BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sejak awal kemerdekaan, organisasi berbasis Islam terus bermunculan. Tiap organisasi dengan karakteristik yang dimiliki mencoba mengoptimalkan peran dalam peningkatan kesejahteraan rakyat. Kekosongan kekuasaan dan institusi sosial segera digantikan oleh tiap organisasi. Setelah lama berdiri, ORMAS Islam tentu saja berhadapan dengan realitas perubahan sosial yang dilalui sepanjang sejarahnya. Perkembangan dan perubahan lingkungan sosial, budaya, ekonomi, dan politik, memberikan pengaruh yang fungsional terhadap perkembangan pemikiran Islam. Rumusan pemikiran tersebut kemudian membentuk satu sistem nilai yang menjadi referensi atau rujukan aktivitas muslim baik dalam kapasitas individualnya
maupun
kelembagaan1.
Tiap
organisasi,
masing-masing
mengadopsi pemikiran ini menjadi basis gerakan sosial. Salah satu ORMAS Islam yang lahir diawal kemerdekaan adalah Pelajar Islam Indonesia (PII). Dalam penelitian skripsi Adaby Darban yang mengulas sejarah kelahiran PII mengatakan bahwa, organisasi ini ada sejak tahun 1947. Dua tahun pasca kemerdekaan Indonesia. Raison de etre dari PII adalah perpecahan kaum pelajar yang beragama Islam menjadi dua golongan, pelajar umum dan santri pesantren. PII melihat perpecahan pelajar Islam malah kontraproduktif terhadap cita-cita Islam dan semangat kemerdekaan Indonesia pada khususnya. 1
16-17.
Abdul Munir Mulkhan, Runtuhnya Mitos Politik Santri (Yogyakarta: SIPress, 1999), hlm
Lebih luas lagi, alasan keberadaan PII juga menilai kehadiran umat Islam di Indonesia yang mengelompok dalam golongan-golongan yang beranekaragam tidak mengarah pada kesatuan tujuan. Faktor intern umat Islam yang menjadi perhatian adalah perselisihan keyakinan dan pemahaman antara golongan Islam yang satu dengan golongan Islam lainnya2. Itulah yang menjadi latar belakang kenapa sampai sekarang anggota PII sangat majemuk. Anggota PII terdiri dari berbagai latar belakang antara lain Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Salafi, Hizbut Thahrir, Syiah, dan Persis3. Peran dan partisipasi PII banyak tercatat dalam dinamika perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Saat pemberontakan Partai Komunis Indonesia di Madiun pada tahun 1948, PII secara langsung ikut membantu melakukan penumpasan4. Pada awal tahun 1965, PII memprakarsai berdirinya Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia bersama dengan organisasi pelajar yang lain5. Peran PII dengan KAPPI memberikan kontribusi yang besar dalam menumbangkan Orde Lama dan sekaligus membidani berdirinya Orde Baru. Ironi sejarah kemudian dialami oleh PII ketika tahun 1985 saat puncak kekuasaan Orde Baru menerapkan asas tunggal organisasi harus Pancasila. Keputusan tersebut terkait dengan lahirnya UndangUndang No 08/1985 tentang ORMAS, menetapkan bahwa seluruh organisasi sosial atau massa harus mencantumkan Pancasila sebagai asas tunggal mereka6. PII mengambil sikap tegas, menolak pemberlakuan UU tersebut. Karena sikap 2
Ahmad Adaby Darban, Sejarah Lahirnya Pelajar Islam Indonesia (Yogyakarta: Panitia Pelaksana Muktamar PII ke-XVI, 1976), hlm 22. 3 Hasil observasi terhadap beberapa anggota PII pada waktu Muktamar PII ke-XXVI di Pontianak.Juli 2008. 4 Djayadi Hanan, Gerakan Pelajar Islam Dibawah Bayang-Bayang Negara (Yogyakarta UII Press, 2006), hlm 71.mengutip A.H Nauition, “Peranan PII Dalam Penumpasan PKI, Pengalaman Pribadi Seorang jenderal“, artikel yang ditulis untuk penerbitan buku sejarah PII, 27 Juni 1997. 5 Djayadi Hanan, Gerakan Pelajar Islam Dibawah Bayang-Bayang Negara, hlm 77. 6 Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni Dan Otoritas Agama, Yogyakarta,1999.
