BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada tanggal 16 Agustus 1999, kemudian undang-undang tersebut diubah melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diundangkan tanggal 21 November 2001 (selanjutnya ditulis UUPTPK), pemberantasan tindak pidana korupsi belum juga mencapai titik keberhasilan yang diharapkan di Indonesia.1 Koentjaraningrat, menyatakan bahwa korupsi sudah menjadi budaya bangsa.2 Korupsi bukan saja masalah nasional suatu bangsa bahkan merupakan masalah internasional. Purwaning M. Yanuar, menyebutkan, “banyak negara-negara berkembang yang mengalami kerugian karena tindak pidana korupsi, oleh sebab itu, masalah korupsi sebagai hal yang harus mendapat perhatian serius”.3 Bahkan sebenarnya beberapa negara menginginkan
agar perampasan aset korupsi
1
Ario Wandatama dan Detania Sukarja, “Implementasi Instrumen Civil Forfeiture di Indonesia Untuk Mendukung Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative”, Makalah dalam Seminar Pengkajian Hukum Nasinal, 2007, hal. 1. 2 Koentjaraningrat, Bunga Rampai Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, (Jakarta: Gramedia, 1974), hal. 75. 3 Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi Berdasarkan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: Alumni, 2007), hal. 10.
1
Universitas Sumatera Utara
diperlakukan sebagai hak yang tidak bisa dihapus atau dicabut.4 Aset korupsi merupakan hak negara yang harus dikembalikan kepada negara dan negara lah yang berhak untuk mengelola aset atau kekayaan negara dan dipergunakan sebesarbesarnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Indonesia dalam menangani kasus-kasus korupsi selama ini cenderung mengutamakan cara melalui jalur pidana yang lebih berfokus pada penghukuman terhadap pelaku tindak pidana korupsi dari pada pengembalian aset negara, namun kenyataannya, jalur pidana tidak cukup ampuh untuk meredam, mencegah, memberantas, dan mengurangi jumlah tindak pidana korupsi. Sebagaimana peristiwa-peristiwa tindak pidana korupsi yang pernah terjadi misalnya setelah tahun 1998 (reformasi telah berlanjut hingga saat ini), para koruptor bermunculan ketika Pemerintah memfokuskan pemberantasan terhadap korupsi. Mulai dari mantan Presiden Soeharto dalam perkara korupsi atas dana senilai 420 juta dolar AS dan Rp.185,92 miliar, ditambah lagi ganti rugi immateriil Rp.10 triliun pada tujuh yayasan termasuk Yayasan Supersemar, namun upaya itu gagal karena Soeharto sakit dan dinyatakan tidak dapat diadili. Pada tanggal 11 Mei 2006, Kejaksaan Agung mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3) HM. Soeharto dan mengalihkan upaya pengembalian aset negara melalui pengajuan gugatan perdata. Kejaksaan Agung (Kejagung) melalui Jaksa Agung Muda Perdata 4
Ibid., hal. 10-11. Istilah yang tidak dapat dihapus dan dicabut diacu kepada konsep hak-hak yang sama sekali tidak dapat dipisahkan dari pemilik hak tersebut. Dimana hak ini melekat pada diri manusia tanpa perlu adanya pengakuan. Beberapa Filsuf menyatakan bahwa siapa pun yang menyangkal hak-hak ini adalah salah. Teori hukum alam dari John Locke didasarkan pada gagasan bahwa setiap individu memiliki hak dasar tertentu yang tidak dapat dihapus atau dicabut sepanjang menyangkut kehidupan, kemerdekaan, dan kekayaan.
Universitas Sumatera Utara
dan Tata Usaha Negara (Jamda TUN) memerintahkan Direktorat jajarannya untuk bertindak sebagai Jaksa Pengacara Negara (JPN).5 Hasil tindak pidana korupsi yang dilakukan mantan Komisaris Utama Bank Harapan Sentosa, Hendra Rahardja, sebesar US$ 9,3 juta yang disimpan dalam bentuk rekening bank di Hongkong, Irwan Salim US$ 5 juta di Bank Swiss, dalam bentuk dana di Amerika Serikat, Cina, Australia, dan Singapura diperkirakan mencapai Rp.6-7 triliun.6 Korupsi atas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) ke luar negeri sekitar Rp.18,5 triliun dalam rekening beberapa bank di Amerika Serikat.7 Perkara tindak pidana korupsi Gayus Tambunan dengan jumlah aset Gayus yang disita sekitar Rp.109 miliar, diantaranya rekening senilai Rp.28 miliar serta aset berupa uang US$659.800, Sin$9.680.000, dan 31 batang emas (@100 gram) senilai Rp.74 miliar.8 Kasus-kasus korupsi yang diungkapkan di atas, hanya sebahagian kecil dari jumlah kasus korupsi yang pernah terjadi di Indonesia. Kasus-kasus korupsi di atas, tergolong bahwa aset negara yang dikorupsi jumlahnya banyak. Berdasarkan fakta yang terjadi, dapat dikatakan bahwa korupsi tidak pernah habis bahkan tumbuh subur. Marwan Effendy, menyebut korupsi di Indonesia seperti tidak habis-habisnya, semakin ditindak semakin meluas, bahkan perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dalam jumlah kasus, jumlah kerugian keuangan negara maupun kualitasnya. Bahkan modus operandinya semakin terpola 5
http://groups.yahoo.com/group/nasional-list/message/62822, diakses tanggal 9 Februari
2011. 6
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0601/09/nas10.html, diakses tanggal 9 Februari 2011. http://kontak.club.fr, diakses tanggal 9 Februari 2011. 8 Metanews.com., ”Kasus Gayus Diusulkan Dilebur”, Tanggal 26 Januari 2011. 7
Universitas Sumatera Utara
dan tersistematis, lingkupnya pun telah merambah ke seluruh aspek kehidupan masyarakat dan lintas batas negara, korupsi secara nasional disepakati tidak saja sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) dan kejahatan transnasional.9 Pengembalian uang negara atau aset negara hasil dari tindak pidana korupsi dalam pelaksanaannya terasa sulit diterapkan karena pada umumnya tindak pidana korupsi baik dalam skala kecil maupun skala besar dilakukan dengan cara-cara yang sangat rahasia, terselubung, melibatkan banyak pihak dengan solidaritas yang kuat untuk saling melindungi atau menutupi perbuatan korupsi melalui manipulasi hukum, rekayasa hukum, dan masa bodoh para pejabat negara terhadap kepentingan rakyat. Bahkan harta kekayaan dari hasil jarahan para koruptor sudah sampai melewati lintas negara melalui transfer antar rekening ke negara lain sebagai antisipatif dan untuk mengaburkan asal-usul kekayaan tersebut.10 Oleh sebab itu, harus dilakukan cara yang luar biasa yaitu dengan cara perampasan terhadap aset hasil korupsi tersebut. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pada tahun 2003 membentuk sebuah konvensi yang dinamakan dengan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 (KAK 2003) atau United Nations Convention Against Corruption 2003 (UNCAC 2003). Pada tanggal 18 April 2006 KAK 2003 ini diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor Nomor 7 Tahun 2006 terdiri dari VIII Bab yaitu: Bab I Ketentuan-ketentuan umum; Bab II Tindakan-tindakan pencegahan; Bab III 9
Marwan Effendy, ”Pengadilan Tindak Pidana Korupsi”, Lokakarya, Anti-korupsi bagi Jurnalis, Surabaya, 2007, hal. 1. 10 Oka Mahendra, ”Kerjasama Bantuan Timbal Balik Dalam Pengembalian Aset Hasil Korupsi”, Makalah dalam Seminar Sinergi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Selasa 4 April 2006, hal. 9.
