BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Geguritan sampai saat ini masih digemari oleh masyarakat pencinta sastra khususnya dan masyarakat Bali pada umumnya. Hal ini dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Bali baik pada upacara keagamaan, maupun pada media masa cetak dan elektronik berupa siaran televisi maupun siaran radio. Proses penciptaannya tidak hanya terjadi pada masa lampau saja, namun hingga kini proses kreativitas penciptaan geguritan masih berlangsung dengan berbagai macam topik utama dan kejadian-kejadian yang sedang hangat dalam masyarakat. Ini membuktikan bahwa geguritan masih sangat diminati oleh masyarakat. Geguritan adalah karya atau gubahan yang ada dan tumbuh subur dalam masyarakat Bali. Geguritan sebagai salah satu kesusastraan Bali tradisional merupakan suatu bentuk karya sastra yang dibentuk dengan pupuh-pupuh. Pupuhpupuh tersebut diikat oleh beberapa syarat yang biasa disebut pada lingsa. Pada lingsa meliputi banyaknya baris dalam tiap-tiap bait (pada), banyaknya suku kata dalam tiap-tiap baris (carik), dan bunyi akhir dalam tiap-tiap barisnya (Agastia, 1980: 17). Di Bali pupuh yang terkenal ada sepuluh buah, yaitu : Ginada, Ginanti, Sinom, Pangkur, Maskumambang, Durma, Mijil, Pucung, Semarandana dan Dandang (Agastia, 1980: 18). Karya sastra geguritan yang menggunakan beberapa jenis pupuh misalnya : Geguritan Japatuan, Geguritan Tamtam, Geguritan Sampik, Geguritan
1
Luh Lutung, Geguritan Cangak dan sebagainya. Namun ada juga beberapa pengarang dalam karyanya hanya memakai satu jenis pupuh saja, misalnya: Geguritan Basur, Geguritan Gunatama, Geguritan Jayaprana, Geguritan Pakang Raras dan sebagainya. Geguritan merupakan puisi naratif yaitu karya sastra yang berbentuk puisi namun isinya merangkaikan suatu cerita. Dalam geguritan pengarang melukiskan dengan lebih terurai ide-ide, tokoh, alur, latar, tema, amanat dan nilai-nilai yang ingin disampaikan kepada pembaca. Salah satu karya sastra Bali tradisional yang hingga kini memperkaya khasanah kebudayaan Bali adalah Geguritan Sumaguna, yang dikarang oleh Ajin Dewa Putu Lipur. Geguritan Sumaguna ini menggunakan satu jenis pupuh yaitu Pupuh Ginada yang terdiri dari 214 bait. Pada geguritan ini terdapat sebuah perkawinan nyentana yaitu bentuk perkawinan berdasarkan perubahan status hukum, antara calon mempelai wanita secara adat berstatus sebagai purusa dan calon mempelai laki-laki berstatus predana. Dalam hubungan ini mempelai lakilaki tinggal di rumah si istri (Tim Penyusun, 1999: 35). Ide cerita yang dilukiskan yaitu mengisahkan percintaan sepasang anak muda yang berakhir bahagia dalam ikatan perkawinan nyentana. Dalam Geguritan Sumaguna perkawinan nyentana dilaksanakan untuk melanjutkan garis keturunan dari pihak wanita. Geguritan Sumaguna juga mengandung nasehat-nasehat dalam mencari pendamping hidup yang baik agar keturunan yang dilahirkan menjadi baik. Dalam Geguritan Sumaguna tersirat nilai-nilai yang dapat dipetik dan dipakai pedoman dalam kehidupan sehari-hari, misalnya Nilai Agama (tattwa, susila, upacara), Nilai Pendidikan dan Nilai Adat-istiadat. Selain itu Geguritan Sumaguna adalah salah satu bentuk karya sastra tradisional yang mempunyai
2
tempat yang baik untuk dinyanyikan, dihayati dengan berbagai apresiasi, dan dilaksanakan dalam kehidupan masyarakat di Bali. Meskipun Geguritan Sumaguna ini tidak sepopuler geguritan lain, namun apabila disimak dari isi dan nilai yang terkandung di dalamnya, ternyata tidak kalah penting dengan isi dan nilai yang terkandung dalam geguritan-geguritan lainnya. Mengingat kandungan naskah ini sedemikian tinggi, maka karya ini perlu dipelajari dan diteliti lebih dalam baik mengenai pola struktur maupun nilai yang terkandung di dalamnya dengan menganalisis dari segi struktur dan nilai. Alasan lain bahwa sejauh ini belum ada yang meneliti Geguritan Sumaguna baik dari segi struktur dan nilai, maupun dari segi yang lainnya. Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah penelitian sastra dan tentunya dapat bermanfaat bagi pembaca.
