BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Kalau bicara soal jumlah penduduk muslim, Indonesia jelas berada di atas Malaysia apalagi kalau dibandingkan dengan Singapura. Dengan komposisi penduduk muslim sekitar 80 % bila dihitung dari 220 juta orang, berarti jumlah penduduk muslim Indonesia mencapai 176 juta orang. Bandingkan dengan jumlah penduduk muslim Malaysia sekitar 14 juta orang dan penduduk muslim Singapura yang tak lebih dari 1 juta orang. Semestinya jumlah penduduk muslim yang besar itu menjadi basis yang kuat bagi pengembangan bisnis syari’ah tapi faktanya sampai saat ini peran bisnis syari’ah di Indonesia masih sangat kecil, bahkan jauh tertinggal dibandingkan Malaysia dan Singapura. (komang Darmawan dalam Menanti Geliat Si Macan Tidur, 2006) Bagi masyarakat, pemahaman akan ekonomi syari’ah belum tersosialisasi dengan baik. Kalaupun ekonomi syari’ah dikenal, masyarakat lebih banyak mengenal bank syari’ah. Padahal ekonomi syari’ah tidak hanya kegiatan bisnis perbankan berbasis syari’ah, tetapi juga sudah merambah sektor lain, seperti reksadana, perhotelan, asuransi (takaful/social protection), bursa efek, multilevel marketing hingga penyiaran (broadcast). Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa sektor perbankan paling mendominasi kegiatan ekonomi syari’ah.
1
Universitas Sumatera Utara
Pimpinan Bank Indonesia (BI) Medan, Dr. Romeo Rissal Pandjialam MA, menjelaskan ada beberapa pemikiran yang dinilai cukup cocok dengan struktur, kultur dan kondisi masyarakat. Pertama filosofi ekonomi syari’ah untuk mensejahterakan rakyat, jelasnya. Kedua, ekonomi syari’ah bertujuan menggerakkan perekonomian rakyat, mengingat ajarannya yang mengingatkan untuk meningkatkan taraf hidup. Ketiga, ekonomi syari’ah tidak diperuntukkan hanya kepada umat Islam semata, tapi berlaku universal sepanjang tidak melanggar koridor akidah. Kemudian keempat, salah satu tujuan ekonomi syari’ah adalah untuk membangun kemampuan umat. Kelima, konsep ekonomi ini tidak harga mati dan tetap dapat disesuaikan dengan kondisi lokal. Keenam, yang cukup penting dan patut disadari bahwa ekonomi syari’ah tidak bisa secara serta merta diadu dengan sistem ekonomi lain. Ketujuh, bank syari’ah bukanlah ekonomi syari’ah sebab hanya salah satu alat utama untuk menjalankan roda ekonomi berdasarkan syari’ah. Kedelapan, Islam memerangi segala bentuk riba secara sungguh-sungguh, walaupun begitu harus ada kajian mendalam untuk membangun bank dengan dasar memerangi praktik pembungaan uang tersebut. (Waspada Online dalam Ekonomi Syariah Utamakan Rakyat Bawah, 2006 ) Berada di posisi yang tanggung seringkali memang sulit untuk bisa meraih keuntungan. Bahkan, bisa terjepit pada posisi yang semakin sulit. Kondisi itulah yang kini dihadapi oleh kalangan pengelola swalayan (supermarket). Supermarket dicirikan sebagai tempat usaha yang menyediakan barang kebutuhan rumah tangga, termasuk sembilan bahan pokok eceran dengan cara swalayan. Biasanya, lantai ritel swalayan mencapai 4.000 m2. Awal kehadiran ritel modern ini sempat menjadi
2
Universitas Sumatera Utara
primadona dengan menawarkan kenyamanan belanja, harga yang bersaing, serta produk beragam dengan kualitas yang relatif terjamin. Berikut adalah hasil survei pertumbuhan pasar swalayan di beberapa negara. Pangsa pasar swalayan (%) Negara 2002 2003 Indonesia 18 16 Taiwan 24 22 Filipina 48 45 Jepang 62 62 Korea 30 28 Hongkong 72 68 Singapura 52 54
2004 15 19 42 61 27 70 57