Universitas Sumatera Utara
Kriminalisasi dan Penegakan Hukum; Bab IV Kerjasama internasional; Bab V Pengembalian asset; Bab VI Bantuan teknis, Pelatihan dan Pengumpulan, Peraturan dan Analisis informasi; Bab VII Mekanisme untuk pelaksanaan; dan Bab VIII Pasalpasal penutup.11 Sebelum KAK 2003 atau UNCAC 2003, ada dua konvensi yang dikeluarkan oleh negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa (Organization of Council of Europe) yaitu Criminal Law Convention on Corruption yang telah berlaku sejak tanggal 1 Juli 2002, dan Civil Law Convention on Corruption yang berlaku efektif sejak tanggal 1 November 2003, dan telah diratifikasi oleh 21 negara Uni Eropa. Selain itu, dapat dicatat bahwa negara-negara yang tergabung dalam Uni Afrika telah pula menghasilkan Africa Union Convention on Preventing and Combating Corruption, yang ditetapkan di Adis Ababa (ibu kota Ethiopia) pada tanggal 18 s/d 19 September 2002.12 KAK 2003 sangat berarti bagi Indonesia dalam memberantas tindak pidana korupsi. Arti pentingnya KAK 2003 bagi Indonesia adalah:13
11
Ratifikasi KAK 2003 atau UNCAC 2003 oleh pemerintah Indonesia yang secara politis menempatkan posisi Indonesia sebagai salah satu negara di Asia yang memiliki komitmen pemberantasan korupsi lewat kerjasama internasional, diharap mampu memberikan dorongan terutama bagi negara- negara lain yang kurang kooperatif dalam pengembalian aset hasil korupsi di Indonesia, di samping pula langkah Indonesia untuk mencegah dan mengembalikan aset hasil korupsi dari negara lain akan menjadi bagian dari agenda kerjasama internasional dalam upaya pemberantasan korupsi secara global. 12 I. Gusti Ketut Ariawan, ”Stolen Asset RecoveryInitiative, Suatu Harapan Dalam Pengembalian Aset Negara”, dalam Jurnal Kertha Patrika, Vol. 33 No. 01, Bali, Januari 2008, hal. 6. 13 Penjelasan Undang-Undang Nomor Nomor 7 Tahun 2006 tentang Ratifikasi KAK 2003 atau UNCAC 2003.
Universitas Sumatera Utara
1. Untuk meningkatkan kerja sama internasional khususnya dalam melacak, membekukan, menyita, dan mengembalikan aset-aset hasil tindak pidana korupsi yang ditempatkan di luar negeri; 2. Meningkatkan kerja sama internasional dalam mewujudkan tata pemerintahan Yang baik; 3. Meningkatkan kerja sama internasional dalam pelaksanaan perjanjian ekstradisi, bantuan hukum timbal balik, penyerahan narapidana, pengalihan proses pidana, dan kerja sama penegakan hukum; 4. Mendorong terjalinnya kerja sama teknik dan pertukaran informasi dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di bawah payung kerja sama pembangunan ekonomi dan bantuan teknis pada lingkup bilateral, regional, dan multilateral; dan 5. Harmonisasi peraturan perundang-undangan nasional dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi sesuai dengan Konvensi ini. PPB prihatin terhadap masalah korupsi dan menyatakan bahwa korupsi merupakan suatu ancaman terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat, merusak lembaga-lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika, dan keadilan serta menghambat pembangunan berkelanjutan (sustainable development) bagi negaranegara yang menghadapi fenomena korupsi.14 Bahkan fenomena korupsi saat ini disertai dengan tindak pidana lain terkait dengan upaya menyembunyikan aset-aset hasil korupsi melalui pencucian uang atau money laundering.15 Sebagaimana tercantum dalam pembukaan ke-4 UNCAC 2003 atau KAK 2003 yang berbunyi sebagai berikut:16 Convinced that corruption is no longer a local matter but transnasional phenomenon that effects all societies and economies, making internasional cooperation to prevent and control it essential. Artinya, Meyakini bahwa korupsi tidak lagi merupakan masalah lokal, melainkan suatu fenomena transnasional yang mempengaruhi seluruh masyarakat dan ekonomi yang 14
Purwaning M. Yanuar, Op. cit., hal. 1. Ibid., hal. 47. 16 Ermansyah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama Komisi Pemberantasan Korupsi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 3. 15
Universitas Sumatera Utara
mendorong kerja sama internasional untuk mencegah dan mengontrolnya secara esensial. Materi KAK 2003 atau UNCAC 2003 tercermin suatu perubahan cara pandang terhadap multi aspek korupsi, antara lain:17 1. Masalah korupsi memiliki multi aspek, yakni: aspek hukum, HAM, pembangunan berkelanjutan, kemiskinan, dan keamanan; 2. Sistem pembuktian secara konvensional tidak selalu ampuh dalam pemberantasan korupsi, sehingga beban pembuktian terbalik merupakan solusi alternatif yang potensial. Hal yang paling mendasar dalam KAK 2003 adalah kerja sama internasional di bidang perampasan aset (asset recovery).18 KAK 2003 disusul dengan diluncurkannya Stolen Asset Recovery (StAR) pada bulan Juni 2007 yang memuat challenges, opportunities dan action plan dalam upaya pengembalian aset hasil korupsi. StAR merupakan program bersama yang diluncurkan oleh Bank Dunia (World Bank) dan PBB khususnya United Nations Office on Drugs and Crimes (UNODC) bertujuan untuk meningkatkan
kerja sama internasional dalam
mengimplementasikan upaya pengembalian aset hasil korupsi sebagai salah satu terobosan dalam hukum internasional yang menetapkan landasan mengenai pengembalian aset hasil kejahatan korupsi di negara-negara sedang berkembang. StAR merupakan bagian integral dari Governance and Anti Corruption Strategy World Bank Group yang menyatakan perlunya bantuan bagi negara-negara berkembang dalam pengembalian asset. Progam yang diluncurkan oleh PBB ini sebenarnya terinspirasi dari keberhasilan Peru, Nigeria dan Filipina dalam 17 18
