BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah konsumsi beras dan pemenuhannya tetap merupakan agenda
penting dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Beras merupakan makanan pokok utama penduduk Indonesia mempunyai peran besar dalam mewujudkan stabilitas nasional, oleh karena itu beras dipandang sebagai komuditas politik. Pemerintah berkepentingan dengan komoditas beras sebagai komoditas upah (wage goods) sekaligus komoditas politik. Pemerintah berkepentingan mengendalikan harga komuditas ini karena berhubungan dengan infalsi dan kestabilan ekonomi makro. Beras juga dipandang sebagai komoditas politik, apabila terjadi gejolak harga dan ketersediaan di pasar, maka akan terjadi keresahan sosial. hal ini terkait merupakan makanan pokok utama dengan tingkat partisipasi konsumsi beras mencapai 95 peresen. Jika dikait dengan tingkat pengeluaran untuk bahan makan di Indonesia mencapai 60 – 70 dari pendapatan lonjakan harga pangan berakibat turun dayabeli dan tidak terpenuhi kebutuhan dasar masyarakat.. Pengalaman tahun 1966 dan 1998 menunjukan lonjakan harga pangan menimbulkan goncangan politik dan keamanan. oleh karena itu pemerintah berupaya menjamin keterrsediaan dan kestabilan harga padi/beras untuk memantapkan ketahanan pangan, ekonomi, dan politik. Salah satu upaya pemerintah dalam memantapkan ketahanan pangan adalah swasembada beras. Dengan berbagai program intensifikasi, antara lain Bimas, Inmas, dan Insus, maka produksi semakin meningkat dan tercapai
16
swasembada beras tahun 1984. Selain program intersifikasi pertanian, pemerintah membuat kebijakan insentif berupa pupuk subsidi dan kredit pertanian. Era Orde Baru pemerintah mengeluarkan kebijakaan harga dasar gabah. Kebijakan ini berhasil, karena didukung oleh kebijakan lain melalui program intensifikasi pertanian, monopoli bulog pada perdagangan beras impor dan pendistribusiannya. Kebijakan
harga dan monopoli beras oleh Bulog telah
berperan penting dalam menunjang keberhasilan indonesia dalam memacu laju produksi beras, kesedian dan stabilisasi harga beras. Pada masa itu, Bulog menunjang stabilitas harga gabah/beras dengan sistim manajemen stok (buffer stock management) nasional oleh Bulog di tingkat pusat dan Dolog di tingkat daerah.Bulog berperan sebagai lembaga pemegang monopoli impor beras, serta menjamin ketersediaan dan produksi beras nasional melalui pengaturan waktu dan jumlah impor. Menurut Mulyana (1998) efektifan kebijakan harga dasar gabah, dan kestabilan harga di tingkat konsumen dapat dipertahankan dengan sistem pengadaan dan pelepasan stok beras, operasi pasar yang merupakan bagian fungsi Bulog sebagai lembaga mengelola stok beras nasional. Kondisi perekonomian Indonesia yang dilanda oleh krisis ekonomi menyebabkan rendahnya daya beli masyarakat. Tahun 1998 pemerintah terlibat perjanjian dengan IMF, perjanjian ini pemerintah diharuskan mereformasi kebijakan disektor pertaniaan secara substansial, mencakup (1) liberasisasi pasar beras, (2) penghapusan monopoli Buloq dalam distribusi Impor beras dan (3) penghapusan subsidi pupuk serta pembebasan tata niaga pupuk. Akibat perjanjian tersebut harga gabah yang diterima petani tidak mampu menutupi biaya usahatani
17
Perubahan lingkungan ekonomi global dan liberalisasai perdagangan beras berdampak pada kebijakan harga dasar gabah yang tidak efektif dalam menjamin ketersediaan pangan dan kestabilan harga gabah/beras. Kondisi ini diperparah selama tahun 1999 impor beras tidak dibatasi dengan tarif nol persen. Dengan demikiaan pemerintah dituntut untuk menetapkan kebijakan harga dan insetif pertaniaan lainya sehingga mampu menjamin stabilitas harga dan produksi padi nasional. Perubahan lingkungan ekonomi global dan tidak memadainya instrumen pendukung,
maka
HDG
yang
ditetapakan
pemerintah
tidak
efektif.