Sumber : AC Nielsen, 2005.http://www.sajadah.net Banyak berdirinya pusat-pusat perbelanjaan modern semisal mal, supermarket atau hypermarket, menjadi daya tarik konsumen untuk berbelanja di tempat-tempat tersebut. Dulu, tempat-tempat seperti ini masih dianggap sebagai tempat belanja orang-orang dari kalangan ekonomi berkecukupan. Namun, lama-kelamaan tempat ini juga diminati oleh semua kalangan. Selain harga yang ditawarkan tidak terlalu berbeda dengan harga-harga di pasar tradisional, sarana dan prasarana yang ada di tempat belanja seperti ini juga lebih lengkap. Misalnya, tersedianya sarana bermain untuk keluarga, restoran, bioskop, dan sebagainya. Seiring perkembangan zaman, keberadaan pasar modern bahkan mampu menggeser keberadaan pasar tradisional. Data dari Dinas PD Pasar Jaya menyebutkan pertumbuhan pasar tradisional pada 1985 sekitar 78,24 %, sementara pasar modern 21,76 %. Tapi apa yang terjadi sepuluh tahun kemudian, pertumbuhan pasar tradisional jauh tertinggal dengan pasar modern. Pada 1995 pasar tradisional hanya
3
Universitas Sumatera Utara
37,75 %, sementara pasar modern 62,25 %. Bahkan pada 2004, pertumbuhan pasar tradisional hanya 24,66 %, sementara pasar modern 75,34 %. Menurut Direktur Utama PD Pasar Jaya, Drs H Prabowo, banyak faktor penyebab terjadinya pergeseran peran pasar tradisional tersebut, salah satunya perubahan gaya hidup konsumen (lifestyle) perkotaan. "Konsumen bukan sekadar ingin membeli barang, tapi juga ingin mendapatkan pelayanan dan kenyamanan saat berbelanja," Tak dipungkiri, mengunjungi pusat-pusat perbelanjaan modern, seperti mall, supermarket, atau hypermarket memang memberi kepuasan tersendiri. Selain merasa nyaman, hampir semua kebutuhan hidup bisa diperoleh di sana, asalkan ada uang. ( Syarifuddin dalam Geliat Psk Mall, 2007 ) Supermarket adalah pilihan bagi mereka yang ingin berbelanja dalam kenyamanan dan menentukan pilihan produk berdasarkan keinginan sendiri. Tapi, harga sebuah produk yang sama pasti lebih mahal apabila dibeli di supermarket daripada di pasar tradisional. Bila yang jadi prioritas adalah harga, maka perlu rela sedikit berpeluh atau terkena becek di musim hujan untuk belanja di pasar tradisional. Namun, sejak booming hypermarket yang ditandai oleh fenomena perkembangan ritel hipermarket Carrefour (angkatan pertama era hipermarket di Indonesia adalah Walmart dan Mega M), dinding segmentasi antara kenyamanan pasar modern dan harga murah pasar tradisional mulai runtuh. Hal ini terjadi karena hipermarket mulai bersaing dengan harga produk yang lebih murah daripada di pasar tradisional. Akibatnya segmentasi pengunjung pasar tradisional yang merupakan pencari harga sejati bergerak membanjiri hipermarket.
4
Universitas Sumatera Utara
Saat ini ada begitu banyak supermarket yang berdiri, belum lagi dengan munculnya raksasa hipermart yang menawarkan suasana dan kenyamanan dalam berbelanja. Strategi baru dalam menghadapi persaingan dengan sesama peritel modern tidak bisa dielakkan, pengelola supermarket memang tidak memiliki pilihan lain kecuali harus mengatur strategi baru agar bisa bertahan. Pengelola swalayan tidak bisa lagi bertumpu pada strategi klasik, tetapi sudah saatnya meracik strategi marketing mix yang lebih jitu, mulai product, price, place, hingga promotion. Bila sekadar bertumpu pada daya tarik persaingan harga, mengutip pernyataan Ketua Umum Aprindo Handaka Santosa, maka, "pada satu titik tertentu swalayan akan kehabisan nafas juga." Pengelola swalayan, menurut dia, harus mampu meningkatkan layanan dan berpromosi, serta juga menyediakan produk-produk yang eksklusif. Artinya, produk yang hanya tersedia di toko swalayan itu.
Apalagi, saat ini
konsumen cenderung semakin memilih belanja produk segar di pasar modern dibandingkan di pasar tradisional. Alasannya, pasar modern dirasakan ada jaminan kualitas keamanan makanan. Barangkali disinilah celah mendongkrak daya saing swalayan. (Linda Tety dan Fakhlul Mansur dalam Ketika Pasar Swalayan Semakin Terjepit, 2006) Salah satu swalayan yang menawarkan konsep lain dalam berbelanja adalah swalayan syari’ah. “Assalamu'alaikum.'' Itulah sapaan awal para pramuniaga kepada seluruh pengunjung Madinah Syari’ah Supermarket yang berlokasi di Millenium Plaza di Jl. Kapten Muslim, Medan. Dengan ramah, para pramuniaga berjilbab, akan menuntun dan menemani pengunjung berbelanja di swalayan berlantai dua dan berhawa sejuk. Musik berirama kasidah menemani setiap langkah pengunjung.
