BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Era globalisasi telah membawa dampak yang cukup besar bagi dunia usaha,
di antaranya adalah perkembangan teknologi yang sangat pesat, perubahan sifat pasar dari sellers market menjadi buyers market sehingga konsumen menjadi semakin berkuasa di pasar, dan semakin ketatnya persaingan bisnis. Oleh karena itu para pelaku bisnis harus merumuskan strategi bisnis yang sekiranya dapat mengatasi dampak-dampak tersebut. Hal ini perlu dilakukan demi kelangsungan hidup bisnis yang mereka kelola dan kembangkan. Kemajuan teknologi, memberikan peluang kepada setiap pihak untuk menghasilkan produk dengan kualitas yang sama baiknya dan dengan harga yang sama bersaingnya, sehingga produk yang beredar di pasar umumnya relatif mirip dan sulit untuk dibedakan. Guna mengatasinya para produsen berusaha untuk membuat keunggulan tersendiri produknya melalui pengembangan dan perbaikan standar kualitas produk secara terus-menerus, dan berusaha menekan biaya produksi sedapat mungkin, sehingga harga jual produk nantinya masih terjangkau. Namun di tengah situasi persaingan yang sangat ketat dan sifat pasar yang telah berubah, hanya mengandalkan diferensiasi kualitas dan harga sebagai modal keunggulan bersaing tidaklah cukup, apalagi kedua strategi tersebut mudah ditiru oleh pesaing maka dibutuhkan strategi lain yang tidak bisa ditiru dan dapat mendukung keduanya. Merek, memang merupakan komponen kecil dari kebijakan produk dan
1
seringkali
hanya
dianggap
sebagai
sekedar
nama
atau
tanda
untuk
mengidentifikasi suatu produk, tetapi siapa yang mengira ternyata dapat dijadikan pelengkap persaingan yang cukup tangguh apabila dikelola secara tepat dan sungguh-sungguh. Merek mengandung nilai-nilai yang bersifat intangible, emosional, keyakinan, harapan, serta dipenuhi dengan persepsi
pelanggan,
sehingga sulit untuk ditiru oleh pesaing (Freddy Rangkuti, 2002:xi). Sementara itu, Hermawan Kertajaya (2003:1-3) menyatakan bahwa beberapa produk dengan kualitas, model, serta fitur yang relatif sama, dapat memiliki kinerja yang berbeda di pasar karena perbedaan persepsi di benak konsumen. Pembentukan persepsi ini dapat dilakukan melalui jalur merek. Merek mengandung janji perusahaan untuk secara konsisten memberikan ciri, manfaat, dan jasa tertentu kepada pembeli. Selain itu, jika kualitas dapat memberikan manfaat fungsional kepada konsumen, maka merek dapat memberikan tambahan manfaat lagi yang sifatnya emosional dan berhubungan dengan psikologis konsumen, seperti prestice, keyakinan, harapan, kebanggaan, dan lain-lain. Maka dari itu menempatkan merek sebagai salah satu komponen dari aset keunggulan bersaing, di samping kualitas dan harga adalah sangat tepat. Apalagi jika produsen dapat mengelola ketiganya secara tepat, maka akan terdapat semacam sinergi yang saling mendukung diantara ketiganya. Meskipun merek dapat dijadikan sebagai pelengkap persaingan, namun bukan berarti semua merek dapat melakukannya. Hanya merek-merek tangguh dan yang mempunyai Nilai merek tinggi saja yang dapat melakukannya. Karena merek-merek tersebut mampu mengkomunikasikan bahwa suatu produk memiliki
2
distictive customer satisfaction, yaitu kepuasan pelanggan yang hanya diberikan oleh produk itu sendiri dan tidak diberikan oleh produk lain. Merek tersebut juga mampu memberikan pedoman, jaminan, kekuatan, keyakinan, dan harapan kepada pelanggan bahwa mereka akan terpuaskan. Maka dari itu tidak mengherankan jika saat ini, konsumen seringkali menjadikan merek sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam memilih produk. Mereka bahkan tidak segan-segan membayar mahal untuk membeli sebuah merek, karena merek tersebut dapat mengasosiasikan cerminan kualitas yang bermutu tinggi dari produk bersangkutan, atau karena dengan memiliki merek tersebut konsumen merasa gengsinya terangkat. Perilaku pembelian yang seperti itu seringkali ditemukan pada produk sejenis