BAB I PENDAHULUAN
Pada bagian ini akan dibahas mengenai pendahuluan yang terdiri atas latar belakang, rumusan permasalahan penelitian, pertanyaan riset, tujuan penelitian, kontribusi penelitian, dan jadwal penelitian. 1.1 Latar Belakang Terselenggaranya tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) merupakan prasyarat bagi setiap pemerintahan untuk mewujudkan aspirasi masyarakat dan mencapai tujuan serta cita-cita bangsa dan bernegara. Dalam rangka itu diperlukan pengembangan dan penerapan sistem pertanggungjawaban yang tepat, jelas, terukur, dan sah menurut hukum sehingga penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dapat berlangsung secara berdayaguna, berhasil guna, bersih dan bertanggung jawab serta bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Upaya pengembangan tersebut sejalan dengan dan didasarkan pada TAP MPR RI Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, dan Undang-Undang (UU) No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Dalam Pasal 3 UU tersebut dinyatakan bahwa asas-asas umum penyelenggaraan negara meliputi asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggara negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas, dan asas akuntabilitas.
1
Selanjutnya, muncul Instruksi Presiden (Inpres) Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah yang mewajibkan
setiap
instansi
pemerintah
sebagai
unsur
penyelenggaraan
pemerintahan negara untuk mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya serta kewenangan pengelolaan sumberdaya dengan didasarkan suatu perencanaan stratejik yang ditetapkan oleh masing-masing instansi. Pertanggungjawaban dimaksud berupa laporan yang disampaikan kepada atasan masing-masing, lembaga-lembaga pengawasan dan penilai akuntabilitas, dan akhirnya disampaikan kepada Presiden selaku kepala pemerintahan. Laporan tersebut menggambarkan kinerja instansi pemerintah yang bersangkutan melalui Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP). Saat ini instansi pemerintah cenderung menilai keberhasilan pelaksanaan program dan kegiatan hanya berdasarkan pada kemampuan instansi dalam menyerap/merealisasikan anggarannya atau hanya menekankan pada aspek input tanpa melihat output maupun outcome dari program dan kegiatannya (Supartini,2012). Hal ini mengindikasikan bahwa instansi pemerintah sepertinya cenderung lebih mementingkan pelaporan keuangannya dibandingkan dengan pelaporan kinerjanya, walaupun kedua sistem pelaporan ini sama pentingnya. Hal ini juga dapat dilihat dari munculnya fenomena kementerian/lembaga dan pemerintah daerah yang mengejar opini wajar tanpa pengecualian (WTP) atas laporan keuangan walaupun tetap berlangsung berbagai praktik KKN (Supeno, 2011). Hal ini tentu saja menunjukkan bahwa sistem pelaporan kinerja instansi pemerintah tersebut tidak berjalan dengan optimal.
2
Inpres Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) mewajibkan semua lembaga pemerintah untuk melaporkan kinerja mereka kepada pemerintah pusat. Meski dalam prakteknya, akuntabilitas ini tidak seperti yang diharapkan. Beberapa faktor penyebab atas kegagalan pelaksanaan akuntabilitas dalam pemerintahan Indonesia adalah heterogenitas lembaga pemerintah (Akbar, et.al., 2012), pelaporan yang bias (Solikin, 2005), dan kecenderungan pemerintah daerah untuk melaporkan program yang sukses dan tidak melaporkan program gagal (Nurkhamid, 2008). Akbar, et.al (2012) penerapan pengukuran kinerja pemerintah di Indonesia masih sebatas digunakan untuk memenuhi persyaratan pengukuran daripada membuat organisasi menjadi lebih efektif dan efisien sebagai akibat tekanan dari kewajiban peraturan dari pemerintah pusat. Pengukuran kinerja Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) dapat diukur dengan model Ongoing Performance Management & Measurement (OPM&M). OPM&M adalah pendekatan evaluasi dan perencanaan yang komprehensif dengan menggunakan model logika inovatif dan perluasan yang dikenal dengan sebutan cetak biru kinerja (Longo, 2004). Cetak biru kinerja adalah sebuah cara yang digunakan untuk mengidentifikasi dan mengukur kinerja sesuai dengan misi yang telah ditetapkan oleh perusahaan atau pemerintah dan keterkaitan antara misi dengan program yang dibuat (Longo, 2004). Keberhasilan suatu kinerja ditentukan dari apakah kinerja tersebut telah sesuai dengan indikator yang ditetapkan. Jika indikator kinerja disusun kurang baik atau tidak sesuai
