BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Setiap manusia mengalami proses dimana seseorang mulai lahir, menjadi
dewasa, tua dan akhirnya meninggal. Dalam perjalanan hidupnya, manusia sebagai makhluk sosial pasti membutuhkan orang lain untuk menjalin komunikasi dan interaksi. Dalam kepercayaan masyarakat Jepang dan masyarakat Batak Toba, hubungan fungsional terjadi diantara orang yang masih hidup dan orang yang sudah meninggal. Orang yang masih hidup memiliki rasa hormat terhadap orang yang sudah meninggal. Roh orang yang sudah meninggal akan terus dihormati oleh para keturunannya, dengan harapan bahwa orang yang masih hidup akan mendapat berkah dari orang yang sudah meninggal. Pusat dari kepercayaan dalam masyarakat Jepang adalah keluarga ie( 家). Keluarga menjadi wadah utama dalam pemujaan roh leluhur masyarakat Jepang (Danandjaja, 1997). Anggota keluarga ie bukan hanya terdiri dari orang-orang yang masih hidup, tetapi juga orang-orang yang sudah meninggal. Anggota keluarga yang sudah meninggal dilambangkan sebagai karakter yang dapat memberkati dan menjaga anggota keluarga yang masih hidup. Keluarga Jepang melakukan ritual-ritual yang menyangkut daur hidup setiap anggotanya sejak mulai lahir sampai meninggal. Ritual ataupun upacara yang
Universitas Sumatera Utara
dilakukan setelah kematian merupakan pemujaan atau penyembahan terhadap leluhur. Ritual-ritual tersebut dilakukan dengan tujuan untuk menghapus kekotoran menuju kesucian. Hal ini terdapat dalam konsep kepercayaan Shinto bahwa yang dipandang sebagai kekotoran itu adalah darah dan mayat (Situmorang, 2000). Masyarakat Jepang mengenal dua sistem penguburan mayat, yaitu dengan cara kashou(土葬) dan doshou (火葬). Doshou adalah penguburan jenazah di dalam tanah sedangkan kashou adalah penguburan dengan cara kremasi. Apabila penguburan dilakukan dengan cara kremasi, maka tulang-belulang sisa pembakaran akan dikumpulkan dan ditempatkan dalam guci, yang disebut dengan kotsutsubo(骨壷). Kotsutsubo kemudian dimasukkan ke dalam kotak kayu dan dibungkus dengan kain putih untuk dibawa pulang, dan diletakkan di samping butsudan kira-kira selama 49 hari. Setelah 49 hari tulang-belulang itu lalu dibawa ke pemakaman keluarga. Acara penguburan tulang ini disebut dengan maikotsu. Setelah dimakamkan, keluarga membuat ihai untuk orang yang sudah meninggal tersebut. Ihai diletakkan di butsudan (仏壇)atau kamidana(神棚) dan ke ihailah diarahkan persembahan keluarga (Situmorang, 2005). Dalam Situmorang 2006, Bagi orang Jepang, kematian adalah keadaan yang tercemar atau sesuatu yang dianggap kotor. Serangkaian upacara-upacara ditujukan bagi orang yang sudah meninggal hingga menjadi Hotoke (仏). Untuk meningkatkan status roh seseorang supaya jangan menjadi gaki (餓鬼) atau dunia kesusahan, maka
Universitas Sumatera Utara
diperlukan pemberian kuyou (persembahan) dari keluarga yang masih hidup. Setelah roh tersebut dianggap suci dan stabil, kelompok keluarga tersebut menganggap bahwa roh itu sebagai pelindung keluarga. Masyarakat Batak Toba mempercayai roh (tondi) ada dalam diri seseorang sejak Ia berada dalam rahim Ibunya. Apabila seseorang telah meninggal, maka tondinya telah meninggalkan raganya. Pada saat seseorang mengalami kematian, maka rohnya dipercayai sedang mengalami masa transisi. Tondi seseorang akan berubah menjadi Begu atau hantu. Supaya Begu seseorang tidak mengganggu kesejahteraan
manusia
yang masih hidup, maka
diperlukan persembahan-
