BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang
Manusia merupakan bagian dari masyarakat yang memiliki „konsep diri‟. Konsep diri ini merupakan pandangan mengenai siapa diri kita, dan itu hanya bisa kita peroleh lewat informasi ataupun definisi yang diberikan oleh orang lain terhadap diri kita. Konsep diri ini dipengaruhi oleh pandangan manusia lain diluar diri kita sendiri. Melalui komunikasi dengan orang lain, kita belajar dan merasakan mengenai siapa diri kita. Ketika kita berupaya berinteraksi dengan orang lain, terdapat suatu pengharapan, kesan, dan citra mereka tentang diri kita yang sangat mempengaruhi konsep diri yang kita inginkan. Penegasan orang lain atas diri kita menghadirkan kenyamanan terhadap diri kita sendiri. Orang lain berpotensi „mencetak‟ diri kita, dan setidaknya kita pun mengasumsikan apa yang orang lain asumsikan mengenai diri kita. Berdasarkan asumsi–asumsi itu, kita mulai memainkan peran-peran tertentu yang diharapkan orang lain. Namun, meskipun kita berupaya berperilaku sebagaimana yang diharapkan orang lain, kita tidak pernah secara total memenuhi pengharapan orang lain tersebut. Karena kita sebagai manusia masih memiliki kebebasan untuk menentukan konsep diri sesuai yang apa yang kita inginkan. Sebagai contoh di masyarakat bagaimana manusia memiliki „harapan‟ yang dipengaruhi lingkungannya yang diinterpretasikan melalui identitas. Adapun dalam menginterpretasikannya, dilakukan dengan cara mencitrakan sesuatu, membentuk perilaku, gaya berbicara, gaya
berbusana, serta tindakan-tindakan yang melekat pada dirinya sebagai mood of production yang dapat membentuk dan menciptakan sebuah image akan dirinya ketika dihadapkan dengan masyarakat. Ketika berbicara identitas, identitas dekat sekali dengan simbol. Bagaimana manusia menggunakan simbol-simbol tertentu sebagai alat untuk memproduksi makna dari suatu identitas yang ingin disampaikan. Begitu juga dengan media visual. Media visual dapat menyampaikan pesan-pesan konstruksi melalui simbol-simbol yang tertera dalam suatu gambar sebagai alat untuk merepresentasikan suatu obyek. Simbol-simbol tersebut menjadi realitas dan membentuk konstruksi apa didalam gambar, sehingga simbol-simbol tersebut kerap dimanfaatkan untuk menciptakan sebuah situasi, citra, karakter, untuk membentuk identitas tertentu. Seperti layaknya pengalaman kita dalam bermedia visual, kita kerap mengkonsumsi simbol-simbol untuk diri kita sendiri yang membentuk suatu identitas. Kita cenderung memilih medium foto yang direproduksi dari jaman ke jaman sebagai alat untuk menyampaikan suatu representasi makna maupun pesan. Karena setiap foto, dimungkinkan untuk membuat pesan fotografis yang menjadibagian dari praktek penandaan. Pesan tersebut merefleksikan kode-kode, nilai-nilai,dan keyakinan atas kebudayaan secara keseluruhan (Clarke, 1977: 28). Melihat sifatnya yang mampu menampilkan citraan suatu peristiwa secaradetail serta akurasi penyampaian gambar yang tinggi, fotografi menjadi pilihanbagi masyarakat untuk mendokumentasikan peristiwa tertentu serta media penggambaran diri yang dianggap ideal. Hal ini, disebabkan karena teknologi kamera memang dilahirkan untuk memburu objektivitas karena kemampuannya untuk menggambarkan realitas visual dengan tingkat presisi yang tinggi (Seno Gumira Ajidarma, 2002: 1). Meskipun demikian, realitas yang terdapat dalam foto tersebut perlu untuk dipertanyakan kembali keberadaannya. Apakah realitas yang ditunjukkan merujuk kepada
2
kenyataan dikeseharian atau mengarah kepada realitas yang dikonstruksikan mengenai apa yang ingin mereka coba untuk representasikan kepada publik. Pada dahulu kala, ketika fotografi pertama kali ditemukan, pelanggan pertamanya adalah kaum bangsawan yang meminta dibuatkan foto potret diri maupun keluarganya dengan latar megah dan kostum mewah sebagai dokumentasi akan kemakmuran keluarga bagi generasi mendatang. Pada era sekarang pun, kita masih juga akrab dengan foto keluarga yang sengaja dikonsepsi sedemikian rupa pada proses pembuatannya yang dicetak dan didokumentasikan pada bingkai foto nan besar, yang di pajang sebagai ikon keluarga di ruang ruang tamu untuk menggadangkan citra keluarga
Gambar 1
Gambar 2
Gambar 3
Gambar 1Contoh Foto Keluarga | http://www.selangkahlagi.com Gambar 2Foto diri yang dimanfaatkan sebagai alat peraga kampanye | http://kandidat-kandidat.blogspot.co.id/ Gambar 3Contoh perusahaan bidang kuliner yang memakai foto diri pemiliknya menjadi logo yang legendaris | http://www.lokalsocial.com/
Selain untuk kepentingan dokumentasi, foto juga dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu seperti halnya kepentingan politik, bagaimana foto digunakan sebagai alat peraga kampanye politik pada pemilihan calon legislatif yang dipasang di sudut-sudut kota dengan memampangkan potret wajah calon legislatif dengan memvisualkan citra diri semenarik mungkin untuk menarik hati masyarakat. Selain itu, foto juga dimanfaatkan secara pribadi untuk kepentingan bisnis dengan menampilkan foto potret diri sang pemilik usaha seperti layaknya
3
restoran-restoran ternama yang menggunakan foto potret pemiliknya untuk logo usaha, sebagai representasi citra identitas perusahaan. Lain halnya dengan dunia diluar fotografi cetak yang dimanfaatkan dari masa ke masa, foto yang kini lebih bereksistensi dalam dunia foto digital, keberadaannya kerap meronai kehidupan masyarakat saat ini. Foto-foto yang saat ini akrab di masyarakat bertransformasi kedalam ranah digital sering kali mewarnai media sosial yang banyak dimiliki masyarakat kekinian. Penggunaan medium foto sebagai proses kreatif dalam merepresentasikan identitas kian menjadi fenomena yang massif pada masyarakat saat ini. Dengan segala perkembangan medium saat ini, kemajuan media baru layaknya media sosial, mampu lebih memberikan ruang yang seluas-luasnya bagi setiap individu untuk berkreasi dalam menampilkan identitas masingmasing. Membuat identitas virtual merupakan sebuah proses yang terus menerus selayaknya proses yang terjadi di dunia nyata (Lister dkk, 2009:269). Mengapa demikian, karena media sosial menjanjikan aktivitas virtual yang lebih memudahkan para penggunanya menampilkan, bertukar, mengirim, bahkan mengkomentari suatu pesan dengan menggunakan simbol-simbol berupa teks maupun visual seperti gambar, foto, dan video yang keberadannya sangat akrab dalam menghiasi media sosial1. Perkembangan media sosial saat ini, semakin melahirkan banyaknya media sosial yang menawarkan aktivitas virtual yang menggiurkan. Contoh saja, seperti media sosial yang saat ini digandrungi khusus untuk mengunggah foto, yaitu Instagram. Instagram menjadi media sosial favorit karena penggunanya dapat men-sharing kehidupan pribadi melalui bentuk visual. Pada prakteknya, instagram bagaikan sebuah jurnal pribadi yang berbentuk album foto virtual para penggunanya, dimana mereka dapat meng-upload foto apapun yang mereka inginkan, setiap saat 1
Foto kerap dimanfaatkan untuk tampilan muka profil, latar, maupun isi, dari sebuah media sosial. Media sosial ditata sebagai kanal pribadi bagi penggunanya, selayaknya sebuah „ruang tamu‟, bahkan „kamar‟, bagi para pengunjungnya (dalam hal ini masyarakat maya).