I. Gusti Ketut Ariawan, Loc. cit. Chapter V Artikel 51 dan 57 UNCAC 2003.
Universitas Sumatera Utara
mengembalikan aset-aset yang diinvestasikan di Negara lain oleh mantan kepala negaranya. Walaupun keberhasilan tersebut tidak mudah dan membutuhkan waktu yang relatif lama.19 Melalui kerja sama internasional, untuk dapat merampas aset hasil korupsi yang melalui lintas batas antara negara tersebut, dapat dilakukan melalui kerja sama Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik (Mutual Legal Assistance/MLA) oleh negara-negara yang tergabung dalam KAK 2003. Pada prinsipnya dapat dilakukan 3 (tiga) bentuk yaitu: Bilateral; Regional; dan Multilateral.20 Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik (Mutual Legal Assistance/MLA) pada prinsipnya, menurut Yunus Husein, harus memperhatikan prinsip persamaan (aquality) yang didasarkan pada sikap saling menghargai dan kedaulatan (souvereignity) dari negara-negara yang terlibat dalam kerjasama tersebut, dan kerjasama yang tertuang dalam perjanjian internasional berlaku dan mengikat secara politik dan hukum (legally and politically binding effect) kepada negara-negara yang membuatnya.21
19
http://go.worldbank.org/U2ZCWCDKR0, diakses tanggal 7 Februari 2011. United Nations Launch of Asset Recovery Initiative. StAR merupakan program bersama yang diluncurkan oleh Bank Dunia dan PBB dalam rangkaian peningkatan kerja sama internasional dalam mengimplementasikan upaya pengembalian aset hasil korupsi, sebagai salah satu terobosan dalam hukum internasional yang menetapkan landasan mengenai pengembalian aset hasil korupsi di negara-negara sedang berkembang. 20 Zulkarnain Sitompul, “Merampas Hasil Korupsi Tantangan Kerja Sama Internasional”, Artikel dalam Jurnal Forum Keadilan, Nomor 40, Tanggal 13 Februari 2005, hal. 32. 21 Yunus Husein, “Perspektif dan Upaya yang Dilakukan Dalam Perjanjian Bantuan Hukum timbal Balik Mengenai tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering)”, Makalah disampaikan pada Seminar tetang Bantuan Hukum Timbal Balik Dalam Masalh Pidana, yang diselenggarakan oleh BPHN, Bandung, Tanggal 29 s/d 30 Agustus 2006, hal. 21.
Universitas Sumatera Utara
Pola tindak pidana korupsi bertitik tolak pada tingkah laku atau tindakan yang tidak bermoral, tidak etis dan atau melanggar hukum untuk kepentingan pribadi dan atau golongan yang merugikan keuangan negara,22 maka untuk memberantas tindak pidana korupsi tersebut, di samping mengoptimalkan hukum pidana,23 juga harus menggunakan sarana hukum perdata. Proses perdata dilakukan dalam pengembalian kerugian keuangan negara dengan menggunakan instrumen civil forfeiture yang merupakan amanah dari KAK 2003.24 Berkenaan dengan instrumen civil forfeiture, istilah pengambilalihan atau pengembalian kurang relevan digunakan, perlu ditekankan bahwa dalam konteks civil forveiture lebih tepat digunakan istilah perampasan atau merampas aset. Objeknya adalah aset negara berada di pihak lain yang tidak berhak untuk memilikinya karena terkait tindak pidana. Irdanul Achyar, menyatakan:25 Jalur keperdataan dalam perampasan aset negara, dibandingkan jalur pidana relatif lebih mudah karena dalam hal pembuktian, pemerintah cukup mempunyai bukti awal bahwa aset yang akan diambil adalah hasil, atau berhubungan dengan tindak pidana. Implementasinya adalah apa yang disebut civil forfeiture. Dalam masalah pembuktian, pemerintah cukup menghitung berapa pendapatan yang layak bagi pelaku, kemudian membandingkan dengan aset yang dimiliki. Jika aset yang dimiliki melebihi jumlah pendapatannya, 22
Juniadi Soewartojo, Korupsi, Pola Kegiatan dan Penindakannya Serta Peran Pengawasan Dalam Penanggulangannya, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), hal. 5. 23 Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, (Bandung: Mandar Maju, 1995), hal. 135. Lihat juga: IGM Nurdjana., Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi ”Perspektif Tegaknya Keadilan Melawan Mafia Hukum”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 12. Sistem peradilan pidana (criminal justice system) adalah suatu kesatuan proses pengadilan pidana yang tidak dapat dipisahkan antara satu sama lainnya dalam penegakan hukum pidana. 24 Tambok Nainggolan, Kerugian Keuangan Negara Pada Yayasan Beasiswa Supersemar, Tesis, (Medan: Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 2010), hal. 90. 25 Irdanul Achyar, Analisis Pengimplementasian Rezim Civil Forfeiture Dalam Pemberantasan Money Laundering, (Medan: Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 2010), hal. 6.
