan mereka tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang seharusnya tersedia bagi mereka (Santoso, 2001). Kemiskinan kultural mengacu pada sikap hidup seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh gaya hidup, kebiasaan hidup dan budayanya, dimana mereka sudah merasa kecukupan
29
dan tidak merasa kekurangan.
2.4.2 Faktor–Faktor Penentu Kemiskinan BAPPENAS (2005) melihat indikator utama kemiskinan dengan rumusan kongkrit dari aspek pemehuan hak dasar, beban kependudukan, serta ketidak adilan dan ketidaksetaraan gender. 2.4.2.1 Kegagalan Pemenuhan Hak Dasar 1) Terbatasnya kecukupan dan mutu pangan yang layak dan memenuhi persyaratan gizi masih menjadi masalah bagi masyarakat miskin. Terbatasnya kecukupan dan kelayakan mutu pangan berkaitan dengan rendahnya
daya
beli,
ketersediaan
pangan
yang
tidak
merata,
ketergantungan tinggi terhadap beras dan terbatasnya diversifikasi pangan. Disisi lain, masalah yang dihadapi oleh petani penghasil pangan adalah terbatasnya dukungan produksi pangan, tata niaga yang tidak efisien, rendahnya penerimaan usaha tani pangan dan maraknya penyelundupan. Permasalah kecukupan pangan terlihat dari rendahnya asupan kalori penduduk miskin dan buruknya status gizi bayi, anak balita dan ibu. Masalah kecukupan pangan dipengaruhi oleh pola konsumsi yang bertumpu pada beras sebagai bahan pangan pokok, menyebabkan ketergantungan masyarakat pada beras. Dalam jangka panjang, hal ini akan mengganggu ketahanan pangan masyarakat.
Selain itu juga ,
ketergantungan pada beras juga melemahkan inisiatif untuk melakukan
30
diversifikasi produksi dan konsumsi pangan selain beras seperti jagung, sagu, ubi jalar dan bahan pangan lainnya yang tumbuh secara lokal. 2) Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan berdampak pada rendahnya daya tahan mereka untuk bekerja dan mencari napkah, terbatasnya
kemampuan anak dari keluarga
untuk tumbuh dan
berkembang, dan rendahnya derajat kesehatan ibu. Penyebab utama dari rendahnya derajat kesehatan masyarakat miskin selain kecukupan pangan adalah keterbatasan akses terhadap pelayanan kesehatan dasar, rendahnya mutu layanan kesehatan dasar, kurangnya pemahaman terhadap prilaku hidup sehat, dan kurangnya layanan kesehatan reproduksi. Salah satu indikator dari terbatasnya akses layanan kesehatan dasar adalah angka kematian bayi. Rendahnya tingkat kesehatan masyarakat miskin juga disebabkan oleh prilaku hidup mereka yang tidak sehat. Jarak fasilitas layanan kesehatan yang jauh dan biaya yang mahal merupakan penyebab utama rendahnya aksesibilitas masyarakat miskin terhadap layanan kesehatan yang bermutu. Indikator ketiadaan akses sebagai ukuran tingkat kesulitan jangkauan tempat layanan kesehatan terdekat adalah rendahnya mutu layanan kesehatan dasar yang disebabkan oleh terbatasnya tenaga kesehatan, kurangnya peralatan, dan kurangnya sarana kesehatan, rendahnya anggaran yang tersedia bagi pembangunan dan pelayanan kesehatan masyarakat miskin. 3) Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan disebabkan oleh tingginya biaya pendidikan, terbatasnya jumlah dan mutu prasarana
31
dan sarana pendidikan, terbatasnya jumlah dan guru bermutu di daerah dan komonitas miskin, terbatasnya jumlah sekolah yang layak untuk proses belajar mengajar, terbatasnya jumlah SLTP di daerah pedesaan, daerah terpencil dan kantong – kantong kemiskinan, serta terbatasnya jumlah, sebaran dan mutu program kesetaraan pendidikan dasar melalui pendidikan non formal. Tingginya biaya pendidikan menyebabkan akses masyarakat miskin terhadap pendidikan menjadi terbatas. Sesuai dengan ketentuan, Biaya P2KP untuk jenjang SD telah secara resmi dihapuskan. Kenyataan menunjukan bahwa masyarakat tetap harus membayar berbagai iuran sekolah seperti membeli buku, alat tulis, pakaian seragam, sepatu seragam. Berbagai iuran tersebut menjadi penghambat bagi masyarakat miskin untuk menyekolahkan anaknya. Pendidikan formal belum dapat menjangkau secara merata
seluruh lapisan masyarakat. Masalah
kesenjangan akses pendidikan juga terjadi antara penduduk pedesaan dan perkotaan dan antar wilayah. Perbedaan akses pendidikan juga terjadi antara laki–laki dan perempuan. Partisipasi pendidikan perempuan terus meningkat, namun pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi (SLTA dan Perguruan Tinggi) angka partisipasi perempuan lebih rendah dibandingkan laki–laki. Masyarakat miskin juga menghadapi masalah persebaran SLTP/MTs yang tidak merata terutama didaerah pedesaan. Hal ini menyebabkan pendidikan non formal menjadi alternatif bagi masyarakat yang putus sekolah, tidak sekolah, buta huruf, dan orang dewasa yang menganggur. Saat ini perhatian dan dukungan terhadap penyelenggaraan
32
pendidikan non formal yang dilakukan oleh masyarakat masih sangat kurang. 4) Terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha menyangkut terbatasnya peluang mengembangkan usaha, lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, dan perbedaan upah serta lemahnya perlindungan kerja terutama bagi pekerja anak dan pekerja perempuan, seperti buruh migran perempuan dan pembantu rumah tangga. Keterbatasan modal, kurangnya ketrampilan, dan pengetahuan, menyebabkan masyarakat miskin hanya memiliki sedikit pilihan pekerjaan yang layak dan peluang yang sempit untuk mengembangkan usaha. Terbatasnya lapangan pekerjaan yang tersedia pada saat ini seringkali menyebabkan mereka terpaksa melakukan pekerjaan yang berisiko tinggi dengan imbalan yang kurang memadai dan tidak ada kepastian akan keberlanjutannya. Masyarakat miskin juga mempunyai akses yang terbatas untuk memulai dan mengembangkan Koperasi dan Usaha, Mikro dan Kecil (KUMK). Permasalahan yang dihadapi antara lain sulitnya mengakses modal dengan suku bunga rendah, hambatan untuk memperoleh ijin usaha, kurangnya perlindungan dari kegiatan usaha, rendahnya kapasitas kewirausahaan dan terbatasnya akses terhadap informasi, pasar, bahan baku, serta sulitnya
memanfaatkan
bantuan teknis dan teknologi. Ketersediaan modal dengan tingkat suku bunga pasar masih sulit diakses oleh pengusaha kecil dan mikro yang sebagaian besar masih lemah dalam kapasitas SDM. Selain kesulitan mengakses modal tersebut, tidak adanya lembaga resmi yang dapat
33
memberi modal dengan persyaratan yang dapat dipenuhi kapasitas masyarakat miskin. Kenyataan ini tidak memberi pilihan lain untuk memperoleh modal dengan cara meminjam dari rentenir dengan tingkat bunga yang sangat tinggi. 5) Terbatasnya akses layanan perumahan bagi masyarakat miskin sulit dijangkau. Dalam berbagai diskusi dengan masyarakat, kondisi perumahan merupakan ciri utama yang paling sering dipakai dalam mengenali penduduk miskin, dan gejala ini menunjukan adanya ketimpangan dalam pemenuhan hak atas pemukiman yang layak. Secara umum, masalah utama yang dihadapi masyarakat miskin adalah terbatasnya akses terhadap perumahan yang sehat dan layak, rendahnya mutu lingkungan pemukiman dan rendahnya perlindungan atas kepemilikan perumahan. 6) Terbatasnya akses terhadap air bersih dan aman, serta sanitasi yang dihadapi masyarakat miskin disebabkan oleh terbatasnya penguasaan sumber air, belum terjangkau oleh jaringan distribusi, menurunnya mutu sumber air, serta kurangnya kesadaran akan pentingnya air bersih dan sanitasi untuk kesehatan. masyarakat miskin yang tinggal di pinggiran sungai sangat tergantung pada perubahan permukaan air sungai. Pada saat kemarau, mereka terpaksa harus membeli air minum yang cukup mahal. Bagi masyarakat miskin yang tidak mampu membeli, mereka terpaksa mengambil air sungai. 7) Lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah yang dihadapi masyarakat miskin yaitu masalah ketimpangan struktur penguasaan dan
34
pemilikan tanah, serta ketidakpastian dalam penguasaan dan pemilikan lahan pertanian. Masalah tersebut sangat dirasakan oleh petani penggarap yang sering tidak mampu memenuhi kebutuhannya. Masalah pertanahan ditunjukan oleh semakin sering dan meluasnya sengketa agraria. 8) Memburuknya kondisi sumber daya alam dan lingkungan hidup mempunyai kaitan erat dengan kemiskinan, karena masyarakat miskin sangat rentan terhadap perubahan pola pemamfaatan sumberdaya alam dan perubahan lingkungan. Masyarakat miskin yang tinggal di daerah pedesaan, daerah pinggiran lautan, kawasan pesisir, dan daerah pertambangan sangat tergantung pada sumber daya alam sebagai sumber penghasilan. Sedangkan masyarakat miskin di perkotaan umumnya tinggal di lingkungan pemukiman yang buruk dan tidak sehat, misalnya di daerah rawan banjir dan daerah yang tercemar. 9) Lemahnya jaminan rasa aman yang dihadapi masyarakat miskin yaitu berbagai tindak kekerasan yang menyebabkan tidak terjaminnya rasa aman. Tindak kekerasan tersebut disebabkan oleh konflik sosial, ancaman terorisme, dan ancaman non kekerasan antara lain perdagangan perempuan dan anak, krisis ekonomi, penyebaran penyakit menular 10) Lemahnya partisipasi yaitu tidak terpenuhinya hak – hak dasar masyarakat miskin karena tidak tepatnya layanan yang diberikan oleh pemerintah yang menyentuh langsung persoalan kapabilitas dasar
yang kemudian
menghambat mereka mencapai harkat martabat sebagai warga negara.
35
2.4.2.2 Lemahnya Penanganan Masalah Kependudukan Beban masyarakat miskin semakin berat akibat besarnya tanggungan keluarga dan adanya tekanan hidup yang mendorong terjadinya migrasi.