3
dengan kinerja maka akuntabilitas yang dihasilkan pemerintah tidak ada artinya, oleh karena itu indikator kinerja juga harus diukur dan dievaluasi. Penyusunan indikator yang tepat diperlukan agar pengukuran kinerja menjadi lebih akurat. Menurut Mahmudi (2010), masalah potensial yang muncul dalam pengembangan indikator kinerja dan berdampak pada terdistorsinya sistem manajemen kinerja antara lain. 1. Input atau biaya tidak teralokasi pada program secara akurat. 2. Semua perhatian kualitas yang terjadi tidak tercatat. Jika seluruh atribut kualitas yang didekatkan terhadap semua level input dan output tidak dicatat secara akurat, maka efisiensi dan efektivitas yang dilaporkan akan mengalami kesalahan. 3. Adanya kegagalan dalam mempertimbangkan eksternalitas yang muncul dari suatu program dan tidak mencatat semua dampak negatif yang diakibatkan oleh program tersebut. 4. Faktor-faktor eksternal tidak dimasukkan dalam menyusun indikator kinerja, seperti perubahan ekonomi, sosial, politik, dan lingkungan demografis. Faktorfaktor tersebut dapat memberikan dampak terhadap efisiensi dan efektivitas. 5. Adanya kesalahan dalam melihat efisiensi rata-rata. Efisiensi marjinal dianggap sebagai efisiensi rata-rata, sehingga menimbulkan sumber daya ekstra yang dialokasikan ke suatu program. Keadaan tersebut menyebabkan efisiensi rata-rata tampak tinggi akan tetapi berdampak kecil terhadap output yang dihasilkan, sehingga efisiensinya menjadi terdistorsi.
4
6. Adanya kegagalan untuk mencegah terjadinya manipulasi kinerja oleh penyedia layanan. Masalah ini terjadi apabila aspek kinerja, seperti indikator kualitas atau indikator output tidak dicatat dengan baik. 7. Masalah sikap dan perilaku. Sikap dan perilaku dapat menyebabkan distorsi sistem manajemen kinerja. Sikap dan perilaku tersebut antara lain, adanya keengganan untuk berubah, ketidakyakinan terhadap indikator yang digunakan, motivasi yang rendah dari manajemen level operasional untuk memenuhi indikator
yang
ditetapkan,
manajemen
yang
tidak
mendukung
dan
kecenderungan untuk menghindari dinilai atau diukur kinerjanya. Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) khususnya Dinas Pekerjaan Umum Pengairan Provinsi Sumsel (Selanjutnya disebut DPUP) telah melaksanakan SAKIP sejak diterbitkannya Inpres Nomor 7 Tahun 1999 beserta peraturan pendukungnya. Meskipun demikian, peringkat (LAKIP) provinsi sumsel masih belum menunjukkan hasil yang optimal. Berikut ini adalah peringkat LAKIP Provinsi Sumsel dari tahun 2010-2013. Tabel 1.1 Hasil Peringkat LAKIP Provinsi Sumsel TAHUN 2010 2011 2012 2013 Sumber : Kemenpan, 2014
PERINGKAT LAKIP C C B B+
Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah berdasarkan hasil evaluasi LAKIP Provinsi Sumsel tahun 2014 masih terdapat ketidakselarasan antara penetapan sasaran strategis dan penyusunan indikator kinerja yang terdapat
5
dalam Rencana Strategis (Renstra), dan dokumen LAKIP Provinsi Sumsel. Peringkat yang rendah tersebut disebabkan juga karena penyusunan indikator kinerja dalam LAKIP DPUP Sumsel yang juga masih terdapat ketidakselarasan antara penetapan sasaran strategis dan penyusunan indikator kinerja yang terdapat dalam Renstra dan LAKIP DPUP Sumsel. Permasalahan tersebut disebabkan karena belum terintegrasinya sistem penyusunan indikator kinerja dalam LAKIP Provinsi Sumsel dan sistem penyusunan indikator kinerja dalam LAKIP DPUP Provinsi Sumsel. DPUP Provinsi Sumsel merupakan salah satu dinas di Provinsi Sumsel yang telah menjalankan sistem akuntabilitas kinerja. Beberapa permasalahan dan kekurangan yang terkait dalam pengukuran penyusunan indikator kinerja di DPUP Provinsi Sumsel adalah sebagai berikut :. 1. Belum selarasnya dokumen-dokumen perencanaan. 2. Indikator kinerja dalam pengukuran kinerja belum memenuhi kriteria indikator kinerja yang baik. 3. Tidak semua indikator mempunyai mekanisme pengumpulan data kinerja. 4. Indikator kinerja belum sepenuhnya menggambarkan hasil, belum cukup untuk mengukur kinerja dan masih belum selaras. Selain permasalahan diatas, permasalahan LAKIP Provinsi Sumsel mendapatkan penilaian C yang juga merupakan kontribusi DPUP Provinsi Sumsel dalam mendapatkan penilaian tersebut adalah sebagai berikut :
