BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Setiap debitur yang berada dalam keadaan berhenti membayar dapat dijatuhi putusan kepailitan. Debitur ini dapat berupa perorangan (badan pribadi) maupun badan hukum. Dengan dijatuhkannya putusan pailit oleh Pengadilan Niaga, debitur demi hukum kehilangan haknya untuk berbuat sesuatu terhadap penguasaan dan pengurusan hartanya yang termasuk dalam kepailitan terhitung sejak tanggal kepailitan itu. Kepailitan mengakibatkan seluruh hartanya debitur serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan berada dalam sitaan umum sejak saat putusan pernyataan pailit di ucapkan. Umumnya, secara teoritis debitur yang memiliki masalah utang piutang berkaitan dengan kemampuan membayar utang, menempuh berbagai alternatif penyelesaian. Mereka dapat merundingkan permintaan penghapusan utang baik untuk sebagian atau seluruhnya. Mereka dapat pula menjual sebagian aset atau bahkan usahanya, serta dapat pula mengubah pinjaman tersebut menjadi penyertaan saham. Selain kemungkinan tadi, debitur dapat pula merundingkan permintaan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, sebagai upaya terakhir barulah ditempuh melalui proses kepailitan Pada dasarnya, kepailitan mencakup mengenai harta kekayaan dan bukan mengenai perorangan debitur .Yang disebut dengan harta pailit adalah harta milik debitur yang dinyatakan pailit berdasarkan keputusan pengadilan. 1 Ketentuan pasal 21 UndangUndang Kepailitan secara tegas menyatakan bahwa”Kepailitan meliputi seluruh kekayaan Debitur pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh 1
Nating Imran, Peranan dan Tanggung Jawab Kurator Dalam Pengurusan dan Pembebasan Harta Pailit, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2004), hlm 27.
Universitas Sumatera Utara
selama
kepailitan”.Walaupun
demikian
pasal
22
Undang-Undang
Kepailitan
mengecualikan beberapa harta kekayaan debitur dari harta pailit.Selain itu, dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juga menerangkan tentang jaminan pembayaran harta seorang debitur kepada kreditur. Dalam Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) disebutkan bahwa” Segala kebendaan si berutang,baik yang bergerak maupun tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan perikatan perseorangan,” hal ini sangat
memperjelas
tentang
obyek
dari
harta
pailit.
Namun
dalam
perkembanganya,banyak debitor yang berusaha menghindari berlakunya Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut dengan melakukan berbagai perbuatan hukum untuk memindahkan berbagai asetnya sebelum dijatuhkanya putusan pailit oleh Pengadilan Niaga. Misalnya menjual barang-barangnya sehingga barang tersebut tidak lagi dapat disitajaminkan oleh kreditur. Hal ini sangat merugikan kreditur karena semakin berkurangnya harta yang dipailitkan maka pelunasan utang kepada kreditur menjadi tidak maksimal. UndangUndang telah melakukan berbagai cara untuk melindungi kreditor dengan Pasal 1341 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Pasal 41-49 Undang Undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Upaya-upaya yang dilakukan oleh undang-nndang tersebut sering disebut dengan actio pauliana. Actio pauliana adalah suatu upaya hukum untuk membatalkan transaksi yang dilakukan oleh debitur untuk kepentingan debitur tersebut yang dapat merugikan kepentingan krediturnya. Namun dalam upaya pembuktianya bahwa debitur telah melakukan berbagai perbuatan hukum yang merugikan kreditur bukanlah sesuatu yang mudah.