BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam konteks transisi politik di Indonesia, gerakan mahasiswa telah memainkan peranan yang sangat penting sebagai kekuatan yang secara nyata mampu mendobrak rezim otoritarian. Dan jika kita lihat pengalaman historis perjuangan bangsa, kita akan menemukan bahwa mahasiswa selalu memainkan peranan penting dalam setiap perjuangan. Demikian pula, gerakan mahasiswa pada masa reformasi ini akan menjadi bagian yang terpatri dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia. 1 Meskipun demikian, dari kenyataan di lapangan harus diakui bahwa gerakan mahasiswa sebagai salah satu kekuatan reformasi bukanlah kekuatan yang solid. Keragaman latar belakang, motivasi, visi politik serta orientasi masing-masing kesatuan aksi telah menjadikan gerakan mahasiswa tidak bisa dilihat
sebagai
entitas
yang
homogen.
Apalagi
jika
dilihat
dalam
perkembangannya kemudian, sangat sulit menempatkan unsur mahasiswa sebagai satu barisan monolitik dari civil society. 2 Terlalu banyak varian dan afiliasi terhadap kelompok-kelompok lain yang kemudian muncul sebagai variasi gerakan mahasiswa. Keragaman yang berujung pada friksi dan perselisihan tersebut sangat tampak dalam periode pasca mundurnya Soekarno-Soeharto. Salah satu fenomena yang bisa ditangkap adalah dalam tahap pengorganisasian kelompok gerakan, 1 2
Farchan Prisma, Analisis Kekuatan Politik Di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1995. hak : 112 Ibid, hal : 111
Universitas Sumatera Utara
yang dalam perkembangannya mengalami perubahan-perubahan. Perubahan dalam pengorganisasian ini bisa dilihat sebagai indikasi adanya keragaman gerakan mahasiswa tersebut dalam hal visi politik, latar belakang, orientasi dan dalam beberapa hal juga afiliasi politik. 3 Hal yang menjadi ironi adalah bahwa pergeseran pengorganisasian ini menjadi salah satu penyebab semakin menurunnya kekuatan gerakan mahasiswa sebagai salah satu unsur civil society 4 yang tengah mengawal proses transisi politik yang sedang berjalan ini. Soe hok gie adalah salah satu tokoh penting mahasiswa. Ia termasuk salah satu tokoh kunci dalam sejarah munculnya Angkatan ’66. 5 Sebuah sebuah angkatan dalam sejarah gerakan kaum terpelejar muda di Indonesia yang nyaris jadi legenda. Tahun-tahun antara sebelum 1967- dan setelah 1969 merupakan masa yang paling produktif bagi Soe Hok Gie. Dimana pada saat itu yang terjadi di tanah air adalah periode transisional selalu ditandai dengan situasi kondusif bagi munculnya pemikiran-pemikiran baru, kalau hendak mengatakan : radikal. 6 Indonesia saat itu sedang konflik, belum ada kekuasaan yang mengatur semuanya, belum ada sentralisasi dan penyeragaman produksi gagasan. Situasi seperti ini memungkinkan munculnya pemikiran-pemikiran baru dari mana saja. Namun, kesadaran subyektif
Soe hok gie juga turut menentukan.
Walaupun situasinya kondusif, kalau tidak memiliki keprihatinan sosial politik, tentu monomen itu akan lewat begitu saja. Ini hal yang membedakan Gie dengan
3
Ibid, hal : 129 A.Prasetyantoko, S.E, dkk, Gerakan mahasiswa dan Demokrasi di Indonesia. P.T Alumni, Bandung, 2001. hal : 2 5 Stan ley, Aris Santoso,Soe hok Gie : Zaman Peralihan, Jakarta : Gagas Media, 2005 hal : V 6 Ibid, hal : vi 4
Universitas Sumatera Utara
aktifis-aktifis mahasiswa pada masa itu, terutama sikap konsistennya. Sementara rekan seperjuangannya yang lain sebagian besar larut pada struktur kekuasaan, Gie memilih untuk tidak ikut arus dalam kekuasaan. Pemikiran Soe Hok Gie, baik yang lisan maupun tulisan, senantiasa menjadi perhatian banyak pihak. Tindak-tanduknya merupakan bagian dari apa yang diyakininya. Antara tindakan dan kata-kata sinkron dalam hidup seharihari Soe Hok Gie. Seorang Indolog terkemuka yang kebetulan teman dekat Soe Hok Gie; Ben Anderson, pernah memuji Soe Hok Gie, sebagai pemuda yang berani, karena dialah yang melontarkan pertama kali, tentang adanya penahanan besar-besaran di pelosok Jawa dan Bali, tanpa proses pengadilan. 7 Bagian ini tidak bisa dipisahkan ketika di negeri ini terjadi peralihan kekuasaan, dari Presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto. Serangkaian kegelisahan dan pertanyaan segera muncul. Bagaimana nasib bangsa ini setelah dalam kendali militer. Bagaimana kelanjutan kolaborasi mahasiswa dan militer setelah jatuhnya Presiden Soekarno, bagaimana peran teknokrat setelah bergabung dalam rezim Soeharto, bagaimana konsistensi gerakan mahasiswa Indonesia di masa Orde Baru, dan lain sebagainya. Dalam tulisannya “Kuli Penguasa atau Pemegang Saham” 8, Soe Hok Gie mempersoalkan keberlangsungan peran teknokrat dalam hegemoni militer masa Orde Baru. Dari tulisan ini, kita menjadi maklum, bahwa ternyata kelahiran Orde Baru bukanlah hal yang tiba-tiba. la telah dirintis sejak lama, 7