1.2 Masalah Bertolak dari uraian latar belakang di atas, maka akan timbul beberapa permasalahan dalam mengkaji suatu karya sastra. Begitu juga dengan Geguritan Sumaguna bahan kajian yang penuh dengan permasalahan. Karena kajian yang dilakukan yaitu kajian struktur dan nilai, maka diangkat beberapa permasalahan antara lain : 1. Bagaimanakah struktur Geguritan Sumaguna? 2. Nilai-nilai apa saja yang terkandung dalam Geguritan Sumaguna? Demikianlah dua masalah pokok yang akan dibahas pada penelitian ini, dengan harapan yang tertuang dalam permasalahan di atas dapat terjawab.
3
1.3 Tujuan Setiap gerak langkah haruslah mempunyai tujuan yang pasti. Demikian juga dengan penelitian ini memiliki suatu tujuan. Tujuan penelitian ini ada dua yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Kedua tujuan ini pada hakikatnya saling berkaitan satu dengan yang lainya.
1.3.1 Tujuan Umum Secara umum penelitian ini bertujuan untuk ikut serta membina, melestarikan, dan mengembangkan nilai-nilai budaya Bali yang terdapat dalam naskah-naskah lama sebagi warisan budaya bangsa. Penelitian ini berupaya membina dan mengembangkan kebudayaan nasional melalui kebudayaan daerah. Penelitian ini juga bertujuan untuk mempublikasikan Geguritan Sumaguna kepada masyarakat agar potensi yang terdapat di dalamnya dapat diketahui dan dimanfaatkan oleh masyarakat luas. Selain itu bertujuan untuk meningkatkan daya apresiasi masyarakat terhadap karya sastra tradisional.
1.3.2 Tujuan Khusus Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur pembentuk dari Geguritan Sumaguna, serta untuk dapat mengetahui nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Penelitian ini juga bertujuan sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra dari Jurusan Sastra Daerah Program Studi Bahasa dan Sastra Bali Fakultas Sastra Universitas Udayana.
.
4
1.4 Landasan Teori Dalam memecahkan masalah-masalah yang terdapat pada Geguritan Sumaguna ini, sudah tentu diperlukan beberapa teori. Menurut Triyono (1994: 38) teori berfungsi sebagai alat untuk memecahkan masalah penelitian. Oleh karena itu, haruslah dipilih teori yang relevan dengan tujuan penelitian. Sesuai dengan judul serta permasalahan yang akan dianalisis maka penelitian ini memakai teori struktur dan teori nilai. Teeuw (1984: 154) berpendapat bahwa analisis struktur merupakan suatu langkah atau alat dalam proses pemberian makna dalam kajian ilmiah. Langkah tersebut tidak boleh dihilangkan dan tidak boleh ditiadakan atau dilampaui. Teori struktural dimaksudkan untuk meninjau karya sastra sebagai kesatuan yang bulat, secara utuh, setiap karya sastra terdiri dari bagian-bagian yang memainkan peranan penting dan sebaliknya bagian-bagian itu mendapat makna sepenuhnya dari keseluruhannya. Analisis struktur adalah tahap penelitian sastra yang sulit dihindari, analisis struktur karya sastra akan diteliti dari manapun juga merupakan tugas perioritas pekerjaan pendahuluan. Apabila dilihat dari tujuannya, analisis struktur bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semendetail dan semendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua anasir dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw, 1984: 135 ). Menurut Atmazaki (1990: 10) teori struktural adalah teori yang bertolak dari asumsi bahwa karya sastra tersusun dari berbagai unsur yang jalin-menjalin, terstruktur sehingga tidak ada satu unsurpun yang tidak fungsional dalam keseluruhannya.
