BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Menurut pasal 1 angka 15 Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang ada di Indonesia yang masih memiliki ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Taman Nasional (TN) dan kawasan konservasi lainnya merupakan aset umum yang ditetapkan pemerintah dengan tujuan untuk melestarikan keanekaragaman hayati dan jasa lingkungan. Taman Nasional secara khusus ditetapkan untuk pelestarian tempat dengan perwakilan ekosistem tertentu dan melindungi jenis-jenis tumbuhan dan hewan yang unik dan khas untuk daerah tertentu. Pembentukan Taman Nasional merupakan upaya sistimatis dari negara untuk proteksi lingkungan agar tidak mengalami kerusakan sehingga tetap melindungi dan melestarikan sumber-sumber penting tersebut. Keberlangsungan sumber daya alam hayati ini penting bagi kelangsungan sifat alamiah dari alam, serta dapat dikatakan sebagai sumber ekonomi bagi masyarakat, dan juga merupakan sumber devisa bagi negara. Sumber alam ini mempunyai nilai besar, dan pengelolaannya melibatkan berbagai kepentingan di dalamnya, baik masyarakat yang berada di dalam dan sekitarnya, pemerintah maupun pemilik modal. Keanekaragaman sumber daya alam hayati ini dimanfaatkan sebesarbesarnya bagi kepentingan masyarakat, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. (Rudolf, 2006: 1)
1
Salah satu taman nasional yang ada di Indonesia yaitu Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). TNGGP adalah Unit Pelaksana Teknis Pusat Direktorat Jenderal perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (UPT PHKA) Kementerian Kehutanan berkedudukan di Cibodas Cipanas Cianjur. TNGGP merupakan salah satu dari 5 (lima) Taman Nasional pertama di Indonesia yang diumumkan oleh Menteri Pertanian pada tanggal 6 Maret 1980 dengan luas 15.196 Ha. Kemudian TNGGP mengalami perluasan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 174/KptsII/2003 tanggal 10 Juni 2003 tentang penunjukan dan perubahan fungsi kawasan cagar alam, taman wisata alam, hutan produksi tetap, hutan produksi terbatas pada kelompok hutan gunung gede pangrango. Surat keputusan tersebut ditindaklanjuti dengan berita acara serah terima pengelolaan hutan dari Perum Perhutani unit III Jawa Barat dan Banten kepada Balai Besar TNGGP No. 002/BAST-HUKAMAS/III/2009 dan No.1237/II-TU/2/2009 tanggal 6 Agustus 2009, menyatakan bahwa luas kawasan yang diserahkan 7.655,030 ha sehingga luas total TNGGP menjadi 22.851,030 ha. Secara administratif berada di Kabupaten Cianjur (Bidang Pengelolaan TN Wilayah I Cianjur), Kabupaten Sukabumi (Bidang Pengelolaan TN Wilayah II Sukabumi dan Kabupaten Bogor (Bidang PTN Wilayah III Bogor ). Sebagai UPT PHKA Kementerian Kehutanan yang berada di wilayah, TNGGP dalam pengelolaannya tidak dapat berdiri sendiri atau senantiasa berkoordinasi dengan instansi yang mengelola administratif wilayah baik dengan Pemerintah Kabupaten Cianjur, Pemerintah Kabupaten Sukabumi dan Pemerintah Kabupaten Bogor juga stakeholders lain yang berada di ketiga wilayah tersebut. Dari sisi sejarah sebagai suatu kawasan konservasi, kawasan Gunung Gede Pangrango, sebelum ditetapkan sebagai TN sejatinya memiliki rangkaian sejarah serta
2
landasan hukum panjang sejak tahun 1889 pada masa pemerintah Hindia Belanda, yang diawali dengan penetapan Kebun Raya Cibodas dan areal hutan di atasnya sebagai kawasan flora Pegunungan Pulau Jawa dan Cagar Alam. TNGGP memiliki keanekaragaman hayati berupa fauna khas endemik Jawa, seperti Macan Tutul (Panthera Pardus Javanicus), Elang Jawa (Spizaetus Bartelsi), Owa Jawa (Hylobatus Moloch), Surili (presbytis comata), trenggiling (Manis Javanica), Kancil (Tragulus Javanicus), Kijang (Muntiacus Muntjak). Disamping itu terdapat pula flora formasi hutan hujan
tropis Pegunungan seperti Puspa (Schima
Wallicie), Rasamala (Altingia Excelsa), Jamuju (Podocarpus Imbricatus), Edelweiss (Anaphalis Javanica), Kantong Semar (Nepenthes Gymnamphora) dan Rafflesia Rochusseni. Karena memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi sangat menarik bagi wisatawan, ilmuwan dan pelajar untuk meneliti kawasan ini . Pada perkembangannya kawasan TNGGP penting bagi Kabupaten Bogor, Sukabumi dan Cianjur untuk penyangga kehidupan dan sumber air. Selain itu, TNGGP memiliki nilai strategis yang menjadi penyangga Ibukota Jakarta terutama dalam hal hydrologi dan pengendali iklim. Secara ekonomi kawasan ini mampu menjadi salah satu andalan pendukung pertumbuhan ekonomi di tiga wilayah kabupaten tersebut. Peranan penting kawasan Gunung Gede Pangrango tersebut belum sepenuhnya didukung oleh kondisi ekosistem Gunung Gede Pangrango itu sendiri. Dengan kata lain kawasan TNGGP saat ini dapat dikatakan sedang mengalami tekanan yang tinggi yang disebabkan karena gangguan akibat berbagai aktivitas manusia yang sangat intensif di sekitarnya. Gangguan tersebut berupa: (1) perubahan fungsi lahan secara regional; (2) terganggunya hábitat berbagai jenis tumbuhan dan satwa khas; (3) degradasi ekosistem;
3
dan (4) pengalihan status lahan kawasan TN menjadi lahan milik masyarakat melalui proses sertifikasi lahan kawasan taman nasional menjadi hak milik masyarakat. Secara umum
pengalihan status lahan kawasan TN menjadi lahan milik
masyarakat melalui proses klaim 29,4 ha lahan Batu Karut, menggunakan mekanisme penerbitan sertifikat tanah.
