BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Tampilnya Orde Baru dalam pentas politik nasional telah memberi angin segar dikalangan tokoh Islam, dimana timbul harapan akan kembalinya Islam ke panggung politik setelah sekian lama terpinggirkan oleh rezim Orde Lama. Harapan tersebut
didasarkan atas sumbangan kelompok Islam dalam
menumbangkan rezim Orde Lama yang berarti turut melicinkan jalan bagi naiknya Orde Baru ke tampuk kekuasaan. Kemenangan Orde Baru juga dianggap sebagai kemenangan Islam mengingat peran aktif Islam dalam menumpas PKI seantero tanah air. Hal ini pada gilirannya telah memberikan indikasi bahwa Islam mendapatkan legitimasi dalam peran politiknya 1 Oleh karena itu, segera setelah tumbangnya rezim Orde Lama, para aktivis Islam segera menata kembali posisi politiknya dalam menyongsong Orde Baru. Namun kenyataan tidak seperti yang diharapkan. Keinginan para tokoh Islam untuk mangkonsolidasikan kekuatan politiknya bertubrukan dengan strategi rezim Orde Baru yang menerapkan depolitisasi massa termasuk kalangan Islam. Pandangan rezim Orde Baru tidak berbeda dengan rezim sebelumnya yang memandang politik Islam dengan penuh kecurigaan. Trauma masa lalu akan pembangkangan tokoh – tokoh Islam dan isu negara Islam telah menghantui benak para politisi Orde Baru. Islam dianggap sebagai ancaman yang membahayakan stabilitas nasional dan keterlibatannya
dalam kancah politik
1
Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, Jakarta: Gema Insani Press, 1996, hal. 25
Universitas Sumatera Utara
hanya akan menghambat lajunya pembangunan yang merupakan prioritas utama rezim Orde Baru. Oleh karena itu, setelah memantapkan kekuasaannya, rezim Orde Baru segera melakukan kontrol yang lebih ketat terhadap politik Islam. Proyek ini lebih lanjut mengambil bentuk penyingkiran simbol – simbol Islam dalam kegiatan politik, Pengeliminasian partai – partai politik Islam dan menghindarkan arena politik dari politisi – politisi Islam. Apapun yang datangnya dari Islam baik inisiatif, aspirasi maupun kritik selalu ditanggapi dengan pendeskreditan. Ketakutan rezim Orde baru terhadap Islam tidak terlepas dari anggapan bahwa sekali mereka kembali maka sejarah akan mengulang pengalaman masa lalu. Sebagai akibatnya, dikalangan Islam timbul kekecewaan terhadap kebijakan yang dijalankan oleh Orde Baru. Para pemimpin politik Islam pada awal Orde Baru mulai merasakan bahwa harapan mereka agar posisi kaum muslimin bisa berkembang lebih baik dibandingkan periode Orde Lama ternyata tidak menjadi kenyataan, bahkan yang ditemui adalah semakin terdesaknya aspirasi mereka akibat berbagai tekanan negara. 2 Banyak pemikir dan tokoh – tokoh politik Islam memandang dengan rasa curiga terhadap negara. Terlepas dari kesediaan negara untuk memberikan fasilitas dan bantuan bagi kaum muslimin untuk menjalankan ajaran Islam, mereka menganggap negara berusaha untuk menghilangkan arti penting Islam secara politik serta merapkan kebijakan “ sekuler “. Bahkan berkembang anggapan bahwa negara telah menerapkan kebijakan ganda ( dual policy ) terhadap Islam. Sementara membiarkan atau mendorong dimensi ritual Islam 2
Aminudin, Kekuatan Islam dan Pergulatan Kekuasaan di Indonesia: Sebelum dan Sesudah Runtuhnya Rezim Orba Baru,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999. hal.3.
Universitas Sumatera Utara
untuk tumbuh, negara tidak memberikan kesempatan bagi Islam politik untuk berkembang. 3 Kekecewaan umat Islam ini kemudian menjadi salah satu faktor pendorong lahirnya sikap politik radikal dan oposisi kelompok Islam terhadap Orde Baru.. Kekecewaan ini berdampak pada bermunculannya kelompok fundamentalis yang menentang hampir semua kebijakan pemerintah. Situasi ini menyebabkan terjadinya hubungan yang antagonis antara negara dan umat Islam terutama pada dua dasawarsa awal pemerintahan Orde Baru. Dimana hubungan tersebut selalu diwarnai oleh ketegangan – ketegangan bahkan konfrontasi. Pertentangan yang terjadi antara Islam dan negara Orde Baru dapat dikategorikan kedalam dua kelompok yaitu Pertentangan yang terkait dengan politik partisan dan pertentangan mengenai isu kebijakan publik. 4 pertentangan yang termasuk kedalam klasifikasi pertama maerupakan ketegangan soal tidak diizinkannya
pendirian
diperbolehkannya
partai–partai
usaha–usaha
Islam
sebahagian
oleh
negara,
tokoh–tokoh
seperti
tidak
Islam
untuk
merehabilitasi Masyumi (Partai Islam pertama yang dibubarkan oleh Soekarno pada masa Orde Lama) dan tidak diizinkannya pendirian Partai Demokrasi Islam Indonesia ( PDII ) serta Kongres Umat Islam Indonesia ( KUUI ). Termasuk juga dalam hal ini persaingan tajam antara GOLKAR dengan partai – partai Islam dalam pemilu 1971 sampai 1982, dimana dalam persaingan tersebut selama masa
3
Kebijakan seperti ini sering dipersepsi sebagai warisan Belanda yang dirumuskan oleh Snouck Hourgrounje. Tentang ini, lihat Harry J.Benda, The Crescent and the Rising Sun : Indonesian Islam under the Japanese Occupation 1942 – 1945, The Hague dan Bandung : W. Van Hoeve ltd.,1958, h.9 – 31. dalam Bahtiar Efendy, Teologi Baru Politik Islam: Pertautan Agama, Negara dan Demokrasi, Yogyakarta: Galang Press, 2001. hal. 60. 4 Aminudin.,Op.Cit. hal. 60
Universitas Sumatera Utara
kampanye kerap diwarnai oleh bentrokan – bentrokan fisik. Sedangkan konfrontasi yang termasuk kedalam kategori kedua antara lain adalah pertentangan mengenai RUU Perkawinan pada tahun 1973, pertentangan mengenai kebijakan pemerintah yang ingin memasukkan Aliran Kepercayaan dalam GBHN ( SU MPR 1978 ), pertentangan mengenai masalah perjudian ( Porkas, SDSB ) dan pertentangan atas kebijakan pemerintah yang melarang libur sekolah dibulan Ramadhan. Pertentangan antara Islam dan negara hampir terjadi dalam berbagai sektor. Puncak pertentangan
paling keras terjadi setelah beredarnya
isu mengenai
pemberlakuan azas tunggal Pancasila yang mengharuskan semua organisasi sosial dan politik untuk menggunakan Pancasila sebagai satu – satunya azas. Tidak sedikit tokoh politik Islam yang menyatakan menolak rencana penuggalan azas tersebut.
Penolakan
ini
dilatarbelakangi
kekhawatiran
Pancasila
akan
menggantikan fungsi agama yang berarti pula menjurus pada terbentuknya negara sekuler yang pada gilirannya memarginalisasi peranan agama. Sikap penolakan terhadap azas tunggal dengan tegas diperlihatkan oleh Himpunan Mahasiswa Islam ( HMI ) dan Pelajar Islam Indonesia ( PII ). Bahkan PII lebih tegas dengan memilih membubarkan diri daripada menerima azas tunggal Pancasila. 5 Sikap reaksioner kelompok Islam paling menyolok dalam merespon isu azas tunggal Pancasila terlihat dalam peristiwa Tanjung Priok yang diawali dengan serangkaian pidato dan khutbah yang menyerang rezim Orde Baru dibeberapa tempat di mesjid DKI Jakarta. Ceramah – ceramah keras itu antara lain menyerang pribadi Soeharto, Program KB dan kebijakan – kebijakan lain yang diannggap
5
Ibid., hal. 6.
Universitas Sumatera Utara
merugikan kepentingan umat Islam terutama terkait dengan azas tunggal Pancasila. Sikap sebahagian besar umat Islam yang menentang kebijaan Orde Baru di Jakarta ini
ditanggapi pemerintah dengan penindasan fisik
yang
menyebabkan terjadinya suatu peristiwa berdarah yang dikenal dengan “peristiwa Tanjung Priok” 6 dimana ratusan umat Islam terbunuh ditangan militer dan beberapa tokohnya di penjarakan termasuk dua anggota Petisi 50 yaitu A.M.Fatwa, seorang mubaligh Islam terkenal dan H.R.Dharsono yang merupakan mantan komandan Divisi Siliwangi, Jawa barat. Kasus – kasus konfrontasi antara Islam dan negara terus berlanjut setidaknya sampai akhir periode dua dasawarsa pemerintahan Orde Baru. Namun sejak pertengahan tahun 1980 – an telah terjadi perubahan yang cukup dramatis dalam hubungan antara Islam dan negara, dimana negara mulai menjalin hubungan yang akomodatif terhadap Islam. Hal ini ditandai dengan semakin dilonggarkannya wacana politik Islam serta dirumuskannya sejumlah kebijakan yang dianggap positif oleh sebahagian besar masyarakat Islam. Kibijakan – kebijakan tersebut berspektrum luas, ada yang bersifat Strukrural, legislatif, infra struktural dan kultural. 7 Pertama berkaitan dengan semakin terbukanya kesempatan bagi para aktivis Islam untuk terintegrasikan kedalam negara. Baik melalui saluran eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Hal ini diawali dengan masuknya sejumlah aktivis Islam kedalam birokrasi dan lembaga – lembaga lainnya dalam pemerintahan dimana sejumlah aktivis Islam menempati posisi penting di birokrasi dan GOLKAR. 6 7
Ibid., hal. 7 Bahtiar Efendy., Op.Cit. hal.35.