5
Menurut para ahli struktur karya sastra tidak hanya dibangun oleh unsur cerita saja, tetapi juga oleh unsur bentuk. Menurut Stanton (dalam Suwondo, 1994: 75) unsur-unsur yang membangun sebuah karya sastra adalah : tema, fakta cerita (alur, tokoh, dan latar), dan sarana cerita (sudut pandang, gaya bahasa/suasana, simbol-simbol, imajinasi dan juga cara-cara pemilihan judul). Tarigan (1988: 66-91) menyebutkan struktur pada intinya meliputi : tokoh, alur, latar, waktu, tema, dan teknik/gaya bahasa. Pendapat-pendapat di atas selanjutnya didukung oleh pendapat Marsono (dalam Wisnu, 2001: 10) yang membedakan struktur menjadi dua bagian yaitu : struktur forma (meliputi : kode bahasa dan sastra, gaya bahasa, ragam bahasa) dan struktur naratifnya (meliputi : tema, tokoh, alur dan latar). Beberapa pendapat tersebut mampu memberikan pandangan bahwa struktur naratif geguritan ini akan dibahas dalam enam pokok bahasan yaitu : Insiden, Alur/plot, Tokoh dan Penokohan, Latar, Tema dan Amanat. Karena geguritan merupakan sebuah puisi naratif, maka dalam menganalisisnya bukan hanya dari struktur naratif (cerita) saja tetapi juga dari struktuf formanya. Untuk mendukung kajian struktur forma tersebut akan ditunjang oleh beberapa pandangan tentang analisis aspek bentuk sastra paletan tembang (Granoka: 1981) dan dibantu pandangan yang sejalan dari Agastia (1980). Metode formal adalah analisis dengan mempertimbangkan aspek-aspek bentuk karya sastra. Metode formal tidak bisa dipisahkan dengan teori struktural. Secara etimologis formal berasal dari bahasa latin forma, yang berarti bentuk atau wujud. Metode formal adalah cara-cara penyajian dengan memanfaatkan tanda
6
dan lambang. Ciri-ciri metode formal adalah analisis terhadap unsur-unsur tersebut dengan totalitasnya (Ratna, 2004: 49-50) Konsep yang sangat penting dalam metode formal adalah konsep dominan (ciri menonjol atau utama) yaitu aspek bahasa. Aspek bahasa tertentu secara dominan menentukan ciri-ciri khas hasil sastra itu, misalnya rima atau aspek apapun juga. Sehingga dalam analisis dan interpretasi karya sastra aspek dominan itulah yang harus ditekankan, sedangkan aspek yang lain sering kali menyangga hal dominan itu (Teeuw,1984: 130-131). Struktur forma dalam geguritan ini akan dibagi ke dalam tiga pokok bahasan yaitu : kode bahasa dan sastra , gaya bahasa, dan ragam bahasa. Untuk mendapat gambaran yang lebih jelas maka dalam analisis struktur ini akan memfokuskan pada pendapat Marsono (dalam Wisnu, 2001 :10) tanpa mengesampingkan pendapat-pendapat dari para ahli yang lain. Mengingat untuk mendapatkan suatu hasil yang sempurna tidak cukup hanya menggunakan satu teori saja, namun perlu dilengkapi dengan teori-teori yang lain. Setelah tahap analisis struktur dengan menggunakan teori struktural dilanjutkan dengan menganalisis karya tersebut dari segi nilai yang tentu saja menggunakan teori nilai. Menurut Koentjaraningrat (1979: 204) yang pada intinya memaparkan nilai adalah suatu hal berisikan ide-ide, yang mengkonsepsikan halhal penting dan berharga dalam kehidupan masyarakat. Mengkaji
sebuah
geguritan
sebagai
produk
kebudayaan
Bali,
membutuhkan konsep-konsep nilai yang relevan sehingga nantinya dapat dipergunakan untuk mengetahui nilai-nilai yng terkandung di dalamnya. Karyakarya sastra Bali mengandung dua hal pokok yaitu : (1) mempunyai nilai-nili
7