penolakan PII, akhirnya Mendagri membuat keputusan Menteri No 120 dan 121 tgl 10 Desember 1987 melarang PII dengan alasan PII tidak mengikuti prinsipprinsip fundamental UU Keormasan. Sejauh mengenai ORMAS Islam, larangan pemerintah ini hanya dikenakan pada PII7. Sejak diberlakukannya Keputusan Mendagri tersebut PII menjadi organisasi terlarang. Dengan status ilegal, PII tetap menjalankan roda organisasi. Dengan berbagai pertimbangan, pada akhir masa pemerintahan Soeharto PII mulai melakukan usaha reformalisasi. PII memandang bahwa organisasi pelajar seperti Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM) dan Ikatan Putra Nahdlatul Ulama (IPNU) dan ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) terbatas ruang geraknya pada golongan Muhammadiyah dan NU. Organisasi pelajar lain yang ada juga bersifat lokal sehingga tidak bisa menjangkau pelajar diseluruh pelosok tanah air8. Pada awal tahun 1998, PII mencantumkan Pancasila sebagai asas dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangganya (AD/ART). Penerimaan PII terhadap asas Pancasila setelah melalui perdebatan internal yang cukup lama, justru dilakukan pada saat kekuasaan ORBA hampir berakhir. Harapan berkembangnya PII setelah reformalisasi ternyata tidak tercapai. Semakin lama PII semakin mengalami degradasi kader secara kualitas dan kuantitas. Permasalahan internal organisasi bermunculan dan tidak kunjung selesai. Konflik yang berujung pada pelemahan organisasi dengan konsekuensi tidak aktifnya anggota, mundur dari kepengurusan. Kekurangan kader untuk mengisi posisi struktur terjadi hampir diseluruh eselon. Tidak berperannya beberapa Pengurus Wilayah (PW) dalam forum nasional, dan indikasi konflik 7
Ibid, hal 258. Djayadi Hanan, Gerakan Pelajar Islam Dibawah Bayang-Bayang Negara, hlm 190.
8
internal bermunculan pada semua level. Pada Muktamar Nasional 2006 terjadi penolakan terhadap hasil Muktamar yang dimotori oleh pengurus PII se JawaBali. Penolakan tersebut dalam beberapa pandangan aktivis PII dianggap sebagai potensi perpecahan antara Jawa dan Indonesia Timur. Sampai pada Muktamar 2008 di Pontianak, hanya dihadiri kurang dari seratus peserta Muktamar9. Badan Otonom (BO) Brigade dan PII Wati (sayap organisasi yang memfasilitasi masalah ke-muslimahan) seringkali memiliki konflik kepentingan dengan Badan Induk (sebagai struktur utama). Pada beberapa Pengurus Daerah, BO PII Wati dan BO Brigade banyak yang vakum, atau lebih jauh, melakukan pembubaran diri. Secara kualitas, tawaran alternatif terhadap persoalan aktual masyarakat sebagai esensi kehadiran ORMAS, tidak berkembang. Trend setter isu yang dulu pernah dimainkan PII sekarang diambil alih oleh pihak lain. Ketertarikan pelajar untuk bergabung dan beraktivitas di PII sangat kurang. Kekurangan kader pengurus di level Pengurus Komisariat (PK) sampai Pengurus Besar (PB) menjadi masalah yang tidak pernah terselesaikan. Keanekaragaman basis kelompok agama (internal Islam), pendidikan, sosial dan budaya anggota yang dimiliki PII beralih menjadi pemicu konflik. Momentum peralihan kepemimpinan sering menjadi pemicu konflik. Pada proses perekrutan, tidak bersedianya beberapa sumber basis anggota untuk mempercayakan generasi muda mereka aktif di PII10. Seringkali pengurus yang aktif mempertanyakan status ideologi PII, memperjelas berkurangnya daya tarik organisasi. Keadaan yang demikian menguatkan indikasi terjadinya krisis yang sangat akut di PII. Keterancaman eksistensi PII, yang pernah mengalami masa kejayaan, 9
Observasi pada kegiatan Muktamar PII ke-XXVI di Pontianak, Juli 2008. Wawancara awal dengan PW PII Jogjakarta Besar, 29 November 2008.