2.4.2.3 Ketidaksetaraan dan Ketidakadilan Gender Sumber dari permasalahan kemiskinan perempuan terletak pada budaya patriarki laki–laki sebagai superior dan perempuan sebagai subordinat. Budaya patriarki seperti ini tercermin baik dalam kehidupan keluarga, bermasyarakat, maupun
bernegara,
dan menjadi sumber
pembenaran
terhadap
sistem
kepemilikan, dan sistem distribusi sumberdaya yang bias gender. Sistem pemerintahan yang hirarki, hegomoni dan patriarki telah meminggirkan perempuan secara sistematis melalui kegiatan, program dan lembaga yang tidak responsif gender. Masalah ketidak adilan dan ketidaksetaraan gender tercermin pada tingginya angka kematian ibu, keluarga berencana dan aborsi tidak aman, ketidak cukupan konsumsi nutrisi khususnya perempuan hamil dan menyusui, perdagangan perempuan , kekerasan seksual dan buruknya sanitasi dan air bersih.
2.4.3 Pengukuran Kemiskinan Ada berbagai pendekatan dalam memahami kemiskinan, antara lain pendekatan kebutuhan dasar (basic need), pendekatan rumah tangga (household), pendekatan berkarateristik nilai lokal (local value), pendekatan kesenjangan wilayah (regional disparity), diantara semua pendekatan itu yang sering dipakai
36
adalah pendekatan kebutuhan dasar (Wrihatnolo dan Dwidjowijoto, 2007). Semua pendekatan itu diperlukan untuk menentukan kriteria penduduk miskin dan dimana mereka berada. Salah satu model yang digunakan dalam pendekatan kebutuhan dasar adalah model garis kemiskinan (poverty line) yang menggunakan standar minimal asupan kalori setiap hari untuk setiap jiwa. Pendekatan rumah tangga juga banyak dipakai. Salah satu modelnya adalah model kreteria rumah tangga miskin yang menggunakan standar pengukuran terhadap 14 variabel kemiskinan yaitu: 1) Luas bangunan 2) Jenis lantai 3) Jenis dinding 4) Fasilitas buang air besar 5) Sumber air minum 6) Sumber penerangan 7) Jenis bahan bakar untuk memasak 8) Frekuensi membeli daging, ayam, dan susu seminggu 9) Frekuensi makan sehari 10) Jumlah stel pakaian baru yang dibeli setahun 11) Akses ke puskesmas/poliklinik 12) Lapangan pekerjaan 13) Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga, serta 14) Kepemilikan beberapa asset Disamping itu, ada pula empat variabel program intervensi, yaitu:
37
1) Keberadaan balita 2) Anak usia sekolah 3) Kesertaan dalam keluarga berencana 4) Penerimaan kredit, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM ) Pendekatan kebutuhan dasar dan pendekatan rumah tangga digabungkan untuk memperoleh pendekatan yang lebih sempurna. Kelebihan penggabungan dua pendekatan ini adalah dapat menentukan faktor–faktor yang paling berpengaruh terhadap status kemiskinan seseorang dan sebuah rumah tangga miskin. Kriteria kemiskinan yang menggunakan pendekatan gabungan antara konsep kebutuhan dasar dan rumah tangga menghasilkan empat asumsi dasar, yaitu 1) Unit masyarakat paling kecil adalah keluarga sehingga status kemiskinan seseorang/individu sangat terkait dengan status kemiskinan keluarga/rumah tangga; 2) Setiap rumah tangga miskin selalu beranggotakan individu miskin sehingga keberhasilan menentukan sebuah rumah tangga miskin berarti menunjukan keberhasilan
menentukan individu–individu miskin dalam sebuah rumah
tangga; 3) Kebutuhan dasar lebih mudah diformulasikan dalam unit rumah tangga dibandingkan dengan unit individu; 4) Tidak setiap individu miskin mampu mempunyai pekerjaan dan penghasilan itu mampu memenuhi standar minimal konsumsi untuk dirinya sendiri.
38
Dengan demikian, dari sisi produktif dapat dikatakan bahwa: 1) Apabila tidak satupun anggota rumah tangga dari sebuah rumah tangga mempunyai usaha atau melakukan/memiliki pekerjaan tertentu sehingga tidak mempunyai penghasilan, rumah tangga itu dapat dikatagorikan miskin parah; 2) Apabila anggota rumah tangga dari sebuah rumah tangga mempunyai usaha atau melakukan/memiliki pekerjaan tertentu dengan penghasilan kurang dari standar minimal konsumsinya, rumah tangga itu dapat dikatagorikan rumah tangga miskin; dan 3) Apabila anggota rumah tangga dari sebuah rumah tangga mempunyai usaha atau melakukan/memiliki pekerjaan tertentu dengan penghasilan setara standar minimal konsumsi, rumah tangga itu dapat dikatagorikan rumah tangga mendekati miskin. Sementara itu, dari sisi konsumsi dapat dikatakan bahwa: 1) Apabila tidak satupun anggota rumah tangga dari sebuah rumah tangga mampu berbelanja barang konsumsi setara standar minimal konsumsi, rumah tangga itu dapat dikatagorikan rumah tangga miskin parah; 2) Apabila hanya ada satu anggota rumah tangga dari sebuah rumah tangga (dengan asumsi satu rumah tangga beranggotakan empat anggota rumah tangga) yang mampu berbelanja barang konsumsi setara standar minimal konsumsi, rumah tangga itu dapat dikatagorikan rumah tangga miskin; 3) Apabila ada lebih dari dua anggota rumah tangga dari sebuah rumah tangga ( dengan asumsi
satu rumah tangga beranggotakan empat anggota rumah
39
tangga ) yang mampu berbelanja barang konsumsi setara standar minimal konsumsi, rumah tangga itu dapat dikatakan rumah tangga mendekati miskin. Dengan demikian, untuk membuat anggota rumah tangga miskin menjadi tidak miskin lagi, rumah tangga miskin itu memerlukan dua hal, yaitu: 1) Sesuatu yang bersifat produktif sehingga dapat memberikan penghasilan setara dengan standar minimal konsumsi; 2) Sesuatu yang bersifat konsumtif sehingga dapat meringankan beban konsumsinya agar setara standar minimal konsumsi. Sebagai implikasinya, dapat dilakukan dua hal kepada anggota rumah tangga miskin, yaitu: 1) Memberikan peluang bagi anggota rumah tangga miskin agar semua/sebagian anggota rumah tangga miskin mempunyai usaha atau melakukan/memiliki pekerjaan tertentu sehingga semua/sebagian anggota rumah tangga miskin mempunyai penghasilan; 2) Meringankan beban konsumsi anggota rumah tangga miskin.
2.4.4 Kriteria Kemiskinan 1) Kriteria Menurut Bank Dunia Dengan mengukur pemenuhan kebutuhan dasar yang layak bagi masyarakat, batas garis kemiskinan menurut Bank Dunia adalah pendapatan per kapita per hari 1 dolar AS yang diberlakukan sejak tahun 1990. Namun sejak tahun 2008 garis kemiskinan internasional ini dinaikkan menjadi US $ 2 per hari. Hanya saja US $ 2 yang dimaksud bukanlah benar-benar nominal pada nilai tukar sekarang (atau sekitar Rp 18.000), melainkan dua dolar yang
40
disesuaikan dengan kesamaan daya beli (purchasing power parity) masyarakat masing-masing negara/daerah. 2) Kriteria Rumah Tangga Miskin Menurut BPS Untuk menemtukan suatu rumah tangga layak atau tidak dikategorikan miskin terdapat banyak pilihan variabel kemiskinan yang dapat dikaitkan dengan pendekatan normatif kebutuhan kalori dan kebutuhan dasar non makanan sebagai dasar penetapan garis kemiskinan. Namun setelah melalui kajian yang mendalam berdasarkan uji statistik hasil survei BPS beberapa tahun, pada tahun 2005 menunjukkan bahwa ke 14 variabel ini yang memenuhi hubungan sangat erat atau paling representatif untuk menjelaskan kriteria rumah tangga miskin, yaitu: a) luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang. b) jenis lantai tempat tinggal dari tanah atau bambu atau kayu murahan. c) jenis dinding tempat tinggal dari bambu atau rumpia atau kayu berkualitas rendah atau tembok atau plesteran. d) tidak memiliki fasilitas buang air besar atau bersama-sama dengan rumah tangga lain. e) sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik. f) sumber air minum bersumber dari sumur atau mata air yang tidak terlindung atau dari sungai atau air hujan. g) bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar atau arang atau minyak tanah.
41
h) hanya mengkonsumsi daging atau susu atau ayam satu kali dalam seminggu. i) hanya mampu membeli satu stel pakaian baru dalam setahun. j) hanya sanggup makan sebanyak satu atau dua kali dalam sehari. k) tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas atau poliklinik. l) sumber penghasilan rumah tangga adalah petani dengan luas lahan 5000 m2, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, dan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp 600.000 per bulan. m) pendidikan tertinggi kepala rumah tangga tidak bersekolah atau tidak tamat sekolah dasar atau hanya sekolah dasar. n) tidak memiliki tabungan atau barang yang mudah dijual dengan nilai minimal Rp 500.000,- seperti sepeda motor kredit atau non kredit, emas, ternak, kapal motor atau barang modal lainnya. 3) Kriteria Rumah Tangga Miskin menurut CBD CBD memiliki kriteria tersendiri tentang penduduk atau keluarga miskin. Kriteria tersebut meliputi: a) Berpendapatan tidak teratur b) Rumahnya tidak permanen c) Lingkungan kumuh d) Lahan pekarangan sempit e) Petani penggarap f) Rata-rata berpendidikan SD g) Tidak mempunyai pekerjaan tetap
42
h) Kurang ketrampilan i) Usahanya asal-asalan j) Modal dari pihak lain (nyilih) dan merugikan pelaku k) Kuantitas dan kualitas produksi rendah l) Tidak mampu menabung m) Alat rumah tangganya dari orang lain (bekas) n) Dinyatakan miskin melalui paruman (rapat) desa pakraman. Dalam konteks CBD usaha peninngkatan kesejahteraan krama desa, dilaksanakan dengan cara memberikan bantuan dana bergulir dengan pendekatan partisipasif. Artinya, pihak pemberi bantuan dana (dalam hal ini Pemprov. Bali) memberi peran dan tanggung jawab yang lebih besar kepada desa pakraman mengelola dana bergulir, dalam usaha meningkatkan kesejahteraan krama desa yang dianggap miskin. Peran dan tanggung jawab tersebut meliputi
berbagai aktivitas, mulai dari perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan, pelaporan, sampai pada keberlanjutan program. 4) Kemiskinan Menurut Kriteria UNDP Kriteria kemiskinan yang dikembangkan oleh United Nation Development Programs (UNDP) menggunakan konsep kemiskinan yang lebih lengkap yaitu konsep kemiskinan berbasis hak. Kemiskinan menurut konsep ini didefinisikan sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya secara layak untuk menempuh dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Kemiskinan tidak lagi dipahami
hanya
sebatas
ketidakmampuan
ekonomi,
tetapi
bersifat
43
multidimensional yang merupakan kegagalan pemenuhan hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, dalam menjalani kehidupan secara bermartabat. Oleh sebab itu, konsep ini memberikan penegasan terhadap kewajiban negara untuk menghargai dan melindungi dan memenuhi hak-hak masyarakat miskin tersebut. Berkaitan dengan hal itu UNDP membuat Human Development Report (HDR). HDR berisikan penjelasan tentang empat indeks yaitu Indeks Pembangunan Manusia atau Human Development Index (HDI), Indek Pembangunan Jender atau Gender Development Index (GDI), Langkah Pemberdayaan Jender atau Gender Empowerment Measure (GEM), dan Indek Kemiskinan Manusia atau Human Poverty Index (HPI). HDI, HPI, dan GDI menggunakan tiga dimensi yang sama, yaitu umur yang panjang dan hidup sehat, pengetahuan dan standar hidup yang layak. Sementara indikatorindikator pada GEM menggunakan tiga dimensi yang berbeda yaitu partisipasi politik, partisipasi dalam ekonomi dan pengambilan keputusan, serta memiliki kekuatan dalam sumber daya ekonomi.