Universitas Sumatera Utara
maka pelaku berkewajiban membuktikan bahwa aset tersebut diperoleh secara legal. Bismar Nasution, mengatakan bahwa rejim civil forfeiture bisa lebih effektif dalam mengembalikan aset yang dicuri para koruptor dibandingkan melalui rejim pidana. Hal ini dikarenakan rejim civil forfeiture mempunyai kelebihan dalam mempermudah pengambilan aset melalui proses pembuktian di persidangan. Civil forfeiture menggunakan rejim hukum perdata yang menggunakan standar pembuktian lebih rendah dari pada standar yang dipakai oleh proses hukum pidana. Civil forfeiture menggunakan sistem pembuktian terbalik dimana apabila pemerintah cukup mempunyai bukti awal bahwa aset yang akan dirampas adalah hasil yang berhubungan dengan tindak pidana, maka pelaku harus membuktikannya bahwa harta itu adalah miliknya dan bukan berasal dari suatu tindak pidana.26 Hal inilah yang menyebabkan rezim civil forfeiture menjadi suatu alternatif yang sangat baik apabila jalur pidana tidak berhasil. Bahkan dalam praktiknya, ditemukan bahwa prosedur civil forfeiture dinilai lebih efektif dalam mengambil kembali aset-aset yang dicuri, meskipun prosedur ini tidak luput dari berbagai kelemahan seperti lambat dan biaya tinggi.27
26 Bismar Nasution, “Stolen Asset Recovery Initiative dari Perspektif Hukum Ekonomi di Indonesia”, Makalah disampaikan pada Seminar Pengkajian Hukum Nasional 2007, Pengembalian Aset (Asset Recovery) Melalui Instrumen Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative dan PerundangUndangan Indonesia, yang diadakan oleh Komisi Hukum Nasional (KHN) di Hotel Millenium Jakarta 28-29 November 2007, hal. 6. Bismar mencontohkan misalnya dalam hal pemerintah cukup menghitung berapa pendapatan dari si koruptor dan membandingkan dengan jumlah aset yang dimilikinya. Jika aset tersebut melebihi dari jumlah pendapatan si koruptor, maka tugas si koruptorlah untuk membuktikan bahwa aset tersebut dia dapat melalui jalur yang sah. 27 Ibid., hal. 7.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Anthony Kennedey, implementasi civil forfeiture yang dilakukan di tiap-tiap negara berbeda-beda. Civil forfeiture pada awalnya diterapkan dalam skala domestik, yaitu mengajukan gugatan perdata untuk menyita atau merampas atau mengambil alih aset-aset hasil kejahatan yang berada dalam negeri. Apabila aset hasil kejahatan berada di luar negeri, beberapa negara yang menggunakan civil forfeiture secara domestik mengaplikasikannya secara ekstra territorialitas.28 Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa model civil forfeiture adalah model yang menggunakan pembalikan beban pembuktian. Model ini merupakan model yang memfokuskan kepada gugatan terhadap aset bukan mengejar pelaku (tersangka). Penyitaan dengan menggunakan model civil forveiture ini lebih cepat setelah diduga adanya hubungan aset dengan tindak pidana, sehingga aset negara dapat diselamatkan meskipun tersangka telah melarikan diri atau meninggal dunia. Karena pada prinsipnya civil forfeture adalah “hak negara harus kembali ke negara demi kesejahteraan rakyat”. Terdapat beberapa perbedaan mendasar secara umum antara civil forfeiture dibandingkan dengan criminal forfeiture, antara lain:29 1. Civil forfeiture tidak berhubungan dengan sebuah tindak pidana, sehingga penyitaan dapat lebih cepat diminta kepada pengadilan. Penyitaan dalam proses pidana mengharuskan adanya seorang tersangka atau putusan bersalah. Civil forfeiture dapat dilakukan secepat mungkin begitu adanya hubungan antara aset dengan tindak pidana; 2. Civil forfeiture menggunakan standar pembuktian perdata, tetapi dengan menggunakan sistem pembalikan beban pembuktian, sehingga lebih ringan dalam melakukan pembuktian terhadap gugatan yang diajukan;
28
Anthony Kennedy, “An Evaluation of the Recovery of Criminal Proceeds in the United Kingdom”, Journal of Money Laundering Control, Vol.10, No.1, Tahun 2007, hal. 144. 29 Tambok Nainggolan, Op. cit., hal. 25.
Universitas Sumatera Utara
3. Civil forfeiture merupakan proses gugatan terhadap asset (in rem), sehingga pelaku tindak pidana tidak relevan lagi; 4. Civil forfeiture berguna bagi kasus dalam hal penuntutan secara pidana mendapat halangan atau tidak mungkin untuk dilakukan. Keberhasilan penggunaan civil forfeiture di negara maju bisa dijadikan wacana bagi Indonesia karena civil forfeiture dapat memberikan keuntungan dalam proses peradilan dan untuk mengejar aset para koruptor. Seperti yang terlihat selama ini, seringkali jaksa mengalami kesulitan dalam membuktikan kasus-kasus korupsi karena tingginya standar pembuktian yang digunakan dalam kasus pidana. Selain itu, seringkali dalam proses pemidanaan para koruptor, mereka menjadi sakit, hilang atau meninggal yang dapat mempengaruhi atau memperlambat proses peradilan. Hal ini dapat diminimalisir dengan menggunakan civil forfeiture karena obyeknya adalah aset bukan koruptornya, sehingga sakit, hilang atau meninggalnya si koruptor bukan menjadi halangan dalam proses persidangan.30 Kemudahan dalam masalah pembuktian melalui civil forfeiture, merupakan alternatif yang potensial, karena lebih efektif dalam upaya pengembalian aset, walaupun civil forfeiture tidak luput dari berbagai kelemahan, seperti lambat dan biaya tinggi. Selain itu, perlu dipertimbangkan bahwa pemanfaatan civil forfeiture harus diikuti dengan adanya perjanjian bilateral (ekstradisi) di samping pula memerlukan suatu restrukrisasi hukum nasional. Restrukrisasi di bidang hukum, antara lain menghendaki adanya reformasi bidang hukum materiil dan formil. Bidang hukum formil antara lain, hukum acara perdata yang harus diformat kembali,
30
Ibid., hal. 26.
Universitas Sumatera Utara
mengingat Indonesia masih menggunakan hukum acara perdata biasa yang hanya berlaku dalam kasus-kasus yang bersifat individual atau private to private. Sementara civil forfeiture menuntut legal expertise dan pengetahuan teknis yang tinggi.31 Penggunaan instrumen civil forfeiture merupakan suatu hal yang mutlak, mengingat aset hasil korupsi lebih banyak disembunyikan di negara lain. Hal yang lebih penting adalah perlu untuk dipertimbangkannya aspek check and balance karena jalur ini rawan penyalahgunaan oleh aparat penegak hukum.32 Instrumen civil forfeiture menggunakan gugatan in rem yakni suatu gugatan yang substansinya merupakan perampasan terhadap harta kekayaan hasil tindak pidana korupsi secara perdata yakni dengan pemulihan kembali harta kekayaan negara yang telah dikorupsi. Berbeda dengan perampasan harta kekayaan secara pidana merupakan bagian dari pelaksanaan putusan hakim pidana dalam suatu perkara pidana, jenis perampasan harta kekayaan ini disebut juga sebagai tindakan in personam terhadap terpidana, bukan tindakan in rem terhadap harta kekayaan yang terkait dengan tidak pidana. Civil forfeiture merupakan proses gugatan terhadap aset (in rem), sehingga pelaku tindak pidana tidak relevan lagi. Jadi, instrumen civil forfeiture cukup menjanjikan dalam merampas aset korupsi karena dapat melakukan
31 32
Ibid., hal. 27. Bismar Nasution, Op. cit., hal. 11.
Universitas Sumatera Utara
penyitaan aset melalui gugatan in rem atau gugatan terhadap aset hasil korupsi secara perdata.33 Semakin meningkatnya kuantitas dan kualitas kasus-kasus korupsi di Indonesia, maka untuk memerangi korupsi, salah satu cara dapat menggunakan instrument civil forfeiture untuk memudahkan perampasan aset koruptor melalui jalur perdata. Indonesia selama ini cenderung mengutamakan penyelesaian melalui jalur pidana yang lebih fokus untuk menghukum pelaku tindak pidana korupsi dari pada pengembalian kerugian keuangan negara. Kenyataannya jalur pidana tidak mampu untuk meredam atau mengurangi jumlah/terjadinya tindak pidana korupsi.34 Tindak pidana korupsi adalah tindak pidana khusus. Sebab tindak pidana korupsi memiliki spesifikasi tertentu yang berbeda dengan hukum pidana secara umum, seperti adanya penyimpangan hukum acara dan materi yang diatur dimaksudkan untuk merampas aset negara hasil korupsi.35 Oleh sebab itulah, Konvensi PBB mendiskripsikan bahwa masalah korupsi sudah merupakan ancaman serius terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat, melemahkan institusi, dan merusak demokrasi.36
33
Oloan Harahap, Analisis Guigatan Bersifat In Rem Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi pada Sistem Common Law, Tesis, (Medan: Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 2009), hal. 2. 34 Irdanul Achyar, Op. cit., hal. 49. 35 Purwaning M. Yanuar, Op. cit., hal. 45. 36 Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: Alumni, 2007), hal. 3.
