2
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pada Hakekatnya, Proses Belajar Mengajar (PBM) merupakan proses komunikasi aktif antara siswa dengan guru dalam kegiatan pembelajaran. Menurut Gondo (2007), Pembelajaran adalah interaksi timbal balik antara siswa dengan guru dan antar sesama siswa dalam proses pembelajaran. Pengertian interaksi mengandung unsur
saling memberi dan menerima. Namun tidak hanya
diperlukan interaksi antara pengajar (guru) dengan pembelajar (siswa) saja, tetapi juga dibutuhkan interaksi keduanya dengan bahan ajar. Interaksi antara siswa dengan bahan ajar adalah proses belajar, dan interaksi antara guru dengan bahan ajar adalah pengolahan bahan ajar. Interaksi yang terjalin dengan baik antara ketiga komponen tersebut dapat memungkinkan ketercapaian tujuan pembelajaran yang maksimal. Klopfer (Rustaman, 2003) menyatakan bahwa : “Bagaimanapun IPA diajarkan, gurulah yang paling menentukan apa yang dipelajari siswa”. Berdasarkan pendapat tersebut, dapat kita ketahui bahwa dari ketiga komponen pembelajaran (guru, siswa, dan bahan ajar), komponen gurulah yang paling menentukan tercapai atau tidaknya tujuan suatu pembelajaran. Maka dari itu, seorang
guru
haruslah
mempunyai
melaksanakan suatu pembelajaran.
profesionalitas
yang
tinggi
dalam
3
Profesionalitas
seorang
guru
ditunjukkan
dengan
kemampuan
serta
keterampilannya dalam menjalankan perannya yang multifungsi dengan baik. Salah satunya adalah guru harus mampu menjadi seorang motivator bagi siswanya. Motivasi akan timbul apabila guru merupakan “Inspired Teacher” atau guru-guru yang mampu memberikan ilham dan “well designed texts” atau sumbersumber
yang
benar-benar
dirancang
dengan
baik.
Diharapkan
dengan
profesionalitas yang guru miliki, dapat memberikan kemudahan bagi siswa dalam memahami bahan ajar atau materi yang dinilai kompleks oleh siswa seperti Biologi. Menurut Omundsen (Sabaria, 2003 : 2) Biologi dikenal sebagai mata pelajaran yang membosankan dan sarat akan istilah-istilah serta terminologi juga hafalan yang banyak yang perlu diingat. Bahkan berdasarkan penelitian yang dilakukan Krynock dan Rob pada tahun 1996 (Sabaria, 2003 : 2), diketahui bahwa banyak sekali siswa, terutama siswa laki-laki yang tidak meminati Biologi karena dianggap sebagai mata pelajaran yang tidak mudah dicerna oleh pikiran mereka. Seorang guru Biologi perlu memotivasi siswanya agar senang belajar Biologi, memberi penguatan, dan memperlihatkan bahwa belajar Biologi yang baik bukan dengan cara menghapal (Rustaman, 2003 : 15). Agar dapat menarik motivasi siswa, guru juga dapat menggunakan keterampilannya dalam mengolah bahan ajar. Yaitu dengan menyajikan sumber belajar dalam kemasan yang atraktif sebagai media pembelajaran. Ada banyak jenis media pembelajaran, salah satunya adalah media Audio (Tape recorder) juga media Visual (Gambar). Dengan menggunakan media yang bersifat Audio, sama halnya dengan siswa mendengarkan ceramah dari gurunya. Media ini lebih
4
menekankan pada kata-kata yang memungkinkan siswa hanya menggunakan otak untuk mengingat kata-kata saja (off-line), sedangkan siswa seharusnya diajarkan untuk berkreasi dan berpikir sendiri. Untuk itu, media yang bersifat visual, misalnya gambar/komik ilmiah sangatlah cocok. Karena siswa dapat belajar memadukan unsur kata-kata dengan gambar (on-line), sehingga siswa lebih mudah untuk memahami dan mengingat pelajaran. Menurut Wibawa (1991 : 28), media visual memilki beberapa kelebihan, yaitu : umumnya murah harganya, mudah didapat, mudah digunakannya, dapat memperjelas suatu masalah, lebih realistis, dapat membantu mengatasi keterbatasan pengamatan, serta dapat mengatasi keterbatasan ruang dan waktu. Diantaranya bahwa penggunaan gambar dapat merangsang minat/perhatian siswa dan dapat membantu siswa mengingat isi informasi bahan-bahan verbal yang menyertai proses belajar mengajar. Selain itu, penelitian Kurniawati (2003 : 64) membuktikan bahwa pengunaan buku komik dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam pembelajaran bahasa. Penggunaan media ini akan lebih menarik perhatian siswa, karena dengan melihat gambar, siswa sudah dapat menangkap alur cerita yang ada di dalamnya. Belajar hapalan memungkinkan siswa dapat mengerjakan evaluasi, tetapi kemudian siswa tersebut lupa. Menurut Dahar (Hassard, 2000), agar siswa lebih mudah memahami dan mengingat sebuah materi pembelajaran, diperlukan adanya keterkaitan antara konsep awal yang telah dimiliki siswa dengan informasi baru. Ausubel
yang
merupakan
pionir
dari
pembelajaran
secara
bermakna
mengungkapkan bahwa guru harus mengetahui konsep-konsep yang telah dimiliki para siswa supaya belajar bermakna dapat berlangsung, salah satunya dengan
5
menggunakan peta konsep sesuai gagasan Novak. Melalui pembentukan peta konsep sebagai media pembelajaran, maka telah diupayakan pengembangan dan pembentukan struktur kognitif siswa. Pokok bahasan sistem peredaran darah pada manusia merupakan salah satu pokok bahasan yang tergolong kompleks dan abstrak. Selain mempunyai cakupan yang luas, pokok bahasan ini juga sarat akan hapalan. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa materi Sistem Peredaran Darah pada Manusia diangkat sebagai materi penelitian. Hasil belajar yang rendah merupakan salah satu indikasi seberapa jauh siswa memahami pokok bahasan yang diajarkan. Hasil belajar yang minimal menunjukkan tingkat pemahaman siswa yang kurang terhadap pokok bahasan yang diajarkan. Informasi tentang hasil belajar dipandang sangat penting, karena salah satu ketercapaian tujuan pembelajaran adalah tercapainya hasil belajar siswa yang optimal. Untuk itu, peneliti memandang perlunya media peta konsep dan media komik ilmiah pada pokok bahasan sistem peredaran darah pada manusia, sehingga terciptakan pembelajaran mengenai konsep sistem peredaran darah pada manusia yang bermakna dan dapat diketahui bagaimana pengaruhnya terhadap hasil belajar siswa serta dapat meninjau media mana yang memberikan pengaruh yang lebih besar dalam menciptakan pembelajaran yang bermakna dalam pokok bahasan sistem peredaran darah pada manusia
6
B. Rumusan dan Batasan Masalah 1. Rumusan Masalah Rumusan masalah yang menjadi fokus pada penelitian ini adalah : “ Bagaimanakah perbandingan hasil belajar antara siswa SMA yang menggunakan peta konsep dengan komik ilmiah pada pokok bahasan sistem peredaran darah pada manusia?” Dari rumusan masalah diatas, dapat dijabarkan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut : a. Bagaimanakah hasil belajar siswa SMA sebelum dan sesudah pembelajaran sistem peredaran darah pada manusia dengan menggunakan peta konsep? b. Bagaimanakah hasil belajar siswa SMA sebelum dan sesudah pembelajaran sistem peredaran darah pada manusia dengan menggunakan komik ilmiah? c. Apakah terdapat perbedaan hasil belajar yang signifikan ? d. Bagaimanakah pengaruh dari media pembelajaran yang digunakan terhadap hasil belajar siswa? 2. Batasan Masalah Mengingat permasalahan diatas cukup luas, maka peneliti membatasi masalah peneltitian pada : a. Subjek penelitian adalah siswa kelas XI IPA 1 dan XI IPA 2 di SMAN 7 Bandung b. Materi pelajaran yang dijadikan sebagai bahan penelitian adalah konsep sistem peredaran darah pada manusia.
