BAB I PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan tentang hal-hal yang melandasi dilaksanakanya penelitian. Landasan ini mencakup penentuan judul dengan berbagai aspek sebagai pertimbangannya. Adapun aspek tersebut meliputi aktualitas, orisinalitas, dan relevansi dengan jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan. Kemudian terdapat pula latar gagasan yang memunculkan pertanyaan penelitian. Tentu dalam sebuah penelitian terdapat tujuan dan manfaat baik secara teoritis maupun praksis, hal ini jugalah yang dituangkan dalam bab ini. Selanjutnya terdapat tinjauan pustaka dan landasan teori yang semakin mempertajam arah pisau analisis penelitian ini. A. Judul
Reposisi Peran Pendamping Menelisik Agency Pendamping Lapangan dalam Proses Corporate - Society Engagement (Studi Kasus Implementasi CSR JOB Pertamina-Medco E&P Tomori Sulawesi)
B. Alasan Pemilihan Judul 1. Aktualitas Pada dasarnya CSR merupakan suatu pola yang menjadi garis tengah antara kepentingan perusahaan dan masyarakat. Keduanya memiliki relasi yang bersifat simbiosis mutualisme (saling menguntungkan). 1
Kehadiran pendamping lapangan dalam community development adalah salah satu cara untuk memaksimalkan sistem kerja dalam program-program CSR yang dijalankan. Selama ini belum ada kajian yang secara eksplisit mencoba melakukan penelitian terhadap posisi dan peran pendamping lapangan dalam corporate-society enggagement. Adapun kajian yang memiliki kaitan terhadap penelitian ini adalah mengenai proses pelaksanaan community development dari mulai perencanaan, pelaksanaan maupun monitoring dan evaluasi sebuah program CSR. Lebih dari itu keseluruhan pelaksanaan program CSR ini tentu melibatkan aktor yang berperan sebagai pendamping lapangan (fasilitator). Sehingga penting rasanya menelisik lebih lanjut terkait peran dan posisi pendamping lapangan baik dari sudut pandang perusahaan, masyarakat maupun pendamping itu sendiri.
2. Orisinalitas Riset ini dibangun dari ide dan gagasan asli penulis. Kajian tentang peran pendamping dalam kaitannya dengan program CSR perusahaan belum pernah dikaji sebelumnya. Penulis tidak menggunakan ide atau gagasan orang lain untuk melakukan riset ini. Oleh karena itu, penulis menegaskan bahwa karya ini asli (orisinil).
3. Relevansi dengan Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan memiliki 3 (tiga) fokus kajian, dimana salah satunya ialah mengenai Corporate Social Responsibility (CSR). Kajian ini memproduksi segala ilmu pengetahuan
2
yang berkaitan dengan kehadiran perusahaan dalam melaksanakan peran sosial. Penelitian ini memiliki fokus kajian pada ranah CSR, dimana Community Development sebagai salah satu agenda penting dalam pelaksanaan program CSR menghendaki adanya pendamping lapangan. Seringkali kehadiran pendamping lapangan tidak begitu dihiraukan, padahal jika ditelusuri lebih lanjut pendamping lapangan ini memiliki peran yang sangat signifikan dalam melaksanakan program-program CSR. Pendamping lapangan bisa dikatakan sebagai eksekutor sebuah program CSR utamanya yang berkaitan dengan Community Development. Untuk itu penting rasanya melakukan penelitian lebih lanjut terkait peran pendamping lapangan dalam relasi masyarakat dan perusahaan. Pergeseran peran pendamping lapangan dalam mengakomodir kepentingan perusahaan dan masyarakat juga menarik untuk diteliti, karena hal ini berimplikasi pada output program CSR yang dilaksanakan. CSR sebagai salah satu upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat inilah yang coba ingin diteliti lebih lanjut dengan melihat dari sisi peran pendamping lapangan. Dengan demikian secara tidak langsung penelitian ini memiliki relasi yang erat terhadap pengembangan ilmu pengetahuan di Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan.
C. Latar Gagasan Dewasa ini pembangunan tidak hanya bertumpu pada pemerintah, melainkan juga diperankan oleh multistakeholders. Berkembangnya konsep
3
welfare pluralism, meniscayakan negara tidak lagi menjadi aktor tunggal, tapi ada banyak aktor lain yang turut memperkokoh skema pembangunan. Spicker (1995) menyebut ada lima sektor penting dalam pembangunan: public sector, voluntary sector, mutual aid, dan informal sector.1 Peran civil society semakin menguat dalam rancangan pembangunan yang dirancang oleh negara. Aktor lain yang memiliki kontribusi penting dalam pembangunan adalah perusahaan. Perusahaan sebagai entitas bisnis memiliki peran krusial dalam melakukan pembangunan. Adapun salah satu bentuk intervensi perusahaan dalam pembangunan tertuang dalam Corporate Social Responsibility (CSR). CSR merupakan suatu tindakan yang diambil pelaku melalui perilaku yang secara sosial bertanggung jawab kepada masyarakat. Dalam menjalankan tanggung jawab sosialnya, pelaku bisnis atau perusahaan memfokuskan perhatiannya kepada tiga hal, yakni ekonomi, sosial, dan lingkungan. Ketiga hal ini dilakukan secara berkesinambungan dan salah satu cara untuk mencegah krisis yang ditimbulkan oleh perusahaan secara berkelanjutan. Bagian dari pelaksaan tanggungjawab sosial ini juga terdapat upaya peningkatan reputasi atau image perusahaan sebagai identitas yang melekat dalam konsep bisnis (Utting and Marques, 2010). Corporate Social Responsibility (CSR) pada dasarnya telah mengalami perkembangan secara signifikan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat. Perkembangan ini terlihat pada pola 1
Bandingkan dengan Krisdyatmiko. 2012. “Kemitraan Pemerintah – Swasta – Masyarakat dalam Bingkai Forum Multi Stakeholders Corporate Sosial Responsibility (MSH-CSR)” dalam Susetiawan (ed.). Corporate Social Responsibility: Komitmen untuk Memberdayakan Masyarakat. Yogyakarta: Azzagrafika, hlm 127.
