BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar BelakangMasalah Suatu perusahaan dapat saja mengalami kerugian dan kemunduran sampai pada suatu keadaan di mana perusahaan berhenti membayar atau tidak mampu lagi untuk membayar hutang-hutangnya, maka pihak debitur ini melakukan kelalaian. Dalam hal debitur berhenti membayar utang-utangnya, maka hukum kepailitan telah memberikan suatu perlindungan kepada kreditur yang memungkinkan untuk mendapatkan kembali pelunasan piutangnya dari debitur. Kepailitan merupakan suatu proses di mana seorang debitur yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayarutangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga karena tidak dapat membayar utangnya. 1 Peraturan kepailitan diatur dalam Faillissements-verordening 1905 Staatsblad 1905 – 217 juncto Staatsblad 1906 – 348. Kemudian karena dirasa tidak sesuai dengan perkembangan kondisi zaman, maka langkah antisipasi adalah pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998, berubah menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepaailitan, yang telah dicabut oleh Undang-Undang Nomor 37
1
J. Djohansyah, tanpa tahun terbit, Pengadilan Niaga dalam Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, tanpa penerbit, tanpa tempat terbit, h. 23.
1
2
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UUK). Debitur yang sudah tidak mampu membayar utang-utangnya dapat dimohonkan pailit di Pengadilan Niaga tempat kedudukan hukum debitur. Permohonan ke Pengadilan Niaga oleh pihak kreditur harus memenuhi syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) UUK, yaitu debitur mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Atas utang tersebut setiap kreditur memiliki hak memperoleh pelunasan dari seluruh harta kekayaan debitur yang telah menjadi boedel pailit. Berdasarkan Pasal 1132 KUHP Perdata menjelaskan bahwa asas keseimbangan dalam pelunasan piutang kreditur dikecualikan untuk para kreditur dengan alasan-alasan sah untuk didahulukan. Sesuai ketentuan Pasal 1132 KUH Perdata, bahwa salah satu pengecualian yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan atas kreditur yang mempunyai kedudukan terpisah dalam boedel pailit.2Pasal ini juga mengandung pengertian yaitu memerintahkan agar harta kekayaan debitur dijual lelang di muka umum atas dasar putusan hakim dan hasilnya dibagikan secara seimbang kepada kreditur-kreditur. Namun, ketika debitur pailit memiliki piutang kepada kreditur yang berupa utang di bidang pajak, maka penyelesaian utang debitur pailit tersebut dapat ditinjau dari segi peraturan kepailitan dan peraturan perpajakan, seperti 2
Jono, 2010, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta, h. 2.
3
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (selanjutnya disebut UU KUP). Diputuskannya seorang debitur menjadi debitur pailit oleh Pengadilan Niaga, membawa konsekuensi hukum yaitu bagi debitur, dijatuhkan sita umum terhadap seluruh harta debitur pailit dan hilangnya kewenangan debitur pailit untuk menguasai dan mengurus harta pailitnya. Untuk kepentingan tersebut, Undang-Undang Kepailitan menentukan pihak yang akan mengurusi persoalan debitur dan kreditur tersebut adalah kurator, yang akan melakukan pengurusan dan pemberesan atas harta pailit serta penyelesaian hubungan hukum antara debitur pailit dengan para krediturnya.3 Sedangkan bagi kreditur, akan mengalami ketidakpastian tentang hubungan hukum yang ada antara kedudukan kreditur atas pelunasan utangnya dari debitur pailit. Hal ini mengingat bahwa kreditur ada yang berkedudukan sebagai kreditur pemegang hak jaminan kebendaan, kreditur pemegang hak istimewa, maupun kreditur yang tidak memegang hak jaminan kebendaan. Pada dasarnya pemerintah telah mengatur mengenai permasalahan hukum untuk kondisi debitur dalam hal ini Wajib Pajak yang tidak memenuhi kewajibannya untuk melunasi pembayaran pajak. Permasalahan kondisi tersebut diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri yaitu dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (selanjutnya disebut UU PPSP), dan Undang3
Jono, op.cit, h. 144.
