BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Terorisme merupakan kejahatan lintas negara, terorganisasi, dan mempunyai jaringan luas sehingga mengancam perdamaian dan keamanan nasional maupun internasional. Istilah "terorisme" umumnya berkonotasi negatif, seperti juga istilah "genosida" atau "tirani". Istilah ini rentan dipolitisasi. Kekaburan definisi membuka peluang penyalahgunaan. Tindakan teror bisa dilakukan oleh negara, individu atau sekelompok individu, dan organisasi. Pelaku biasanya merupakan bagian dari suatu organisasi dengan motivasi cita-cita politik atau cita-cita religius tertentu yang dilakukan oleh seorang atau beberapa orang/kelompok yang mempunyai keyakinan tertentu. Tindak pidana terorisme adalah extra ordinary crime. Pengertian extra ordinary crime adalah pelanggaran berat HAM yang meliputi crime againts humanity dan goside (sesuai dengan Statuta Roma). Tindak pidana terorisme dimasukkan dalam extra ordinary crime dengan alasan sulitnya pengungkapan karena merupakan kejahatan transboundary dan melibatkan jaringan internasional 1. Sebagai metode kekerasan, teror dan terorisme memang dibedakan, meski sama-sama berasal dari istilah Latin: terror/terrere, yang berarti membuat ketakutan mendalam. Aksi teror bercorak spontan, tidak terorganisasi rapi, dan
1
Http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18371/1/equ-agu200712%20%286%29.pdf (Jurnal Equality Vol. 12 No.2 tanggal 2 Agustus 2007). Penulis oleh Sunarto Halaman 154 dengan judul Kriminalisasi Dalam Tindak Pidana Terorisme 1
cenderung bersifat perorangan. Sebaliknya terorisme bersifat sistematis, terorganisasi rapi, dan dilakukan sebuah organisasi atau kelompok. Praktik teror sebenarnya termasuk salah satu ekspresi watak dasar manusia yang ingin berkuasa, the will to power. Manusia bisa menjadi serigala bagi yang lain, homo homini lupus. Terorisme sebuah fenomena yang mengganggu. Aksi terorisme seringkali melibatkan beberapa negara. Sponsor internasional yang sesungguhnya adalah negara besar. Harus dipahami bahwa terorisme sekarang telah mendunia dan tidak memandang garis perbatasan internasional. Masih sulit diketahui persis kapan Indonesia mulai terperangkap dalam jaringan terorisme. Namun, ada yang berkeyakinan, peledakan bom Malam Natal 24 Desember 2000 merupakan indikasi awal kerja jaringan terorisme. Keyakinan tentang kehadiran jaringan terorisme internasional di Indonesia, semakin meningkat setelah tragedi bom Bali 12 Oktober lalu. Perkembangan ini membuat orang menjadi khawatir. Namun, praktik kekerasan yang bersifat kultural maupun struktural yang berlangsung dari waktu ke waktu di Indonesia, dianggap telah menjadi lahan subur bagi kehadiran gerakan terorisme. Gelombang kekerasan begitu runyam, bellum omnium contra omnes, perang oleh semua melawan semua. Sungguh konyol, pelaku dan korban kekerasan justru sesama warga bangsa sendiri. Kekerasan
seolah
terus
dilembagakan,
institutionalized
violence.
Gelombang kerusuhan dan aksi kekerasan mengalami eskalasi seperti terlihat dalam urutan kasus Jalan Ketapang-Jakarta, Kupang-Nusa Tenggara Timur (NTT), Ambon-Maluku, Poso, dan sejumlah tempat di Indonesia.