4
pelaksanaan kegiatan CSR itu sendiri yang pada awalnya bersifat sukarela (voluntary) menjadi sebuah kewajiban (obligation). Hal ini ditandai dengan munculnya konsep-konsep baru seperti yang diungkapkan oleh Srinivasan dalam Muruganantham (2010) dimana CSR bukan sekedar persoalan memberi dan menerima tanggungjawab sosial, lebih dari itu CSR menempatkan masyarakat sebagai mitra dalam merumuskan kebijakankebijakan dan menjalankan program CSR. CSR juga bukan hanya sekedar respon spontan dalam menyelesaikan permasalahan sosial, melainkan bagian dari komitmen perusahaan untuk menjalankan program yang berkaitan dengan masyarakat secara berkelanjutan. Bentuk obligasi CSR yang berkembang di Indonesia tertuang dalam regulasi pemerintah UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas pada pasal 74, di mana kegiatan CSR atau tanggung jawab sosial merupakan suatu kegiatan yang diwajibkan dan dilaksanakan berdasarkan pada kepatutan dan kewajaran sesuai dengan peraturan pemerintahan. Fokus utama dalam undang-undang tersebut terdapat pada pasal ke 74 yakni lebih mewajibkan pada suatu kegiatan usaha di bidang atau yang berkaitan dengan sumber daya alam untuk melakukan kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan. Pengembangan program CSR-pun terus digalakkan secara perlahan dari yang bersifat charity menuju program pemberdayaan masyarakat. Friedmann (1992) menawarkan konsep atau strategi pembangunan yang populer
disebut
dengan
empowerment
atau
pemberdayaan.
Konsep
pemberdayaan ini adalah sebagai suatu konsep alternatif pembangunan yang pada intinya memberikan tekanan pada otonomi dalam mengambil keputusan
5
di suatu kelompok masyarakat yang dilandaskan pada sumberdaya pribadi, bersifat langsung, demokratis, dan pembelajaran sosial melalui pengalaman langsung. Pemberdayaan dalam pelaksanaan CSR dimaknai sebagai suatu proses mengatasi permasalahan sosial dan melibatkan masyarakat secara langsung (Alexander, 1998: 2-8). Hal ini dianggap lebih bersifat keberlanjutan, karena meniscayakan partisipasi masyarakat seluas-luasnya dalam proses pemberdayaan itu sendiri. Namun seringkali pola pelaksanaan pemberdayaan melalui program CSR selama ini masih bersifat top down, yang artinya masyarakat hanya dijadikan sebagai objek bagi pelaksanaan CSR. Sehingga program-program CSR yang dilakukan perusahaan umumnya masih
bersifat
voluntary
dengan
upaya
mewujudkan
kesejahteraan
masyarakat. Biasanya, pelaksanaan program-program yang bersifat filantropis didasarkan atas pertimbangan beberapa hal yang bersifat insidental. Kedua pola ini dilakukan dalam rangka mengoptimalkan kerja CSR untuk memberikan keuntungan bagi perusahaan berupa citra dan konsistensi perusahaan, kemudian bagi masyarakat memberi manfaat langsung berupa solusi atas permasalahan sosial yang dihadapi. Umumnya, proses pemberdayaan didefinisikan sebagai suatu proses yang dilakukan dalam rangka membuat suatu kondisi masyarakat yang belum berdaya menjadi berdaya. Pemberdayaan sebagai sebuah komitmen perusahaan dalam menjalankan CSR ditandai dengan penempatan petugas yang bekerja untuk menjangkau masyarakat dalam proses ini. Petugas ini berperan sebagai fasilitator masyarakat yang mengakomodasi kepentingan masyarakat dan perusahaan. Dalam konteks CSR istilah fasilitator juga
6
disebut sebagai community worker atau pendamping. Paradigma CSR lama yang masih bersifat voluntary pada akhirnya menempatkan pendamping hanya sebagai mediator perusahaan kepada masyarakat dalam menjalankan program CSR. Padahal urgensi pengembangan kinerja fasilitator masyarakat sudah direspon baik oleh pemerintah seiring dengan berkembangnya pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh pelbagai stakeholders. Dimana terdapat Peraturan Menteri Tenaga kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 2012 tentang penetapan rancangan Standar Nasional
Indonesia
(SKKNI)
sektor
jasa
Kompetensi Kerja
kemasyarakatan
bidang
pemberdayaan masyarakat untuk jabatan fasilitator pemberdayaan masyarakat menjadi Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia. Peraturan ini merupakan desain dalam mengkerangkai kinerja fasilitator masyarakat yang lebih profesional. Adapun SKKNI terbagi atas 3 (tiga) kelompok kompetensi, yaitu: kelompok kompetensi umum, kelompok kompetensi inti dan kelompok kompetensi
khusus.