7
c. Komik ilmiah yang digunakan adalah komik yang dibuat khusus oleh peneliti untuk materi sistem peredaran darah pada manusia dan telah melalui proses penilaian dan koreksi oleh para ahli. d. Peta konsep dibuat oleh peneliti mengenai materi sistem peredaran darah pada manusia dan telah melalui proses penilaian dan koreksi oleh para ahli. e. Hasil belajar yang diukur adalah pretest, postest, dan indeks gain berdasarkan kemampuan kognitif. C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : a. Mengetahui perbandingan hasil belajar antara siswa yang menggunakan peta konsep dengan siswa yang menggunakan komik ilmiah pada pokok bahasan sistem peredaran darah pada manusia. b. Mengetahui pengaruh penggunaan media peta konsep dan media komik ilmiah terhadap hasil belajar siswa SMA. 2. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah : a. Bagi para guru biologi, diharapkan dapat mengetahui pengaruh pemberian media yang atraktif seperti komik ilmiah dan peta konsep terhadap hasil belajar siswa. Selain itu, juga diharapkan bahwa guru biologi dapat mengetahui perbandingan hasil belajar antara siswa yang menggunakan media peta konsep dengan media komik ilmiah pada pokok bahasan sistem peredaran darah pada manusia. Hasil dari penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan salah satu
8
alternatif bagi guru dalam menentukan media yang tepat untuk diaplikasikan di lapangan agar mempermudah guru dalam menciptakan pembelajaran yang bermakna. b. Bagi siswa, diharapkan dapat memberikan kemudahan dalam memahami pokok bahasan sistem peredaran darah pada manusia, sehingga tidak terjadi belajar hapalan melainkan belajar bermakna yang memperkuat konsep siswa. D. Asumsi Asumsi yang menjadi landasan penelitian ini adalah : 1. Media pembelajaran membangkitkan motivasi dan merangsang anak untuk belajar (Sudrajat : 2008). 2. Penggunaan media pembelajaran dapat membantu pemahaman siswa yang bersifat abstrak dan kompleks (Sudjana 2005 : 3). 3. Komik ilmiah dapat berfungsi sebagai pemancing minat belajar (Ekawati : 2007) 4. Keterlibatan peserta didik dalam pembelajaran dapat lebih bermakna dan mampu menciptakan penguasaan konsep yang kuat. 5. Nilai test siswa menunjukkan pemahaman siswa terhadap materi yang diajarkan. E. Hipotesis Penelitian Berdasarkan penjelasan diatas, maka peneliti mengajukan hipotesis bahwa hasil belajar siswa yang menggunakan komik ilmiah lebih tinggi dibandingkan hasil belajar siswa yang menggunakan peta konsep dalam pembelajaran sistem peredaran darah pada manusia.
9
BAB II PENGGUNAAN PETA KONSEP DAN KOMIK ILMIAH PADA PEMBELAJARAN SISTEM PEREDARAN DARAH PADA MANUSIA
A. Belajar dan Pembelajaran Belajar dan mengajar merupakan dua istilah yang sangat popular dalam dunia pendidikan. Kedua istilah itu mengacu kepada suatu proses yang terjadi dalam suatu rangkaian unsur yang saling terkait. Belajar berarti berusaha untuk mendapatkan kepandaian atau ilmu. Gagne (Adrian, 2004) dalam bukunya : The Conditioning of learning mengemukakan bahwa belajar adalah perubahan yang terjadi dalam kemampuan manusia setelah belajar secara terus menerus, dan bukan hanya disebabkan oleh proses pertumbuhan saja. Gagne (Adrian, 2004) berkeyakinan, bahwa belajar dipengaruhi oleh faktor dari luar diri dan faktor dalam diri dan keduanya saling berinteraksi. Purwanto (1995 : 5) juga mengemukakan bahwa belajar adalah setiap perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku, yang terjadi sebagai suatu hasil dari latihan atau pengalaman. Dari definisi-definisi dia atas dapat disimpulkan bahwa belajar adalah segenap rangkaian kegiatan atau aktivitas yang dilakukan secara sadar oleh seseorang dan mengakibatkan perubahan dalam dirinya berupa penambahan pengetahuan atau kemahiran berdasarkan alat indera dan pengalamannya. Oleh sebab itu, apabila setelah belajar, peserta didik tidak mengalammi perubahan tingkah laku yang positif dalam arti tidak memiliki kecakapan baru serta wawasan pengetahuannya tidak bertambah, maka dapat dikatakan bahwa belajarnya belum sempurna.
10
Banyak para ahli yang telah merumuskan pengertian belajar. Hal ini menimbulkan fenomena perselisihan yang wajar, karena adanya perbedaan titik pandang dan perbedaan situasi belajar yang diamati oleh para ahli. Secara umum, belajar merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, retensi, pengolahan informasi, emosi, dan faktor-faktor lain berdasarkan pengalamanpengalaman sebelumnya. Belajar merupakan suatu proses yang kompleks yang terjadi pada semua orang yang berlangsung seumur hidup. Belajar juga merupakan proses interaksi terhadap semua situasi yang ada di sekitar makhluk hidup. Berikut ini adalah beberapa teori belajar : 1. Teori belajar Bruner Menurut Bruner (Rustaman, 2001 : 5), proses belajar siswa terjadi dalam 3 fase, yaitu : fase informasi, fase transformasi, dan fase penilaian. Menurut Bruner (Abdillah, 2003), belajar bermakna hanya dapat terjadi melalui belajar penemuan. Pengetahuan yang diperoleh melalui belajar penemuan bertahan lebih lama dan mempunyai efek transfer yang lebih baik. Belajar penemuan meningkatkan penalaran dan kemampuan berpikir siswa secara bebas, dan melatih keterampilanketerampilan kognitif untuk menemukan dan memecahkan masalah. 2. Teori belajar Ausubel Menurut Ausubel (Hassard, 2000), belajar bermakna akan terjadi apabila informasi baru dikaitkan pada pengetahuan awal yang ada dalam struktur kognitif. Sedangkan belajar hapalan terjadi bila informasi baru tidak dapat dikaitkan pada konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitif, karena konsep-konsep
11
tidak mirip dengan informasi baru itu. Faktor-faktor utama yang mempengaruhi belajar bermakna menurut Ausubel adalah struktur kognitif yang ada, stabilitas, dan kejelasan pengetahuan dalam suatu bidang tertentu dan pada waktu tertentu. 3. Teori Belajar Gagne Menurut Gagne (Abdillah, 2003), perkembangan tingkah laku (behaviour) adalah hasil dari efek belajar yang kumulatif. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa belajar itu bukan merupakan proses tunggal dan tidak dapat didefinisikan dengan mudah, karena belajar bersifat kompleks. Gagne (Abdillah, 2003) mendefinisikan belajar sebagai mekanisme dimana seseorang menjadi anggota masyarakat yang berfungsi secara kompleks. Untuk itu, dibutuhkan kemampuan-kemampuan. Kompetensi atau kemampuan itu meliputi skill, pengetahuan, attitude (perilaku), dan nilai-nilai yang diperlukan oleh manusia, sehingga belajar adalah hasil dalam berbagai macam tingkah laku yang selanjutnya disebut kapasitas (outcome). Kemampuan-kemampuan tersebut diperoleh pembelajar (peserta didik) dari stimulus dan lingkungan, serta proses kognitif. Menurut Gagne (Abdillah, 2003), belajar dapat dikategorikan sebagai berikut : a. Verbal information ( Informasi Verbal ). Belajar informasi verbal merupakan kemampuan yang dinyatakan, seperti membuat label, menyusun fakta-fakta, dan menjelaskan. b. Intellectual skill ( Kemampuan Intelektual ). Kemampuan
intelektual
adalah
kemampuan
pembelajar
yang
dapat
menunjukkan kompetensinya sebagai anggota masyarakat, seperti menganalisa
12