ketidakefektifan menyebabkan harga gabah yang diterima petani relatif rendah, hal ini dikhawatirkan
dapat menurunkan insentif petani untuk menggunakan
teknologi produksi, khususnya benih bermutu dan pupuk secara optimal. Apabila hal ini tidak segera diatasi, maka dikhawatirkanakan berdampak pada: (a) stagnasi atau bahkan penurunan produktivitas, (b) penurunan luas tanam/panen padi karena petani beralih ke komoditas lain yang lebih menguntungkan, dan (c) alih fungsi lahan sawah, baik karena dijual atau digunakan untuk peruntukan lain yang non pertanian, karena menanam padi tidak menguntungkan lagi. Jika tersebut terjadi maka akan dapat mengancam kemandirian pangan beras nasional. pemerintah dituntut untuk menerapkan kebijakan harga dan insentif pertanian lainnya sehingga mampu menjamin stabilitas harga dan produksi padi nasional Terkait dengan produksi beras nasional pulau Jawa merupakan penghasil utama beras yaitu
menyumbang 56 persen dari produksi
beras nasional,
Sumatera (23 persen), Sulawesi (10 persen) dan Kalimatan (7 persen). khusus pulau Jawa hambatan terbesar meningkatnya angka konversi lahan, menurut
18
Irawan di Jawa 53.54 ribu hektar pertahun luas areal sawah dikonversi mengakibatkan pulau Jawa kehilangan potensi produksi gabah sebesar 2,41 juta ton.Konversi lahan di pulau Jawa berdampak pada penurunan kapasitas produksi padi nasional, mengingat pulau Jawa merupakan penyangga utama produksi beras nasional dan tingkat produktivitas lahan di Jawa lebih tinggi di bandingkan Luar Jawa. 1.2. Perumusan Masala Untuk mendukung ketahanan pangan nasional, maka upaya peningkatan padi harus ditempuh. Peningkatan produksi padi dan produktivitas lahan sawah mutlak diperlukan guna mencapai kemandirian pangan nasional. Sedangkan di Pulau Jawa diperlukan kebijakan untuk mempertahan luas areal sawah, serta peningkatan produksi gabah
sebab pulau jawa merupakan penyangga utama
produksi padi nasional. Peningkatan produksi di Indonesia menghadapi beberapa kendala antara lain; Pertama konversi lahan sawah khusus di Pulau Jawa yang terjadi secara besar – besaran mengubah lahan menjadi daerah perumahan, kawasan industri, dan lahan non pertanian lainnya. Hasil penelitian Irawan (2004) mengungkapkan selama periode 1978-1998 rata – rata 24.04 ribu hektar per tahun luas lahan sawah yang konversi menjadi lahan non pertanian, hal menyebabkan hilang potensi optimal produksi gabah sebesar 8,63 juta ton atau 31 persen dari total produksi gabah ditahun 1998. berdasarkan sensus pertanian tahun 2003 luas konversi lahan pada periode 2000 – 2002 konversi lahan secara nasional sebesar 187,72 ribu hektar pertahun atau 2.42 persen luas sawah yang tersedia. Jika diperbandingkan antara Jawa dan Luar Jawa, rata – rata luas konversi lahan di
19
Luar Jawa sebesar 132,01 ribu hektar atau 1.68 luas lahan tersedia sedangkan, Jawa mengalami konversi lahan 55.72 ribu hektar atau 2.89 persen dari luas lahan tersedia. Konversi lahan mengakibatkan beberapa hal, yaitu; 1) konversi lahan yang yang besar akan mengurangi produksi pangan sehingga kemandirian pangan tidak terwujud, dan 2) konversi lahan sawah pada daerah beririgasi teknis yang produktivitas lahan tinggi Penyusutan lahan persawahan di Jawa disebabkan oleh desakan pertambahan penduduk, perkembangan sektor industri, konversi lahan produktif menjadi real estate, daerah wisata dan peruntukan lainnya yang saling tumpang tindih. Jika konversi lahan dengan laju yang begitu cepat sampai tahun 2020, maka potensi kehilangan gabah di Jawa sekitar 82 juta ton per tahun, setara dengan pemenuhan kebutuhan beras bagi seratus juta penduduk pulau Jawa tahun 2020, sementara hingga saat ini 63 persen suplai beras nasional masih bersumber dari pulau Jawa (Irawan, 1998). Lahan sawah di Pulau Jawa sendiri tampaknya akan terus bergeser menjadi lahan untuk industri dan jasa sehingga dalam era selanjutnya kawasan luar Jawa diharapkan akan menjadi tumpuan harapan untuk berperan besar. Untuk mengetahui apakah memang kawasan luar Jawa mampu menjadi subtitusi penting sebagai pensuplai beras nasional dikaitkan dengan kondisi permintaan (konsumsi) beras dan sejumlah kebijakan perberasan di Indonesia, maka sangat diperlukan informasi tentang perilaku penawaran dan permintaan beras Jawa dan Luar Jawa. Pada tahun 1999, Indonesia melaksanakan kebijakan liberalisasi perdagangan dan distribusi beras impor, serta menghapus monopoli BULOG. sejak diberlakukan kebijakan tersebut, penetapan harga dasar gabah tidak efektif