Seluruh
kompetensi
ini
diharapkan
mampu
dipertanggungjawabkan secara profesional dan memberikan manfaat bagi masyarakat, institusi pengguna jasa maupun fasilitator masyarakat itu sendiri. Selain itu, Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (PROPER) selama ini juga konsen memasukan community development sabagai salah satu komponen penting dalam melihat kinerja perusahaan. Namun
demikian
PROPER
(Program
Penilaian
Peringkat
Kinerja
Perusahaan) belum sepenuhnya mampu mendorong perusahaan untuk memberikan peran yang strategis terhadap pengembangan community
7
development.
Berdasarkan cuplikan pidato Menteri Negara Lingkungan
Hidup pada waktu peluncuran buku A Journey to Gold, 22 Agustus 2013 mengungkapkan bahwa jumlah perusahaan yang mencapai 221.875 perusahaan (berdasarkan Data Badan Pusat Statistik tahun 2011), maka paling tidak diperlukan pengawas lingkungan hidup sebanyak 25.000 orang untuk dapat memastikan pendekatan command & control ini berlangsung dengan baik. Saat ini baru ada kurang lebih 1825 Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup di Indonesia. Sebanyak 82 % PPLH berada di Provinsi dan Kabupaten kota, tetapi hanya 30 % dari jumlah ini yang masih aktif, sisanya mutasi ke tempat lain atau pensiun. Dengan kata lain dapat dilihat selama ini CSR yang masuk ke dalam kerja Kementerian Lingkungan Hidup belum mampu mendorong pengawasan terhadap kinerja perusahaan termasuk kinerja community development yang ada di dalamnya. Sedangkan PROPER sendiri dalam aspek community development memiliki bobot penilaian terhadap pendamping masyarakat. Dimana perusahaan dituntut mempunyai bagian khusus yang menangani CD, dan bagian itu bekerjasama secara efektif dengan bagian lain yang terkait. Pentingnya kehadiran bidang community development dalam suatu intitusi bisnis ini yang coba didorong dengan adanya reward CSR melalui PROPER. Selain itu penerapan konsep CSR dalam pelaksanaan kerja sektor privat merupakan bentuk investasi sosial yang di petakan dalam 3P (people, planet, provit). Pentingnya kehadiran community development bukan semata sebagai pelengkap dalam berjalannya suatu institusi perusahaan, juga merupakan bagian dari komitmen perusahaan untuk berkontribusi terhadap
8
lingkungan dan masyarakat sekitar perusahaan selama menjalankan produksi usahanya. Aspek sustainability adalah bagian yang harus diwujudkan dalam pelaksanaan community development. Dimana suatu program community development tidak selalu mengenai kegiatan charity yang umumnya dilakukan perusahaan. Kegiatan charity ini dianggap lebih efisien dan praktis dilihat dari anggaran yang harus dikeluarkan lebih lanjut. Namun demikian sifatnya yang hanya top down tidak mampu memberikan implikasi yang nyata terhadap kemajuan suatu masyarakat yang menjadi sasaran program. Dengan demikian pemberdayaan adalah suatu agenda besar yang ingin coba ditekankan dalam PROPER. Pemberdayaan ini dianggap lebih menjamin terwujudnya suatu program yang berkelanjutan dan memberikan pengaruh pada suatu kondisi masyarakat kearah yang lebih baik. Penempatan divisi khusus yang menangani community development juga coba ditangkap oleh perusahaan Joint Operating Body (JOB) PertaminaMedco E&P Tomori Sulawesi. Perusahaan ini berada dibawah pengawasan pemerintah dalam hal ini SKKMIGAS. Perusahaan JOB Pertamina-Medco E&P Tomori Sulawesi merupakan gabungan antar beberapa perusahaan yang tergabung
dalam
Kontraktor
Kontrak
Kerjasama
(KKKS).
Adapun
perusahaan tersebut mencakup Pertamina dan Medco, perusahaan ini kemudian melakukan kegiatan Explorasi dan Eksploitasi di lapangan Gas Senoro dan Lapangan Minyak Tiaka dan Grupa yang hasilnya dipergunakan sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat Indonesia. Lokasi eksplorasi dan eksploitasi sendiri berada di Kabupaten Luwuk (Banggai) Sulawesi Tengah. Daerah ini memiliki jumlah penduduk pada Tahun 2008 tercatat sebesar
9
300.105 jiwa, terdiri dari penduduk laki-laki 150.890 jiwa dan perempuan 149.215 jiwa. Dengan tingkat kepadatan mencapai 31 jiwa per-Km. Kehadiran perusahaan MIGAS JOB Tomori memunculkan dampak bagi masyarakat Luwuk (Banggai) khususnya masyarakat sekitar eksploitasi MIGAS. Dampak ini berupa hal yang positif berupa kemajuan daerah dengan kehadiran tambang, terutama kemajuan infrastruktur seperti jalan. Namun disisi lain terdapat dampak negatif seperti munculnya konflik antara masyarakat dengan perusahaan. Salah satu pemicu konflik adalah banyaknya tuntutan masyarakat mengenai tenaga kerja dan distribusi pengembangan masyarakat. Setidaknya berdasarkan pengalaman penulis selama 1 (satu) bulan berada disana terdapat 2 (dua) kali kejadian, dimana masyarakat melakukan demo dengan memblokade jalan dan membatasi lintasan bagi kendaraan khususnya mobil ber-plat hitam yang biasanya disewa oleh perusahaan. Berlangsung juga pertemuan antara masyarakat dan pihak perusahaan
yang
didalamnya
terdapat
tuntutan
masyarakat
yang
menginginkan penyamarataan distribusi pelaksanaan community development diwilayah sekitar tambang. Ironi juga muncul diwilayah ini dimana sering sekali terjadi kelangkaan pasokan minyak oleh Pertamina, padahal wilayah ini merupakan wilayah tambang minyak. Hal ini dikarenakan belum adanya perusahaan MIGAS yang melakukan produski secara langsung di Indonesia. Sehingga walaupun banyak perusahaan MIGAS di wilayah ini hanya sebatas melakukan eksplorasi dan eksploitasi yang sifatnya adalah produksi hulu. Hal ini pula yang belum banyak dipahami oleh masyarakat sehingga semakin menegaskan konflik sosial yang terjadi antara masyarakat dengan perusahaan.
