BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Fenomena hubungan penganggaran dengan kinerja, baik kinerja individu maupun kinerja manajerial hingga kini masih menjadi issue yang menarik diteliti, disamping luasnya faktor – faktor yang mempengaruhi dan beragamnya konflik kepentingan, hubungan penganggaran dengan kinerja menjadi fenomenal juga karena berbicara anggaran bukan hanya berbicara angka – angka saja atau satuan nilai nominal, melainkan juga harus bersentuhan dengan subjektivitas dan objektivitas sikap dan perilaku pelaku penganggaran disemua tahapan penganggaran, mulai dari input, proses hingga penentuan output anggaran. Anggaran merupakan salah satu komponen penting dalam perencanaan perusahaan, yang berisikan rencana kegiatan dimasa datang dan mengindikasikan kegiatan untuk mencapai tujuan tersebut (Hansen & Mowen, 2000). Penganggaran merupakan suatu proses yang cukup rumit pada organisasi sektor publik, termasuk diantaranya pemerintah daerah. Hal tersebut berbeda dengan penganggaran pada sektor swasta. Pada sektor swasta anggaran merupakan bagian dari rahasia perusahaan yang tertutup untuk publik, namun sebaliknya pada sektor publik anggaran justru harus diinformasikan kepada publik untuk dikritik dan didiskusikan untuk mendapat masukan. Anggaran sektor publik merupakan instrumen akuntabilitas atas pengelolaan dana publik dan pelaksanaan program –program yang dibiayai dari uang publik (Mardiasmo, 2005). Penganggaran sektor publik terkait dalam
proses penentuan jumlah alokasi dana untuk tiap –tiap program dan aktivitas dalam satuan moneter. Mardiasmo (2005) menyatakan bahwa tahap penganggaran menjadi sangat penting karena anggaran yang tidak efektif dan tidak berorientasi pada kinerja akan dapat menggagalkan perencanaan yang telah disusun. Anggaran merupakan managerial plan of action untuk memfasilitasi tercapainya tujuan organisasi. Anggaran sektor publik mempunyai beberapa fungsi utama, yaitu sebagai alat perencanaan, alat pengendalian, alat kebijakan fiskal, alat politik, alat koordinasi dan komunikasi, alat penilaian kinerja, alat motivasi, dan alat penciptaan ruang publik (Haryanto dkk, 2007). Hofstede dalam Marani dan Supomo (2003) menyatakan bahwa penggunaan anggaran dapat dipergunakan sebagai alat untuk mendelegasikan wewenang atasan kepada bawahan. Penggunaan anggaran itu sendiri akan memunculkan berbagai dimensi perilaku aktivitas orang dalam hal pengendalian, evaluasi kinerja, dan koordinasi. Penggunaan anggaran dapat dilaksanakan dengan baik apabila anggaran yang ditetapkan sesuai terhadap pelimpahan wewenang yang tersetruktur. Galbraith (1973) menjelaskan struktur organisasi yang terdesentralisasi diperlukan pada kondisi administratif, tugas dan tanggung jawab yang semakin kompleks, yang selanjutnya memerlukan pendistribusian otoritas pada manajemen yang lebih rendah. Pelimpahan wewenang desentralisasi diperlukan karena dalam struktur yang terdesentralisasi para manajer/bawahan diberikan wewenang dan tanggung jawab lebih besar dalam pengambilan keputusan. Menurut Miah dan Mia (1996) desentralisasi adalah seberapa jauh manajer yang lebih tinggi mengijinkan manajer dibawahnya untuk mengambil keputusan secara independen. Hal ini didukung dengan penelitiannya Gul dkk (1995), bahwa partisipasi