Universitas Sumatera Utara
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimanakah pengaturan perampasan aset tindak pidana korupsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 junto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001? 2. Bagaimanakah perampasan aset milik pelaku tindak pidana korupsi melalui instrumen civil forfeiture? 3. Apakah kelebihan dan kelemahan penggunaan instrumen civil forfeiture dalam perampasan aset milik pelaku tindak pidana korupsi?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui dan mendalami pengaturan perampasan aset tindak pidana korupsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 junto UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001. 2. Untuk mengetahui dan mendalami perampasan aset milik pelaku tindak pidana korupsi melalui instrumen civil forfeiture. 3. Untuk mengetahui kelebihan dan kelemahan penggunaan instrumen civil forfeiture dalam perampasan aset milik pelaku tindak pidana korupsi.
Universitas Sumatera Utara
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini dapat memberikan sejumlah manfaat kepada para pihak, baik secara teoritis maupun praktis, manfaat tersebut adalah: 1. Secara teoritis Penelitian ini dapat membuka wawasan dan paradigma berfikir dalam memahami dan mendalami permasalahan hukum khususnya pemahaman tentang penggunaan instrumen civil forfeiture dalam merampas aset milik pelaku tindak pidana korupsi. Selain itu, penelitian ini dapat menjadi bahan referensi bagi peneliti selanjutannya serta sebagai kontribusi bagi penyempurnaan perangkat peraturan mengenai tindak pidana korupsi di Indonesia. 2. Secara praktis Penelitian ini bermanfaat bagi kalangan aparat penegak hukum khususnya aparat Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman, Advokat, JPN, KPK, PPATK, dan praktisi hukum lainnya agar mengetahui dan memahami pentingya penggunaan instrumen civil forfeiture dalam merampas aset milik pelaku tindak pidana korupsi.
E. Keaslian Penulisan Guna menghindari terjadinya duplikasi penelitian terhadap masalah yang sama, maka sebelumnya, telah dilakukan penelusuran di perpustakaan Universitas Sumatera Utara, dan di Perpustakaan Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum USU. Berdasarkan penelusuran diperoleh judul Tesis atas nama Tambok Nainggolan NIM: 087005012 tentang “Kerugian Keuangan Negara Pada Yayasan
Universitas Sumatera Utara
Beasiswa Supersemar” yang membahas mengenai gugatan perdata biasa terhadap ahli waris HM Soeharto atas korupsi pada Yayasan Supersemar. Tesis atas nama Irdanul Achyar NIM: 067005071 judul “Analisis Pengimplementasian Rezim Civil Forfeiture Dalam Pemberantasan Money Laundering” yang membahas mengenai penggunaan civil forfeiture dalam tindak pidana pencucian uang. Tesis atas nama Firmawan Sitorus NIM: 087005011 judul “Kewenangan Kejaksaan Sebagai Jaksa Pengacara Negara Dalam Pengambilan Aset Hasil Korupsi” yang membahas kewenangan Jaksa Pengacara Negara dalam merampas aset tindak pidana korupsi masih menggunakan gugatan perdata biasa. Pembahasan pada judul Tesis di atas, berbeda dengan pembahasan di dalam Tesis ini dimana yang dibahas adalah perampasan aset milik pelaku tindak pidana korupsi melalui instrumen civil forfeiture dan dibahas mengenai kelebihan dan kelemahan penggunaan instrumen civil forfeiture. Oleh karena itu, judul dan permasalahan di dalam penelitian ini, dapat dinyatakan masih asli dan jauh dari unsur plagiat terhadap karya tulis pihak lain.
F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional 1. Kerangka Teori The United Nations Office on Drugs and Crime dan World Bank secara resmi meluncurkan suatu inisiatif pemulihan aset yang dicuri atau disebut juga dengan Stolen Asset Recovery (StAR) pada bulan September 2007 yang mempunyai tujuan utama untuk memberikan technical dan financial assistance dalam memperkuat
Universitas Sumatera Utara
kapasitas institusional lembaga-lembaga nasional dari negara-negara berkembang agar dapat mengambil kembali asset-assetnya yang telah dicuri.37 Perampasan aset berdasarkan civil forfeiture, salah satu upaya hukum yang dapat diterapkan inisiatif pemulihan aset yang dicuri atau Stolen Asset Recovery (StAR), mengoptimalkan Bantuan Hukum Timbal Balik atau Mutual Legal Assistance (MLA) sebab MLA bagaikan napas dari upaya pengembalian aset-aset yang telah dicuri oleh para koruptor berkenaan dengan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan negara diminta.38 Pelaku tindak pidana korupsi terhadap keuangan suatu negara, harus diupayakan pemberantasan dan penanggulangannya melalui kebijakan-kebijakan pidana dan pemidanaan. Barda Nawawi Arief, mengatakan, “pedoman pemidanaan dimaksudkan sebagai jembatan untuk menginformasikan prinsip-prinsip atau ide37
Bismar Nasution, “Stolen Asset Recovery Initiative dari Perspektif Hukum Ekonomi di Indonesia”, Op. cit., hal. 1. Peluncuran (StAR) secara khusus mempunyai lima tujuan. Pertama, membantu membangun kapasitas untuk merespon dan mengajukan permohonan untuk international mutual legal assistance. Kedua, membantu untuk diadopsinya dan diberlakukannya aturan mengenai penyitaan, termasuk undang-undang mengenai penyitaan tanpa hukuman atau kesalahan. Ketiga, membantu peningkatan transparansi dan akuntabilitas sistem manajemen keuangan publik. Keempat, membantu membentuk dan memperkuat lembaga anti korupsi nasional. Kelima, membantu mengawasi dana yang dikembalikan (monitoring) apabila diminta oleh negara terkait. Inisiatif StAR bertujuan untuk menjawab masing-masing dari ketiga unsur kunci di atas bahwa pencurian aset disebabkan oleh kurangnya transparansi dan akuntabilitas di negara-negara berkembang yang terkena dampak. StAR menekankan pentingnya penguatan lembaga akuntabilitas dalam mengembangkan negara-unsur utama tata kelola Bank Dunia dan strategi anti korupsi. 38 Bismar Nasution, “Stolen Asset Recovery Initiative dari Perspektif Hukum Ekonomi di Indonesia”, Op. cit., hal 3-4. Pentingnya mengoptimalkan MLA dalam memulihkan dan merampas aset hasil korupsi yang dicuri pelaku tindak pidana, karena pelaku tindak pidana korupsi tidak hanya menjadi persoalan nasional bahkan sudah menjadi masalah internasional. Sebab, pelaku tindak pidana korupsi di samping memanfaatkan hasil korupsinya secara langsung, bisa juga dilakukan penyimpanan melalui bank bahkan transfer antar bank berskala internasional. Hal ini tentu dapat mempersulit aparat penegak hukum untuk melacak aset-aset hasil tindak pidana korupsi apabila tidak disertai dengan adanya MLA dengan negara-negara lain.