Pengalihan status tersebut merupakan salah satu dari
berbagai persoalan agraria yang muncul di Indonesia. Persoalan agraria tersebut bisa memicu konflik kepentingan yang tidak mudah diselesaikan. Konflik agraria di Indonesia tersebut bukan sekedar masalah hukum semata, masalah agraria selalu menyangkut konflik kepentingan lain
yaitu
masalah sosial, budaya, politik dan
ekonomi. Konflik agraria menurut Ausland selalu meyangkut tentang jaringan-jaringan sosial yang menjadi sarana bagi para pihak yang berkonflik untuk mendapatkan sumber daya tanah. Salah satu agen yang sering terlibat dalam konflik agraria adalah para investor. Mereka ini biasanya berkepentingan untuk mengembangkan proyek-proyek pembangunan guna menanamkan modalnya yang memerlukan tersedianya tanah. Di Botabek, Bandung Raya, Priangan Timur dan Cirebon, konflik agraria diwarnai oleh masuknya investor yang bergerak dibidang sarana-sarana konsumsi kolektif misalnya perumahan, transportasi, pendidikan, kesehatan dan sebagainya ( Wiradi, 2009:27). Di Jawa Barat, konflik agraria juga terus meningkat khususnya di sektor kehutanan, misalnya adanya kasus klaim tanah di TNGGP. Dalam kasus tersebut pihak TNGGP kehilangan wilayahnya yaitu Petak 5 Batu Karut Bogor seluas 29,4 Ha yang diklaim sebagai milik masyarakat dan terindikasi muncul mulai tahun 2006. Konflik agraria kehutanan diatas ternyata bukan antara pihak TNGGP dengan masyarakat tetapi sesungguhnya antara TNGGP berhadapan dengan pihak swasta yaitu
4
PT. Pasir Mas Perkasa (PMP). Oleh karena itu peta konflik menjadi sangat kompleks sehingga perlu dikaji lebih mendalam untuk memahami mengenai pola-pola kepentingan dan kontestasi dari para pihak dalam memperebutkan hak atas tanah yang dipersengketakan.
1.2. Rumusan Masalah Konflik perebutan kepemilikan lahan di TNGGP adalah perebutan hak milik Petak 5 Batu Karut seluas 29,4 Ha. Di satu Pihak TNGGP mempunyai dasar hukum dalam mengklaim kepemilikan atas lahan tersebut, sementara di pihak lain masyarakat juga mengklaim sehingga mensertifkatkan tanah tersebut meskipun di belakangnya ada pihak swasta dalam hal ini PT PMP yang menggunakan legalitas kepemilikan sertifikat atas nama masyarakat. Dengan kata lain ada lain ada “kerjasama” antara swasta dan masyarakat untuk melakukan upaya kontrol atas Petak 5 Batu Karut. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana para aktoraktor dalam mengembangkan argumentasi dan strategi
untuk mendapatkan akses,
kepemilikan dan kemanfaatan atas Petak 5 Batu Karut tersebut. Oleh karena,
itu
rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Mengapa pihak swasta dalam hal ini PT. PMP mengklaim kepemilikan Blok Batu Karut padahal masuk dalam pengelolaan TNGGP? 2. Mengapa masyarakat yang menjadi kepanjangan tangan PT. PMP dalam menguasai obyek dengan cara menyertifikatkan tanah Blok Batu Karut ? 3. Bagaimana kontestasi pihak TNGGP dan PT. PMP dalam memperjuangkan kepentingan menguasai Blok Batu Karut ?