4
kapanpun, menentukan lokasi foto dimanapun, serta menuliskan judul foto apapun. Sehingga konsekuensi didalamnya, media sosial layaknya instagram kerap dimanfaatkan sebagai ajang arena memproduksi realitas yang termediasi (mediated reality) melalui citra visual foto. Seperti halnya saat foto-foto yang sebagai bentuk interpretasi dari objek dan kehidupan sehari-hari sengaja diunggah di media sosialuntuk dipublikasikan kepada khalayak. Foto-foto tersebut sengaja diunggah untuk kepentingan aktualisasi diri seperti, memfoto dirinya sendiri atau yang kita kenal akhir-akhir ini dengan selfie2, mengunggah foto aktivitas pribadi seperti makan, berolah raga, foto potret diri sambil memamerkan barang mewah milik pribadi, foto sedang berpergian, memperlihatkan gaya berbusana yang dikenakan saat itu atau yang kita kenal dengan OOTD3 dan foto lainnya yang dilengkapi dengan hashtag,4 yang dekat sekali dengan kehidupan individu dengan maksud ingin disampaikan kepada khalayak.
Gambar 4 Beberapa contoh foto yang ditampilkan di media sosial instagram | Sumber : akun pribadi instagram @15_dimples, @inne_nau , @im_boodoo
2
Swafoto atau foto narsisis (bahasa Inggris: selfie) adalah jenis foto potret diri yang diambil sendiri dengan menggunakan kamera digital atau telepon kamera. Foto narsisis sering dikaitkan dengan narsisisme atau perasaan cinta terhadap diri sendiri yang berlebihan. 3 OOTD adalah singkatan dari Outfit Of The Day, merupakan ungkapan sebagai padanan kata untuk menunjukan apa yang Anda pakai di hari itu. Dalam artian, itu adalah outfit pribadi yang benar-benar mereka pakai untuk beraktivitas dalam satu hari. Hashtag ini sudah mulai populer sekitar 2 tahun terakhir. 4 Hashtag adalah kata atau frasa (tanpa spasi) yang diawali dengan simbol # - misalnya, #HERMES -- yang membantu orangorang menemukan dan bergabung dengan percakapan tentang topik tertentu. Klik hashtag untuk menampilkan konten terkait.
5
Jika kita melihat dari aspek sosial, fotografi dapat dilihat dari kecenderungan masyarakat mempergunakan fotografi sebagai fungsi sosial. Penggunaan fotografi disajikan untuk mendefinisikan makna sosial seperti apa yang di definisikan pada gambar tersebut. Hal ini dijelaskan Pierre Bordieu dalam “The Social Definition of Photography”, yang melihat bahwa pola perilaku masyarakat dalam menghasilkan suatu foto terhegemoni oleh „estetika popular‟ yang sesungguhnya sudah dibentuk sesuai dengan kategori norma-norma yang mengatur dunia secara umum.
Gambar 5 Comment-comment yang menanggapi foto diri yang diunggah ke instagram | www.instagram/hasheilaputri.com
Misalnya, pada makna pose atau gaya yang diadopsi untuk foto tersebut, dapat dipahami kaitannya dengan sistem simbolik citra diri, di mana subyek yang menghendaki foto tersebut ia cenderung memperlihatkan tubuhnya didepan kamera, berada di tengah gambar dengan postur yang bermartabat, memperlihatkan tempat, mendefinisikan perilaku, menunjukan gaya 6
berbusana dengan mengenakan pakaian terbaik, memperlihatkan objek-objek material yang memiliki economicus symbol5yang menginterpretasikan selera dan kelas. Seakan dalam berpose, ia menunjukan bahwa tubuh adalah sebuah tontonan (body as spectacle) yang layak untuk dinikmati para penontonnya, sehingga dapat memberikan kemungkinan pembenaran atau penilaian yang menghasilkan pujian atau kekaguman dari para penikmatnya. Disitulah ada kecenderungan bahwa di dalam masyarakat tontonan atau spectacle6, terdapat „hubungan sosial‟ yang dimediasi oleh gambar. Hubungan sosial ini berbentuk stimulus dan respons yang difasilitasi dalam wujud like maupun comment. Ketika foto yang di unggah mendapatkan love,like atau comment yang banyak dari masyarakat maya, pemilik foto memiliki kecenderungan untuk memaparkan foto dengan identitas yang serupa karena merasa disukai dan diterima banyak orang sehingga membuat dirinya semakin yakin bahwa inilah proses reproduksi yang ia inginkan. Itu semua mengkonstruksi bagaimana orang membaca „representasi‟ dari subyek yang menghasilkan foto. Dalam hal ini foto-foto di media sosial tersebut, memiliki kecenderungan tidak lebih ditampilkan sebagai untuk dilihat. Sehingga gambar foto yang dihasilkan menjadi bentuk hubungan sosial yang berwujud estetika popular, sebagai cara berkomunikasi dengan orang lain dan berkomunikasi dengan dunianya. Oleh karenanya, konsekuensi dari foto-foto yang ditampilkan manusia kepada khalayakakan berdasarkan penataan diri sesuai yang ia kehendaki dan dijadikan bentuk representasi diri yang cenderung direproduksi sesuai dengan selera masyarakat. Sehingga wujud estetika popular bertransformasi menjadi representasi popular yang mewakili selera masyarakat. 5
Simbol yang merepresentasikan suatu barang komoditas yang bernilai berharga yang dapat mengungkapkan identitas. Contohnya simbol-simbol merk suatu produk. Dalam kaitannya dengan foto di media sosial, sering kali simbol-simbol tersebut dipertontonkan melalui gambar ataupun dalam sebuah teks dalam hashtag. 6 Masyarakat spectacle adalah konsep yang dikemukakan oleh Guy Debord dalam karyanya „The Society of the Spectacle„ untuk melihat pola masyarakat saat ini yang memiliki kecenderungan untuk mempertontonkan dirinya kepada khalayak. (Lihat penjelasan terkait „The Society Of The Spectacle‟ pada kerangka teori)
7
Namun, gambar-gambar foto seperti demikianmemang terpisah dari aspek kehidupan atau realitas seseorang. Foto-foto tersebut sengaja diproduksi sebagai wujud dari kehidupan pribadi yang dimediasi melalui suatu gambar. Di dalam gambar-gambar yang ada pada simbolsimbol visual tersebut, terdapat ideologi yang ingin disampaikan yang melatari mengapa representasi serta konstruksi tersebut harus dibentuk sehingga mampu menciptakan realitas, sekalipun realitas yang tidak mungkin dicapai. Sehingga pada akhirnya, gambar-gambar pun merupakan bagian dari suatu cara berbahasa. Inilah yang menjadikan foto digunakan sebagai language game7 untuk menyampaikan ideologi, situasi, citra, karakter, maupun identitas tertentu yang ingin dipertontonkan dan mendapat respon, melalui simbol-simbol yang berwujud visual. Berangkat dari fenomena ini, kita bisa melihat bahwa foto merupakan realitas sosial, namun disatu sisi ia memiliki simbol-simbol yang mampu membentuk konstruksi apa didalam foto. Sehingga konsekuensi didalamnya, seiring dengan perkembangan medium, setiap individu akan memasuki tahap representasi diri yang termediasi. Disinilah posisi foto kerap dijadikan sebagai medium representasi untuk membentuk atau mengkonstruksi realitas tertentu, dalam hal ini representasi identitas. Oleh karena itu sebagai respon terhadap fenomena tersebut, pada kesempatan penelitian ini, ingin melihat secara sosiologis bagaimana praktek-praktek foto dapat bekerja dalam merepresentasikan realitas, sehingga ia dapat dimanfaatkan sebagai alat pemaparan representasi citra identitas di media baru yang akrab dengan masyarakat saat ini, yakni media sosial khususnya instagram.