2.4.5 Indikator Kemiskinan Indikator kemiskinan ada bermacam–macam yakni konsumsi beras perkapita pertahun, tingkat pendapatan, tingkat kecukupan gizi, kebutuhan fisik minimum dan tingkat kesejahtraan (Arsyad, 2004). 1) Menurut Wrihatnolo dan Dwidjowijoto (2007), penduduk dikatakan sangat miskin apabila kemampuan untuk memenuhi konsumsi makanan hanya
44
mencapai 1.900 kalori per orang plus kebutuhan dasar non makanan, atau setara Rp 120.000,- per orang per bulan. 2) Batas garis kemiskinan yang digunakan setiap negara berbeda–beda, ini disebabkan oleh adanya perbedaan lokasi dan standar kebutuhan hidup. BPS menggunakan batas miskin dari besarnya rupiah yang dibelanjakan perkapita sebulan untuk memenuhi kebutuhan minimum makanan dan bukan makanan (BPS, 2002). Batas garis kemiskinan ini dibedakan antara daerah perkotaan dengan pedesaan seperti pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Batas Garis Kemiskinan di Kota dan Desa Tahun 1976 – 2001 (Rp/Kapita/Bulan) Tahun 1976 1984 1987 1990 1993 1996 1999 2000 2001 Sumber : BPS (2005)
Kota (Rupiah)
Desa (Rupiah)
4.522 13.731 17.381 20.614 27.905 42.032 89.959 91.632 100.001
2.849 7.746 10.294 13.295 18.244 31.366 69.420 73.648 80.382
Selama periode 1976 sampai 2001, telah terjadi peningkatan batas garis kemiskinan, yang disesuaikan dengan kenaikan harga barang yang dikonsumsi oleh masyarakat.
45
2.5 Konsep Implementasi 2.5.1
Pengertian Implementasi Dalam kamus Webster (Wahab, 1997) pengertian implementasi
dirumuskan
secara
pendek,
dimana
“to
implementation”
(mengimplementasikan) berarti “to provide means for carrying out; to give practical effect to” (menyajikan
alat
bantu
untuk melaksanakan;
menimbulkan dampak/berakibat sesuatu). Dalam studi kebijakan publik, dikatakan bahwa implementasi bukanlah sekedar bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur rutin melalui saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu implementasi menyangkut masalah konflik, keputusan, dan siapa yang memperoleh apa dari suatu kebijakan. Oleh karena itu tidaklah terlalu salah jika dikatakan bahwa implementasi kebijakan merupakan aspek yang sangat penting dalam keseluruhan proses kebijakan. Pengertian
yang
sangat
sederhana
tentang
implementasi
adalah
sebagaimana yang diungkapkan oleh Charles O. Jones (1991), dimana implementasi diartikan sebagai “getting the job done” dan “doing it”. Tetapi di balik kesederhanaan rumusan yang demikian berarti bahwa implementasi kebijakan merupakan suatu proses kebijakan yang dapat dilakukan dengan mudah. Namun pelaksanaannya, menurut Jonse, menuntut adanya syarat yang antara zlain: adanya orang atau pelaksana, uang dan kemampuan organisasi atau yang sering disebut dengan resources, Lebih lanjut Jones merumuskan batasan implementasi sebagai proses penerimaan
46
sumber daya tambahan, sehingga dapat mempertimbangkan apa yang harus dilakukan. Van Meter dan Horn (1978) mendefinisikan implementasi kebijakan sebagai berikut: “Policy implementation encompasses those actions by public and private individuals (and groups) that are directed at the achievement of goals and objectives set forth in prior policy decisions. “Definisi tersebut memberikan makna bahwa implementasi kebijakan adalah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu (dan kelompok) pemerintah dan swasta yang diarahkan pada pencapaian tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. Tindakantindakan ini, pada suatu saat berusaha untuk mentransformasikan keputusankeputusan menjadi pola-pola operasional, serta melanjutkan usaha-usaha tersebut untuk mencapai perubahan, baik yang besar maupun yang kecil, yang diamanatkan oleh keputusan kebijakan. Dengan mengacu pada pendapat tersebut, dapat diambil pengertian bahwa sumber-sumber untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya oleh pembuat kebijakan, di dalamnya mencakup: manusia, dana, dan kemampuan organisasi; yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun swasta (individu ataupun kelompok). Selanjutnya Mazmanian dan Sabatier (Solichin Abdul Wahab, 1997) menjelaskan lebih lanjut tentang konsep implementasi kebijakan sebagai berikut: “Memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi
47
kebijakan, yaitu kejadian-kejadian atau kegiatan yang timbul setelah disahkannya pedoman-pedoman kebijakan negara, yaitu mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat/dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian.” Berdasarkan pada pendapat tersebut di atas, nampak bahwa implementasi kebijakan tidak hanya terbatas pada tindakan atau perilaku badan alternatif atau unit birokrasi yang bertanggung jawab untuk melaksanakan program dan menimbulkan kepatuhan dari target group, namun lebih dari itu juga berlanjut dengan jaringan kekuatan politik sosial ekonomi yang berpengaruh pada perilaku semua pihak yang terlibat dan pada akhirnya terdapat dampak yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan. Banyak model dalam proses implementasi kebijakan yang dapat digunakan. Van Meter dan Horn dalam Samudra Wibowo et al. (1994), mengajukan model mengenai proses implementasi kebijakan (a model of the policy implementation process). Dalam model implementasi kebijakan ini terdapat enam variabel yang membentuk hubungan antara kebijakan dengan pelaksanaan. Van Meter dan Van Horn dalam teorinya ini beranjak dari argumen bahwa perbedaan-perbedaan dalam proses implementasi akan dipengaruhi oleh sifat kebijakan yang akan dilaksanakan. Selanjutnya mereka menawarkan suatu pendekatan yang mencoba untuk menghubungkan antara isu kebijakan dengan implementasi dan suatu model konseptual yang menghubungkan dengan prestasi kerja menegaskan pula pendiriannya bahwa
(performance).
Kedua
ahli
ini
48
perubahan, kontrol dan kepatuhan bertindak merupakan konsep-konsep penting dalam prosedur implementasi. Dengan memanfaatkan model-model tersebut, maka permasalahan yang perlu dikaji dalam hubungan ini adalah hambatan-hambatan apakah yang terjadi dalam mengenalkan perubahan dalam organisasi? Seberapa jauhkan tingkat efektivitas mekanisme-mekanisme kontrol pada setiap jenjang struktur? (Masalah ini menyangkut kekuasaan dari pihak yang paling rendah tingkatannya dalam organisasi yang bersangkutan). Seberapa petingkah rasa keterikatan masing-masing orang dalam organisasi? (Hal ini menyangkut masalah kepatuhan). Atas dasar pandangan seperti itu, Van Meter dan Van Horn kemudian berusaha untuk membuat tipologi kebijakan menurut : a.
Jumlah masing-masing perubahan yang akan dihasilkan.
b.
Jangkauan atau lingkup kesepakatan terhadap tujuan diantara pihakpihak yang terlibat dalam proses implementasi. Hal ini dikemukakan berdasarkan pada kenyataan bahwa proses
implementasi ini akan dipengaruhi oleh dimensi-dimensi kebijakan semacam itu. Dalam artian bahwa implementasi kebanyakan akan berhasil apabila perubahan yang dikehendaki relatif sedikit, sementara kesepakatan terhadap tujuan, terutama dari mereka yang mengoperasikan program di lapangan, relatif tinggi. Standard dan tujuan kebijakan mempunyai pengaruh tidak langsung terhadap pelaksanaan atau penyelenggaraan kebijakan. Disamping itu standard dan tujuan kebijakan juga berpengaruh tidak langsung terhadap
49
disposisi para pelaksana melalui aktivitas komunikasi antar organisasi. Jelasnya respon para pelaksana terhadap suatu kebijakan didasarkan pada persepsi dan interpretasi mereka terhadap tujuan kebijakan tersebut. Walaupun demikian, hal ini bukan berarti bahwa komunikasi yang baik akan menyeimbangkan disposisi yang baik atau positip diantara para pelaksana. Standard dan tujuan juga mempunyai dampak yang tidak langsung terhadap disposisi para pelaksana melalui aktivitas penguatan atau pengabsahan. Dalam hal ini para atasan dapat meneruskan hubungan para pelaksana dengan organisasi lain. Hubungan antar sumber daya (resources) dengan kondisi sosial, ekonomi dan politik dalam batas wilayah organisasi tertentu dapat dikemukakan bahwa tersedianya dana dan sumber lain dapat menimbulkan tuntutan dari warga masyarakat swasta, kelompok kepentingan yang terorganisir untuk ikut berperan dalam melaksanakan dan mensukseskan suatu kebijakan. Jelasnya prospek keuntungan pada suatu program kebijakan dapat menyebabkan kelompok lain untuk berperan serta secara maksimal dalam melaksanakan dan mensukseskan suatu program kebijakan. Bagaimanapun juga dengan terbatasnya sumber daya yang tersedia, masyarakat suatu negara secara individual dan kelompok kepentingan yang terorganisir
akan
memilih
untuk
menolak
suatu
kebijakan
karena
keuntungan yang diperolehnya lebih kecil bila dibandingkan dengan biaya operasional. Demikian juga dengan kondisi sosial, ekonomi dan politik dalam batas wilayah
50
tertentu, mempengaruhi karakter-karakter agen-agen pihak pelaksana, disposisi para pelaksana dan penyelenggaraan atau pelaksanaan kebijakan itu sendiri. Kondisi lingkungan diatas mempunyai efek penting terhadap kemauan dan kapasitas untuk mendukung struktur birokrasi yang telah mapan, kwalitas, dan keadaan agen pelaksana (implementor). Kondisi lapangan ini juga mempengaruhi disposisi implementor. Suatu program kebijakan akan didukung dan digerakkan oleh para warga pihak swasta, kelompok kepentingan yang terorganisir, hanya jika para implementor mau menerima tujuan, standars dan sasaran kebijakan tersebut. Sebaliknya suatu kebijakan tidak akan mendapat dukungan, jika kebijakan tersebut tidak memberikan keuntungan kepada mereka. Disamping
itu
karakteristik
para
agen
implementor
dapat
mempengaruhi disposisi mereka. Sifat jaringan komunikasi, derajat kontrol secara berjenjang dan tipe kepemimpinan dapat mempengaruhi identifikasi individual terhadap tujuan dan sasaran organisasi, dalam mana impelementasi kebijakan yang efektif sangat tergantung kepada orientasi dari para agen/kantor implementor kebijakan. Dari uraian diatas, dapat dipahami bahwa keberhasilan impelementasi kebijakan sangat dipengaruhi oleh berbagai variabel atau faktor yang pada gilirannya akan mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan itu sendiri.