5
4. Bagaimana solusi konflik kepemilikan Blok Batu Karut yang dilakukan oleh TNGGP dan PT PMP ?
1.3.Tujuan Penelitian : Berdasarkan pokok rumusan masalah tersebut diatas maka, tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk menjelaskan latar belakang munculnya konflik kepemilikan tanah Blok Batu Karut ? 2. Untuk menjelaskan tentang peran kepentingan stakeholder dalam menguasai Blok Batu Karut ? 3. Untuk menjelaskan Kekuatan dan strategi kontestasi stakeholder ? 4. Untuk merumuskan opsi kebijakan resolusi konflik yang bisa dilakukan dalam konflik Blok Batu Karut ? 1.4. Manfaat Penelitian : Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada berbagai pihak terutama : 1. Manfaat Teoritis Sebagai sumber informasi untuk pengembangan ilmu pengetahuan dalam mengelola sengketa pertanahan . 2. Kegunaan Praktis Bagi TNGGP, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Bogor, Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor dan Masyarakat dapat dijadikan acuan dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan masalah pertanahan atau konflik pemanfaatan sumber daya alam di TNGGP. 1.5. Tinjauan Pustaka
6
Tinjauan pustaka ini dimaksudkan menyajikan beberapa hasil penelitian tentang konflik pemanfaatan agraria, pertanahan, sumber daya alam yang lebih dulu dilakukan baik dengan objek TNGGP maupun diluar TNGGP. Umumnya studi yang dilakukan membahas permasalahan yang terjadi di areal eks Perhutani (kawasan perluasan) dan penanganannya bersifat sosial persuasive, mengingat dikawasan areal perluasan banyak sekali aktivitas masyarakat yang sudah sangat bergantung di dalam kawasan sehingga penangannya cenderung mengedepankan sisi pendekatan dan pemberdayaan agar masyarakat lebih memahami nilai penting dari kawasan konservasi. Adapun penelitian tersebut antara lain sebagai berikut : Penelitian Karsodi (2007) meneliti tentang “Analisis Areal Eks Tumpang Sari Perum Perhutani di Wilayah Perluasan TNGGP (studi kasus di dusun Gunung Putri Desa Sukatani Resort Gunung Putri Seksi Konservasi Wilayah III Cianjur TNGGP)” membahas konflik di areal eks Perhutani yang dijadikan kawasan konservasi. Studinya menjelaskan tentang karakteristik pihak-pihak yang terlibat dalam konflik di areal perluasan TNGGP ini.
Dari hasil penelitian yang dilakukan di dapat hasil bahwa
Konflik yang terjadi berakar dari kurangnya lahan untuk pertanian sedangkan dengan laju pertambahan penduduk kebutuhan akan lahan meningkat, kurangnya komunikasi antara para pihak, kurangnya komunikasi, diantara pe rb e da a n
masing-masing
pihak,
adanya
kepentingan, pemahaman, peningkatan jumlah penduduk, keterbatasan
akses terhadap sumber daya alam dan keterpurukan ekonomi. Konflik masyarakat dengan Perhutani adalah konflik terbuka, akan tetapi konflik masyarakat dengan taman nasional setalah ada perluasan adalah konflik mencuat. Sedangkan konflik taman nasional dengan stekholders lainnya adalah konflik laten. Menurut levelnya konflik yang sudah terjadi setelah adanya perluasan taman nasional adalah konflik horisontal
7
dan konflik vertikal.
Dikelompokan dan dianalisis berdasarkan kriteria-kriterianya
maka konflik yang terjadi termasuk konflik kepentingan dan konflik struktural. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Handasari (2013) dengan judul “Pengelolaan Resolusi Konflik Agraria Kawasan TNGGP: Sikap dan Strategi Bertahan Petani.”
Studinya untuk mengetahui sampai sejauhmana resolusi konflik yang
dilakukan TNGGP mampu menyelesaikan persoalan penggarapan lahan di kawasan perluasan TNGGP di Desa Ciputri Blok Sarongge Girang Cianjur. Hasil penelitian yang dilakukan dihasilkan bahwa pengelolaan resolusi konflik yang dilakukan TNGGP di kawasan perluasan TNGGP di Desa Ciputri
Blok Sarongge Girang Cianjur,
menyebabkan gabungan kelompok tani hutan yang ada yaitu Gapoktan Sawargi terpecah menjadi dua, yakni kelompok yang telah menyatakan keluar dari garapan dan kelompok yang masih menggarap di kawasan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap yang dihasilkan oleh kedua kategori kelompok tani tersebut sama-sama positif. Hal ini menunjukkan bahwa sikap terbentuk berdasarkan fakta sosial yang berlaku di dalam Gapoktan Sawargi. Pada tingkat ketergantungan petani penggarap dan tingkat resistensi petani yang masih menggarap tidak terdapat hubungan. Hal ini dikarenakan keputusan strategi bertahan muncul akibat adanya pergolakan dari collective action akan kebutuhan lahan tiap individu dan disisi lain sikap muncul akibat adanya tekanan dari fakta sosial yang berlaku di dalam Gapoktan Sawargi. Selanjutnya penelitian Hidayana (2011) dengan judul
“Kajian Konflik di
Kawasan Hutan Konservasi : Studi Kasus Taman Nasional Gunung Halimun Salak”. Penelitian dilakukan terhadap adanya villa liar di dalam kawasan TNGHS. Penelitian memfokuskan pada perbedaan pola konflik yang terjadi
dan upaya resolusi konflik
atau penanganan yang berbeda dilakukan Kementerian Kehutanan dalam hal ini
8
TNGHS terhadap dua jenis masyarakat yang berbeda (masyarakat biasa dan public figure). Meskipun produk hukum kehutanan secara tegas mengatur hal penegakan hukum non diskriminatif terhadap pelaku pelanggaran, namun kasus “villa yang dianggap liar” menunjukkan bahwa figure memiliki peranan yang penting dalam pola konflik dan resolusi. Hasil penelitian menghasilkan beberapa kesimpulan bahwa benang kusut pengelolaan hutan di Indonesia tidak terlepas dari ketidakseriusan dan ketidaksiapan
aparat dalam menangani persoalan-persoalan yang menyangkut
perbedaan persepsi konservasi, batasan kewenangan, dan tanggung jawab antar instansi/ lembaga Negara, klaim kepemilikan dan akses terhadap sumber daya hutan. Ketidakseriusan tersebut menyebabkan persoalan lahan dikawasan konservasi semakin berlarut-larut bahkan semakin melebar dan sulit untuk diselesaikan. Penelitian yang dilakukan oleh Marina dan Dharmawan (2011) di Taman Nasional Halimun Salak yang membahas tentang “Analisis Konflik Sumber Daya Hutan di Kawasan Konservasi”. Penelitian ini memfokuskan pada penguraian mengenai bagaimana sejarah konflik dan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik sumberdaya alam, serta bentuk-bentuk penyelesaian yang telah dilakukan untuk meredam konflik di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Hasil penelitian ini adalah bahwa : Konflik kehutanan di kawasan Gunung Halimun dimulai sejak tahun 1970-an, ketika hak pengelolaan hutan dipegang oleh Perhutani. Saat itu terjadi tumpang tindih antara hutan-hutan milik Perhutani dan hutan adat milik Kasepuhan. Kemudian Keadaan bertambah parah saat pemerintah mengeluarkan SK 175/kpts-II/ 2003,
Menteri
Kehutanan No.