persembahan dari keluarganya yang masih hidup. Penyembahan-penyembahan ini juga bertujuan untuk meningkatkan status roh seseorang yang sudah meninggal dari Begu menjadi Sumangot, kemudian menjadi Sombaon. Pada masyarakat Batak Toba dikenal 8 tingkat kematian. Dari yang terendah: Pertama, Mate Tarposo (Mati dalam kandungan atau saat masih bayi). Kedua, Mate Poso (Mati kanak-kanak dan sebelum kawin). Ketiga, Mate Pupur (Mati tua tanpa pernah menikah). Keempat, Mate Punu (Mati sesudah menikah dan tidak punya anak). Kelima, Mate Mangkar (Mati setelah ada anak yang menikah, tetapi belum punya cucu). Keenam, Mate Sarimatua (Mati sudah punya cucu, tetapi masih ada anaknya yang belum menikah). Ketujuh, Mate Saurmatua (Mati setelah semua anak menikah dan mempunyai cucu). Kedelapan, Mate Mauli Bulung (Mati setelah cucunya sudah punya cucu lagi dan status sosialnya baik serta tak ada seorang pun dari keturunannya meninggal mendahuluinya). Mulai dari Mate Tarposo hingga Mate Punu dapat dikatakan tidak dilakukan acara adat yang berarti, karena hal itu dianggap
Universitas Sumatera Utara
belum lengkap kehidupan seseorang (Gultom, 1992).
Setiap anggota kerabat yang
meninggal sangat dihormati apalagi setelah berada di posisi Sarimatua, Saumatua dan Mauli Bulung. Pada tahap ini melepas mayat dilakukan dengan pesta besar, berhari- hari, lantunan musik dan lagu-lagu gembira, karena hidupnya telah dianggap sempurna. Bagi masyarakat Batak Toba, salah satu adat yang paling terhormat untuk orang yang sudah meninggal adalah manuan ompu-ompu di kuburan yang memiliki makna almarhum sudah bercucu sewaktu meninggal. Kemudian setelah beberapa tahun, dilakukan satu upacara yang disebut dengan mangongkal holi (penggalian tulang-belulang orang yang sudah mati) dan akan dipindahkan ke tempat yang lebih terhormat yang disebut dengan Tugu. Untuk lebih memahami bagaimana pandangan dan konsep pemikiran kedua masyarakat ini (masyarakat Jepang dan Batak Toba) dalam hal ritual penguburan tulang, maka penulis merasa tertarik untuk membahasnya dengan mengangkat judul penelitian “Perbandingan Konsep Pemikiran Masyarakat Jepang dan Batak Toba Dalam Ritual Penguburan Tulang”.
1.2
Perumusan Masalah Menurut kepercayaan masyarakat Jepang, kematian adalah sesuatu yang
dianggap kotor (tercemar). Sesuatu yang kotor dan tercemar tidak disukai oleh Tuhan (Danandjaja, 1997). Sederetan acara yang ditujukan bagi mereka yang sudah meninggal disebut dengan sougi (葬儀). Pada zaman sekarang, masyarakat Jepang
Universitas Sumatera Utara
lebih sering melakukan sisem kasou(土葬) atau kremasi bagi anggota keluarga mereka yang sudah meninggal. Setelah dikremasi, maka tulang-belulang ditempatkan dalam makam keluarga. Kemudian keluarga membuat ihai bagi keluarga yang sudah meninggal tersebut. Ihai adalah papan tempat menulis nama dan tanggal meninggal bagi orang yang dimakamkan. Setelah itu, di rumah dibuat butsudan (仏壇)dan
kamidana (神棚) sebagai tempat menyembah roh-roh keluarga yang sudah meninggal. Ihai diletakkan di butsudan atau kami dan ke ihailah diarahkan persembahan keluarga (Situmorang, 2005). Keluarga (ie) menjadi wadah utama dalam pemujaan roh dalam masyarakat Jepang. Dalam keluarga ie, yang menjadi penanggung jawab dalam hal pemujaan leluhur adalah anak pertama yang ddisebut dengan Chounan(長男) atau
Kachou(課長)yang disebut dengan kepala keluarga. Di dalam kuburan ie dimakamkan tulang belulang beberapa generasi anggota keluarga. Masyarakat
Batak Toba percaya bahwa roh sudah berada dalam