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 41 ayat (1) UU Kepailitan dinyatakan secara tegas bahwa untuk kepentingan harta pailit, segala hukum debitur yang telah dinyatakan pailit, yang merugikan kepentingan kreditur, yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan, dapat dimintai pembatalan oleh kreditur kepada pengadilan. Ketentuan Pasal 41 dan 42 UU Kepailitan, dapat diketahui bahwa sistem pembuktian yang dipakai adalah sistem pembuktian terbalik, artinya beban pembuktian terhadap pembuatan hukum debitur (sebelum putusan pernyataan pailit) tersebut adalah berada pada pundak debitur pailit dan pada pihak ketiga yang melakukan perbuatan hukum dengan debitur apabila perbuatan hukum debitur tersebut dilakukan dalam jangka waktu 1 Tahun (sebelum putusan pernyataan pailit) merugikan kepentingan kreditur, maka debitur dan pihak ketiga wajib membuktikan bahwa perbuatan hukum tersebut wajib dilakukan oleh mereka dan perbuatan hukum tersebut tidak merugikan harta pailit. Berbeda, apabila perbuatan hukum yang dilakukan debitur dengan pihak ketiga dalam jangka waktu lebih dari 1 tahun sebelum putusan pernyataan pailit, dimana Kurator menilai bahwa perbuatan hukum tersebut merugikan kepentingan kreditur atau harta pailit, maka yang wajib membuktikan adalah Kurator. Kepailitan hanya mengenai harta kekayaan dan bukan kekayaan dan bukan mengenai perorangan debitur, ia tetap dapat melaksanakan hukum kekayaan yang lain, seperti hak-hak yang timbul dari kekuasaan orang tuanya. Akibat kepailitan hanyalah terhadap kekayaan debitur. Debitur tidaklah berada dibawah pengampunan. Debitur tidaklah kehilangan kemampuannya untuk melakukan perbuatan hukum menyangkut dirinya, kecuali apabila perbuatan hukum menyangkut pengurusan dan pengalihan harta bendanya yang telah ada. Apabila menyangkut harta
Universitas Sumatera Utara
benda yang akan diperolehnya debitur pailit tetap berwenang bertindak sepenuhnya akan tetapi tindakan-tindakannya tidak mempengaruhi harta kekayaan yang telah disita. Pernyataan pailit, debitur pailit demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukan dalam kepailitan, terhitung sejak tanggal kepailitan itu, termasuk juga untuk kepentingan perhitungan hari pernyataan itu sendiri. Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang No.37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang menerangkan bahwa yang berwenang melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit. Debitur kehilangan hak menguasai harta yang masuk dalam kepailitan, namun tidak kehilangan hak atas harta kekayaan yang berada diluar kepailitan. Tentang harta kepailitan, lebih lanjut dalam Pasal 19 kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang menerangkan bahwa harta pailit meliputi semua harta kekayaan debitur, yang ada pada saat pernyataan pailit diucapkan serta semua kekayaan yang diperolehnya selama kepailitan. Kewenangan untuk melaksanakan pengurusan dan pemberesan harta Debitur pailit ada pada Kurator, karena sejak adanya penyataan pailit, Debitur demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukkan dalam kepailitan. Putusan pailit oleh pengadilan tidak mengakibatkan debitor kehilangan kecakapannya pada umumnya, tetapi hanya kehilangan kekuasaan atau kewenangannya untuk mengurus dan mengalihkan harta kekayaannya. Untuk mengatasi permasalahan yang timbul akibat dari kepailitan diperlukan instrumen hukum yang jelas untuk menfasilitasi masalah utang piutang yang sangat diperlukan oleh dunia usaha sebagai suatu jaminan kepastian hukum dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu diperlukan suatu
Universitas Sumatera Utara
peraturan perundang-undangan yang lengkap dan sempurna agar proses kepalitan dapat berlangsung secara cepat, terbuka dan efektif sehingga dapat memberikan kesempatan kepada kreditur dan debitur untuk mengupayakan penyelesaian yang adil. Adanya permasalahan tersebut dan untuk menyelesaikan tugas akhirnya maka penulis hendak menulis skripsi dengan judul “AKIBAT HUKUM KEPAILITAN TERHADAP KEWENANGAN DEBITOR DALAM MELAKUKAN PERBUATAN HUKUM TERHADAP HARTANYA.”