7
Istilah „languange game‟ merupakan konsep pemikiran filusuf Ludwig Wittgenstein dalam karyanya „Philosophical investigations‟. Language Game yang artinya proses menyeluruh penggunaan kata, termasuk juga pemakaian bahasa yang sederhana sebagai suatu bentuk permainan
8
1.2
Rumusan Masalah
“Bagaimana foto diri dapat merepresentasikan realitas sehingga dapat dimanfaatkan sebagai alat representasi pemaparan citra identitas di media sosial (instagram)?”
1.3
Tujuan Penelitian
Mencari pemaknaan dalam praktek-praktek pemanfaatan medium fotoyang diunggah di media sosialinstagram, sebagai proses kreatifmemaparkan representasi citra identitas para pengguna media sosial instagram.
1.4
Sasaran / Batasan Penelitian a) Foto Diri
Penelitian ini akan melihat serta menganalisis beberapa tipologi foto diri “popular” di media sosial instagram, seperti : i). Selfie : Jenis foto potret diri yang diambil sendiri dengan menggunakan kamera digital atau telepon kamera. ii). Outfit Of The Day :Foto diri yang bertujuan menampilkan gaya berbusana yang dikenakan pada hari itu. iii). PhotoTrip :Foto diri saat berwisata dengan mengambil latar suatu ikon popular dari tempat wisata tersebut. Namun dari ketiga tipologi dasar foto diri populer yang disebutkan diatas, dalam penelitian ini peneliti mengambil beberapa sample informan yang melakukan jenis foto diri seperti diatas dengan „praktek dan karakter yang berbeda-beda‟. Adapun pemilihan informan dalam penelitian ini berdasarkan :
9
1. Usia a. 16 – 25 tahun b. 26 – 45 tahun c. >46 tahun (Kategori umur ini didapat berdasarkan hasil riset GlobalWebIndex, sebuah studi riset pasarterbesardi dunia padakonsumendigital, yang menyatakan bahwa global internet audience memiliki rata-rata usia 16-64 tahun yang dilihat dari tingkat aktivitas penggunaan internet.)
2. Gender -
Laki- laki
-
Perempuan
3. Tingkat aktivitas dan konsistensimenampilkan Foto Diri Banyak pengguna media sosial instagram yang senang melakukan foto diri, tetapi tidak semua yang melakukannya memiliki aktivitas yang tinggi serta konsistensi yang kuat dalam memaparkan foto diri di akun instagramnya. Untuk itu, peneliti lebih memilih informan yangsecara aktif mengunggah foto diri di akun instagramnya, serta memiliki konsistensi yang kuat dalam memaparkan „identitas‟-nya melalui foto-foto diri yang ia tampilkan. (Dalam hal ini, jika dilihat secara visual, foto-foto tersebut memiliki karakter yang serupa) 4. Respon (jumlah followers, like, dan comment) Dalam media sosial instagram, eksistensi seorang penggunanya dapat diukur dengan banyaknya jumlah respon-respon yang diberikan dari para pengguna instagram lainnya, seperti banyaknya orang yang ingin mengikuti akun tersebut (followers), jumlah like, dan comment. Hal ini dapat memperlihatkan seberapa besar tingkat interaksi yang terjalin antara seorang pemilik instagram, dengan para pengguna lainnya yang di mediasi oleh foto-foto yang ia tampilkan.
10
b) Media Sosial : Instagram Penelitian ini akan melihat beragam praktek foto diri yang diaplikasikan dalam media sosial“Instagram”. Adapun pemilihan media sosial tersebut, dikarenakan instagrammerupakan media sosial yang memiliki konten yang dikhususkan untuk menyimpan dan berbagi foto secara virtual. Instagram saat ini menjadi media sosial favorit untuk mengunggah foto. Instagram tidak hanya aksesibel dalam penggunaannya, yang dapat dengan mudah diakses melalui smartphone yang difasilitas melalui aplikasi, namun sisi menarik dari media sosial ini, ketika akun pemiliknya dapat diikuti (follow)oleh para pengguna instagram lainnya, jika mereka ingin terus mengetahui foto-foto terbaru yang akan ditampilkan si pemilik akun tersebut. Sehingga para penggunanya dapat berinteraksi secara online dan saling memberikan respon (like dan comment)terhadap foto-foto yang ditampilkan. Selain itu dalam penggunaannya, media sosial instagram juga bersifat „frozen in time‟, yang dimana kata lain aktivitas para penggunanya, baik foto-foto yang ditampilkan maupun interaksi antar pengguna lain, akan terekam di ruang profil yang terwujud dalam sebuah album foto virtual. Oleh karena itu, instagram dirasa pantas untuk dikaji dalam penelitian ini karena instagram merupakan media sosial yang memiliki pola interaksi antar sesama penggunanya yang dimediasi oleh foto.
1.5
Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Etnografi Virtual,
yakni dengan mendasarkan observasi visual pada subyek dan obyek penelitian dimana „situated knowledge‟ atau pengetahuan yang berdasarkan pada konteks penelitian menjadi pijakan untuk eksplorasi analisis dan pembahasan secara diskusif dalam mengkaji tentang pola konsumsi dan 11
perilaku masyarakat online serta budaya yang diciptakan melalui teknologi yang memediasi interaksi sosial. Etnografi Virtual secara operasional dipahami sebagai suatu metode untuk mengumpulkan materi dan data-data yang secara spesifik berkenaan dengan „image-making‟ atau aktivitas memproduksi citra, baik secara visual maupun tekstual pada masyarakat digital. Secara khusus, Etnografi Virtual mengutamakan penggunaan rekaman visual untuk mendeksripsikan kehidupan suatu komunitas masyarakat, baik yang masih berlangsung hingga kini, maupun yang telah berlangsung di masa lampau. (Bell, dalam Van Leewen dan Jewitt ; 2001) Seperti layaknya dalam metode penelitian etnografi biasanya, peneliti harus sepenuhnya berpartisipasi dalam kelompok masyarakat yang akan diteliti. Adapun dalam metode Etnografi Virtual yang mengkaji masyarakat online, peneliti juga harus turut serta menjadi bagian dalam masyarakat online tersebut, dengan kata lain dalam penelitian ini peneliti turut ikut serta menjadi bagian pengguna media sosial instagram agar dapat menganalisis lebih dalam aktivitas foto diri yang dilakukan masyarakat di instagram. Salah satu kemampuan metode penelitian ini, peneliti dapat memiliki akses secara global dengan data-data luas yang tanpa batas. Seperti contohnya dalam penelitian ini, peneliti mampu mendapatkan kesempatan untuk memperoleh data dari beberapa informan di luar negeri, dengan menggunakan metode wawancara jarak jauh yang didukung dengan alat teknologi komunikasi yang mumpuni. Karena perihal segala aktivitas yang dilakukan masyarakat online, merupakan aktivitas massif yang mampu dilakukan secara global oleh berbagai kalangan masyarakat dimanapun dan kapanpun. Oleh karena itu berdasarkan penjelasan diatas, Etnografi Virtual menjadi metode penelitian yang dirasa tepat untuk menganalisis fenomena „Foto Diri dan Representasi Identitas di Media Sosial Instagram‟ saat ini.