tentang perluasan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-
Salak menjadi 113.357 hektar. Banyak lahan garapan maupun pemukiman masyarakat,
9
baik
masyarakat adat maupun masyarakat lokal
yang akhirnya
masuk dalam
kawasan konservasi sehingga kegiatan pertanian pun menjadi terbatas. Dari sisi kontestasi para pihak akan coba disajikan juga Konflik lahan penambangan Pasir Besi di Kulon Progo yang ditulis Cahyono, Yanuardi dan Sauki (2010) merupakan kasus menarik dimana disatu sisi negara sebagai pihak yang diharapkan mampu menyelesaikan konflik, akan tetapi disisi akan tetapi dalam kasus ini negara juga sebagai pihak yang menimbulkan konflik. Dalam konteks konflik pasir besi kulon progo merupakan bentuk kolaborasi antara “negara” yang tercermin lewat keraton Ngayogyakarta dan pakualaman berkolaborasi dengan kekuatan perusahaan asing yang juga di dukung oleh Pemerintah Daerah Kulon Progo. Ketiga kekuatan ini berhadapan langsung dengan masyarakat yang mempertahankan basis hidupnya dari sektor pertanian. Konflik muncul ketika kondisi ekonomi masyarakat petani Kulon Progo yang sudah mulai merasakan perubahan nasib menggarap lahan pertanian di Kulon progo yang kaya akan pasir besi melalui berbagai inovasi yang dilakukan oleh masyarakat. Kemudian penelitian Alting (2013) dengan judul “Konflik Penguasaan Tanah di Maluku Utara : Rakyat versus Penguasa dan Pengusaha”. Karateristik konflik pertanahan yang melibatkan pemerintah dan pengusaha dengan masyarakat pemegang hak dimana penanaman modal dilakukan di wilayah Provinsi Maluku Utara dalam penelitian ini dibatasi pada lingkup permasalahan, sebagai berikut. Pertama, bagaimana pola Konflik tanah yang terjadi di Provinsi Maluku Utara dan kedua, bagaimana bentuk penyelesaian konflik tanah yang dapat memenuhi rasa keadilan para pihak yang bersengketa. Dari hasil penelitian Alting di sebutkan Konflik penguasaan tanah terjadi hampir diseluruh pelosok tanah air dimana terdapat investasi. Persoalan mendasar yang
10
menjadi akar konflik adalah penghargaan terhadap hak atas tanah serta pemberian kompensasi/ganti rugi yang dianggap tidak layak bagi masyarakat. Berbagai cara dan pendekatan penyelesaian telah dilakukan, namun konflik tetap ada bahkan sampai melahirkan korban jiwa bagi masyarakat. Negara sebagai organisasi kekuasaan yang diharapkan dapat memfasilitasi penyelesaian sengketa, namun tidak dapat berperan banyak, karena disatu sisi pemerintah mengharapkan adanya investasi dari penanaman modal guna memperoleh devisa, disisi lain masyarakat mengklaim tanah yang diberikan tersebut merupakan kepemilikan mereka. Diperlukan rekonseptualisasi hubungan penguasaan tanah dalam rangka penanaman modal tidak dilakukan melalui pelepasan atau penyerahan hak, akan tetapi melalui suatu perjanjian hak pakai/sewa antara perusahaan dan pemilik tanah untuk jangka waktu tertentu dengan pemberian kompensasi kepada masyarakat. Dengan model tersebut, hubungan kepemilikan masyarakat tidak akan putus, dan setelah masa perjanjian penggunaan berakhir tanah tersebut kembali kepada masyarakat. Alting lebih menyoroti bagaimana konflik terjadi antara masyarakat berhadapan langsung dengan pengusaha dan penguasa. Peran pemerintah (penguasa) dalam penelitian ini hanya memberikan pelayanan pada pengusaha melalui mekanisme investasi untuk kesejahteraan masyarakat, tetapi tidak mampu memberikan perlindungan kepada hak – hak masyarakat sebagai pemilik lahan, sehingga konflik terus terjadi dan semakin meningkat. Munculnya konflik Klaim Batu Karut oleh PMP yang juga di klaim sebagai kawasan konservasi TNGGP menarik penulis untuk meneliti lebih jauh,
untuk
menggali kontestasi dan isu yang muncul dalam klaim lahan antara perusahaan yang memanfaatkan masyarakat lokal untuk menguasai lahan kawasan Batu Karut TNGGP.