10
sedang berlangsung. Dengan demikian diperlukan perhatian serius untuk menelaah gejala yang sedang berlangsung pada salah satu ORMAS Islam ini. PII pada saat ini seakan kehilangan sesuatu yang dulu pernah dimilikinya. Sesuatu yang dulu bisa mempertahankan dan mengembangkan eksistensinya. Potensi keberagaman yang dimilikinya selain tidak menjadi daya tarik juga beralih menjadi pemicu konflik. Peran kesejarahan yang cukup penting dan potensi idealisme yang dikandungnya, terutama peran integrasi umat Islam yang berlatar belakang basis agama dan budaya yang beragam, merupakan kekayaan bangsa Indonesia.
B.
Rumusan Masalah
Peneliti merumuskan masalah dalam penelitian ini dalam bentuk pertanyaan; Apa di balik keberlangsungan gerakan PII?
C.
Tujuan Penelitian 1. Mendeskripsikan organisasi PII 2. Mengetahui sejarah perkembangan PII sejak awal berdiri 3. Menelaah fungsi konflik terhadap perkembangan internal PII
D.
Manfaat Penelitian
1.
Penelitian tentang perkembangan organisasi PII dapat memberikan penjelasan tentang tanggapan sebuah kelompok sosial dalam menghadapi perubahan sosial.
2.
Untuk aktivis organisasi sosial, khususnya organisasi pelajar, bisa menjadi salah satu bahan untuk melakukan evaluasi didalam menjalankan organisasi.
3.
Untuk lembaga PII khususnya, penelitian ini bisa menjadi salah satu bahan untuk melakukan otokritik.
4.
Penelitian ini selain sebagai persyaratan akademis, bagi peneliti sendiri memberikan pengalaman untuk membentuk pola pikir yang sistematis dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
E.
Tinjauan Pustaka
Studi tentang perkembangan sejarah organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) yang lengkap memotret perkembangan sejak lahir sampai sekarang dan dalam skala nasional masih sangat jarang. Buku yang secara khusus menulis tentang Pelajar Islam Indonesia yang penulis telusuri hanya ada dua. Pertama adalah hasil tesis Ilmu Politik UGM tentang perkembangan PII yang kemudian dibukukan dilakukan oleh Djayadi Hanan dengan judul Gerakan Pelajar Islam Di Bawah Bayang-Bayang Negara, Studi Kasus Pelajar Islam Indonesia Tahun 1980 – 1997. Dalam tesis Djayadi Hanan yang dibatasi oleh kurun waktu 17 tahun pada masa pemberlakuan asas tunggal Pancasila ini memberikan gambaran yang jelas tentang latar belakang PII menolak asas tunggal dan implikasinya terhadap perkembangan organisasi PII. Buku kedua ditulis oleh Ma‟roof dan Husnie Thamrin, Pilar Dasar Gerakan Pelajar Islam Indonesia, Dasawarsa Pertama Berdirinya PII. Buku tersebut secara detail memotret sejarah perkembangan awal PII sampai tahun 1965an.