Benedict Anderson, the idea of power in Javanese Culture, dalam Stan ley, Aris Santoso,Soe hok Gie : Zaman Peralihan, Jakarta : Gagas Media, 2005 hal : vii 8 Mahasiswa Indonesia, 18 Mei 1969 dalam buku Stan ley, Aris Santoso,Soe hok Gie : Zaman Peralihan, Jakarta : Gagas Media, 2005 hal : 68
Universitas Sumatera Utara
ketika di akhir tahun 1950-an, Seskoad (Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat) di bawah pimpinan Brigjen Soewarto, merekrut kalangan akademisi, terutama akademisi yang menjadi korban Soekarno, seperti Prof. Sadli dan Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmaja. 9 Kerja-sama yang erat antara akademisi (kemudian lebih dikenal sebagai kaum teknokrat) dan militer, masih terus berlangsung hingga kini. Di masa awal Orde Baru, keterlibatan universitas sebagai pusat ilmu (dari mana kaum teknokrat berasal), memberikan peran yang tidak penting pada pemerintah militer setelah tahun 1966. Dalam setiap tulisannya, rasa idealisme Soe Hok Gie terasa kental. la tidak mampu menyembunyikan rasa galaunya dalam melihat realita di masyarakat, jika dihubungkan dengan idealisme kaum muda. Bagaimana idealisme setinggi langit menjadi sia-sia belaka, ketika harus menghadapi verbalisme pejabat, kepalsuan dan kedegilan 10.Mempertahankan idealisme ternyata bukan pekerjaan ringan, dan itu dirasakannya sendiri, ketika ia bergulat dalam catatan hariannya: “Di Indonesia hanya ada dua pilihan. Menjadi idealis atau apatis. Saya sudah lama memutuskan bahwa saya harus menjadi idealis, sampai batas sejauh-jauhnya” 11. Dengan kesedihan yang mendalam, ia melihat bagaimana rakyat di pedesaan dan mahasiswa kampus tercabik-cabik oleh perlombaan kepentingan politik arus atas. Dalam “Menaklukkan Gunung Slamet”, ia bercerita tentang 9
Stan ley, Aris Santoso, Ibid, hal : ix Indonesia Raya, 5 Januari 1970 Stanley, Aris Santoso,Soe hok Gie : Zaman Peralihan, Jakarta : Gagas Media, 2005 hal : 115 11 LP3ES, 1983, hal. 221. 10
Universitas Sumatera Utara
pandangannya dalam melihat Indonesia yang sebetulnya tidak berubah. Hipokrisi, cakar-cakaran, korupsi, dan tukang kecap masih menonjol. Malah para pemimpin mahasiswa yang tadinya kelihatan ‘idealis’ mendadak terserang dekadensi moral. Hidup rakyat kecil selalu dikepung slogan. Sebagai seorang bekas aktivis mahasiswa ia pernah menjabat sebagai Ketua Senat Mahasiswa FSUI dan seorang pendiri Mapala UI), Soe Hok Gie tahu benar betapa tidak sehatnya dunia kemahasiswaan. Termasuk di kampusnya sendiri. Dalam tulisan “Wajah Mahasiswa UI yang Bopeng Sebelah” 12; Soe Hok Gie dengan gaya keterusterangannya yang khas, mencoba membongkar kebobrokan di kalangan mahasiswa UI. Menurutnya, kebobrokan di lingkungan kecil setingkat kampus, sebenarnya merupakan pencerminan adanya kebobrokan pada lingkaran lebih luas: masyarakat dan pemerintahan. Kritik-kritik Soe Hok Gie terhadap dunia mahasiswa, agaknya masih relevan untuk diterapkan masa kini. Karena sama dengan dulu, mahasiswa-mahasiswa kita sekarang sangat berorientasi pada pemuasan kepentingan diri sendiri, tidak peka lagi pada masalah-masalah kemasyarakatan di tanah air. Persoalan peran yang harus diambil oleh seorang intelektual bagi masyarakat adalah persoalan klasik, karena persoalannya senantiasa berputarputar pada pertanyaan yang sama, yaitu dilema yang dihadapi kaum intelektual dalam menjalankan peranannya di masyarakat. la berada pada dua pilihan: tetap bersikap dingin atau selalu siap ikut turun langsung menangani persoalan. 12
Stan ley, Aris Santoso, Ibid, hal : 161
Universitas Sumatera Utara
