BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Keberhasilan suatu bangsa dalam pembangunan nasional sangat ditentukan oleh kemampuan bangsa untuk dapat memajukan kesejahteraan masyarakat, maka diperlukan dana untuk pembiayaan pembangunan guna mencapai tujuan yang diinginkan. Usaha untuk mencapai tujuan tersebut salah satunya adalah melalui pajak. Menurut undang-undang nomor 28 tahun 2007 pasal 1 ayat 1 mengatakan pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan
yang
bersifat
memaksa
berdasarkan
undang-undang
dengan
tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar - besarnya kemakmuran rakyat. Pada saat ini sebagai negara berkembang, Indonesia tengah gencar-gencarnya melaksanakan pembangunan di segala bidang baik ekonomi, sosial, politik, hukum maupun bidang pendidikan dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, mencerdaskan kehidupan bangsa secara adil dan makmur. Untuk mewujudkan tujuan dari Pembangunan Nasional tersebut setiap negara harus memperhatikan masalah pembiayaan. Salah satu usaha yang harus ditempuh pemerintah dalam mendapatkan pembiayaan yaitu dengan memaksimalkan potensi pendapatan yang berasal dari negara Indonesia sendiri yaitu salah satunya berasal dari pajak. Pajak merupakan salah satu sumber pembiayaan dalam pembangunan nasional yang berasal dari iuran masyarakat atas pendapatan yang diperolehnya, oleh karena itu peran masyarakat
dalam pembangunan nasional
harus terus ditumbuhkan dengan meningkatkan
kesadaran masyarakat tentang
pentingnya membayar pajak walaupun nantinya
manfaat dari membayar pajak tidak dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat. Direktorat Jenderal Pajak sebagai instansi pemerintahan di bawah Departemen Keuangan sebagai pengelola sistem perpajakan di Indonesia berusaha meningkatkan penerimaan pajak dengan mereformasi pelaksanaan sistem perpajakan yang lebih modern. Untuk mewujudkan tujuan tersebut salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah melakukan reformasi perpajakan. Reformasi atau perubahan sistem mendasar terjadi pada pengelolaan perpajakan Indonesia dari sistem Official Assessment ke sistem Self Assessment . Self assessment system dimana memberikan kepercayaan penuh terhadap Wajib Pajak (Wajib Pajak) untuk menghitung, membayar dan melaporkan sendiri kewajiban perpajakan kepada fiskus. Namun dalam pelaksanaannya, masih banyak Wajib Pajak yang tidak memenuhi kewajiban perpajakannya dengan baik sehingga timbul utang pajak. Mengutip data penerimaan perpajakan 2012-2013 yang dikeluarkan kementerian keuangan, realisasi sementara penerimaan pajak sepanjang tahun 2013 hanya tercapai Rp 1.071,1 triliun. Padahal anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) perubahan 2013 mematok target penerimaan negara sebesar Rp 1.148,4 triliun. Dengan realisasi sementara tersebut, penerimaan pajak sepanjang 2013 hanya mencapai 93,4% dari target. Tak tercapainya penerimaan pajak pada 2013 membuat pemerintah gagal mencapai target tax ratio yang dibidik (www.kemenkeu.go.id). Kencenderungan tidak tercapainya target penerimaan pajak setiap tahunnya menjadi dasar direktorat jenderal pajak untuk melakukan berbagai upaya untuk
mengatasi hal ini, antara lain dengan mengesahkan Undang-undang Nomor 19 tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 19 tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Undang-undang ini kemudian menjadi dasar untuk melakukan tindakan penagihan aktif, antara lain pelaksanaan penagihan seketika dan sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa, pelaksanaan penyitaan, serta pelaksanaan lelang yang bertujuan untuk menjual barang milik wajib pajak untuk melunasi utang pajaknya Pelaksanaan penagihan aktif ini dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak dengan menggunakan jurusita pajak sebagai ujung tombaknya. Jurusita Pajak adalah pegawai negeri sipil dalam lingkup departemen keuangan, yang diangkat oleh pejabat Direktorat Jenderal Pajak dan diberi wewenang untuk melaksanakan tindakan penagihan aktif sesuai dengan Undang-undang yang berlaku. Oleh karena itu, jurusita pajak memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya pengamanan penerimaan negara dari sektor pajak. Melihat hubungan dari pentingnya penerimaan pajak dan peranan Jurusita Pajak Negara, maka jelas terlihat betapa pentingnya tugas dari Jurusita Pajak Negara dalam suatu
peraturan pemerintah untuk menunjang penerimaan pajak melalui
pencairan tunggakan pajak dengan tindakan penagihan. Dari berbagai permasalahan diatas telah terjadi perhatian penulis untuk melakukan sebuah penelitian, penulis tertarik untuk melakukan penelitian berjudul ”Evaluasi Pelaksanaan Tugas Jurusita Pajak Negara Dalam Pencairan Tunggakan Pajak Di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Lubuk Pakam”.
1.2 Rumusan Masalah
Bedasarkan uraian pada latar belakang masalah diatas, maka permasalahan yang kan diteliti adalah, “Bagaimana Evaluasi Pelaksanaan Tugas Jurusita Pajak Negara Dalam Pencairan Tunggakan Pajak Di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Lubuk Pakam?”
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah: Untuk mengetahui dan mengevaluasi pelaksanaan tugas Jurusita Pajak Negara dalam pencairan tunggakan pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Lubuk Pakam.
1.4 Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Hasil Penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan pemikiran kepada
akademis
Ilmu
Administrasi
Negara,
terutama
konsentrasi
Administrasi Keuangan Negara tentang pelaksanaan tugas Jurusita Pajak Negara dalam pencairan tunggakan pajak. 2. Manfaat Praktis Hasil Penelitian ini juga diharapkan dapat digunakan untuk membantu dan memberikan informasi bagi pihak-pihak terkait, baik itu instansi pajak maupun wajib pajaknya.
1.5 Kerangka Teori Kerangka Pemikiran merupakan definisi yang dipakai oleh para peneliti untuk menggambarkan secara abstrak suatu fenomena sosial atau pun alami (Singarimbun, 1995: 17). Kerangka pemikiran dapat diartikan juga sebagai satu konseptual tentang bagaimana teori berhubungan dengan berbagai faktor yang telah diidentifikasi berbagai masalah yang penting (Sekaran dalam Sugiono, 2003: 65). Jadi kerangka pemikiran akan menjelaskan alur dari variable yang dijelaskan secara abstrak apa yang akan diteliti. Kerangka pemikiran yang terdapat dalam penelitian ini akan menggambarkan perpajakan dalam administrasi keuangan negara, Evaluasi, Tugas Jurusita Pajak Negara dan Pencairan Tunggakan Pajak.
1.5.1. Evaluasi Pengertian evaluasi dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti penilaian; hasil. Menurut Bryan & White (1987), evaluasi adalah upaya untuk mendokumentasi dan melakukan penilaian tentang apa yang terjadi dan juga mengapa hal itu terjadi, evaluasi yang paling sederhana adalah mengumpulkan informasi tentang keadaan sebelum dan sesudah pelaksanaan suatu program/rencana. Menurut Subarsono (2005:119) evaluasi berarti menilai tingkat kinerja suatu kebijakan. Menurut
Dunn (2003:601)
menyatakan
bahwa evaluasi
memberi
sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari pemilihan tujuan dan target. Pada dasarnya nilai juga dapat dikritik dengan menanyakan secara sistematis kepantasan tujuan dan target dalam hubungan dengan masalah yang dituju.