4
Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (selanjutnya disebut UU Pengadilan Pajak). Beberapa pasal dalam undang-undang tersebut menyebutkan antara lain bahwa bisa dilakukan penagihan seketika dan sekaligus tanpa harus memperhatikan jatuh tempo dan juga untuk semua jenis pajak. Dapat
dipahami
bahwa
pentingnya
penerimaan
pajak
bagi
pembangunan negeri dikarenakan pajak merupakan salah satu sumber penerimaan Negara yang paling potensial. Penerimaan pajak dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan yang didukung oleh peningkatan jumlah penduduk. Tidak dapat dilepaskan pula dari latar belakang untuk meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat.
Seiring
perkembangan
perekonomian nasional, permasalahan di sektor pajak muncul dan bersinggungan dengan kepailitan. Utang pajak sebagai utang yang memiliki bersifat istimewa menimbulkan kerancuan karena aturan dalam KUH Perdata dan UU KUP secara jelas mendukung kedudukan utang pajak, akan tetapi pada kenyataannya dalam kepailitan masih terdapat pemegang hak yang lain. Selain hal tersebut, terdapat penyelesaian utang yang berbeda pengaturannya dalam undang-undang kepailitan maupun undang-undang perpajakan. Berdasarkan dari uraian di atas, yaitu karena adanya ketertarikan penulis terhadap penyelesaian utang pajak dalam kepailitan, maka penulis kemudian mengangkat permasalahan tersebut dalam skripsi yang berjudul: “Penyelesaian Utang Pajak Debitur yang Dinyatakan Pailit”.
5
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1.2.1 Bagaimanakah kedudukan kreditur yang didahulukan (preferen) dalam kepailitan? 1.2.2 Bagaimanakah penyelesaian utang pajak debitur pailit berdasarkan Undang-Undang Kepailitan?
1.3 Ruang Lingkup Masalah Sesuai dengan lingkup masalah yang telah ditentukan maka untuk menghindari agar jangan sampai menimbulkan suatu pembahasan yang nantinya keluar dari pokok permasalahan dalam kaitannya dengan judul yang telah dipilih tersebut. Oleh karena itu, pembahasan masalah dalam penelitian ini hanya diseputar kedudukan kreditur yang didahulukan (preferen) dalam kepailitan dan cara penyelesaian utang pajak debitur pailit berdasarkan Undang-Undang Kepailitan, Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, dan Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
1.4 Orisinalitas Skripsi ini merupakan karya tulis asli penulis sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah. Untuk memperlihatkan orisinalitas dari skripsi ini maka dapat dibandingkan perbedaannya dengan skripsi terdahulu yang sejenis, yaitu sebagai berikut :
6
No
Judul Skripsi
Penulis
Permasalahan
Titik Pembahasan
1
Akibat Hukum Putusan Pailit Terhadap Pajak Perseroan Ditinjau dari Hukum Kepailitan dan Hukum Pajak
Harton Badia 1. Bagaimanakah 1. Negara yang Simanjuntak, kedudukan diwakili oleh fiskus Fakultas negara (fiskus) dalam melakukan Hukum dalam hal penagihan pajak Universitas penagihan terhadap perseroan Sumatera utang pajak pailit ini Utara, Tahun bagi si wajib mempunyai 2005. yang pailit? kedudukan sebagai 2. Seberapa kreditor istimewa jauhkah hak yang mempunyai negara dalam hak untuk menuntut diutamakan terlebih pembayaran dahulu pembayaran utang pajak pajaknya. terhdap 2. Apabila harta perseroan perseroan pailit itu (wajib pajak) tidak cukup untuk pailit dan melunasi utang seberapa pajaknya, maka jauhkah harta pengurus dari kewajiban perseroan itu seperti perpajakan direksi dapat disita perseroan untuk memenuhi yang telah kekurangan dinyatakan pelunasan utang pailit atau pajaknya, juga harta setelah dari organ perseroan pernyataan yang lain seperti pailit dicabut? komisaris dan pemegang saham, dan bahkan pihak etiga pun dapat dilakukan penyitaan untuk pelunasan utang pajak dari perseroan yang bersangkutan.