12
1.6
Kerangka Berfikir Teori
REPRESENTATION Stuart Hall :
'Representation' Cultural Representation and Signifying Practices (Representasi berkaitan erat dengan produksi 'makna' dari konsep yang ada dalam pikiran seseorang melalui bahasa simbol, dalam hal ini foto )
SPECTACLE Guy Debord : "The Society of The Spectacle" (Bagaimana subyek foto merepresentasikan dirinya di dalam masyarakat tontonan. Instagram menjadi 'panggung' visual)
DISTINCTION Pierre Bordieu : 'Distinction' A Social Critique of the Judgement of Taste (Apa yang dipertontonkan dalam spectacle berkaitan dengan 'Estetika Popular' yang mengikat norma-norma secara umum. Pemikiran ini menjadi landasan batasan penelitian yang hanya memfokuskan pada foto-foto diri popular di instagram)
13
1.6.1.Representasi “Representation is the production of the meaning of the concepts in our minds trough language.” - Stuart Hall, „Representation' Cultural Representation and Signifying Practices
Untuk menggambarkan ekspresi hubungan antara teks media dengan realitas, konsep representasi sering digunakan. Secara semantik, representasi dapat dianalogikan “to depict, to be a picture of, atau to act or speak for (in the place of, in the name of) somebody”, yang berarti "untuk menggambarkan, menjadi gambar, atau untuk bertindak, berbicara untuk (di tempat, di dalam nama) seseorang." Beberapa makna yang terkandung dalam kata representasi adalah „to represent‟ atau menghadirkan kembali sesuatu, „to stand in‟ untuk mewakili sesuatu, dan „to speak or act‟ atau untuk berbicara dan bertindak. Ia menjadi sebuah tanda (a sign) untuk sesuatu atau seseorang, sebuah tanda yang tidak sama dengan realitas yang direpresentasikan tapi dihubungkan dengan, dan mendasarkan diri pada realitas tersebut. Jadi, representasi mendasarkan diri pada realitas yang menjadi referensinya. Representasi berkaitan erat dengan produksi makna dari konsep-konsep yang ada dalam pikiran seseorang melalui bahasa. Representasi sendiri merupakan sebuah sistem yang memiliki proses. Hall membagi proses-proses ini dalam dua hal yaitu representasi mental (mental representation) dan bahasa (language/sign). Representasi mental berada dalam konsep di kepala kita. Dalam representasi mental kita menghubungkan antara kenyataan dengan konsep yang kita miliki. Melalui hal-hal nyata yang kita lihat, dapat tercipta konsep akan hal tersebut tanpa benar-benar berada dalam situasi yang dimaksudkan atau melihat benda yang dibicarakan. Kesan yang kita dapatkan ini sangat 14
tergantung pada subjek yang memaknai sebuah produk. Tataran kedua dalam sistem representasi adalah bahasa. Semua konsep dalam representasi mental harus diwujudkan dengan bahasa agar kita dapat menghubungkannya dengan kenyataan dan mendapatkan makna. Bahasa dapat diuraikan dengan kode-kode. Kode yang dimaksud disini adalah kode bahasa dan budaya. Berkaitan dengan hal diatas, pemikiran Alfred Schutz juga dapat menganalogikan konsep representasi mental (mental representation) dan bahasa (language/sign) dalam membedah fenomena foto di media sosial. Bahwa bagaimana semua manusia dalam pikirannya membawa apa yang dinamakan stock of knowledge, yang didapatkan melalui proses sosialisasi serta menyediakan frame of reference atau orientasi yang mereka gunakan dalam menginterpretasikan objek-objek dan peristiwa-peristiwa yang mereka lakukan sehari-hari.Stock of knowledge inilah yang menjadi mental representation dalam diri seseorang, ketika menghubungkan kenyataan dengan konsep yang ada dalam pikirian manusia dalam merealisasikan sesuatu. Stock of knowledge ini memiliki karakter yang taken for granted8dan jarang sebagai objek dari refleksi kesadaran. Ia dipahami oleh manusia, dengan menggunakan akal sehat, sebagai sebuah realitas. Pada proses selanjutnya representasi bahasa diwujudkan melalui simbol yang memiliki kodekode atau makna yang dapat memvisualisasikan stock of knowledge tersebut. Simbol yang dapat mewujudkan representasi ini dapat berupa tekstual maupun simbol visual. Dalam praktik ini, konstruksi makna harus selalu dikaitkan dengan konteks. Dengan demikian representasi tidak pernah terlepas dari realita sosial yang melingkupi subjek dan objek. Representasi merekatkan semua tanda-tanda menjadi makna dan makna sendiri bersifat subjektif, tidak pernah tetap, selalu berubah dan selalu bergerak. Makna tidak terkandung begitu saja dalam sebuah tanda melainkan terbangun ketika makna tersebut ditafsirkan oleh penafsir
8
Menurut Peter L “threats to the taken-for-granted world” artinya sesuatu yang memang sudah seharusnya demikian, benar, dan nyata.
15
yang juga telah memiliki serangkaian konsep sesuai dengan budaya yang ia miliki. Pada teori representasi makna di konstruksi melalui bahasa. Menurut Stuart Hall dalam artikelnya „things don‟t mean : we construct meaning, using representational systems-concepts and signs‟ . Oleh karena itu, konsep (dalam pikiran) dan tanda (bahasa) menjadi bagian penting yang digunakan dalam proses konstruksi atau produksi makna. Sementara itu Stuart Hall dan Du Gay menjabarkan bahwa representasi dan identitas berada dalam circuit of culture. Ada lima hal yang terus menerus berlangsung dalam interaksi sosial kehidupan sehari-hari yaitu proses representasi, identitas, produksi, konsumsi dan regulasi. Dalam kelima proses ini, bahasa menjadi medium yang dapat menjadikan suatu hal menjadi bermakna.Lima proses dalam Circuit of Culture saling berhubungan satu sama lain dan dapat digambarkan sebagai berikut :
Diagram 1. „Circuit of Culture‟ Stuart Hall and Du Gay
Proses representasi akan membawa makna menuju konstruksi identitas. Proses ini juga dapat memproduksi makna baru dan sebaliknya, proses representasi dapat dipandang sebagai proses 16
konsumsi makna. Proses representasi terkait dengan regulasi, yaitu dengan kode-kode dan peraturan yang ada dalam masyarakat dan mengantarkan sebuah hal menjadi bermakna. Identitas sendiri dapat diproduksi dan dikonsumsi. Identitas juga dapat direpresentasikan serta tidak terpisahkan dari regulasi yang ada dalam masyarakat. Sebaliknya, regulasi juga tidak dapat berdiri sendiri melainkan terbentuk dari interaksi antara proses konsumsi, produksi, representasi dan identitas. Begitu pula dalam melihat foto-foto diri di media sosial instagram, bagaimana foto-foto tersebut mengandung tanda ataupun simbol-simbol yang kebermaknaannya sudah diakui masyarakat. Simbol-simbol tersebut dapat berupa situasi, latar, obyek dan subyek foto. Dengan melihat berbagai simbol atau tanda, proses representasilah yang akan membawa simbol dan makna tersebut menjadi suatu makna yang menuju konstruksi identitas individu maupun kelompok yang menghendaki suatu foto.Hal inilah yang membuat foto seringkali digunakan untuk merepresentasikan identitas karena memiliki ruang bagi kode-kode yang bermakna. Kodekode tersebut dapat menggambarkan identitas karena kebermaknaannya sudah menjadi regulasi di masyarakat yang terbentuk dari berbagai proses sosial. Pada akhirnya, kode-kode yang memiliki makna inilah yang menjadi sudut pandang melihat identitas individu maupun kelompok. Dalam artikulasi inilah makna, konstruksi identitas, dan representasi menjadi bagian dari sebuah siklus budaya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa representasi adalah suatu proses untuk memproduksi makna dari konsep yang ada di pikiran kita melalui bahasa. Makna tidak lain adalah suatu konstruksi. Proses produksi makna tersebut dimungkinkan dengan hadirnya sistem representasi dan difiksasi melalui kode atau tanda. Dalam fenomena foto diri dan representasi identitas di media sosial ini, representasi yang diambil disini adalah wujud lain dari identitas seorang
17
pengguna media sosial, yang dihadirkan melalui citra visual. Representasi selalu dekat dengan simbol dan pemaknaan. Dalam hal ini, foto menjadi simbol visual yang mengantarkan representasi dari identitas yang ingin ditampilkan.