anggaran terhadap kinerja akan berpengaruh positif dalam organisasi yang pelimpahan wewenangnya bersifat desentralisasi. Riyanto (1996) dalam Marani dan Supomo(2003) menemukan desentralisasi tidak dapat mempengaruhi hubungan partisipasi penyusunan anggaran dengan kinerja manajerial. Tanggung jawab dalam pendelegasian dari top manajemen ke level manajemen yang lebih rendah akan membawa konsekwensi semakin besar tanggung jawab manajer yang lebih rendah terhadap pelaksanaan keputusan yang dibuat. Di Indonesia, paradigma struktur kewenangan penganggaran telah diatur secara tegas melalui Undang- undang Otonomi Daerah Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang telah direvisi menjadi Undang- undang Nomor 32 tahun 2004 dan Undang- undang Nomor 25 tahun 1999 berikutnya direvisi kembali menjadi Undang- undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Disamping struktur kewenangan, kedua undang – undang otonomi daerah di atas juga mengandung misi: Pertama, menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah. Kedua, meningkatkan kualitas pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat. Ketiga, memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam perubahan sistem pengelolaan keuangan pemerintah daerah (Mardiasmo, 2002), dimana secara teknis, dalam pengimplementasiannya kedua undang – undang otonomi daerah di atas mengamanatkan
adanya dukungan Sistem
Informasi Keuangan Daerah (SIKD) untuk menunjang perumusan kebijakan fiskal secara nasional serta meningkatkan transparansi dan akuntanbilitas dalam pelaksanaan desentralisasi. Syafruddin, (2006) mengatakan kepedulian cost consciousness merupakan indicator terpenting didalam mengukur dan menilai kinerja sektor publik,
mengingat selama ini birokrasi di pemerintahan daerah merupakan proses manajemen yang menghasilkan cost tidak efisien dan efektif, bahkan cendrung memunculkan praktek-praktek tidak sehat seperti korupsi. Kepedulian cost dapat digunakan untuk mengukur kinerja pimpinan SKPD dalam hal penilaian keefektifan dan efesiensi dalam pengelolaan kegiatan rutin kantor. Kinerja pimpinan yang baik dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pendelagasian wewenang. Individu yang menerima pendelegasian wewenang tersebut akan memiliki hak keputusan formal. Konsep cost consciousness dikembangkan oleh Young dan Shields (1994) menekankan pada tingkat dimana para manajer mempunyai kaitan dengan konsekuensi biaya dari pengambilan keputusan. Hal ini didasari bukti bahwa banyak perusahaan sukses dalam keunggulan kompetitif karena mampu mengelola budget dengan baik. Partisipasi anggaran sangat efektif dan efisiensi dalam memfasilitasi penyebaran informasi yang komplek dan proses awal dari pembelajaran organisasi (organizational learning). Cost consciousness dapat dinilai melalui kepedulian manajer terhadap biaya. Biaya dijadikan pertimbangan penting dalam pengambilan keputusan dan upaya manajer memperketat biaya untuk mencapai anggaran atau efisiensi biaya (Birnberg et al., 1990). Berkaitan dengan struktur kewenangan dan cost consciousness, menurut Steers (1997) terdapat dua hubungan baik secara langsung maupun secara tidak langsung yang terjadi melalui SIA. Penggunaan SIA akan meningkatkan pentingnya cost consciousness bagi para manajer. Kepedulian cost dapat digunakan untuk mengukur kinerja pimpinan SKPD dalam hal penilaian keefektifan dan efesiensi dalam pengelolaan kegiatan rutin kantor. Kinerja pimpinan yang baik dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan
dalam pendelagasian wewenang. Individu yang menerima pendelegasian wewenang tersebut akan memiliki hak keputusan formal. Hak keputusan formal yang melekat pada diri pimpnan SKPD yang berasal dari pendelegasian wewenang secara resmi organisasional memungkinkan meningkatnya komitmen pimpinan SKPD mengenai pencapaian tujuan atau sasaran organisasi secara efisien dan efektif. Rancangan dan bentuk struktur formal dirancang untuk mendorong dan memotivasi pimpinan SKPD untuk bertindak berdasar pada manajemen sumber daya yang sehat dan benar (Abernethy dan Stoelwinder, 1995). Struktur otoritas informal yang melekat pada diri pimpinan SKPD yang diperoleh dan berasal dari kemampuan (kekuasaan) individualnya dalam mempengaruhi pihak lain, lebih cendrung menghasilkan dampak negatif terhadap tingkat kepedulian cost. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan Syafruddin (2006). Antarwaman (2008) dalam penelitiannya justeru memberikan kesimpulan yang berbeda. Sistem informasi keuangan daerah (SIKD) untuk pengendalian keputusan tidak berpengaruh terhadap cost consciousness. Struktur kewenangan formal dan struktur kewenangan informal tidak berpengaruh terhadap pengendalian keputusan dan manajemen keputusan maupun tidak berpengaruh langsung terhadap pentingnya kepedulian biaya (cost consciousness). Sistem informasi keuangan daerah tidak berpengaruh terhadap manajemen keputusan dan pengendalian keputusan maupun terhadap cost consciousness. Dalam Ketentuan Umum Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 disebutkan bahwa Pejabat Pengelola Keuangan Daerah yang selanjutnya disingkat PPKD adalah kepala satuan kerja pengelola keuangan daerah yang mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan APBD dan bertindak sebagai bendahara umum
daerah (BUD). Lebih lanjut pada Pasal (7) ayat (2) huruf (q) Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005, menyebutkan dalam kapasitasnya sebagai BUD), PPKD berwenang menyajikan informasi keuangan daerah. Deskripsi fenomenologis di atas merupakan ide yang mendasari dilakukannya replikasi penelitian dengan mengembangkan komposisi hubungan variabel, yaitu pengaruh kewenangan formal, sistem informasi keuangan daerah, peranan manajerial dalam pengelolaan keuangan daerah dan kewenangan informal terhadap kinerja kepala SKPD di Jajaran Pemerintahan Kota Medan melalui cost consciousness sebagai variabel intervening. Hasil
observasi
pendahuluan
yang
dilakukan
terhadap
proses
penganggaran di beberapa SKPD di jajaran Pemerintahan Kota menunjukkan fenomena : 1. Masih ditemukan pemborosan alokasi anggaran, pencatatan akuntansi yang tumpang tindih, khususnya pada akun belanja tidak langsung. 2. Struktur pelimpahan wewenang, khususnya pada
middle management
kurang jelas dan terkesan diskriminatif. Kerap sekali terjadi benturan wewenang, seperti antara dinas koperasi dan UKM dengan dinas perindustrian dan perdagangan didalam menjalankan fungsinya. 3. Kemampuan kepala (SKPD) yang berada dijajaran Pemerintahan Kota Medan didalam menjalankan fungsi – fungsi manajerial : perencanaan, investigasi, koordinasi, evaluasi, supervisi, pemilihan staf, negosiasi dan perwakilan masih relatif kurang baik
1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, dirumuskan permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini :
1. Apakah terdapat pengaruh langsung kewenangan formal, sistem informasi keuangan daerah, peranan manajerial dalam pengelola keuangan daerah dan kewenangan informal terhadap kinerja kepala SKPD di Jajaran Pemerintahan Kota Medan? 2. Apakah terdapat pengaruh langsung kewenangan formal, sistem informasi keuangan daerah, peranan manajerial dalam pengelola keuangan daerah dan kewenangan informal terhadap cost consciousness kepala SKPD di Jajaran Pemerintah Kota Medan? 3. Apakah terdapat pengaruh langsung cost consciousness terhadap kinerja kepala SKPD di Jajaran Pemerintah Kota Medan? 4. Apakah terdapat pengaruh langsung kewenangan formal, sistem informasi keuangan daerah, peranan manajerial dalam pengelola keuangan daerah dan kewenangan informal terhadap kinerja kepala SKPD di Jajaran Pemerintahan Kota Medan melalui cost consciousness sebagai variabel intervening?
1.3. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan dilakukannya penelitian ini : 1. Untuk mengetahui pengaruh langsung kewenangan formal, sistem informasi keuangan daerah, peranan manajerial dalam pengelola keuangan daerah dan kewenangan informal terhadap kinerja kepala SKPD di Jajaran Pemerintahan Kota Medan. 2. Untuk mengetahui pengaruh langsung kewenangan formal, sistem informasi keuangan daerah, peranan manajerial dalam pengelola keuangan daerah dan kewenangan informal terhadap cost consciousness kepala SKPD di Jajaran Pemerintah Kota Medan.