2
Penyelesaian Utang Debitor terhadap
Maria Regina 1. Bagaimana 1. Penyelesaian utang Fika penyelesaian Debitor terhadap Rahmadewi, utang debitor Kreditor melalui Fakultas terhadap kepailitan dimulai
7
Kreditor Melalui Kepailitan
Hukum Universitas Diponegoro, Tahun 2007.
kreditor melalui kepailitan? 2. Hambatanhambatan apa saja yang terjadi dalam penyelesaian utang debitor terhadap kreditor melalui kepailitan dan bagaimana cara mengatasinya?
dari permohonan pernyataan pailit, pengurusan dan pemberesan harta pailit, dan terakhir adalah berakhirnya kepailitan. Penyelesaian utang Debitor terhadap Kreditor melalui kepailitan dapat diselesaikan dengan dua cara, yaitu dengan cara perdamaian (akkoord) dan dengan cara pemberesan harta pailit. 2. Penyelesaian utang Debitor terhadap Kreditor melalui kepailitan dalam pelaksanaannya masih terdapat hambatanhambatan, diantaranya: a. Belum ada dana untuk biaya pengurusan dan pemberesan harta pailit; b. Debitor Pailit tidak kooperatif; c. Debitor Pailit menjual/menyembunyikan asetnya sebelum dinyatakan pailit.
Berikut ini adalah skripsi yang penulis angkat : 1) Judul skripsi : Penyelesaian Utang Pajak Debitur yang Dinyatakan Pailit 2) Penulis: Luh Putu Sela Septika
8
3) Tempat
: Fakultas Hukum Universitas Udayana
4) Tahun : 2014 Terhadap skripsi sejenis tersebut, indikator pembeda yang dapat penulis uraikan adalah bahwa pada skripsi yang penulis yang menjadi permasalahannya, yaitu : 1) Bagaimanakah kedudukan kreditur yang didahulukan (preferen) dalam kepailitan? 2) Bagaimanakah penyelesaian utang pajak debitur pailit berdasarkan Undang-Undang Kepailitan? Terhadap permasalahan yang telah penulis rumuskan, maka pembahasannya adalah : 1) Kreditur dalam kepailitan dibagai atas kreditur preferen, kreditur konkuren dan kreditur separatis. Hak yang didahulukan dalam kepailitan timbul dikarenakan adanya perjanjian atau undang-undang. Negara sebagai kreditur yang memiliki hak istimewa didahulukan pelunasannya seperti yang ditegaskan dalam ketentuan Pasal 1137 KUH Perdata. Selanjutnya, dilakukan pelunasan utang kepada kreditur konkuren apabila hasil penjualan seluruh harta kekayaan debitur masih terdapat sisa. Berbeda halnya dengan kreditur separatis yang utangnya dijamin dengan adanya hak jaminan kebendaan berupa gadai, hipotik, hak tanggungan danjaminan fidusia. Hak jaminan kebendaan memberikan kekuasaan kepada kreditur pemegang hak tersebutuntuk mengeksekusi jaminan kebendaannya sendiri seolah-olah tidak terjadi kepailitan.
9
2) Penyelesaian utang pajak debitur pailit pada awalnya dilakukan permohonan pernyataan pailit ke Pengadilan Niaga dimana telah dipenuhi syarat untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit yaitu debitur memiliki dua atau lebih kreditur, serta debitur tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Utang pajak merupakan utang yang timbul karena undang-undang sehingga memberikan kedudukan untuk didahulukan pelunasan utangnya terhadap kreditur. Apabila syarat adanya dua atau lebih kreditur tidak terpenuhi maka penyelesaian utang pajak dilakukan dengan mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri. Dengan demikian, jelas bahwa debitur tidak dapat dituntut pailit, jika debitur tersebut hanya mempunyai satu kreditur.
1.5 Tujuan Penulisan Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan ini adalah : 1.5.1 Tujuan Umum Penulisan ini secara umum bertujuan untuk mengembangkan Ilmu Hukum terkait dengan paradigma science as a process (ilmu sebagai proses), dengan paradigma ini ilmu tidak akan pernah final, dalam penggaliannya atas kebenaran. Dalam hal ini adalah penyelesaian utangpajak debitur pailit dalam Hukum Kepailitan. 1.5.2 Tujuan Khusus Adapun tujuan khusus dari penulisan ini adalah sebagai berikut :
10
a. Untuk
mengetahui
kedudukan
kreditur
yang
didahulukan
(preferen) dalam kepailitan. b. Untuk mengetahui cara penyelesaian utang pajak debitur pailit ditinjau dari peraturan perundang-undangan di bidang kepailitan maupun bidang perpajakan.