Secara menyeluruh, isi buku tersebut lebih pada kumpulan tulisan daripada hasil studi khusus mengenai perkembangan PII awal. Melihat berbagai sumber dan literatur yang ditemukan penulis, maka penulis mencoba membedah konflik dan survivalitas PII dalam menghadapi berbagai tantangan organisasi secara internal dan eksternal. Usaha ini penulis lakukan karena belum adanya hasil studi yang secara fokus memotret survivalitas secara mendalam dan menyeluruh.
F.
Kerangka Teori
Dengan sifat dasar, ketidakpuasan terhadap sistem yang mapan, dinamika yang terjadi pada gerakan sosial tidak bisa dilepaskan dari konflik. Konflik berlangsung dengan pihak luar dan juga didalam tubuh gerakan. Seperti yang dijelaskan diatas bahwa gerakan sosial merupakan hasil dari ketidakpuasan terhadap sistem yang mapan sehingga tidak bisa memenuhi kebutuhan. Kesenjangan realitas dengan idealisme mengandung makna ketidakharmonisan. Dihadapkan pada kepentingan naluri manusia yang menginginkan kepenuhan kebutuhan, kesenjangan membuka ruang untuk melakukan perubahan. Lewis Coser dalam bukunya yang berjudul “The Functions of Social Conflict (1956)”, mengemukakan bahwa tidak ada teori konflik sosial yang mampu merangkum seluruh fenomena konflik karena hasilnya prematur11. Oleh karena itu Coser tidak mengonstruksi teori umum. Ia hanya berusaha untuk menjelaskan konsep konflik sosial serta mengonsolidasikan skema konsep itu,
11
Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer (Jakarta, CV Rajawali, 1984), hlm 107.
sesuai dengan data yang berlangsung dalam konflik sosial. Caranya adalah dengan mengintegrasikan teori konflik yang dikembangkan oleh George Simmel12. Konflik dapat bersifat instrumental untuk pembentukan penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial. Maka Coser melihat adanya keuntungan dengan munculnya konflik sosial sebagai katup penyelamat (savety-value). Katup penyelamat membiarkan luapan permusuhan tersalur tanpa menghancurkan seluruh struktur. Konflik membantu membersihkan suasana dalam kelompok yang sedang kacau13. Coser melihat konflik merupakan jalan keluar yang meredakan permusuhan. Katup penyelamat dalam hal ini hanya sebagai pengalihan masalah aslinya, jadi bersifat sementara. Dalam membahas berbagai situasi konflik, Coser membedakan konflik yang realistis dengan yang tidak realistis14. Konflik yang realistis berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan-tuntutan khusus yang tidak terpenuhi. Anggota PII yang menuntut kinerja pengurus PII diatas agar lebih optimal merupakan konflik realistis. Sedangkan konflik tidak realistis adalah konflik yang bukan berasal dari persaingan yang bersifat antagonis dan sepihak. Seperti kasus pengkambinghitam-an salah satu kader PII untuk menjatuhkan harga diri dan penilaian negatif. Hal itu sering muncul saat di forum Muktamar saat pemilihan imamah PII. Perspektif Coser tentang konflik sosial adalah banyak ahli sosiologi cenderung memandang pada sisi negatif. Menurut Coser bahwa konflik sosial dapat membantu mengeratkan ikatan kelompok yang terstruktur secara longgar.
12
Lewis Coser, The Fungtions of Social Conflict(New York: The Free Press, 1956), hlm
34-37. 13
Lewis Coser, The Fungtions of Social Conflict, hlm 41. Ibid, hlm 49.