kosmetik, produk-produk fashion, elektronik, kendaraan, dan lain sebagainya. Akan tetapi membangun merek yang mempunyai daya tarik kuat dimata konsumen, memperoleh kepedulian, penerimaan, dan preferensi yang tinggi dari konsumen tidaklah mudah. Dibutuhkan waktu bertahun-tahun, komitmen yang kuat, serta dukungan dari seluruh komponen dari bauran pemasaran untuk membangunnya menjadi merek yang prestisius dan berekuitas tinggi. Suatu merek dapat dikatakan sebagai merek yang berekuitas, apabila merek tersebut mampu memberikan tambahan nilai pada suatu produk, sehingga nilai total produk menjadi lebih tinggi dibandingkan produk yang dinilai semata-mata secara obyektif. Menurut David A. Aaker (1991:16), merek yang berekuitas memiliki 5 dimensi, yaitu kesadaran merek (brand awareness), kualitas yang dirasakan (perceived quality), asosiasi merek (brand association), loyalitas merek
3
(brand loyalty), dan aset merek lainnya (other proprietary asset). Kelima dimensi dari ekuitas merek tersebut memiliki kedudukan dan arti yang sama pentingnya bagi perusahaan yang memiliki merek bersangkutan, karena dapat dijadikan keunggulan bersaing dan komparatif perusahaan. David A. Aaker (1996:326-329) menyatakan bahwa asosiasi merek (brand association) merupakan dimensi dari ekuitas merek yang mencerminkan adanya diferensiasi terhadap fisik produk, pelayanan, maupun saluran. Asosiasi merek merupakan segala sesuatu yang berkaitan dengan ingatan mengenai merek suatu produk, misalnya McD yang dapat dikaitkan dengan ingatan akan karakter sosok Ronald McDonald. Sedangkan serangkaian asosiasi merek yang dipersepsikan oleh konsumen disebut sebagai brand image (citra merek). Asosiasi merek memberikan nilai bagi perusahaan maupun konsumen, antara lain membantu proses penyusunan informasi dalam membedakan merek yang satu dengan merek yang lain, membantu proses keputusan dalam pembelian suatu produk, merangsang perasaan positif terhadap produk yang bersangkutan, dan sebagai landasan perluasan merek. Asosiasi merek mempunyai 3 elemen, yakni perceived value (nilai yang dirasakan), brand personality (kepribadian merek), dan organization association (asosiasi organisasi). Ketiga elemen tersebut mencerminkan bahwa asosiasi merek bermaksud menampilkan nilai dari suatu produk yang bersangkutan, mulai dari nilai kualitas fisik produk, nilai emosional yang terdapat pada elemen kepribadian merek, dan citra organisasi atau perusahaan yang memproduksi produk tersebut. Menurut salah seorang pakar merek terkemuka, Paul Temporal (2001:51-52)
4
bahwa asosiasi merek sebenarnya merupakan reaksi atau tanggapan yang diberikan oleh konsumen terhadap janji-janji yang terkandung dalam brand identity (identitas merek) suatu produk. Brand identity sendiri diartikan sebagai nilai-nilai kepribadian yang ditanamkan oleh perusahaan terhadap produknya, sehingga produk tersebut mempunyai identitas yang unik. Karena itu perusahaan yang ingin sukses dalam membangun mereknya harus senantiasa menjaga keselarasan antara Identitas merek dan citra merek yang dimiliki oleh produknya. Dalam sebuah artikel di Majalah SWA (edisi 09/29 April-12 Mei 2010), yang ditulis oleh Sudarmadi, dinyatakan bahwa bisnis kartu telepon selular di Indonesia telah mengalami perkembangan yang sangat pesat, dan ini merupakan pengaruh positif yang diperoleh dari kemajuan teknologi. Semaraknya bisnis kartu telepon selular ini dipicu oleh semakin meningkatnya kebutuhan alat komunikasi jarak jauh guna menunjang segala kegiatan. Kartu telepon selular sudah merambah ke berbagai lapisan masyarakat, tanpa mempedulikan profesi, umur, dan status sosial sebagai piranti lunak telepon selular. Berangsur-angsur kartu telepon selular menjadi kebutuhan yang biasa dan tidak lagi menjadi barang mewah yang tidak tergapai. Wabah kartu telepon selular yang sedemikian hebat, memberikan angin segar pada pengusaha bisnis telekomunikasi. Mereka semakin agresif dalam menggarap pasar. Hal ini terbukti dari semakin banyaknya perusahaan yang masuk ke bisnis ini, antara lain Telkom, Telkomsel, Indosat, XL-Comindo, Mobile-8 dan masih banyak lagi. Pangsa pasar kartu telepon selular memang terus mengalami pertumbuhan setiap tahunnya, (www.wartatv.com) : Data yang