Universitas Sumatera Utara
Terbentuknya ICMI
merupakan suatu terobosan didalam perlakuan
pemerintah terhadap organisasi politik Islam. Meskipun aktivitas partai tetap dibawah kontrol yang ketat, Presiden Soeharto
pada tahun 1991 menyetujui
pembentukan suatu organisasi Islam kontroversial yang baru yaitu ICMI. 8 Kedua berhubungan dengan dengan disahkannya sejumlah Undang – Undang ( UU ) yang dinilai akomodatif terhadap kepentingan Islam. Dalam hal ini misalnya adalah disahkannya Undang – Undang Pendidikan Nasional ( UUPN )pada tahun 1989 ; disahkannya Undang – Undang Peradilan Agama ( UUPA ) pada tahun 1989 ; Kompilasi hukum Islam pada tahun pada 1991; Kebijakan baru tentang jilbab pada tahun 1991; serta SKB tentang BAZIZ pada tahun 1991 dan kebijakan tentang Sumbagan Dana Sosial Berhadiah ( SDSB ) pada tahun 1993. Ketiga berkaitan dengan semakin tersedianya infrastruktur - infrastruktur yang diperlukan umat Islam dalam menjalankan tugas – tugas keagamaan. Dalam hal ini, salah satu bentuk kebijakan yang paling menonjol adalah dibangunnya sarana – sarana peribadatan ( masjid ) melalui Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila yang dipimpin oleh Soeharto. Majelis ini membangun ratusan masjid selama pelaksanaannya, dan atas pemintaan Majelis Ulama Indonesia ( MUI ), pemerintah telah mensponsori pengiriman ratusan da’i kedaerah – daerah yang terpencil. 9 Yang agak fenomenal adalah kesediaan negara untuk tidak saja mengizinkan tapi juga membantu didirikannya sebuah bank yang beroperasi manurut tuntutan ajara Islam yaitu Bank Muamalat Indonesia ( BMI ) pada tahun 1991. 10 Ide yang
8
M.Syafii Anwar, Islam, negara dan formasi Sosial dalam Orde Baru. Jakarta: Ulumul Qur’an, 1992. hal. 1-28. 9 Bahtiar Efendy.,Op.Cit. hal. 36 10 Loc.cit.
Universitas Sumatera Utara
pernah berkembang pada awal 1970 – an ini, barangkali karena suasana ekonomi dan politik ketika itu yang kurang memungkinkan ternyata baru bisa diwujudkan pada dekade 1990 – an. Suatu masa dimana sebagaimana dikemukakan didepan, telah terjadi transformasi intelektualisme dan aktivisme politik Islam secara agak signifikan. Terakhir
menyangkut
akomodasi
kultural
negara
terhadap
Islam.
Sebagaimana bentuk akomodasi yang lain, akomodasi jenis ini telah berjalan sejak lama. Digunakannya idiom – idiom Islam dalam perbendaharaaan bahasa pranata ideologis maupun politik oleh negara merupakan bentuk akomodasi kultural yang paling dini. Didalam konteks rentetan – rentetan kebijakan – kebijakan akomodatif sebagaimana telah disinggung diatas, akomodasi kultural ini diperteguh dengan diselenggarakannya Festifal Istiqlal oleh Pemerintah pada tahun 1991. Dalam kesempatan yang jarang ini, telah dipertunjukkan serangkaian budaya Islam. lepas dari makna fisik dari peristiwa ini, sebenarnya akomodasi budaya ini merupakan simbolisasi penghargaan negara terhadap sisi – sisi budaya Islam. 1.2. Rumusan masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah “Bagaimana Negara Orde Baru mengendalikan Politik Islam melalui hubungan yang akomodatif pada periode 1985 – 1994”.
Universitas Sumatera Utara
1.3.Tujuan Penelitian 1. Mengidentifikasi faktor–faktor (variable) yang menyebabkan terjadinya hubungan akomodatif Orde Baru terhadap umat Islam periode 1985–1994 2. Melihat bagaimana langkah–langkah Orde Baru dalam mengendalikan kekuatan politik kelompok Islam perode 1985-1994 3. Melihat dengan lebih jelas bagaimana proses terjadinya politik akomodatif tersebut berlangsung. 1.4. Manfaat Penelitian 1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah ilmu Pengetahuan di Departemen Ilmu Politik. 2. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu referansi bagi peneliti lain dalam menganalisis hubungan antara Orde Baru dan Islam serta hubungan antar keduanya. 3. Untuk penulis sendiri, penelitian ini diharapkan dapat mengasah serta mengembangkan kemampuan berpikir penulis, dan hasil penelitian ini dapat dipergunakan sebagai dasar untuk melakukan penelitian lebih lanjut atas permasalahan yang relevan. 1.5. Batasan masalah Sebuah penelitian memerlukan batasan masalah agar ruang lingkup masalahnya tidak melebar dan meluas. penulis dalam penelitian ini membatasi masalahnya hanya kepada : 1. Penelitian ini hanya dilakukan pada masa Orde Baru yaitu periode 1985–1994. 2. Penelitian ini menitik beratkan pada hubungan akomodatif Orde Baru terhadap umat Islam 1985-1994.
Universitas Sumatera Utara
3. “Negara” dan “Pemerintah” dalam penelitian ini dimaksudkan kepada ”Negara Orde Baru” 1.6. Kerangka Teori Setiap Penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan beripikir dalam memecahkan atau menyoroti masalahnya. 11 Untuk itu diperlukan beberapa teori atau konsep yang relevan dengan permasalahan yang akan diteliti. Dalam Penelitian ini Penulis mendeskripsikan beberapa teori atau konsep yang dapat dijadikan acuan dalam memahami penelitian ini antara lain : 1.6.1. Hubungan akomodatif Terminologi akomodatif yang menjadi salah satu kata kunci dalam penelitian ini, dipergunakan dalam dua arti: menunjuk pada suatu keadaan dan menunjuk pada suatu proses. Sebagai suatu keadaan,
akomodasi menunjuk pada kenyataan adanya
keseimbangan (equilibrium) dalam interaksi antara kelompok-kelompok manusia, sehubungan norma-norma dan nilai-nilai sosial yang berlaku didalam masyarakat. Sebagai suatu proses, akomodasi menunjuk pada usaha-usaha manusia untuk meredakan suatu pertentangan, yaitu usaha-usaha untuk mencapai kestabilan. 12 Akomodasi sebenarnya juga merupakan suatu cara untuk menyelesaikan pertentangan tanpa menghancurkan pihak lawan, sehingga lawan tersebut kehilangan kepribadiannya. Tujuan dari akomodasi antara lain untuk mengurangi pertentangan antara orang perorang atau kelompok-kelompok manusia sebagai akibat perbedaan paham. Akomodasi seperti itu bertujuan untuk menghasilkan suatu sintesa antara 11
Hadari Nawawi, Metode Penelitian Sosial, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 2001, hal.39 12 Suryono Sukanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali, 1986, hal.63.
Universitas Sumatera Utara
kedua pendapat tersebut, agar menghasilkan suatu pola yang baru. 13 Gillin dan Gillin menguraikan cukup banyak hasil dari suatu proses akomodasi antaranya adalah perubahan-perubahan dalam kedudukan. Sesungguhnya akomodasi menyebabkan suatu penetapan yang baru dari kedudukan orang perorang dan kelompok-kelompok
manusia.
Pertentangan-pertentangan
menyebabkan
kedudukan-kedudukan tersebut goyah, dan suatu akomasi akan mengukuhkan kembali kedudukan-kedudukan tersebut. 14 Akomodasi sebagai suatu proses dapat pula berbentuk compromise, pihak-pihak yang bertikai mengurai tuntutannya agar tercapai suatu penyelesaian terhadap perselisihan yang ada. Sikap untuk dapat melaksanakan compromise berarti bahwa salah satu pihak bersedia untuk merasakan dan mengerti keadaan pihak lainnya, dan juga sebaliknya. 15 Hubungan akomodatif yang dimaksud dalam penelitian ini adalah hubungan yang lebih menekankan pada tujuan untuk mengurangi pertentangan antara orang-perorang atau kelompok-kelompok manusia sebagai akibat perbedaan paham agar menghasilkan suatu sintesa antara kedua pendapat tersebut dan menghasilkan suatu pola yang baru. Hubungan akomodatif dalam penelitian ini juga dimaksudkan pada hubungan dimana antara pihak-pihak yang bertikai mengurangi tuntutantuntutannya agar tercapai suatu penyelesaian terhadap perselisihan yang ada. Sikap ini berarti bahwa salah satu pihak bersedia untuk merasakan dan mengerti keadaan pihak lainnya.