Universitas Sumatera Utara
ide yang melatar belakangi disusunnya konsep antara lain ide untuk mengefektifkan penggabungan jenis sanksi yang lebih bersifat pidana dengan jenis sanksi yang bersifat tindakan”.39 Pernyataan Barda di atas, dipertegas Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti yang mengatakan: Pentingnya menginformasikan secara sistematis mengenai prinsip-prinsip atau ide-ide dasar “sistim dua jalur” atau double track system. Menetapkan jenis sanksi, tidak hanya meliputi sanksi pidana tetapi sanksi tindakan. Penekanan kesetaraan sanksi pidana dan sanksi tindakan dalam kerangka double track system, sesungguhnya terkait bahwa unsur pencelaan lewat sanksi pidana dan unsur pembinaan melalui sanksi tindakan memiliki kedudukan yang sama pentingnya.40 Hukum pidana mengenal adanya sanksi pidana (straf) dan tindakan (maatregel).41 Bagian dari pemidanaan adalah penerapan sanksi pidana (straf) bukan tindakan (maatregel), akan tetapi menurut Jan Remmelink, terkadang penerapan tindakan (maatregel) dalam praktiknya sering jga menimbulkan penderitaan terhadap pelaku.42 Salah satu tujuan pemidanaan adalah untuk menjadikan efek jera pelaku tindak pidana. Pemidanaan dimaksud dalam hal ini adalah penerapan sanksi pidana (straf) terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Penerapan sanksi pidana dalam pemidanaan merupakan suatu penghukuman bagi pelaku agar menjadikan efek jera terhadap pelaku. Pandangan Jan Remmelink dalam penerapan sanksi pidana lebih 39
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hal. 119. 40 Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi, (Jakarta: Sofmedia, 2010), hal. 91 dan hal 92. Sanksi tindakan lebih menekankan kepada nilai-nilai kemanusiaan dalam reformasi dan pendidikan kembali pelaku kejahatan sedangkan sanksi pidana lebih menekankan stelsel sanksi dalam hukum pidanayang menyangkut pembuat undangundang. 41 Muhammad Eka Putra dan Abul Khair, Sistem Pidana Di Dalam KUHP Dan Pengaturannya Menurut Konsep KUHP Baru, (Medan: USU Press, 2010), hal. 7. 42 Jan Remmelink, Hukum Pidana, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal. 458.
Universitas Sumatera Utara
menitikberatkan kepada perbuatan pembalasan atau penderitaan yang dijatuhkan kepada penguasa terhadap seseorang yang melanggar pidana.43 Tujuan pemidanaan dalam penerapan sanksi pidana selama ini selalu berkaitan dengan peraturan perundang-undangan. Penerapan sanksi pidana tidak mengurangi terjadinya kejahatan, justru menambah kejahatan.44 Dengan demikian, muncul teori-teori pemidanaan yang menekankan kepada tindakan (maatregel). Teori pemidanaan dikenal dalam hukum pidana yaitu teori retributif (absolut), teori relatif (teori tujuan), teori gabungan, teori pengobatan (treatment), teori tertib sosial (social defence), dan teori restoratif (restorative). Teori retributif (absolute) menekankan pembalasan karena pelaku kejahatan dianggap layak menerima sanksi pidana atas kejahatan yang dilakukannya. Teori retributif (absolute) dalam perkembangan kemudian menimbulkan masalah sebab semakin diberikan sanksi pidana, kejahatan justru meningkat. Muncul teori yang menedepankan apa sebenarnya tujuan atau apa sebenarnya yang dicari dalam pemberian sanksi pidana. Teori semacam ini disebut teori relatif (teori tujuan). Teori relatif ini muncul sebagi protes terhadap teori retributif (absolute). Teori relatif berorientasi pada upaya pencegahan terjadinya tindak pidana. Orientasi teori relatif mengedepankan tujuan mencegah, menimbulkan rasa takut, dan memperbaiki yang salah.45
43
Ibid. Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi, Op. cit., hal. 93. 45 Ibid., hal. 95-97. 44
Universitas Sumatera Utara
Teori pengobatan (treatment) memandang bahwa pemidanaan sangat pantas pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan, bukan kepada perbuatannya. Pemidanaan dimaksud adalah untuk memberi tindakan perawatan atau pengobatan (treatment) kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman. Alasannya adalah didasarkan kepada alasan bahwa pelaku kejahatan adalah orang yang sakit sehingga dibutuhkan tindakan perawatan atau pengobatan.46 Teori tertib sosial (social defence) terbadi dua yaitu aliran radikal dan aliran moderat. Aliran radikal memandang ”hukum perlindungan sosial harus menggantikan hukum pidana yang ada sekarang”. Aliran ini masih mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatannya. Aliran moderat memandang bahwa setiap masyarakat mensyaratkan tertib sosial dalam seperangkat peraturan-peraturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan untuk kehidupan bersama, tetapi sesuai dengan aspirasi warga masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, peranan yang besar dari hukum pidana merupakan kebutuhan yang tidak dapat dielekkan dalam suatu sistim hukum.47 Teori restoratif (restorative) memandang adanya perlindungan secara berimbang terhadap hak-hak dan kepentingan pelaku dan korban tindak pidana, masyarakat dan negara, sehingga dewasa ini dikenal dengan adanya peradilan restoratif sebagai konsep peradilan yang menghasilkan keadilan restoratif. Keadilan restoratif merupakan produk peradilan yang berorientasi pada upaya untuk melakukan 46
Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal Policy Dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008), hal. 79. 47 Ibid., hal. 88-89.