Sementara yang terjadi di negeri kita, peran intelektual ‘sebatas’ pelegitimasian struktur penguasa. Begitulah yang terjadi akhir-akhir ini, agaknya ada pergeseran peran intelektual. Di masa pergerakan, kaum intelektual pula yang paling lantang menuntut dekolonisasi, seperti Soekarno, Hatta dan Tan Malaka. 13 Dan di masa kini pun banyak bermunculan intelektual ‘muda’ (maksudnya seusia Soe Hok Gie dulu) yang sering mempersoalkan secara kritis fenomena kemasyarakatan dan tirani kekuasaan. Agaknya hakikat intelektual memang sama dari waktu ke waktu. Selalu mempertanyakan, mencemaskan, memperingatkan, menegur, dan selalu tertakdir untuk kerap kali menerima pukulan balik dari penguasa. Edward Shils telah memberi kerangka pemikiran tentang posisi intelektual di negara-negara sedang berkembang. Menurut Shils, di negaranegara sedang berkembang, politik merupakan gelanggang yang tak mungkin dihindarkan kaum intelektual. 14 Betapa pun ia berusaha ‘menjaga jarak’. Membaca kembali tulisan-tulisan Soe Hok Gie, nampaknya almarhum telah melakukan apa yang harus diambil oleh kaum intelektual. Khususnya di negara berkembang seperti Indonesia ini. Seperti halnya pidato Bung Hatta di UI tahun 1957, yang pernah berharap pada sekalian intelektual (istilah Bung Hatta “intelegensia”) 15, untuk membangun Indonesia yang adil dan demokratis, disertai rasa tanggung jawab dan keberanian.
13
Ibid, hal : xv Ibid, hal : xiv 15 Ibid, hal : xiv 14
Universitas Sumatera Utara
Soedjatmoko juga pernah mengajukan pemikiran yang tak kalah abstraknya. Bahwa peran intelektual di negara berkembang memang berat. Karena ia harus menghasilkan gagasan-gagasan yang jernih bagi perkembangan masyarakatnya di masa depan, tanpa harus terpukau pada kekuasaan. 16 Batasan yang lebih konkret datang dari kakak Soe Hok Gie sendiri, Arief Budiman. Arief Budiman mengandaikan peran intelektual sebagai seorang resi, yang
dalam
waktu-waktu
tertentu
meninggalkan
pertapaannya
untuk
mengabarkan keadaan yang buruk. Sambil berharap penguasa akan mengubah keadaan buruk tersebut. Sebagaimana tampilan seorang resi, intelektual juga diasumsikan tidak memulai pamrih politik. 17 Selama hidupnya, almarhum telah melakukannya. Kalau pengandaian resi hendak diterapkan pada Soe Hok Gie, ia ibarat resi yang tak pernah duduk tenang di pertapaannya. la harus bolak-balik turun ke pusat pemerintahan, berhubung demikian banyaknya kekacauan yang akan ia ungkapkan. Pernyataan terakhir ini tidaklah mengada-ada, karena hampir semua ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat pernah ia ungkapkan, baik lisan maupun tulisan. Daya tarik tulisan Soe Hok Gie adalah keterusterangannya dalam menerobos kabut emosi dan kemunafikan. Kejernihan dan ketajaman pikirannya melihat gejala-gejala lama dalam wujud baru dengan bahasa yang lugas, sering membuat orang yang membaca tulisannya merah padam.
16 17
Ibid, hal : xiiv Ibid, hal : xv
Universitas Sumatera Utara
la juga tak segan-segan mengkritik rekan-rekannya sesama aktivis mahasiswa. Seperti yang ia lakukan bagi wakil-wakil mahasiswa yang duduk dalam DPR-GR, 18 dengan cara mengirimkan perlengkapan kecantikan (wanita), yang dimaksudkan agar wakil-wakil mahasiswa tersebut semakin tampil manis di mata pemerintah. Padahal wakil-wakil mahasiswa itu adalah rekan seperjuangannya dulu, saat bersama-sama menumbangkan Presiden Soekarno. Tetapi di mata Soe Hok Gie, komitmen perjuangan mereka menjadi tidak jelas, ketika mereka berlomba-lomba mencari kreditan mobil Holden. Langkah parodi Soe Hok Gie ini sempat membuat mereka terperangah. Namun sayang, momentum ini tidak terus bergulir, karena Soe Hok Gie keburu meninggal dunia. Dengan alasan di atas, studi terhadap latar belakang dan motivasi gerakan menjadi penting dilakukan agar diperoleh peta tentang kemajemukan gerakan mahasiswa tersebut. Sekaligus bisa mendapatkan gambaran tentang arah dan orientasi gerakan mahasiswa. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 2.1
Melihat keterkaitan munculnya gerakan mahasiswa dengan gerakan civil society secara umum. Dalam hal ini, gerakan mahasiswa tidak bisa dilihat sebagai variabel yang terpisah dari gerakan civil society secara umum, sehingga perlu melihat gambaran secara umum bagaimana keterkaitan
18
Francis Raillon, dengan masuk nya Rahmat Tolleng KeParlemen Ibid, hal : 59
Universitas Sumatera Utara
gerakan mahasiswa dengan proses demokratisasi dan kemunculan civil society secara umum?