Pengertian evaluasi menurut Charles O. Jones dalam Aprilia (2009) adalah “evaluation is an activity which can contribute greatly to the understanding and improvement of policy development and implementation” (evaluasi adalah kegiatan yang dapat menyumbangkan pengertian yang besar nilainya dan dapat pula membantu penyempurnaan pelaksanaan kebijakan beserta perkembangannya). Pengertian tersebut menjelaskan bahwa kegiatan evaluasi dapat mengetahui apakah pelaksanaan suatu program sudah sesuai dengan tujuan utama, yang selanjutnya kegiatan evaluasi tersebut dapat menjadi tolak ukur apakah suatu kebijakan atau kegiatan dapat dikatakan layak diteruskan, perlu diperbaiki atau dihentikan kegiatannya. Menurut Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2006, Evaluasi adalah rangkaian kegiatan membandingkan realisasi masukan (input), keluaran (output), dan hasil (outcome) terhadap rencana dan standar. Menurut Ernest R. Alexander dalam Aminudin (2007), metode evaluasi dapat diklasifikasikan menjadi lima yaitu : 1. Before and after comparisons, metode ini mengkaji suatu obyek penelitian dengan membandingkan antara kondisi sebelum dan kondisi sesudahnya. 2. Actual versus planned performance comparisons, metode ini mengkaji suatu obyek penelitian dengan membandingkan kondisi yang ada (actual) dengan ketetapan perencanaan yang ada (planned) 3. Experintal (controlled) model, metode yang mengkaji suatu obyek penelitian dengan melakukan percobaan yang terkendali untuk mengetahui kondisi yang diteliti.
4. Quasi experimental models, merupakan metode yang mengkaji suatu obyek penelitian
dengan
melakukan
percobaan
tanpa
melakukan
pengontrolan/pengendalian terhadap kondisi yang diteliti. 5. Cost oriented models, metode ini mengkaji suatu obyek penelitian yang hanya berdasarkan pada penilaian biaya terhadap suatu rencana. Menurut
Siagian
(1989:141)
dalam
bukunya
Filsafat
Administrasi
mendefinisikan bahwa evaluasi sebagai suatu proses pengukuran dan perbandingan dari pada hasil-hasil pekerjaan yang nyatanya dicapai dengan yang seharusnya dicapai. Sedangkan menurut Aji (1990:30) evaluasi merupakan serangkaian usahausaha yang dilakukan untuk mengukur dan memberikan penilaian secara objektif terhadap pencapaian-pencapaian terhadap hasil-hasil yang telah direncanakan sebelumnya, dimana hasil-hasil evaluasi tersebut dimaksudkan untuk menjadi umpan balik perencanaan kembali. Menurut Sugiono (2003:10) terdapat dua jenis penelitian evaluasi yaitu: a) Evaluasi Formatif, digunakan untuk mendapatkan feedback dari suatu aktivitas
dalam
bentuk
proses,
sehingga
dapat
digunakan
untuk
meningkatkan kualitas atau produk yang berupa barang atau jasa. b) Evaluasi Sumatif, menekankan pada evektivitas pencapaian program yang berupa produk tertentu. Menurut Wibawa Evaluasi sumatif adalah suatu tipe evaluasi yang meliputi pemantauan usaha untuk mencapai tujuan dan sasaran formal setelah suatu kebijakan atau program dilaksanakan dalam kurun waktu panjang. Sedangkan evaluasi formatif merupakan suatu evaluasi formal yang meliputi usaha untuk secara terus menerus memantau pencapaian tujuan dan sasaran yang secara resmi diumumkan.
Dalam penelitian ini evaluasi yang digunakan yaitu evaluasi formatif, yang merupakan usaha yang dilakukan secara terus menerus untuk memantau proses pelaksanaan tugas Jurusita Pajak Negara untuk mencapai tujuan yaitu pencairan tunggakan pajak. Menurut Effendi (Nugroho:162) menjelaskan bahwa tujuan dari evaluasi implementasi kebijakan adalah untuk mengetahui variasi dalam indikator-indikator kinerja yang digunakan untuk menjawab tiga pertanyaan pokok, yaitu : 1. Bagaimana kinerja implementasi kebijakan publik. 2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi variasi tersebut. 3. Bagaimana strategi meningkatkan kinerja implementasi kebijakan publik. Dari tiga pertanyaan pokok diatas, maka jawabannya berkenaan dengan kinerja implementasi kebijakan publik serta berkenaan dengan faktor kebijakan itu sendiri kenapa belum dapat dilaksanakan. Jika dikaitkan dengan evaluasi tugas Jurusita Pajak Negara, maka disini bisa dilihat bagaimana pelaksanaan tugas Jurusita Pajak Negara, yang berkenaan dengan faktor-faktor penghambat atau kendala-kendala tugas Jurusita Pajak Negara dalam melakukan tugasnya untuk pencairan tunggakan pajak kenapa tidak dilaksanakan. Serta strategi dari jurusita pajak dalam meningkatkan kinerjanya untuk melakukan pencairan tunggakan pajak.
1.5.2 Definisi Pajak 1. Definisi Pajak Menurut Para Ahli
Menurut Rochmat Soemitro, mengatakan bahwa pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (dapat dipaksakan) dengan tidak mendapatkan jasa timbal (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukan dan dapat digunakan untuk membiayai penggunaan umum (Bohari, 1984:31). Sedangkan Andriani, memberikan definisi yang berbunyi bahwa pajak adalah iuran kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh orang yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan tidak dapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjukkan dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaranpengeluaran pemerintah dengan tugas pemeritah (Bohari, 1984:31). Soeparman Soemahamidjaja, memberikan definisi pajak yaitu iuran wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut oleh pengusaha berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum (Suandy,2008:9). Dan M.J.H. Smeets, memberikan definisi pajak yaitu pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma-norma umum, dan yang dapat dipaksakan, tanpa adakalanya kontraprestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal yang individual; maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran pemerintah (Suandy,2008:9).
2. Teori Pemungutan Pajak Teori pemungutan pajak menurut Judisseno (1996:17) adalah sebagai berikut : 1. Teori Bakti
Penekanan teori terletak pada negara yang mempunyai hak untuk memungut pajak dari warganya sebagai tindak lanjut teori kepentingan dalam hal penyediaan fasilitas umum yang diselenggarakan oleh negara. 2. Teori Daya Pikul Dalam teori ini, keadilan dan keabsahan negara dalam memungut pajak dari warganya
didasarkan
pada
kemampuan
dan
kekuatan
masing-masing
masyarakat dan bukan besar kecilnya kepentingan. 3.
Teori Daya Beli Teori ini menekankan bahwa negara adalah penyelenggara berbagai kepentingan yang mendukung kesejahteraan masyarakat dan negara. Berdasarkan pengertian tersebut, negara memiliki keadilan dan keabsahan dalam melakukan pemungutan pajak dari masyarakatnya.
4. Teori Asuransi Menurut teori ini, negara mempunyai tugas untuk melindungi warganya dari segala kepentingannya baik keselamatan jiwanya maupun keselamatan harta bendanya. Untuk perlindungan tersebut diperlukan biaya seperti layaknya dalam perjanjian asuransi diperlukan adanya pembayaran premi. Pembayaran pajak ini dianggap sebagai pembayaran premi kepada negara. Teori ini banyak ditentang karena negara tidak boleh disamakan dengan perusahaan asuransi. 5. Teori Kepentingan Menurut teori ini, dasar pemungutan adalah adanya kepentingan dari masingmasing warga negara. Termasuk kepentingan dalam perlindungan jiwa dan harta. Semakin tinggi tingkat kepentingan perlindungan, maka semakin tinggi pula pajak yang harus dibayarkan. Teori ini banyak ditentang, karena pada kenyataannya bahwa tingkat kepentingan perlindungan orang miskin lebih tinggi
daripada orang kaya. Ada perlindungan jaminan sosial, keehatan, dan lan-lain. Bahkan orang yang miskin justru dibebaskan dari beban pajak.