14
Masyarakat yang mengalami disintegrasi, atau berkonflik dengan masyarakat lain dapat terintegrasi15. Dalam hal ini, bagaimana konflik dapat memberi sumbangan pada ketahanan dan adaptasi kelompok, interaksi dan sistem sosial. Integrasi dapat terjadi dengan meredakan ketegangan yang terjadi dalam suatu kelompok dengan memantapkan keutuhan dan keseimbangan16. Sumbangan integrasi sosial ini bisa saya lihat pada awal perjuangan revolusi, dimana umat Islam berhasil bersatu melawan Belanda. Tapi ketika Belanda sudah hengkang dari Indonesia, umat Islam kembali terbelah. Gagasan Coser ini juga sesuai dengan cita-cita PII mempersatukan semua gerakan pelajar lokal di sekolah umum dan pesantren. Dan PII berhasil mempertahankan persatuan selama musuh bersama berhasil didefinisikan secara jelas. Kedua, bahwa konflik sosial mampu menciptakan kohesi melalui aliansi dengan kelompok lain17. Sepanjang awal revolusi sampai sekarang, ketika ada masalah bersama, elemen pemuda dan pelajar selalu membangun aliansi. Baik itu oleh PII, HMI, PMII, PMKRI, LMND, Pemuda Muhammadiyah, GP Anshar dan lain-lain. Masing-masing berkumpul dan menyatakan sepakat menyelesaikan masalah bersama-sama. Seperti yang terjadi pada Deklarasi Cipayung tahun 66. Ketiga, konflik sosial dapat mengaktifkan peran individu yang semula terisolasi18. Semula, partisipasi anak-anak sekolah tidak pernah dianggap sebagai bagian dari penentu perubahan sosial. Tapi ketika secara organisatoris, PII melawan komunis pada tahun 1965, dan mengajak anak-anak sekolah ikut bersama-sama berdemonstrasi. Dan terbukti, mereka memiliki potensi dan jumlah
15
Ibid, hlm 72. Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, hlm 115. 17 Lewis Coser, The Fungtions of Social Conflict, hlm 93. 18 Ibid, hlm 118. 16
dan kekompakan menentang komunis. Pengakuan terhadap kelompok terisolasi dan meniadakan kepentingan personal bisa menjadi gerakan radikal ketika berhadapan dengan musuh. Keempat, konflik sosial juga membantu fungsi komunikasi antar berbagai kelompok masyarakat19. Dalam hal ini, konflik mampu mempertegas siapa lawan dan siapa kawan. Dengan adanya komunikasi, antar kelompok membangun kepercayaan dan memutuskan mengambil tindakan yang tepat untuk menghadapi musuh bersama. Komunikasi antar kelompok juga memungkinkan munculnya ide terbaik dalam menyusun perubahan sosial yang dikehendaki bersama. Keempat sumbangan teori konflik yang dikembangkan Lewis Coser diatas digunakan untuk membedah perjalanan PII sampai sekarang. Perjalanan PII yang panjang dengan tetap berhasil mempertahankan diri sebagai organisasi independen dan tidak mengalami perpecahan seperti HMI menarik untuk dianalisis. Militansi dan konsistensi kader PII memperjuangkan Islam sebagai ajaran tertinggi di Indonesia menemui berbagai rintangan. Baik selama Orde Lama, Orde Baru dan sepanjang masa Orde Reformasi, polemik tentang Islam selalu bernada negatif. Diskriminasi terhadap Islam sebagai fundamentalis, radikal, subversif sampai teroris, selalu membayangi perjalanan PII.
G.
Metode Penelitian
1.
Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan 19
George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern (Jakarta: Kencana, 2004), hlm 159.