Universitas Sumatera Utara
perbaikan-perbaikan atau pemulihan dampak-dampak kerusakan atau kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan-perbuatan yang merupakan tindak pidana. Konstruksi pemikiran peradilan restoratif dan keadilan
restoratif yang dihasilkannya,
perlindungan hak-hak dan kepentingan korban tindak pidana tidak semata-mata berupa perlakuan yang menghargai hak-hak asasi para korban tindak pidana dalam mekanisme sistem peradilan pidana, melainkan juga mencakup upaya sistematis untuk memperbaiki dan memulihkan dampak kerusakan atau kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan pelaku tindak pidana baik yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat emosional.48 Lilik Mulyadi mengatakan, implementasi dari teori restoratif salah satunya adalah pengembalian aset pelaku tindak pidana korupsi berupa tindakan hukum pidana, gugatan perdata berupa perampasan in rem yaitu tindakan negara mengambil alih aset melalui putusan pengadilan dalam perkara perdata berdasarkan bukti-bukti yang lebih kuat bahwa aset tersebut diduga berasal dari tindak pidana atau digunakan untuk tindak pidana maupun kerja sama internasional dalam bantuan timbal balik masalah pidana (mutual assistance in criminal matters) antara negara korban korupsi atau negara asal (country of origin) dan negara penyimpan aset korupsi atau negara ketempatan (custodial state).49
48
Howard Zehr, The Little Book of Restorative Justice, (Pennsylvania: Intercourse, 2002),
hal. 18. 49
Lilik Mulyadi, Asas Pembalikan Beban Pembuktian Terhadap Tindak Pidana Korupsi Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia Pasca Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003, (Bandung: Alumni, 2008), hal. 7.
Universitas Sumatera Utara
Pandangan dalam teori restoratif adalah memidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. J. Andeneses mengatakan teori ini dapat juga disebut sebagai teori perlindungan masyarakat (the theori of social defence).50 Berdasarkan pandangan J. Andeneses di atas, mengarahkan pemikiran bahwa selain teori restoratif yang dapat dijadikan dasar dalam pengembalian dan pemulihan aset hasil tindak pidana korupsi, teori perlindungan masyarakat (the theori of social defence) atau teori tertib sosial dapat juga sebagai landasan dalam perampasan aset korupsi. Sedangkan teori retributif (absolut), teori relatif (teori tujuan), teori gabungan, teori pengobatan (treatment) sebagaimana telah dijelaskan di atas, tidak cocok digunakan dalam pembahasan perampasan aset korupsi. Justifikasi teoretis perampasan aset secara filosofis, argumentasinya adalah pengembalian aset pelaku tindak pidana korupsi dapat terdiri dari benda tetap maupun benda bergerak atau dapat pula berupa uang hasil korupsi baik yang berada di dalam negeri (Indonesia) maupun di luar negeri. Aset tersebut hakikatnya merupakan uang negara in casu adalah berasal dari dana masyarakat. StAR pada negara-negara berkembang mengalami hambatan karena tidak adanya regulasi yang mengatur perampasan harta benda tanpa melalui proses peradilan pidana (non conviction base) sehingga diperlukan adanya pengaturan non conviction base stolen asset recovery
50
J. Andeneses, dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, Pidana dan Pemidanaan, (Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1984), hal. 14.
Universitas Sumatera Utara
yang mengatur mekanisme hukum tentang pembekuan (freezing), perampasan (seizure) dan penyitaan (confiscation) harta benda tanpa perlu dibuktikan keterlibatan dalam perkara pidana dimana proses ini dalam RUU Perampasan Aset Tindak Pidana Korupsi Indonesia Tahun 2008 dikenal tindakan berupa penelusuran, penggeledahan, pemblokiran, penyitaan dan perampasan yang berupa perampasan in rem dan perampasan pidana. Logikanya dengan pelaku melakukan pengembalian aset diharapkan akan berdampak langsung untuk memulihkan keuangan negara atau perekonomian negara yang akhirnya bermuara kepada kesejahteraan dan keadilan masyarakat.51 Pemikiran di atas digunakan untuk mewujudkan tujuan hukum yakni keadilan,52 walaupun keadilan itu bukan satu-satunya yang digunakan untuk mewujudkan tujuan hukum. Karena dalam suatu negara hukum modern, tujuan hukum adalah untuk mewujudkan kesejahteraan (welfare state).53 Apabila terjadi tindakan yang tidak adil (unfair prejudice) di dalam kehidupan, maka sektor hukumlah yang sangat berperan untuk menemukan kembali keadilan yang telah hilang (the lost justice) inilah yang disebut Aristoteles sebagai keadilan korektif.54
51
Lilik Mulyadi, Asas Pembalikan Beban Pembuktian Terhadap Tindak Pidana Korupsi Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia Pasca Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003, Loc. cit., Dimensi ini relatif dan identik dengan perspektif hukum adat dimana dengan dilakukan pemenuhan kewajiban adat maka diharapkan adanya kesimbangan pada komunitas masyarakat adat yang bersangkutan sehingga telah terjadi kesimbangan antara alam kosmis dan makrokosmis atau antara alam kala dengan alam niskala. 52 E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Ikhtiar Baru, 1975), hal. 20. 53 Mochtar Kusumaatmadja., Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Loc. cit. 54 Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2007), hal. 92.
Universitas Sumatera Utara
Keadilan yang hilang mesti dikembalikan oleh hukum. Keadilan akan diperoleh jika dilakukan maksimum penggunaan barang secara merata dengan memperhatikan kepribadian masing-masing (justice fairnes). Prinsip keadilan dirincinya dalam bentuk pemenuhan hak yang sama terhadap dasar (aqual liberties); dan pengaturan perbedaan ekonomi dan sosial sehingga akan terjadi kondisi yang tertib.55 Ketertiban adalah tujuan hukum dimana perdamaian manusia lah yang dipertahankan oleh hukum dengan melindungi kepentingan-kepentingan manusia, kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta benda dan sebagainya terhadap yang merugikannya.56 Hukum nasional dibuat selain untuk mencapai keadilan dan ketertiban, juga sebagai sarana pembaharuan kehidupan masyarakat, agar perubahan (pembangunan) itu dilakukan dengan teratur dan tertib.57 2. Landasan Konsepsional Dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa istilah sebagai landasan konsepsional untuk menghindari kesimpangsiuran pemahaman mengenai definisi atau pengertian serta istilah yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berkut:
55
Ibid, hal. 94. Lili Rasjidi, “Peranan Hukum Dalam Pembangunan Nasional Indonesia”, dalam: Jurnal Hukum Padjdjaran Review, Hukum Responsif, Bandung, Vol. 1 No. 1, Tahun 2005, hal. 8. 57 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional: Suatu Uraian Tentang Landasan Pikiran, Pola dan Mekanisme Pembaharuan Hukum di Indonesia, Cetakan IV, (Bandung: Putra A. Bardin, 2000), hal. 13. 56
Universitas Sumatera Utara
a. Tindak pidana adalah semua perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana bagi siapa saja yang melanggar larangan tersebut.58 b. Tindak pidana korupsi adalah suatu tingkah laku dan atau tindakan seseorang atau kelompok dalam jabatannya tidak mengikuti norma-norma hukum yang berlaku serta mengabaikan rasa kasih sayang dan tolong-menolong dalam kehidupan bernegara atau bermasyarakat dengan mementingkan diri pribadi/keluarga/kelompok/golongannya dan yang tidak mengikuti atau mengabaikan pengendalian diri sehingga kepentingan lahir dan batin atau jasmani dan rohaninya tidak seimbang, tidak serasi, dan tidak selaras, dengan mengutamakan kepentingan lahir berupa meletakkan nafsu duniawi yang berlebihan sehingga merugikan keuangan atau kekayaan negara dan/atau kepentingan masyarakat atau negara, baik secara langsung maupun tidak langsung.59 c. Aset negara adalah adalah segala harta atau kekayaan negara termasuk segala hak-hak negara yang dapat dinilai dengan uang, benda-benda atau barangbarang negara baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak yang dapat diformulasikan dalam bentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
58
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya”, (Jakarta: Storia Grafika, 2002), hal. 208. 59 Juniadi Soewartojo, Op. cit., hal. 11.