3. Fungsi Pajak Fungsi pajak ada dua, yaitu fungsi budgetair (sumber keuangan negara), artinya pajak merupakan salah satu sumber penerimaan pemerintah untuk membiayai pengeluaran baik rutin maupun pembangunan dan fungsi regularend (pengatur), artinya pajak sebagai alat untuk mengatur melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi serta mencari tujuan-tujuan tertentu di luar bidang keuangan (Resmi,2008:3).
4. Pembagian Pajak Pembagian pajak dibagi berdasarkan 3 peruntukannya, yaitu : 1. Berdasarkan Golongan a. Pajak langsung adalah pajak yang dipikul sendiri oleh wajib pajak, dimana tidak dapat dibebankan/dilimpahkan kepada pihak lain. Contoh: Pajak Penghasilan. b. Pajak tidak langsung adalah pajak yang pelimpahannya dilimpahkan oleh yang membayar pajak kepada orang lain (konsumen). Contoh : Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Penjualan Atas Barang Mewah. 2. Berdasarkan Sifatnya a. Pajak subjektifadalah pajak yang patokannya pada subjeknya, yaitu kepada wajib pajak itu sendiri. Contoh : Pajak Penghasilan
b. Pajak objektifadalah pajak yang patokannya kepada objek yang dikenai pajaknya, yaitu ditemukan dulu objeknya apa.Contoh : Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Penjualan Atas Barang Mewah (Waluyo,2010:12) 3. Berdasarkan Kewenangan Pemungutannya a. Pajak yang dipungut oleh pusatadalah pajak yang kewenangannya dipungut oleh pemerintah pusat, yang digunakan untuk pembangunan dan pengeluaran Negara (baik di pusat maupun daerah).Contoh : Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Penjualan Atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan P3 dan Bea Materai. b. Pajak yang dipungut oleh daerahadalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan uu, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan dearah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pajak Daerah Dibagi atas 2 bagian yaitu : 1. Pajak provinsi yang terdiri atas pajak kendaraan bermotor, bea balik nama kendaraan bermotor, pajak bahan bakar kendaraan bermotor, pajak air permukaan dan pajak rokok. 2. Pajak kabupaten/kota terdiri atas pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak mineral bukan logam dan batuan, pajak parkir, pajak air tanah, pajak sarang burung walet, pajak bumi dan bangunan sektor pedesaan dan perkotaan dan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan.
1.5.3 Penagihan Pajak
1. Pengertian Penagihan Pajak Pelaksanaan penagihan pajak yang tegas, konsisten dan konsekuen diharapkan akan dapat membawa pengaruh positif terhadap kepatuhan Wajib Pajak dalam membayarkan hutang pajaknya. Hal ini merupakan posisi strategis dalam meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak sehingga tindakan penagihan pajak tersebut dapat menyelamatkan penerimaan pajak yang tertunda. Kegiatan penagihan pajak merupakan ujung tombak dalam menyelamatkan penerimaan Negara yang tertunda, oleh sebab itu seksi penagihan merupakan seksi produksi yang paling dibanggakan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Dalam pelaksanaaanya penagihan pajak haruslah dilandaskan pada peraturan perundang – undangan yang berlaku., sehingga mempunyai kekuatan hukum baik bagi wajib pajak maupun aparatur pajaknya. Menurut Anang Mury Kurniawan (2011; 111) Penagihan Pajak adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita (Pasal 1 angka 9 UU No. 19/2000 tentang penagihan pajak dengan surat paksa).
2. Dasar penagihan Pajak Dalam buku KUP, Dasar penagihan pajak yaitu: 1) Pasal 18 ayat (1) UU KUP menyebutkan dasar penagihan pajak adalah:
a) Surat Tagihan Pajak(SPT) b) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) c) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)
d) Surat Keputusan Pembetulan,SuratKeputusan Keberatan, Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah. 2) Pasal 12 UU PBB menyebutkan dasar penagihan pajak adalah : a) Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) b) Surat ketetapan pajak c) Surat Tagihan Pajak (SPT) merupakan dasar penagihan pajak.
3. Tindakan Penagihan Pajak Proses penagihan pajak menurut Rudy Suharto dan Wirawan B ilyas (2010:80) Urutan
Tahapan Kegiatan
Waku
Dasar hukum
Penagihan
pelaksanaan kegiatan
1
Penerbitan
Surat
Teguran 7(tujuh)hari
atau Surat Peringatan atau saat
jatuh
Surat lain yang sejenis setelah utang
sejak Pasal 8 s.d 11 tempo permenkeu nomor pajak 24/PMK.03/2008
penanggung tidak
pajak
melunasi
pajaknya 2
Penerbitan surat paksa
Sudah lewat 21 hari (pasal
7
UU
sejak
Nomor
diterbuitkannya
dan pasal 15 s.d 23
surat
teguran
19/2000
/ peraturan menteri
surat peringatan dan keuangan nomeor penanggung tidak
pajak 24/PMK.03/2008
melunasi
utang pajak 3
Penerbitan
surat
perintah Setelah lewat 2x24 Pasal
melaksanakan penyitaan
jam
surat
12
UU
paksa Nomor 19/2000
diberitahukan kepada penanggung pajak
dan
pajak
utang belum
dilunasi 4
Pengumuman lelang
Setelah lewat waktu Pasal 26 peraturan 14
hari
sejak menteri keuangan
tanggal pelaksanaan nomor penyitaanan penanggung tidak
24/PMK.03/2008 pajak
melunasi
utang pajak 5
Penjualan / pelelangan barang Setelah lewat waktu Pasal sitaan
14
hari
pasal
28
penangnung peraturan menteri
pajak
tidak keuanagan nomor
melunasi
utang 24/PMK.03/2008
pajaknya
1.5.4 Penagihan Pajak dengan Surat Teguran 1. Pelaksanaan Surat Teguran
UU
sejak NOMOR 19/2000
pengumuman lelang dan dan
26
Menurut Rudy Suhartono dan Wirawan B Ilyas(KUP) Penerbitan Surat Teguran, Surat peringatan, atau Surat lain yang sejenis merupakan awal tindakan penagihan pajak sehingga hal tersebut menjadi pedoman tindakan penagihan pajak berikutnya yaitu penyampaian Surat Paksa dan sebagainya. Sesuai pasal 8 ayat (2) UU PPSP, Surat Teguran / Surat Peringatan atau Surat lain yang sejenis diterbitkan apabila penganggung pajak tidak melunasi utang pajak sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran Pasal 1 angka 10 UU PPSP menyebutkan bahwa Surat Teguran, Surat peringatan atau surat lain yang sejenis adalah Surat yang diterbitkan oleh Pejabat untuk menegur atau memperingatkan kepada wajib pajak untuk melunasi utang pajaknya
2. Penentuan tanggal jatuh tempo Dalam buku KUP oleh Rudy suhartono dan Wirawan B. Ilyas (2010;140) Penentuan tanggal jatuh tempo dalam penerbitan Surat Teguran sangat penting karena tanggal jatuh tempo menunjukkan timbulnya utang pajak dan juga mulai timbulnya wewenang melakukaan penagihan pajak 1. STP, SKPKB, SKPKBT, dan surat keputusan pembetulan, surat keputusan keberatan, putusan banding, serta putusan peninjauan kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu satu bulan setelah tanggal diterbitkan . 2. Bagi Wajib Pajak usah kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang – undangan perpajakan, jangka waktu
pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang menjadi paling lama 2 (dua) bulan 3. Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan (SPT PBB) harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterima oleh Wajib Pajak 4. SKPKB, SKPKBT, STP, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali dalam Bea atas Perolehan Hak atas Tanah dan / atau Bangunan, yang menyebabkan jumlah Bea yang harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterima oleh Wajib Pajak. 5. Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas SKPKB/SKPKBT, jangka waktu pelunasan pajak yang tidak disetunjui dalam pembahasan akhir hasil pemerikasaan, tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan 6. Dalam hal Wajib Pajak mengajukan banding atas Surat Keputusan Keberatan sehubungan SKPKB/SKPKBT, jangka waktu pelunasan pajak tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.