10
Dibeberapa lokasi terdapat penjual minyak eceran yang berjejer dengan jarak tidak lebih dari 3 (tiga) meter tiap penjualnya seperti gambar dibawah ini.
Gambar 01: Penjual BBM Eceran Sepanjang Jalan KM 5 Luwuk-Banggai
Berbagai konflik sosial ini kemudian disadari betul oleh JOB Tomori sehingga komitmen perusahaan untuk melaksanakan Corporate Social Responsibility tertuang dalam pembentukkan divisi khusus Community Development (ComDev). ComDev ini merupakan salah satu engagement terhadap masyarakat yang sifatnya investasi sosial yang berkelanjutan. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk menjaga keselarasan dengan masyarakat, sehingga pelaksanaan produksi berjalan dengan lancar. Perusahaan berupaya untuk melakukan pendekatan kepada masyarakat dengan mekanisme pemberdayaan. Hal ini dirasa lebih efektif dibanding dengan hanya sebatas bantuan charity yang sifatnya mobile. Konsekuensi dalam menjalankan program
pemberdayaan
dalam
pelaksanaan
CSR
adalah
kehadiran
pendamping lapangan. Dengan demikian JOB Tomori menempatkan
11
beberapa pekerja yang khusus melakukan community development disekitar wilayah eksplorasi dan eksploitasi MIGAS. Selama
ini
peran
pendamping
dalam
Corporation-Society
Engagement yang tertuang dalam program CSR hanya dipahami sebagai penyambung lidah perusahaan. Fenomena penempatan pendamping ditengah masyarakat juga menarik untuk dilihat, dimana masih terlihat bahwa penempatan orang yang bekerja dibidang ini adalah orang-orang yang dianggap tidak memiliki kompetensi. Padahal jika ditelaah lebih lanjut peran pendamping ini sangatlah krusial, dimana pendamping memiliki fungsi menentukan arah input maupun output program CSR yang dilaksanakan oleh sebuah perusahaan. Pergeseran konsep CSR saat ini, penempatan pendamping lapangan bukan hanya sebagai peran yang kondisional, namun lebih bersifat profesional. Dengan demikian penelitian ini mencoba melihat sejauhmana posisi dan peran pendamping dalam konteks corporate - society engagement. Dimana selama ini pekerjaan pendamping dekat dengan peran seperti; hanya sekedar menjalankan instruksi perusahaan, pendamping seolah tidak dapat mengintervensi kebijakan perusahaan, hanya sebagai broker perusahaan dan tidak memiliki agency yang kuat. Maka penelitian ini mencoba melihat posisi pendamping dalam corporate - society engagement. Selama ini relasi antara perusahaan dan masyarakat selalui diindentikkan dengan relasi subjek dan objek. Masyarakat seolah hanya menjadi proyek penyejahteraan dalam rangka memenuhi tuntutan legal yang menghimbau pelaksanaan CSR. Dalam membangun relasi yang berimbang antara perusahaan dan masyarakat,
12
pendamping haruslah memiliki nilai-nilai keagenan yang muncul dari kesadaran yang dibangun baik dari pengalaman maupun kompetensi akademik yang berkaitan dengan bidang pemberdayaan masyarakat. Dengan agency, pendamping mampu menempati posisi yang strategis untuk menjembatani kepentingan perusahaan dan masyarakat melalui program CSR. Dengan demikian perlu rasanya melihat sejauhmana reposisi yang dimiliki pendamping ini terjadi dalam implementasi CSR JOB PertaminaMedco E&P Tomori Sulawesi. Reposisi yang dimaksud berkaitan dengan nilai-nilai keagenan yang dimiliki pendamping dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Dimana selama ini seolah-olah pendamping hanya menjalankan apa yang menjadi aturan kerja perusahaan. Penelitian ini dilakukan dengan melihat arah kebijakan perusahaan dalam memposisikan pendamping. Selain itu juga dalan rangka memperkuat hasil kajian mengenai peran pendamping dalam corporate - society engagement, perlu rasanya melihat secara konkret pelaksanaan pendampingan salahsatunya di Desa Sinorang dan tanggapan atau respon masyarakat akan keberadaan pendamping dalam proses implementasi program CSR JOB Pertamina-Medco E&P Tomori Sulawesi.
D. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka sebenarnya penelitian ini mencoba untuk menjawab pertanyaan berikut:
Bagaimana posisi pendamping lapangan dalam proses corporate-society engagement di JOB Pertamina-Medco E&P Tomori Sulawesi?