dari orang-orang dan aktivitas yang diamati20. Dalam penelitian ini juga tidak mengabaikan berbagai obyek dan fakta kepengurusan PII saat ini sebagai kelanjutan dari fakta dan pola masa lampau. Dengan menganalisis secara mendalam terhadap persepsi, gagasan dan interaksi sosial perjalanan PII diharapkan menemukan alur yang jelas mengenai proses interaksi, upaya adaptasi, interaksi dan perubahan sosial PII. Penelitian kualitatif ini meneliti dokumen, jurnal, surat, dan laporan-laporan Muktamar. Sifat istimewa dari data verbal ini adalah bahwa data itu mengatasi ruang dan waktu, sehingga membuka kemungkinan bagi peneliti untuk memperoleh pengetahuan tentang gagasan dan aktivitas sosial yang telah musnah21. Selain melakukan kajian terhadap dokumen yang ada juga mengamati perkembangan PII. Deskripsi historis digunakan untuk membantu memetakan uraian teoritis skripsi sehingga data dan informasi yang ada bisa tersusun sistematis. Uraian teoritis itu dapat menempatkan kejadian dalam suatu kerangka dalam membuat perbandingan atau dalam mencari gejala-gejala sosial yang serupa data empiris kita garap sebagai petunjuk fakta yang menjadi referensi empiris dari konsep dan teori22. Dengan prosedur ini bahan masa lampau yang termuat dalam dokumen tersusun secara sistematis, sehingga kemampuan menerangkan harus diperinci. Dengan pendekatan kualitatif peneliti berharap semua kejadian dan data yang ada disajikan secara kompleks dari kekuatan-kekuatan sosial, digambarkan sebagai
20
Arief Furchan, Pengantar Metoda Penelitian Kualitatif (Surabaya: Usaha Nasional, 1992), hlm. 19. 21 Sartono Kartodirdjo, “Metode Penggunaan Bahan Dokumen” dalam Koentjaraningrat (ed) , Metode-Metode Penelitian Masyarakat (Jakarta: Gramedia, 1981),hlm 63. 22 Sartono Kartodirdjo, “Metode Penggunaan Bahan Dokumen” dalam Koentjaraningrat (ed) , Metode-Metode Penelitian Masyarakat, hlm, 65.
suatu proses sosial yang unik, dan digambarkan sedemikian rupa sehingga tampak hubungan antara sektor ekonomi, sosial, politik dan keagamaannya. Penelitian ini mendeskripsikan obyek secara menyeluruh. Dilakukan dengan melakukan wawancara terbuka dan penelusuran lewat dokumen.Hal ini digunakan untuk memberikan landasan bagi penjelasan adanya asumsi keterkaitan antara masa lalu dengan fenomena yang terjadi saat ini. Menurut Masri Singarimbun, metode ini tidak mensyaratkan secara ketat hipotesa dan tidak diuji secara statistik23. Dua hal yang dimilikinya, mengetahui perkembangan sarana fisik tertentu atau frekuensi terjadinya suatu fenomena. Tujuan kedua adalah mendeskripsikan secara menyeluruh dan utuh terhadap suatu fenomena.
2.
Objek dan Lokasi Penelitian
Objek penelitian ini adalah organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) yang berpusat di Jakarta, Menteng Raya 58 dan memiliki anggota tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Tahun berdirinya organisasi PII ini adalah 1947. Dengan mengumpulkan dokumen untuk digunakan secara komparatif sehingga dihasilkan generalisasi-generalisasi24. Dokumen yang digunakan berupa otobiografi, buku, surat kabar, majalah, jurnal, dokumen-dokumen pemerintah dan dokumen organisasi PII itu sendiri.
Masri Singarimbun, “Tipe, Metode dan Proses Penelitian” dalam Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survai (Jakarta: LP3ES, 1981), hlm. 04 24 Sofian Effendi, “Unsur-Unsur Penelitian Ilmiah” dalam Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survai (Jakarta: LP3ES, 1981), hlm. 14. Barney G, Glaser dan Anselm L. Strauss, Penemuan Teori Grounded; Beberapa Strategi Penelitian Kualitatif, hlm. 50. 23
3.
Teknik Pengumpul Data
a.
Observasi
Observasi yang dilakukan adalah dengan ikut serta dalam kegiatan-kegiatan nasional PII. Peneliti mengamati dengan menempatkan diri sebagai partisipan (menjadi anggota kelompok yang diteliti). Dalam melakukan pengamatan untuk kepentingan penelusuran maka
dilakukan dengan tidak terstruktur.