1.6 Manfaat Penulisan Adapun manfaat dari penulisan ini dapat diklaasifikasikan atas dua hal, baik yang bersifat teoritis maupun praktis, yaitu: 1.6.1 Manfaat Teoritis Penulisan ini bermanfaat dalam konteks ilmu hukum yang dapat dipergunakan sebagai bahan pustaka dalam bidang Hukum Kepailitan dan Hukum Pajak. 1.6.2 Manfaat Praktis Penulisan ini diharapkan dapat menjadi suatu pertimbangan bagi mahasiswa yang akan menempuh program hukum bisnis, serta sebagai sumbangan pemikiran untuk para pihak yang berkepentingan. Bagi Pemerintah yang bertindak sebagai regulator sekaligus pembina dan pengawas setiap aktivitas di bidang kepailitan maupun perpajakan, dapat menjalankan hak dan kewajibannya dengan itikad baik.
1.7 Landasan Teoritis Landasan teoritis adalah upaya untuk mengidentifikasi teori hukum umum/khusus, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum dan lain-lain yang
11
akan digunakan sebagai landasan untuk membahas permasalahan dalam penelitian. Hak kebendaan adalah hak mutlak atas suatu benda dimana hak itu memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda dan dapat dipertahankan terhadap siapapun.4 Hak kebendaan dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu: 1.
Hak menikmati, seperti hak milik, bezit, hak memungut (pakai) hasil, hak pakai dan hak mendiami. 2. Hak yang memberikan jaminan, seperti gadai, fiducia, hak tanggungan dan hipotek. Hak kebendaan mempunyai sifat atau ciri-ciri yang dapat dibedakan dengan hak perorangan. Perbedaannya adalah sebagai berikut : 1. Hak kebendaan adalah absolut, artinya hak ini dapat dipertahankan terhadap setiap orang. Sedangkan hak perorangan bersifat relatif, artinya hanya dapat dipertahankan terhadap pihak tertentu. 2. Hak kebendaan jangka waktunya tidak terbatas, sedangkan hak perorangan jangka waktunya terbatas. 3. Hak kebendaan mempunyai droit de suite (zaaksgevolg), artinya mengikuti bendanya dimanapun benda itu berada. Dalam hal ada beberapa hak kebendaan diatas suatu benda, maka kekuatan hak itu ditentukan berdasarkan urutan terjadinya (asas prioritas/droit de preference). Sedangkan pada hak perorangan mana lebih dahulu terjadi tidak dipersoalkan, karena sama saja kekuatannya (asas kesamaan/asas pari passu). 4. Hak kebendaan memberikan wewenang yang sangat luas kepada pemiliknya. Hak ini dapat dijual, dijaminkan, disewakan atau dipergunakan sendiri, sedangkan hak perorangan memiliki wewenang terbatas. Pemilik hak perorangan hanya dapat menikmati apa yang menjadi haknya. Hak ini hanya dapat dialihkan dengan persetujuan pemilik.5 Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, yaitu zekerheid atau cautie. Zekerheid atau cautie mencakup secara umum cara-
4
Djaja S. Meliala, 2007, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda dan Perikatan, Nuansa Aulia, Bandung, h. 21. 5
Ibid, h. 21-22.