2.2
Mengidentifikasi latar belakang beberapa kelompok gerakan mahasiswa yang memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Dalam kaitan dengan ini, penting juga untuk melihat visi politik dan perspektif demokratisasi para aktivis yang memelopori masing-masing kelompok gerakan. Ada benang merah dan perbedaan yang menonjol di antara kelompok gerakan mahasiswa ?
2.3
Mengidentifikasi orientasi, visi dan arah gerakan mahasiswa masa ankatan “66 dalam menghadapi proses demokratisasi secara luas yang sedang dalam proses ini. Terhadap isu apa saja, kelompok gerakan akan dipersatukan dan isu yang mana yang membedakan mereka?
C. Pembatasan Masalah Untuk menghindari terjadinya ruang lingkup penelitian yang terlalu luas sehingga mengaburkan penelitian, maka penulis menetapkan batasan-batasan spesifik mengenai hal-hal yang akan diteliti. Adapun batasan-batasan tersebut adalah : 1. Memberi gambaran yang relatif umum dari Tulisan Soe hok Gie tentang bagaimana wacana demokrasi yang berkembang dikalangan aktifis gerakan mahasiswa. 2. Menganalisa bagaimana peran pergerakan mahasiswa angkatan ’66 dalam menentang pemerintahan Soekarno, dalam kontek pemikiran Soe Hok Gie
Universitas Sumatera Utara
D. Tujuan Penelitian 1. Penelitian
ini
dimaksudkan
untuk
memberikan
informasi
yang
induktifterhadap sejarah, latar belakang, motifasi dan orientasi gerakan mahasiswa di Indonesia pada periode 1966 2. dengan informasi tersebut, diharapkan mampu menjadi peta bagi studi yang lebih mendalam mengenai latar belakang keadaan masa kini dan prospek gerakan mahasiswa kedepan. E. Manfaat Penelitian 1. Bagi
penulis
bertujuan
untuk
meningkatkan
serta
mengembangkan
kemampuan berpikir dan menulis serta mampu untuk lebih mendalami fenomena yang tejadi didalam sejarah politik Indonesia 2. Secara
akademis,
dapat
memberikan
sumbangan
pemikiran
bagi
perkembangan ilmu pengetahuan.
F. Kerangka Teoritis F.1. Hegemoni dan Politik Demokrasi - Radikal menurut Laclau dan Mouffe Laclau dan Mouffe menguraikan sejumlah revolusi demokratik dalam masyarakat Barat yang berlangsung semenjak Revolusi Perancis. Dengan merujuk pada analisa Claude Lefort mengenai mode institusi sosial baru, Laclau dan Mouffe memandang Revolusi Perancis sebagai momen kunci dari revolusi demokratik, di mana Revolusi Perancis merupakan afirmasi dari kekuatan rakyat (people) dan memperkenalkan sesuatu yang orsinil dan baru pada level
Universitas Sumatera Utara
pembayangan sosial (social imaginary). Patahan yang dibuat Revolusi Perancis dengan ancien régime disimbolisasikan dengan Declaration of the Rights of Man. 19 Revolusi demokratik lainnya adalah perjuangan kaum buruh di abad sembilanbelas yang mengkonstruksi tuntutan mereka berdasarkan perjuangan untuk kebebasan politik. Contoh yang diambil oleh Laclau dan Mouffe adalah gerakan Chartism di Inggris, yang dapat dilihat pada peran fundamental dari ideide radikalisme Inggris, yang dipengaruhi oleh Revolusi Perancis. Juga gerakan dewan-dewan pabrik di Italia dan Jerman pada akhir perang dunia pertama, dalam hal pembentukan gerakan dan menentukan tujuan-tujuan perjuangannya. Dalam feminisme pertanyaan-pertanyaan yang lahir adalah pertama akses perempuan terhadap hak-hak politik, kemudian kesamaan dalam ekonomi, dan yang lebih kontemporer adalah kesamaan dalam domain seksualitas. Sebelum perang dunia kedua, muncul rejim-rejim fasis di negara-negara Eropa, seperti Jerman dan Italia. Bangkitnya fasisme ini merupakan krisis bagi gerakan buruh. Menurut Laclau, bangkitnya fasisme dikarenakan krisis dalam gerakan buruh, di mana salah salah satu keberhasilan fasisme adalah kesuksesannya dalam “memisahkan” “rakyat” dan kelas pekerja. Ini yang oleh Laclau disimpulkan dengan, “Our thesis is that if fascism was possible it was because the working class, both in its reformist and its revolutionary sectors, had abandoned the arena of popular-democratic struggle”. 20 19 20
Ernesto Laclau and Chantal Mouffe, Hegemony and Socialist Strategy, hlm. 155. Ernesto Laclau, Politics and Idelogy in Marxist Theory, hlm. 124.