6
1. Masih adanya kesalahan adminsitrasi seperti jadwal dinas yang berbenturan, kelebihan tenaga outsourcing, dan belum lengkapnya syaratsyarat dalam surat pertanggungjawaban 2. Temuan yang belum ditanggapi pada tahun-tahun sebelumnya seperti kelebihan pembayaran yang belum di setor ke kas daerah 3. Masih adanya pekerjaan yang tidak mencapai target dalam pelaksanaannya seperti terlambat pengerjaan dan tidak tercapainya pelaksanaan program 4. Kekurangan volume pada bobot fisik pekerjaan 5. SDM yang tidak sesuai latar belakang pendidikan dengan tupoksinya. Adanya permasalahan tersebut menyebabkan penyusunan indikator kinerja dalam LAKIP DPUP Provinsi Sumsel tidak terlalu berhasil dalam menilai/ mengevaluasi keberhasilan program dan kebijakan pemerintah. Seharusnya LAKIP dapat mendorong pemerintah menciptakan tata kelola yang baik, memberikan masukan kepada pihak-pihak
yang berkepentingan dengan
pemerintah, serta meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dengan terwujudnya akuntabilitas kinerja. Namun demikian, pada kenyataannya kemampuan sistem pengukuran kinerja untuk meningkatkan kinerja, dan mewujudkan tata kelola masih sering dipertanyakan dan diperdebatkan. Sehingga perlu dilakukan evaluasi atas kesesuaian informasi antara sasaran strategis dengan indikator kinerja yang terdapat dalam dokumen perencanaan dan LAKIP DPUP Provinsi Sumsel.
7
1.2 Rumusan Permasalahan Studi Kasus Penyusunan indikator kinerja yang telah ditetapkan oleh DPUP Provinsi Sumsel seharusnya sesuai dengan Peraturan Menteri (Permen) Pendayagunaan Aparatur Negara Dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2014 Tentang Petunjuk Teknis Perjanjian Kinerja, Pelaporan Kinerja Dan Tata Cara peninjauan kembali Atas LAKIP sehingga menunjukkan keselarasan informasi. Keselarasan informasi antara sasaran kinerja dengan penyusunan indikator kinerja dengan permen tersebut menjadi penting karena, jika sasaran kinerja dengan penyusunan indikator kinerja tidak sesuai maka unit pelaksana program dan kegiatan tidak akan mampu mencapai target kinerja yang telah ditetapkan. Hal ini tentunya akan mengakibatkan buruknya kinerja pemerintah dan akan mempengaruhi penilaian pada laporan akuntabilitas kinerja pemerintah. Ruang lingkup penelitian ini akan lebih terfokus pada penyusunan indikator kinerja pada LAKIP DPUP Provinsi Sumsel. 1.3 Pertanyaan Penelitian a. Bagaimana kesesuaian penyusunan indikator kinerja LAKIP DPUP Provinsi Sumsel dengan Permen Pendayagunaan Aparatur Negara Dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2014? b. Bagaimana pengukuran kinerja OPM&M dengan model cetak biru kinerja dapat digunakan untuk mengevaluasi penyusunan indikator kinerja pada LAKIP DPUP Provinsi Sumsel?
8
1.4 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah a. Untuk menganalisis kesesuaian penyusunan indikator kinerja LAKIP DPUP Provinsi Sumsel dengan Permen Pendayagunaan Aparatur Negara Dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2014. b. Menganalisis pengukuran kinerja OPM&M dengan model cetak biru kinerja dapat digunakan untuk mengevaluasi penyusunan indikator kinerja pada LAKIP DPUP Provinsi Sumsel. 1.5 Kontribusi Penelitian a. Kontribusi Teoritis Penelitian ini dapat menjadi tambahan masukan bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian dibidang pengukuran dan penyusunan indikator kinerja dengan pendekatan OPM&M. b. Kontribusi Praktis Penelitian ini merupakan sumbangan pemikiran dan masukan bagi DPUP Provinsi Sumatera Selatan tentang pengukuran dan penyusunan indikator kinerja pada LAKIP dengan pendekatan OPM&M.
9