12
cara
kreditor
menjamin
dipenuhinya
tagihannya,
disamping
pertanggungjawaban umum debitor terhadap barang-barangnya. Selain istilah jaminan, dalam undang-undang perbankan dikenal juga dengan istilah agunan. Menurut Salim HS, Agunan dalam konstruksi ini merupakan jaminan tambahan (accessoir). Tujuan agunan adalah untuk mendapatkan fasilitas dari bank. Jaminan ini diserahkan oleh debitor kepada bank. Unsur-unsur agunan, yaitu : (1) jaminan tambahan; (2) diserahkan oleh debitor kepada bank; (3) untuk mendapatkan fasiltas kredit atau perbankan;6 Pengertian lain adalah menurut M. Bahsan yang menggunakan istilah jaminan. Ia berpendapat bahwa jaminan adalah ”segala sesuatu yang diterima kreditor untuk menjamin suatu utang piutang dalam masyarakat”. 7 Jaminan dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu jaminan materiil (kebendaan) dan jaminan imateriil (perorangan). Jaminan kebendaan mempunyai ciri-ciri ”kebendaan” dalam arti memberikan hak mendahului dari diatas benda-benda tertentu dan mempunyai sifat melekat dan mengikuti benda yang bersangkutan. Sedangkan jaminan perorangan tidak memberikan hak mendahului atas benda-benda tertentu, tetapi hanya dijamin oleh harta
6
Salim HS, 2004, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 21-22. 7
M. Bahsan, 2002, Penilaian Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, Rejeki Agung, Jakarta, h. 148.
13
kekayaan seseorang lewat orang yang menjamin pemenuhan perikatan yang bersangkutan.8 Sri Soedewi Masjhcoen Sofwan mengemukakan pengertian jaminan materiil (kebendaan) dan jaminan imateriil (perorangan), sebagai berikut : ”Jaminan materiil (kebendaan) adalah jaminan yang merupakan hak mutlak suatu benda, yang mempunyai ciri-ciri mempunyai hubungan langsung atas benda tertentu, dapat dipertahankan terhadap siapapun, selalu mengikuti bendanya dan dapat dialihkan. Sedangkan jaminan imateriil (perorangan) adalah jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu, hanya dapat dipertahankan terhadap debitor tertentu, terhadap harta kekayan debitor umumnya” Jaminan kebendaan dapat digolongkan menjadi 5 macam, yaitu : 1. Gadai (pand), yang diatur dalam Bab 20 Buku II KUH Perdata; 2. Hipotek, yang diatur dalam Bab 21 Buku II KUH Perdata; 3. Credietverband, yang diatur dalam stb. 1908 Nomor 542 sebagaimana telah diubah dengan stb. 1937 nomor 190; 4. Hak Tanggungan, sebagaimana yan diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996; 5. Jaminan Fiducia, sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999;9 Jaminan perorangan dapat terdiri dari : 1. Penanggung (borg) adalah orang lain yang dapat ditagih; 2. Tanggung menanggung, yang serupa dengan tanggung renteng; 3. Perjanjian garansi; Dari kedelapan jenis jaminan diatas, yang masih berlaku adalah gadai, hak tanggungan, jaminan fiducia, hipotek atas kapal laut dan pesawat udara, borg, tanggung menanggung dan perjanjian garansi.10 Keberadaan ketentuan tentang kepailitan sebagai suatu lembaga merupakan suatu rangkaian konsep yang sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata, yaitu:
8
Salin HS, op.cit, h. 23.
9
Salim HS, op.cit, h. 24-25.
10
Salim HS, loc.it.
14
Pasal 1131 KUH Perdata : “Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang aka nada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan”. Pasal 1132 KUH Perdata : “Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang menguntungkan padanya, pendapatan penjualan bendabenda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali diantara para berpiutang itu ada alas an-alasan yang sah untuk di dahulukan.”11 Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata merupakan perwujudan adanya jaminan kepastian pembayaran atas transaksi-transaksi yang telah diadakan oleh debitur terhadap
kreditur-krediturnya
dengan
kedudukan
yang
proporsional. Adapun hubungan kedua pasal tersebut adalah bahwa kekayaan debitur (Pasal 1131 KUH Perdata) merupakan jaminan bagi semua krediturnya (Pasal 1132 KUH Perdata) secara proporsional, kecuali kreditur yang memegang hak mendahului (kreditur preferen). Selain itu, dari kedua pasal tersebut diatas dapat ditarik asas hukum yang terkandung di dalamnya: 1. Apabila si debitur tidak membayar utang-utangnya, dengan sukarela atau tidak membayarnya walaupun telah ada putusan pengadilan yang menghukum supaya melunasi utangnya atau karena tidak mampu membayar seluruh utangnya, maka semua harta bendanya disita untuk dijual dan hasil penjualan itu dibagi-bagikan diantara semua krediturnya,
11
Jono, op.cit, h. 3.