5
Universitas Sumatera Utara
Suasana Islami yang nyaman muncul, apalagi di bagian depan pengunjung langsung disergap dengan berbagai kaligrafi dan atribut lain yang menghiasai setiap sudut swalayan. Kekuatan nilai Islam semakin terasa ketika selesai melakukan transaksi. ''Kami jual ya, Pak..." ujar kasir, sebagai tanda akad yang diharuskan Islam dalam hal jual-beli. Keindahan dan ketenangan batin menyergap pengunjung. Suasana itu terekam dan terpancar saat setiap pengunjung memasuki Madinah Syari’ah Supermarket, sebuah tempat perbelanjaan pertama di Indonesia yang menawarkan konsep syari’ah. Sebenarnya konsep yang ditawarkan di Madinah Syar’iah Supermarket adalah kegiatan transaksi bisnis yang memiliki nilai-nilai Islam,'' kata M Fendi Leong, Direktur Madinah Syari’ah Supermarket. Ia menunjuk, sekian ribu item barang yang diperdagangkan, diupayakan terjamin nilai kehalalannya. Fendi menilai ajaran Islam sangat sesuai dengan diterapkan dalam kegiatan bisnis supermarket, yang sudah digeluti orangtuanya. Lewat brand Macan Yaohan yang dirintis orang tuanya sejak 20 tahun lalu, ia pun memberanikan diri membuka bisnis syari’ah ini pada 9 Februari 2006 atau bertepatan dengan 10 Muharram 1427 sama ketika ia memilih Islam sebagai agama baru setelah terlahir sebagai Budha (Iwan muhari dalam Macan Syariah Supermarket Bisnis Sambil Dakwah, 2006). Nilai merupakan sesuatu yang abstrak sehingga sulit untuk dirumuskan ke dalam suatu pengertian yang memuaskan. Beberapa ahli merumuskan pengertian nilai dari beberapa perspektif yakni perspektif antropologis, filsafat dan psikologis. Secara antropologis, Kluckhon (1962) mengemukakan nilai merupakan suatu konsepsi yang secara eksplisit dapat membedakan individu atau kelompok, karena memberi ciri khas baik individu maupun kelompok. Secara filosofis, Sprangger (1928) menyamakan
6
Universitas Sumatera Utara
nilai dengan perhatian hidup yang erat kaitannya dengan kebudayaan karena kebudayaan dipandang sebagai sistem nilai, kebudayaan merupakan kumpulan nilai yang
tersusun menurut struktur tertentu. Nilai hidup adalah salah satu penentu
kepribadian, karena merupakan sesuatu yang menjadi tujuan atau cita-cita yang berusaha diwujudkan, dihayati, dan didukung individu. Menurut Sprangger corak sikap hidup seseorang ditentukan oleh nilai hidup yang dominan, yaitu nilai hidup yang dianggap individu sebagai nilai tertinggi atau nilai hidup yang paling bernilai. Bagi umat Islam yang menjalankan ajaran agamanya dengan taat tentunya dia akan menyandarkan segala sesuatu dalam sendi kehidupannya yang sesuai dengan ajaran agamanya dalam hal ini setiap kegiatan yang dia lakukan harus bersandarkan dengan nlai-nilai syari’ah. Nilai adalah suatu pengertian atau pensifatan yang digunakan untuk memberikan penghargaan terhadap barang atau benda. Manusia menganggap sesuatu bernilai, karena ia merasa memerlukannya atau menghargainya. Dengan akal dan budinya manusia menilai dunia dan alam sekitarnya untuk memperoleh kepuasan diri baik dalam arti memperoleh apa yang diperlukannya, apa yang menguntungkannya, atau apa yang menimbulkan kepuasan batinnya. Ketika seseorang telah memilih untuk menjalankan kehidupan dengan berlandaskan nilai-nilai dari agamanya dia akan merasa puas karena disini dia telah menganggap dirinya telah menjalankan apa yang diperintahkan oleh Tuhan. Orientasi
nilai
menunjuk
kepada
standar-standar
normatif
yang
mempengaruhi dan mengendalikan pilihan-pilihan individu terhadap tujuan yang dicapai dan alat yang dipergunakan untuk mencapai tujuan itu. Dengan
7
Universitas Sumatera Utara