13
Bagaimana pendamping lapangan memerankan agency dalam proses tersebut?
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan Dengan mendasarkan pada permasalahan yang telah dipaparkan maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengetahui posisi dan peran pendamping dalam relasi corporate-society engagement yang dilakukan JOB Pertamia-Medco E&P Tomori Sulawesi 2. Mengidentifikasi dan mengkonfirmasi seberapa besar peran keagenan yang dimiliki oleh pendamping dalam implementasi program CSR dengan pendekatan corporate-society engagement. 3. Dapat menggambarkan relasi skematik antara perusahaan, pendamping, masyarakat dalam pelaksanaan program CSR dengan pendekatan CSE. 4. Mengetahui besaran indeks kepuasan masyarakat (IKM) terkait dengan program dan kinerja pendamping lapangan dalam pelaksanaan CSR yang dilakukan JOB Pertamina-Medco E&P Tomori Sulawesi
Manfaat Berdasarkan permasalahan yang menjadi fokus kajian penelitian dan tujuan penelitian yang ingin dicapai, maka penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut:
14
1. Manfaat Teoritis Secara teoritis penelitian ini diharapkan mampu menambah informasi atau wawasan yang lebih konkrit bagi ranah akademisi dan pelaku ekonomi, khususnya yang terlibat langsung dalam pelaksanaan CSR yaitu perusahaan, masyarakat penerima program CSR dan pendamping masyarakat. Penelitian ini juga diharapkan memberikan sumbangan pemikiran ilmiah bagi pengembangan ilmu pengetahuan mengenai peran pendamping dalam corporation-society engagement.
2. Manfaat Praktis a. Dapat menjadi bahan prototype bagi perusahaan dalam menjalankan program CSR. Dimana peran pendamping tidak hanya sebagai pelengkap
struktur
dalam
pemberdayaan sebagai
pelaksanaan
CSR,
lebih
dari
itu
agenda besar dalam pelaksanaan CSR
menempatkan pendamping sebagai aktor yang krusial. Pendamping berada di “ruang ketiga” dalam relasi corporation-society engagement. Dimana perusahaan dan masyarakat bukanlah aktor yang terpisah secara kepentingan, justru keduanya memiliki keterkaitkan yang difasilitasi
oleh
pendamping.
Dengan
adanya
reposisi
peran
pendamping dalam pelaksanaan CSR, harapannya mampu semakin memaksimalkan efektivitas program CSR dalam penyelesaian masalah sosial serta mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan. b. Menjadi alat untuk menyadarkan perusahaan dan masyarakat, bahwa keduanya memiliki posisi yang setara. Relasi keduanya adalah relasi
15
intersubjektif, dimana perusahaan memposisikan masyarakat sebagai subjek yang aktif dalam menentukan kebijakan-kebijakan CSR oleh perusahaan maupun sebaliknya. Dengan adanya penelitian ini, diharapkan semakin memperkuat relasi keduanya yang setara dan saling memberikan impact.
F. Tinjauan Pustaka Adapun beberapa tinjauan pustaka yang menjadi rujukan dalam penelitian didasarkan pada temuan-temuan pada penelitian sebelumnya. Salah satu hasil penelitian tersebut mengenai persepsi masyarakat terhadap peran program
community
development
PT.
IPMOMI
PAITON
sebagai
implementasi community relations dalam membina hubungan dengan komunitas oleh Arbuatin Nurrizqi Amelia Tahun 2009. Penelitian ini mencoba
mengetahui
persepsi
dan
kontribusi
masyarakat
terhadap
implementasi program community development sehingga dapat diketahui bagaimana hubungan komunitas (masyarakat) dengan perusahaan. Selain itu juga terdapat penelitian yang dilakukan oleh Erwinton Simatupang tahun 2014 mengenai creating shared value (CSV) di perusahaan manufaktur dengan melihat perencanaan, implementasi, dan partisipasi masyarakat dalam program pemberdayaan petani kedelai hitam oleh Yayasan Unilever Indonesia (YUI). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa dalam proses perencanaan program pemberdayaan kedelai hitam, YUI yang bermitra dengan UGM memainkan peran yang begitu dominan. Pada awalnya partisipasi para petani sangatlah minim, namun pasca dilakukannya kegiatan
16
percobaan penanaman, program pemberdayaan kedelai hitam mulai berjalan. Kegiatan sosialisasi, pelatihan, pendampingan, pelatihan serta monitoring dan evaluasi tetap dilakukan setiap tahunnya saat masa tanam kedelai hitam. Para petani kemudian dalam implementasi program tersebut berpartisipasi secara aktif. Dengan kata lain penelitian mampu mendeteksi sejauhmana creating shared
value
yang
dilakukan
perusahaan
pada
akhirnya
mampu
meningkatkan partisipasi masyarakat. Terdapat pula hasil penelitian oleh Ahmad Rokhoul Alamin tahun 2010 tentang analisis peran pendamping dalam Program Keluarga Harapan (PKH) pada suku Dinas Sosial Jakarta Utara. Dimana peran seorang pendamping yang menjadikan dirinya sebagai medioker, fasilitator, pendidik, pemungkin, sekaligus sebagai perwakilan bagi masyarakat yang mengupayakan agar masyarakat sebagai anggota/peserta PKH bida berdaya untuk membangun hidup mereka dari kemiskinan (problem) hidup secara mandiri. Pendamping juga dituntut tidak hanya menjadi “manajer perubahan” yang mengorganisasi kelompok masyarakat, melainkan pula mampu melaksanakan tugas-tugas teknis dengan berbagai keterampilan dasar, seperti; melakukan analisis sosial, mengelola dinamika kelompok (masyarakat),menjalin relasi, bernegosiasi, berkomunikasi, memberi konsultasi, dan mencari serta mengatur sumber dana. Sejauh yang diketahui penulis dari semua hasil penelitian yang dibahas di atas, belum ada yang secara eksplisit melakukan penelitian terkait peran pendamping lapangan dalam pelaksanaan CSR. Selain itu belum ada pendekatan corporate-society engagement yang menempatkan pendamping
17
tidak sekendar menjadi perantara, tapi sosok yang dianggap memiliki kapasitas dan agency dalam melaksanakan tugasnya.