15
menurut besar kecilnya piutang masing-masing kreditur, kecuali diantara kreditur ada alasan yang sah didahulukan. 2. Semua kreditur mempunyai hak yang sama. 3. Tidak ada nomor urut dari kreditur yang didasarkan atas saat timbulnya piutang-piutang mereka. Dengan perkataan lain, asas tersebut sub 1, menentukan bahwa setiap kreditur berhak atas setiap dari bagian kekayaan si debiturnya untuk dipergunakan sebagai pembayaran atas piutangnya, sedangkan asas sub 2 menetapkan bahwa semua kreditur memiliki hak yang sama tanpa menghiraukan siapa yang lebih dahulu memberikan kredit kepada si debitur yang bersangkutan. Apabila hasil penjualan tersebut cukup besarnya, sehingga masing-masing menerima pembayaran atas seluruh piutangnya12, maka tak ada artinya apakah kreditur yang satu adalah kreditur preferen (kreditur preferen adalah kreditur yang harus dibayar lebih dahulu) terhadap kreditur lainnya (kreditur konkuren artinya kreditur bersaingan). Berhubungan dengan hal tersebut diatas, keadaan ketidakmampuan debitur membayar utang-utangnya disebut dengan keadaan pailit. Pailit adalah suatu usaha bersama untuk mendapatkan pembayaran bagi kreditur secara adil danseimbang sesuai dengan besar kecilnya piutang masing-masing dengan tidak berebutaan.13
12
Victor M Situmorang dan Hendri Soekarso, 2007, Pengantar Hukum Kepailitan, Rineka Cipta, Jakarta, h. 21-22. 13
Abdul R. Saliman, Hermansyah, dan Ahmad Jalis, 2005, Hukum Bisnis untuk Perusahaan: Teori dan Contoh Kasus, Prenada Media, Jakarta, h. 123.
16
Mengenai
kepailitan
telah
diatur
secara
khusus
dalam
UUK.Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UUK , kepailitan adalah: “Sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang.” Diputuskannya seorang debitur pailit oleh Pengadilan Niaga membawa konsekuensi hukum bagi debitur yaitu kehilangan kewenangan untuk menguasai dan mengurus harta pailitnya sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (1) UUK. Namun berdasarkan Pasal 25 UUKmenentukan bahwa debitur pailit diperkenankan melakukan perbuatan-perbuatan hukum di bidang harta kekayaan, misalnya membuat perjanjian apabila dengan perbuatan hukum itu akan memberi keuntungan terhadap harta pailit. Selain itu, dengan adanya putusan pailit maka akan berpengaruh terhadap pelaksanaan hukum dari debitur itu sendiri. Pelaksanaan hukum yang dimaksud, sebagaimana dipaparkan oleh Zainal Azikin antara lain: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Penyitaan (eksekusi); Paksaan badan; Uang paksa; Penjualan barang untuk melunasi utang; Pembalikan nama, hipotik, cogstverband (creditverband); dan Kelampauan waktu (daluarsa).14
Pasal 29 UUK menentukan: “Suatu tuntutan hukum di Pengadilan yang diajukan terhadap debitur sejauh bertujuan untuk memperoleh pemenuhan kewajiban dari harta pailit dan 14
Zainal Azikin, 1994, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia, PT. Raja Grafindo, Jakarta, h. 52.
17
perkaranya sedang berjalan, gugur demi hukum dengan diucapkannya putusan pernyataan pailit terhadap debitur.” Sebagaimana diketahui bahwa selama berlangsungnya kepailitan, tuntutan-tuntutan untuk memperoleh pemenuhan perikatan dari harta pailit yang ditujukan kepada debitur pailit hanya dapat diajukan dengan mendaftarkannya untuk dicocokkan (Pasal 27 UUK). Tuntutan yang berpokok pada hak dan kewajiban yang termasuk dalam harta pailit harus dilakukan oleh kurator.