berita-berita, membuat keseimbangan keuangan, menggunakan bahasa untuk mengungkapkan konsep, menggunakan rumus-rumus matematika. c. Attitude ( Perilaku ) Perilaku merupakan kemampuan yang mempengaruhi pilihan pembelajar (peserta didik) untuk melakukan suatu tindakan. Belajar melalui model ini diperoleh melalui pemodelan atau orang yang ditokohkan (diidolakan). d. Cognitive strategy ( strategi kognitif ) Strategi kognitif adalah kemampuan yang mengontrol manajemen belajar si pembelajar meliputi mengingat dan berpikir. Cara yang terbaik untuk mengembangkan kemampuan tersebut adalah dengan melatih pembelajar memecahkan masalah, penelitian, dan menerapkan teori-teori untuk memecahkan masalah yang nyata di lapangan. Istilah belajar mengajar adalah dua peristiwa yang berbeda, tetapi terdapat hubungan yang erat, bahkan terjadi kaitan dan interaksi yang saling mempengaruhi dan saling menunjang. Belajar, mengajar, dan pembelajaran terjadi bersama-sama. Belajar dapat terjadi tanpa guru atau tanpa kegiatan mengajar dan pembelajaran formal lain. Sedangkan mengajar meliputi segala hal yang guru lakukan di dalam kelas. Duffy dan Roehler (Syah, 1995 : 12) mengatakan bahwa apa yang dilakukan guru agar proses belajar mengajar berjalan lancar, bermoral, dan membuat siswa merasa nyaman merupakan bagian dari aktivitas mengajar, juga secara khusus mencoba dan berusaha untuk mengimplementasikan kurikulum dalam kelas. Sementara itu pembelajaran adalah suatu usaha yang sengaja melibatkan dan menggunakan profesional yang dimiliki guru utnuk
13
mencapai tujuan kurikulum. Jadi, pembelajaran adalah suatu aktivitas yang dengan sengaja untuk memodifikasi berbagai kondisi yang diarahkan untuk tercapainya suatu tujuan yaitu tercapainya tujuan kurikulum. Secara garis besar, ada tiga komponen penting dalam pembelajaran yaitu pengajar (guru), pembelajar (siswa), dan materi subjek (bahan ajar). Hubungan ketiga komponen tersebut dapat dijelaskan dalam gambar berikut :
Guru
Siswa
Bahan Ajar
Gambar 2.1. Hubungan antara Tiga Komponen dalam PBM (Sumber : Siregar dalam Herlanti, 2006 : 10) Dari ketiga komponen tersebut, guru memegang peranan penting dalam sebuah pembelajaran. Menurut Isjoni (2004), guru yang baik adalah guru yang mampu memenuhi 5 syarat, yaitu sebagai : 1. Planner, artinya guru memiliki program kerja pribadi yang jelas, program kerja tersebut tidak hanya berupa program rutin, seperti menyiapkan Rencana Pembelajaran, Satuan pelajaran, LKS, dan sebagainya. Tetapi juga harus merencanakan bagaimana setiap pembelajaran yang dilakukan berhasil dengan maksimal, dan tentunya apa dan bagaimana tencana yang dilakukan, dan sudah terprogram secara baik. 2. Inovator, artinya memiliki kemauan untuk melakukan pembaharuan dan pembaharuan yang dimaksud berkenaan dengan pola pembelajaran, termasuk di
14
dalamnya metode mengajar, media pembelajaran, sistem dan alat evaluasi, serta nurturant effect lainnya. 3. Motivator, artinya seorang guru mampu memiliki motivasi untuk terus belajar dan belajar, dan tentunya juga akan memberikan motivasi kepada anak didik untuk belajar dan terus belajar sebagaimana dicontohkan oleh gurunya 4. Capable personal, maksudnya guru diharapkan memiliki pengetahuan, kecakapan dan keterampilan serta sikap yang lebih mantap dan memadai sehingga mampu mengelola proses pembelajaran secara efektif 5. Developer, artinya guru mempunyai kemauan yang tinggi untuk terus mengembangkan diri, dan menularkan kemampuan dan keterampilannya kepada anak didiknya dan untuk semua orang. Selain itu, dikemukakan pula oleh Isjoni (2004) bahwa guru juga harus bertindak sebagai fasilitator; pelindung; pembimbing; dan mempunyai figur yang baik (disiplin, loyal, bertanggung jawab, kreatif, melayani sesuai dengan visi, misi yang diinginkan sekolah); termotivasi menyediakan pengalaman belajar bermakna untuk mengalami perubahan belajar berdasarkan keterampilan yang dimiliki siswa dengan berfokus menjadikan kelas yang konduktif secara intelektual fisik dan sosial untuk belajar; menguasai materi, kelas, dan teknologi; mempunyai sikap yang berciri khas “The Habits for Highly Effective People” dan “Quantum Teaching” serta pendekatan humanis terhadap siswa.
15
B. Media Pembelajaran 1. Arti dan Fungsi Media Kata “media” adalah bentuk jamak dari “medium”, yang berasal dari bahasa latin “medius”, yang berarti “tengah”. Dalam bahasa Indonesia, kata “medium” dapat diartikan sebagai “antara” atau “sedang”. Media adalah segala bentuk dan saluran yang dapat digunakan dalam suatu proses penyajian informasi (AECT Task Force dalam Latuheru, 1988 : 2). Hamidjojo (Latuheru, 1988 : 3) mengemukakan bahwa media adalah semua bentuk perantara yang digunakan oleh manusia untuk menyampaikan/menyebar ide, sehingga ide,atau pendapat, atau gagasan yang dikemukakan/disampaikan itu bisa sampai pada penerima. McLuhan (Wibawa, 1991 : 7) juga berpendapat bahwa media disebut sebagai saluran (channel), karena menyampaikan pesan (informasi) dari sumber informasi itu kepada penerima informasi. Dalam kehidupan masyarakat luas, media komunikasi memainkan peranan yang sangat penting, serta berfungsi dalam setiap aspek kehidupan manusia secara individu maupun masyarakat. Fungsi-fungsi media komunikasi menurut Latuheru (1988 : 6) antara lain: sosial, ekonomis, edukatif, seni budaya, dan hiburan. Sesuatu dapat dikatakan sebagai media pendidikan/pembelajaran apabila media tersebut digunakan untuk menyalurkan/menyampaikan pesan dengan tujuan-tujuan pendidikan dan pembelajaran. Jadi dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran adalah semua alat bantu atau benda yang digunakan dalam kegiatan belajar mengajar, dengan maksud untuk menyampaikan pesan (informasi)
16
pembelajaran dari sumber (guru maupun sumber lain) kepada penerima (anak didik atau warga belajar). Media pembelajaran adalah media yang penggunaannya diintegrasikan dengan tujuan dan isi pengajaran yang dimaksudkan untuk mempertinggi mutu kegiatan belajar-mengajar. Seorang guru harus berusaha agar materi pengajaran yang disampaikan dapat dengan mudah dicerna dan dimengerti oleh peserta didik. Untuk mempermudah peserta didik dalam memahami materi yang disampaikan oleh guru, maka diperlukan usaha guru agar peserta didik dapat menggunakan sebanyak mungkin alat indera yang dimilikinya. Makin banyak alat indera yang digunakan untuk mempelajari sesuatu, maka akan semakin mudah peserta didik mengingat apa yang telah dipelajarinya. Edgar Dale (Latuheru, 1988 : 16) yang terkenal dengan Kerucut Pengalaman (Cone of Experience) mengemukakan bahwa pengalaman belajar seseorang, 75 % dipengaruhi oleh indera penglihatan (mata); 13% melalui indera pendengaran (telinga); dan selebihnya melalui indera lain. Menurut Dale (latuheru, 1988 : 16), pengalaman seseorang berlangsung mulai dari tingkat yang konkrit (pengalaman langsung) menuju ke tingkat yang abstrak, dalam bantuk lambang kata, melalui tahapan atau tingkatan sebagai berikut :
s
17
10 LamBang kata 9 Visual/peta 8 Gambar/foto 7 Gambar tetap 6 Televisi Pameran Melalui Karyawisata
5 4 3 2 1
Melalui Demonstrasi Melalui Dramatisasi Pengalaman melalui benda tiruan Gambar 2.2. Tingkat Pengalaman Belajar ( Sumber : Dale dalam Latuheru, 1988 : 16 )
Menurut Dale (Latuheru, 1988 : 17), pada tingkat yang konkrit orang memperoleh pengalaman (belajar) dari kenyataan yang diperoleh dalam kehidupan.
Selanjutnya,
untuk
memperoleh
pengetahuan/pengalaman,akan
meningkat menuju ke tingkat yang lebih tinggi, yang akhirnya tiba pada puncak kerucut dimana pengalaman itu dapat diperoleh, walaupun hanya dalam bentuk simbol atau lambang-lambang kata. Selain itu, terdapat beberapa ahli yang juga mengemukakan pendapatnya mengenai kemampuan manusia memperoleh pengetahuan dengan menggunakan alat inderanya, antara lain Geoffry Wilson (Latuheru ,1988 : 19) mengemukakan bahwa pengalaman belajar seseorang sebanyak 82% diperoleh melalui indera penglihatan, 12% melalui indera pendengaran, dan 6% melalui indera lain.