G. Landasan Teori 1. Pendamping: Fasilitator Dalam konteks masyarakat yang mengalami krisis, pendampingan sangat dibutuhkan untuk melakukan pemulihan. Pendamping menjadi fasilitator yang mengambil peran sebagai perantara atau katalisator yang mempercepat proses belajar dan peningkatan kesejahteraan (Sumpeno, 2009:3). Fasilitasi yang dilakukan pendamping meliputi: pertama, membina masyarakat yang mengalami krisis menjadi suatu kolektivitas yang berorientasi pada perbaikan kehidupan;
kedua,
sebagai
pemandu,
penghubung
dan
penggerak
(dinamisator) dalam pembentukan kelompok masyarakat dan pembimbing pengembangan kegiatan kelompok. Peran fasilitasi ini penulis gunakan untuk menjelaskan kegiatan para pendamping JOB Tomori di Desa Sinorang. Para pendamping yang tergabung dalam divisi Community Development melakukan fasilitasi untuk mengatasi persoalan-persoalan yang muncul di masyarakat, terutama dalam konteks implementasi program-program CSR. Pendampingan dan fasilitasi dilakukan untuk mendorong partisipasi aktif warga masyarakat yang berorientasi pada proses pemberdayaan dan sustainabilitas. Di sinilah peran pendamping dibedakan dari divisi humas (public relation) yang hanya menjadi “juru bicara” perusahaan, sementara ComDev lebih banyak terjung langsung ke masyarakat melalui program-program pemberdayaan.
18
Seorang fasilitator memiliki berbagai cara dalam menghadapi masyarakat dan perubahannya. Kecakapan dalam menghadapi pelbagai situasi ini membutuhkan etos kepemimpinan, termasuk kepemimpinan dalam mengatasi konflik
yang
menggambarkan masyarakat,
di
terjadi
di
masyarakat.
karakter-karakter antaranya
Ada
beberapa
kepemimpinan
Diamond
Model,
model
fasilitator
karakter
untuk dalam
kepemimpinan
transformatif dimana tindakan-tindakan fasilitator didasari oleh beberapa asumsi, yaitu: vision, courageness, reality, dan ethics. Keempat asumsi itu digunakan fasilitator dalam menghadapi perubahan situasi dan dinamika yang terjadi di masyarakat. Model ini mendorong kinerja tim dalam menghadapi berbagai tantangan dan peluang yang ada. Pendampingan dan fasilitasi kadang berjalan secara parallel dalam bentuk dukungan berupa dana, tenaga, peralatan, dan metodologi dalam berbagai program
pembangunan
dan
pengentasan
kemiskinan.
Pendampingan
dilakukan untuk menumbuhkan partisipasi dan kemandirian masyarakat. Oleh karena itu, pendamping dituntut memiliki keahlian dan kompetensi untuk mentransfer pengetahuan kepada masyarakat agar berdaya. Beberapa keahlian yang wajib dimiliki pendamping adalah kemampuan menggali potensi dan kebutuhan masyarakat, memecahkan masalah, mengajak masyarakat untuk berpikir, membangun jaringan kerja, mengajari kemandirian dan pengambilan keputusan, dapat menghayati kebutuhan masyarakat, menyadari kekuatan dan kelemahan diri, bekerja dengan penuh tanggung jawab, dan professional. Secara umum, ada enam karakter yang melekat pada seorang pendamping atau fasilitator (Sumpeno, 2009:55): pembelajar, fasilitator berperan dalam
19
membangun proses yang membuat parapihak yang berkonflik dapat mengidentifikasi dan menentukan preferensi dalam penyelesaian konflik serta menemukan aspek-aspek yang dijadikan pembelajaran; mediator, menjadi pihak ketiga yang netral dalam membangun suasana egaliter dan dialogis antarpihak; kreatif dan inovatif, menorong upaya menemukan formulasi penyelesaian konflik secara kreatif dan inovatif sehingga menghasilkan keputusan yang bermanfaat bagi semua pihak; narasumber, menguasai sesuatu isu atau topic tertentu yang menjadi keahliannya yang digunakan sebagai masukan kepada parapihak untuk dipertimbangkan; perubah, mendorong pihak-pihak yang terlibat dalam permasalahan untuk membangun visi dan harapan masa depan yang lebih baik; negosiator, dapat mengajukan penawaran dan konsesi agar-agar masing-masing pihak yang ditengahi dapat menemukan titik sepakat dengan cara sharing dan distribusi sumber daya untuk penyelesaian permasalahan. 2. Dualitas Agen - Struktur Dalam Constitutions of Society:Outline of The Theory of Structuration, Anthony Giddens (1984) mengenalkan konsep dualitas dalam relasi agen – struktur. Agen merujuk pada realitas di tingkat mikro (manusia individual) maupun kolektivitas (makro). Sementara struktur adalah aturan (rules) dan sumber daya (resources). Agen dicirikan sebagai pelaku atau subyek yang memiliki kemampuan reflektif dan stock of knowledge untuk memproduksi dan mereproduksi tindakan-tindakan mereka. Struktur diidentifikasi sebagai aturan dan sumber daya yang terbentuk dari praktek sosial yang terus mengalami keterulangan (rutinisasi). Konsep dualitas sendiri sebenarnya
20
merupakan kritik terhadap dualisme yang selama ini melekat pada bangunan teori-teori sosial.2 Pembentukan struktur baru sebagai hasil dari dualitas agen – struktur ini disebut sebagai strukturasi. Teori strukturasi mengidealkan adanya konsensus, suatu irisan antara agen dan
struktur
untuk
kemudian
membentuk
struktur
baru.