11
Selanjutnya dalam penelitian ini juga ingin mengetahui sampai sejauhmana aspek proses hukum mampu mengatasi persoalan klaim lahan kawasan Petak 5 Batu Karut.
1.6.
Landasan Teori Dan Kerangka Alur Pikir
1.6.1. Landasan Teori Melihat latar belakang dan rumusan masalah yang telah disampaikan terlihat adanya dua kepentingan terhadap klaim obyek yang sama yaitu Blok Batu Karut. PT. PMP dengan sudut padang regulasi SHM yang dimiliki, merasa sebagai pemilik syah kawasan Blok Batu Karut di pihak lain TNGGP selaku pemangku kawasan menganggap bahwa Blok Batu Karut sebagai bagian kawasan TNGGP yang sudah di serahkan dari Perhutani berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 174/Kpts-II/2003 tanggal 10 Juni 2003 dan Berita Acara Serah Terima Pengelolaan Hutan dari Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten kepada Balai Besar TNGGP nomor 002/BAST-HUKAMAS/III/2009 dan nomor 1237/II-TU/2/2009 tanggal 6 Agustus 2009, sehingga berkewajiban untuk mempertahankan
Blok Batu
menjadi bagian
TNGGP. Untuk mengurai rumusan masalah maka penulis akan menggunakan beberapa teori sebagai berikut :
1.6.1.1. Biografi Konflik Menurut Johan Galtung dalam Mas‟oed (2013) konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau yang „merasa” memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Sedangkan manifestasinya kekerasan disebutkan meliputi tindakan-tindakan, perkataan, sikap, berbagai struktur atau system yang menyebabkan kerusakan fisik, mental, social atau lingkungan dan atau
12
menghalangi seseorang untuk meraih potensinya secara penuh. Konflik juga dimaknai sebagai persepsi mengenai ketidakselarasan kepentingan, atau keyakinan bahwa aspirasi para pihak yang ada saat itu tidak bisa dicapai secara bersamaan (Pruitt dan Rubin, 1986: 10). Meskipun demikian, Fisher dkk (2000: 6) menyatakan optimisme bahwa konflik itu sendiri justru bisa menjadi bagian solusi suatu permasalahan, bukan dalam kapasitas menekan konflik tetapi lebih kepada meresolusi konflik agar produktif.
Resolusi
konflik dimaksudkan sebagai upaya menangani penyebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru yang bertahan lama diantara kelompok-kelompok yang bermusuhan atau tidak sejalan. Kriesberg (1982:1998) mengungkapkan,
bahwa ada dalam suatu konflik
terdapat suatu tahapan yang dia sebut dengan „biografi konflik‟,yang tahapantahapannya berjalan siklikal. Dalam biografi konflik tersebut, secara berurutan tahapan dimulai dari sumber konflik, kemunculan konflik, pemicu awal, eskalasi konflik, deeskalasi konflik, terminasi konflik, dan hasil konflik dan konsekuensinya. Sumber konflik yang terjadi
adalah kondisi-kondisi laten dan aktual yang
kemudian memproduksi keyakinan atau kepercayaan tentang adanya tujuan-tujuan yang tak selaras. Sumber konflik berasal dari adanya perbedaan kepentingan maupun kontestasi sosial dan sifat dasar manusia yang mengikutinya. Misalnya secara internal manusia memiliki insting agresif, mudah frustasi dan sebagainya. Secara interaksional hubungan manusia dapat mengarah kepada dan diwarnai oleh proses-proses sosial yang disintegrative. Hal ini lah yang secara laten maupun aktual menjadi sumber-sumber konflik.
13
Kemunculan konflik merupakan rasa atau kesadaran kolektif yang dapat menghasilkan ketidakpuasan dan tujuan-tujuan yang saling berlawanan dengan individu lain menjadi sebuah rasa atau kesadaran kolektif. Pemicu awal adalah provokasi para pihak yang terlibat dalam konflik ini adalah tindakan mengaktualkan, mengeksplisitkan, verbalisasi, realisasi dari rasa, kesadaran atau situasi ketidakselarasan antar pihak. Provokasi umumnya berbentuk peruasi, koersi, balas jasa, atau iming-iming material maupun non material. Eskalasi adalah perubahan dalam unit konflik pertama, secara sosio-psikologis berupa loyalitas dan komitmen pada tujuan/posisi yang telah ditetapkan serta sense of crisis terhadapnya; dan kedua secara organisasional berupa perubahan kelompok dan tompitisi dalam kepemlmpinan yang semakin sengit. Eskalasi adalah juga perubahan dalam hubungan-hubungan antara pihak yang bertikai dalam bentuk sepihak atau bersama yang saling menyakiti. Sementara deeskalasi adalah perubahan dalam unit konflik, yang pertama : secara sosio psikologis berupa sikap, tindakan atau penilaian untuk menimbang kembali ongkos atau biaya untuk mempertahankan tujuan atau posisi awal, serta mendevaluasi tujuan atau posisi ketika dirasakan terlalu mahal ongkosnya. Deeskalasi juga perubahan dalam hubungan-hubungan antar pihak yang bertikai dalam bentuk hubungan yang berbentuk secara baru, kontraksi tujuan atau posisi yaitu mempertahankan posisi atau tujuan awal menjadi berkurang atau hilang sama sekali, dan intervensi ketika terbentuk aturan baru atau norma baru, tercipta usaha-usaha mediasi, dan terbentuknya konteks sosial baru. Selanjutnya teori kriesberg tersebut juga menjelaskan tahap terminasi sebagai proses peralihan yang rawan intervensi pihak-pihak yang berkepentingan menuju hasil
14
akhir yang idealnya memuaskan kedua belah pihak (win-win) atau setidaknya bisa disepekati keduanya atau bisa juga jika kompromi tidak bisa dilakukan maka hasilnya adalah win lost (menang kalah) Selanjutnya adalah konsekuensi merupakan redefinisi atas tujuan atau posisi dimasa-masa yang akan datang, kapasitas untuk mencapainya, potensi konflik internal dan efek-efek lain yang muncul. Dari kerangka teoritik yang dikemukakan di atas, menegaskan kepada kita bahwa sebenarnya dua hal yang penting dalam memahami terjadinya suatu konflik yaitu adanya kebutuhan dan hambatan. Terjadinya konflik tidak dengan tiba-tiba, tapi melalui
serangkaian
tahapan
proses, mulai dari sumber konflik, kemunculan
konflik, pemicu awal, eskalasi konflik, deeskalasi konflik, terminasi konflik, dan hasil konflik dan konsekuensinya.