1.6.2 Identitas “Identitas dikaitkan sebagai produksi yang tidak pernah selesai, yang selalu berada dalam proses yang bersamaan dengan representasi.” (Stuart Hall, Identity and Diaspora).
Subyektivitas dan identitas adalah produk kultural yang spesifik dan tidak abadi. Subyektivitas mengacu kepada kondisi menjadi seorang pribadi dan proses dimana kita menjadi seorang pribadi, yaitu bagaimana kita dibentuk sebagai subyek. Sebagai subyek, yaitu sebagai pribadi, kita terikat kepada proses-proses sosial yang menciptakan kita sebagai subyek untuk diri kita dan orang lain. Sedangkan, identitas memiliki konsep khusus. Identitas tidak hanya berkaitan mengenai informasi pribadi mengenai seseorang yang berkaitan dengan nama, tanggal lahir, tempat tinggal dan informasi-informasi lain yang ada dalam kartu identitas. Melainkan identitas sepenuhnya merupakan konstruksi sosial dan tidak mungkin 'eksis' diluar representasi kultural dan akulturalisasi. Identitas hadir dalam proses pemaknaan dan bukan hadir begitu saja dalam diri seseorang (Barker.2000 : 11-12). Dengan kata lain, identitas adalah „cara berfikir tentang diri kita‟. Kita memandang identitas diekspresikan melalui berbagai bentuk representasi yang dapat dikenali oleh orang lain dan kita sendiri. Kita boleh setuju bahwa identitas terkait dengan kesamaan dan perbedaan, dengan aspek personal dan sosial dan dengan bentuk-bentuk representasi. 18
Menurut Barker (2003: 165), identitas dibedakan menjadi self identity dan social identity. Pembedaan ini didasarkan dari sudut pandang melihat identitas. Bagaimana diri seseorang atau kelompok melihat dirinya adalah self identity, sementara bagaimana konstruksi masyarakat melihat mereka adalah social identity. Identitas seseorang atau kelompok ditentukan berdasarkan kesamaan dan perbedaan mengenai diri pribadi dan sosial. Kathryn Woodward (1999: 35) mengatakan bahwa konstruksi identitas diambil dari pemaknaan atas perbedaan: “ Identity is constructed in relation to otheridentities, to “the outsider” or in terms of others”. Dalam pengertian ini „identitas merupakan hubungan yang bersifat oposisi biner dengan „yang lain‟. Identitas seseorang dapat terkonstruksi atau dikonstruksikan melalui keberadaan yang lain. Bukan hanya individu yang penting, melainkan kaitan antara individu dengan komunitas atau orang-orang lain juga memegang peranan.Proses ketika seseorang mengklaim atau diklaim termasuk ke dalam suatu identitas berarti pada saat yang bersamaan ia tidak termasuk ke dalam suatu identitas yang lain. Dalam hal ini identitas berhubungan erat dengan perbedaan (difference). Suatu identitas yang dilekatkan pada seseorang berarti bahwa secara otomatis ia terbedakan dan berkonfrontasi dengan identitas lain. Identitas juga dapat diberikan oleh diri sendiri dalam cara kita merepresentasi atau memproduksi makna untuk diri kita sendiri. Hal atau benda yang kita gunakan, ritual yang kita jalani, cara berpakaian dan berpenampilan mendefinisi siapa kita, di kelompok mana keeksistensian kita diakui atau tidak diakui. Dengan memberi makna dan identitas pada diri kita sendiri, berarti kita memberi kestabilan dan kejelasan terhadap siapa diri kita dalam keterlibatan yang kompleks dengan orang lain dalam hubungan sosial. Konsepsi yang kita yakini tentang diri biasa disebut dengan 'identitas-diri', sementara harapan dan pendapat orang lain membentuk identitas sosial.