3. Penerbitan Surat Teguran Dalam buku KUP Pelaksanaan penagihan pajak dilakukan dengan menerbitkan Surat Teguran oleh Dirjen Pajak. Keputusan Dirjen Pajak yang menyetujui penanggung pajak untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak mengakibatkan tidak adanya upaya penagihan pajak kecuali penanggung pajak tidak menepati keputusan tersebut. Penerbitan Surat Teguran harus dilakukan dengan mempertimbangkan upaya hukum Wajib Pajak karena upaya hukum keberatan dan banding atas utang pajak mulai tahun pajak 2008
menyebabkan tertangguhnya jatuh tempo dengan syarat Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruhnya atas SKPKB/SKPKBT dalam pembahasan akhir, adalah sebagai berikut: 1. Apabila Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruhnya jumlah pajak yang terutang dalam pembahasan akhir dan ternyata tidak mengajukan permohonan keberatan atas ketetapan hasil pemeriksaan tersebut, Surat Teguran disampaikan setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pengajuan keberatan. Tujuan menunggu jatuh tempo pengajuan keberatan 3(tiga) bulan sejak diterbitkannya SKPKB/SKPKBT karena dalam jangka waktu tersebut Wajib Pajak mempunyai hak mengajukan permohonan keberatan 2. Apabila wajib pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruhnya jumlah pajak yang terutang dalam pembahasan akhir dan tidak mengajukan upaya permohonan banding atas keputusan keberatan SKPKB/SKPKBT, surat teguran disampaikan setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pengajuan banding Tujuan menunggu jatuh tempo pengajuan keberatan 3(tiga) bulan sejak diterbitkannyaSurat Keputusan atas keberatan SKPKB/SKPKBT karena dalam jangka waktu tersebut Wajib Pajak masih mempunyai hak mengajukan permohonan banding 3. Dalam hal Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, dan Wajib Pajak mengajukan: a) Permohonan
keberatan
atas
SKPKB/SKPKBT,
Surat
Teguran
disampaikan setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo berdasarkan Keputusan Keberatan (jatuh tempo keputusan keberatan adalah 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan keputusan tersebut)
b) Permohonan banding atas Keputusan Keberatan sehubungan dengan SKPKB/SKPKBT,Surat Teguran disampaikan setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo berdasarkan putusan banding (jatuh tempo putusan banding adalah 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan putusan tersebut) 4. Dalam hal Wajib Pajak menyetujui jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, Surat Teguran disampaikan setelah 7(tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pelunasan (1 bulan setelah tanggal penerbitan SKPKB/SKPKBT) Dalam
hal
Wajib
Pajak
mencabut
pengajuan
keberatan
atas
SKPKB/SKPKBT, Surat Teguran disampaikan setelah 7(tujuh) hari sejak tanggal pencabutan pengajuan keberatan tersebut. Surat Teguran dalam rangka penagihan pajak atas utang Pajak Bumi dan Bangunan dan atau Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana tercantum dalam STP PBB, SKBKB, SKBKBT, atau Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan atau Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah disampaikan kepada Wajib Pajak setelah 7(tujuh) hari sejak tanggal jatuh tempo. 1.5.5 Penagihan Pajak dengan Surat paksa 1. Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa(PPSP) Menurut Fidel (2010;47) UU PPSP yaitu : 1. Falsafah UU PPSP No.19/2000 a) Menampung
perkembangan
sistem
hukum
nasional
perlunya
dipertegaskan perolehan hak karena waris dan hibah wasiat yang merupakan objek pajak
b) Mendorong peningkatan kesadaran dan kepatuhan masyarakat dalam memenuhikewajiban perpajakannya c) Adanya kepastian hukum dan menegakkan keadilan 2. Tujuan perubahan UU PPSP No.19/2000 a) Banyaknya tunggakan pajak dari waktu ke waktu menunjukkan jumlah yang semakin besar, untuk itu perlu dilaksanakan tindakan penagihan pajak yang mempunyai kekuatan hukum yang memaksa b) Kepatuhan Wajib Pajak dalam membayar pajak merupakan posisi strategis dalam peningkatan penerimaan pajak c) Penagihan
pajak
berkesinambungan
yang
dilaksanakan
merupakan
wujud
secara
lawan
konsisten
enfercoment
dan untuk
meningkatkan kepatuhan yang menimbulkan aspek psikologis bagi Wajib Pajak d) Memberikan perlindungan hukum, baik kepada penanggung pajak maupun kepada pihak ketiga berupa hak untuk mengajukan gugatan. 3. Hal – hal yang menjadi perhatian pada UU PPSP No.19/2000 a) Mempertegaskan
proses
pelaksanaan
penagihan
pajak
dengan
menambahkan ketentuan Penerbitan Surat Teguran, Surat Peringatan dan Surat Lain yang sejenisnya sebelum Surat Paksa dilaksanakan b) Mempertegas jangka waktu pelaksanaan penagihan aktif c) Mempertegas pengertian penanggung pajak yang meliputi komisaris, pemegang saham, pemilik modal d) Menaikkan nilai peralatan usaha yang dikecualikan dari penyitaan dalam rangka menjaga kelangsungan usaha penanggung pajak e) Menambah jenis barang yang penjualannya dikecualikan dari lelang
f) Mempertegas besarnya biaya penagihan pajak, yang didasarkan atas prosentase tertentu dari hasil penjualan g) Mempertegas bahwa pengajuan keberatan atau permohonan banding oleh wajib pajak tidak menunda pembayaran dan pelaksanaan penagihan pajak h) Memberi kemudahan pelaksanaan lelang dengan cara memberi batasan nilai barang yang diumumkan tidak melalui media massa dalam rangka efisiensi i) Memperjelas hak penanggung pajak untuk memperoleh ganti rugi dan permulihan nama baik dalam hal gugatannya dikabulkan j) Mempertegas pemberian sanksi pidana kepada pihak yang sengaja mencegah,
menghalang – halangi atau menggagalkan pelaksanaan
penagihan pajak.
2. Pelaksanaan Surat Paksa Menurut KUP Surat Paksa merupakan kegiatan pelaksanaan penagihan pajak yang dilakukan setelah penerbitan Surat Teguran / Surat Peringatan atau sejenisnya. Menurut pasal 1 angka 12 UU Penagihan Pajak, Surat Teguran, Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak.
3. Penerbitan Surat Paksa Menurut pasal 8 ayat (1) UU PPSP Surat Paksa diterbitkan apabila:
1. Penanggung pajak tidak melunais utang pajak sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran dan kepadanya telah diterbitkan Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis 2. Terhadap penanggung pajak telah dilaksanakan penagihan pajak seketika dan sekaligus 3. Penanggung pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak
4. Tata Cara Pemberitahuan Surat Paksa Tata cara pemberitahuan Surat Paksa diatur dalam pasal 10 ayat (1) UU PPSP yaitu pemberitahuan Surat Paksa dilakukan oeh juru sita dengan pernyataan dan penyerahan Surat Paksa kepada penanggung pajak yang dituangkan dalam berita acara.