18
3. Manfaat Media Pembelajaran Penggunaan media pembelajaran memberikan banyak kontribusi dalam ketercapaian suatu tujuan pembelajaran. Seperti yang dikemukakan oleh Sudjana (2005 : 2) bahwa bahan pengajaran akan lebih jelas maknanya sehingga dapat lebih dipahami oleh para siswa, dan memungkinkan siswa menguasai tujuan pengajaran yang lebih baik. Selain itu, menurut Sudjana (2005 : 2), dengan menggunakan media pembelajaran, maka metode mengajar akan lebih bervariasi, tidak semata-mata komunikasi verbal melalui penuturan kata-kata oleh guru, sehingga siswa tidak bosan dan guru tidak kehabisan tenaga juga dengan menggunakan media pembelajaran, siswa lebih banyak melakukan kegiatan belajar, sebab tidak hanya mendengarkan uraian guru, tetapi juga aktivitas lain seperti mengamati, melakukan, mendemonstrasikan dan lain-lain. Rustaman (2003 : 141) juga berpendapat bahwa media pembelajaran mempunyai fungsi diantaranya: a. Memperjelas dan memperkaya / melengkapi informasi yang diberikan secara verbal. b. Meningkatkan motivasi dan perhatian siswa untuk belajar. c. Meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyampaian informasi. d. Menambah variasi penyajian materi. e. Pemilihan Media yang tepat untuk menimbulkan semangat, gairah, dan mencegah kebosanan siswa untuk belajar. f Kemudahan materi untuk dicerna lebih membekas sehingga tidak mudah dilupakan siswa.
19
g. Memberikan pengalaman yang lebih konkrit bagi hal yang mungkin abstrak. h. Meningkatkan keingintahuan (curiousity) siswa. i. Memberikan stimulus dan mendorong respon siswa. Ada beberapa jenis media pengajaran yang biasa digunakan dalam proses pengajaran. Meskipun belum ada kesepakatan pasti mengenai klasifikasi media, namun beberapa ahli sudah melakukan pengelompokkan media pembelajaran. Adalah Bretz (Wibawa, 1991 : 21), salah satu ahli yang menggolongkan semua media pembelajaran kedalam 7 kelas, yaitu : media audio visual gerak, media audio visual diam, media audio semi gerak, media visual gerak, media visual diam, media audio, media cetak. Dalam
memilih
media
untuk
kepentingan
pengajaran,
sebaiknya
memperhatikan kriteria-kriteria sebagai berikut : a) Ketepatannya dengan tujuan pengajaran, artinya media pengajaran dipilih atas dasar tujuan-tujuan instruksional yang telah ditetapkan; b) Dukungan terhadap isi bahan pelajaran, artinya bahan pelajaran yang sifatnya fakta, prinsip, konsep, dan generalisasi sangat memerlukan bantuan media agar lebih mudah dipahami siswa; c) Kemudahan memperoleh media, artinya media yang diperlukan mudah diperoleh, setidak-tidaknya mudah dibuat oleh guru pada waktu mengajar; d) Keterampilan guru dalam menggunakannya, apapun jenis media yang diperlukan syarat utamanya adalah guru dapat menggunakannya dengan baik dalam proses pengajaran; e) Tersedia waktu untuk menggunakannya, sehingga media tersebut dapat bermanfaat bagi siswa selama pengajaran berlangsung; f) Sesuai dengan taraf berfikir siswa. (Sudjana, 2005 : 4) Memilih media untuk pendidikan dengan pengajaran harus sesuai dengan taraf berfikir siswa, sehingga makna yang terkandung di dalamnya dapat dipahami oleh para siswa.
20
C. Komik Ilmiah 1. Pengertian Komik Menurut Ensiklopedia Nasional Indonesia (1990 : 541), komik adalah perpaduan karya seni rupa atau seni gambar dan seni sastra yang berbentuk rangkaian gambar, masing-masing dalam satu kotak yang keseluruhannya merupakan rentetan satu cerita. Gambar-gambar itu pada umumnya dilengkapi balon-balon ucapan, dan ada kalanya masih disertai narasi sebagai pembahasan. Selain itu, komik juga dapat diartikan sebagai suatu bentuk kartun yang mengungkapkan karakter dan memerankan suatu cerita dalam urutan gambargambar yang berhubungan erat dan dirancang untuk memberikan hiburan kepada para pembaca (Sudjana, 2005 : 64). 2. Nilai Komik dalam Pembelajaran “Jangan baca komik, nanti kecanduan,” atau “Jangan baca komik, nanti malas belajar,” begitu mitos klasik mengenai komik yang masih sering terdengar sampai saat ini. Entah berawal sejak kapan dan bagaimana, mitos ini sangat kuat relevan dalam masyarakat. Sampai saat ini, tak sedikit orang tua yang menyita, merobekrobek, bahkan hingga membakar komik-komik yang tertangkap tangan dibaca atau disimpan oleh anak-anak mereka gara-gara terpengaruh mitos tersebut. Begitu pula para guru yang ‘membumihanguskan’ komik-komik yang kedapatan tangan dibaca oleh murid-murid mereka. Mitos ini pernah dipertanyakan relevansinya pada sebuah seminar di Jakarta delapan tahun yang silam. Dalam seminar bertema “Pengaruh Komik terhadap Minat Baca dan Imajinasi” itu para nara sumber dari berbagai unsur yang cukup representatif: dari kalangan pendidik,
21
psikolog dan budayawan seperti Prof. Soedjoko dari Fakultas Seni Rupa ITB, psikolog anak Henny Supolo Sitepu dan budayawan Jaya Suprana, ‘menggugat’ mitos yang menempatkan komik sebagai bacaan yang tabu atau bahkan “diharamkan” bagi anak-anak itu. Dari seminar tadi, pada umumnya para nara sumber pada seminar itu percaya bahwa jika ditinjau dari sisi positifnya, komik bermanfaat meningkatkan minat baca dan daya imajinasi anak-anak. Henny Supolo, misalnya, dengan bangga mengangkat contoh bahwa anaknya mengenal konsep keseimbangan milik filosofi China Yin Yang lewat komik Kura-Kura Ninja. Atau Jaya Suprana yang mengambil contoh dirinya sendiri yang mengaku mengenal seluk beluk cerita Mahabharata justru bukan dari buku-buku pelajaran di sekolah melainkan dari komik Mahabharata yang ditamatkannya saat berumur enam tahun. Pada seminar tersebut, Jaya Suprana juga berpendapat bahwa komik tak mampu berdosa atau berjasa tanpa ada yang merespon. Maka dapat disimpulkan bahwa pengaruh komik tergantung bagaimana bimbingan orang tua atau pemandu terhadap anak. Ada beberapa nilai yang dimiliki oleh komik (Prina, 2004 : 17) , antara lain: komik
merupakan
media
yang
sederhana,
jelas,
dan
mudah
dalam
menggambarkan rentetan peristiwa, cerita yang dikemas dalam komik sangat ringkas dan menarik perhatian, komik mudah dipahami karena untuk membacanya, siswa tidak perlu dibujuk, dan komik merupakan jembatan untuk menumbuhkan minat membaca.
22
Berikut merupakan beberapa hasil penelitian yang berkaitan dengan komik sebagai media pembelajaran : a. Hasil penelitian Prina (2004 : 59) yang berjudul “Perbandingan Hasil Belajar siswa yang Menggunakan Buku Paket dengan Siswa yang Menggunakan Buku Komik pada Konsep Hormon”, menunjukkan bahwa penggunaan komik sebagai media pembelajaran dapat meningkatkan hasil belajar yang lebih baik dibandingkan dengan penggunaan carta. b. Hasil penelitian Kurniawati (2003 : 64) berjudul “Keefektifan Media Komik Terhadap Kemampuan Menulis Karangan Narasi Siswa Kelas II SMKN 1 Cimahi”, menunjukkan bahwa media komik dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam menulis karangan narasi. c. Hasil penelitian Maulidan (Prina, 1004 : 17) membuktikan bahwa pembelajaran konsep lingkungan menggunakan buku suplemen
komik
lingkungan dapat meningkatkan pemahaman siswa. d. Hasil penelitian Yakti (Prina, 2004 : 18), menunjukkan bahwa penggunaan komik ilmiah dalam pembelajaran pencemaran lingkungan menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan penggunaan media gambar biasa. e. Hasil penelitian Winata (2003 : 72) yang berjudul “Efektivitas Penggunaan Komik Tanpa Teks dalam Kemampuan Menulis Karangan Narasi Eksperimen Kuasi pada Bidang Studi Bahasa Indonesia untuk Siswa Kelas III SMU YWKA”, membuktikan bahwa penggunaan metode konvensional kurang dapat meningkatkan kemampuan menulis karangan narasi.