artistik tersendiri (2) mempunyai nilai-nilai spiritual kemanusiaan atau kebenaran yang universal dan hakiki (Agastia, 1980: 2). Di samping itu, tidak semata-mata bersifat susastra, melainkan erat kaitannya baik dengan kepercayaan, adat-istiadat, upacara, hukum magik maupun kehidupan sosial masyarakat, juga berbagai ciri yang melambangkan atau mencerminkan kehidupan sosial budaya masyarakat Bali yang bersifat kompleks (Suastika, 1986: 13). Geguritan sebagai karya sastra memiliki nilai-nilai estetika, nilai-nilai moral dan nilai-nilai bersifat konsepsional (Agastia, 1980: 16). Karna Yudibrata (dalam Atmaja, 1988: 21) menyatakan bahwa nilai dapat diturunkan dari persepsi seseorang yang luhur, manusiawi, bermutu, mulia dan juga atas kegunaannya yang praktis. Dari macam-macam nilai itu terdapat nilai pokok, antara lain : nilai agama, nilai logika, nilai etika, dan nilai estetika. Dari pendapat para ahli di atas, tidak semua komponen nilai dikemukakan dalam naskah Geguritan Sumaguna. Berdasarkan teori dari Agastia (1980: 2) hanya ditemukan beberapa nilai yang relevan dengan penelitian terhadap Geguritan Sumaguna yakni nilai adat-istiadat. Demikian pula halnya dengan teori yang dikemukakan oleh Yudibrata (dalam Atmaja (1988: 21) nilai logika dan estetika tidak dijumpai dalam analisis nilai terhadap Geguritan Sumaguna. Sehingga dalam analisis nilai yang terkandung dalam Geguritan Sumaguna ini akan menggunakan kombinasi dari beberapa pendapat para sarjana di atas.
8
1.5 Metode dan Teknik 1.5.1 Metode Metode berasal dari kata methodos, bahasa latin. Sedangkan methodos itu sendiri berasal dari akar kata meta yang berarti menuju, melalui, mengikuti, sesudah dan hodos berarti jalan, cara, arah. Dalam pengertian yang lebih luas metode dianggap sebagai cara-cara, strategi untuk memahami realitas, langkahlangkah sistematis untuk memecahkan rangkaian sebab akibat berikutnya (Ratna, 2004: 34). Untuk mencapai tujuan yang diharapkan seorang peneliti harus menggunakan suatu metode yang tepat. Sebab metode yang baik merupakan cara kerja untuk memahami suatu objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan (Koentjaraningrat, 1977:18). Berdasarkan hal tersebut, maka mekanisme kerja dalam penelitian ini terbagi menjadi tiga tahapan yaitu : (a) tahapan pengumpulan data, (b) tahapan pengolahan data, (c) tahapan penyajian hasil analisis data. (a) Tahap Pengumpulan Data Dalam tahapan pengumpulan data menggunakan metode observasi, dilakukan dengan cara pengamatan secara langsung kepada objek yang diteliti yaitu naskah Geguritan Sumaguna. Selain itu digunakan pula metode studi pustaka yaitu suatu cara menekuni dan mempelajari literatur-literatur atau bukubuku yang berkaitan dengan objek penelitian. Literatur-literatur tersebut nantinya dapat digunakan sebagai sumber yang dapat memperkuat hasil analisis. Metode studi pustaka juga digunakan
untuk mengetahui keberadaan naskah dengan
membaca katalogus-katalogus yang ada di tempat-tempat penyimpanan naskah. Naskah Geguritan Sumaguna berupa transliterasi ditemukan di Gedong Kirtya
9
Singaraja. Setelah itu melalui keterangan pada naskah dan melalui informasi yang didapat di Gedong Kirtya maka dilanjutkan mencari keberadaan naskah lontar di Desa Klating Sangging, Tabanan. Kedua naskah yang ditemukan memiliki perbedaan. Pada naskah transliterasi terdapat 1 bait (pada) yang hilang yaitu bait ke 15. Sehingga naskah lontar Geguritan Sumaguna milik Ajin Dewa Putu Raka digunakan sebagai objek penelitian karena lebih lengkap dan merupakan naskah asli lontar Geguritan Sumaguna.