Universitas Sumatera Utara
(APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), serta termasuk pula Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).60 d. Perampasan aset adalah serangkaian tindakan aparat yang berwenang untuk merampas aset-aset negara (baik benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud) dari koruptor sebagai hasil tindak pidana korupsi untuk dikembalikan kepada negara.61 e. Civil forfeiture adalah suatu model yang menggunakan pembalikan beban pembuktian, dan memfokuskan pada gugatan terhadap aset bukan mengejar pelaku (tersangka atau terdakwa) sehingga aset negara dapat diselamatkan meski tersangka telah melarikan diri atau meninggal dunia.62 f. Kerugian keuangan negara adalah semua aset kekayaan negara yang dirugikan akibat tindak pidana korupsi oleh seseorang atau kelompok tertentu.63 g. Gugatan in rem adalah suatu gugatan yang substansinya merupakan perampasan terhadap harta kekayaan hasil tindak pidana korupsi secara
60
Arifin P. Soeria Atmadja, Keuangan Publik Dalam Perspektif Hukum Teori, Praktik dan Kritik, (Jakarta: FH UI, 2005), hal. 22. Lihat juga Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. 61 Mudzakkir, ”Penelusuran, Penyitaan, Perampasan, dan Pengelolaan Aset Tindak Pidana”, Makalah dalam Focus Group Discussion (FGD) tentang Penyitaan dan Perampasan Aset untuk Mendukung Pencegahan dan Pemberantsan Tindak Pidana Pencucian Uang yang diselenggarakan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keungan bekerja sama dengan Departemen Hukum dan Hak Asasi manusia Republik Indonesia, Jakarta, Tanggal 21 Juli 2009, hal. 1. 62 Bismar Nasution, Loc. cit., Lihat juga: Tambok Nainggolan, Loc. cit. 63 Eddy Milyadi Soepardi, “Memahami Kerugian Keuangan Negara Sebagai Salah Satu Unsur Tindak Pidana Korupsi”, Makalah disampaikan dalam ceramah ilmiah pada Fakultas Hukum Universitas Pakuan Bogor, tanggal 24 Januari 2009, hal. 3.
Universitas Sumatera Utara
perdata yakni dengan pemulihan kembali harta kekayaan negara yang telah dikorupsi.64 h. Perbuatan Melawan Hukum (PMH) adalah tindakan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada pada seseorang karena jabatan atau kedudukannya dan dilakukan dalam hubungannya dengan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.65 i. Pembalikan beban pembuktian adalah terdakwa harus membuktikan bahwa dirinya bukan sebagai pelaku tindak pidana dan apabila tidak dapat membuktikan, maka terdakwa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana.66
G. Metode Penelitian Metode adalah cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran penelitian dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan.67 Sedangkan penelitian merupakan suatu kerja ilmiah yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten.68 Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari sesuatu atau beberapa gejala 64
Oloan Harahap, Analisis Guigatan Bersifat In Rem Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi pada Sistem Common Law, Op. cit., hal. 2. 65 Eddy Milyadi Soepardi, Op. cit. 66 Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Op. cit., hal. 102. 67 Soerjono Soekanto, Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, (Jakarta: Indonesia Hillco, 1990), hal. 106. 68 Soerjono Soekanto dan Sri Mumadji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2001), hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
hukum tertentu dengan cara menganalisisnya.69 Dengan demikian metode penelitian adalah upaya ilmiah untuk memahami dan memecahkan suatu masalah berdasarkan metode tertentu. 1. Jenis dan Sifat Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma dan asas-asas hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan atau disebut juga sebagai penelitian doktrinal.70 Alasan penggunaan penelitian hukum normatif yang bersifat kualitatif ini adalah didasarkan pada paradigma hubungan dinamis antara teori, konsep-konsep dan data yang merupakan umpan balik atau modifikasi yang tetap dari teori dan konsep yang didasarkan pada data yang dikumpulkan. 2. Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dari penelitian terdahulu yang berhubungan dengan objek yang ditelaah dalam penelitian ini yang dapat berupa peraturan
69
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hal. 6. Bismar Nasution, ”Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum”, Makalah, disampaikan pada dialog interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, Tanggal 18 Februari 2003, hal. 1. Penelitian doktrinal (doctrinal research), yaitu suatu penelitian yang menganalisis baik hukum sebagai law as it written in the book, maupun hukum sebagai law as it is decided by the judge through judicial process. Penelitian hukum normatif ini bersifat kualitatif. 70
Universitas Sumatera Utara
perundang-undangan, buku, karya ilmiah, makalah dan karya lainnya.71 Data pokok dalam penelitian ini adalah data-data sekunder yang meliputi: a.
Bahan hukum primer, yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) dan Konvensi-konvensi Internasional;
b.
Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti buku-buku, makalah hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya, majalah, jurnal ilmiah, artikel, artikel bebas dari internet, surat kabar, majalah mingguan, dan bahkan dokumen pribadi yang relevan dengan objek telaahan dalam penelitian ini;
c.
Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti ensiklopedia dan kamus umum yang relevan dengan penelitian ini.
3. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi dokumen-dokumen yang relevan dengan penelitian ini di perpustakaan dan melakukan identifikasi data atau kasus-kasus yang ada. Data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan tersebut selanjutnya akan dipilah-pilah guna memperoleh pasal-pasal dalam UUPTPK yang mengandung
kaedah-kaedah
hukum
yang
kemudian
dihubungkan
dengan
71
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 195-196.
Universitas Sumatera Utara
permasalahan yang sedang dihadapi dan disistematisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan dalam penelitian ini. 4. Analisis Data Analisis data di dalam penelitian ini, dilakukan secara kualitatif yakni pemilihan teori-teori, asas-asas, norma-norma, doktrin, dan pasal-pasal di dalam UUPTPK dan uraian-uraian sebagaimana dalam bahan sekunder di atas yang relevan dengan perampasan aset tindak pidana korupsi. Dibuat sistematika dari data tersebut sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan yang dibahas. Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian secara sistematis pula dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data.
Universitas Sumatera Utara