23
3. Langkah – Langkah Membuat Komik Menurut Sutedjo (2005), terdapat 6 langkah pembuatan komik, yaitu: Langkah Pertama, menulis ide cerita yang akan dibuat. Pada tahapan ini juga ditentukan jalan cerita, tokoh, bagaimana awal cerita dan bagaimana akhir cerita. Langkah Kedua, menentukan gaya gambar. Jika sang tokoh akan dibuat dengan gaya realis, maka gambar yang akan dibuat harus mendekati kenyataan, baik itu bentuk maupun proposisinya. Jika tokoh yang akan dibuat mengikuti gaya kartun, maka bentuk dan proposisinya dibuat sesuai dengan imajinasi personal. Artinya, komikus tersebut dapat memilih gaya apapun yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginannya. Langkah Ketiga, menyesuaikan gambar sketsa dengan jumlah panel yang ditentukan dalam cerita. Hal yang perlu diperhatikan dalam menggambar sketsa adalah sudut pandang yang paling tepat untuk adegan yang dimaksud : apakah arah pandang itu dari atas, bawah, atau pandangan normal. Dan jangann lupa untuk membuat balon suara yang biasa mengisi suara sang tokoh. Selain itu, perhatikan pula jarak pandangnya : apakah jauh, dekat, atau menengah. Jarak pandang jauh akan menampilkan suasana yang luas, sedangkan pandangan jarak dekat dan close up lebih cocok digunakan untuk menggambarkan karakter, ekspresi wajah, atau tokoh pelaku cerita. Langkah Keempat, memperhalus gambar tersebut dengan menambahkan dan menyempurnakan detail yang mendukung gambar tersebut. Langkah Kelima, membuat outline, yakni garis pinggir atau garis tebal dari gambar tersebut. Langkah Keenam, setelah melakukan serangkaian tahapan tersebut, kemudian masuk ke dalam tahapan pewarnaan. Ada dua cara pewarnaan,
24
yaitu pewarnaan manual atau menggunakan komputer. Mewarnai cara manual dengan menggunakan cat. Untuk cara ini dilakukan dengan memberikan warna sesuai dengan keinginan. Sedangkan pewarnaan menggunakan komputer, ada beberapa tahapan yang mesti dilakukan. Pertama, scan gambar yang telah diberi outline dengan scanner. Adapun program yang dapat digunakan dalam proses ini adalah Corel Draw, Adobe Photoshop, dan Adobe Illustrator D. Peta Konsep ‘If I had to reduce all of educational psychology to just one principle, I would say this: The most important single factor influencing learning is what the learner already knows.’ (Ausubel dalam Abram, 1999) Dari kutipan mengenai pendapat Ausubel diatas, dapat kita ketahui bahwa belajar bermakna merupakan suatu proses mengaitkan informasi baru dengan konsep-konsep yang telah diketahui oleh seseorang sebelumnya. Ausubel dan Novak (Dahar dalam Novak, 2004) menyebutkan ada tiga kebaikan dari belajar bermakna, yaitu Informasi yang dipelajari secara bermakna lebih lama diingat, Informasi yang tersubsumsi berakibatkan peningkatan diferensiasi dari subsumersubsumer sehingga memudahkan proses belajar berikutnya untuk materi pelajaran yang mirip, serta Informasi yang dilupakan sesudah subsumsi obliteratif, menimbulkan efek residual pada subsumer sehingga mempermudah belajar halhal yang mirip, walaupun telah terjadi lupa. Peta konsep berkembang dari teori belajar bermakna yang dicetuskan oleh Ausubel (Novak, 2004). Hal ini juga diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Fonseca (2004) yang menjelaskan bahwa peta konsep merupakan sebuah alat untuk melakukan pembelajaran bermakna. Peta konsep menggambarkan
25
hubungan bermakna antara konsep dengan proposisi. Berbagai pendapat tentang peta konsep bermunculan seiring dengan gagasan dari Ausubel tersebut. Salah satu definisi tentang peta konsep didefinisikan oleh Winkel. Menurut Winkel (Sunaji dalam Daryanti, 2004 : 16), peta konsep atau disebut juga schemata adalah jaringan-jaringan konsep yang saling berhubungan secara hierarki dari yang paling inklusif ke yang lebih spesifik. Pendapat lainnya diberikan oleh Abram (1999) yang berpendapat bahwa peta konsep merupakan suatu alat skematis untuk mempresentasikan suatu konsep yang digambarkan dalam suatu proposisi. Pada dasarnya, pembuatan peta konsep disesuaikan dengan cara otak memproses informasi yang memfungsikan otak kanan dan otak kiri secara sinergis (bersamaan dan saling melengkapi) sehingga informasi lebih banyak dan lebih mudah diingat serta dipahami. Berdasarkan peta konsep yang digagaskan oleh Novak dan Gowan (Novak, 2004), konsep yang lebih luas dan inklusif, harus berada pada bagian atas peta. Sebaliknya, konsep yang lebih spesifik harus berada dibawahnya. Menurut Kinchin, et. Al., (Daryanti, 2004) : 17) bahwa secara morfologi, peta konsep dibagi menjadi tiga model, yaitu : Spoke (menjari),
chain (rantai), dan net
(menjaring). Untuk lebih jelas lagi, dapat dilihat pada contoh berikut ini :
26
tebal
berbentuk
tersusun oleh
Arteri
berbentuk
dikelompokkan menjadi
elastis
berbentuk
3 lapisan
Bulat tetap Aorta
Arteri
Arteriol
Gambar 2.3. Morfologi Peta Konsep Bentuk Spoke (Menjari) ( Sumber : Kinchin et al. dalam Daryanti, 2004 : 17)
27
Darah
Digolongkan menjadi
digolongkan menjadi Jika Digabung dengan
Golongan Darah A
Terdiri
dari
Aglutinogen A
Terdiri dari
Golongan Darah B
melalui
terdiri dari Aglutinogen B
Aglutinin Anti-B
Transfusi Darah
akan
terdiri dari Aglutinin Anti-A
menggumpal
Gambar 2.4. Morfologi Peta Konsep Bentuk net (Menjaring) ( Sumber : Kinchin et al. dalam Daryanti, 2004 : 17)
28
Darah
pada Peredaran Darah Besar
mengalir dari Bilik Kiri
melewati Aorta
menuju Arteri
dilanjutkan ke Arteriol
menuju Kapiler
diserap di Seluruh tubuh
kembali ke Serambi Kanan
Gambar 2.5. Morfologi Peta Konsep Bentuk chain (Rantai) ( Sumber : Kinchin et al. dalam Daryanti, 2004 : 18)
29
Secara umum, peta konsep dapat bermanfaat dalam bidang pendidikan dan bisnis untuk : 1. Pembuatan catatan dan ringkasan untuk kumpulan konsep-konsep kunci, serta hubungan antar konsepnya. 2. Pembentukan pengetahuan baru dengan menambahkan informasi baru ke dalam sumber lama. 3. Membentuk pengetahuan yang tahan lama dalam ingatan. 4. Desain pembelajaran : peta konsep disebut juga Ausubelian “advance organizer” atau perorganisir konsep yang maju, menyediakan sebuah bingkai penanda konseptual untuk informasi dan pembelajaran selanjutnya 5. Latihan : peta konsep juga dapat digunakan untuk melatih pengetahuan mengenai hubungan antara konsep dengan konsep yang lain, dengan strategi untuk mencapai sasaran, atau dengan tujuan pelatihan. 6. Meningkatkan pembelajaran yang bermakna. 7. Mengkomunikasikan ide dan argumen yang kompleks. 8. Merinci struktur keseluruhan dari sebuah gagasan, rangkaian pemikiran, atau argumen. 9. Meningkatkan aspek metakognitif (belajar untuk belajar, dan berpikir mengenai pengetahuan). 10. Meningkatkan kemampuan berbahasa. 11. Menilai pemahaman siswa terhadap sasaran pembelajaran, konsep, dan hubungan antar konsep tersebut.