51
2.5.2
Tahap-tahap Implementasi Kebijakan Untuk mengefektifkan implementasi kebijakan yang ditetapkan, maka
diperlukan adanya tahap-tahap implementasi kebijakan. M. Irfan Islamy (1997) membagi tahap implementasi dalam dua bentuk, yaitu a.
: Bersifat self-executing, yang berarti bahwa dengan dirumuskannya dan disahkannya suatu kebijakan maka kebijakan tersebut akan terimplementasikan dengan sendirinya, misalnya pengakuan suatu negara terhadap kedaulatan negara lain.
b.
Bersifat non self-executing yang berarti bahwa suatu kebijakan publik perlu diwujudkan dan dilaksanakan oleh berbagai pihak supaya tujuan pembuatan kebijakan tercapai. Dalam konteks ini kebijakan pemberdayaan masyarakat miskin
termasuk kebijakan yang bersifat non-self-executing, karena perlu diwujudkan dan dilaksanakan oleh berbagai pihak supaya tujuan tercapai. Ahli lain, Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gunn (dalam Slichin Abdul Wahab, 1991) mengemukakan sejumlah tahap implementasi sebagai berikut : Tahap I, terdiri atas kegiatan-kegiatan : a. Menggambarkan rencana suatu program dengan penetapan tujuan secara jelas; b. Menentukan standar pelaksanaan; c. Menentukan biaya yang akan digunakan beserta waktu pelaksanaan.
52
Tahap II : Merupakan pelaksanaan program dengan mendayagunakan struktur staf, sumber daya, prosedur, biaya serta metode; Tahap III: Merupakan kegiatan-kegiatan : a. Menentukan jadwal; b. Melakukan pemantauan; c. Mengadakan pengawasan untuk menjamin kelancaran pelaksanaan program. Dengan demikian jika
terdapat penyimpangan atau
pelanggaran dapat diambil tindakan yang sesuai, dengan segera. Jadi implementasi kebijakan akan selalu berkaitan dengan perencanaan penetapan waktu dan pengawasan, sedangkan menurut Mazmanian dan Sabatier dalam Solichin Abdul Wahab (1991), mempelajari masalah implementasi kebijakan berarti berusaha untuk memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program diberlakukan atau dirumuskan. Yakni peristiwa-peristiwa dan kegiatan-kegiatan yang terjadi setelah proses pengesahan kebijakan baik yang menyangkut usaha-usaha untuk mengadministrasi maupun usaha untuk memberikan dampak tertentu pada masyarakat. Hal ini tidak saja mempengaruhi perilaku lembaga-lembaga yang bertanggung jawab atas sasaran (target grup) tetapi juga memperhatikan berbagai kekuatan politik, ekonomi, sosial yang berpengaruh pada implementasi kebijakan negara.
2.5.3
Faktor-faktor yang mempengaruhi Implementasi Kebijakan Menurut George C. Edward III dalan Implementing Public Policy
53
(1980) ada empat faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan atau kegagalan implementasi suatu kebijakan, yaitu faktor sumber daya, birokrasi, komunikasi, dan disposisi. 1).
Faktor sumber daya (resources) Faktor
sumber
daya
mempunyai
implementasi
kebijakan,
konsistennya
ketentuan-ketentuan
kebijakan,
jika
para
karena
personil
peranan
penting
bagaimanapun
jelas
dalam dan
atau
aturan-aturan
suatu
yang
bertanggung
jawab
mengimplementasikan kebijakan kurang mempunyai sumber-sumber untuk melakukan pekerjaan secara efektif, maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan bisa efektif. Sumber-sumber penting dalam implementasi kebijakan yang dimaksud antara lain mencakup : a. Staf yang harus mempunyai keahlian dan kemampuan untuk bisa melaksanakan tugas b. Perintah c. Anjuran atasan/pimpinan Disamping itu, harus ada ketepatan atau kelayakan antara jumlah staf yang dibutuhkan dan keahlian yang harus dimiliki dengan tugas yang akan dikerjakan. Dana
untuk
membiayai
operasionalisasi
implementasi
kebijakan tersebut, informasi yang relevan dan yang mencukupi tentang bagaimana cara mengimplementasikan suatu kebijakan, dan kerelaan
54
atau kesanggupan dari berbagai pihak yang terlibat dalam implementasi kebijakan tersebut. Hal ini dimaksudkan agar para implementor tidak akan
melakukan
suatu
kesalahan
dalam
bagaimana
caranya
mengimplementasikan kebijakan tersebut. Informasi yang demikian ini juga penting untuk menyadarkan orang-orang yang terlibat dalam implementasi, agar diantara mereka mau melaksanakan dan mematuhi apa yang menjadi tugas dan kewajibannya. Kewenangan
untuk
menjamin
atau
meyakinkan
bahwa
kebijakan yang diimplementasikan adalah sesuai dengan yang mereka kehendaki,
dan
fasilitas/sarana
yang
digunakan
untuk
mengoperasionalisasikan implementasi suatu kebijakan yang meliputi : gedung, tanah, sarana dan prasarana yang kesemuanya akan memberikan pelayanan dalam implementasi kebijakan. Kurang cukupnya sumber-sumber ini berarti ketentuan-ketentuan atau aturanaturan tidak akan menjadi kuat, pelayanan tidak akan diberikan dan pengaturan yang rasional tidak dapat dikembangkan. 2).
Struktur Birokrasi Meskipun sumber-sumber untuk mengimplementasikan suatu kebijakan sudah mencukupi dan para implementor mengetahui apa dan bagaimana cara melakukannya, serta mereka mempunyai keinginan untuk melakukannya, implementasi bisa jadi masih belum efektif, karena ketidakefisienan struktur birokrasi yang ada.
3).
Faktor Komunikasi
55
Komunikasi
adalah
suatu
kegiatan
manusia
untuk
menyampaikan apa yang menjadi pemikiran dan perasaannya, harapan atau pengalamannya kepada orang lain (The Liang Gie, 1982). Faktor komunikasi dianggap sebagai faktor yang amat penting, karena dalam setiap proses kegiatan yang melibatkan unsur manusia dan sumber daya akan selalu berurusan dengan permasalahan “bagaimana hubungan yang dilakukan”. 4).
Faktor Disposisi (sikap) Disposisi ini diartikan sebagai sikap para pelaksana untuk mengimplementasikan kebijakan. Dalam implementasi kebijakan, jika ingin berhasil secara efektif dan efisien, para implementor tidak hanya harus mengetahui apa yang harus mereka lakukan dan mempunyai kemampuan untuk implementasi kebijakan tersebut, tetapi mereka juga harus mempunyai kemauan untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut. Menurut Mazmanian dan Sabatier (1983) keberhasilan implementasi
rencana dipengaruhi oleh otonomi untuk melaksanakan pekerjaan tersebut dan kompleksitas dari rencana itu sendiri. Efektivitas suatu implementasi ditentukan oleh 6 kondisi yaitu : 1. Adanya
perundang-undangan
atau
instruksi
pemerintah
yang
memberikan tanggung jawab tentang suatu kebijaksanaan yang jelas dan konsisten atau menentukan pedoman bagi penyelesaian berbagai konflik yang akan dicapai.
56
2. Dengan perundang-undangan tersebut dimungkinkan pendayagunaan suatu teori yang tepat dapat menemukenali faktor-faktor utama dalam kaitan sebab akibat yang dicapai
mempengaruhi
tujuan
kebijaksanaan yang
hendak
dan juga memberikan wewenang serta kendali yang strategis
bagi pelaksanaan atas kelompok-kelompok sasaran untuk mencapai hasil yang diharapkan. 3. Perundang-undangan itu dapat membentuk proses implementasi sehingga dapat memaksimalkan kemungkinan keberhasilan keterlibatan pihak pelaksana dan kelompok sasaran. 4. Pemimpin badan/institusi pelaksana memiliki kapasitas kecakapan manajerial dan politis, rasa pengabdian dan tanggung jawab pada upaya pencapaian sasaran yang digariskan sesuai dengan peraturan yang berlaku. 5. Program tersebut mendapat dukungan tokoh utama dari pihak legislatif atau eksekutif, sedangkan lembaga yudikatif bersifat netral. 6. Tingkat prioritas sasaran-sasaran yang hendak dicapai tidak berubah meskipun muculnya kebijakan publik yang saling bertentangan atau dengan terjadinya perubahan kondisi sosial ekonomi yang mengurangi kekuatan teori keterkaitan sebab akibat yang mendukung peraturan atau kekuatan dukungan politis (Mazmanian, Daniel & Sabatier, Paul, 1983). Dalam
implementasi kebijakan,
bukan saja
masalah
komunikasi,
informasi, respon masyarakat tetapi juga pendanaan, waktu, jadwal kegiatan untuk mendukung
tim/organisasi
pelaksana
dalam
melaksanakan
dipercayakann kepadanya (Wahab, Solichin Abdul, 1994).
tugas
yang
57
Salah satu kendala yang menentukan efektivitas rencana program adalah lemahnya mekanisme pengendalian pembangunan (development control). Hal ini disebabkan oleh berbagai hal, antara lain karena pemerintah daerah seringkali tidak mempunyai akses terhadap rencana-rencana pembangunan sektoral yang dibuat dan ditentukan oleh pusat. Selain itu juga karena rencana-rencana yang telah disusun bisa berubah total akibat adanya investasi berskala besar yang tidak diduga sebelumnya. Sementara itu Devas dan Rakodi (1993) menyatakan bahwa betapapun baiknya suatu rencana, kebijaksanaan atau program, semua itu tidak akan efektif jika tidak didukung oleh sistem manajemen pengelolaan yang profesional. Ada dua aspek yang menentukan : (1) kemampuan kelembagaan (adminstrative capacity) dan (2) kemampuan politik (political will). Keberhasilan pelaksanaan suatu rencana dipengaruhi oleh banyak faktor/variabel baik dari dalam organisasi, birokrasi, struktur komunikasi dan informasi yang diterima (Goggin, et al, 1990).