5. Pemberitahuan Surat Paksa Kepada Orang Pribadi 1. Penanggung pajak ditempat tinggal tempat usaha atau di tempat lain yang memungkinkan 2. Orang dewasa yang bertempat tinggal bersama ataupun bekerja di tempat usaha penanggung pajak, apabila penanggung pajak yang bersangkutan tidak dapat dijumpai
3. Salah seorang ahli waris atau pelaksanaan wasiat atau yang mengurus harta peninggalannya, apabila Wajib Pajak meninggalk dunia dan harta warisan belumdibagi 4. Para ahli waris apabila penanggung pajak yang telah meninggla dunia dan harta warisan telah dibagi
6. Daluwarsa Penagihan Undang – Undang KUP juga mengatur mengenai jangka waktu bagi Dirjen Pajak untuk melakukan penagihan pajak. Apabila sudah melampaui jangka waktu yang ditentukan maka hak untuk melakukan penagihan pajak tersebut menjadi daluwarsa.
7. Jangka Waktu Hak Penagihan Pasal 22 UU KUP menyebutkan bahwa hak untuk malakukan penagiha pajak termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak, daluwarsa setelah malampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak penerbitan: 1. Surat Tagihan Pajak 2.
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
3. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan 4. Surat Keputusan Pembetulan 5. Surat Keputusan Keberatan 6. Putusan Banding 7. Putusan Peninjauan Kembali
Daluwarsa penagihan pajak 5 (lima) tahun dihitung sejak Surat Tagihan Pajak dan Surat Ketetapan Pajak diterbitkan. Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan pembetulan, keberatan, banding atau peninjauan kembali, daluwarsa penagihan pajak 5 (lima) tahun dihitung sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.
8. Tertangguhnya Daluwarsa Penagihan Pajak Menurut Pasal 22 UU KUP, daluwarsa penagihan pajak tertangguh apabila: 1. Diterbitkan Surat Paksa 2.
Ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun tidak langsung
3.
Diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
Dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daluwarsa penagihan pajak menjadi tertangguhkan dan dihitung 5 (lima) tahun sejak tanggal penerbitan atau pelaksanaan kegiatan tersebut di atas.
1.5.6 Tugas dan Kegiatan Juru Sita Pajak Negara 1. berdasarkan uraian jabatan tugas pokok dan fungsi jurusita pajak: a) Melaksanakan penerbitan Surat Teguran, Surat Paksa, Surat Perintah Melakukan Penyitaan dan Surat Permintaan Pemblokiran kepada Pimpinan Bank tempat kekayaan Penanggung Pajak tersimpan dalam rangka pencairan tunggakan pajak. b) Menyampaikan Surat Paksa, Surat Perintah Melakukan Penyitaan dan Surat Permintaan Pemblokiran kepada Pimpinan Bank tempat kekayaan Penanggung Pajak tersimpan dalam rangka pencairan tunggakan pajak. c) Membuat Permintaan Jadwal Waktu dan Tempat Lelang ke Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara sebagai Dasar Pelaksanaan Lelang Harta milik atau kekayaan Penanggung Pajak. d) Membuat konsep Pengumuman Lelang, Surat Pemberitahuan Lelang dan Surat Kesempatan Terakhir bagi Wajib Pajak. e) Membuat konsep Surat Pencabutan Sita/Pemblokiran dan Pembatalan Lelang Harta Wajib Pajak dalam hal Wajib Pajak Telah Melunasi Biaya penagihan dan Utang Pajaknya, dan atau karena putusan keberatan /banding. f) Melaksanakan penerbitan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus terhadap Wajib Pajak tertentu. g) Membuat konsep usulan pencegahan atau surat ijin penyanderaan terhadap Wajib Pajak tertentu. h) Melaksanakan penelitian setempat terhadap piutang pajak yang diperkirakan tidak dapat/tidak mungkin ditagih lagi. i) Membuat konsep nota dinas usulan pemeriksaan dalam rangka penagihanpajak (Delinquency Audit).
j) Membuat konsep usulan pencabutan pencegahan atau pemberitahuan pelepasan Penanggung Pajak yang disandera. k) Melaksanakan penerbitan Surat Perintah Penyanderaan terhadap Wajib Pajak/Penanggung Pajak tertentu. l) Melaksanakan pemberitahuan Surat Perintah Penyanderaan terhadap Wajib Pajak/Penanggung Pajak tertentu.
2.Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 Pasal 3 : 1. Melaksanakan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus Berdasarkan Pasal 13 dan 14 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Republik Indonesia Nomor 24/KMK.03/2008 tanggal 6 Februari 2008 Tentang tata cara pelaksanaan penagihan dengan surat paksa dan pelaksanaan penagihan seketika dan sekaligus, Penagihan Seketika dan Sekaligus adalah tindakan penagihan pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang pajak dari semua jenis pajak, Masa Pajak, dan Tahun Pajak. Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus dapat diterbitkan dalam hal: a. Wajib Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu, b. Penanggung Pajak memindahkan barang-barang yang dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan usahanya di Indonesia. c. Terdapat tanda-tanda bahwa penanggung pajak akan: 1) Membubarkan badan usahanya,
2) Memindahtangankan usahanya, 3) Menggabungkan usahanya, 4) Memekarkan usaha, 5) Melakukan perubahan bentuk usahanya, d. Badan usaha akan dibubarkan oleh Negara atau e. Terjadi penyitaan atas barang-barang penanggung pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan. Penerbitan surat perintah penagihan seketika dan sekaligus yaitu: a. Sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran, b. Tanpa didahului Surat Teguran, c. Sebelum jangka waktu 21 hari sejak Surat Teguran diterbitkan, atau d. Sebelum penerbitan Surat Paksa. 2. Melaksanakan Tindakan Penagihan mulai dari Penerbitan dan Pemberitahuan Surat Teguran, Penerbitan dan Pemberitahuan Surat Paksa, Pelaksanaan Penyitaan, dan Pelaksanaan Pelelangan. a. Penerbitan Surat Teguran Mengacu pada Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Republik Indonesia Nomor 561/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000 Tentang tata cara pelaksanaan penagihan seketika sekaligus dan pelaksanaan surat paksa Pasal 5, Surat Teguran diterbitkan apabila utang pajak yang tidak dilunasi setelah lewat 7 (tujuh) hari dari tanggal jatuh tempo . Surat teguran yaitu surat yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) untuk memberikan peringatan kepada Wajib Pajak untuk segera melunasi utang pajaknya. b. Penerbitan dan Pemberitahuan Surat Paksa
Mengacu pada Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Republik Indonesia Nomor 561/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000 Tentang tata cara pelaksanaan penagihan seketika sekaligus dan pelaksanaan surat paksa Pasal 9, Surat Paksa diterbitkan oleh Kepala KPP yang menerbitkan Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah yang menjadi dasar penagihan apabila: 1) Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak dan kepadanya telah diterbitkan Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis; 2) Terhadap Penanggung Pajak telah dilaksanakan penagihan seketika dan sekaligus; atau 3) Penanggung Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak. c. Pelaksanaaan Penyitaan Menurut Mardiasmo (2000: 286) penyitaan adalah tindakan jurusita pajak untuk menguasai barang penanggung pajak, guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak menurut peraturan perundang-undangan. Apabila utang pajak tidak dilunasi oleh penanggung pajak dalam jangka waktu 2x24 jam setelah surat paksa diberitahukan, pejabat menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan (SPMP). Tujuan dari penyitaan ini yaitu memperoleh jaminan pelunasan utang pajak dari Penanggung Pajak. Penyitaan dilaksanakan terhadap barang milik penanggung pajak yang berada di tempat tinggal, tempat usaha, tempat kedudukan, atau di tempat lain termasuk
yang penguasaannya berada di tangan pihak lain atau yang dijaminkan sebagai pelunasan utang tertentu yang dapat berupa: 1. Barang bergerak termasuk mobil, perhiasan, uang tunai, dan deposito berjangka, tabungan, saldo rekening Koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, obligasi saham, atau surat berharga lainnya, piutang,dan pernyataan modal pada perusahaan lain dan/atau 2. Barang tidak bergerak termasuk tanah, bangunan, dan kapal dengan isi kotor tertentu. Penyitaan terhadap penanggung pajak badan dapat dilaksanakan terhadap barang milik perusahaan, pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik modal, baik di tempat kedudukan yang bersangkutan, di tempat tinggal mereka maupun di tempat lain. Penyitaan dilaksanakan sampai dengan nilai barang yang disita diperkirakan cukup oleh jurusita pajak untuk melunasi utang pajak dan penagihan pajak. 1. Penyitaan
terhadap
perhiasan
emas,
permata,
dan
sejenisnya
dilaksanakan sebagai berikut: a. Membuat rincian tentang jenis, jumlah, dan harga perhiasan yang disita dalam suatu daftar yang merupakan lampiran berita acara pelaksanaan sita b. Membuat berita acara pelaksanaan sita 2. Penyitaan terhadap uang tunai termasuk mata uang asing dilaksanakan sebagai berikut: a. Menghirung terlebih dahulu uang tunai yang disita dan membuat rinciannya dalam suatu daftar yang merupakan lampiran berita acara pelaksanaan sita.