30
Peta konsep menurut Dahar (1989), mempunyai ciri-ciri dan tujuan tertentu. Menurut Dahar, beberapa tujuan dari diterapkan peta konsep dalam dunia pendidikan adalah untuk menyelidiki apa yang telah diketahui siswa, mempelajari cara belajar, mengungkapkan konsepsi salah dan sebagai alat pembelajaran serta evaluasi. E. Konsep Sistem Peredaran Darah pada Manusia Sistem peredaran darah adalah sistem yang mempunyai sangkut paut dengan pergerakan darah di dalam pembuluh darah dan juga perpindahan darah dari satu tempat ketempat yang lain. Menurut Wulangi (1993 : 127), sistem peredaran darah mempunyai peranan untuk : mengangkut zat makanan (nutrien) dari usus ke seluruh jaringan tubuh; mengangkut zat ampas dari jaringan tubuh ke alat pembuangan; mengangkut O2 dari paru-paru atau insang ke seluruh jaringan tubuh; mengangkut CO2 dari seluruh jaringan tubuh ke paru-paru atau insang; mengangkut
hormon
dari
kelenjar
endokrin
ke
tempat
sasaran;
dan
mendistribusikan panas dari sumbernya ke seluruh bagian tubuh. Peredaran darah pada manusia tersusun atas darah, pembuluh darah, dan jantung sebagai pusat peredaran darah. 1. Darah Darah merupakan cairan tubuh yang terdapat dalam jantung dan pembuluh darah. Seperti halnya mamalia lainnya, menurut Wulangi (1993 : 16), darah mempunyai peranan sebagai berikut : a) Mengangkut bermacam-macam substansi, yaitu : (1) oksigen dan karbon dioksida dari alat pernapasan ke jaringan-jaringan di seluruh tubuh. (2)
sari-sari makanan (nutrisi), seperti
31
glukosa, asam amino, dll. dari usus ke seluruh jaringan tubuh. (3) sisa-sisa metabolisme, seperti urea, asam urat, kreatinin, dan lain-lain ke alat ekskresi. (4) hormon dari kelenjar hormon ke jaringan-jaringan yang membutuhkan; b) Mengatur keseimbangan cairan antara darah dengan cairan jaringan; c) Mengatur keseimbangan asam-basa (pH) darah; d) Mencegah pendarahan; e) Merupakan alat pertahanan tubuh; f) Mengatur suhu tubuh. Darah manusia terdiri atas dua komponen, yaitu plasma darah (cairan darah) dan sel-sel darah. a. Plasma Darah Plasma darah merupakan bagian yang cair dari darah. Menurut Latifah (1996 : 114), plasma darah pada umumnya terdiri dari ± 91 % air, dan berbagai zat organic dan anorganik yang terlarut didalamnya. Zat-zat yang terlarut dalam plasma darah, antara lain : sari-sari makanan seperti glukosa, asam lemak, gliserin, dll. Selain itu dalam plasma darah juga terkandung mineral ± 0,9 %; protein ± 8 %; gas O2 dan CO2; zat-zat hasil produksi sel seperti enzim, hormon, antibodi; urea dan asam urat hasil dari metabolisme.Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini :
32
Tabel 2.1. Komponen Plasma Darah Plasma Darah (55% dari darah) Kandungan
Fungsi utama
Air
Pelarut bagi zat-zat lain.
Garam
Penyeimbang
tekanan
Natrium
osmosis,
Kalium
mempertahankan
Kalsium
(buffer),
Magnesium
permeabilitas membran.
pH
meregulasi
Klorida Bikarbonat Protein plasma
Penyeimbang
osmosis
Albumin
dan mempertahankan pH,
Fibrinogen
pembekuan
darah,
Immunoglobulin
pertahanan
tubuh
(antibodi) ( Sumber : Pratiwi, D. et al. 2000 : 119 ) b. Sel-Sel Darah Menurut Kurnadi ( 2002 : 30), sel–sel darah berasal dari sel mesenchym yang berubah menjadi sel induk (sel stem). Kemudian berdiferensiasi lagi menjadi lima tipe sel atas pengaruh berbagai hormon dan zat-zat kimia lainnya. Kelima tipe sel tersebut adalah : Erithroblast, kemudian akan membentuk erithrosit; Megakariosit, kemudian akan membentuk trombosit; Lymphoblast, kemudian akan membentuk lymphosit; Monoblast, kemudian akan membentuk monosit; Myeloblast, kemudian akan membentuk granulosit.
33
Berikut adalah sel-sel darah dalam tubuh manusia: Tabel 2.2. Jenis-Jenis Sel Darah Jenis sel darah dan
Bentuk dan ukuran
rata-rata jumlahnya
Fungsi dan sifat lain
pembentukan
A. Eritrosit (sel darah Berbentuk merah) 5-6 juta
Tempat
bulat, Endotelium
Berfungsi
tidak sumsum
mentranspor oksigen
bikonkaf,
berinti; berukuran 7,5- tulang
dan tetap di dalam
7,7µ
pembuluh darah
B. Leukosit (sel darah Berinti; 10-12µ tidak
Sel
Berfungsi
untuk
putih) 5000-10000µ mempunyai bentuk
retikuloendotel pertahanan
terdiri dari:
tetap (ameboid);
sumsum
dan
1. Granulosit
10-26µ
tulang
ameboid,
a. Neutrofil
bersifat dapat
meninggalkan
65- nukleus pecah
75%
tubuh
dihubungkan oleh
pembuluh
darah
benang sitoplasma
masuk ke jaringan
berbintik ungu tua b. Eosinofil 2-5% granula berwarna. Granula sedikit dan c. Basofil 0,5%
berwarna eosin/merah Granula berupa bintik-
2. Agranulosit a. Limfosit
bintik biru 20-
25%
Berinti satu besar,
Jaringan
Berfungsi
untuk
tubuh dan pertahanan bulat, berukuran 610µ, limfoid kelenjar limfa. dan tidak bergerak. sitoplasma sedikit, b. Monosit 2-6%
dan Dapat
bergerak
berwarna jernih.
Limfa
Berinti satu, bulat,
sumsum
dengan
berukuran 12-15µ,
tulang
bersifat fagosit.
sitoplasma banyak
cepat
dan
34
berwarna biru C.
Keping
darah Bentuknya kecil dan Fragmentasi
(trombosit)
tidak berinti, rapuh, dari
250.000-400.000
berwana
biru
sampai
Penting dalam proses pembentukan darah
tua megakariosit ungu, dalam sumsum
berukuran 2-4µ
tulang
( Sumber : Pratiwi, D. et al. 2000 : 120 ) 5) Sel Darah Merah. Pratiwi (2000 : 120) menjelaskan bahwa sel darah merah pada manusia berwarna merah karena mengandung hemoglobin yang dapat mengikat oksigen. Sel darah merah dapat mengkatalisis reaksi antara CO2 dan air karena sel darah mengandung anhidrase karbonat dalam jumlah besar. Pratiwi (2000 : 120) juga menambahkan bahwa konsentrasi sel darah merah pada laki-laki normal adalah 5.400.000 permililiter kubik dan pada wanita normal 5.000.000 permiliter kubik. Sel darah pada manusia mempunyai bentuk yang bulat bikonkaf dan tidak mempunyai inti, berbeda dengan hewan vertebrata lainnya yang pada umumnya mempunyai inti pada sel darah merahnya. Proses pembentukan sel darah merah disebut eritropoesis (Kurnadi, 2002 : 29). Pratiwi (2000 : 120) menjelaskan bahwa sel darah merah dihasilkan dalam kantong kuning telur pada beberapa minggu pertama kehidupan embrio di dalam kandungan. Dan sesudah bayi lahir, sel darah merah akan dibentuk di sumsum tulang. Tetapi kira-kira di usia 20 tahun, sumsum tulang bagian proksimal tulang panjang sudah tidak menghasilkan sel darah merah lagi. Sebagian besar sel darah merah dihasilkan dalam sumsum tulang membranosa (seperti : vertebral, sternum, iga, dan pelvis).