Universitas Sumatera Utara
Jadi bagi Laclau dan Mouffe, gerakan sosial harus mampu membangun revolusi demokratik yang bersifat populis, yang dapat mengakomodir tuntutan berbagai macam kelompok-kelompok seperti: kaum urban, kaum ekologis, antiotoriterian, anti-institusional, feminis, anti-rasis, gerakan etnis, gerakan regional, dan juga gerakan kaum minoritas dan kaum minoritas secara seksual. Sebagaimana sudah diuraikan pada bagian-bagian sebelumnya, analisis terhadap gerakan sosial Laclau dan Mouffe di dasarkan pada empat posisi teoritis, di mana sebagian di antaranya telah coba diuraikan. Gagasan pokok dari agenda politik gerakan sosial kiri yang ditawarkan oleh Laclau dan Mouffe adalam perjuangan untuk membangun apa yang mereka sebut demokrasi radikal-plural, dalam
konteks
munculnya
antagonisme-antagonisme
sosial
baru
dalam
masyarakat kapitalisme maju. Tesis Laclau dan Mouffe adalah bahwa gerakan sosial baru merupakan ekspresi dari antagonisme yang muncul dalam memberikan respon terhadap formasi hegemoni yang diinstal (installed) secara utuh di negara-negara Barat pasca perang dunia kedua, sebuah formasi dalam krisis saat itu. Format hegemoni tersebut diletakkan pada tempatnya semenjak awal abad ini. Juga adanya gerakangerakan sosial sebelum perang dunia kedua, namun berkembang secara utuh setelah perang, sebagai respon terhadap hegemoni dari formasi sosial yang baru. 21 Dalam formasi sosial baru ini, Laclau dan Mouffe melihat bukan hanya melalui penjualan tenaga individu-individu ditempatkan pada dominasi modal, tetapi juga melalui partisipasi mereka dalam banyak hubungan-hubungan sosial 21
Chantal Mouffe, “Hegemony and the New Political Subject”, hlm. 299.
Universitas Sumatera Utara
lainnya. Banyak ruang kehidupan sosial yang saat ini mengalami penetrasi oleh hubungan-hubungan kapitalisme, sehingga sepertinya hampir mustahil untuk keluar dari hubungan-hubungan tersebut. Budaya, waktu luang, kematian, seks, dan lainnya, saat ini menjadi wilayah-wiilayah bagi ekspansi modal untuk memperoleh keuntungan. Formasi sosial baru ini yang melahirkan sejumlah antagonisme sosial baru. Untuk menghadapi formasi sosial baru inilah, Laclau dan Mouffe menawarkan agenda demokrasi radikal-plural, sebagai agenda baru gerakan sosial untuk membangun sosialisme. Istilah radikal dalam konsepsi demokrasi plural, bisa bermakna antara lain: Pertama, demokrasi haruslah pluralis-radikal dalam artian pluralitas dari identitasidentitas yang berbeda tidaklah transenden dan tidak didasarkan pada dasar positif(is) apapun. Demokrasi radikal-plural dapat diintepretasikan sebagaimana dinyatakan Laclau dan Mouffe sebagai “the struggle for a maximum automatization of spheres on the basis of the generalization of the equivalentialegalitarian logic”. 22 Kedua, demokrasi radikal-plural, adalah di mana pluralisme dalam demokrasi, dan perjuangan untuk kebebasan dan persamaan (freedom and equality) yang dihasilkan, haruslah diperdalam (deepened) dan diperluas ke seluruh wilayah kehidupan masyarakat. 23 Interpretasi ini melihat demokrasi radikal-plural memerlukan pluralisasi demokrasi dan pemindahan revolusi demokratik pada wilayah sosial. 22 23
Ernesto Laclau and Chantal Mouffe, Hegemony and Socialist Strategy, hlm. 167. Chantal Mouffe, The Return of the Political, hlm. 18-19.