berorientasinya seseorang berdasarkan nilai-nilai agama dapat mempengaruhi pikirannya dalam menentukan pilihan-pilihan yang sesuai dengan ajaran agama. Hadirnya swalayan Madinah Syari’ah yang membawa label syari’ah secara langsung maupun tidak langsung telah mempengaruhi pilihan-pilihan masyarakat agar menjalankan ajaran agamanya yang telah ditentukan. Negara Indonesia adalah negara yang mayoritas penduduknya adalah umat Islam. Agama Islam sebagai agama yang universal telah mengatur semua sisi kehidupan manusia mulai dari hal-hal yang besar sampai sekecil-kecilnya, dimana salah satunya adalah di bidang konsumsi. Dalam Islam masalah konsumsi ini sangat penting karena menyangkut halal atau haram yang mana segala sesuatu yang diharamkan adalah sangat dilarang dalam agama. Halal tidak hanya menyangkut apa yang kita konsumsi akan tetapi juga terkait dengan proses kita mendapatkannya. Saat ini begitu banyak bentuk lembaga-lembaga syari’ah di Indonesia. Mulai dari bank, leasing, hotel, asuransi, sampai juga kepada bentuk swalayan. Akan tetapi umat Islam yang sangat mayoritas di negara ini masih sangat sedikit yang memilih model-model ekonomi yang berbentuk syari’ah ini. Dimana sebenarnya mereka inilah yang menjadi target utama dalam kemunculan lembaga-lembaga ekonomi yang berbentuk syari’ah ini. Berangkat dari kenyataan ini peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian mengapa adanya ketertarikan mendirikan lembaga ekonomi yang memakai model syari’ah dan juga melihat kepada faktor apa yang mendorong orang untuk ikut dalam sistem ekonomi syari’ah ini pada khususnya konsumen yang berbelanja di swalayan Madinah Syari’ah yang ada di kota Medan.
8
Universitas Sumatera Utara
1.2. Perumusan masalah Guna meningkatkan arah jalannya penelitian maka terlebih dahulu dirumuskan permasalahan yang ada, dengan itu Suharsini Arikunto mengatakan bahwa : “agar penelitian dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya maka penulis harus merumuskan masalah sehingga jelas dari mana harus dimulai, kemana harus pergi, dan dengan apa.” Berdasarkan uraian diatas maka yang menjadi perumusan masalah adalah : 1. Faktor-faktor apa yang melatarbelakangi Munculnya swalayan Madinah Syari’ah ? 2. Faktor-faktor apa yang melatar belakangi konsumen berbelanja di swalayan Madinah Syari’ah?
1.3. Tujuan Penelitian Sesuai dengan pokok permasalahan yang telah dirumuskan diatas, maka yang menjadi tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah 1. untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi latar belakang munculnya swalayan Madinah Syariah. 2. serta untuk mengetahui orientasi nilai yang menjadi keputusan konsumen untuk memilih berbelanja di swalayan Madinah Syariah yang terletak di Jalan Kapten Muslim Medan.
9
Universitas Sumatera Utara
1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Secara teoritis hasil penelitian ini dapat menambah wawasan keilmuan khususnya yang berkaitan dengan bidang kajian sosiologi agama dan motivasi sosial. 1.4.2. Secara praktis hasil penelitian ini juga diharapkan dapat :
Menambah referensi bagi hasil-hasil penelitian lainnya.
Dapat dijadikan bahan rujukan bagi penelitian selanjutnya.
Juga sebagai informasi bagi umat Islam bahwa nilai nilai agama mampu menjadi roda penggerak perekonomian.
1.5. Definisi Konsep 1.5.1. Orientasi : menurut kamus bahasa Indonesia pengertian dari orientasi yaitu Peninjauan, melihat-lihat akan tetapi yang dimaksudkan orientasi dalam penelitian ini adalah
menunjuk kepada standar-standar normatif yang
mempengaruhi dan mengendalikan pilihan-pilihan individu terhadap tujuan yang dicapai dan alat yang dipergunakan untuk mencapai tujuan itu. 1.5.2. Nilai : Harga, angka atau mutu akan tetapi dalam penelitian ini Dari uraian di atas maka nilai dapat diartikan sebagai sesuatu yang dianggap baik, berguna atau penting, dan diberi bobot tertinggi oleh individu atau kelompok dan menjadi referensi dalam bersikap serta berperilaku dalam hidupnya. 1.5.3. Swalayan Syari’ah : Tempat usaha yang menyediakan barang kebutuhan rumah tangga yang memakai manajemen dan nilai-nilai Islam dalam penerapannya. Di
10
Universitas Sumatera Utara
dalam swalayan ini semua karyawan dan karyawatinya menggunakan seragam berbusana muslim. Di dalam swalayan ini juga terpajang dan terpampang berbagai bentuk kaligrafi dan hiasan-hiasan yang bernuansa Islami. 1.5.4. Konsumen : orang yang membeli barang atau produk-produk yang telah disediakan di swalayan. 1.5.5.