35
Menurut Wulangi (1993 : 27), sel darah merah berasal dari sel primordium (sel induk) yang dikenal dengan nama proeritroblas atau hemositoblas atau sel batang mieloid yang mampu berkembang menjadi berbagai jenis sel (pluripoten). Hemositoblas dibentuk secara terus-menerus dari sel retikulum yang terdapat di sumsum tulang. Dari hemositoblas terbentuklah basofil eritroblas yang ditandai dengan mulainya pembentukan hemoglobin. Kemudian terbentuklah eritroblas polikromatotil. Dinamakan demikian karena ada campuran substansi basofilik dengan hemoglobin. Setelah ini, nukleusnya mengecil, tetapi pembentukan hemoglobin masih terus berlangsung dan terbentuklah normoblas. Setelah sitoplasma dari normoblas terisi oleh hemoglobin sampai mencapai kadar 34 %, nukleus nukleus dari normoblas lenyap dengan otolisis dan absorbsi. Akhirnya terbentuklah retikulosit dan eritrosit. Retikulosit merupakan eritrosit yang masih muda. Pratiwi (2000 : 122) menjelaskan bahwa dalam keadaan normal, sel darah merah beredar rata-rata selama 120 hari. Saat sel menua, membran sel rapuh,dan pecah. Sel darah merah tua dimusnahkan di limpa (lien). Hemoglobin dicernakan oleh sel-sel retikuloendotel dan zat besi dilepaskan ke dalam darah untuk diangkut kembali ke sumsum tulang dan hati. Hemoglobin diubah menjadi zat warna empedu (bilirubin) dan disekresi oleh hati kedalam empedu. 6) Sel darah putih Sel darah putih atau yang juga dikenal sebagai leukosit terdapat di dalam darah dan cairan limf, tetapi sering juga terdapat di cairan jaringan (Wulangi, 1993 : 47). Menurut Pratiwi, (2000 : 122), terdapat enam jenis sel darah putih,
36
yaitu: neutrofil, eosinofil, basofil, monosit, limfosit, dan sel plasma. Sel darah putih dibentuk sebagian dalam sumsum tulang (granulosit, monosit, dan limfosit) dan sebagian dalam jaringan limfa (limfosit dan sel-sel plasma). Wulangi (1993 : 47) menambahkan bahwa pada keadaan normal, jumlah total sel darah putih berkisar antara 4,5 sampai 10 juta butir per mm3, terdiri dari 62% neutrofil. 2,3% eosinofil, 0,4% basofil, 5,3% monosit, dan 30% limfosit. Untuk setiap orang, jumlah sel darah putih bervariasi menurut keadaan fisiologiknya seperti umur, aktivitas, dan keadaan patologis seperti infeksi dan trauma. Menurut Pratiwi (2002 : 122), masa hidup sel-sel itu berbeda, granulosit sekitar 12 jam; monosit sulit dinilai (karena selalu mengembara), tetapi bisa selama beberapa minggu atau bulan; limfosit dapat berumur 100-300 hari. Wulangi (1993 : 47) menjelaskan bahwa sel darah putih berbeda dari sel darah merah dalam beberapa ciri yang dimiliki oleh sel darah putih, yaitu : mempunyai nukleus, tidak mengandung hemoglobin, mempunyai ukuran yang relatif lebih besar, dan jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan sel darah merah. Kecuali ciri-ciri tersebut, masih ada beberapa sifat penting yang dimiliki oleh sel darah putih, yaitu : (a) pergerakan seperti amuba. Sel darah putih dapat bergerak dari satu tempat ke tempat lain dengan cara menjulurkan sitoplasmanya ke arah yang dikehendaki. (b) Khemotaksis, yaitu kemampuan untuk bergerak menuju ke tempat luka atau inflamasi. (c) Fagositosis, yaitu kemampuan untuk memakan dan mencerana sel-sel yang mati atau benda-benda asing; kemampuan ini terutama berkembang pada netrofil, limfosit, dan monosit. (d) Diapedesis, yaitu kemampuan untuk menembus dinding kapiler menuju ke cairan jaringan.
37
Menurut Pratiwi (2000 : 122), manfaat sel darah putih secara umum adalah untuk membantu pertahanan tubuh terhadap infeksi yang masuk, karena selain mampu bergerak ameboid juga bersifat fagositosis (memangsa). Sel-sel darah putih yang berfungsi melawan penyakit disebut antibodi. Contoh antibodi adalah limfosit yang mampu menyerang dan menghancurkan organisme yang spesifik (bakteri, virus). Jenis limfosit yang berperan sebagai antibodi adalah limfosit-t dan limfosit-b. Perbedaan diantara keduanya terletak pada tempat pematangannya. Jika limfosit matang di kelenjar timus, maka limfosit-t matang di endotelium sumsum tulang. 7) Trombosit/keping darah Trombosit atau disebut juga keping darah merupakan sel yang berbentuk agak bulat, tidak mengandung inti, tidak berwarna, berat jenisnya rendah, dan berukuran kecil dengan diameter antara 1 sampai 4 mikron. Dinding trombosit bersifat sangat rapuh, dan cenderung untuk melekat pada permukaan kasar seperti pada pembuluh darah yang robek (Wulangi, 1993 : 49). Menurut Kurnadi (2002 : 35), jumlah trombosit dalam darah manusia normal adalah ± 300.000 permililiter kubik darah. Kurnadi (2002 : 34) juga menambahkan bahwa trombosit terbentuk dari sel induk yang disebut megakariosit yang banyak terdapat di sumsum tulang, sedangkan penghancuran trombosit dilakukan di dalam limpa. Menurut Wulangi (1993 : 50), trombosit mempunyai peranan utama dalam pembekuan darah. Mekanisme pembekuan darah dimulai ketika ada jaringan yang terluka. Jaringan
38
yang luka atau trombosit yang rusak akan menghasilkan tromboplastin atau trombokinase yang merupakan aktivator dari protrombin. Adanya trombokinase, menurut Pratiwi (2000, 213), menyebabkan perubahan protrombin menjadi enzim trombin. Ion kalsium merupakan zat yang dianggap memacu perubahan tersebut. Protrombin adalah suatu protein plasma yang terdapat dalam plasma normal dengan konsentrasi 15mg/100ml. Protrombin berupa senyawa globulin dan selalu dibentuk di hati dengan bantuan vitamin K. Trombin bekerja sebagai enzim yang mengubah fibrinogen menjadi fibrin yang berupa benang-benang. c. Penggolongan Darah Dalam tubuh manusia, terdapat 3 golongan darah utama, yaitu golongan darah ABO, golongan darah Rhesus (Rh), dan golongan darah MN (Wulangi, 1993 : 60). 1) Golongan darah ABO Menurut Wulangi (1993 : 60), ditinjau dari golongan ini, manusia dikelompokkan menjadi 4 golongan, berdasarkan ada atau tidaknya aglutinogen (antigen), yaitu golongan darah A, B, O, dan AB. Aglutinogen adalah antigenantigen yang peka terhadap zat-zat atau benda asing yang menyebabkan aglutinasi (penggumpalan) serta dapat menghasilkan antibodi. Ada 2 macam aglutinogen, yaitu aglutinogen A dan aglutinogen B. Seseorang disebut mempunyai golongan darah A, bila di dalam sel merahnya terdapat aglutinogen A dan aglutinin anti-B (aglutinin β); golongan darah B, bila di dalam sel darah merahnya mengandung aglutinogen B dan aglutinin anti-A
39
(aglutinin α) ; golongan darah AB, bila mengandung aglutinogen A dan B, dan tidak mengandung aglutinin; golongan darah O, bila didalam sel darah merahnya tidak mengandung aglutinogen tetapi mengandung aglutinin anti-A (α) dan anti-B (β). Menurut Kurnadi (2002, 41), bila suatu aglutinogen (misalnya A) terdapat di dalam sel darah merah tertentu, maka aglutinin yang bersangkutan (misalnya antiA atau α) tidak boleh ada di dalam plasma. Sesuai dengan hukum Landsteiner (Wulangi, 1993 : 61), bahwa jika aglutinogen bertemu dengan aglutinin yang bersangkutan, terjadilah aglutinasi, yaitu sel darah merah akan berkelompok dan diikuti oleh hemolisis. 2) Golongan darah Rhesus (Rh) Pada tahun 1940, Landsteiner dan Wiener (Wulangi, 1993 : 62) menemukan golongan darah lain yang dikenal dengan nama faktor Rhesus (Rh). Faktor Rhesus ini semula berasal dari jenis kera Rhesus macaca. Selain aglutinogen A dan B, ada pula aglutinogen lain yaitu aglutinogen C, D, dan E. diantaranya adalah aglutinogen D yang utama. Bila seseorang didalam darahnya mengandung aglutinogen D, maka orang tersebut adalah Rh positif (Rh+). Berbeda dengan orang golongan darah ABO, yang di dalam plasmanya tidak terdapat anti D, maka orang yang Rh- dapat membentuk anti D setelah mendapat transfusi darah dari orang yang Rh+. Orang yang Rh+ tidak dapat membentuk anti D, maka dari itu dapat menerima darah dengan aman, baik dari orang yang Rh+ atau dari orang yang Rh-. Menurut Kurnadi ( 2002, 42), bila wanita dengan Rh- kawin dengan pria Rh+ yang homozigot, semua anaknya adalah Rh+. Bila hal ini terjadi, dapat
40
mengakibatkan kematian pada bayi kedua dan seterusnya akibat terbentuknya antibodi anti Rh+. Peristiwa ini disebut Erithroblastosis Fetalis. Bila darah ibu (Rh-) yang karena transfusi misalnya mengandung anti D, anti D ini dapat melalui plasenta menuju ke peredaran darah bayi (Rh-). Akibatnya anti D akan bertemu dengan aglutinogen D dan menyebabkan aglutinasi sel darah merah pada bayi. Bila anti D cukup banyak, bayi akan mati. Seandainya bayi pertama yang lahir dapat hidup, maka bayi pada kelahiran selanjutnya tidak akan terselamatkan lagi. 3) Golongan darah MN Menurut Wulangi (1993 : 64), pada tahun 1972, Landsteiner dan Levine menemukan aglutinogen macam lain di dalam sel darah merah, yaitu aglutinogen M dan N. Hal ini akan menghasilkan 3 macam golongan darah, yaitu M, N, dan MN. Berbeda dengan golongan darah ABO, golongan darah MN tidak disertai dengan kehadiran aglutinogen di dalam plasma darah, maka dari itu, pada saat transfusi darah, tidak diperhatikan ketiga aglutinogen ini. Aglutinogen ini bermanfaat untuk membantu menentukan orang tua seseorang. 2. Organ-Organ Sistem Peredaran Darah pada manusia Berdasarkan fungsinya, sistem peredaran darah pada manusia dibagi menjadi 6 bagian seperti terlihat pada tabel berikut ini :
41
Tabel 2.3. Fungsi Dan Peranan Organ Sistem Peredaran Darah pada Manusia Organ Sistem Peredaran Darah Jantung : 1. Serambi Kanan
Fungsi dan Peranan
Ruang yang manampung darah dari seluruh tubuh dan mengalirkan darah dari ventrikel kanan.