13
Ibid., hal. 64. Gillin dan Gillin, Cultural Sociology, a revision of an introduction to sociology,” dalam Ibid., hal. 64. 15 Sukanto, Op.Cit., hal. 65. 14
Universitas Sumatera Utara
1.6.2. Islam Secara etimologis, kata Islam berasal dari bahasa Arab dari bentuk verba salima, yang berarti: (1) he was/become safe, he escaped; (2) he was/become free from evils of any kind, rom trial or affliction, from the affair, free from fault, defect, imperfection, blemish or vice. Bentuk keempat verba adalah aslama, yang berarti: (1) He resigned or submitted himself; (2) he was/became resigned or submissive. Dari kata aslama itu duturunkan kata Islam, yang berarti: The act of resignation to God. Terdapat pengertian yaitu ia menundukkan dirinya atau ia masuk ke dalam kedamaian. Prof. Bernard Lewis, seorang orientalis terkenal, setiap kali memulai pembicaraannya tentang Islam, lebih dulu mengimbau untuk bersepakat tentang apa yang dimaksud dengan Islam. Menurut Lewis, paling tidak ada tiga penjelasan mengenai pengertian Islam 16. 1. Islam adalah wahyu dan teladan Nabi Muhammad saw. Yang dikodifikasi menjadi Al – Qur’an dan hadists. Kedua sumber ajaran ini tidak pernah berubah. Yang berubah adalah penafsiran terhadapnya. 2. Islam yang diceritakan dalam Ilmu Kalam ( terutama ilmu tauhid, aqaid, dan usuluddin,), ilmu fiqih, dan tasawuf. 3. Islam historis, yaitu Islam yang diwujudkan dalam peradaban dan kebudayaan yang dikembangkan oleh para penganutnya dalam arti luas,
16
Aziz Thaba., Op.Cit., hal. 38.
Universitas Sumatera Utara
termasuk peradaban dan kebudayaan yang diwarisi oleh Islam walaupun bukan karya kaum muslimin. Pengertian Islam sebagai sikap pasrah kepada Allah SWT menjadikan agama Islam, menurut Al Qur’an, sudah ada sebelum Nabi Muhammad saw. Ketika nabi Adam diutus kedunia, agama Islamlah yang dibawanya. Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada seluruh umat manusia malalui perantaraan Rasul pilihan – Nya, Nabi Muhammad saw. Ajaran ini bukan sama sekali baru tetapi merupakan kelanjutan dan penyempurnaan agama – agama yang dibawa Rasul sebelumnya. 17 Agama Islam tidak identik dengan Nabi Muhammad saw. Sebab Muhammad adalah manusia biasa seperti manusia lainnya, yang terpilih sebagai Nabi dan Rasul. Dengan tugas menyampaikan ajaran – ajaran – Nya kepada seluruh umat manusia. Islam bersumberkan Sang Khaliq, Allah SWT. Dengan demikian, menamakan Islam dengan Mohammadism adalah suatu kekeliruan. Walaupun demikian, memahami riwayat kehidupan Nabi Muhammad saw adalah suatu keharusan sebab salah satu sumber hukum Islam adalah Sunnah Rasulullah yang berupa sikap, perkataan, dan perbuatan beliau di sampingAl – Qur’an dan ijma Ulama. Salain itu, keduduka n Rasulullah dimata umat Islam sangat sentral. Beliau adalah panutan dan contoh teladan yang harus di ikuti. Bahkan, ahlak Rasulullah itu sendiri adalah Al Qur’an. 18 Sebagaimana disebutkan, Islam manolak sekularisme sebab ajaran Islam mencakup seluruh bidang kehidupan manusia. Termasuk bidang kenegaraan. Dalam Islam tidak ada pemisahan antara urusan agama dan urusan politik. 17 18
Ibid., hal. 39. Ibid., hal. 40.
Universitas Sumatera Utara
Pengertiannya, politik sebagai suatu kegiatan harus dilakukan dalam kerangka nilai Islam. 19 Namun demikian, Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah tidak membatasi pengaturan kenegaraan tersebut secara kaku. Hal tersebut diserahkan kepada umat – Nya malalui ijtihad. Islam bukan ideologi tapi dapat menjadi ideologi. Akan tetapi, apabila yang terhi ini terjadi, maka terjadi pula “ penyempitan “ Islam. Karena sebagai sistem nilai etik yang seharusnya mendasari semua bangunan struktur, setelah menjadi ideologi berubah fungsi hanya sebagai alat legitimasi bagi kekuasaan. Islam yang menjadi ideologi akan mereduksi Islam sederajat dengan karya filsafat manusia. Islam pun jangan dijadikan pesaing ideologi sebab akan menempatkannya sebagai “ petarung “ , siapa yang menang akan menguasai, dan siapa yang kalah akan tersingkir. Sebagaimana yang disebutkan oleh Dr. Faisal, cendikiawan Muslim Malaysia : “ Masalah politik dan pentadbiran negara adalah termasuk dalam urusan keduniaan yang bersifat umum. Panduan Al Qur’ an juga al – Sunnah bersifat umum. Oleh yang demikian permasalahan politik termasuk dalam urusan ijtihad umat Islam.Tujuan ulama atau cendikiawan Islam I alah berusaha secara terus – menerus menjadikan dasar.Al – Qur’an itu menjadi sistem yang akan konkrit supaya dapat di terjemahkan dan pentadbiran negara dsepanjang zaman. “ 20
Inilah yang telah dilakukan oleh empat khalifah sesudah Rasulullah. Sehingga walaupun mereka tetap dalam rangka mengamalkan ajaran Islam, pengorganisasian pemerintahannya berbeda – beda satu sama lain. Pemilihan empat khalifah saja melalui mekanisme yang berbeda – beda. Munawir Sadjali berpendapat, Islam tidak mempunyai preferensi terhadap sistem politik yang
19
Abd.ar–Rahman Abd. al–Khaliq, “Islam dan Politik, Jakarta: Pustaka Hidayah”, 1987. hal.13. Juga Prof. Dr. T.M. Ash shiddieqy, Ilmu Kenegaraan dalam Fiqih Islam, Jakarta:Bulan Bintang, 1991), hal.56 20 Dr.Haji Faisal bin Haji Othman.” Islam dan Permasalahan Sosial dan Politik “, makalah dalam Seminar Sehari tentang Agama….” dalam Aziz Thaba., Op.Cit. hal. 41.
Universitas Sumatera Utara
mapan. Islam tidak mempunyai sistem politik, dan hanya memilik seperangkat nilai etis yang dapat dijadikan pedoman penyelenggaraan negara. Di dalam Al Qur’an, lanjut mantan menteri agama ini, tidak terdapat pembahasan tentang sistem politik. Begitu pula ketika Nabi wafat, beliau tidak memberikan petunjuk mengenai penggantinya dan bagaimana cara memilihnya. Tidak ada dalil, baik qathi’ dan zhanni yang memerintahkan untuk mendirikan negara Islam. Selama ini, teori negara dalam sejarah Islam bisa muncul dari tiga jurusan: 1. Bersumber pada teori khilafah yang dipraktekkan sesudah Rasulullah wafat, terutama biasanya dirujuk pada masa Khulafaur Rasyidin. 2. Bersumber pada teori imamah dalam paham Islam Syi’ah 3. Bersumber pada teori imarah atau pemerintahan.