Kemampuan mengelola konflik di kalangan bangsa Indonesia terlihat memudar pula. Orang begitu sensitif, mudah dihasut, cepat mengamuk, dan gampang termakan isu. Ada kecenderungan bergerak liar, seolah tidak ada aturan, tidak ada sopan santun, tidak ada pemerintahan, tidak ada hukum, dan tidak ada sistem nilai. Kualifikasi serupa tampaknya juga berlaku bagi tiga kasus pembajakan pesawat di Indonesia. Aksi teror udara paling dramatis menimpa pesawat DC-9 Woyla milik Garuda Indonesia hari Sabtu 28 Maret 1981. Pesawat dengan nomor penerbangan GA-206 itu dibajak dalam penerbangan dari Palembang ke Medan, dan kemudian dipaksa mendarat di Penang, Malaysia, dan selanjutnya ke Bandar Udara Don Muang Bangkok, Thailand. Sebelum kasus pembajakan pesawat Woyla, dua kasus serupa pernah mengguncang dunia penerbangan Indonesia, tetapi pesawat-pesawat itu tidak dipaksa terbang ke luar negeri. Pembajakan pertama menimpa pesawat Vickers Viscount milik Merpati Nusantara Airlines tanggal 4 April 1971 dalam penerbangan dari Surabaya ke Jakarta. Drama ini berakhir dengan tewasnya pembajak oleh tembakan. Sekitar
5,5
tahun
kemudian,
pembajakan
udara
terjadi
lagi.
Pesawat DC-9 Garuda dibajak seorang diri yang diidentifikasi sebagai Triyudo (27 tahun). Dengan sebilah badik, karyawan sipil honorer TNI-AU itu mulai beraksi dengan menyandera seorang pramugari dalam penerbangan SurabayaJakarta tanggal 5 September 1977 2. Rangkaian aksi pembajakan udara itu disebut teror karena lebih dari sekadar tindakan kekerasan. Teror atau terorisme tidak identik dengan kekerasan. 2
http://yudhim.blogspot.com/2008/01/indonesia-di-peta-terorisme-global.html
Terorisme adalah puncak aksi kekerasan, terrorism is the apex of violence. Bisa saja kekerasan terjadi tanpa teror, tetapi tidak ada teror tanpa kekerasan. Di Indonesia, undang-undang yang pembuatannya sedikit banyak terpengaruhi oleh kondisi dunia saat itu, yakni Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi UndangUndang (selanjutnya disebut sebagai “Undang-Undang TPTPT”). 3 Sebelumnya substansi dalam undang-undang ini tidak dibentuk dalam format Undang-Undang ini tidak
dibentuk dalam format undang-undang,
melainkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu). Keberadaan Undang-Undang Terorisme memiliki latar belakang yang cukup menarik dikarenakan dibuat pada masa-masa yang dianggap mendesak oleh pemerintah Indonesia lantaran ketiadaan hukum yang mengatur khusus mengenai tindak pidana terorisme. 4 Untuk lebih jelasnya, sebenarnya Perpu ini dibuat segera setelah peristiwa bom di Bali bulan Oktober 2002 yang banyak menelan korban, ratusan diantaranya turis mancanegara. Peristiwa ledakan bom ini dianggap oleh pemerintah Indonesia sebuah tindakan terorisme, bukan tindak pidana biasa. 5 Dikarenakan ketiadaan hukum yang mengatur tindak pidana terorisme, dan Pemerintah Indonesia merasa harus segera memiliki peraturan yang khusus mengenai tindak pidana terorisme, maka dibuatlah Perpu Nomor 1 Tahun 2002
3
Sutan Remi Sjahdeini, op. cit., hal. 298. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Perpu TPTPT), Nomor 1 Tahun 2002, LN No. 106 tahun 2002, TLN No.4232, bagian konsiderans huruf e dan f. 5 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pada peristiwa Peledekan Bom di Bali tanggal 12 oktober 2002, LN No. 107 tahun 2002 ,TLN No 4290, bagian konsiderans huruf b. 4
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (selanjutnya disebut “Perpu TPTPT”) 6 tersebut. Disamping Perpu ini dibuatlah Perpu Nomor 2 Tahun 2002 yang memungkinkan Perpu TPTPT tersebut digunakan untuk peristiwa Bom Bali itu atau dengan kata lain Perpu TPTPT menjadi berlaku surut. Hal ini sempat menjadi kontroversial sebab hukum pidana di Indonesia hanya mengenal asas tidak berlaku surut atau non-retroaktif. 7 Hal yang menarik dari pembuatan perpu TPTPT ini adalah kenyataan bahwa tidak ada definisi yang jelas dan pasti mengenai tindak pidana terorisme itu sendiri pada saat Perpu ini dibuat, para ahli hukum pun sampai sekarang belum ada yang berhasil mengambil suatu kesimpulan yang tegas mengenai batasanbatasan tindak pidana terorisme itu untuk dapat dibedakan dari tindak pidana biasa. 8 Walaupun jika berbicara mengenai tindak pidana terorisme kita pasti berbicara mengenai kejahatan luar biasa (extraordinary crime), tentunya