19
Namun demikian identitas bukanlah sebuah konstruksi yang bersifat tetap dan ada dengan sendirinya. Momen konsumsi menandai salah satu proses dimana kita dibentuk sebagai pribadi-pribadi. Terkait dengan hal ini, maka identitas sendiri dipandang sebagai suatu „hasil‟ yang tidak akan pernah selesai, selalu dalam proses dan selalu disusun dalam gambaran atau representasi atas sesuatu.Mengeksplorasi identitas, berarti kita melihat diri kita dan bagaimana orang lain melihat kita. Jadi, identitas adalah suatu esensi yang dapat dimaknai melalui tandatanda selera, kepercayaan, sikap dan gaya hidup. Identitas dianggap bersifat personal sekaligus sosial dan menandai bahwa kita sama atau berbeda dengan orang lain. 1.6.3. “The Society of The Spectacle” (Guy Debord) “The whole life of those societies in which modern conditions of production prevail presents itself as an immense accumulation of spectacles. All that once was directly lived has become mere representation”. - Guy Debord, The Scociety of The Spectacle
Ketika berbicara representasi, berbagai fantasi yang dibangun untuk merepresentasikan diri individu sesuai yang ia harapkan, merupakan proses dari bagian-bagian yang menunjukan bahwa manusia adalah masyarakat yang ingin mempertontonkan sesuatu yang tampak saja. Pemikiran Guy Debord dalam Society of Spectacle melihat bagaimana kecenderungan masyarakat saat ini lebih memilih media gambar atau visual yang memiliki penegasan penampilan dan penegasan kehidupan sosial untuk menginterpretasikan sesuatu. Guy Debord meyakini bahwa spectacle merupakan „main production of present day society‟ atau produksi utama yang dominan pada masyarakat saat ini. Spectacle kerap hadir pada masyarakat yang ingin menjadikan dirinya sebagai tontonan atau konsumsi dari masyarakat 20
lainnya, atau dengan kata lain „Individual reality has become social‟. Masyarakat tontonan merupakan suatu bentuk tampilan yang berupaya melakukan identifikasi melalui relasi sosial dari seluruh aspek kehidupan sosial manusia. Dalam masyarakat tontonan atau spectacle, kehidupan bertranformasi menjadi „representasi‟. Setelah itu, salinan dari representasi menjadi sebuah realitas. Spectacle menjadi kecenderungan untuk melihat dunia realitas melalui medium tertentu (mediated reality) dengan kata lain realitas yang dimediasi, karena tidak dapat diterima secara langsung.Medium gambar atau visual inilah yang cenderung digunakan pada masyarakat saat ini untuk merepresentasikan sesuatu. Ketika dunia nyata atau realitas berubah menjadi gambar sederhana, gambar tersebut menjadi sebuah kenyataan dan motivasi efektif dari perilaku hipnotis. Walaupun demikian, spectacle tak dapat dipahami sebagai penipuan visual belaka yang diproduksi oleh teknologi-teknologi media massa. Namun merupakan sebuah pandangan dunia yang telah termaterialkan, suatu pandangan akan dunia yang telah menjadi objektif. Imaji-imaji visual ini yang terpisah dari setiap aspek kehidupan digabung kedalam sebuah arus umum, dimana didalamnya kesatuan dari kehidupan itu tak dapat lagi ditemukan. Pandangan-pandangan dari kenyataan yang terfragmentasikan menyusun kembali diri mereka ke dalam kesatuan baru sebagai sebuah „dunia palsu‟ yang terpisah yang hanya dapat „disaksikan‟. Spesialisasi dari imaji dunia, berkembang menjadi sebuah dunia dari imaji kebebasan di mana bahkan para „penipu pun ditipu‟. Karena, di dunia yang sungguh-sungguh terjungkirbalik, kebenaran adalah momen kepalsuan. Spectacle adalah pembalikan kongkrit dari kehidupan, sebuah gerakan otonom dari sesuatu yang tak hidup. Namun, Guy Debord menekankan bahwa, spectacle ternyata bukanlah kumpulan citracitra (imaji). Akan tetapi, merupakan suatu „relasi sosial‟ antara orang-orang yang dimediasikan
21
melalui citra itu sendiri. Dengan demikian pemahaman atas spectacle atau tontonan tidak bisa hanya dipahami semata-mata sebagai upaya penipuan secara material atau visualisasi seperti pada industri media. Namun dunia tontonan adalah pandangan dunia yang telah berhasil membangun ruang, saat imaji (image) mendapat tempat istimewa yang telah dimaterialisasikan secara aktual, atau dalam bahasa sarkatis : „Memalsukan kenyataan merupakan produk yang riil dari kenyataan itu‟. Spectacle yang memalsukan realitas, tidak lebih dari produk nyata dari realitas tersebut. Sebaliknya, kehidupan nyata secara material telah diinvasi oleh kontemplasi terhadap spectacle, lalu berakhir dengan menyerapnya serta menyatukan dirinya ke dalam spectacle itu sendiri. Realitas objektif hadir pada kedua sisinya. Masing-masing konsep tampaknya telah menyatu tersebut tak memiliki dasar apapun selain transformasinya ke dalam oposisi dari bentuknya sendiri: realitas terserap ke dalam spectacle, dan spectacle menjadi realitas. Timbal balik alienasi adalah esensi dan pendukung masyarakat yang eksis saat ini. Spectacle menyajikan dirinya sebagai realitas yang tak dapat dimasuki, yang juga tak pernah dapat dipertanyakan. Pesan khususnya adalah: “Apa yang tampil adalah yang baik, yang baik adalah apa yang tampil.” Penerimaan pasif yang diperlukannya telah secara efektif diterapkan oleh monopoli penampilannya, sifat penampilannya tidak memperbolehkan tanggapan apapun. Dalam kaitannya dengan komoditi, masyarakat tontonan sendiri merupakan masyarakat yang dalam setiap sisi kehidupannya menjadi komoditi dan setiap komoditi tersebut menjadi „tontonan‟.Untuk memahami bagaimana komoditi menjadi sebuh tontonan, Guy Debord mengajak kita memahami konsep Fetisisme, yaitu pemujaan yang berlebihan „pemberhalaan‟ atas benda-benda atau objek.
22
Fetisisme komoditi pendominasian masyarakat oleh “benda-benda yang tak nyata sebagaimana juga oleh yang nyata” mencapai puncak pemenuhannya dalam spectacle, di mana dunia nyata digantikan oleh sebuah seleksi atas citra-citra yang telah diproyeksikan atasnya, yang mana pada saat yang sama berhasil dalam mem-buat diri mereka dianggap sebagai ringkasan realita. Dunia komoditi dengan demikian memperlihatkan artinya sendiri, karena perkembangannya identik dengan pemisahan manusia dari sesamanya dan dari apapun yang diproduksinya. Sehingga tidak jarang masyarakat atau individu menjadi subjek yang pasif, karena teraleniasi serta terkondisikan mengonsumsi tontonan secara simultan. Misalnya, sebuah produk terus tercitrakan melalui relasi-relasi sosial dalam segala aspek yang secara tidak sadar, justru menghadirkan kebutuhan-kebutuhan semu, namun begitu nampak objektif dengan alasan yang rasional turut serta merepresentasi kebutuhan atau identitas masyarakat. Berdasarkan pengalaman kita bermedia sosial, seringkali kita akrab dengan berbagai tipologi foto yang meramaikan media sosial. Salah satunya foto-foto barang mewah dengan brand ternama yang dipertontonkan didalam ruang media sosial. Benda-benda tersebut biasanya tidak jauh dari kehidupan sang pemilik, atau dengan kata lain kepunyaan sang pemilik media sosial. Misalnya, kendaraan mewah, tas branded, sepatu branded, yang dipampangkan lengkap beserta hashtag9. Tipologi foto seperti demikian dapat dikaitkan dengan konsep fetisisme yang bermakna pemujaan barang atau obyek, yang menjadikan subyek menjadi pasif dan mencitrakan dirinya melalui benda-benda tersebut. Selain itu Debord memandang, relasi komoditas telah mengalami perluasan melalui media massa yang bisa menghadirkan pertunjukkan atau tontonan yang dipandang 9
Hashtag adalah kata atau frasa (tanpa spasi) yang diawali dengan simbol # -- misalnya,#BMW #HERMES (merek brand ternama) -- yang membantu orang-orang menemukan dan bergabung dengan percakapan tentang topik tertentu. Mengeklik hashtag akan menampilkan konten terkait.