b. Membuat berita acara pelaksanaan sita. c. Menyimpan uang tunai yang telah disita dalam tempat penyimpanan yang selanjutnya ditempeli dengan segel sita dan kemudian
menitipkannya
pada
penanggung
pajak
atau
menitipkannya pada bank. 3. Penyitaan terhadap kekayaan penanggung pajak yang disimpan di bank berupa tabungan, saldo rekening Koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu dilaksanakan sebagai berikut: a. Pejabat mengajukan permintaan pemblokiran kepada bank disertai dengan penyimpanan salinan surat paksa dan surat perintah melaksanakan penyitaan. b. Bank wajib memblokir seketika setelah menerima permintaan pemblokiran
dari
pejabat
dan
membuat
berita
acara
pemblokiran, serta menyampaikan salinannya kepada pejabat dan penanggung pajak. c. Jurusita pajak setelah menerima berita acara pemblokiran dari bank memerintahkan penangggung pajak untuk member kuasa kepada bank agar memberitahukan saldo kekayaannya yang tersimpan pada bank tersebut kepada jurusita pajak d. Dalam hal penanggung pajak tidak memberikan kuasa kepada bank, pejabat meminta Bank Indonesia melalui Menteri Keuangan untuk memerintahkan bank untuk memberitahukan saldo kekayaan penanggung pajak yang tersimpan pada bank yang dimaksud.
e. Setalah saldo kekayaan yang tersimpan pada bank diketahui, jurusita pajak melaksanakan penyitaan dan membuat berita acara pelaksanaan sita, dan menyampaikan salinan berita acara pelaksanaan sita kepada penanggung pajak dan bank yang bersangkutan. f. Pejabat mengajukan permintaan pencabutan pemblokiran kepada bank setelah penanggung pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak. g. Pejabat
mengajukan
permintaan
pencabutan
pemblokiran
terhadap kekayaan penanggung pajak setelah dikurangi dengan jumlah yang disita apabila utang pajak dan biaya penagihan pajak tidak dilunasi oleh penanggung pajak sekalipun telah dilakukan pemblokiran. 4. Penyitaan terhadap surat berharga berupa obligasi, saham, dan sejenisnya yang diperdagangkan di bursa efek dilaksanakan sebagai berikut: a. Pemblokiran
rekening
efek
pada
kustodian
dilakukan
berdasarkan permintaan tertulis dai Direktur Jendral Pajak atau pejabat yang ditunjuknya kepada ketua badan pengawasan pasar modal dengan menyebutkan nama pemegang rekening atau nomor pemegang rekening sebagai penanggung pajak, sebab dan alasan perlunya pemblokiran tersebut dilakukan. b. Berdasarkan permintaan Direktur Jenderal Pajak atau pejabat yang ditunjuknya sebagaimana dimaksud huruf a, ketua badan pengawasan pasar modal dapat menyampaikan perintah tertulis
kepada kustodian untuk melakukan pemblokiran terhadap rekening efek penanggung pajak. c. Berdasarkan perintah tertulis dari ketua badan pengawas pasar modal, kustodian melakukan pmblokiran. d. Dalam hal permintaan pemblokiran tersebut disertai dengan permintaan keterangan tentang rekening efek pada kustodian, maka permintaan tertulis dari Direktur Jendral Pajak harus memuat nama pejabat yang berwenang mendapat keterangan tersebut. e. Kustodian yang melakukan pemblokiran dan memberikan keterangan tentang rekening efek pemegang rekening membuat berita acara pemblokiran dan berita acara pemberian keterangan. f. Berita acara pemblokiran dan berita acara pemberian keterangan tersebut disampaikan kepada DJP dan salinannya disampaikan kepada ketua pengawas pasar modal dan rekening sebagai penanggung pajak, selambat – lambatnya 2 (dua) hari kerja setelah
pemblokiran
dan
pemberian
keterangan
tersebut
dilakukan. g. Jurusita pajak melaksanakan penyitaan atas efek dan/atau dana dalam rekening efek pada kustodian segera setelah menerima berita acara pemblokiran rekeningdan berita acara pemberian keterangan. h. Jurusita pajak yang melakukan penyitaan harus membuat berita acara pelaksanaan sita yang ditandatangani oleh jurusita pajak, penanggung pajak, dan saksi – saksi.
i. Dalam hal penanggung pajak tidak hadir, berita acara pelaksanaan sita ditandatangani oleh jurusita pajak dan saksi – saksi. j. Berita acara pelaksanaan sita disampaikan kepada penanggung pajak, dan salinannya disampaikan kepada ketua badan pengawas pasar modal dan kustodian. k. Pejabat
mengajukan
permintaan
pencabutan
pemblokiran
terhadap rekening efek penanggung pajak kepada kustodian, setelah penanggung pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak. l. Pejabat
mengajukan
permintaan
pencabutan
pemblokiran
terhadap rekening efek penanggung pajak setelah dikurangi dengan jumlah yang disita apabila utang pajak dan biaya penagihan pajak tidak dilunasi oleh penanggung pajak sekalipun telah dilakukan pemblokiran. m. Efek yang diperdagangkan dibursa yang telah disita, dijual di bursa melalui perantara pedagang efek anggota bursa atas permintaan pejabat. 5. Penyitaan terhadap surat berharga berupa obligasi, saham , dan sejenisnya yang tidak diperdagangkan di bursa efek dilaksanakan sebagai berikut: a. Melakukan inventarisasi dam membuat rincian tentang jenis, jumlah, dan nilai nominal, atau perkiraan nilai lainnya dari surat berharga yang disita dalam suatu daftar yang merupakan lampiran berita acara pelaksanaan sita.