6
Lihat Sutan Remi Sjahdeini, op. cit., hal 299. Pembuatan Perpu ini (yang selanjutnya oleh DPR-RI dijadikan undang-undang) diberlakukan secara surut disebabkan oleh adanya pemikiran bahwa tindak pidana terorisme merupakan kejahatan luar biasa(extraordinary crime). Hal ini sempat menimbulkan kontroversi dikalangan ahli hukum.namun pada akhirnya Mahkamah konstitusi (MK) menghapus undang-undang nomor 16 tahun 2003 tentang penetapan Peraturan Pengganti undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang pemberlakuan perpu nomor 1 tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme, pada peristiwa peledekan bom di Bali tanggal 12 oktober 2002 menjadi undang-undang ini, lantaran MK menganggap bahwa tindak pindana terorisme merupakan ordinary crime, walaupun empat dari sembilan hakim yang memutuskan mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion). Lihat Frans H. Winarta, “Putusan Mahkamah Konstitusi soal Undang-undang antiterorisme,”http://www.kompas.com/kompas-cetak/0408/23/opini/1203761.htm, diakses 10 september 2009. 8 Banyak pendapat yang mencoba mendefinisikan tindak pidana terorisme, namun belum ada satu kesepakatan yang terbentuk atas definisi yang diajukan dikalangan akademisi. Bahkan, adapula yang mengatakan bahwa tindak pidana terorisme tidak bisa di definisikan (M.Cherif Bassiouni). PBB sendiri belum menerima satu pun definisi tentang terorisme secara resmi. Definisi maupun deskripsi tindak pidana terorisme, “ http://en.wikipedia.org/wiki/definition of terrorism, yang diakses 10 september 2009. 7
dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan efek terror (ketakutan) di masyarakat yang harus ditangani dengan cara yang luar biasa pula (extraordinary measures). 9 Bahkan, di dalam Perpu TPTPT tersebut, tindak pidana terorisme hanya dirumuskan sebagai “tindak pidana yang memenuhi ketentuan dalam Perpu ini”. 10 Jadi sederhananya menurut Perpu TPTPT ini, tindak pidana pencurian pun dapat menjadi tindak pidana terorisme jika dimasukan dalam Perpu tersebut. Perpu Nomor 1 Tahun 2002 akhirnya dijadikan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 pada tanggal 4 april 2003 oleh pemerintah Indonesia. 11 Di dalam substansi yang diaturnya terdapat ketentuan mengenai tindak pidana yang dipersamakan dengan tindak pidana terorisme. Di antaranya adalah tindak pidana kejahatan terhadap penerbangan dan sarana/prasarana penerbangan seperti yang tercantum di dalam Pasal 8 dari undang-undang tersebtu. Sesunguhnya unsur-unsur pidana yang terkandung di dalam pasal 8 Undang-Undang TPTPT ini sebagian besar menunjukkan persamaan – kalau tidak ingin disebut sama persis – dengan unsur –unsur pidana dalam ketentuan pasal 479a hingga Pasal 479r Bab XXIXA tentang kejahatan penerbangan dan kejahatan penerbangan dan kejahatan sarana/prasarana penerbangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), walaupun dikatakan oleh penjelasan Pasal 8 tersebut bahwa ketentuan-ketentuan yang termuat dalam Pasal ini
9
Lihat “Tata Negara : UU antiterorisme Indonesia masih kurang keras,”http://www.mediaindo.co.id/berita.asp?id=78759, diakses !0 september 2009 10 Perpu TPTPT, pasal 1 ayat 1 11 Undang-undang tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undangundang Nomor 1 tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme, menjadi Undang-undang (undang undang TPTPT), nomor 15 tahun 2003, LN No 45 tahun 2003 TLN No 4284.