5
dihimpun The wireless Network menyebutkan, jumlah pelanggan telepon seluler, baik GSM maupun CDMA masih dikuasai Telkomsel. Dari 240juta pengguna telepon seluler di Indonesia, Telkomsel mengalami kenaikan jumlah pelanggan sebesar 16,7 persen
yaitu
sebanyak 95 juta. Bila dirinci, jumlah tersebut
termasuk 2,1 juta pelanggan KartuHALO, 63 juta pelanggan simPATI, dan 29,9 juta pelanggan kartu AS. XL Axiata mengalami kenaikan jumlah pelanggan sekira 9 persen dari kuartal kedua menjadi sekira 38,5 juta pelanggan. Sementara Indosat mengklaim memiliki 39,7 juta pelanggan (http://simtronik.com). Posisi market leader & Service Leader yang selama beberapa kurun waktu terakhir ini dipegang oleh Telkomsel, dapat dikatakan sebagai buah manis dari strategi Human technology yang dirumuskannya. Adapun maksud dari strategi tersebut adalah bahwa Telkomsel
ingin mengasosiasikan produknya sebagai
produk dengan teknologi yang mengerti kebutuhan dasar manusia. Telkomsel lebih memilih menggunakan pendekatan technology & Services dalam mengasosiasikan produknya, misalnya dengan mempersepsikan produknya sebagai teknologi yang mempermudah hidup. Atmosfer yang sangat emosional dan kental dengan sisi kemanusiaan ini bisa kita dapati dari beberapa iklannya dan juga tagline-nya yang berjuluk “Telkomsel, Dari Telkomsel Begitu Dekat Begitu Nyata”. Telkomsel ingin menghadirkan nuansa baru dalam teknologi berkomunikasi, yakni teknologi yang mengerti kita, bukan kita yang harus mencoba mengerti teknologi (Hermawan Kertajaya,
2003:8-10).
Tahun
2011
pengembangan layanan data dengan
ini,
Telkomsel
tetap fokus
pada
menambah alokasi frekuensi 3G dan
6
membuka layanan selular di daerah-daerah terpencil. Bertitik tolak dari ilustrasi diatas, maka perlu diketahui atribut-atribut sosiasi merek (brand association) manakah yang melekat dalam benak pengguna kartu telepon selular Telkomsel. Kemudian dapat diketahui juga apakah sudah terdapat keselarasan antara brand identity yang dibangun Telkomsel dengan brand image yg dipersepsikan oleh pengguna Telkomsel. 1.2
Perumusan Masalah Bagaimana Pengaruh Asosiasi Merek Terhadap persepsi konsumen (studi kasus pada kartu telepon selular Telkomsel) ?
1.3
Pembatasan Masalah Penulis menetapkan fokus penelitian ini adalah pada produk selular GSM
Telkomsel pada Gerai perwakilan di wilayah kota Serang, dimana pembatasan masalahnya adalah Pengaruh Asosiasi Merek Terhadap persepsi konsumen sehingga bisa di ketahui manakah Atribut Asosiasi merek yang benar-benar melekat di benak konsumen atau tidak, serta bagaimana perusahaan akan melakukan manuver-manuver marketing untuk meningkatkan atribut asosiasi merk yang masih belum Maksimal. 1.4
Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dari permasalahan diatas, maka tujuan yang
ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : mengetahui Pengaruh Asosiasi Merek Terhadap persepsi konsumen, sehingga Asosiasi merek yang dibangun perusahaan selaras dengan Persepsi konsumen.
7
1.5
Manfaat penelitian a.
Bagi penulis Mengadakan
perbandingan
antara
teori
dengan
praktek,
mengembangkan kemampuan berpikir analitis dan kritis dalam menyikapi masalah nyata yang ada didunia usaha. b.
Bagi Perusahaan Diharapkan agar hasil penelitian ini dapat digunakan untuk membantu mengetahui dan menciptakan Asosiasi Merek yang dapat melekat kuat dalam ingatan pengguna Telkomsel, sehingga nantinya akan dihasilkan persepsi konsumen yang sesuai dengan yang diharapkan oleh perusahaan.
c.
Bagi Pihak Lain Diharapkan agar hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan untuk menambah pengetahuan bagi pihak-pihak yang tertarik pada bidang ini.
8