diri
seseorang semenjak berada dalam rahim Ibunya. Roh dalam masyarakat Batak Toba dikenal dengan tondi. Tondi akan meninggalkan raganya apabila seseorang mengalami kematian. Kebahagian orang mati didapat jika rohnya dapat memasuki persekutuan dengan roh-roh leluhurnya dengan selamat. Kebahagiaan roh itu juga akan ditentukan dengan penghormatan yang akan
Universitas Sumatera Utara
diterimanya di dunia orang mati. Penghormatan ini sangat ditentukan oleh pelaksanaan penguburan secara upacara adat (agama leluhur) yang dilakukan oleh keturunannya yang hidup di dunia. Menurut kepercayaan masyarakat Batak Toba, status kehormatan yang dimiliki oleh suatu roh tidaklah bersifat statis. Status dan kehormatan dapat ditingkatkan lagi lebih keatas. Peningkatan kemuliaan akan didapatkan oleh roh itu apabila dia memiliki status “sumangot”. Status sumangot akan dimilikinya apabila keturunannya telah membuatkan sebuah makam permanen yang dipahat dari batu atau dibuat dari semen yang kemudian dihiasi dengan keramik dengan segala tambahannya. Pada tempat yang baru itu kemudian dimasukkan tulang belulang (saring-saring) dari orang yang telah mati tadi. Tulang-belulang itu digali dari kuburannya di dalam tanah melalui upacara yang dinamakan “mangongkal holi”. Penaikan tulang-belulang dari dalam tanah kepada tempat yang tersedia di makam batu itu merupakan lambang pemberian penghormatan yang lebih tinggi kepada roh orang tua. Dengan melihat adanya unsur persamaan dan perbedaan konsep pemikiran akan
ritual penguburan tulang pada masyarakat Jepang dan Batak Toba, maka
penulis ingin membahas dan menguraikan beberapa rumusn masalah, antara lain : 1. Bagaimanakah konsep pemikiran masyarakat Jepang dalam hal ritual penggalian tulang anggota keluarga yang telah meninggal 2. Bagaimanakah konsep pemikiran masyarakat Batak Toba dalam hal ritual penggalian tulang anggota keluarga yang telah meninggal 3. Bagaimanakah perbandingan kedua konsep pemikiran masyarakat Jepang dan Batak Toba dalam hal ritual penggalian tulang
Universitas Sumatera Utara
1.3
Ruang Lingkup Pembahasan Untuk menghindari ruang lingkup permasalahan yang terlalu luas, maka
penulis membatasi masalah pada perbedaan konsep pemikiran dua masyarakat (Jepang dan batak Toba) yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda, dalam hal ritual penguburan tulang. Sebelum
membandingkannya,
maka
penulis
terlebih
dahulu
akan
menguraikan bagaimana proses upacara kematian pada kedua masyarakat ini, sampai pada tahap pemakaman yang kedua atau proses pengburan tulang. Dengan demikian, maka penulis dapat menjawab pokok permasalahan dalam penelitiannya.
1.4
Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1.
Tinjauan Pustaka
Bagi masyarakat Jepang, roh berada dalam diri seseorang sejak lahir ke dunia dan akan meninggalkan tubuh manusia itu pada saat meninggal (Tsuboi Yasumi dalam Situmorang, 2005). Pada zaman dahulu di Jepang tidak jelas batas antara mati dan masih hidup. Dalam manusia dipercayai tinggal satu roh. Apabila roh itu pergi, maka manusia itu dalam keadaan mati suri, namun apabila roh tersebut kembali, maka manusia itu akan kembali sehat. Hal ini sesuai dengan pendapat Inoguchi dqalam situmorang, 2005. Gultom, 1992 mengatakan bahwa dalam kepercayaan masyarakat Batak Toba roh atau tondi seseorang berada di dalam dirinya sejak Ia masih ada di dalam rahim Ibunya. Apabila tondi pergi, maka seseorang dianggap telah meninggal (Iawanda, 2004).