23
sebagai tempat spektakuler bagi para spektatornya menjadi objek di hadapan penonton, inilah yang disebut Guy Debord sebagai spectacle(tontonan / tayangan/tampilan). Media massa telah menciptakan nilai-nilai bagi komoditas yang dipertontonkan. Dalam kenyataannya, praktek-praktek interaksi antar masyarakat maya yang dimediasi oleh gambar seakan seperti suatu pertunjukan visual yang layak untuk dipertontonkan. Layaknya Society of Spectacle atau Masyarakat Tontonan, relasi antar seorang penampil (dalam pembahasan selanjutnya akan disebut “performer”) dan para penonton (dalam pembahasan selanjutnya akan disebut “spectator”) menjadi peran penting yang menghidupkan pertunjukan visual di media sosial. Bagaimana tidak, setiap gambar atau citra visual yang dipaparkan di media sosial, tidak lagi menjadi milik individu, tetapi gambar tersebut sengaja disuguhkan untuk menjadi konsumsi masyarakat maya(individual reality becomes society), yang dimana mereka memiliki hak prerogratif untuk memberikan respon timbal balik terhadap apa yang dipertontonkan oleh sang performer. Sehingga foto menjadi medium dari „representasi‟ seseorang untuk membawa identitas dirinya agar dapat membangun „hubungan sosial‟ kepada sesama masyarakat virtual di media sosial. 1.6.3.1 „Mediated Reality‟ in the Spectacle Society “The spectacle is not a collection of images, but a social relation among people, mediated by images” (Guy Debord, The Society of TheSpectacle)
Pada prakteknya, walaupun masyarakat tontonan atau spectacle society ini dipenuhi oleh berbagai citra visual yang dipertontonkan, kehidupan masyarakat tontonan bukan hanya sekedar 24
diartikan sebagai perkumpulan dari berbagai citra yang dipertontonkan. Tetapi, masyarakat tontonan merupakan suatu bentuk „relasi sosial‟ antar manusia yang dimediasi oleh citra itu sendiri. Hal ini dapat menegaskan bahwa didalam masyarakat tontonan, citra visual merupakan suatu medium penting untuk mengkoneksikan hubungan sosial antar sesama masyarakat tontonan didalamnya. Citra visual merupakan cara berbahasa, cara berkomunikasi pada relasi sosial masyarakat tontonan. Sehingga, apa yang dipertontonkan tidak hanya sebatas gambar visual, tetapi memiliki makna yang dapat merepresentasikan pesan didalamnya. Seperti pada fenomena foto diri di media sosial instagram ini. Karena sifatnya yang mampu menampilkan simbol berwujud visual, foto dijadikan media „berbahasa‟ untuk menyampaikan pesan bermakna dari subyek foto tersebut. Sehingga, foto yang ditampilkan tidak hanya sebagai citra visual yang estetik, namun foto-foto tersebut memiliki makna untuk merepresentasikan sesuatu. Ruang inilah yang dimanfaatkan oleh para pelaku foto diri di media sosial instagram. Mereka menggunakan medium foto untuk dapat berinteraksi dengan sesama pengguna sosial media instagram lainnya. Karena melalui foto, seseorang tidak perlu lagi berpanjang kata untuk berbahasa menyampaikan kata-kata tekstual, foto dengan cepat dapat mendeskripsikan realitas melalui citra visual yang diwujudkannya. Foto diri yang kerap dikaitkan dengan identitas, menjadi simbol visualisasi diri dari subyek foto didalamnya. Bagaimana mereka menghadirkan dirinya melalui foto-foto yang ditampilkan untuk dapat memaparkan realitas dunianya kepada orang-orang yang akan melihat foto tersebut. Sehingga konsekuensi didalamnya, setiap individu akan memasuki tahap representasi diri yang termediasi. Disinilah posisi foto diri kerap dijadikan sebagai media representasi untuk membentuk atau mengkonstruksi realitas tertentu, dalam hal ini “Representasi Identitas”
25
1.6.4 Distinction : Pembedaan Budaya Selera Estetik
“Everything take place as if the „popular aesthetic‟ were based on affirmation of continuity between art and life, which imply the subordination of form to function….” -Bordieu , 'Distinction' A Social Critique of the Judgement of Taste
Pemikiran Bordieu tentang pembedaan selera sebagai putusan estetis ini, pada dasarnya diarahkan untuk melakukan kritik terhadap pemikiran Kant tentang selera „murni‟, keindahan yang bersifat apriori (tanpa kepentingan, tanpa konsep, tanpa tujuan, dan niscaya). Bordieu lebih melihat selera sebagai putusan estetis, yang merupakan produk dari adanya perbedaan kelas, ketimbang pengakuan atas standar kualitas. Menurut Bordieu selera adalah sesuatu yang dikonstruksi secara sosial dalam ruang sejarah yang konkret. Apa yang pantas dibaca, dilihat, diapresiasi, bukan merujuk pada rasionalitas selera murni, dalam arti tanpa kepentingan, kosong konsep, dan awa-tujuan, melainkan merupakan hasil tegangan dan perjuangan di dalam relasi seni dan strategi kekuasaan dalam rangka memonopoli apresiasi seni. Setiap putusan estetis senantiasa mengambil bentuk putusan hipotetik yang biasanya secara implisit berdasarkan pengakuan standar dari genre tertentu, atau setidaknya pada suatu model kesempurnaan yang sudah berada dalam ruang lingkup konsep tertentu. Sangat mustahil baginya jika keindahan „murni‟ adalah keindahan yang tanpa kepentingan dan tujuan. Karena, selama suatu tindakan berlangsung dalam ranah sosial, putusan estetis misalnya, sudah pasti mengusung kepentingan, sekalipun kepentingan itu sejauh pada kepentingan simbolik. Sebab menurut Bordieu, yang „simbolik‟ dalam konteks ranah perjuangan kelas dan kekuasaan, sangatlah strategis karena ia memiliki kekuatan legitimasi untuk melakukan dominasi. Karena pendistingsian ini diperlukan dalam rangka menentukan posisi-posisi kelas dalam ranah sosial. 26
Oleh karena itu, separasi dan pembedaan (distinction) simbolik dalam hal selera estetik perlu di konstruksi. Pada realitanya, konsep pembedaan selera atau distinctiondapat kita lihat pada fenomena foto diri yang ditampilkan di media sosial instagram. Bagaimana para penampil foto diri menampilkan dirinya dengan mempertontonkan beragam visual yang estetis. Penempatan subyek foto, gaya, konsep, serta estetika tempat, menjadi bagian-bagian yang dipertimbangkan untuk menentukan selera melalui gambar yang ditampilkan. Seperti halnya ketika kita melihat ribuan bahkan jutaan foto yang ditampilkan di instagram membuat kita dipusingkan oleh beragam citra visual dari seluruh pengguna akun instagram. Namundari banyaknya foto-foto tersebut, jika diperhatikan, sesungguhnya tipologi foto yang ditampilkan banyak yang merupakan foto-foto dengan gaya estetika yang serupa. Dalam hal ini, kita dapat melihat secara kritis bahwa foto-foto yang ditampilkan di media sosial instagram membentuk „estetika popular‟ yang dilanggengkan oleh seluruh penggunanya. Seperti contohnya dari ketiga tipologi foto diri popular di instagram yang akan diteliti dalam penelitian ini. Contoh pertama, saat kita melihat foto-foto yang diabadikan saat berwisata, yang diunggah ke akun media sosial instagram. Tentu saja kita takkan heran jika melihat simbolsimbol tempat yang ikonik di foto tersebut. Hal itu seakan sudah menjadi estetika umum yang dilanggengkan oleh siapapun yang pergi berwisata, untuk mengabadikan gambar diri pada setiap tempat-tempat ikonik dari negara maupun kota tempat dimana ia berpijak. Dalam hal ini, seakan foto tersebut menjadi pesan visual yang menjadi „bahasa umum‟ untuk menyampaikan bukti kehadiran diri subyek foto yang pernah mendatangi tempat tersebut. Contoh foto lainnya yang sangat umum kita temui, yakni selfie. Selfie yang merupakan gaya berfoto andalan untuk menampilkan rupa wajah, menjadi foto diri favorit yang sangat akrab kita jumpai di hampir