b. Membuat berita acara pelaksanaan sita. c. Membuat berita acara pengalihan hak surat berharga atas nama dan penangung pajak kepada pejabat. 6. Penyitaan terhadap piutang dilaksanakan sebagai berikut: a. Melakukan inventarisasi dan membuat rincian tentang jenis dan jumlah piutang yang disita dalam suatu daftar yang merupakan lampiran berita acara pelaksanaan sita. b. Membuat berita acara pelaksanaan sita. c. Membuat berita acara persetujuan pengalihan hak menagih piutang dari penanggung pajak kepada pejabat, dan salinannya disampaikan kepada penanggung pajak dan pihak yang berkewajiban membayar utang. 7. Penyitaan terhadap penyertaan modal pada perusahaan lain yang tidak ada suratnya dilaksanakan sebagai berikut: a. Melakukan inventarisasi dan membuat rincian tentang jumlah penyertaan modal pada perusahaan lain dalam suatau daftar yang merupakan lampiran berita acara pelaksanaan sita. b. Membuat berita acara pelaksanaan sita. c. Membuat akte persetujuan pengalihan hak penyertaan modal pada perusahaan lain dari penanggung pajak kepada pejabat, dan salinannya disampaikan kepada perusahaaan tempat penyertaan modal. Penyitaan terhadap barang barang yang telah disita oleh kejaksaan atau kepolisian sebagai barang bukti dalam kasus pidana, baru dapat dilaksanakan setelah barang bukti tersebut dikembalikan kepada penanggung pajak. Barang yang telah
disita dititipkan kepada penanggung pajak, kecuali apabila menurut pertimbangan jurusita pajak barang sitaan tersebut perlu disimpan di kantor pejabat atau di tempat lain. Dalam hal penyitaan tidak dihadiri oleh penanggung pajak, barang yang telah disita dititipkan kepada aparat pemerintah daerah setempat yang menjadi saksi dalam pelaksanaan sita. Tempat lain yang dapat digunakan sebagai tempat penitipan barang yang telah disita adalah kantor pegadaian, bank, kantor pos, atau tempat lain yang ditetapan oleh Menteri Keuangan. Barang bergerak memiliki penanggung pajak yang dikecualikan dari penyitaan adalah: a. Pakaian dan tempat tidur beserta perlengkapannya yang digunakan oleh penanggung pajak adan keluarga yang menjadi tanggungannya. b. Persediaan makanan dan minuman untuk keperluan satu bulan beserta peralatan memasak yang berada di rumah. c. Perlengkapan penanggung pajak yang bersifat dinas yang diperoleh dari Negara. d. Buku – buku yang bertalian dengan jabatan atau pekarjaan penanggung pajak dan alat – alat yang dipergunakan untuk pendidikan, kebudayaan, dan keilmuan. e. Peralatan dalam keadaan jalan yang masih digunakan untuk melaksanakan pekerjaan atau usaha sehari – hari dengan jumlah seluruhnya tidak lebih dari Rp.20.000.000. f. Peralatan penyandang cacat yang digunakan oleh penanggung pajak dan keluarga yang menjadi tanggungan. d. Pelaksanaan Pelelangan
Lelang menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 adalah setiap penjualan barang dimuka umum dengan cara penawaran harga secara lisan dan atau tertulis melalui usaha pengumpulan peminat atau calon pembeli. Apabila utang pajak tidak dilunasi setelah dilakukaanya penyitaan, maka Jurusita Pajak Negara berwenang melakukan penjualan secara Lelang. Penjualan secara lelang terhadap barang yang disita dilaksanakan paling singkat 14 hari setelah pengumuman lelang melalui media masa. Tujuan utama dari dilaksanakannya lelang ini yaitu untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak dengan tetap memberi perlindungan kepada Penanggung Pajak agar lelang tidak dilaksanakan secara berlebihan. Apabila utang pajak dan/atau baiaya penagihan pajak tidak dilunasi setelah dilaksanakan penyitaan, pejabat berwnang melaksanakan penjualan secara lelang terhadap barang yang disita melalui kantor lelang. Pengecualian penjualan lelang dilakukan terhadap objek sita berupa deposito berjangka, tabungan, saldo rekening korang, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu dan barang sitaan mudah rusak atau cepat busuk. a. Prosedur Lelang 1) Penjualan secara lelang terhadap barang yang disita dilaksanakan paling singkat 14 hari setelah pengumuman lelang melalui media 2) Pengumuman lelang dilaksanakan paling singkat 14 hari setelah penyitaan 3) Pengumuman lelang untuk barang bergerak dilakukan 1 kali dan untuk barang tidak bergerak 2 kali 4) Pengumuman lelang terhadap barang dengan nilai paling banyak Rp. 20.000.000 tidak harus diumumkan di media massa
5) Pejabat bertindak sebagai penjual atas barang yang disita mengajukan permintaan lelang kepada kantor lelang sebelum lelang dilaksanakan 6) Pejabat jurusita pajak tidak diperbolehkan membeli barang sitaan yang di lelang. Larangan ini berlaku juga terhadap istri , keluarga sedarah, dan semenda dalam keturunan garis lurus, serta anak angkat 7) Pejabat atau yang mewakiliny menghadiri pelaksanaan lelang untuk menentukan dilepas atau tidaknya barang yang dilelang dan menandatangani asli risalah lelang 8) Pejabat jutusita pajak yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam no 6 dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang – undangan 9) Perubahan besarnya nilai barang yang tidak harus diumumkan melalui media massa. b. Pelaksanaan Lelang 1) Lelang tetap dapat dilaksanakan walaupun keberatan yng diajukan oleh wajib pajak belum memproleh keputusan keberatan 2) Lelang tetap dapat dilaksanakan tanpa dihadiri oleh penanggung pajak 3) Lelang tidak dapat dilaksanakan apabila penanggung pajak telah melunasi utang dah biaya penaguhan pajak, atau bedasarkan putusan pengadilan atau putusan badan peradilan pajak atau objek lelang musnah.
c. Hasil Lelang
1) Hasil lelang dipergunakan terlebih dahulu untuk membayar biaya penagihan pajak yang belum dibayar dan sisanya membayar utang pajak. 2) Dalam hal penjualan secara lelang, biaya penagihan pajak ditambah 1% dari pokok lelang 3) Dalam hasil lelang sudah mencapai jumlah yang cukup untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak, pelaksanaan lelang dihentikan walaupun barang yang akan dilelang masih ada 4) Sisa barang beserta kelebihan uang hasil lelang dikembalikan oleh pejabat kepada penanggung pajak segera setelah pelaksanaan lelang 5) Hak penanggung pajak atas barang yang telah dilelang berpindah kepada pembeli kepadanya diberikan risalah lelang yang merupakan bukti otentik sebagai dasar pendaftaran dan pengalihan hak. 3. Melakukan Pemblokiran Rekening. Istilah pemblokiran berdasarkan pasal 1 angka 8 Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 563/KMK.04/2000 Pemblokiran adalah tindakan pengamanan harta kekayaan milik Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank dengan tujuan agar terhadap harta kekayaan dimaksud tidak terdapat perubahan apapun, selain penambahan jumlah atau nilai. Harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank meliputi rekening, simpanan dan bentuk simpanan lain yang lazim dalam praktek perbankan. Pimpinan bank atau pejabat bank yang ditunjuk wajib melaksanakan pemblokiran terhadap harta kekayaan Penanggung Pajak dimaksud seketika setelah menerima permintaan pemblokiran dari KPP. Sebelum dilakukan pemblokiran, Penanggung Pajak dapat mengajukan permohonan