B. Perumusan Masalah Permasalahan adalah merupakan kenyataan yang dihadapi dan harus diselesaikan oleh peneliti dalam penelitian. Dengan adanya perumusan masalah maka akan dapat ditelaah secara maksimal ruang lingkup penelitian sehingga tidak mengarah pada hal-hal diluar permasalahan. Adapun permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana kepailitan dalam sistem hukum di Indonesia? 2. Bagaimana akibat hukum kepailitan terhadap kewenangan debitor pailit dalam melakukan perbuatan hukum atas hartanya? 3. Bagaimana peran kurator terkait dengan kewenangan debitor pailit dalam melakukan perbuatan hukum atas hartanya?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penelitian Tujuan penelitian skripsi yang akan penulis lakukan adalah: a. Untuk mengetahui kepailitan dalam sistem hukum di Indonesia
Universitas Sumatera Utara
b. Untuk mengetahui akibat hukum kepailitan terhadap kewenangan debitur pailit dalam melakukan perbuatan hukum atas hartanya. c. Untuk mengetahui peran kurator terkait dengan kewenangan debitur pailit dalam melakukan perbuatan hukum atas hartanya. 2. Manfaat penelitian Adapun manfaat penelitian skripsi yang akan penulis lakukan adalah: a. Sebagai bahan masukan teoritis bagi penulis untuk menambah pengetahuan dan pemahaman hukum kepailitan terhadap kewenangan debitur dalam melakukan perbuatan hukum. b. Untuk menerapkan pengetahuan penulis secara praktis agar masyarakat mengetahui pembaruan hukum khususnya bagi hukum kepailitan dalam melakukan perbuatan hukum atas harta pailit.
D. Keaslian Penelitian Adapun judul tulisan ini adalah akibat hukum kepailitan terhadap kewenangan debitur dalam melakukan perbuatan hukum terhadap hartanya. Judul skripsi ini belum pernah ditulis dan diteliti dalam bentuk yang sama khususnya kepailitan terhadap kewenangan debitor, sehingga tulisan ini asli, atau dengan kata lain tidak ada judul yang sama dengan mahasiswa fakultas hukum Universitas Sumatera Utara. Dengan demikian ini keaslian skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
E. Tinjauan Kepustakaan Apabila di tinjau secara teoritis, lahirnya Undang–Undang Kepailitan dan PKPU, adalah sebagai konsekwensi dari keadaan krisis ekonomi dan moneter di
Universitas Sumatera Utara
Indonesia yang pada akhirnya juga menimbulkan krisis sosial dan politik dimana terjadi euphoria reformasi segala bidang, maka untuk mengantisipasi adanya kecenderungan dunia usaha yang bangkrut pemerintah menertibkan Undang-Undang Kepailitan menjadi suatu daerah hukum positif dalam sistem Perundang-Undangan di Indonesia. Seluruh harta benda debitur dalam kepailitan di peruntukan bagi pembayaran tagihan-tagihan kreditur maka jika harta bendanya itu tidak mencukupi untuk memenuhi kewajiban atas semua tanggungan itu, tentu harta benda itu harus dibagi di antara para kreditur menurut perbandingan tagihan mereka masing-masing. 2 Pembagian harta kekayaan pailit yang dimaksudkan untuk menjamin kepentingan para kreditur. Hukum yang memberikan perlindungan terhadap kreditor dari kreditur lainnya berupaya mencegah salah satu kreditur memperoleh lebih banyak dari kreditur lainnya dalam pembagian harta kekayaan, sedangkan perlindungan dari kreditur yang tidak jujur diperoleh dengan mewajibkan debitur mengungkap secara penuh maupun secara priodik. Sementara itu, apabila debitur berada dalam keadaan susah dapat ditolong maka debitur dimungkinkan untuk dapat di keluarkan secara terhormat dari permasalahan utangnya. 3 Pandangan seperti itu memang secara ekonomis dapat diterima, bila dikemas di dalam peraturan hukum maka peraturan itu secara tepat kepentingan yang dilihat dari sudut pandang ekonomis namun hal seperti ini jelas tidak sesuai dengan era global seperti