21
Namun demikian perlu dipertegas bahwa Al Qur’andan Sunnah Rasulullah hanya memberikan prinsip – prinsip dasar dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Berbagai upaya ijtihad yang dilakukan sesudahnya untuk membentuk “ negara Islam “ ternyata lebih banyak gagal dari pada berhasil. Sebab dalam realitanya, negara yang dibentuk atas nama Islam tersebut, oleh rezim yang bersangkutan digunakan sebagai legitimasi untuk menggenggam kekuasaan secara absolut. Itulah yang terjadi dalam rezim yang menamakan dirinya “Negara Islam” Peringatan Affan Gaffar sebagaimana yang telah dikutip pendapat Dr. Abdelwahab setelah ia melakukan penelitian terhadap beberapa “negara Islam” : “…kita harus berkesimpulan, bahwa konsep negara Islam harus ditinggalkan sama sekali….. Kita harus meninggalkan ilusi tentang melenium tabg dijanjikan oleh pembaharu negara utopia, yang menghadirkan orang saleh
21
M.Dawam Rahardjo,“ Ensiklopedi al Qur’an : Ulil Amri”, Ulumul Qur’an, no.2/1993, hal..26-34
Universitas Sumatera Utara
dan suci secara ajaib untuk mengembalikan zaman keemasan yang sudah lama hilang. “ 22 Sebuah seminar yang membahas topik pemikiran politik Islam yang diadakan pada tahun 1982 23 menyimpulkan : 1. Dalam rangka menyusun teori politik Islam, yang ditekankan bukanlah struktur “ negara Islam “, malainkan substruktur dan tujuannya. Sebab, struktur negara akan berbeda – beda di satu tempat dan tempat lainnya. Ia merupakan ijtihad kaum muslimin sehingga berubah – ubah. Sementara itu, subkultur dan tujuannya menyangkut prinsip
- prinsip bernegara secara
Islami. 2. Tercapai kesepakatan bahwa demokrasi , merupakan jiwa sistem pemerintahan Islam meskipun mereka sepakat untuk menolak asumsi filosofis “ Demokrasi Barat “. Islam sebagai konsep kekuatan politik dalam studi ini menunjuk pada kekuatan politik yang meletakkan paradigma orientasi politiknya pada prinsipprinsip Islam. Dalam diskursus politik Indonesia, penyebutan kekuatan politik Islam, umumnya, selain dengan sebutan kekuatan politik santri juga disebut umat Islam atau gerakan Islam. Repersentasi kekuatan politik Islam di arena politik pun juga memiliki bentuk bermacam-macam, kadang-kadang menjelmakan dirinya
22
Dr.Abdelwahab El–Affendi, ”Masyarakat Tak Bernegara, Kritik Teori Politik Islam”, Yogyakarta : LKIS, 1994. 23 Seminar tersebut diadakan pada tanggal 6 – 8 September 1982 di India, AS. Dengan topik “ Islamic Political Thought and Institutions “. Dihadiri oleh para cendikiawan muslim terkenal dari seluruh dunia, diantaranya Fazlur Rahmanm Fathi Osman, Jacid Iqbal, Ahmad Moussavi, Khalif M. Ishaque, Jamilah Jidmoud, dan A.A.Sachedina. Makalah yang dipresentasikan dalam seminar tersebut dihimpun dan diterbitkan dalam bentuk buku. Dalam edisi bahasa Indonesia, periksa Mumtaz Ahmad ( ed .), Masalah – masalah Teori Politik Islam ( Bandung : Mizan,1993 ). Dikutip dari Aziz Thaba., Op.Cit. hal.42.
Universitas Sumatera Utara
berupa partai politik , ormas Islam atau tak jarang menampilkan sosok tokoh personal yang memiliki kharisme yang kuat. 1.6.3. Pemikiran Politik Islam Pemikiran politik yang berkembang dalam dunia Islam dapat dibedakan atas tiga periode, yaitu masa klasik, masa pertengahan, dan masa modern. Biasanya, dua yang pertama digabungkan karena memilik pokok – pokok pemikiran yang sama. Beberapa hal yang dapat disimpulkan dalam pemikiran politik masa klasik dan pertengahan adalah: Pertama; dari enam pemikir yang hidup dimasa ini, Ibnu Abi Rabi, Farabi, Mawardi, Ghazali, Ibnu Thaimiyah, dan Ibnu Khaldun, hanya Farabi yang mengemukakan idealisasi tentang segi – segi dan perangkat kehidupan bernegara. Sedangkan lima pemikir lainnya berangkat pada realitas system kekuasaan. Menurut pandangan mereka, system kekuasaan yang sedang berjalan tidak perlu dipertanyakan keabsahannya. Pemikiran politik Farabi banyak dipengaruhi oleh model Platonik sehingga model Negara yang diajukannya, “ Negara utama “ ( Al – Madinah al – Fadhilah ) termasuk dalam model utopian, mirip Negara raja – raja Filosofnya Plato. Kedua; Keenam pemikir ini sangat dipengaruhi
oleh alam pemikiran
Yunani tentang asal mula Negara. Bedanya, pemikiran pemikir Islam diwarnai oleh aqidah Islam. Di antara mereka pun terdapat perbedaan dalambanyak hal. Ibnu Rabi, Ghazali, dan Ibnu Thaimiyah memandang bahwa kekuasaan kepala Negara atau raja merupakan mandat Allah yang diserahkan kepada hamba – hambanya yang terpilih sehingga kepala Negara atau raja merupakan Khalifah ( Penganti ) Allah di bumi. Al – Ghazali memandaskan bahwa kekuasaan kepala
Universitas Sumatera Utara
Negara itu Muqaddas ( suci ) sehingga tidak bisa diganggu gugat. Al – Mawardi menganggap, kekuasaan kepala Negara berasal dari kontrak social yang melahirkan hak dan kewajiban kepala negara dan rakyatnya. Dengan demikian, Al – Mawardi dapat dianggap pelopor utama teori kontrak social karena tiga serangkai di Barat yatu Thomas Hobbes, Jhon Locke, dan Rosseau baru membicarakannya lima abad kemudian. Kecuali Mawardi, para pemikir lain menganggap bahwa kekuasaan kepala negara berlangsung seumur hidup. Mereka tidak pernah memikirkan mekanisme penggantian kepala negara.Ibnu Thaimiyah berpendapat bahwa menerima seorang kepala negara yang zalim lebih baik daripada tidak memiliki kepala negara. Mawardi adalah satu – satunya tokoh yang menguraikan proses pemilihan dan penggantian kepala negara. Ia juga mengemukakan kemungkinan dijatuhkannya kepala negara apabila ia tidak mampu lagi memerintah karena factor jasmani, rohani, atau akhlak. Dengan tegas, Mawardi dan Ghazali mensyaratkan bahwa kepala negara harus berasal dari suku Quraisy, sementara Ibnu Khaldun merasionalkannya dengan Teori Abbasiyah. Ketiga, Ibnu Khaldun menyatakan bahwa dasar kebijakan dan peraturan negara seharusnya berasal dari ajaran dan hokum agama, bukan hasil karya manusia. Keempat : Ibnu Thaimiyah yang terkenal puritan, zahid, dan keras pendiriannya, mendambakan keadilan sedemikian rupa sehingga ia sepakat bahwa kepala negara yang bukan muslim tetapi adil lebih baik daripada kepala negara yang muslim tetapi tidak adil.
Universitas Sumatera Utara
Sejak abad pertengahan sampai akhir abad ke – 19 ini, pemikiran Islam berada dalam kegelapan. Dalam kurun waktu berabad – abad ini tercatat hany Abdul Wahab ( 1703 – 1792 ) yang menonjol. Pemikiran politik abad modern ini dilator belakangi oleh tiga hal: (1) Kemunduran dan kerapuhan dunia Islam yang disebabkan oleh factor – factor internal yang kemudian melahirkan gerakan pembaharuan dan pemurnian, (2) Masuknya imperialisme barat ke dunia Islam yang melahirkan penjajahan barat sehingga membangkitkan perlawanan Islam, dan (3) Keunggulan Barat dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan organisasi. mereka yang terkenal dalam masalah ini adalah al – Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Ridha, al – Raziq, Hassan al – Banna, Sayyid Qutb, Al – Maududi, Muhammad Husain Haikal, Muhammad Iqbal, Hassan al – Turbabi, Ismail al – Faruqi, Khurshid Ahmad, Abdul Aziz Sachedina, Imam Khomeini, Ali Syariati dan sebagainya. Beberapa simpulan penting pemikiran politik pada masa ini berbeda dengan
pemikiran
pada
masa
klasik
dan
pertengahan
(
yang
tidak
mempertanyakan keabsahan sistem monarki yang berkuasa ). Pada masa ini, pemikiran politik beragam, bahkan satu sama lain seringkali bertentangan secara tajam dan menimbulkan perdebatan panjang dan terkesan “ kasar “ misalnya, perdebatan antara al – Raziq dan Ridha. Secara umum ada tiga kelompok pemikir. Kelompok pertama sangat anti Barat dan berpendapat bahwa ajaran Islam sudah mengatur semua bidang kehidupan manusia, termasuk dalam sistem politik. Mereka menganggap sistem politik yang ideal adalah sistem yang dipraktikkan pada masa Nabi dan Khulafa ar – Rasyidin. Termasuk dalam kelompok ini adalah Rasyid Ridha, Qutb, dan al –
Universitas Sumatera Utara
Maududi. Sebaliknya, kelompok kedua menganggap Islam memilik kedudukan yang sama dengan agama lain, dengan pendukung antara lain al – Raziq. Kelompok ketiga, yang tidak sependapat dengan pandangan pertama dan kedua, berpandangan bahwa Islam hanya menyediakan seperangakat tata nilai dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, sedangkan realisasinya bergantung pada ijtihad masing – masing. Termasuk didalam kelompok ini adalah Husai Haikal. Perbedaan lainnya, jika pada masa klasik dan masa pertengahan pemikiran politik bercorak teologis, maka pada masa modern ini bercorak filosofis – teoritis, bahkan empiris ( seperti pemikiran Ali Shariati ). 1.6.4. Negara Negara diterjemahkan dari kata – kata asing yaitu “ staat “ (bahasa Belanda dan Jerman), selanjutnya berasal dari bahasa Inggris yaitu “ state “ dan juga bahasa Prancis yaitu “ etat “ . Istilah “ staat “ mula – mula dipergunakan pada abad ke – 15 di Eropa Barat. Anggapan umum yang diterima adalah bahwa kata “ staat “ ( state, etat ) dialihkan dari bahasa latin “status” atau “statum”. 24 Secara etimologis kata “status” dalam bahasa latin klasik adalah suatu istilah yang abstrak yang menunjukkan keadaan yang tegak dan tetap, atau sesuatu yang memiliki sifat – sifat yang tegak dan tetap. 25Negara adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat. Dan juga pengertian negara dapat dibagi dengan tiga unsur pokok yang dijadikan standar Internasional. Ketiga unsur tersebut adalah: 1. Adanya rakyat atau adanya sejumlah orang yang juga bisa disebut dengan adanya msyarakat 24 25
F.Isyawara, Pengantar Ilmu Politik, Jakarta :Binacipta, 1980, hal.90. Ibid. hal. 91.