Universitas Sumatera Utara
Pemujaan leluhur merupakan suatu bentuk pengabdian seseorang terhadap leluhurnya. Pemujaan leluhur menjadi suatu wujud terimakasih dan ucapan syukur atas semua berkat yang telah diterima. Oleh karena itu, sangatlah
penting bagi
masyarakat Jepang terjaminnya kelanjutan kesinambungan pemujaan leluhur antara generasi ke generasi selanjutnya (Situmorang, 2006). Gultom, 1992
mengatakan bahwa
proses
pemakaman
yang kedua
(mangongkal holi) yang ditujukan bagi orang yang meninggal saurmatua merupakan wujud dari rasa cinta dan sayang dari para keturunannya kepada Orangtua mereka yang telah meninggal. 2. Kerangka Teori Dalam menyusun sebuah penelitian, dibutuhkan kerangka teori yang memuat pokok-pokok persoalan, namun tidak menyimpang dan melebar. Hal ini untuk memberi arah dan acuan sementara terhadp jalannya suatu penelitian (Bungin, 2001). Dengan melihat judul yang diangkat penulis, maka teori yang digunakan adalah analisis komparatif. Dalam Ilmu sosial, penelitian komparatif adalah cara penelitian dengan membandingkan masyarakat satu dengan masyarakat yang lain, untuk mengetahui perbedaan dan persamaan, juga untuk mengetahui sebab-sebab terjadinya kondisi masyarakat terebut (Malo Manase, 1985). Selain menggunakan teori analisis komparatif, penulis juga menggunakan konsep religi dalam menjawab poko permasalahan penelitian. Menurut Koentjaraningrat dalam Bungin 2001, konsep religi adalah sistem kepercayaan yang mengandung keyakinan dan bertujuan untuk mencari hubungan
Universitas Sumatera Utara
antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan dewa-dewa atau makhluk halus yang mendiami alam gaib.
1.5
Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini dibuat dengan tujuan 1) Mendeskripsikan bagaimana ritual kematian dalam dua masyarakat yang berbeda (Jepang dan Batak toba) 2) Mendeskripsikan konsep pemikiran kedua masyarakat (Jepang dan Batak Toba) dalam hal ritual penguburan tulang 3) Membandingkan pandangan masyarakat Jepang dan Batak Toba akan ritual penguburan tulang 2.
Manfaat penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan informasi bagi penulis sendiri maupun bagi para pembaca, agar pembaca dapat memahami konsep pemikiran kedua masyarakat Jepang dan Batak Toba dalam hal ritual
penguburan
tulang.
1.6
Metode dan Teknik Pengumpulan Data 1.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan Penulis dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, yaitu metode yang menggambarkan suatu gejala sosial tertentu (Bungin, 2001). Dalam hal ini Penulis mencoba menggambarkan perbedaan ritual kematian
Universitas Sumatera Utara
sampai pada tahap penguburan tulang pada masyarakat Jepang dan Batak Toba. Selain itu, Penulis juga menggunakan analisis komparatif, dengan membandingkan kedua konsep pemikiran masyarakat Jepang dan Batak Toba. 2. Dalam
Teknik Pengumpulan Data hal
ini,
Penulis
menggunakan
studi
kepustakaan.
Penulis
mengumpulkan data dari berbagai referensi dan literatur yang ada, yang isinya berhubungan dengan permasalahan yang akan dijawab dalam penelitian ini. Data yang diperoleh dari berbagai referensi atau
literatur akan dianalisis untuk
mendapatkan kesimpulan.
Universitas Sumatera Utara