2
Martiman Prodjomidjojo, Proses kepailitan (Bandung : Mandar Maju, 1999), hlm. 2. Zulkarnain Sitompul, Pola Penyelesaian Utang Tantangan Bagi Pemaharuan UU Kepailitan, Makalah disampaikan dalam lokakarya Mengenai Tantangan Perubahan UU Kepailitan, Medan 7 Desember 2001, Kerjasama FH UI, Pascasarjana USU dan University of sout Carolina. 3
Universitas Sumatera Utara
sekarang ini. Menurut Peter, aturan main bentuk perangkat hukum di dalam kegiatan bisnis meliputi 3 (tiga) hal yaitu: 1. Aturan hukum yang memberi landasan hukum bagi keberadaan lembaga-lembaga yang mewadahi bisnis dalam arena pasar (substantive legal rules). 2. Aturan hukum yang mengatur perilaku (behavior) para pelaku bisnis dalam melaksanakan setiap transaksi bisnis, dan 3. Aturan hukum yang memungkinkan pelaku keluar dari pasar. Kata pailit berasal dari bahasa Perancis “failite” berarti kemacetan pembayaran. Dalam bahasa Belanda digunakan istilah “failite”. Sedang dalam hukum Anglo America, undangundangnya dikenal dengan Bankcrupty Act. Dalam pengertian kita, merujuk aturan lama yaitu pasal 1 ayat (1) Peraturan Kepailitan Faillisement Verordening S. 1990217 jo 1905-348 menyatakan : “ Setiap berutang (debitur) yang ada dalam keadaan berhenti membayar, baik atas laporan sendiri maupun atas permohonan seseorang atau lebih berpiutang (kreditur), dengan putusan hakim dinyatakan dalam keadaan pailit ”. 4 Ketentuan yang baru yaitu dalam lampiran UU No.4 Tahun 1998 pasal 1 ayat (1), yang menyebutkan : “Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, baik atas permohonan sendiri, maupun atas permintaan seorang atau lebih kreditur. 5
4
Sri Rejeki Hartono, Hukum Perdata Sebagai Dasar Hukum Kepaitan Modern,(Jakarta: Majalah Hukum Nasional, 2000), hlm 81. 5 Sri Sumantri Hartono, Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, (Yogyakarta:Liberty, 1981), hlm 42.
Universitas Sumatera Utara
Pernyataan pailit tersebut harus melalui proses pemeriksaan dipengadilan setelah memenuhi pesyaratan di dalam pengajuan permohonan. Keterbatasan pengetahuan perihal ilmu hukum khususnya hukum kepailitan yang berasal dari hukum asing, juga istilah pailit yang jarang sekali dikenal oleh masyarakat kalangan bawah maupun pedesaan yang lebih akrab dengan hukum adatnya, istilah bangkrut lebih kenal. Masyarakat desa tidak berpikir untuk memohon ke pengadilan agar dirinya dinyatakan pailit. Para pedagang kecil jika ia sudah tidak dapat berdagang lagi, karena modalnya habis dan ia tidak dapat membayar utang-utangnya, laluia mengatakan bahwa dirinya sudah bangkrut. Tidak demikian halnya bagi perusahaan/pedagang besar, pengertian istilah kebangkrutan maupun pailit telah mereka ketahui. Esensi kepailitan secara singkat dapat dikatakan sebagai sita umum atas harta kekayaan debitur baik yang pada waktu pernyataan pailit maupun yang diperoleh selama kepailitan berlangsung untuk kepentingan semua kreditur yang pada waktu kreditur dinyatakan pailit mempunyai hutang, yang dilakukan dengan pengawasan pihak yang berwajib. 6 Akan tetapi dikecualikan dari kepailitan adalah: 1. Semua hasil pendapatan debitur pailit selama kepailitan tersebut dari pekerjaan sendiri, gaji suatu jabatan/ jasa, upah pensiun, uang tunggu/ uang tunjangan, sekedar atau sejauh hal itu diterapkan oleh hakim. 2. Uang yang diberikan kepada debitur pailit untuk memenuhi kewajiban pemberian nafkahnya menurut peraturan perundang-undangan (Pasal 213, 225, 321 KUH Perdata).
6
Khairandy, Perlindungan Dalam Undang-Undang Kepailitan,(Jakarta:Jurnal Hukum Bisnis, 2002),hlm 94.