Universitas Sumatera Utara
2. Adanya sebuah wilayah dimana masyarakat itu tinggal dan bermukim dalam jangka waktu lama, dan 3. Adanya pemerintahan yang berwibawa (ditaati) dan pemerintahan yang berdaulat. 26 Roger H. Soltau menyatakan negara adalah alat (agency) atau wewenag (authorty) yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama, atas nama masyarakat. Selanjutnya Harold J. Laski mengatakan negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan secara sah lebih agung daripada individu atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat itu. Dan Robert M. Maciver mengatakan negara adalah asosiasi (perkumpulan) yang menyelenggarakan penertiban di dalam suatu masyarakat dalam suatu wilayah berdasarkan sistem hukum yang diselenggarakan oleh suatu pemerintah yang untuk maksud tersebut di beri kekuasaan memaksa. Pada umumnya negara memiliki sifat-sifat yang tidak dimiliki oleh asosiasi atau organisasi lainnya yaitu sifat memaksa, monopoli, dan sifat mencakup semua hal (all-encompassing, all-embracing). 27 Miriam Budiardjo mendefinisikan negara sebagai suatu organisasi yang dalam suatu wilayah yang dapat memaksakan kekuasaannya secara sah terhadap semua golongan dan yang dapat menetapkan tujuan – tujuan dari kehidupan bersama itu. 28 Jadi sebagai definisi umum dapat dikatakan bahwa negara adalah suatu daerah territorial yang rakyatnya diperintah ( government ) oleh sejumlah pejabat
26
Ibid., hal. 90-93 Miriam Budiardjo, Dasar – Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT.Gramedia, 2000 hal.39-40 28 Ibid. Hal. 41. 27
Universitas Sumatera Utara
dan yang berhasil menuntut dari warganya ketaatan pada peraturan perundang – undangannya melalui penguasaan (control) monopolistis dari kekuasaan yang sah. 1.6.5. Negara Orde Baru Orde Baru 29 merupakan tatanan pemerintahan negara Republik Indonesia yang berkuasa sejak tahun 1966 sampai Mei 1998 di bawah pemerintahan Soeharto, setelah keruntuhan rezim Soekarno dengan demokrasi terpimpin, yang bercorak otoritarian. 30 Cita – cita utama Orde Baru adalah untuk melaksanakan Pancasila dan Undang – Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekwen. Rezim ini manobatkan dirinya sebagai pengoreksi total terhadap kesalahan, kegagalan, keburukan rezim orde lama yang telah melakukan penyelewengan dan melanggar konstitusi Undang – undang Dasar 1945 dan Pancasila. Dalam perspektif penguasa rezim orde baru, Soekarno dianggap telah melakukan sejumlah penyelewengan dan melanggar dasar negara dengan konsep Nasakom yang mengikutsertakan komunis dalam pelaksanaan Pancasila. Misi utama penguasa Orde Baru adalah untuk maluruskan kembali sejarah perjalanan bangsa dan negara, berdasarkan pada falsafah dan moral Pancasila serta melalui jalan yang lurus seperti ditunjukkan oleh UUD 1945. Rezim Soeharto berusaha melakukan koreksi total segala macam penyimpangan sejarah di masa lampau sejak tahun 1945 – 1965. Rezim ini juga berupaya memelihara dan malahan memperkuat hal – hal yang benar dan lurus dari pengalaman dan hasil sejarah masa lampau. Karena itu pula Orde Baru sesungguhnya merupakan koreksi total terhadap diri sendiri, koreksi total terhadap kekeliruan pemerintahan rezim Soekarno untuk kebaikan. Koreksi total ini meliputi pikiran dan tingkah 29
Penamaan Orde Baru ini dapat dilihat dalam Herbeth Feith dan Lance Castle ( Ed ) , Pemikiran Politik Indonesia 1945 – 1965. Jakarta : LP3ES. 1988, hal.16-18. 30 Moh. Mahfud, Politik Hukum Islam di Indonesia , Jakarta : LP3ES, 1998, hal.196.
Universitas Sumatera Utara
laku menyangkut kemurnian cita – ciat kemerdekaan, dan implementasi Undang – Undang Dasar 1945 dan Pancasila ditambah dengan analisis penyelewengan Soekarno terhdap Pancasila dan UUD 1945. Sikap mental dan tekad pemerintah Soeharto ini disampaikannya dalam pidato pertama sebagai pejabat Presiden 12
Maret 1967. Soeharto mengatakan
apa yang telah dicapai melalui sidang istimewa
MPRS adalah kemampuan
mengembalikan kedaulatan ketangan rakyat yang dilaksanakan MPRS sebagai penyelenggara tertinggi penjelmaan rakyat dan pemegang kedaulatan rakyat. Soeharto menegaskan perlunya melaksanakan ketentuan UUD 1945 untuk mencegah kesewenang – wenangan penguasa secara murni dan konsekuen. Negara Orde Baru adalah negara yang tampil secara otonom, mengatasi kelas-kelas lain yang ada di dalam masyarakat. Negara Orde Baru telah menjelma sebagai negara organis yang kuat yang menjadikan dirinya sebagai tampat bergantungnya organisasi-organisasi politik dan organisasi-organisasi profesi atau fungsionalis. Proses penjelmaan negara kuat Orde Baru di dasarkan pada komitmen awal perjalanan Orde Baru untuk “membangun perekonomian” dengan disertai “pembangunan stabilitas nasional” yang dengan komitmen tersebut kemudian dilakukan political engineering atau penggalangan besar-bsaran untuk membangun infra struktur politik yang tidak boleh menyebabkan disintegrasi, sebab integrasi merupakan tuntutan mutlak bagi suatu upaya stabilitas nasional. 31 Demikianlah, dua main stream pemikiran berpadu untuk membangunOrde Baru. Penyusunan GBHN yang pertama misalnya, dikerjakan oleh para teknokrat tanpa melibatkan wakil-wakil rakyat dalam MPRS. Memasuki PJP II, dalam
31
Moh. Mahfud, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Jakarta: PT. 2000, hal. 104.
Universitas Sumatera Utara
Kabinet Pembangunan VI, era teknokrasi mulai bergeser dengan tampilnya para teknolog dengan tokoh Prof. Dr. Habibie. Banyak pengamat yang memandang bahwa era Wijoyonomics berganti menjadi habibienomics. Indikatornya adalah tampilnya para teknolog, seperti Habibie, Mar’ie Muhammad, J. Boedino, Ginanjar Kartasasmita, Soederajat Djiwandono, dan beberapa insinyur untuk jabatan menteri lainnya. Negara selalu berusaha memperlemah segala macam kelas baik petani maupun borjuis dan tuan tanah. Negara bukan legi sebagai penitia kecil pelaksanaan penghisap surplus, dan bukan sebagai wasit yang netral dari pengaruh-pengaruh kelas dominan tetapi negara menjadi ekspresi dari prospek spesifik formasi dan konflik kelas dan proses umum akumulasi modal. 32 Negara dalam hal ini, memiliki otonominya sendiri dan bertindak atas nama semua kelas sebagai penjaga tatanan sosial sebagai tempat menanam kepentingan-kepentingan kelas itu. Dan peranan negara dalam masyarakat menjadi sangat dominan. 33 Setelah Orde Baru lahir pada tahun 1966 penataan dan pengukuhan telah di mungkinkan oleh: 34 1)
Pengusahaan
negara
menjadi
lembaga
yang
relevan
untuk
mempertahankan stabilitas perekonomian. 2)
Diberikannya kesempatan kepada pasar untuk mengatur mekanisme perekonomian.
3)
Dibukanya kesempatan kepada modal, baik dari dalam maupun luar negeri, untuk giat dalam ekonomi.