(b) Tahap Pengolahan Data Setelah dilakukan tahapan pengumpulan data maka dilanjutkan dengan tahapan pengolahan data. Tahap pertama dalam pengolahan data adalah menerjemahkan teks Geguritan Sumaguna ke dalam bahasa Indonesia, dengan terjemahan secara idiomatis. Terjemahan idiomatis adalah terjemahan yang berdasarkan makna teks bahasa sumber dengan bentuk bahasa sasaran yang sepadan. Untuk mendapatkan hasil terjemahan yang sepadan, dibantu dengan Kamus Bali-Indonesia karya Balai Bahasa Denpasar (2005), Kamus BaliIndonesia oleh I Wayan Warna dkk (1978) dan Kamus Jawa Kuna-Indonesia karya L. Mardiwarsito (1981). Tahap berikutnya, data-data dianalisis dengan menggunakan metode analisis deskriptif. Metode analisis deskriptif adalah suatu deskripsi dari keseluruhan kompleks ke bagian yang sederhana, dari fakta-fakta atau gejala-gejala ke hakikat atau syarat-syarat (Bakker, 1984:17).
Dengan
metode analisis yaitu mengadakan analisis secara sistematis terhadap unsurunsurnya, akan didapatkan suatu kebulatan struktur, dalam mengungkapkan aspek intrinsik dan nilai-nilai yang terkandung dalam Geguritan Sumaguna.
10
(c) Tahap Penyajian Hasil Analisis Data Tahap yang terakhir adalah tahapan penyajian hasil analisis. Tahap ini menggunakan metode informal, artinya laporan hasil analisis diuraikan dalam bentuk kata-kata biasa yang mudah dipahami dengan menggunakan kalimat (Semi, 1988: 24).
1.5.2 Teknik Teknik berasal dari kata tekhnikos, bahasa Yunani, yang berarti alat, atau seni menggunakan alat (Ratna, 2004: 37). Teknik digunakan sebagai penunjang metode-metode di atas, sehingga dapat membantu usaha pencapaian tujuan penelitian. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik penerjemahan
dan
teknik
pencatatan.
Penerjemahan
merupakan
proses
pengungkapan sebuah makna yang dikombinasikan dalam bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran dan dipermukaan, fenomena ini muncul sebagai pengalihan kode atau sistem bahasa (Yadnya, 2004:2). Teknik penerjemahan ini dilakukan untuk mengalihbahasakan teks dari teks berbahasa Bali ke dalam bahasa Indonesia. Teknik penerjemahan yang digunakan yaitu teknik penerjemahan yang idiomatis dan hanya digunakan pada kutipan-kutipan dalam analisis untuk memudahkan pemahaman. Selain teknik penerjemahan, juga digunakan teknik pencatatan. Teknik pencatatan digunakan untuk menghindari terjadinya data yang terlupakan. Hal ini sesuai dengan pendapat Hadi (1977:165) bahwa teknik pencatatan bertujuan agar data yang didapatkan lebih terjamin kebenarannya serta untuk menghindari kelupaan sebagai akibat terbatasnya kemampuan ingatan.