kepada kepala KPP menggunakan harta yang diblokir tersebut untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak. 4. Melaksanakan Penyanderaan Penyanderaan dalam rangka penagihan pajak dengan Surat Paksa di Indonesia merupakan salah satu upaya penagihan pajak yang wujudnya berupa pengekangan sementara waktu terhadap kebebasan Penanggung Pajak dengan menempatkannya di tempat tertentu, yaitu rumah tahanan Negara yang terpisah dari tahanan lain. Penyanderaan Penanggung Pajak tidak mengakibatkan hapusnya utang pajak dan terhentinya pelaksanaan penagihan pajak. Sekalipun terhadap Penanggung Pajak telah dilakukan penyanderaan, tindakan penagihan tidak terhenti dan tetap dilakukan. Kriteria penanggung pajak yang akan disandera: a) Mempunyai utang pajak sekurang-kurangnya Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) yang meliputi seluruh jenis pajak dan tahun pajak. Jumlah tersebut merupakan syarat kuantitatif dan sekaligus menunjukkan bahwa penyanderaan tidak ditujukan kepada Penanggung Pajak yang berpenghasilan kecil. b) Diragukan itikad baiknya dalam melunasi utang pajak, yang merupakan syarat kualitatif. c) Tidak melunasi utang pajak setelah lewat jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal Surat Paksa diberitahukan kepada Penanggung Pajak, dan d) Telah mendapat izin tertulis dari Menteri Keuangan Republik Indonesia. Jangka Waktu Penyanderaan
5. Pencairan Tunggakan Pajak Mengacu pada ketentuan Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir menjadi Undang-Undang 28 Tahun 2007, penagihan pajak secara aktif akan dilakukan bila terdapat tunggakan pajak. Tunggakan pajak timbul karena adanya utang pajak dengan diterbitkannya Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak harus dibayar bertambah, yang tidak dibayar sampai dengan jangka waktu tertentu. Jangka waktu seluruh ketetapan diatas menurut ketentuan Pasal 9 ayat (3) UU Nomor 28 Tahun 2007 adalah 1 (satu) bulan sejak diterbitkannya. 1) Pembayaran melalui Surat Setoran Pajak (SSP) Pembayaran pencairan tunggakan pajak dilakukan di kantor pos dan bankbank
yang
ditunjuk
sebagai
penerima
pembayaran
pajak
dengan
menggunakan SSP. Sekarang hampir semua bank merupakan bank yang bisa menerima pembayaran pajak. Jadi, pembayaran pajak tidak dilakukan di kantor pajak. Kantor Pelayanan Pajak hanya mengadministrasikan pelaporan pajak serta melakukan pengawasan terhadap kebenaran pelaporan tersebut. Pembayaran pajakpun bisa dilakukan di mana saja tidak tergantung pada tempat domisili Wajib Pajak atau tempat kedudukan Kantor Pelayanan Pajak. 2) Pencairan melalui Pemindahbukuan (Pbk) Selain SSP wajib pajak juga dapat menggunakan cara pembayaran melalui Pemindahbukuan (Pbk) yaitu suatu cara pembayaran pajak yang dilakukan dengan cara saldo kekayaan Wajib Pajak dipindahbukukan ke rekening Kas Negara dengan
menggunakan Surat Setoran Pajak dengan penyetor adalah Juru Sita. Setelah utang pajak lunas, rekening Wajib Pajak akan diusulkan dibuka kembali. 3) Pencairan karena Keberatan Keberatan merupakan suatu cara yang dilakukan oleh Wajib Pajak kepada Direktorat Jenderal Pajak apabila merasa kurang atau tidak puas atas suatu ketetapan pajak yang dikenakan kepadanya atau atas pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga. Dari syarat untuk mengajukan keberatan, yaitu dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak, maka Wajib Pajak wajib melunasi pajak yang harus dibayar paling sedikit sejumlah yang disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, sebelum surat keberatan disampaikan. Dengan adanya pengajuan keberatan tersebut maka, tunggakan pajak akan cair minimal sejumlah yang disetujui wajib pajak 4) Pencairan karena Banding Apabila Wajib Pajak tidak atau belum puas dengan keputusan yang diberikan atas keberatan, Wajib Pajak dapat mengajukan banding kepada Pengadilan Pajak. Syarat banding tersebut salah satunya yaitu Jumlah pajak yang terutang dimaksud telah dibayar sebesar 50%. Oleh sebab itu apabila wajib pajak ingin melakukan banding terhadap keputusan keberatan, maka tunggakan pajak akan cair. 5) Pencairan karena peninjauan kembali Apabila pihak yang bersangkutan tidak atau belum puas dengan putusan Pengadilan Pajak, maka pihak yang bersengketa dapat mengajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak dan hanya dapat diajukan satu kali. Sama dengan pengajuan keberatan dan Banding, apabila wajib
pajak ingin mengajukan Peninjauan Kembali, maka wajib pajak tersebut harus membayar atau mencairkan tunggakan-tuggakan pajaknya. Dari lima pencairan tunggakan pajak diatas, yang akan dibahas pada penelitian ini yaitu pencairan melalui SSP dan Pbk, karena untuk pencairan karena keberatan, wajib pajak di KPP Pratama Lubuk Pakam, untuk tahun 2009 tidak pernah melakukan keberatan, dikarenakan wajib pajak sekarang takut untuk mengajukan keberatan. Dengan ketentuan yang berlaku sekarang, apabila wajib pajak melakukan keberatan, kemudian ditolak, maka pembayarannya menjadi 4 (empat) kali lipat dari tunggakan sebelumnya. Dikarenakan tidak adanya keberatan, maka proses banding dan peninjauan kembali pun tidak mencairkan tunggakan, karena banding dan peninjauan kembali merupakan proses lanjutan dari keberatan. 1.6 Definisi Konsep Definisi konsep adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial (Singarimbun, 1995:33) Dikaitkan dengan penelitian, maka definisi konsep penelitian ini adalah: 1. Evaluasi adalah proses sistematis untuk menentukan nilai sesuatu, (tujuan, kegiatan, keputusan, unjuk kerja, proses, orang, objek dan lain-lain) berdasarkan kriteria tertentu melalui penilaian. 2. Pelaksanaan tugas adalah kegiatan meliputi menentukan, mengelompokkan, mencapai tujuan, penugasan orang-orang dengan memperhatikan lingkungan fisik sesuai dengan hubungan kewenangan yang dilimpahkan terhadap setiap individu untuk melaksanakan kegiatan tersebut.
3. Jurusita Pajak Negara yaitu pelaksana tindakan Penagihan Pajak yang meliputi Penagihan seketika dan Sekaligus, pemberitauan Surat Paksa, melaksanakan Penyitaan atas barang Penanggung Pajak berdasarkan Surat Perintah
Melaksanakan
melaksanakan
Penyitaan,
Penyanderaan
melaksanakan
(gijzeling)
pemblokiran,
berdasarkan
Surat
dan
Perintah
Penyanderaan. 4. Pencairan Tunggakan Pajak merupakan realisasi penerimaan pajak yang berasal dari pencairan piutang pajak dari hasil tindakan penagihan yang dilakukan oleh Jurusita Pajak Negara 5. Evaluasi Pelaksanaan Tugas Jurusita Pajak Negara dalam Pencairan Tunggakan Pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Lubuk Pakam merupakan suatu proses untuk melakukan penilaian-penilaian terhadap kegiatan yang dilakukan oleh Jurusita Pajak Negara dalam proses tindakan penagihan untuk meningkatkan penerimaan pajak melalui pencairan tunggakan pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Lubuk Pakam.
1.7SISTEMATIKA PENULISAN BAB I
PENDAHULUAN Dalam hal ini menguraikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, definisi konsep dan sistematika penulisan.
BAB II
METODE PENELITIAN
Bab ini secara umum menguraikan tentang bentuk penelitian, lokasi penelitian, populasi dan sampel, teknik pengumpulan data, dan teknik analis. BAB III
DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN Bab ini memuat tentang gambaran umum atau karakteristik lokasi penelitian yang mencakup sejarah singkat, visi dan misi, tugas dan fungsi serta struktur organisasi.
BAB IV
PENYAJIAN DATA Bab ini membahas tentang hasil penelitian yang diperoleh dari lapangan selama penelitian berlangsung dan juga dokumen-dokumen lainnya yang akan dianalisa.
BAB V
ANALISIS DATA Bab ini berisikan tentang kajian dan analisa data yang diperoleh dari lapangan saat penelitian dan memberikan interpretasi terhadap masalah yang diajukan
BAB VI
PENUTUP Bab ini menguraikan kesimpulan dan saran dari penulis mengenai hasil penelitian yang telah dilakukan.