2.6 Pengaruh Produktivitas Kerja terhadap Kesempatan Kerja Peningkatan dalam produktivitas kerja akan menyebabkan waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan 1 unit output akan berkurang. Akibat biaya produksi per unit berkurang adalah menurunnya harga jual per unit output. Penurunan harga jual ini akan menyebabkan permintaan terhadap output tersebut meningkat. menyebabkan
Pengaruh naiknya
meningkatnya permintaan
permintaan terhadap
terhadap
tenaga
kerja.
output
akan
Peningkatan
58
produktivitas juga akan mengakibatkan dalam jangka waktu yang sama pekerja menghasilkan output lebih banyak. Hal ini berarti tingkat pendapatan pekerja meningkat. Pendapatan pekerja yang naik mencerminkan mereka memiliki daya beli yang meningkat pula. Daya beli yang meningkat menyebabkan permintaan terhadap barang dan jasa akan naik, dan ini berarti permintaan terhadap tenaga kerja akan meningkat pula, hal tersebut tentunya akan menyebabkan meningkatnya kesempatan kerja. Sementara di sisi lain, peningkatan dalam produktivitas kerja akan menyebabkan terjadinya efisiensi penggunaan tenaga kerja untuk memproduksi sejumlah output yang sama. Sehingga, ketika terjadi peningkatan produktivitas kerja akan menyebabkan kesempatan kerja mengalami penurunan, sebaliknya penurunan produktivitas kerja akan menyebabkan kesempatan kerja akan mengalami peningkatan (Marhaeni dan Manuati Dewi, 2004). Jadi, dapat disimpulkan bahwa produktivitas kerja dapat berpengaruh positif ataupun negatif terhadap kesempatan kerja.
2.7 Pemberdayaan Secara umum pemberdayaan dapat diartikan sebagai suatu upaya untuk memulihkan atau meningkatkan keberdayaan suatu komunitas untuk mampu berbuat sesuai dengan harkat dan martabat mereka dalam melaksanakan hakhak dan tanggung jawab mereka sebagai komunitas manusia dan warga negara (Modul P2KP, 2006). Shardlow (1998) dalam Adi (2003) melihat bahwa pemberdayaan pada intinya membahas bagaimana individu, kelompok ataupun komunitas berusaha
59
mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka. Pemberdayaan tergantung pada kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, karena kemiskinan mencerminkan ketiadaan pilihan bagi seseorang. Dasar pandangannya adalah bahwa upaya yang dilakukan harus diarahkan langsung pada akar persoalannya, yaitu meningkatkan kemampuan rakyat.
Bagian
yang
tertinggal
dalam
masyarakat
harus
ditingkatkan
kemampuannya dengan mengembangkan dan mendinamisasikan potensinya, dengan kata lain, memberdayakannya (The Commission Global Government dalam Kartasasmita, 1996) Oleh karena itu, pemberdayaan bertujuan dua arah. Pertama, melepaskan belenggu kemiskinan dan keterbelakangan. Kedua, memperkuat posisi lapisan masyarakat dalam struktur kekuasaan. Kedua-duanya harus ditempuh, dan menjadi sasaran dari upaya pemberdayaan. Pendekatan utama dalam konsep pemberdayaan adalah bahwa masyarakat tidak dijadikan objek dari berbagai proyek pembangunan, tetapi merupakan subjek dari upaya pembangunannya sendiri. Upaya pemberdayaan masyarakat harus terarah (targetted). Ini yang secara populer disebut pemihakan. Ditujukan langsung kepada yang memerlukan, dengan program yang dirancang untuk mengatasi masalahnya dan sesuai kebutuhannya. Karena dasarnya adalah kepercayaan kepada rakyat, maka program ini harus langsung mengikutsertakan atau bahkan dilaksanakan oleh masyarakat yang menjadi sasaran. Mengikutsertakan masyarakat yang akan dibantu mempunyai
60
beberapa tujuan, yaitu supaya bantuan tersebut efektif karena sesuai dengan kehendak dan kamampuan serta kebutuhan mereka. Selain itu meningkatkan kemampuan mas yarakat d alam meranca ng, mala ks ana kan, mengelola dan mempertanggungjawabkan upaya peningkatan diri dan ekonominya. Selanjutnya,
menggunakan
pendekatan
kelompok
karena
warga
masyarakat secara sendiri-sendiri yang kurang berdaya untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. Karena organisasi adalah satu sumber power yang penting, maka untuk pemberdayaan, pengorganisasian masyarakat ini menjadi penting sekali. Pendekatan kelompok juga adalah paling efektif, dan dilihat dari penggunaan sumber daya juga lebih efisien. Yang terpenting pula adalah pendampingan. Masyarakat miskin pada umumnya mempunyai keterbatasan dalam mengembangkan dirinya. Oleh karena itu, pendamping diperlukan untuk membimbing mereka dalam upaya memperbaiki kesejahterannya. Pendampingan ini dalam konsep pemberdayaan sangat esensial, dan fungsinya adalah menyertai proses pembentukan dan penyelenggaraan kelompok masyarakat sebagai fasilitator, komunikator, atau dinamisator, serta membantu mencari cara pemecahan masalah yang tidak dapat dilakukan oleh masyarakat itu sendiri. Pendampingan sosial sangat menentukan kerberhasilan program penanggulangan kemiskinan. Mengacu pada Ife (1995), peran pendamping umumnya mencakup tiga peran utama, yaitu: fasilitator, pendidik, perwakilan masyarakat, dan peran-peran teknis bagi masyarakat miskin yang didampinginya.
61
1. Fasilitator.
Merupakan
peran
yang
berkaitan
dengan
pemberian
motivasi, kesempatan, dan dukungan bagi masyarakat. Beberapa tugas yang berkaitan dengan peran ini antara lain menjadi model, melakukan mediasi dan negosiasi, memberi bersama,
serta
dukungan,
membangun
konsensus
melakukan pengorganisasian dan pemanfaatan sumber.
2. Pendidik. Pendamping berperan aktif sebagai agen yang memberi masukan positif dan direktif berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya serta tertukar gagasan dengan yang
didampinginya.
pengetahuan
dan
Membangkitkan
menyampaikan informasi,
pengalaman kesadaran
masyarakat masyarakat,
melakukan konfrontasi, menyelenggarakan
pelatihan bagi masyarakat adalah beberapa tugas yang berkaitan dengan peran pendidik. 3. Perwakilan masyarakat. Peran ini dilakukan dalam kaitannya dengan interaksi antara pendamping dengan lembaga-lembaga eksternal
atas
nama dan demi kepentingan masyarakat dampingannya. Pekerja sosial dapat bertugas mencari sumber-sumber,
melakukan
pembelaan,
menggunakan media, meningkatkan hubungan masyarakat, dan membangun jaringan kerja. 4. Peran-peran teknis. Mengacu pada aplikasi keterampilan yang bersifat praktis. Pendamping dituntut tidak hanya mampu menjadi 'manajer perubahan” yang mengorganisasi kelompok, melainkan pula mampu melaksanakan tugastugas teknis sesuai dengan berbagai keterampilan dasar, seperti; melakukan analisis sosial,
mengelola
dinamika
kelompok,
menjalin
relasi,
62
bernegosiasi, berkomunikasi, memberi konsultasi, dan mencari serta mengatur sumber dana.
2.8 Konsep Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) dilaksanakan sejak tahun 1999 sebagai suatu upaya pemerintah untuk membangun kemandirian masyarakat dan pemerintah daerah dalam menanggulangi kemiskinan secara berkelanjutan. Program ini sangat strategis karena menyiapkan landasan kemandirian masyarakat berupa institusi kepemimpinan masyarakat yang representatif, mengakar dan menguat bagi perkembangan modal sosial (social capital) masyarakat di masa mendatang serta menyiapkan kemitraan masyarakat dengan pemerintah daerah dan kelompok peduli setempat. Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) merupakan salah satu upaya pemerintah Indonesia untuk menanggulangi kemiskinan di daerah perkotaan. Upaya ini membutuhkan dana yang cukup besar sehingga IBRD/IDA perlu membantu (dalam hal ini memberi pinjaman) untuk mendanai program ini. Agar program terlaksana sesuai dengan tujuan yang diharapkan, pihak peminjam menetapkan indikator kinerja bagi keberhasilan program seperti yang tercantum dalam dokumen “Loan Agreement” IBRD 4627/IDA 3535-IND. P2KP meyakini bahwa pendekatan yang lebih efektif untuk mewujudkan proses perubahan perilaku masyarakat adalah melalui pendekatan pemberdayaan atau proses pembelajaran (edukasi) masyarakat dan penguatan kapasitas untuk
63
mengedepankan peran pemerintah daerah dalam mengapresiasi dan mendukung kemandirian masyarakatnya. Kedua substansi P2KP tersebut sangat penting sebagai upaya proses transformasi P2KP dari 'tataran proyek' menjadi 'tataran program' oleh masyarakat bersama pemerintah daerah setempat. Bagaimanapun harus disadari bahwa upaya dan pendekatan penanggulangan kemiskinan tidak hanya menjadi perhatian pemerintah pusat, melainkan justru yang terpenting harus menjadi prioritas perhatian dan kebutuhan masyarakat bersama pemerintah daerah itu sendiri. Substansi P2KP sebagai proses pemberdayaan dan pembelajaran masyarakat dilakukan dengan terus menerus untuk menumbuhkembangkan kesadaran kritis masyarakat terhadap nilai-nilai universal kemanusiaan, prinsip-prinsip
kemasyarakatan
dan
prinsip-prinsip
pembangunan
berkelanjutan sebagai landasan yang kokoh untuk membangun masyarakat yang mandiri dan sejahtera. Proses pembelajaran di tingkat masyarakat ini berlangsung selama masa Program P2KP maupun pasca Program P2KP oleh masyarakat sendiri dengan membangun dan melembagakan Komunitas Belajar Kelurahan (KBK). Sedangkan substansi P2KP sebagai penguatan kapasitas pemerintah daerah dalam rangka mengedepankan peran dan tanggungjawab pemerintah daerah, dilakukan melalui; pelibatan intensif Pemda pada pelaksanaan siklus kegiatan P2KP, penguatan peran dan fungsi Komite Penanggulangan Kemiskinan Daerah (KPK-D) agar mampu menyusun Dokumen Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPK-D) dan PJM Pronangkis Kota/Kab berbasis program
64
masyarakat (Pronangkis Kelurahan), serta melembagakan Komunitas Belajar Perkotaan (KBP). Semua pendekatan yang dilakukan P2KP di atas, ditujukan untuk mendorong proses percepatan terbangunnya landasan yang kokoh bagi terwujudnya kemandirian penanggulangan kemiskinan dan juga melembaganya pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Dengan demikian,
pelaksanaan P2KP sebagai “gerakan bersama