20
lagi. tingkat HDG yang ditetapkan tidak berdasarkan pada rasionalitas ekonomi dan tidak mempertimbangkan kondisi pasar internasional. Pada tahun 1999 pemerintah menetap nol persen tarif impor, masuknya impor beras pada masa tersebut menyebabkan harga beras dalam negeri turun dari Rp 2370/kg menjadi 1950/kg sehingga menyebabakan turunnya harga rata gabah di tingkat petani.. liberalilasi perdagangan beras berimbas banyak masuk beras impor menyebabkan penurunan harga beras dalam negeri, untuk melindungi petani dari penurunan harga gabah/beras pemerintah diharapkan membuat kebijakan proteksi dan kebijakan pertanian lain guna meningkatkan produksi gabah nasional. Kendala ketiga, anomali berdampak terhadap produksi produksi padi. Anomali iklim berupa El Nino dan La Nina, memberi dampak yang sangat nyata terhadap penurunan curah hujan tahun, lam periode dan curah hujan musim kemarau, serta pergesaran musim di Jawa dan luar jawa sebagai sentra produksi padi. Pada saat kemarau panjang pada tahun 1998, menyebabkan jumlah impor meningkat, dan ditahun 2001 terjadi musim hujan yang panjang, menyebabkan pemintaan impor menurun (BPS, 2003) hal ini membuktikan anomali iklim berpengaruh terhadap produksi padi di Indonesia Keempat, peningkatan biaya produksi produksi mendorong petani secara perlahan meninggalkan pertanian sebab hasil yang didapat tidak sesuai dengan biaya yang dikeluarkan. Hal tersebut disebabkan tingginya harga pupuk sebagai akibat dari kelangkaan pupuk saat musim tanam. Menurut Kariyasa (2007) tinggi harga pupuk disebabkan; (1) Harga pupuk KCl dan ZA yang berfluktuasi mengikuti harga di pasar internasional dan pergerakan nilai tukar rupiah, 2) perbedaan
harga
pupuk
subsidi
dengan
nonsubsidi
mendorong
terjadi
21
penyelewengan pupuk tidak prosedurnya dan 3) pola distribusi pupuk yang belum optimal sehingga tidak tetap sasaran, waktu dan jumlah. Disisi lain beban hidup petani semakin berat seiring kenaikan biaya produksi,hal ini mendorong petani secara perlahan meninggalkan pertanian sebab tidak menjanjikan sebagai sumber pendapatan utama. Ini dapat dilihat pada 4 ciri utama usahatani padi di Jawa (Suryana et al 2001) antara lain: (1) rata- rata penguasaan lahan usaha tani berskla kecil tau 0.30 ha; (2) 70 persen petani padi berada digaris kemiskinan khusus buruh tani dan petani berskala kecil; (3) sekitar 60 persen petani padi merupakan net consurmer beras; dan (4) rata –rata pendapatan rumah tangga petani dari usahatani sekitar 30 persen dari total pendapatan. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan permasalahan dari penelitian adalah: 1. Faktor – faktor apa saja yang mempengaruhi produksi gabah di Jawa dan Luar Jawa ? 2. Faktor – faktor apa saja yang mempengaruhi permintaan beras di Indonesia ? 3. Menganalisa pengaruh kebijakan harga dasar dan tarif terhadap produksi beras indonesia, konsumsi, dan impor beras ? 1.3.Tujuan Penelitian 1.
Mengestimasi faktor – faktor yang mempengaruhi produksi gabah di Jawa dan Luar jawa
2. Mengestimasi faktor – faktor yang mempengaruhi permintaan beras di indonesia 3. Mengestimasi pengaruh kebijakan harga dasar dan
tarif terhadap
produksi, konsumsi, dan impor
22
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan informasi kepada stakeholder tentang faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penawaran dan permintaan beras Indonesia. Informasi tersebut dapat digunakan oleh stakeholder untuk: 1. Membuat kebijakan pertanian dan perdagangan beras dalam rangka meningkatkan produksi dan pencapai swasembada beras 2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan informasi, terutama bagi pembuat kebijakan (policy maker), perencanaan dan pelaksana pembangunan dalam menentukan arah pelaksanaan kegiatan pembangunan sektor pertanian di indonesia. Selain itu, hasil penelitian ini juga dapat digunakan sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya serta dapat memperkaya pustaka yang berkaitan dengan kajian terhadap pembangunan pertanian khusus tanaman pangan utama.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian Analisis penelitian ini dibatasi pada wilayah Indonesia yang dibagi dua menjadi jawa dan luar jawa. tujuan pembagian ini untuk memperbandingkan pengaruh daerah tersebut terhadap kebijakan pertanian. Selain itu, menilai dampak kebijakan pertanian perubahan harga gabah, konsumsi dan impor.
23