32
Ibid., hal. 103. Ibid., hal. 106. 34 Ibid., hal. 108. 33
Universitas Sumatera Utara
4)
Pengintegrasian
kembali
perekonomian
Indonesia
ke
dalam
perekonomian internasional. Senada dengan yang pernah di kemukakan Alfian bahwa dengan terciptanya format politik baru opada tahun 1969/1971 telah tampil negara kuat Orde Baru. 35 Farchan Bulkin juga mencatat bahwa: “Dengan bekal seperti inilah maka pada awal 1970-an telah tercipta beamstaat pasca kolonial Indonesia yang lebih kuat di bandingkan dengan negara-negara sebelumnya dengan akibat-akibat yang tidak jauh berbeda dengan beamtenstaat terdahulu”. 36 Jelas bahwa negara Orde Bru bukan sekedar instrumen teknis penyelenggara roda administrasi pemerintahan yang terikat konstitusi dan aturan hukum, objektif, dan apolitik sepeerti yang di bayangkan Weber, tetapi sebaliknya yang terlihat adalah mekarnya peranan negara cenderung melampaui batas-batas konstitusinal, bahkan semakin dominan dalam mengatur brbagai sektor kehidupan masyarakat dan negara terutama dalam mekanisme pengambilan keputusan dan penyelenggaraan kekuasaan politik. Tampak bahwa negara telah menjadi mesin politik yang aktif dalam berbagai upaya rekayasa dalam masyarakat. Negara strukturalis klasik yang sering di klaim sebagai basis teoritiskonseptual negara modren dengan bapak pembangunannya Max Weber, selalu menganggap bahwa negara merupakan agen yang berhak melakukan monopoli. Penggunaan kekerasan fisik dan mampu memaksakan kehendaknya atas masyarakat, karena, negara memiliki kekuasaan otoritatif yang sah. Tugas utama negara adalah menjamin ketertiban masyarakat melalui agen-agennya yaitu:
35
Alfian, “Format Baru Politik Indonesia”, Indonesia magazine No. 24, Jakarta: Yayasan Harapan Kita, 1974, hal. 26. 36 Farchan Bulkin, op.cit., hal. 16
Universitas Sumatera Utara
politisi, tentara dan birokrasi dengan usaha yang sungguh-sungguh untuk menciptakan lahirnya kepatuhan masyarakat terhadap negara. Besarnya peran negara terhadap masyarakat menyebabkan rapuhnya tingkat kemandirian politik masyarakat sehingga prakarsa dalam masyarakat seakan-akan menjadi tidak bisa tumbuh. Lembaga perwakilan rakyat kurang berfungsi dengan baik karena lembaga ini kurang mempunyai kebebasan berpendapat. Sementara organisai-organisasi politik yang berfungsi untuk menjaring calon-calon wakil rakyat pada hakekatnya bukan merupakan organisasi yang mandiri, baik secara finasial maupun secara intelektual. 1.6.6. Model – model Kepolitikan Orde Baru Para ahli politik dan pengamat Indonesianis dari dalam maupun luar negeri mengidentifikasi perpolitikan Orde Baru kepada beberapa model. Model perpolitikan ini diharapkan dapat membantu usaha untuk mengenal secara mendetail konfigurasi politik hukum rezim Orde Baru serta implikasinya terhadap lembaga peradilan Islam di Indonesia, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa energi politik sangat berpengaruh terhadap hukum dan lembaganya. Oleh sebab itu, berikut ini di kemukakan model – model perpolitikan rezim pemerintahan Orde Baru berikut : a. Paham Integralistik Paham integralistik muncul pertama kali yaitu pada saat Prof. Mr. Dr. Soepomo mengajukan tiga pilihan yaitu paham individualisme, paham kolektivisme, dan paham integralistik tepatnya dalam pidato Sidang BPUPKI pada tanggal 31 Mei 1945. Dalam paham integralistik, negara menjadi mutlak. Kedaulatan negara mengatasi kedaulatan rakyat. Dalam paham ini negara bersifat
Universitas Sumatera Utara
totalitarianisme. Semua bagian dalam keseluruhan diarahkan kepada persatuan dan kesatuan dalam negara. Dalam negara, yang terpenting adalah “keseluruhan”, bukan “bagian-bagian”. 37 Paham integralistik menolak pandangan yang mengatakan bahwa manusia adalah bebas seperti yang dianut liberalisme. Manusia tidak bebas sebab sejak lahirnya sudah terikat. Manusia, di samping sebagai makhluk individual juga dalam makhluk sosial. Artinya sebagai makhluk individual, manusia bisa berbuat apa saja, akan tetapi “kebebasan” itu di ikat oleh kepentingan umum lahir dari kodrat manusia sebagai makhluk sosial. Kepentingan umum (yang lahir dari kodrat manusia sebagai makhluk sosial) mengatasi kepentingan individual (yang lahir dari kodrat manusia sebagai makhluk individual). 38 Dalam hal ini oposisi dilarang dan kritik terbuka ditabukan karena sama dengan “mendupak air di dulang terpercik muka sendiri”. Pengambilan keputusan dilakukan melalui musyawarah untuk mufakat. Sedapat mungkin voting dihindarkan. Dalam sistem ini tidak di kenal tirani mayoritas atas minoritas. 39 b. Beamstenstaat Dalam dua dekade sejak Orde Baru memulai program pembangunan, terdapat
political will pemerintah untuk menyehatkan sistem birokrasi
pemerintahan sehingga tercipta suatu birokrasi yang modern, efisien, dan efektif dalam rangka memelihara stabilitas politik sebagai prasyarat pembangunan ekonomi. Tipe birokrasi ini mengikuti tipe ideal Max Weber. 40
37
Marsilam Simanjuntak, Pandangan Negara Integralistik, Jakarta: Grafiti, 1994, hal. 8-9,217-18. Abdul Azis Thaba, Op.Cit, hal.54. 39 Ibid. hal. 55. 40 Marsilam Simanjuntak, Op,Cit., hal. 247. 38
Universitas Sumatera Utara
Dalam konteks demikian, Ruth T. Mc Vey41 memperkenal model Beamstenstaat, yaitu model yang menunjukkan adanya persamaan gaya politik pemerintahan Orde Baru dengan gaya pemerintahan kolonial Belanda, terutama pada masa-masa akhir tahun 1930-an. Keduanya memperlihatkan ciri-ciri yang sama dalam hal tekanan terhadap administrasi daripada terhadap politik, keahlian teknis, dan pembangunan ekonomi. Inilah bentuk ideal “negara pegawai” (Beamtenstaat), ketika negara menjadi mesin birokrasi yang efesien (the state as efficient bureaucratic machine). c. Patrimonialisme Jawa Model kepolitikan ini berangkat dari pendekatan kultural, di antaranya dianut oleh Donald K. Emmerson 42, William L. Liddle, dan Harold Crouch. Sedangkan dari kalangan pakar Indonesia di antaranya karya Soemarsaid Martono, Yahya Muhaimin, Soedjatmoko, Fachry Ali, dan Sartono Kartodirjo. Konsep patrimonialisme banyak dipakai oleh ilmuwan politik dan mencoba menjelaskan perkembangan politik di Eropa pada abad pertengahan hubungan yang bersifat patrimonialisme tersebut, ada pihak yang merupakan “penguasa”
lain
mengidentifikasi
kepentingannya.
Hubungan
tersebut
berlangsung dalam “pertukaran keuntungan” (advantage exchange) yng dijaga dengan rapi oleh kedua belah pihak. Dalam menjelaskan kepolitikan Orde Baru, hubungan yang bersifat patrimonialisme didasarkan pada budaya Jawa. Menurut model ini, terdapat
41
Ruth T. Mc. Vey, “ The Beamstentaat in Indonesia”, dalamBennedict Anderson dan Audrey Kahin (eds ), Interpretating Indonesian Politics : Thirteen Contributions to Debate, Ithaca : Cornell Modern Indonesia Project, 1982, hlm.85 – 91. 42 Donald K. Emmerson, The Bureaucracy in Indonesia, Cambidge, Mass: Center for Internasional Studies, MIT, 1974, dan Donald K. Emmerson, Indonesia’s Elite Political Culture and Cultural Politis, Ithaca: Cornell University Press, 1976.
Universitas Sumatera Utara
kontinuitas nilai-nilai politik yang berlangsung pada masa lalu (di rujuk pada kerajaan Mataram II) dengan nilai-nilai politik Orde Baru. Misalnya, nilai-nilai kekuasaan dalam paham kebudayaan Jawa yang menurut Anderson memenuhi empat sifat; konkret, homogen, tetap, dan tidak mempersoalkan legitimasi. 43 Birokrasi Orde Baru, walaupun memperlihatkan ciri-ciri modern, tetap dipengaruhi nilai-nilai lama yang merupakan tradisi dan budaya politik masa lalu (Jawa), seperti karakteristik patrimonial. Jabatan dan keseluruhan hirarki birokrasi didasarkan atas hubungan personal atau hubungan “bapak-anak buah” (patronclient). 44Berdasarkan asumsi di atas, menurut Richard Robinson pendekatan kultural menghasilakan dua proposisi 45: 1. Bahwa hakikat pemerintahan Orde Baru dapat dijelaskan melalui kerangka perspektif daya tahan/kelangsungan kebudayaan Jawa yang membentuk praktik politik para pejabat atau elite birokrasi tersebut; dan 2. Bahwa identitas dan struktur kelompok-kelompok politik dan hakikat konflik politik ditentukan oleh hubungan politik yang bersifat patrimonial yaitu stuktur-struktur patront-client yang bersifat pribadi dan tersusun secara vertikal. d. Negara Otoriter Birokrasi Rente Model kepolitikan ini diperkenalkan oleh Arief Budiman dalam bukunya tentang perbandingan antara pembangunan di Indonesia dengan pembangunan di Korea Selatan. 46 Ciri-ciri negara otoriter biriokrasi (OB) menurutnya adalah
43
Benedict Anderson, The Idea of Power in Javnese Culture”, dalam Claire Holt (ed.), Culture and Politics in Indonesia, Ithaca, N.Y.: Cornell University Press, 1972, hal. 4-8. 44 Manuel Kaisiepo, Dari Kepolitikan Birokratik ke Korporatisme Negara, Birokrasi dan Politik di Indoenesia, dalam Jurnal Ilmu Politik,no. 2 – 1987, hal.24 45 Ibid. 46 Arief Budiman, State and Civil Society in Indonesia, Clayton: Monash University,1990, hal.12.