merupakan penjabaran dari Bab XXIXA KUHP tersebut. 12 Hal ini sungguh menarik dikaji karena suatu peraturan yang semua termasuk dalam golongan kejahatan biasa (ordinary crime) sekarang menjadi tindakan yang dipersamakan dengan tindak pidana terorisme, dengan tanpa perubahan berarti pada unsur-unsur tindak pidana yang diaturnya. Hal ini dapat menimbulkan masalah karena pada awal ketentuan pada Bab XXIXA KUHP ini dibuat semangatnya adalah mengkriminalisasi kejahatan penerbangan dan sarana penunjangnya, sedangkan undang-undang TPTPT dibuat dengan berdasarkan semangat bahwa terorisme merupakan kejahatan luar biasa pula. Ini akan menimbulkan konsekuensi yang janggal ketika pasal 8 undangundang TPTPT ini di terapkan. Sebagai perandaian, ketika seseorang dengan sengaja merokok di dalam pesawat udara, padahal tanda larangan merokok menyala, dia dapat di kenai tuduhan melakukan tindakan pidana terorisme dengan merujuk pasal 8 huruf r yakni menggangu ketertiban dan tata tertib dalam pesawat udara, jadi merokok dalam pesawat adalah tindak pidana terorisme yang dapat di hukum dengan penjara minimal 4 tahun atau seumur hidup atau hukuman mati. Misalnya lagi, jika seseorang pilot mendaratkan pesawat udaranya dan karena kealpaannya menyebabkan pesawatnya itu tergelincir keluar landasan dan mengalami kerusakan, maka berdasarkan Pasal 8 huruf g Undang-Undang TPTPT, dia dapat dikenai tuduhan melakukan tindakan terror dengan alasan
12
Dalam draft V rancangan Undang-undang (RUU) TPTPT, Juni 2002, pasal 8 RUU ini secara redaksional hanya menunjuk pada Bab XXIXA KUHP dengan menggunakan ancaman hukuman yang sama dengan yang diatur pasal-pasal 8 RUU ini tetap sama dengan penjelasan pasal 8 TPTPT.
kealpaannya telah menyababkan pesawat udara yang menjadi tanggung jawabnya menjadi rusak. 13 Menjadi menarik untuk mempelajari latar belakang di masukannya ketentuan Bab XXIXA KUHP tersebut adalah meluasnya cakupan tindak pidana terorisme ke dalam seluruh ruang tindak pidana dalam penerbangan dala KUHP yang notabene awalnya adalah tindak pidana biasa. Uraian tersebut di atas membawa kita kepada fokus kajian dari penelitian ini yakni permasalahan kriteria penentuan suatu kejahatan dapat di golongkan sebagai tindak pidana terorisme oleh Undang-Undang TPTPT, dan dari permasalahan itu akan dilihat kelayakan setiap butir peraturan pada Pasal 8 UU TPTPT tersebut sebagai bagian dari tindak pidana terorisme. Instrumen hukum yang akan digunakan selain KUHP, UU TPTPT dan Peraturan PerundangUndangan nasional lainnya adalah instrument hukum internasional seperti konvensi-konvensi yang berhubungan dengan tindak pidana terorisme serta instrumen hukum negara-negara lain.
B. Permasalahan Berdasarkan dari uraian latar belakang tersebut diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut: 1.Bagaimana pengaturan mengenai implementasi konvensi kejahatan penerbangan sebagai sebuah tindak pidana terorisme menurut instrumen Hukum Internasional
13
Hal –hal yang berkaitan dengan pasal 8 huruf G undang-undang TPTPT ( http://riduan.mw.lt/avsec_02) diakses tanggal 10 september 2009
2.Bagaimana pengaturan mengenai implementasi konvensi kejahatan penerbangan sebagai sebuah tindak pidana terorisme menurut Undang-Undang No.15 Tahun 2003 3.Bagaimana dalam prakteknya penerapan ketentuan hukum Undang-Undang No.15 Tahun 2003 dalam peristiwa kejahatan penerbangan sebagai sebuah tindak pidana terorisme (contoh kasus putusan perkara pilot Marwoto No. 348 Pid. B/2008/PN Slmn)
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Dalam penyusunan penulisan hukum ini memiliki tujuan sebagai berikut: 1.Untuk mengetahui implementasi konvensi kejahatan penerbangan sebagai sebuah tindak pidana terorisme menurut instrumen Hukum Internasional 2.Untuk mengetahui implementasi konvensi kejahatan penerbangan sebagai sebuah tindak pidana terorisme menurut Undang-Undang No.15 Tahun 2003 3. Untuk mengetahui praktek penerapan ketentuan hukum Undang-Undang No.15 Tahun 2003 dalam peristiwa kejahatan penerbangan sebagai sebuah tindak pidana terorisme ( contoh kasus putusan perkara pilot Marwoto No. 348 Pid. B/2008/PN Slmn) Sedangkan manfaat penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1.