membangun kemandirian dan pembangunan berkelanjutan yang berbasis nilainilai universal” diyakini akan mampu membangun kesadaran kritis dan perubahan perilaku individu ke arah yang lebih baik. Perubahan perilaku individu yang secara kumulatif menimbulkan perubahan kolektif masyarakat inilah yang menjadi inti pendekatan TRIDAYA, yakni proses pemberdayaan masyarakat agar terbangun: daya sosial sehingga tercipta masyarakat efektif, daya ekonomi sehingga tercipta masyarakat produktif dan daya pembangunan sehingga tercipta masyarakat pembangunan yang peduli lingkungan dan prinsipprinsip pembangunan berkelanjutan. Prinsip-prinsip universal pembangunan berkelanjutan harus merupakan prinsip keseimbangan pembangunan, yang dalam konteks P2KP diterjemahkan sebagai sosial, ekonomi dan lingkungan yang tercakup dalam konsep Tridaya. Perlindungan
Lingkungan
(Environmental
Protection);
dalam
pengambilan keputusan maupun pelaksanaan kegiatan yang menyangkut kepentingan masyarakat banyak, terutama kepentingan masyarakat miskin, perlu
65
didorong agar keputusan dan pelaksanaan kegiatan tersebut berorientasi pada upaya perlindungan/pemeliharaan lingkungan baik lingkungan alami maupun buatan termasuk perumahan dan permukiman, yang harus layak, terjangkau, sehat, aman, teratur, serasi dan produktif. Termasuk didalamnya adalah penyediaan prasarana dan sarana dasar perumahan yang kondusif dalam membangun solidaritas sosial dan meningkatkan kesejahteraan penduduknya. Pengembangan Masyarakat (Social Development); tiap langkah kegiatan P2KP harus selalu berorientasi pada upaya membangun solidaritas sosial dan keswadayaan masyarakat sehingga dapat tercipta masyarakat efektif secara sosial sebagai pondasi yang kokoh dalam upaya menanggulangi kemiskinan secara mandiri dan berkelanjutan. Pengembangan masyarakat juga berarti upaya untuk meningkatkan
potensi
segenap
unsur
masyarakat,
terutama
kelompok
masyarakat yang rentan (vulnerable groups) dan marjinal yang selama ini tidak memiliki peluang/akses dalam program/kegiatan setempat. Pengembangan
Ekonomi
menyerasikan kesejahteraan peningkatan
kapasitas
(Economic
material,
Development);
maka
dalam
upaya-upaya
upaya kearah
dan keterampilan masyarakat miskin dan atau
penganggur perlu mendapat porsi khusus termasuk upaya untuk mengembangkan peluang usaha dan akses ke sumberdaya kunci untuk peningkatan pendapatan, dengan tetap memperhatikan dampak lingkungan fisik dan sosial. Tujuan pelaksanaan P2KP adalah 1. Terbangunnya kemanusiaan,
lembaga
masyarakat
prinsip-prinsip
berbasis
kemasyarakatan
nilai-nilai dan
universal berorientasi
66
pembangunan
berkelanjutan, yang aspiratif, representatif, mengakar,
mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat miskin, mampu memperkuat aspirasi/suara masyarakat miskin dalam proses
pengambilan
keputusan lokal, dan mampu menjadi wadah sinergi masyarakat dalam penyelesaian permasalahan yang ada di wilayahnya; 2. Meningkatnya akses bagi masyarakat miskin perkotaan ke pelayanan sosial, prasarana dan sarana serta pendanaan (modal), termasuk membangun kerjasama dan kemitraan sinergi ke berbagai pihak terkait, dengan menciptakan kepercayaan pihak-pihak terkait tersebut terhadap lembaga masyarakat (BKM); 3. Mengedepankan peran Pemerintah kota/kabupaten agar mereka makin mampu memenuhi
kebutuhan
masyarakat miskin,
baik
melalui
pengukuhan Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) di wilayahnya, maupun kemitraan dengan masyarakat serta kelompok peduli setempat. Dalam
pelaksanaannya,
P2KP
memiliki
sasaran
sebagai
subyek
dalam kegiatannya, yaitu : 1. Masyarakat; warga kelurahan peserta P2KP dan BKM/lembaga masyarakat yang mengakar serta KSM. 2. Pemerintah Daerah dan Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD); perangkat pemerintah tingkat kota/kabupaten sampai dengan lurah yang terkait dengan P2KP dan anggota TKPKD. 3. Kelompok Peduli; perorangan/anggota asosiasi profesi, asosiasi usaha sejenis, perguruan tinggi, LSM, dan sebagainya yang peduli dengan
67
kemiskinan. 4. Para pihak terkait; bank, notaris, auditor publik, media massa (radio, tv, dan sebagainya). P2KP menekankan beberapa prinsip sebagai berikut : 1. Transparansi. P2KP menekankan transparansi dan penyebarluasan informasi di semua tahapan program. Pengambilan keputusan dan pengelolaan keuangan harus dilaksanakan secara terbuka dan disebarluaskan kepada seluruh masyarakat. 2. Keberpihakan pada orang miskin. Setiap kegiatan ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, dengan mempertimbangkan dan melibatkan masyarakat kurang mampu dalam setiap tahap kegiatan. 3. Partisipasi/melibatkan
masyarakat.
Partisipasi
masyarakat
ditekankan,
khususnya pada kelompok miskin dan perempuan. Partisipasi harus menyeluruh, melalui pengambilan keputusan atas kesepakatan seluruh masyarakat. 4. Kompetisi untuk dana.
Harus ada kompetisi
sehat
antar kelurahan
untuk mendapatkan dana P2KP. 5. Desentralisasi. P2KP memberikan wewenang kepada masyarakat untuk membuat keputusan mengenai jenis kegiatan yang mereka butuhkan atau inginkan, serta mengelolanya secara mandiri dan partisipatif. P2KP bertujuan
untuk
meningkatkan
partisipasi
masyarakat
dalam
pembangunan melalui berbagai tahapan kegiatan, sebagai berikut : 1. Diseminasi informasi dan sosialisasi tentang P2KP dilakukan dalam
68
beberapa cara. Lokakarya yang dilakukan pada tingkat provinsi, kabupaten, kecamatan dan kelurahan untuk menyebarkan informasi dan mempopulerkan program. Di setiap kelurahan dilengkapi papan informasi sebagai salah satu media informasi bagi masyarakat.
Kerjasama dengan berbagai pihak
terkait penyebaran informasi (media massa, NGO, akademisi, anggota dewan) menjadi bagian dalam kegiatan ini. 2. Proses perencanaan partisipatif di tingkat kelurahan dan kecamatan. Masyarakat memilih fasilitator kelurahan untuk mendampingi dalam proses sosialisasi dan perencanaan.
Fasilitator kelurahan mengatur pertemuan
kelompok, termasuk pertemuan
khusus
perempuan
untuk
membahas
kebutuhan dan prioritas pembangunan di kelurahan. Masyarakat kemudian menentukan pilihan terhadap jenis kegiatan pembangunan yang ingin didanai. P2KP menyediakan tenaga konsultan sosial dan teknis di tingkat kecamatan dan kabupaten untuk membantu sosialisasi, perencanaan dan pelaksanaan kegiatan. 3. Seleksi
proyek di tingkat kelurahan dan kecamatan. Masyarakat
melakukan musyawarah di tingkat kelurahan dan kecamatan untuk memutuskan usulan yang akan didanai. Musyawarah terbuka bagi segenap anggota masyarakat untuk menghadiri dan memutuskan jenis kegiatan. Forum antar kelurahan terdiri dari wakil-wakil dari kelurahan yang akan membuat keputusan akhir mengenai proyek yang akan didanai. Pilihan proyek adalah open menu untuk semua investasi produktif, kecuali yang tercantum dalam daftar larangan.
69
4. Masyarakat melaksanakan proyek mereka. Dalam pertemuan masyarakat memilih anggotanya untuk menjadi Tim Pengelola Kegiatan (TPK) di kelurahan-kelurahan yang terdanai. Fasilitator teknis P2KP mendampingi TPK dalam mendisain prasarana, penganggaran kegiatan, verifikasi mutu dan supervisi. Para pekerja umumnya berasal dari kelurahan penerima manfaat. 5. Akuntabilitas dan laporan perkembangan. Selama pelaksanaan kegiatan, TPK harus memberikan laporan perkembangan kegiatan dua kali dalam pertemuan terbuka di kelurahan, yaitu sebelum proyek mencairkan dana tahap berikutnya. Pada pertemuan akhir, TPK akan melakukan serah terima proyek kepada masyarakat, kelurahan dan Tim Pemelihara kegiatan. Untuk mengelola P2KP, pemerintah Indonesia menunjuk Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (Ditjen PMD) sebagai instansi pelaksana (executing agency). Sementara itu, untuk membantu pengelolaan P2KP secara nasional, dibentuk Tim Koordinasi P2KP (TK-P2KP) yang terdiri dari Bappenas, Depdagri, Depkeu dan Dep. Kimpraswil, mulai dari tingkat Nasional, Provinsi, Kabupaten dan Kecamatan. Di tingkat Kecamatan, Kepala Seksi PMD bertindak sebagai Pimpinan Proyek (Pimpro) P2KP lokal atau disebut Penanggung Jawab Operasional Kegiatan (PjOK). P2KP bekerja di wilayah beresiko tinggi dan sangat penting untuk mempertahankan kontrol yang ketat dan si stem pemantauan untuk memastikan bahwa dana yang disediakan telah dipergunakan dengan sebagaimana mestinya. P2KP menerapkan sistem pengawasan sebagai berikut :
70
1. Pemantauan partisipatif oleh masyarakat. Pemantauan yang paling efektif adalah yang dilakukan oleh penerima manfaat dari program, yaitu memilih langsung badan pemantau untuk melihat pelaksanaan dan keuangan proyek. Anggota dari komite pemantau ini akan melakukan pengecekan terhadap harga, penawaran, pasokan barang, manfaat bagi masyarakat, pembukuan dan status kemajuan pengerjaan prasarana. Tim pelaksana kegiatan ini juga berkewajiban untuk melaporkan kemajuan dan keuangan proyek sebanyak
dua
kali
pertanggungjawaban”.
kepada P2KP
masyarakat mewajibkan
dalam
“musyawarah agar
semua
informasi yang terkait dengan proyek diumumkan pada papan informasi yang terdapat di kelurahan. 2. Pemantauan oleh pemerintah. Dana P2KP merupakan dana publik, sehingga pemerintah memiliki kewenangan untuk memastikan bahwa kegiatan P2KP telah dilaksanakan sesuai dengan prinsip dan prosedur yang berlaku dan dana tersebut juga telah dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Semua jajaran pemerintah yang terlibat dalam P2KP (DPRD, Tim Koordinasi Provinsi dan Kabupaten, Bupati, Camat, PjOK) memiliki tanggung jawab untuk memantau pelaksanaan P2KP. 3. Pemantauan oleh konsultan. Pemantauan proyek juga merupakan tanggung jwab bersama konsultan dan fasilitator P2KP. Konsultan di tingkat nasional, regional, kabupaten, kecamatan dan fasilitator kelurahan semuanya berbagi tanggung jawab untuk memantau kegiatan P2KP. Para konsultan melakukan kunjungan rutin ke lokasi proyek untuk memberikan pendampingan teknis
71
dan supervisi. 4. Mekanisme penanganan pengaduan dan masalah.