Universitas Sumatera Utara
bersifat otoriter, sangat mengandalkan birokrasi sebagai alat mencapai tujuan, membendung partisipasi masyarakat, melaksanakan pembangunan ekonomi dan politik secara top-domn (dari atas ke bawah), dan menggunakan ideologi teknokratis-birokratis. 47 Dalam otoriter birokratik rente, kaum borjuis tidak terbentuk dalam negara karena mereka mendapat fasilitas melalui hubungan personal dengan penguasa. Jelasnya, para elite negara meminta imbalan, rente, atau ongkos sewa . para elite bertindak sebagai “rentenir” karena menyewakan jabatannya untuk kepentingan pengusaha, jabatan birokrasi bagi elite negara menjadi semacam “alat produksi” untuk melakukan akumulasi modal melalui sistem rente. 48 Intinya, dalam negara OB rente yang muncul bukan kaum borjuis yang kuat akan tetapi yang muncul adalah kelompok pengusaha yang tergantung kepada fasilitas dan perlindungan negara. 49 Negara OB rente mulai tumbuh dan menguat di Indonesia ketika militer selalu menekankan stabilitas politik secara berlebihan pada permulaan tahun 1970-an. 50 e. Negara Kapitalis rente (rent capitalism state) Model ini diperkenalkan oleh Olle Tornquist.51 Ia menekankan sifat “rente” dari modal kepolitikannya. Indonesia dan India adalah sebuah negara dengan pembangunan kapitalis tetapi menjadi rente karena digerogoti oleh perilaku dan kebijakan para pendukung rezim ini. 52
47
Ibid., hal. 13-14. Ibid., hal. 17 49 Ibid., hal. 18 50 Ibid., hal. 59 51 Olle Tornquist, “Rent Capitalsm, State, and Democracy, a Theorical Proposition”, dalam Arief Budiman (ed.), State and Civil Society in Indonesia, Clayton: Monash University, 1990, hal.29-50. 52 Ibid.hal. 51. 48
Universitas Sumatera Utara
Dalam model ini sifat otonomi relatif, negara didasarkan pada rasionalitas ekonomi, yaitu bagaimana memperoleh keuntungan sebesar-besarnya (demand) dengan kerugian sekecil-kecilnya (suply). Rasionalitas ekonomi ini membenarkan negara berbuat apa saja, termasuk yang tidak demokratis. Pola-pola patronase, bapakisme, nepotisme, dan lain-lain tidak dipermasalahkan, termasuk ssitem proteksionisme, monopoli, dan pemberian fasilitas-fasilitas. Model negara kapitalis rente ini relatif otonom dan berhubungan dengan kaum borjuasi domestik dan internasional. 53 f. Konsep politik birokratis (bureacracy polity) Bureacratic polity adalah bentuk sistem politik dengan kekuasaan membuat keputusan terletak sepenuhnya di tangan para penguasa negara, terutama para perwira militr dan pejabat tinggi birokrasi. Tidak ada partisipasi masyarakat, yang ada hanya mobilisasi. Di dalam politik birokrasi terjadi persaingan antara lingkaran-lingkaran birokrat dan elite militer. Elite ini, terutama adalah Presiden. Legitimasi pemimpin dalam bureaucratic polity bukan berdasarkan otoritas tradisional (seperti penguasa tunggal), melainkan otoritas legal. Jackson mengakui bahwa terjadi konsentrasi kekuasaan di tangan Presiden Soeharto, tetapi hal itu terjadi secara konstitusional (melalui Supersemar, tap-tap MPRS, dan pemilu) dan dalam beberapa hal dibatasi oleh kepentingan elite birokrasi dan militer. 54 Menurut Lance Castles, ada tiga ciri masyarakat politik birokratik: (1) lembaga politik yang dominan adalah aparat birokrasi; (2) lembaga-lembaga politik lainnya, seperti parlemen, partai politik, dan kelompok-kelompok 53 54
Ibid. Ibid., hal. 17
Universitas Sumatera Utara
kepentingan lainnya lemah dan tidak mampu melakukan kontrol terhadap birokrasi; dan (3) massa di luar birokrasi secara politiskonomis adalah pasif. 55 1.6.7. Relasi agama dan Negara dalam Islam Munculnya perdebatan tentang hubungan agama dan negara ini berkaitan dengan perbedaan penafsiran terhadap teks Al Qur’an dan Hadis. Perbedaan itu terjadi karena memang dalam memandang kedua sumber utama ajaran Islam tersebut tidak monolitik, tetapi multi – interpretatif. Seperti yang diketahui, bukan hanya masalah hubungan agama dan negara saja, jauh sebelum itu telah muncul perbedaan – perbedaan dalam lapangan fiqih, teologi, dan filsafat. Dalam lapangan fiqih misalnya, telah muncul berbagai mazhab, yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Hambali, dan Syafii. Dalam bidang teologi, muncul aliran – aliran teologi, seperti aliran Mu’tazilah, Zabariyah, Qadariyah, Ash’ariyah, dan Maturidiyah. Sedang dalam filsafat muncul pemikiran filsafat Ibnu Rush, Ibnu Sina, Al – Farabi, Al – Ghazali, dan lain – lain. Beragamnya pikiran tersebut menunjukkan bahwa dalam ajaran Islam itu multi – interpretatif. Watak Islam yang demikian ini telah berperan sebagai dasar dari kelenturan Islam dalam sejarah. Karena itu, tidak heran bila dalam hal menafsirkan masalah hubungan agama dan negara pun demiikian. Meskipun adanya perbedaan dalam menafsirkan sumber utam ajaran Islam tersebut, pada umumnya umat Islam percaya bahwa Islam merupakan agama yang holistik, yang tidak hanya mengurusi hal – hal yang bersifat ukhrowi tetapi juga yang bersifat duniawi. Karena itu, Islam sering dianggap sebagai sesuatu yang lebih dari sekedar sebuah agama yang mengurusi masalah – masalah peribatan. 55
Dikutip dari Yahya Muhaimin, “Beberapa Segi Birokrasi di Indonesia”, dalam Ahmad Zini Abrar (pen), Beberapa Aspek Pembangunan Orde Baru, Solo: Ramadhani, 1990, hal. 32.