Universitas Sumatera Utara
Laclau dan Mouffe menyatakan bahwa, “[…] every project for radical democracy implies a socialist dimension, as it is necessary to put an end to capitalist relations of production, which are the root of numerous relations of subordination; but socialism is one of the components of radical democracy, not vice versa”. 24 Jadi perjuangan demokrasi radikal plural akan melibatkan di dalamnya sosialisasi produksi, tetapi “bukan berarti hanya buruh” yang mengatur, sebagaimana yang dipancangkan Marxisme klasik, namun partisipasi sepenuhnya dari semua subyek dalam pembuatan keputusan-keputusan mengenai apa yang akan diproduksi, bagaimana diproduksi, dan format bagaimana produk-produk akan didistribusikan. 25 Jadi tugas utama demokrasi radikal adalah memperdalam revolusi demokratik dan mengkaitkan berbagai perjuangan demokratik yang beragam. Tugas seperti itu mensyarakatkan penciptaan posisi-posisi subyek baru yang dapat menerima berbagai artikulasi yang sudah muncul secara umum, seperti antirasisme, anti-seksisme dan anti-kapitalisme. 26 Bagi Laclau dan Mouffe ini yang kemudian menjadi, “[…] requires from the Left an adequate grasp of the nature of power relations, and the dynamics of politics. What is at stake is the building of a new hegemony. So our motto is: ‘Back to the hegemonic struggle’”. 27
24
Ernesto Laclau and Chantal Mouffe, Hegemony and Socialist Strategy, hlm. 178. Ibid. 26 Chantal Mouffe, The Return of the Political, hlm. 18. 25
27
Ernesto Laclau and Chantal Mouffe, Hegemony and Socialist Strategy, hlm. xix.
Universitas Sumatera Utara
F.2. Gerakan Mahasiswa Dan Kebangkitan Gerakan Sosial Secara teoretis dapat dipertanyakan apa gerangan yang menjadi penyebab lahirnya sebuah gerakan sosial? Literatur ilmu politik menyediakan tiga pandangan teoretis. Pandangan pertama menjelaskan bahwa gerakan sosial itu dilahirkan oleh kondisi yang memberikan kesempatan (political opportunity) bagi gerakan itu. Pemerintahan yang moderat, misalnya, memberikan kesempatan yang lebih besar bagi timbulnya gerakan sosial ketimbang pemerintahan yang sangat otoriter. Kendala untuk membuat gerakan di negara yang represif lebih besar ketimbang di negara yang demokrat. Sebuah negara yang berubah dari represif menjadi lebih moderat terhadap oposisi, menurut pandangan ini, akan diwarnai oleh lahirnya berbagai gerakan sosial yang selama ini terpendam di bawah permukaan. 28 Pandangan kedua berpendapat bahwa gerakan sosial timbul karena meluasnya ketidak-puasan atas situasi yang ada. Perubahan dari masyarakat tradi-sional
ke
masyarakat
modern,
misalnya,
dapat
mengakibatkan
kesenjangan ekonomi yang makin lebar untuk sementara antara yang kaya dan yang miskin. Perubahan ini dapat pula menyebabkan krisis identitas dan lunturnya nilai-nilai sosial yang selama ini diagungkan. Perubahan ini akan menimbulkan gejolak di kalangan yang dirugikan dan kemudian meluasnya menjadi gerakan sosial.
28
Denny JA, Menjelaskan Gerakan Mahasiswa, Kompas, 25 April 1998, hal : 2
Universitas Sumatera Utara
Pandangan ketiga beranggapan bahwa gerakan sosial adalah semata-mata masalah kemampuan (leadership capability) dari tokoh penggerak. Adalah sang tokoh penggerak yang mampu memberikan inspirasi, membuat jaringan, membangun organisasi, yang menyebabkan sekelompok orang termotivasi terlibat dalam gerakan. 29 Ketiga pandangan ini dapat kita gabungkan dengan sedikit modifikasi untuk menjelaskan lahirnya gerakan mahasiswa di Tanah Air saat ini. Jelaslah gerakan ini dilahirkan oleh meluasnya ketidakpuasan di kalangan masyarakat luas. Krisis ekonomi dan ketidakpuasan atas situasi politik melahirkan baik gerakan mahasiswa di tahun 1966 ataupun di tahun 1998. 30 Bedanya, krisis ekonomi di tahun 1966 itu bertumpang tindih dengan polarisasi ideologis masyarakat (antara komunis dan antikomunis) di era perang dingin. Saat ini, krisis ekonomi 1998 bertumpang tindih dengan sesuatu yang kurang ideologis, seperti keraguan atas kompetisi birokratis pemerintah (korupsi, kolusi, nepotisme). Krisis di tahun 1966 secara keseluruhan memang lebih sensitif. Namun setelah tahun 1966, krisis 1998 lah yang terbesar. Gerakan ini juga disebabkan oleh pemerintah yang lebih moderat terhadap oposisi. Sifat
moderat
ini tidak harus berupa sikap sebenarnya dari
pemerintahan tapi moderat karena dipaksa oleh lingkungan. Di tahun 1966, pemerintah
lebih
pemerintah
sendiri.