1.8 Metode Penelitian 1.8.1 Jenis Penelitian Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Hal ini disebabkan, penelitian bertujuan untuk menjelaskan suatu hal secara sistematis, metodologis, dan konsisten. Keberadaan suatu metodologi adalah suatu unsur yang harus ada dalam setiap penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan.15 Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini bersifat penelitian hukum normatif. Penelitian hukum yang bersifat normatif adalah penelitian hukum kepustakaan. Adapun ciri-ciri dri penelitian hukum normatif yaitu: a. suatu penelitian yang beranjak dari adanya kesenjangan dalam norma/asas hukum; 15
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 1998, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Press, Jakarta, h. 23.
18
b. tidak menggunakan hipotesa; c. menggunakan landasan teori; dan d. menggunakan bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.16 Pada penelitian ini melalui pendekatan terhadap peraturan perundang-undangan, pendekatan studi kepustakaan, dan pendekatan analisis konsep hukum yang dikemukakan oleh berbagai pakar hukum maupun ahli hukum, kemudian digunakan landasan-landaan teori hukum dan bahan-bahan hukum yang selanjutnya turut didukung oleh data penunjang. 1.8.2 Jenis Pendekatan Pembahasan dalam penelitian ini akan dikaji dengan pendekatan perundang-undangan (the statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual
approach).
Pendekatan perundang-undangan dilakukan
dengan menelaah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian ini, kemudian dikaitkan dengan permasalahan yang akan dibahas. Pendekatan konseptual, yaitu penelitian terhadap konsep-konsep hukum, seperti sumber hukum, fungsi hukum, lembaga hukum, dan sebagainya.17
16
Amiruddin dan Zainal Azikin, 2004, Pengantar Metode PenelitianHukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 166. 17
Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, h.3.
19
1.8.3 Sumber Bahan Hukum Pada penelitian hukum normatif, menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer yaitu merupakan bahan pustaka yang berisikan pengetahuan ilmiah yang baru dan mutakhir, ataupun pengertian baru tentang fakta-fakta yang diketahui mengenai suatu gagasan, ide. Penelitian menggunakan bahan hukum primer dapat berupa asas dan kaidah hukum dimana perwujudan dari asas dan kaidah hukum ini dapar berupa peraturan dasar, peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Kepailitan yakni Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaan Utang. Di bidang Perpajakan yaitu Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Selanjutnya, dipergunakan pula Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah (selanjutnya disebut UUHT), UndangUndang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (selanjutnya disebut UU Fidusia), dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
20
b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder, yakni bahan-bahan hukum yang diperoleh langsung dari bahan-bahan pustaka berupa buku-buku literatur.18 Dalam hal ini yang terkait dengan Kepailitan danperpajakan, jurnaljurnal hukum, karya tulis atau pandangan ahli hukum yang termuat dalam media masa, kamus, dan ensiklopedi hukum, serta situs-situs di internet yang memuat tulisan-tulisan terkait dengan permasalahan dalam penelitian ini. 1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Penulisan dilakukan dengan cara mengumpulkan bahan-bahan dengan
pendekatan
studi
kepustakaan
(library
research)
yaitu
menganalisa buku-buku hukum baik dari dalam maupun buku asing, tulisan hukum di internet, makalah dan majalah hukum yang relevan dengan objek penelitian. Terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, prosedur pengumpulannya dilakukan dengan mengkualifikasi hukum yang telah ditentukan dalam usulan penelitian, yakni bahan hukum yang menyangkut tinjauan umum tentang utang pajak, tinjauan umum tentang kepailitan, jenis dan kedudukan kreditur dalam kepailitan, serta penyelesaian utang pajak yang ditinjau dari peraturan di bidang kepailitan dan peraturan di bidang perpajakan.
18
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, h. 93.
21
1.8.5 Teknis Analisis Bahan Hukum Setelah bahan hukum yang diperlukan dalam penelitian ini telah terkumpul, maka selanjutnya bahan hukum tersebut baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder diolah dan dianalisis dengan menggunakan
teknik
sistematisasi
dan
teknik
deskripsi.
Teknik
sistematisasi yaitu suatu teknik yang dilakukan untuk mengetahui mengetahui kesesuaian maupun hubungan antara aturan-aturan yang digunakan dalam menerapkan hukum khususnya berkaitan dengan kepailitan dan perpajakan. Sedangkan, teknik deskripsi merupakan pemaparan secara jelas dan terperinci mengenai kondisi atau posisi dari masalah hukum yang dianalisis dalam penelitian ini.