27
seluruh album foto pengguna instagram. Mereka seakan secara serempak melakukan foto selfie, dengan memfoto dirinya sendiri sebagai cara untuk berekspresi ataupun untuk mengabadikan gambar diri di suatu momen yang tak ingin terlewatkan. Tak hanya itu, contoh lainnya dalam ranah gaya berbusana saat ini, yang cenderung sering diabadikan melalui foto dan diunggah ke akun media sosial, seperti instagram. Hal tersebut ingin memperlihatkan bagaimana gaya berpakaian kita di hari itu, untuk menunjukan selera gaya berbusana yang kita sukai. Foto seperti demikian, akrab di sosial media dengan sebutan OOTD atau Oufit Of The Day.Karena, ketika foto-foto diri tersebut masuk ke dalam ranah sosial masyarakat tontonan, foto tersebut bukan lagi menjadi realita individu, tetapi sudah menjadi realita sosial. Seperti yang diungkapkan Guy Debord pada The Society of The Spectacle, „individual reality has become social‟.Dengan begitu, foto-foto yang ditampilkan tidak semata-mata hanya ditunjukan sebagai estetika murni, melainkan terdapat tujuan tertentu yang berhubungan dengan kepentingan di ranah sosial. Dalam sudut pandang „Distinction‟ yang dikemukakan Pierre Bordieu, selera estetika yang biasanya mendapatkan pengakuan positif dan diakui menarik oleh orang banyak, lamakelamaan akan dikonstrusikanmenjadi “Estetika Popular” yang dianut secara massif oleh siapapun yang menampilkannya. Seperti halnya praktek foto diri di media sosial instagram ini , foto diri yang dianggap popular seakan menjadi suatu budaya yang dirayakan oleh para pelakunya. Untuk itu, berdasarkan kacamata pembedaan selera menurut Bordieu inilah, yang menjadi landasanutama untuk memilih foto-foto diri popular di sosial media instagram sebagai fokus kajian penelitian. Karena, dibalik estetika popular yang ditampilkan, pasti ada tendesi yang memiliki tujuan serta kepentingan simbolik yang ingin disampaikan. Dalam hal ini, tujuan maupun kepentingan subyek foto diri yang ingin menyampaikan pesan “Representasi Identitas” kepada masyarakat tontontan. 28
1.7 Tinjauan Pustaka Kajian ini akan melihat beberapa literatur yang menjadi pendukung teori utama. Beberapa tulisan yang digunakan dalam tinjauan pustaka ini merupakan berbagai sudut pandang yang masih relevan dalam membingkai representasi identitas melalui medium foto. Adapun berbagai tipologi foto yang dibahas dalam tinjauan ini sangat beragam, tidak hanya terkait pada foto-foto di media sosial, tetapi dalam pembahasannya turut menggunakan kerangka berfikir representasi dan identitas yang dimediasi oleh visual foto. Tulisan yang pertama terkait foto sebagai media representasi dikaji oleh Agus Heru Setiawan dalam tesisnya yang berjudul “Citra Sempurna? Pola Visual dan Makna Foto PreWedding”. Melalui sudut pandang antropologi, tesis ini menyoroti tren penggunaan foto prewedding, pada prosesi perayaan pernikahan di Yogyakarta serta makna yang terkandung di dalam foto tersebut, baik ditinjau dari sudut pandang orang yang melihatnya maupun perspektif dari pasangan calon pengantin yang membuat foto itu sendiri. Selain itu juga melihat perubahan yang timbul dalam masyarakat dari adanya tren penggunaan foto tersebut. Foto pre-wedding dibayangkan sebagai media representasi yang mampu menampung kebebasan dan menampilkan gambaran kesempurnaan diri pasangan calon pengantin dalam mengekspresikan keinginan dan impian sebagai pasangan, lepas dari keterlibatan orang tua serta keluarganya. Sebuah pembayangan yang dibentuk dan difasilitasi perkembangannya untuk kepentingan industri foto. Masih dalam kerangka yang sama namun berada di koridor yang berbeda yakni dunia digital, tulisan yang bertajuk “Me, Myself, and I : Fleksibilitas Identitas dalam Budaya Percepatan” membedah studi kasus dua sampel foto profil Facebook yakni milik Bing Bedjo dan Christin Ana Wijaya, Dimana, kedua foto profil facebook tersebut mengkonstruksi identitas sang pemiliknya dengan menampilkan foto profil yang jauh sekali dengan kehidupan nyata sang 29
pemilik akun, misalnya tokoh karakter kartun, tokoh masyarakat, bahkan publik figur. Luri Renaningtyas, sang penulis tulisan ini mendeskripsikan konsep identitas masyarakat di era digital ini dengan menggunakan data-data visual yang bersangkutan. Tulisan ini ingin memperlihatkan bahwa seseorang menampilkan foto profil di Facebook untuk menunjukkan identitasnya dijaringan sosial. Foto yang ditampilkan memuat informasi tentang siapa orang dibaliknya dengan referensi fisiknya didunia nyata. Seseorang akan bebas „memerankan‟ siapa saja ketika berada dalam wacana informasi teknologi, yang memungkinkan ia menjadi fleksibel menjelma dari satu identitas ke identitas yang lain melalui foto profilnya. Selain itu, ada juga temuan yang cukup menarik yaitu proyek penelitian yang dipimpin oleh Dr. Lev Manovich dan Software Studi Initiative yang bertajuk “Selfiecity”. Selfiecity merupakan upaya untuk memahami beragam tipologi selfies yang diposting di Instagram dibeberapa sampel negara, yakni Bangkok, Berlin, Moskow, New York, dan Sao Paulo. Selfiecity mengungkapkan kompleksitas yang memahami selfie sebagai produk dari kemajuan digital-image, image-sharing serta merupakan fenomena sosial yang pada saat yang sama berfungsi sebagai sarana ekspresi diri individu dan kreatifitas. Dalam Selfiecity, selfie diperlakukan sebagai bentuk ekspresi diri individu pengguna Instagram, serta perilaku komunal dan praktek sosial. Dari 140.000 gambar acak yang diambil dari beberapa negara diatas, foto-foto tersebut dipilih untuk analisa lebih lanjut. Tim proyek ini menggunakan berbagai pendekatan metodologis termasuk metode analisis citra komputasi dan perangkat lunak yang dibuat untuk menganalisis data besar dan visualisasi10
10
Tifentale,Alise “The Selfie: Making sense of the “Masturbation of Self-Image” and the “Virtual Mini-Me” , (The Graduate Center, The City University of New York)
30
Hasil yang sangat menarik dalam penelitian ini, selfiecity dapat menganalisis ratusan tipologi foto selfie tersebut berdasarkan kategori gender, ekspresi, pose, atribut foto, serta lokasi foto. Berikut adalah tampilan hasil analisis foto yang dilakukan selfiecity :
Gambar 6 Screenshot of Selfiexploratory, an interactive app on Selfiecity.net presenting the results of research. Sumber : www.selfiecity.net
Apa yang melatarbelakangi terjadinya fenomena-fenomena ini adalah isu kontemporer yang menjangkiti masyarakat kontemporer dalam budaya digital. Betapa media massa beserta teknologinya memiliki peran sentral terhadap kebangkitan visual power. Bahwa begitu cepatnya seseorang berganti-ganti identitas dalam fleksibilitas tak terhingga yang internet tawarkan, dengan segala bentuk inspirasi yang mengelilingi individu (implosion) atau dengan kata lain internet memberikan akses lebih kepada penggunanya untuk mengkonstruksi identitasnya dalam bentuk representasi-representasi identitas.
31