Giddens
mengungkapkan bahwa bidang dasar dalam ilmu sosial bukanlah pengalaman aktor individual atau bentuk-bentuk kesatuan sosial tertentu, melainkan praktik sosial yang diatur melintasi ruang dan waktu. Senada dengan Giddens, Bernstein (1989: 23) menguatkan bahwa tujuan fundamental teori strukturasi adalah menjelaskan hubungan dialektis antara agen dan struktur. Dalam konteks relasi ini, terjadi hubungan resiprokal antara agen dengan struktur. Struktur dalam pandangan Giddens berbeda dengan tatapan kaum strukturalis yang cenderung melakukan pembatasan an sich (constraining), tetapi juga membebaskan dan memberdayakan (enabling). Penulis menggunakan Teori Strukturasi untuk melihat peran pendamping (Divisi Community Development) dalam implementasi program CSR yang dilakukan oleh JOB Tomori terhadap masyarakat di Desa Sinorang, sebuah wilayah di kawasan sekitar perusahaan. Pendamping berada dalam relasi dua aktor utama, yaitu perusahaan dan masyarakat. Pendamping diposisikan sebagai
mediator
yang
memungkinkan
dualitas
berlangsung
untuk
membangun konsensus antara perusahaan dan masyarakat. Bercermin pada kasus JOB Tomori, ada relasi yang kurang simpatik antara perusahaan dan masyarakat. Aksi protes yang mengarah pada konflik telah mengeras menjadi 2
Anthony Giddens. Constitutions of Society: Outline of The Theory of Structuration. London: polity Press, 1997.
21
sikap resistensi masyarakat terhadap perusahaan. Dalam situasi inilah peran pendamping dibutuhkan untuk melakukan mediasi. Sebagai mediator, pendamping sendiri terus bernegosiasi dengan norma dan aturan perusahaan (struktur) sekaligus aturan yang berlaku di masyarakat sehingga melahirkan aturan baru yang disepakati. Sebagaimana konsepsi dualitas yang dirumuskan Giddens, relasi pendamping sebagai aktor dan aturan yang berlaku, baik perusahaan maupun masyarakat, berlangsung terus menerus dan saling mempengaruhi membentuk praktik sosial. Di sini, praktik sosial dimaknai sebagai relasi keseharian antara aktor dan struktur. Menurut Giddens, relasi aktor – struktur didasari oleh kesadaran diskursif (discursive consciousness) dan kesadaran praktis (practical consciousness) sang aktor.3 Melalui kesadaran inilah aktor memiliki agency (keagenan), sebuah kemampuan untuk melakukan negosiasi dengan struktur. Kemampuan negosiasi ini menggambarkan otoritas yang dimiliki pendamping terhadap aturan-aturan yang diberlakukan perusahaan dan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Hubungan yang terjalin antara pendamping dan perusahaan serta masyarakat terbentuk karena dikerangkai oleh dua kesadaran tersebut. Kesadaran-kesadaran itu dapat diperoleh dari kemampuan melalui pendidikan
3
Gi d d e n s m e m b a gi tig a di m e n si k es a d a r a n d al a m diri akt o r, yaitu m o ti v asi tak sa d a r ( unconscious motives ) , k es a d a r a n pra k tis ( practical consciousness ) , da n k esa d a r a n dis k u rsif ( discursive consciousness ) . ‘ M o ti v asi tak sa d a r’ m e n y a n g k u t kei n gi n a n ata u ke b u t u h a n y a n g b e r p o t e nsi m e n g a r a h k a n ti n d a k a n, te t a pi bu k a n ti n d a k a n it u s e n d i r i .‘ K e s a d a r a n p r a k t i s’ m e n u n j u k p a d a g u g us p e n g e t a h u a n p r a k tis ya n g ti d a k se l al u bisa di u r ai. ‘Ke s a d a r a n d i s k u r s i f’ m e n g a c u p a d a k a p asitas m e r e fle ksik a n d a n m e m b e ri p e nj e lasa n ri nci sert a e ksp lisit atas ti n d a k a n (li h a t B. H e r r y Priy o n o, 2 0 0 2: 28 - 2 9).