1.6.1.2. Pemetaan Konflik Pemetaan konflik (conflict mapping ) yang dijabarkan cukup detil oleh Simon Fisher dkk (2000:22) dalam teorinya “mengelola konflik”, juga sangat membantu penulis untuk menganalisa konflik sebagai sautu proses praktis dalam mengkaji dan memahami kenyataan konflik dari berbagai sudut pandang. Pemetaan konflik yang dimaksudkan fisher dkk menunjukan peta dasar konflik berupa : aktor utama dan pihakpihak yang terlibat dalam konflik, hubungan antar pihak yang terlibat, isu-isu pokok yang berada di antara pihak dalam analisa konflik. Lebih lanjut ditegaskan oleh Fisher dkk bahwa penting untuk menganalisa konflik lebih mendalam
agar lebih memahami
latar belakang, sejarah dan
perkembangan terbaru; dapat mengidentifikasi semua kelompok yang terlibat bukan
15
hanya berfokus pada kelompok secara kasat mata menonjol; mampu memahami pandangan semua kelompok dengan mengetahui hubungan antara pihak-pihak terkait; mengidentifikasi faktor-faktor dan kecenderungan yang mendasari konflik; termasuk yang terpenting bahwa analisa konflik dapat mengajarkan kita untuk berkaca dari kegagalan dan selanjutnya mampu meraih kesuksesan yang diharapkan (resolusi konflik). Ahli resolusi konflik lain, John Paul Lederach (2001) lebih menekankan pentingnya bagi kita untuk mengetahui isu dan aktor-aktor yang terlibat dalam situasi konflik.
Identifikasi secara tepat termasuk didalamnya kepentingan masing-masing
aktor akan mengarahkan kita untuk memahami akar permasalahan menuju transformasi konflik yang diharapkan.
1.6.2. Kerangka Alur Pikir Berpijak dari teori diatas maka dapat disusun kerangka pemikiran sebagaimana terlihat pada gambar 1. Nampak pada gambar 1 terdapat 4 (empat) kolom yang terdiri dari aktor yang terlibat konflik, peran dalam konflik, kepentingan yang dibawa dalam konflik dan resolusi konflik. Kolom satu menunjukan aktor yang terlibat dalam konflik yaitu : PMP, Masyarakat, BPN dan TNGGP. Masing-masing aktor tersebut memiliki peran, kepentingan dan resolusi konflik yang mungkin sama namun dapat juga memiliki peran, kepentingan dan resolusi konflik berbeda. Studi kedepan akan menggali lebih dalam keterlibatan masing-masing aktor baik berupa peran dalam konflik, kepentingan yang dibawa dalam konflik dan resolusi konflik yang dapat dilakukan oleh masingmasing pihak pada konflik penguasaan Blok Batu Karut ini.
16
Tabel 1.1 Alur Kerangka Pemikiran Print tersendiri karena landscap
17
1.7.
Metode dan Teknik Penelitian
1.7.1. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif bersifat deskriptif yang berusaha menginterpretasikan gejala yang terjadi pada sebuah konteks sosial. Usman dan Abdi (2012: 9) mengatakan bahwa metode kualitatif berupaya memberikan secara mendalam tentang situasi atau proses yang diteliti. Penelitian ini menekankan pada penggalian data melalui sumber-sumber
tertulis dan wawancara dengan narasumber. Harapan dari
metode ini adalah mendapatkan data-data menyeluruh tentang situasi yang sedang di teliti.