Universitas Sumatera Utara
3. Sejumlah uang yang ditetapkan oleh hakim pengawasan dari pendapatan hak nikmat hasil seperti dimaksud dalam (Pasal 311 KUH Perdata). 4. Tunjangan dari pendapatan anak-anaknya yang diterima oleh debitur pailit berdasarkan Pasal 318 KUH Perdata. Apabila seorang debitur (yang utang) dalam kesulitan keuangan, tentu saja para kreditur akan berusaha untuk menempuh jalan untuk menyelamatkan piutangnya dengan jalan mengajukan gugatan perdata kepada debitur kepengadilan dengan disertai sita jaminan atas harta si debitur atau menempuh jalan yaitu kreditur mengajukan permohonan ke pengadilan agar si debitur dinyatakan pailit. 7 Kreditur menempuh jalan yang pertama yaitu melalui gugatan perdata, maka hanya kepentingan kreditur/si penggugat saja yang dicukupi dengan harta si debitur yang disita dan kemudian dieksekusi pemenuhan piutang dari kreditur, kreditur lain yang tidak melakukan gugatan tidak dilindungi kepentingannya. Adalah lain halnya apabila krediturkreditur memohon agar pengadilan menyatakan debitur pailit, maka dengan persyaratan pailit tersebut, maka jatuhlah sita umum atas semua harta kekayaan debitur dan sejak itu pula semua sita yang telah dilakukan sebelumnya bila ada menjadi gugur. 8 Dikatakan sita umum, karena sita tadi untuk kepentingan seorang atau beberapa orang kreditur, melainkan untuk semua kreditur atau dengan kata lain untuk mencegah penyitaan dari eksekusi yang dimintakan oleh kreditur secara perorangan. Hal lain yang perlu dimengerti bahwa kepailitan hanya mengenai harta benda debitur, bukan pribadinya. Jadi ia tetap cakap untuk melakukan perbuatan hukum di luar hukum
7 8
Ibid, hlm 108. Ibid, hlm 115.
Universitas Sumatera Utara
kekayaan misalnya hak sebagai keluarga, hak yang timbul dari kedudukan sebagai orang tua, ibu misalnya. Jadi demikian sebenarnya esensi kepailitan. Kepailitan yang pernah terjadi, Kurator tidak sepenuhnya bebas dalam melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit. Kurator senantiasa berada dibawah pengawasan Hakim Pengawas. Tugas Hakim Pengawas adalah mengawasi pengurusan dan pemberesan harta pailit yang menjadi tugas Kurator (yang dilakukan oleh Kurator). Hakim Pengawas menilai sejauh manakah pelaksanaan tugas pengurusan dan pemberesan harta pailit yang dilaksanakan oleh Kurator dapat dipertanggung jawabkan kepada debitur dan kreditur. Dalam kondisi inilah diperlukan peran Hakim Pengawas oleh karenanya Kurator menyampaikan laporan kepada Hakim Pengawas mengenai keadaan harta pailit dan pelaksanaan tugasnya setiap tiga bulan. 9 Mengingat beratnya tugas yang diemban oleh Kurator dalam melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit, maka seorang Kurator harus selalu berhubungan dengan Hakim Pengawas untuk melakukan konsultasi atau sekedar mendapat masukan. Hal ini dilakukan untuk mencapai tujuan keberhasilan dari suatu pernyataan pailit, karenanya Hakim Pengawas dan Kurator harus saling berhubungan sebagai mitra kerja. 10 Dalam melaksanakan tugas, baik Hakim Pengawas maupun Kurator harus sama-sama saling mengetahui tugas keduanya, sehingga keduanya saling memahami kapankah harus berhubungan. Kerja sama yang harmonis sangat diperlukan, terlebih dahulu apabila menemui debitur atau kreditur yang kurang mendukung kelancaran penyelesaian perkara. Kenyataan di lapangan, meskipun komunikasi Hakim Pengawas dan Kurator kurang lancar, Hakim Pengawas seringkali ragu untuk secara
9
Imran Nating, Op.Cit, hlm. 102 Ibid, hlm. 102
10
Universitas Sumatera Utara
tegas dan langsung membantu tugas Kurator, misalnya menindak debitur yang tidak kooperatif. 11 Dengan demikian jelas mengapa sejak berabad-abad telah ada peraturan kepailitan, karena dirasakan perlu untuk mengatur hak-hak dan kewajiban debitur yang tidak dapat membayar utang-utangnya serta hak-hak dan kewajiban para kreditur. Dari kesimpulan ini dapat dipahami mengapa masalah kepailitan selalu di hubungkan dengan kepentingan para kreditur, khususnya tentang tata cara dan hak kreditur untuk memperoleh kembali pembayaran piutangnya dari seorang debitur yang dinyatakan pailit. Dari uraian tersebut tergambar sangatlah bahwa Hakim Pengawas memiliki andil yang cukup besar dalam pemberesan dan pengurusan harta pailit dalam kepailitan.