Halal
: Pengertian halal ialah perkara atau perbuatan yang dibolehkan,
diharuskan, diizinkan atau dibenarkan syari’at Islam. Sebuah riset yang dilakukan pengamat perbankan syari’ah Adiwarman A. Karim dari Karim Business Consultant menunjukkan bahwa pasar loyalis syari’ah sesungguhnya sangat terbatas. Dia membagi potensi pasar menjadi tiga kelompok besar yaitu : 1. Pasar loyalis syari’ah. 2. Pasar mengambang yang tidak terlalu fanatik dengan sistem perbankan. 3. Pasar loyalis konvensional. Kelompok ini mempunyai ciri sangat fanatik terhadap bank bersistem konvensional. 1.6. Operasionalisasi Variabel Operasionalisasi variabel : Berdasarkan dari teori Spranger peneliti membuat operasionalisasi variabel sebagai berikut : Ilmu pengetahuan
Jaminan kualitas keamanan produk.
Mengetahui cara kerja/penerapan salah satu lembaga ekonomi syari’ah.
11
Universitas Sumatera Utara
Adanya nilai tambah terhadap pengetahuan antara swalayan yang syari’ah dan konvensional.
Mengetahui promosi produk/acara yang infomatif.
Kesenian
Musik bernuansa Islami.
Dekorasi yang penuh dengan kaligrafi.
Busana muslim dari para karyawan.
Lantunan ayat-ayat suci Al-Quran.
Keagamaan
Adanya jaminan kehalalan.
Kesempatan untuk sekaligus berinfak.
Mengharap ridho Allah.
Menjalankan nilai-nilai agama Islam.
Kemasyarakatan
Aspek toleransi (memperlakukan orang lain dengan setara)
Menolong kaum lemah.
Pergaulan dengan sesama.
Rasa persaudaraan/kekeluargaan.
Ekonomi
Faktor jarak.
Diskon.
Murah.
12
Universitas Sumatera Utara
Hadiah.
Politik
Meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Menggerakkan roda perekonomian masyarakat.
Meningkatkan kelas sosial.
Berlaku universal.
1.7. Skala orientasi nilai Skala orientasi nilai merupakan suatu skala yang terdiri dengan lima pilihan yang terdiri dari pilihan sangat sesuai (SS), sesuai (S), tidak bisa menentukan dengan pasti (N), tidak sesuai (TS), sangat tidak sesuai (STS). Aspek-aspek yang digunakan untuk membuat skala orientasi nilai didasarkan pada teori orientasi nilai budaya oleh Edward Spranger. Adapun aspek-aspek tersebut adalah : (a) Lapangan-lapangan yang bersangkutan dengan manusia sebagai individu, yang meliputi 4 lapangan nilai yaitu : a. Lapangan pengetahuan (ilmu, teori) b. Lapangan ekonomi c. Lapangan kesenian d. Lapangan keagamaan (b) Lapangan-lapangan nilai yang bersangkutan dengan manusia sebagai anggota masyarakat. Lapangan ini menyangkut manusia dengan kekuatan cinta dan cinta akan kekuasaan. Kelompok ini menyangkut dua nilai yaitu :
13
Universitas Sumatera Utara
Lapangan kemasyarakatan
Lapangan politik
Skala orientasi nilai merupakan sebuah alat ukur yang dirancang oleh peneliti untuk melihat kecenderungan orientasi nilai. Peneliti membuat 24 buah item untuk skala kecenderungan orientasi nilai berdasarkan aspek dari orientasi nilai budaya oleh Edward Spranger. Item-item ini dibuat dalam bentuk yang favorable (sesuai) skor yang diberikan adalah STS (sangat tidak sesuai) TS (tidak sesuai) N (antara sesuai dan tidak sesuai/netral) S (sesuai) SS (sangat sesuai) dimana untuk STS diberi nilai = 1, TS diberi nilai = 2, N diberi nilai = 3, S diberi nilai = 4 dan SS diberi nilai = 5. Adapun distribusi item skala orientasi nilai dapat dilihat pada tabel berikut ini. No
aspek
Nomor item
jumlah
1
Ilmu pengetahuan
1,7,13,9
4
2
Ekonomi
4,10,16,22
4
3
Kesenian
2,8,14,20
4
4
Agama
3,9,15,21
4
5
Politik
5,11,17,23
4
6
Kemasyarakatan
6,12,18,24
4
14
Universitas Sumatera Utara