1.7.2. Sumber Data Sumber data terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang dikumpulkan langsung dari sumber utama. Wiradi (2009: 59) menyebut bahwa data primer adalah data yang pengumpulannya kita lakukan sendiri, artinya data tersebut merupakan hasil pengamatan kita sendiri, hasil wawancara kita sendiri dengan orang lain, hasil dari pengukuran kita sendiri. Kronologi permasalahan Batu Karut, mekanisme penerbitan sertifikat, informasi terkait persoalan Batu Karut dari stakeholder lainnya, kondisi lokasi Batu Karut, kontestasi kepentingan yang dilakukan,
responden
merupakan para pihak yang berkonflik atau aliansi dalam konflik: TNGGP, BPN, Pemda Bogor, Masyarakat, Polres Bogor, sidang pemeriksaan keterangan saksi-saksi dan stakeholder lain. Sementara data sekunder adalah data yang dikumpulkan melalui sumber kedua seperti peta kawasan sebelum perluasan dan sesudah perluasan, peta hindia belanda, peta zonasi, SK taman nasional sebelum dan sesudah perluasan, produk hukum
18
kementerian kehutanan seperti: undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri, surat keputusan menteri, laporan, persuratan, buku, hasil-hasil penelitian, laporan, monografi, kamus, ensiklopedia, berita kliping media masa, web site dan lain sebagainya.
1.7.3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi dokumentasi, wawancara dan observasi (pengamatan). Studi dokumentasi merupakan salah satu teknik yang hanya digunakan untuk mengamati gejala-gejala suatu obyek yang diteliti dari kumpulan dokumen yang tersedia. Studi dokumentasi dilakukan untuk mempelajari kebijakan, program dan upaya yang dilakukan dalam persoalan Batu Karut. Dokumentasi yang diteliti tentang surat persuratan dan data lainnya yang berkaitan dengan konflik Batu Karut, dengan jalan mempelajari catatan-catatan seperti: persuratan, laporan-laporan, koran, peraturan perundangan dll. Sementara wawancara adalah kegiatan mencari bahan (keterangan, pendapat) melalui tanya jawab lisan dengan siapa saja yang diperlukan. Wawancara diadakan untuk mengungkapkan latar belakang, motif-motif yang ada di sekitar maaslah yang diobservasi (Rianse Usman dan Abdi : 2012: 10). Dalam wawancara ini dipilih beberapa tokoh kunci yang dianggap mampu dan kompeten menjelaskan informasi, kebijakan dan pengalaman langsung terkait persoalan konflik Batu Karut.
Wawancara dilakukan
untuk memperoleh informasi lain yang tidak didapat dalam studi pustaka atau pun observasi lapangan. Adapun wawancara tersebut dilakukan dengan : Kepala Balai Besar TNGGP, Kepala Seksi P3, Penyidik Polres Bogor, Kepala Seksi Sengketa Konflik dan
19
Perkara BPN, tersangka pemalsuan warkah sertifikat Batu Karut, Polhut TNGGP, Masyarakat, tokoh masyarakat dan Sekretaris Desa Pasir Buncir. Kemudian observasi dilakukan sebagai studi yang secara sengaja dan sistematis untuk mengamati fenomena sosial dan gejala psikis yang ada dalam rangka analisis. Rianse Usman dan Abdi (2012:11) menyebutkan teknik obervasi sebagai alat pengumpul data yang dilakukan dengan cara mengamati dan mencatat secara sistematis gejala-gejala yang sedang diselidiki. Observasi lapangan dilakukan untuk mengetahui kondisi ril persoalan Batu Karut baik dari sisi tokoh, lokasi Batu Karut maupun masyarakat sekitar Batu Karut sehingga memperoleh informasi tambahan dan memadai mengenai persoalan Batu Karut. Pada observasi (pengamatan) di lakukan dengan ground chek di Petak 5 Batu Karut Bogor, dan kampung terdekat dengan kawasan yaitu kampung Lengkong Pasir Buncir Kecamatan Caringin Bogor, persidangan keterangan saksi di PN Cibinong dan Penyuluhan / Sosialisasi kepada masyarakat Desa Pasir Buncir.
1.8.
Sistematika Penulisan Tesis ini terdiri dari 4 Bab, yang dapat dijelaskan sebagai berikut: Bab satu berisi tentang mengantarkan pentingnya penelitian konflik Batu Karut
agar ditemukan adanya latar belakang konflik, dinamika dan solusi konflik bagi pengelolaan TNGGP. Dalam Bab I digambarkan secara singkat hal yang melatar belakangi munculnya persoalan konflik Batu Karut. Bab dua memberikan deskripsi mengenai profil gambaran umum TNGGP tentang kondisi fisik kawasan, potensi sumber daya alam hayati dan ekosistem TNGGP. Dengan memahami kondisi fisik TNGGP dapat difahami tentang pentingya kawasan TNGGP bagi
20
masyarakat sekitar dan bagi upaya pelestarian alam di Indonesia. Kemudian di sampaikan mengenai kondisi sosial ekonomi masyarakat. Sosial ekonomi masyarakat sekitar TNGGP masih banyak yang kurang memiliki lahan dengan tingkat ekonomi yang rendah. Kondisi ini
menyebabkan masyarakat banyak bergantung kepada kawasan TN.
Bab ini
menjelaskan juga mengenai kebijakan pengelolaan taman nasional, zonasi taman nasional. Dengan memahami kebijakan pengelolaan TN, akan diketahui sampai sejauhmana arah pengelolaan TN mampu mendukung perlindungan kawasan sekaligus memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar. Bab II juga menyampaikan mengenai sejarah kawasan TNGGP.