F. Metode Penelitian 1. Sifat dan jenis penelitian Sifat penelitian ini adalah deskriptif, penulis berupaya untuk menggambarkan sifat hubungan hukum secara normatif dalam hukum kepailitan terhadap kewenangan debitur. Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian normatif, yakni sebuah jenis penelitian yang mencoba untuk melihat kesesuaian aturan-aturan hak ditingkat normatif, yakni antara Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
2. Bahan Penelitian Perlu ditegaskan bahan penelitian yang dipakai dalam penelitian ini, yaitu :
11
Ibid, hlm 103
Universitas Sumatera Utara
a. Bahan hukum primer yaitu ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat, baik peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia maupun yang diterbitkan oleh Negara lain dan badanbadan internasional. b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan hukum yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa dan memahami bahan hukum primer seperti seminar-seminar, jurnal-jurnal hukum, majalah-majalah, koran-koran, karya tulis ilmiah dan beberapa sumber internet yang berkaitan dengan persoalan diatas. c. Bahan hukum tersier yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus, ensiklopedia dan lain-lain. 3. Alat Penelitian Penulisan ini, penulis mengumpulkan data-data yang diperlukan dengan cara penelitian kepustakaan (library research) yakni dengan mempelajari peraturan perundang-undangan, buku, situs internet yang berkaitan dengan judul skripsi ini yang bersifat teoritis ilmiah yang dapat dipergunakan sebagai dasar dalam penelitian dan menganalisa masalah-masalah yang dihadapi. 12
4. Analisis Data Metode yang digunakan dalam menganalisis data adalah analisis kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara
12
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta : Universitas Indonesia Press, 2007), hlm. 21.
Universitas Sumatera Utara
kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas dan hasilnya tersebut dituangkan dalam bentuk skripsi.
G. Sistematika penulisan Agar memudahkan pemahaman terhadap materi dari skripsi ini dan agar tidak terjadinya kesimpangsiuran dalam penulisan skripsi ini, maka penulis membaginya dalam beberapa bab dan tiap bab dibagi lagi ke dalam beberapa sub-sub bab. Adapun bab-bab yang dimaksud adalah sebagai berikut: BAB I
PENDAHULUAN Bab ini merupakan gambaran umum yang berisi tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II
KEPAILITAN DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA. Bab ini berisikan tentang pengertian kepailitan, sejarah kepailitan di Indonesia, syarat dan putusan pailit, akibat hukum kepailitan dan pengurusan dan pemberesan harta pailit.
BAB III
AKIBAT
HUKUM
KEPAILITAN
TERHADAP
KEWENANGAN
DEBITUR PAILIT DALAM MELAKUKAN PERBUATAN HUKUM ATAS HARTANYA Bab ini berisikan tentang pengertian perbuatan hukum, bentuk-bentuk kewenangan debitur pailit dalam melakukan perbuatan hukum atas hartanya. Actio paulina dan paksa badan bagi debitur pailit.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV
PERAN KURATOR TERKAIT DENGAN KEWENANGAN DEBITUR PAILIT
DALAM
MELAKUKAN
PERBUATAN
HUKUM
ATAS
HARTANYA Bab ini berisi tentang pengangkatan kurator oleh pengadilan niaga, tugas kurator dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit, kewenangan kurator dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit, tanggungjawab kurator atas kelalaiannya dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit. BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini adalah merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini, dimana dalam Bab V ini berisikan kesimpulan dan saran-saran dari penulis.
Universitas Sumatera Utara