Masyarakat dapat
secara langsung menyampaikan pertanyaan atau keluhan kepada fasilitator P2KP, staf pemerintah, LSM atau mengirimkan keluhannya langsung ke kotak pos khusus. P2KP membentuk unit penanganan pengaduan di tingkat pusat dan regional untuk mencatat dan menindaklanjuti pertanyaan dan pengaduan masyarakat. 5. Pemantauan independen oleh masyarakat madani. Kelompok masyarakat seperti LSM dan jurnalis turut melakukan pemantauan independen terhadap P2KP. PPK mengontrak beberapa LSM yang terpilih dan cakap di setiap provinsi untuk melakukan pemantauan rutin terhadap P2KP
dan
melaporkan perkembangan kemajuan proyek setiap bulan. Jurnalis juga diundang untuk memantau dan memberitakan serta menyiarkan berita mengenai temuan-temuan mereka di lapangan. 6. Kajian keuangan dan audit. Tiga pihak yang secara rutin melakukan pemeriksaan dan audit P2KP : a. BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan), lembaga audit milik pemerintah. Setiap tahun BPKP mengaudit 5% sampel kegiatan P2KP. Di tahun 2004, BPKP melakukan audit di 22 provinsi,
62
kabupaten, 190 kecamatan dan 593 kelurahan. b. Unit Pelatihan dan Supervisi Keuangan NMC. P2KP mempunyai 7 (tujuh) orang staf khusus untuk melakukan supervisi dan pelatihan keuangan. Unit ini melakukan pemeriksaan keuangan dan yang terpenting
72
adalah memberikan on the job training bagi Unit Pengelola Keuangan (UPK),
Tim Pelaksana Kegiatan (TPK) dan kelompok pemanfaat
pinjaman ekonomi. Audit keuangan yang dilakukan oleh BPKP dan NMC mencakup 30% dari seluruh kecamatan P2KP. c.
Misi Supervisi Bank Dunia. Bank Dunia bersama-sama dengan NMC dan pemerintah melakukan misi supervisi tiap setengah tahun. Misi tersebut sangat membantu dalam mengidentifikasi isu-isu manajemen dan berguna untuk mengevaluasi kemajuan program di tingkat pusat maupun di lapangan. Bank Dunia juga mengontrak perusahaan audit independen untuk mengaudit semua proyek Bank Dunia termasuk P2KP.
73
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berfikir dan Konsep Penelitian Di Kecamatan Jembrana, tepatnya di Kelurahan Dauhwaru dan Pendem rumah tangga keluarga berjumlah 3093 orang. Program P2KP dapat diberdayakan untuk meningkatkan kemampuan ekonominya sehingga dapat meningkatkan harkat dan martabat kemanusiaan serta menikmati kehidupan yang layak melalui partisipasi aktif dalam pembangunan. Tujuan program P2KP ini adalah untuk meningkatkan kualitas keluarga menuju keluarga sejahtera. Untuk mengetahui keberhasilan pelaksanaan program P2KP, dilakukan dengan
mengevaluasi
tingkat
pencapaian
program
dalam
peningkatan
kesejahteraan anggotanya. Untuk itu penelitian ini akan mengkaji efektivitas program melalui variabel berikut ini : 1) Variabel input meliputi : sosialisasi program, ketepatan bantuan dengan kebutuhan keterampilan, ketepatan waktu pemberian bantuan, ketepatan jumlah bantuan yang diberikan dan ketepatan penentuan sasaran program. 2) Variabel proses meliputi pembinaan pendampingan pelatihan magang, pembinaan lanjutan, kecepatan respon petugas terhadap keluhan dan Monev (monitoring dan evaluasi). 3) Variabel output dan outcome meliputi : pendapatan keluarga, kesempatan kerja.
73
74
Disamping itu, perlu dikaji lebih mendalam dampak program terhadap pendapatan dan kesempatan kerja, disamping masalah pelaksanaan program untuk dilakukan perbaikan-perbaikan pelaksanaan sehingga kesinambungan program tetap berjalan dengan baik di masa yang akan datang. Kerangka alur fikir penelitian ini selanjutnya dituangkan pada Gambar 3.1. Keluarga Miskin
PROGRAM P2KP - Usaha Ekonomi Produktif
EFEKTIVITAS
DAMPAK PROGRAM 1. Pendapatan 2. Kesempatan Kerja
Masalah dalam Pelaksanaan P2KP
INPUT 1. Sosialisasi Program 2. Ketepatan Bantuan dengan Kebutuhan 3. Ketepatan waktu Pemberian Bantuan 4. Ketepatan Jumlah bantuan&sasaran
PROSES 1. Pembinaan/ Pendampingan/ Pelatihan 2. Pembinaan Lanjutan 3. Kecepatan Respon Petugas terhadap Keluhan 4. Evaluasi / Monitoring
OUTPUT / OUTCOME 1. Pendapatan Keluarga 2. Kesempatan Kerja
Kelemahan Program 1. Pencapaian Tujuan 2. Kesesuaian Target dan Realisasi
Gambar 3.1 Kerangka Alur Pikir Penelitian Implementasi Program P2KP di Kecamatan Jembrana
75
Dari alur pikir pada Gambar 3.1 dapat dibuat kerangka konsep penelitian seperti pada Gambar 3. 2
Efektivitas : -
Realisasi Input, Proses, Output dan Outcome Target Input, Proses, Output dan Outcome
Dampak Program :
Program P2KP
-
Pendapatan sebelum dan sesudah program Kesempatan Kerja sebelum dan sesudah program
Masalah dalam Pelaksanaan Program P2KP
Gambar 3.2 Kerangka Konsep Penelitian Implementasi Program P2KP di Kecamatan Jembrana
3.2 Hipotesis Penelitian Berdasarkan kajian pustaka dan hasil–hasil penelitian sebelumnya, maka selanjutnya hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah. 1) Terjadi peningkatan pendapatan keluarga sesudah mengikuti program P2KP di Kecamatan Jembrana secara signifikan. 2) Terjadi peningkatan kesempatan kerja keluarga sesudah mengikuti program P2KP di Kecamatan Jembrana secara signifikan.
76
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1. Rancangan Penelitian Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah Penelitian Eksplanasi (Explanatory Research), yaitu untuk menguji hubungan antara variabel yang dihipotesiskan atau untuk mengetahui apakah sesuatu variabel berasosiasi ataukah tidak dengan variabel lainnya (Faisal, 2000 : 21). Dan untuk memperkuat hipotesis tersebut, akan dianalisis secara kuantitatif, sehingga diharapkan dapat menjelaskan hubungan dan pengaruh suatu gejala dengan gejala lain. Kegiatan P2KP merupakan salah satu program pemerintah dalam upaya pengentasan kemiskinan dengan konsep pemberdayaan. P2KP diperuntukan bagi ibu-ibu anggota rumah tangga miskin dengan diberikan bantuan berupa dana bergulir per adanya pembinaan dan pendampingan secara kontinyu sehingga apa yang menjadi tujuan program dapat diwujudkan. Untuk mengetahui keberhasilan program perlu kiranya adanya evaluasi, bagaimana efektivitasnya dalam pelaksanaan program serta dampaknya baik terhadap pendapatan maupun kesempatan kerja penerima bantuan. Dengan diberikannya bantuan apakah betul dapat meningkatkan pendapatan dan kesempatan kerja atau dengan kata lain apakah ada pengaruhnya. Hal ini perlu dibuktikan, sehingga keberadaan program betul-betul dapat dirasakan manfaatnya bagi rumah tangga miskin utamanya dalam peningkatan kesejahteraannya.
77
Rancangan penelitian yang akan dilaksanakan dapat dilihat
pada Gambar 4.1
Hipotesis 1. Terjadi peningkatan pendapatan keluarga sesudah mengikuti program P2KP di Kecamatan Jembrana. 2. Terjadi peningkatan kesempatan kerja keluarga sesudah mengikuti program P2KP di Kecamatan Jembrana.
Variabel Penelitian 1. Variabel Efektifitas : pencapaian tujuan program, ketepatan pemberian bantuan dengan kebutuhan, ketepatan waktu pemberian bantuan, ketepatan sasaran program. 2. Variabel Dampak : pendapatan keluarga, kesempatan kerja.
Prosedur Pengumpulan Data
Populasi dan Sampel 1. Populasi : 2. Sampel :
1. 2. 3.
Metode Pengumpulan Data 1. Metode Wawancara 2. Metode Observasi 3. Questioner
Metode Analisis Data Efektifitas : Metode Statistika Deskriptif Dampak Program : Uji statistik beda rata-rata Masalah Program: Analisis deskriptif
Simpulan dan Saran
Gambar 4.1 Bagan Rancangan Penelitian
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Jembrana dengan alasan bahwa Kecamatan Jembrana merupakan salah satu kabupaten yang menerima bantuan dan melaksanakan program P2KP di Provinsi Bali. Disamping itu sampai saat ini
78
belum diketahui kondisi pelaksanaan program P2KP secara lebih mendalam di Kecamatan Jembrana. Seluruh populasi P2KP tersebar di 2 (dua) kelurahan, yaitu kelurahan Dauhwaru dan kelurahan Pendem, sedangkan waktu penelitian adalah pada tahun 2011.
4.3 Penentuan Sumber Data Menurut Ridwan (2004), populasi adalah keseluruhan dari karakteristik atau unit hasil pengukuran yang menjadi obyek penelitian. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan populasi adalah seluruh anggota penerima bantuan pada P2KP yang ada di Kecamatan Jembrana 1.637 orang tersebar di 2 desa/ kelurahan dengan jumlah kelompok sebanyak 52 kelompok. Sedangkan sampel adalah sebagian populasi yang diambil sebagai sumber data dapat mewakili seluruh populasi. Adapun rinciannya dapat dilihat pada Tabel 4.1. Tabel 4.1 Jumlah Anggota Penerima Bantuan P2KP menurut Desa/Kelurahan di Kecamatan Jembrana Tahun 2010 NO
Desa/Kelurahan
Jumlah Kelompok
Jumlah Jumlah Anggota Sampel (orang) (orang) 1 Dauhwaru 25 780 45 2 Pendem 27 857 49 52 1.637 94 Kecamatan Jembrana Sumber : Sekretariat PNPM Kecamatan Jembrana, 2011 (diolah) Rumus yang digunakan dalam pengambilan jumlah sampel adalah Rumus Slovin (Umar,2004) sebagai berikut.