Untuk
pengamatan dengan tujuan untuk mendalami salah satu objek yang telah ditentukan maka dilakukan observasi terstruktur. Peneliti mengikuti Muktamar PII yang diselenggarakan pada tahun 2008 di Pontianak, Kalimantan Barat, Trainning Advance PII tahun 2008 di Palembang, kegiatan diskusi rutin di PII Jogjakarta Besar, kegiatan kemanusiaan PII pada saat terjadi gempa di Sumatera Barat pada tahun 2009. Untuk melihat keseharian pelaku organisasi PII, peneliti melakukan observasi di kantor dan asrama Pengurus Besar PII di Jakarta. Ini berlangsung dari tahun 2008 akhir sampai 2010 pertengahan. Kunjungan peneliti ke berbagai Pengurus Wilayah PII tingkat provinsi memberikan kekayaan pandangan untuk penelitian ini. Observasi tidak terstruktur berarti peneliti tidak mengetahui aspek-aspek apa dari kegiatan-kegiatan yang ingin diamatinya relevan dengan tujuan penelitian dengan pengungkapan yang sistematis. Kedua teknik observasi tersebut dipakai sesuai dengan situasi yang dihadapi dilapangan. Output dari observasi adalah catatan deskripsi dan refleksi dari peneliti. b.
Wawancara
Wawancara dipengaruhi oleh posisi informan dalam mewujudkan gagasan dan program kerja PII. Selain itu juga menjelaskan bagaimana dinamika yang
terjadi di PII berkaitan dengan konflik dan perkembangan dalam menanggapi isu yang ada. Informan juga dipengaruhi oleh posisi strategis dalam menjelaskan gagasan perubahan sosial. Informan utama dalam wawancara ini adalah ketua umum PII atau tokoh sentral dari periode ke periode. Informan yang diwawancarai pada penelitian ini adalah Utomo Danandjaja, Usep Fathudin, AM Fatwa, Mashuri, Mamat Achmad Caherowi, Mu‟taminul Ula, Asep Saifunnur Maszah, Hakam Naja, Mulyadi Malik, Djayadi Hanan, dan Zulfikar. Mereka adalah tokoh-tokoh PII yang memiliki peran penentu kebijakan di masanya.
c.
Dokumen
Dalam penelitian ini, peneliti menelaah berbagai hasil keputusan forumforum bersifat nasional, publikasi internal PII, dan beberapa tulisan yang pernah dibuat oleh kader PII terkait permasalahan yang diteliti. Dokumen Muktamar dan dokumen konstitusi PII banyak yang menjadi sumber penelitian ini.
4.
Teknik Analisis Data
Setelah data terkumpul maka tahap selanjutnya adalah analisis data. Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data kedalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja, namun belum langsung dapat dipakai untuk menyusun suatu konstruksi deskriptif fakta25. Terlebih dahulu dilakukan verifikasi bahan dokumen adalah dengan cara kollasi, dengan cara membandingkan antar 25
J. Vredenbregt, Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia, 1978), hlm 121.
berbagai dokumen mengenai apakah fakta yang dicari ada dalam dokumen yang lain yang dibuat oleh penulis yang lain pula, dari golongan serta lingkungan yang berbeda dan dalam kondisi yang berbeda. Pernyataan mengenai satu fakta, apabila sesuai, apakah yang satu tidak meminjam dari yang lain, apabila kontradiktif, dipilih yang memiliki banyak kesamaan dengan data yang lain. Dalam melakukan perbandingan, hubungan antara dokumen, perlu dicari mana yang merupakan sumber primer, mana yang dijadikan sumber data yang representatif. Proses penilaian dokumen, juga mencakup pertanyaan apakah bahan di dalamnya cukup cocok untuk memberi jawab atas pertanyaan seperti apa, kapan, dimana, bagaimana dan mengapa dari gejala yang dipelajari. Jadi bahan dokumen perlu dinilai kegunaannya berdasarkan kriteria yang berhubungan dengan subyek, komponen-komponen yang esensial. Data umum (pranata, adat-istiadat dan pola kehidupan) menjadi rumusan umum.