Manfaat Teoretis Diharapkan hasil penelitian ini mempunyai kegunaan bagi keberadaan dan perkembangan ilmu hukum.
2.
Manfaat Praktis
a. Menambah wawasan dan cakrawala bagi penulis dalam kaitannya dengan kajian kriminologi terhadap pemberitaan kriminal di televisi dan kejahatan anak b. Sebagai bahan masukan bagi pihak-pihak yang terkait dengan materi penulisan hukum ini;
D. Keaslian Penulisan Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian mengenai implementasi konvensi kejahatan penerbangan dalam Undang-Undang No 15 Tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorsisme di Indonesia belum pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan yang sama. Jadi penelitian ini disebut asli sesuai dengan asas keilmuan yaitu jujur, rasional, dan objektif serta terbuka. Guna menghindari terjadinya duplikasi penelitian terhadap masalah yang sama, maka peneliti melakukan pengumpulan data tentang implementasi konvensi kejahatan penerbangan dalam Undang-Undang No 15 Tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorsisme di indonesia, dan juga pemeriksaan terhadap hasil penelitian yang ada mengenai hal tersebut, sehingga dapat disimpulkan penelitian ini belum pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan yang sama oleh peneliti lainnya di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
E. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dilakukan dengan metode deskriptif analitis dengan menggunakan studi dokumentasi sebagai
rujukan utama. Metode deskriptif ialah metode untuk mempertegas hipotesis 14. Dalam penelitian ini metode deskriptif digunakan untuk mengkaji batasan-batasan dari tindak pidana terorisme secara umum. Metode analtis adalah metode untuk mengkaji fakta-fakta yang ada dikaitkan dengan gambaran atau deksripsi yang telah didapatkan sebelumnya pada metode deskriptif yang digunakan 15. Dalam penelitian ini, metode analitis akan digunakan untuk mempelajari keterkaitan secara utuh antara ketentuan-ketentuan dalam Pasal 8 Undang-Undang TPTPT dengan batasan-batasan dari tindak pidana terorisme yang berlaku umum. Sehingga dapat disimpulkan bahwa penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif Teknik pencarian data dilakukan melalui studi dokumentasi atau pustaka (Library Research) dengan menggunakan data sekunder sebagai rujukan utama. Dalam penelitian ini data sekunder yang digunakan adalah: 1. Bahan hukum primer, yakni bahan hukum yang dijadikan dasar serta kajian utama dalam mengkaji masalah tindak pidana penerbangan menjadi tindak pidana terorisme yaitu: a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia b. Convention on Offences and Certain Other Acts Commited on Board Aircraft, Tokyo: 1963 c. Convention for The Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft, The Hague 1970 d. Air Navigation Act International Civil Aviation Organization (ICAO)
14
Soerjono Soekanto. “Pengantar Penelitian Hukum”. Jakarta: UI Press 1986 hal 10 15 Ibid hal 27
e. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tokyo 1963, Konvensi Hague 1970, dan Konvensi Montreal 971 f. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-undangan Pidana,
Kejahatan
Penerbangan,
dan
Kejahatan
Terhadap
Sarana/Prasarana Penerbangan g. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan h. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme i. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang. 2. Bahan hukum sekunder, yaitu Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana draft 2005, buku-buku, majalah-majalah, jurnal-jurnal, publikasi dan artikel yang mendukung kajian bahan hukum primer 3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang mendukung bahan hukum sekunder, seperti kamus dan ensiklopedia
F. Tinjauan Pustaka Untuk membatasi dan mencegah pengulangan arti dalam penulisan skripsi ini, maka dalam skripsi ini dirumuskanlah definisi operasional
atau tinjauan
pustaka. Tinjauan pustaka ini mengacu pada definisi-definisi yang dirumuskan