11
1.6 Sumber Data dan Data Sumber data dalam penelitian adalah subjek dari mana data dapat diperoleh. Dilihat dari judul penelitian ini maka jelas bahwa objek kajian ini adalah naskah lontar. Setelah melakukan kunjungan ke Gedong Kirtya Singaraja, ditemukan sebuah geguritan yang berjudul Geguritan Sumaguna. Naskah yang ditemukan di Gedong Kirtya yaitu berupa transliterasi berjudul Geguritan Sumaguna, yang diketik pada kertas dengan ukuran panjang 33 cm dan lebar 22 cm. Jumlah lembar naskah 16 lembar, dengan nomor naskah 3460/IVd. Terdiri dari 213 bait (pada) dengan menggunakan satu pupuh yaitu Pupuh Ginada. Pada halaman pertama tercantum keterangan, asal naskah yaitu lontar druwen Ajin Dewa Putu Raka, Klating Sangging. Selanjutnya dilakukan pencarian ke tempat-tempat penyimpanan naskah yang lain seperti Kantor Pusat Dokumentasi Kebudayaan Bali, Perpustakaan Lontar Fakultas Sastra Universitas Udayana, Perpustakaan Yayasan Dwijendra Denpasar, Universitas Hindu Indonesia, dan Balai Penelitian Bahasa. Namun di tempat
tersebut
tidak
ditemukan
naskah
Geguritan
Sumaguna.
Untuk
mendapatkan data naskah yang dijadikan objek penelitian, dilanjutkan dengan mencari naskah asli yang berupa lontar. Berdasarkan keterangan petugas Gedong Kirtya dan keterangan yang tercantum pada naskah transliterasi, maka dilakukan pencarian naskah Geguritan Sumaguna milik Ajin Dewa Putu Raka ke desa Klating Sangging, Kerambitan. Data yang dimaksud adalah segala macam hal yang berkaitan dengan apa yang terdapat dalam naskah. Naskah Geguritan Sumaguna ditulis dengan menggunakan aksara Bali dengan sistem pasang jajar, lontar ditulisi bolak-balik.
12
Memiliki ukuran panjang 40 cm dan lebar 3,3 cm. Jumlah lembar keseluruhan 40 lembar, yaitu 32 lembar lontar isi, 2 lembar lontar kosong di depan dan 6 lembar lontar kosong di belakang. Cakepan lontar terbuat dari bambu. Bahasa yang digunakan adalah Bahasa Bali Kepara. Terdiri dari 214 bait (pada). Naskah ini ditulis oleh Ajin Dewa Putu Lipur, pada tanggal 7 Agustus 1965. Keadaan naskah masih sangat baik dan dapat dibaca dengan jelas. Kedua naskah yang ditemukan memiliki perbedaan. Pada naskah transliterasi terdapat 1 bait (pada) yang hilang yaitu bait ke 15. Sehingga naskah lontar Geguritan Sumaguna milik Ajin Dewa Putu Raka digunakan sebagai objek penelitian karena lebih lengkap dan merupakan naskah asli lontar Geguritan Sumaguna. Di samping itu dibantu juga dengan naskah transliterasi yang ditemukan di Gedong Kirtya.
1.7 Jangkauan Jangkauan adalah pembatasan diri terhadap objek yang akan dibahas. Jangkauan ini bertujuan agar penelitian ini tidak jauh menyimpang dari pokok permasalahan yang dibicarakan. Oleh karena itu dalam mengkaji Geguritan Sumaguna melalui kajian struktur dan nilai, terlebih dahulu akan dibahas struktur yang membangunnya. Adapun struktur yang dikaji dalam penelitian ini meliputi struktur forma dan struktur naratif. Struktur forma terdiri dari : kode bahasa dan sastra, gaya bahasa, dan ragam bahasa. Struktur naratif terdiri dari insiden, alur/plot, tokoh dan penokohan, latar, tema, dan amanat. Kemudian mengenai analisis nilai Geguritan Sumaguna meliputi : nilai agama (tattwa, susila, upacara), nilai pendidikan dan nilai adat-istiadat.
13