Sejak jaman belanda sampai dengan sekarang TNGGP merupakan kawasan
yang dianggap memiliki nilai penting bagi perlindungan dan pelestarian alam serta bagi kehidupan masyarakat sekitarnya. Sejarah kawasan juga menggambarkan kedudukan hukum kawasan sebagai pijakan legal dalam pengelolaan sebuah kawasan TN. Bab tiga menjelaskan sumber konflik PMP dan TNGGP, yang dipicu oleh adanya perbedaan regulasi maupun kondisi otentik di lapangan. Klaim PMP atas Batu Karut di picu oleh regulasi SK Redistribusi Menteri Dalam Negeri No. 222/DJA/1984 yang menjadi dasar pengajuan sertifikat hak milik. Dalam SK tersebut hanya menyebutkan lokasi obyek redistribusi dan luasannya saja, sementara peta mengenai lokasi obyek yang disebutkan tidak dicantumkan dalam SK tersebut. TNGGP mendasarkan klaim kepada BAST kawasan sejak tahun 1926. Bab III juga menjelaskan dinamika kontestasi TNGGP dan PMP. Dinamika konflik yang menggambarkan aktualisasi kontestasi para pihak yang berkonflik untuk mempertahankan posisi mereka dalam mencapai tujuan yang dinginkan yaitu mempertahankan obyek Batu Karut melalui mekanisme non litigasi dan mekanisme litigasi. Proses non litigasi dilakukan dengan saling bersurat (permohonan dan keberatan) kepada pihak-pihak terkait dengan masalah Batu Karut diantaranya saling bersurat antara
21
PMP dan TNGGP ke instansi-instansi : BPN Bogor, Dinas Pertanian dan Kehutanan, Dinas Tata Ruang dan Pertanahan dan Bupati Bogor. Kemudian mekanisme Litigasi yang ditempuh melalui dua proses yaitu : Proses Pidana dan Perdata. Kemudian penjelasan mengenai identifikasi aktor dan pihak dalam konflik batu karut. Identifikasi aktor menjelaskan mengenai kontestasi aktor utama yang merupakan pihak yang secara langsung melakukan klaim Batu Karut serta adanya pihak-pihak yang berafiliasi dalam mendukung baik secara langsung ataupun tidak langsung terhadap aktor utama. Bab III juga menjelaskan mengenai peran kepentingan pihak – pihak berkonflik. Dalam peran kepentingan terlihat adanya peran dan kepentingan masing-masing pihak baik PMP, TNGGP dalam lingkaran persoalan Batu Karut yang intinya ingin mempertahankan klaim Batu Karut atas dasar klaim regulasi, ekologi dan juga alasan bisnis ekonomi. Sementara peran dan kepentingan BPN Bogor lebih berdasar kepada alasan regulasi dan kebijakan yang di rujuk oleh BPN Bogor. Akhir Bab III ini menjelaskan mengenai pendekatan solusi penyelesaian batu karut yang dilakukan TNGGP dalam menyelesaikan konflik penerbitan sertifikat Batu Karut. Pada intinya saran pendekatan solusi Batu Karut bertumpu pada 3 hal, yaitu pendekatan hukum, pendekatan komunikasi dan pendekatan kesejahteraan. Ketiga pendekatan tersebut ditawarkan secara tidak terpisahkan mengingat selain dengan pendekatan hukum untuk mepertegas kepemilikan Batu Karut juga perlu pendekatan sosial kesejahteraan mengingat ada peran masyarakat yang masih tergantung di kawasan tersebut dan dimanfaatkan oleh PMP. Pendekatan komunikasi dilakukan mengingat ada masalah dalam memandang obyek Batu Karut dari segi regulasi dan kebijakan oleh BPN Bogor dan TNGGP sehingga agar tidak terjadi lagi permasalahan yang sama muncul di kemudian hari, maka perlu dijembatani dengan
pendekatan
komunikasi antara BPN Bogor dan TNGGP.
22
Bab empat menjelaskan mengenai kesimpulan yang menegaskan fenomena persoalan klaim Batu Karut serta dinamika yang menyertainya. Tema tersebut menegaskan bahwa persoalan Batu Karut tidak hanya persoalan regulasi kawasan akan tetapi juga terkait dengan persoalan ekonomi bisnis Batu Karut dengan memanfaatkan masyarakat sekitar yang menggarap atau pernah menggarap kawasan. Bab ini juga menawarkan paket rekomendasi yang bisa dijalankan agar persoalan Batu Karut bisa diselesaikan secara hukum sekaligus diharapkan mampu mengangkat partisipasi masyarakat dalam pelestarian alam dengan melibatkan masyarakat secara aktif dalam pelestarian kawasan TNGGP melalui pemanfaatan hasil hutan sesuai dengan koridor hukum yang berlaku dan juga peningkatan pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar kawasan. Selain itu antisipasi kedepan perlu dibangun pola komunikasi antara institusi TNGGP dengan otoritas penerbit sertifikat tanah yaitu BPN Bogor khususnya dan stakeholders lain pada umumnya, dalam hal singkronisasi data
(peta, regulasi dan
kebijakan lain). Komunikasi dapat di tuangkan dalam bentuk MoU (Nota Kesepahaman), sosialisasi bersama dan penyuluhan serta pelibatan pihak desa dalam tata batas atau rekonstruksi batas kawasan. Oleh karena itu saran yang disampaikan juga mengarahkan agar penanganan Batu Karut bersifat kuratif dan antisipatif sehingga persoalan Batu Karut berdampak bagi kesejahteraan masyarakat sekitar sekaligus kedepan permasalahan klaim kawasan Batu Karut ataupun kawasan TNGGP lainnya tidak terjadi lagi.
23