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009, yaitu: 1) Pesawat udara adalah setiap alat yang dapat terbang di atmosfer karena daya angkat dari reaksi udara 16. 2) Pesawat udara dalam penerbangan adalah sejak saat pintu luar pesawat udara ditutup setelah naiknya penumpang (embarkasi) sampai saat pintu dibuka untuk penurunan penumpang (disembarkasi). Dalam hal terjadi pendaratan darurat penerbangan dianggap terus berlangsung sampai saat penguasa yang berwenang mengambil alih tanggung jawab atas pesawat udara dan barang yang ada di dalamnya 17. 3) Pesawat udara dalam dinas adalah jangka waktu sejak pesawat udara disiapkan oleh awak darat atau oleh awak pesawat untuk penerbangan tertentu, hingga setelah 24 jam lewat sesudah setiap pendaratan 18. 4) Penerbangan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan penggunaan wilayah udara, pesawat udara, bandar udara, angkutan udara, keamanan dan keselamatan penerbangan, serta kegiatan dan fasilitas penunjang lain yang terkait 19. 5) Extraodrinary Crime atau kejahatan luar biasa dalam konteks penelitian adalah suatu ancaman bagi kebudayaan dunia (world’s culture) dan kemanusiaan (mankind) seperti yang dirumuskan dalam Statuta Roma 1995, karena itu harus diperangi dengan segala cara, baik melalui perangkat hukum, militer, intelijen, kepolisian, dan penegakan hukum
16
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan Pasal 1 Ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 95b 18 Ibid Pasal 95c 19 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan Pasal 1 Ayat (1) 17
serta penghukuman yang memadai bagi pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Termasuk di dalam rumusan kejahatan luar biasa ini adalah tindak pidana terorisme 20. G. Sistematika Penulisan Di dalam penulisan hukum ini terdiri dari empat bab. Masing-masing perinciannya sebagai berikut. Bab I Pendahuluan, Di dalamnya berisi uraian latar belakang pemilihan judul, ruang lingkup penelitian, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan dan diakhiri dengan sistematika skripsi yang bertujuan untuk mengantarkan pikiran pembaca ke pokok permasalahan yang akan dibahas.
Bab II Berisi Konvensi Kejahatan Penerbangan Sebagai Sebuah Tindak Pidana Terorisme Menurut Instrumen Hukum Internasional. Dalam bab ini dijabarkan hal yang dipaparkan adalah mengenai Konvensi – Konvensi Internasional Keamanan Penerbangan Sipil diantaranya yaitu Konvensi Tokyo, Konvensi Den Haag, dan Konvensi Montreal
Bab III Merupakan bab yang menguraikan tentang konvensi kejahatan penerbangan sebagai sebuah tindak pidana terorisme menurut uu no. 15 tahun 2003.
20
Lihat Frans Hendra Winarta: “Terorisme Itu Kejahatan Luar Biasa” (http://www.komisihukum.go.id/newsletter.php?act=detil&id=65). Terakhir diakses pada tanggal 25 Juli 2010. Pendapat ini juga dikuatkan oleh Ketua Badan Koordinasi Pemberantasan Terorisme Kantor Menkopolkam Ansyaad Mbai, yang mengatakan bahwa tindak pidana terorisme adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime)dan harus ditangani dengan cara-cara luar biasa pula (extraordinary measures).
Di dalamnya sub bab menjelaskan lebih lanjut mengenai Konvensi Kejahatan
Penerbangan
Dalam
Kitab
Undang-Undang
Hukum
Pidana(KUHP) serta Kejahatan Penerbangan Sebagai Tindak Pidana Terorisme Menurut Undang-Undang 15 Tahun 2003. Bab IV Merupakan bab yang memaparkan permasalahan berikutnya mengenai prakteknya penerapan ketentuan hukum undang-undang no.15 tahun 2003 dalam peristiwa kejahatan penerbangan sebagai sebuah tindak pidana terorisme ( contoh kasus putusan perkara pilot marwoto No. 348 Pid. B/2008/PN Slmn). Berturut-turut di dalamya terdapat sub bab mengenai Posisi Kasus dan Analisis Perkara Pilot Marwoto (Perkara No. 348 Pid.B/2008/PN Slmn) berdasarkan UU No 15 Tahun 2003 Bab V Adalah bab terakhir dalam penulisan skripsi ini. Hal mengenai kesimpulan dan saran terhadap sejumlah penulisan dalam skripsi ini. Merupakan cakupan yang dibahas secara sederhana dan terperinci guna menjelaskan rangkuman dari seluruh intisari yang penulis lakukan dalam skripsi ini.