22
(kompetensi) dan pengalaman yang dibentuk dalam konteks sosial tertentu. Penulis berasumsi, agency (keagenan) yang dimiliki aktor (pendamping) karena mereka memiliki kapasitas secara pengetahuan dan pengalaman sehingga meskipun mereka berada dalam struktur perusahaan, tetapi tetap memiliki otoritas dalam bertindak. Penelitian ini menunjukkan bagaimana pendamping memiliki ruang untuk berimprovisasi dalam menjalankan peran pendampingan. 3. Corporate-Society Engagement: Reorientasi CSR Peran
multistakeholder
dalam implementasi
program
CSR
yang
dicanangkan perusahaan menjadi komitmen yang terus dibangun. CSR adalah respons perusahaan terhadap kritik yang dilakukan masyarakat atas dampak yang ditimbulkan oleh aktivitas perusahaan (Susetiawan, 2012:3). Stateholder engagement dalam CSR, menurut David Grayson4, merupakan cara untuk meminimalisasi dampak negatif dan memaksimalkan dampak sosial dan lingkungan secara positif. Dengan substansi yang sama, penulis menggunakan istilah corporate-society engagement (untuk selanjutnya disingkat CSE) untuk menggambarkan pertautan antara perusahaan dan masyarakat. Pertalian perusahaan dan masyarakat membantah konsep-konsep CSR yang lebih cenderung menjadi socially responsible of business (Utting dan Marques dalam Susetiawan, 2012). Namun demikian pada dasarnya (Carol dalam Jamali, D. 2008) telah mengidentifikasi bahwa tanggung jawab sosial perusahaan mencakup klasifikasi berikut: 1) Ekonomi, misalnya berkaitan
4
http://www.som.cranfield.ac.uk/som/p13903/Think-Cranfield/2009/September 2009/Stakeholder-Engagement-and-Corporate-Responsibility. Diunduh pada tanggal 22 Oktober 2014, pkl 10.00 wib
23
dengan ROI (Return On Investment) pemegang saham, menciptakan pekerjaan dan pengupahan yang adil, menemukan sumberdaya baru, mempromosikan penggunaan teknologi berkelanjutan, inovasi dan menciptakan barang dan jasa yang baru. 2) Legal berkaitan dengan peran perusahaan memainkan peran sesuai dengan peraturan dan prosedur. 3) Ethical, diharapkan agar pelaku bisnis mempunyai moral, etika kerja dimana perusahaan berada. Etika ini harus sesuai dengan apa yang diatur dalam aturan formal, akan tetapi dapat memenuhi harapan masyarakat terhadap perusahaan. 4) Diskresionary berkaitan dengan penilaian, pilihan perusahaan dalam hal kegiatan yang diharapkan kembali kepada masyarakat. CSE menempatkan masyarakat (civil society) sebagai subjek utama dalam pembangunan. Dengan kata lain, CSR bukan kebijakan sepihak yang diskenariokan oleh perusahaan dengan distimulasi oleh pelbagai peraturan perundangan, tapi melibatkan masyarakat sekitar sebagai mitra yang didengar gagasannya serta diakomodasi kepentingannya. Masyarakat sendiri memiliki varian makna yang beragam. Setidaknya kita dapat membagi masyarakat ke dalam tiga bentuk, yaitu perkumpulan atau organisasi yang memiliki orientasi kepentingan ekonomi, organisasi yang basis urusannya berkait dengan pengaturan kepentingan-kepentingan individu dan layanan publik, dan paguyuban warga (Burgerliche gesellschaft)5.
Identifikasi dan pemetaan
terhadap masyarakat penting dilakukan untuk menentukan arah kebijakan dan implementasi program-program CSR. Dengan begitu, program-program yang diselenggarakan tidak out of context dan tepat sasaran. 5
Susetiyawan. “Implementasi CSR dalam Arena Civil Society” dalam Susetiawan (ed.). Corporate Social Responsibility: Komitmen untuk Memberdayakan Masyarakat. Yogyakarta: Azzagrafika
24
Pada awal kelahirannya, CSR lebih cenderung sebagai kewajiban moral perusahaan. Akan tetapi, sebenarnya, CSR tidak muncul secara tiba-tiba. Ia menjadi komitmen universal dan mendapat persetujuan bersama secara global. Bahkan, sejarah tentang tanggung jawab sosial dan lingkungan terkait bisnis sudah dimulai sejak Mesopotamia kuno sekitar tahun 1700 SM (Suparjan, 2012: 31). Dalam perkembangannya, CSR dilekati konsep pemberdayaan dengan kesadaran untuk melakukan transformasi di bidang sosial-ekonomi masyarakat. Idealitas mewujudkan pemberdayaan seringkali terhambat oleh beberapa
sebab,
salah
satunya
adalah
interfensi
penguasa
dalam
penyelenggaraan CSR. Meskipun di sisi lain, peran negara menjadi penting karena memiliki kekuatan untuk menerbitkan aturan-aturan yang dapat mendorong
perusahaan
melaksanakan
CSR
sebagai
bentuk
pertanggunjawaban sosial. Agar sasaran program CSR dapat tercapai, perusahan membutuhkan kapasitas sumber daya manusia yang berperan dalam pelaksanaan programprogram CSR yang dapat diimplementasikan secara efektif. Ironisnya, banyak perusahaan yang belum mengembangkan secara serius untuk melaksanakan program-program CSR. Beberapa di antaranya hanya menempatkan lembaga di bawah kehumasan dan ditangani secara ad hoc. Belum banyak perusahaan yang menempatkan orang-orang dengan performa dan kinerja yang baik, yang secara khusus dan profesional menangani implementasi CSR. Kehadiran para pendamping, medioker, atapun fasilitator yang bertugas menjadi jembatan penghubung antara perusahaan dan masyarakat mutlak dibutuhkan.
25