29 30
moderat Elite
karena di
terjadinya
pemerintahan
pelemahan semakin
di
kalangan
terbelah
dan
Ibid, hal : 2 Ibid, hal : 3
Universitas Sumatera Utara
terpolarisasi antara pendukung dan anti-Soekarno. Perpecahan elite ini memberikan kesempatan politik (political opportunity) yang lebih besar bagi timbulnya gerakan sosial menentang kekuasaan. Dalam memahami arah perkembangan politik di Indonesia, telah terjadi suatu sakralisasi terhadap ideologi dan politik sebagai sesuatu yang tidak boleh dipersoalkan lagi. Masyarakat berada dalam sebuah tatanan yang bisu karena tidak diperkenankan melakukan diskusi dan pengembangan wacana seputar ideologi dan poltik. Karena itu, dipakailah konsep massa mengambang sebagai pelengkap dari orientasi pembangunan yang bertumpu pada proses modernisasi. Dengan demikian, negara telah memainkan peranannya untuk memonopoli kebenaran (monopoly of truth). Dengan landasan kehidupan negara dan masyarakat yang timpang seperti ini, perkembangan di bidang teknologi clan ekonomi telah mengakibatkan tercabut masyarakat dari akarnya. Pada kondisi seperti ini, umumnya masyarakat akan memiliki empat kecenderungan dalam berpikir, yaitu : a) tumbuhnya reifikasi, b) manipulasi, c) fragmentasi dan d) individual isasi. 31 Reifikasi adalah suatu anggapan bahwa segala sesuatu harus bisa diwujudkan dalam bentuk-bentuk lahiriah dan bisa diukur secara kuantitatif. Kepuasan baru muncul apabila orang dihadapkan pada barang secara material, angka, statistik, tingkah laku lahiriah, rupa, suara, ucapan dan lain-lainnya. Gejala reifikasi ini dalam perkembangannya akan melahirkan bentuk-bentuk materialisme (orientasi hanya pada meteri) dan legalisme, formalisme dan 31
A.Prasetyantoko, S.E, Op.cit, hal : 36
Universitas Sumatera Utara
ritualisme. Pendeknya, gejala reifikasi ini akan menjadikan sikap-sikap yang sama sekali tidak kritis. Gejala manipulatif adalah sesuatu yang umum dalam dunia modern. Kemajuan teknologi dan kebutuhan manusia yang semakin bervariasi memunculkan berbagai bentuk manipulasi keinginan manusia yang bertumpu pada pemuasan kebutuhan manusia yang tidak ada batasnya. Pola hidup konsumtif dan hedonis adalah sesuatu yang sangat berhubungan dengan fungsi manipulatif dari media massa dan teknologi. Fragmentasi terjadi ketika dalam suatu masyarakat terjadi sistem pembagian kerja yang sangat terspesialisasi sehingga manusia menjadi menyatu dengan identitas sempitnya dan meninggalkan identitas sosialnya. Akibatnya, manusia hanya dianggap sebagai kumpulan manusia dengan kotak-kotak jabatan, kedudukan, keahlian, tidak mempribadi atau impersonal. Di balik penghargaan yang terlalu berlebihan terhadap profesi, keahlian dan jabatan, martabat manusia yang seharusnya mendasari penghargaan itu semakin ditinggalkan. Sementara
individualisasi
terjadi
manakala
manusia
semakin
merenggangkan ikatan dirinya dengan masyarakatnya. Peranan individu menjadi dominan dalam kehidupan masyarakat. Keadaan seperti ini mendorong tumbuhnya sikap individualisme dan egoisme yang tidak sehat. Individualisme yang mempunyai kepercayaan terhadap kemampuan dirinya dalam berprestasi dan berinisiatif, menyebabkan hidupnya hanya mementingkan dirinya sendiri,
Universitas Sumatera Utara
tidak peka terhadap nilai-nilai kemanusiaan, cenderung bertindak serakah dan destruktif. Demikianlah kondisi masyarakat yang berada dalam ujung tanduk modernisasi. Masyarakat menjadi memiliki ciri-ciri yang semakin terseret pada perpecahan dan pertentangan yang tajam antara kepentingan individu dan masyarakat. Tidak konkruennya perkembangan ekonomi, sosial dan budaya akan mengakibatkan masyarakat berada dalam tegangan yang rentan terhadap pertarungan kepentingan individualistis. Untuk menjelaskan perubahan sosial dari perspektif transisi dinamika masyarakat ini tidaklah mudah, karena berkaitan dengan banyak faktor sosial budaya selain faktor politik. Dan dalam kerangka hubungannya dengan model negara otoritarian, sistem politik yang disertai dengan perkembangan idelogi dan organisasi telah gagal melakukan pembaruan untuk mengimbangi perkembangan yang terjadsi pada ranah sosial seperti dalam hal ekonomi, teknologi dan sistem informasi. Munculnya kesadaran masyarakat sipil akan muncul dalam bentuk kekuatan sosial yang bervariasi bukan saja yang berdimensi politik tetapi juga sosial. Demikian juga dengan agenda yang dibawa oleh kelompok-kelompok dalam masyarakat sipil juga akan sangat bervariasi. Ciri khas gerakan sosial pada masa ini adalah terfragmentasi dan relatif moderat. Gerakan sosial gaya baru (new social movement) ini ditandai dengan munculnya kelompok-kelompok sosial yang memiliki minat besar di bidang lingkungan, feminisme, konsumen dan hak asasi manusia.