3. Untuk mengetahui pengaruh langsung cost consciousness terhadap kinerja kepala SKPD di Jajaran Pemerintah Kota Medan. 4. Untuk mengetahui pengaruh langsung kewenangan formal, sistem informasi keuangan daerah, peranan manajerial dalam pengelola keuangan daerah dan kewenangan informal terhadap kinerja kepala SKPD di Jajaran Pemerintahan Kota Medan melalui cost consciousness sebagai variabel intervening.
1.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi manfaat bagi banyak pihak, diantaranya : 1. Peneliti Sebagai
bahan
masukan
bagi
peneliti
dalam
menambah
dan
mengembangkan khasanah ilmu pengetahuan dan wawasan dalam bidang akuntansi keuangan daerah, khususnya tentang pengaruh kewenangan formal, sistem informasi keuangan daerah, peranan manajerial dalam pengelolaan keuangan daerah dan kewenangan informal terhadap kinerja kepala SKPD, baik secara langsung maupun melalui cost consciousness sebagai variabel Intervening. 2. Pemerintah Kota Medan Sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Kota Medan didalam menyikapi fenomena yang berkembang sehubungan kewenangan formal, sistem informasi keuangan daerah, peranan manajerial dalam pengelola keuangan daerah, kewenangan informal, cost consciousness SKPD.
dan kinerja kepala
3. Ilmu Pengetahuan Sebagai tambahan bahan pustaka dan referensi bagi peneliti selanjutnya dalam mengembangkan dan memperluas penelitian.
1.5. Originalitas Penelitian Penelitian ini merupakan replikasi dari penelitian yang dilakukan oleh Hermaningsih (2009), dengan judul penelitian
: Pengaruh Partisipasi dalam
Penganggaran dan Peran Manajerial Pengelola Keuangan Daerah terhadap Kinerja Pemerintah Daerah (Studi Empiris pada Pemerintah Kabupaten Demak). Adapun perbedaan penelitian Hermaningsi (2009) dengan penelitian ini diuraikan sebagai berikut : 1. Objek, Populasi dan Sampel Penelitian Hermaningsih (2009) menilti pada Pemerintah Kabupaten Demak. dengan populasi penelitian Hermaningsih (2009) : Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah, Koordinator Pengelolaan Keuangan Daerah, Pejabat Pengelola Keuangan Daerah selaku Bendahara Umum Daerah, Kuasa Bendahara Umum Daerah, Pengguna Anggaran/ barang, Kuasa, Pengguna Anggaran/ Barang, Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK), bendahara penerimaan, bendahara penerimaan pembantu, bendahara pengeluaran dan bendahara pengeluaran pembantu, yang keseluruhannya berjumlah 393 orang. Hermaningsih (2009) mengambil sampel dengan menggunakan pendekatan Purposive sampling. Jumlah populasi yang memenuhi criteria sebanyak 103 responden. Penelitian ini meneliti pada Pemerintah Kabupaten/Kota. Populasi dalam penelitian
ini
meliputi
seluruh
Kepala
SKPD
dan
SKPKD
(Dinas/Badan/Kantor). Jumlah populasi dalam penelitian ini sebanyak 696
orang. Sampel dalam penelitian ini diambil dengan menggunakan metode criteria purpusive sampling, dan didapat sabanyak 254 responden yang memenuhi kriteria sampel. 2. Variabel yang diteliti Hermaningsih (2009) meneliti dengan komposisi hubungan variabel linier yang terdiri dari 2 (dua) variabel bebas, partisipasi dalam penganggaran dan peranan manajerial pengelola keuangan daerah, serta 1 (satu) variabel terikat kinerja pemerintah daerah. Penelitian ini meneliti dengan komposisi hubungan variabel interveningm yang terdiri dari 4 (empat) variabel bebas, yakni kewenangan formal, sistem informasi keuangan daerah, peranan manajerial dalam pengelolaan keuangan daerah dan kewenangan informal; 1 (satu) variabel intervening Cost Consciousness dan 1 (satu) variabel terikat kinerja kepala SKPD.