79
n
N Nd 2 1
Dimana : n = Jumlah sampel N = Jumlah populasi d 2 = Presisi deviasi yang ditetapkan (10 %)
Dengan demikian dapat ditentukan jumlah sampel (n) dalam penelitian ini adalah : N n
= Nd2+1 1.637
n
= (1.637)(10%)2 + 1 1.637
n
= (1.637)(0,01) + 1 1.637
n
= 16,37 + 1
n
=
94
Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 94 orang dari 52 kelompok yang ada dengan jumlah populasi sebanyak 1.637 orang dengan sebaran sampel secara proporsional di 2 desa/kelurahan yang mengikuti program P2KP ini. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah stratifield proportional random sampling, dimana teknik sampling ini dalam pengambilan sampelnya ditentukan berstrata berdasarkan desa/kelurahan dan setelah ditentukan
80
jumlah masing-masing desa/kelurahan pengambilan sampel dilakukan secara acak. Adapun cara untuk menentukan jumlah sampel dari masing-masing desa/kelurahan adalah sebagai berikut. 1. Kelurahan Dauhwaru
: 94/1637 x 780 = 45 orang
2. Kelurahan Pendem
: 94/1637 x 857 = 49 orang
Dari hasil perhitungan menunjukan bahwa dari jumlah populasi sebanyak 1.637 orang, maka diambil sampel penelitian sebanyak 94 orang dengan sebaran masing-masing di 2 desa/ kelurahan.
4.4
Jenis dan Sumber Data
4.4.1 Jenis data menurut sifatnya Jenis data menurut sifatnya yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi. 1) Data Kuantitatif adalah data-data yang diperoleh dalam bentuk angkaangka, seperti data jumlah anggota program P2KP, pendapatan anggota, dan jumlah kesempatan kerja. 2) Data Kualitatif adalah data yang tidak berbentuk angka-angka yang diperoleh dari penelitian, misalnya data mengenai pendapat responden mengenai ketepatan sasaran program, ketepatan jumlah bantuan, dan masalah-masalah yang dijumpai dalam pelaksanaan program P2KP.
4.4.2 Jenis data menurut sumbernya. Jenis data menurut sumbernya meliputi data primer dan data sekunder.
81
1)
Data primer adalah data yang diperoleh dari sumber aslinya, yang didapat dari hasil penelitian, baik dilapangan maupun pada instansi tertentu yang ada hubungannya dengan penelitian ini. misalnya data mengenai pendapatan anggota dan pendapat anggota mengenai sosialisasi program, ketepatan jumlah bantuan, ketepatan waktu pemberian bantuan, ketepatan sasaran, pembinaan dan pelatihan, pembinaan lanjutan, kecepatan respon petugas, pendampingan program, serta evaluasi dan monitoring.
2)
Data sekunder adalah data-data yang diperoleh dari publikasi yang resmi, seperti jumlah penduduk miskin di Indonesia, jumlah peserta program P2KP di masing-masing kecamatan di Kecamatan Jembrana, dan publikasi-publikasi lainnya.
4.5 Identifikasi Variabel Variabel-variabel
yang
diidentifikasi
pada
penelitian
mengenai
implementasi program P2KP di Kecamatan Jembrana adalah; 1) Variabel Input yang terdiri atas: ketepatan sasaran, tujuan dan sosialisasi P2KP; 2) Variabel Proses yang terdiri atas: ketepatan penggunaan dana, prosedur perolehan bantuan, respon pemerintah daerah/petugas terhadap keluhan penerima P2KP, pengawasan dari pemerintah/petugas;
82
3) Variabel Output yang terdiri atas: kondisi ekonomi setelah menerima P2KP dan Pendapatan keluarga, kesempatan kerja, usaha produktif dan Asset usaha setelah menerima P2KP
4.6 Definisi Operasional Variabel Definisi operasional dari masing-masing variabel sebagai berikut : 1) Tingkat ketepatan sasaran adalah
ketepatan bantuan yang diberikan oleh
pemerintah berupa bantuan sejumlah uang tunai kepada yang berhak yaitu rumah tangga miskin yang dinilai dari pendapatan rumah tangga miskin. 2) Tujuan P2KP adalah penerima bantuan P2KP mengetahui secara jelas tujuan diberikannya P2KP. 3) Sosialisasi P2KP adalah
ada tidaknya penjelasan mengenai P2KP yang
diberikan oleh pemerintah daerah / petugas kepada penerima bantuan P2KP sebelum P2KP diberikan. 4) Ketepatan penggunaan dana adalah tepat tidaknya pemanfaatan dana yang diberikan sesuai dengan tujuan program. 5) Prosedur Perolehan adalah berkaitan dengan waktu perolehan bantuan, pemanfaatan bantuan sesuai dengan pelaksanaan teknis yang terjadi di lapangan. 6) Respon pemerintah daerah/petugas terhadap keluhan penerima P2KP adalah ada tidaknya tanggapan dari petugas mengenai keluhan atau usulan dari penerima bantuan P2KP.
83
7) Pengawasan dari pemerintah daerah/petugas adalah ada tidaknya pemantauan dari pemerintah daerah/ petugas
selama
pemberian bantuan
P2KP
berlangsung. 8) Pendapatan keluarga adalah pendapatan keluarga miskin sebelum dan sesudah diberikannya bantuan P2KP dalam satuan rupiah. 9) Penyerapan tenaga kerja adalah adanya peningkatan jumlah dengan jam kerja rumah tangga miskin yang bekerja setelah bantuan P2KP dalam jumlah orang 10) Usaha Produktif adalah dikaitkan dengan pengembangan usaha dan variasi usaha yang dilaksanakan oleh keluarga miskin baik dari segi kuantitas, kualitas, dan jenis usaha. 11) Asset Usaha dikaitkan dengan peningkatan asset usaha baik asset usaha bergerak maupun tidak bergerak yang dapat meningkatkan proses produksi setelah menerima bantuan.
4.7 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini mencakup observasi, wawancara terstruktur dan dokumentasi. 1) Observasi non partisipasi Untuk memperoleh gambaran tentang kegiatan yang dilaksanakan oleh kelompok P2KP digunakan metode observasi non partisipasi. 2) Wawancara terstruktur Untuk mendapatkan data primer atau data yang langsung diperoleh dari obyek penelitian seperti variabel efektivitas, variabel dampak dan variabel kelemahan,
84
dipergunakan teknik wawancara terstruktur kepada responden didasarkan atas kuesioner/daftar pertanyaan yang telah disiapkan sebelumnya. 4) Dokumentasi Untuk mengumpulkan data sekunder berkaitan dengan laporan kegiatan P2KP, buku-buku, jurnal atau karya ilmiah yang terkait dikumpulkan dengan metode dokumentasi.
4.8 Teknik Analisis Data Data
yang telah terkumpul selanjutnya
akan
dianalisis
dengan
menggunakan metode sebagai berikut. 1) Untuk mengetahui besarnya efektivitas program P2KP, menurut Subagyo (2000) dipergunakan teknik statistika deskriptif sebagai berikut. Realisasi Efektivitas =
X 100% Target
Keterangan : Realisasi
= pencapaian pelaksanaan program.
Target
= seluruh anggota kelompok yang mendapat bantuan program.
Pengukuran efektivitas dilakukan pada variabel berikut ini. (1)
Variabel Input meliputi : sosialisasi program, ketepatan pemberian
bantuan
dengan
kebutuhan,
ketepatan
waktu
pemberian bantuan, ketepatan jumlah bantuan, ketepatan penentuan sasaran program.
85
(2)
Variabel proses meliputi : pembinaan/pendampingan/pelatihan, pembinaan lanjutan, kecepatan respon petugas terhadap keluhan anggota, monitoring / evaluasi.
(3)
Variabel Output meliputi : penghasilan keluarga, kesempatan kerja.
Menurut Litbang Depdagri Republik Indonesia (1991), pengukuran tingkat efektivitas adalah: (1) (2) (3) (4)
Rasio efektivitas di bawah 40 % Rasio efektivitas antara 40-59,99% Rasio efektivitas 60-79,99 % Rasio efektivitas di atas 80 %
= = = =
sangat tidak efektif. tidak efektif. cukup efektif. sangat efektif.
2) Untuk mengetahui dampak program terhadap pendapatan dan kesempatan kerja anggota program dilakukan pengujian secara statistik yaitu uji beda dua rata-rata berpasangan dengan formula (Nata Wirawan, 2002) sebagai berikut :
t0 = Sd
Keterangan : = nilai beda rata-rata n pengamatan berpasangan Sd = standar deviasi yang rumusnya berikut ini :
Sd =
--------------------( n -1 )
86
df = V = ( n – 1 ) di = ∑ ----n Keterangan : = beda rata-rata pendapatan per jam kerja per hari antara sebelum dan sesudah mengikuti program P2KP n = banyaknya pasangan data df = derajat bebas 3) Pengujian secara statistik. Untuk menguji apakah terjadi perbedaan rata-rata
peningkatan
kesempatan kerja dan pendapatan keluarga sesudah mengikuti pogram P2KP di Kecamatan Jembrana, dilakukan langkah-langkah uji sebagai berikut: a. Rumusan Hipotesis: Ho : d i = 0, artinya tidak terjadi perbedaan rata-rata peningkatan kesempatan kerja dan pendapatan keluarga sesudah mengikuti progrm P2KP di Kecamatan Jembrana, atau dengan kata lain Program P2KP
tidak berpengaruh
terhadap kesempatan kerja dan pendapatan keluarga. Hi : di > 0, artinya
terjadi perbedaan rata-rata
peningkatan
kesempatan kerja dan pendapatan keluarga sesudah mengikuti progrm P2KP di Kecamatan Jembrana secara signifikan, atau
dengan kata lain Program P2KP
berpengaruh signifikan terhadap kesempatan kerja dan
87
pendapatan keluarga. b. Taraf nyata 5% c. Daerah Kritis dan hitungan -
Daerah kritis seperti gambar berikut.
Gambar 4.1 Daerah Penerimaan dan Penolakan Ho
Daerah Penolakan Ho Daerah Penerimaan Ho 0 Hitungan, dengan menggunakan;
t(α;df)
t0 = Sd Dasar pengambilan keputusan : Dengan membandingkan t hitung dan t tabel Jika t hitung ≤ t tabel, maka Ho diterima Jika t hitung > t tabel, maka Ho ditolak d. Kesimpulan Bila t hitung lebih kecil atau sama dengan t tabel dan maka Ho diterima, artinya tidak terjadi peningkatan kesempatan kerja dan pendapatan keluarga sesudah program P2KP di Kecamatan Jembrana. Sebaliknya apabila t hitung lebih besar dari t tabel maka Ho ditolak, artinya terjadi peningkatan kesempatan kerja dan
88
pendapatan keluarga sesudah program P2KP di Kecamatan Jembrana secara signifikan. 5) Untuk menjawab permasalahan–permasalahan yang dihadapi oleh peserta program P2KP di Kecamatan Jembrana dilakukan analisis deskriptif.