Universitas Sumatera Utara
Gerakan mahasiswa yang berhasil menumbangkan rezim Soekarno adalah gerakan mahasiswa yang lahir pada konteks zaman tertentu, yaitu zaman yang diliputi oleh gejolak revolusi akibat krisis ekonomi. Ada banyak hal yang menyebabkan munculnya gerakan mahasiswa di Indonesia. Dan jawabannya selalu berada pada dua areal penting, yaitu penyebab internal dan penyebab eksternal. G. Metodologi Penelitian G.1 Metode Penelitian Metodologi
adalah
suatu
keseluruhan
landasan
nilai-nilai
(yang
menyangkut filsafat keilmuan), asumsi-asumsi, etika, norma yang menjadi aturanaturan standar yang dipergunakan untuk menafsirkan dan menyimpulkan data penelitian, didalamnya termasuk
kriteria untuk menilai kuantitas hasil
penelitian. 32 Di dalam menguji kebenaran hipotesis harus diperoleh data-data yang diperlukan dalam penelitian, G.2. Tehnik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian kualitatif, yaitu suatu analisis yang sifatnya berdasarkan penjelasan dan keterangan tentang objek yang dibahas dari sumber-sumber yang ada hubungannya dengan objek yang diteliti.
32
Bagong Suyanto, Sutinah (Ed), Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan, (Jakarta: Kencana, 2005) hal 223
Universitas Sumatera Utara
Penelitian kulitatif dapat diartikan sebagai penelitian yang menghasilkan data deskriptif mengenai kata-kata lisan maupun tertulis dan tingkah laku yang dapat diamati dari rang-orang yang diteliti. 33 Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data tersebut adalah dengan Library research (Penelitian Kepustakaan) yang sering juga disebut dengan metode dokumentasi. Penelitian dengan menggunakan studi pustaka ini dilakukan dengan cara menelusuri, mengumpulkan, dan membahas bahan-bahan informasi dari karangan-karangan yang termuat dalam buku, artikel-artikel yang termuat dalam jurnal yang berkaitan dengan penelitian ini. Teknik analisa data yang akan digunakan dalam penelitian ini mengacu kepada apa yang akan dilakukan dalam penelitian ini yaitu dengan mengumpulkan data dari berbagai sumber yang berasal dari perpustakaan maupun jurnal-jurnal yang berkaitan dengan penelitian ini. Kemudian semua data yang telah dikumpulkan disusun terlebih dahulu sebelum dilanjutkan ketahap berikutnya untuk memperoleh data yang akurat dan sesuai dengan tujuan penelitian dan untuk memperoleh hasil dari penelitian tersebut kemudian memberi kesimpulan terhadap data yang dianalisi tersebut. 7.3 Tehnik Analisa Data Penelitian ini bersifat deskriptif dengan arah tujuan memberikan gambaran mengenai situasi ataupun kondisi yang terjadi. Data-data yang terkumpul, baik data yang berasal dari kepustakaan dan sumber lain akan
33
Bagong Suyanto, Sutinah (Ed), Ibid, hal 166
Universitas Sumatera Utara
diexplorasi dengan menggunakan analisis deskriptif dan pendekatan sejarah secara mendalam tentang permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini.
H. Sistematika Penulisan BAB I
: Pendahuluan Bab ini terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, definisi konsep, metodologi penelitian, teknik pengumpulan data dan analisa data, serta sistematika penulisan.
BAB II
: Riwayat Hidup Soe Hok Gie.
BAB III
: Di Sekitar Demonstrasi-Demonstrasi Mahasiswa Di Jakarta Bab ini berisikan tentang Tulisan-tulisan Soe hok Gie dalam melihat relita Politik Indonesia pada Pemerintahan Soekarno dan Pemikiran Soekarno dalam menjalankan Pemerintahan.
BAB IV
: Peranan Soe hok Gie dalam Melihat Permasalah Mahasiswa dan Pemerintahan Indonesia Bab ini berisikan tentang data yang diperoleh dan analisis data mengenai Kondisi perpolitikan Mahasiswa dan
Pemerintahan
Indonesia pada Era Transis yang berimbas pada Masyarakat. BAB V
: Penutup Berisikan kesimpulan dan saran dari hasil penelitian ini
Universitas Sumatera Utara