Universitas Sumatera Utara
Islam lebih dari sekedar sistem ritus atau teologis. Seperti dikatakan oleh Deliar Noer, semenjak berdiri Islam meliputi dua aspek, yaitu aspek agama dan aspek masyarakat atau politik. 56 Berdasarkan itu, maka Islam tidak mengenal dinding pemisah antara yang bersifat spiritual dan temporal, tetapi mencakup kedua segi itu. Islam merupakan agama yagn memberikan panduan ( etik ) bagi setiap aspek kehidupan. Dalam pemikiran politik Islam, pandangan masalah hubungan agama dan negara ada tiga paradigma. Pertama, paradigma yang menyatakan bahwa antara agama dan negara merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan ( integrated ). Kedua, paradigma yang menyatakan bahwa antara agama dan negara merupakan suatu yang saling terkait dan berhubungan ( simbiotik ). Ketiga, paradigma yang menyatakan bahwa antara agama dan negara merupakan suatu yang harus terpisah ( sekularistik ). 57 Pandangan pertama melihat bahwa Islam merupakan agama yang serba lengkap dan sempurna, yang didalamnya bukan hanya mengatur masalah ibadah tetapi juga mencakup politik atau negara. Tuhan melalui Nabi Muhammad telah menurunkan aturan – aturan untuk kehidupan manusia. Karena Tuhan Maha Adil, maka aturan - aturanNya pastilah benar dan adil. Karena manusia merupakan khalifah Tuhan dimuka bumi, maka manusia berkewajiban untuk mengelola kehidupan ini sesuai dengan aturan – aturan yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Karena itu, manusia harus taat dan tunduk pada Tuhan. Berdasarkan itu, maka
56
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900 – 1942, Jakarta ; LP3ES. 1982, hal.1. Din Syamsuddin menyebutnya atas ketiga hal tersebut terdiri dari paradigma integrated, simbiotik, dan sekularistik. Sementara Umaruddin Masdar menyebutnya dengan konservatif, modernis,dan liberal. Lihat Din Syamsuddin,” Usaha Pencarian Konsep Negara Dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam”, Ulumul Qur’an, No.2 Vol.IV tahun 1994 Umaruddin, Membaca Pikiran Gusdur dan Amien Rais Tentang Demokrasi, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999. 57
Universitas Sumatera Utara
untuk mengelola negara tinggal melaksanakan aturan – aturan yang ditetapkan oleh Tuhan. Dalam pandangan kelompok ini, Syariah dipahami sebagai totalitas yang par excellent bagi tatanan kehidupan kemasyarakatan dan kemanusiaan. Karena itu legitimasi politik negara harus berdasarkan syari’ah. Paradigma ini dianut baik oleh kalangan Syi’ah maupun oleh kalangan Sunni. Bagi kalang Syi’ah, agama ( imamah ) adalah lembaga keagamaan dan mempunyai fungsi keagamaan. Legitimasi keagamaan berasal dari Tuhan yang diturunkan lewat garis keturunan Nabi Muhammad. Legitimasi politik harus didasarkan pada legitimasi keagamaan. Dan hal ini hanya dimiliki oleh para keturunan Nabi Muhammad. Sebagai lembaga politik yang didasarkan atas legitimasi keagamaan dan mempunyai fungsi penyelenggaraan “ Kedaulatan Tuhan “, maka negara bersifat teokratis, di mana kekuasaan mutlak berad di “ tangan “ Tuhan dan konstitusi negara berdasarkan pada wahyu Tuhan. 58 Sementara pemikir dari kalangan Sunni dapat dilihat dari pandangan Muhammad Rasyid Ridha, Sayid Quthb, dan Abu A’la Maududi. Ketiga pemikir ini berpendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang lengkap dengan petunjuk yang mengatur segala aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Karena itu, untuk mengatur kehidupan politik umat Islam tidak perlu atau meniru sistem lain. Di sini, ketiga pemikir ini anti pada sistem politik Barat. Bagi mereka sistem politik Barat tidak sesuai dengan prinsip – prinsip dan ajaran Islam. Islam memiliki sistem politik sendiri, sebagaimana yang telah dipraktikkan pada masa Nabi Muhammad dan KhulafaurRasyidin. 59 Seperti dikatakan Muhammad Abdul
58
Din Syamsuddin, Ibid., hal.6. Munawir Sadjali, Islam dn Tata Negara : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta : UI Press, 1990, hal. 205. 59
Universitas Sumatera Utara
Qadir Abu Fariz, Islam mempunyai sistem politik sendiri yang meliputi, yaitu (1) kedaulatan milik Allah ; (2) keadilan dan persamaan; (3) taat; dan (4) syura. 60 Pendekatan kedua yang menyatakan bahwa antara agama dan negara saling terkait dan berhubungan berdasarkan pada argumen bahwa agama memerlukan negara karena dengan negara, agama dapat berkembang. Begitupun, negara memerlukan agama karena dengan agama, negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral. 61 Para pemikir Islam yang termasuk dalam paradigma ini antara lain adalah Ibnu Taimiyah, Al – Mawardi, dan Al – Ghazali. Ketiga adalah paradigma yang menyatakan perlunya adanya pemisahan antara agama dan negara. Paradigma ini menolak paradigma pertama dan kedua. Pelopor paradigma ini adalah Ali Abdul Raziq, Ulama dan pemikir dari Mesir. Dalam kalangan Islam, pemikiran tentang pemisahan antara agama dan negara yang dikemukakan oleh Ali Abdul Raziq ini bukan saja ditolak, tetapi juga bersifat kontroversial karena pandangan - - pandangan dan hujah – hujah yang dilontarkannya tidak sesuai dengan sumber dan fatwa yang ada. Dalam bukunya yang berjudul Al – Islam Wa Usul al – Hukm, mengemukakan bahwa : syari’at Islam semata – mata bercorak spiritual yang tidak memiliki kaitan dengan hukum dan praktik duniawi; (2) Islam tidak mempunyai kaitan apa pun dengan sistem pemerintahan pada periode Nabi maupun Khulafaurrasyidin: (3) Kekhalifahan bukanlah bukanlah sistem politik keagamaan atau keIslaman, tetapi sebuah sistem yang duniawi; (4) Kekhalifahan tidak mempunyai dasar baik dalam Al – Qur’an maupun Hadis. Dalam bagian lain, Ali Abdul Raziq menolak keras pendapat bahwa Nabi pernah mendirikan negara Islam di Madinah. Misi dari Nabi 60 61
Muhammad Abdul Qadir Abu Fariz, Sistem Politik Islam, Jakarta: Robbani Pers, 2000. Din Syamsuddin, Op.Cit,. hal.6.
Universitas Sumatera Utara
Muhammad adalah semata – mata utusan Tuhan. Ia bukan seorang kepala negara atau pemimpin politik. 62Pandangan Ali Abdul Raziq tersebut mendapat kritikan yang keras dan tajam dari Dhiya Din ar – Rais. Dalam bukunya yang berjudul Al – Islam wa al – Khalifah fi al – ‘Ashr al – Hadis, ia mengatakan bahwa apa yang ditulis oleh Ali Abdul Raziq hanyalah sekedar pernyataan – pernyataan kosong tanpa pijakan dalil. Ali Abdul Raziq lebih layak disebut dongeng dan khurafat. Disini Dhiya Din memberikan bukti – bukti dengan mengutip dalil dan kesepakatan atau ijma ulama tentang adanya negara Islam dan bahwa Nabi bukan hanya sebagai pemimpin agama tetapi juga sebagai Kepala Negara. 63 1.7. Metodologi Penelitian 1.7.1. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam Penelitian ini adalah metode historical atau sering disebut dengan metode sejarah. Sejarah adalah pengetahuan yang tepat terhadap apa yang telah terjadi. Sejarah adalah deskripsi yang terpadu dari keadaan atau fakta – fakta masa lampau yang ditulis berdasarkan penelitian serta studi yang kritis untuk mencari kebenaran. 64 Dalam metode sejarah diperlukan pandalaman yang tepat dengan studi kepustakaan yang intensif. Dalam penelitian ini sumber yang digunakan adalah buku – buku dan cetakan. Dalam penelitian ini, sipeneliti bergantung pada gambaran tertulis atau dapat dikatakan bergantung pada data skunder.
62
Ibid, hal.8. Buku tersebut telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Islam dan Khilafah, Bandung : Pustaka, 1985. 64 Hadari Nawawi. Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta:Gadjah Mada University, 1995, hlm. 4. 63
Universitas Sumatera Utara
1.7.2. Jenis Penelitian Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang temuannya tidak diperoleh melalui prodedur statistik atau bentuk hitungan lainnya. 65 Penelitian seperti ini bertumpu pada latar alamiah sebagai keutuhan, mengandalkan manusia sebagai alat
penelitian,
memanfaatkan
metode
kualitatif,
mengarahkan
sasaran
penelitiannya pada usaha menemukan teori dasar dan bersifat deskriptif. 66 1.7.3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dan informasi dalam studi ini adalah menggunakan metode Library Research atau studi pustaka. Studi pustaka adalah pengumpulan data dengan cara menghimpun buku, makalah, dan dokumen – dokumen serta sarana informasi lainnya yang tentu saja yang berhubungan dengan masalah penelitian ini. 67 Dalam proses pengumpulan data, peneliti menggunakan jenis data skunder. Jenis data skunder adalah semua data yang diperoleh secara langsung baik dari peneliti lain, atau buku – buku, majalah, jurnal, Koran atau catatan – catatan yang berkaitan dengan penelitian ini. 1.7.4. Analisa data Penulis menganalisa data dengan manghayati dan berusaha memahami suatu peristiwa tertentu yang dinyatakan dalam kalimat atupun uraian. Jenis analisa data ini sering dipergunakan dalam jenis penelitian deskriptif dan penelitian histories. 68
65
Anslelm Strauss, Dasar – dasar Penelitian Kualitatif, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2003,hal.4. Lexy J. Moleong, M.A.Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung:M.Dawam.Rahardjo, hal.7. 67 Hadari Nawawi, Op.Cit., hal. 43. 68 Ibid, hhal. 91. 66
Universitas Sumatera Utara
1.8. SISTEMATIKA PENULISAN BAB I. PENDAHULUAN Bab ini menguraikan latar belakang masalah, perumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian. BAB II URAIAN TEORITIS Bab ini menguraikan teori-teori yang relevan dengan penelitian yang dilakukan yaitu: Islam, Pemikiran politik Islam, negara, negara Orde Baru dan relasi antara agama dan negara dalam Islam. BAB
III.
FENOMENA
MENJELANG
TERJADINYA
POLITIK
AKOMODATIF ORDE BARU TERHADAP UMAT ISLAM Bab ini menguraikan beberapa fenomena atau peristiwa yang merupakan faktor – faktor yang mendorong terjadinya politik akomodatif Orde Baru terhadap umat Islam periode 1985 – 1994 yaitu : Munculnya “ Gerakan Pemikiran Baru “ dikalangan intelektual muda
pada 1970 – an,
Kemerosotan pengaruh partai politik Islam serta
Kemerosotan power
politik “ kelompok Tanah abang dan Dinamika Elit Islam di GOLKAR. BAB IV. ANALIS HUBUNGAN AKOMODATIF ORDE BARU DAN UMAT ISLAM Bab ini menguraikan dengan lebih mendetail bagaimana proses terjadinya hubungan yang akomodatif antara Orde Baru dengan umat Islam periode 1985 – 1994. BAB V. PENUTUP Bab ini berisi kesimpulan dan saran yang diperoleh dari penilitian yang dilakukan.
Universitas Sumatera Utara