2. Serambi Kiri
Ruangan yang menampung darah dari paru-paru dan mengalirkan darah dari ventrikel kiri.
3. Bilik Kanan
Ruang jantung yang bila berkontraksi akan menimbulkan tekanan yang mendorong atau memompa darah menuju ke sistem peredaran darah paru-paru
4. Bilik Kiri
Ruang jantung yang bila berkontraksi akan menimulkan tekanan yang mendorong atau memompa darah menuju sistem peredaran darah sistemik.
Pembuluh Darah : 1. Arteri (Pembuluh Nadi)
Pembuluh darah yang berperan dalam menyalurkan darah dari jantung ke seluruh bagian tubuh.
2. Vena (Pembuluh Balik)
Pembuluh darah yang berperan dalam menyalurkan darah dari seluruh tubuh ke jantung
3. Kapiler
Pembuluh darah yang mempunyai struktur sangat halus dan berperan dalam pertukaran zat antara darah dengan cairan jaringan. ( Sumber : Wulangi, 1993 : 130 )
a. Jantung Jantung manusia terletak di rongga dada, diatas diafragma, dan terbungkus oleh selaput jantung (perikardium) yang berlapis dua. Menurut Pratiwi (2000 : 125), lapisan perikardium visceral yang melekat pada otot jantung dan dikenal dengan istilah epikardium. Lapisan di sebelah luar disebut perikardium parietal. Antara kedua lapisan perikardium ini terisi oleh cairan perikardium.
42
Menurut Wulangi ( 1993 : 131), jantung manusia besarnya kurang lebih sebesar kepalan tangan. Ukurannya adalah panjang 12 cm, lebar 19 cm, dan tebal 6 cm. Berat jantung kurang lebih 300 gram pada pria da 250 gram pada wanita. Dinding jantung terdiri dari 3 lapisan, yaitu epikardium yang merupakan lapisan terluar, miokardium yang merupakan otot jantung, dan endokardium yang merupakan lapisan terdalam dari dinding jantung dan merupakan bagian yang melapisi ruang jantung. Jantung manusia terdiri dari empat ruang, yakni dua bilik atau dua serambi. Serambi jantung berfungsi sebagai tempat lewatnya darah dari luar jantung ke bilik. Selain itu, serambi juga berfungsi sebagai pompa yang lemah sehingga membantu aliran darah dari serambi ke bilik. Bilik memberi tenaga yang mendorong darah ke paru-paru dan sistem sirkulasi tubuh (Pratiwi, 2000 : 126). Wulangi ( 1993 : 132) menambahkan bahwa antara serambi kiri dan kanan, juga antara bilik kiri dan kanan, terdapat dinding pemisah atau sekat (septum). Menurut Kurnadi (2002 : 4), antara serambi kiri dengan bilik kiri terdapat katup yang disebut katup bikuspidalis, sedangkan katup yang memisahkan bilik kanan dengan serambi kanan, disebut karup trikuspidalis. Antara bilik kiri dengan pembuluh aorta juga terdapat katup semilunaris aorta, sedangkan katup yang memisahkan bilik kanan dengan pembuluh nadi paru-paru disebut katup semilunar pulmonalis. Berdasarkan pendapat Pratiwi (2000 : 126), jantung dibentuk terutama oleh 3 otot jantung, yaitu otot serambi, otot bilik, dan serabut perangsang dan penghantar khusus. Otot-otot jantung bekerja dengan sendirinya (berkontraksi) tanpa dipengaruhi impuls saraf. Denyut jantung ditimbulkan oleh otot jantung itu sendiri
43
(miogenik). Kurnadi (2002 : 5) menambahkan bahwa otot jantung sebetulnya terdiri dari tiga macam jaringan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya, yaitu : jaringan nodal, jaringan purkinye yang terdiri dari berkas his yang bercabang-cabang, dan jaringan biasa. Jaringan nodal terdapat di dua daerah di dalam jantung, yaitu nodus sinoatrial (SA-Node) dan nodus Atrioventrikular (AVnode). SA-node merupakan tempat yang mula-mula menimbulkan impuls, sehingga SA-node disebut juga Pacemaker. Menurut Pratiwi (2000 : 127), pada manusia normal, biasanya jantung berkontraksi 72 X permenit dan memompa darah 60 cc. Periode dari akhir kontraksi hingga akhir kontraksi berikutnya disebut siklus jantung. Siklus jantung terdiri dari periode relaksasi yang dinamakan diastol, yaitu jika serambi jantung menguncup dan bilik jantung mengembang. Pada waktu itu otot bilik mengendor maksimum dan ruang bilik mengembang maksimum. Periode kontraksi dinamakan sistol, yaitu jika otot bilik jantung menguncup dan darah di dalam bilik dipompa ke pembeluh nadi paru-paru (arteria pulmonalis) ataupun ke aorta secara bersamaan. Peredaran darah dari jantung menuju paru-paru melewati aorta pulmonalis, dan kembali ke jantung melewati vena pulmonalis, disebut peredaran darah kecil. Sedangkan peredaran darah dari jantung ke seluruh tubuh dan akhirnya kembali ke jantung disebut peredaran darah besar. Oleh karena pada manusia terdapat kedua macam peredaran darah tersebut, maka dikatakan memiliki peredaran darah ganda (Kurnadi, 2002 : 1).
44
Seperti halnya organ-organ lain di seluruh tubuh, jantung yang bekerja terusmenerus juga membutuhkan makanan. Menurut Latifah et al. (1995 : 123) makanan itu diperoleh dari nadi tajuk (arteria koronaria). Tekanan darah dapat diukur dengan tensimeter. Yang diukur adalah tekanan sistolis (waktu darah keluar jantung), dan tekanan diastolis (waktu darah masuk ke jantung). Pada orang dewasa sehat, umumnya sistol sebesar 120 mmHg dan diastol sebesar 80 mmHg atau dapat juga ditulis sebagai tekanan arteri = 120/80 (sistol/diastol). b. Pembuluh darah 1) Pembuluh Nadi (Arteri) Menurut Pratiwi (2000 : 128), pembuluh nadi adalah pembuluh tempat keluarnya darah dari jantung. Pembuluh ini tebal, elastis, dan memiliki sebuah katup (valvula semilunaris) yang berada tepat di luar jantung. Letak pembuluh nadi biasanya di dalam tubuh, hanya beberapa yang di permukaan sehingga dapat dirasakan denyutnya. Secara anatomi, menurut Kurnadi (2001 : 11), pembuluh nadi tersusun atas 3 lapis jaringan, yaitu lapisan pertama (lapisan Adventisia) berupa jaringan ikat kolagen yang kuat dan elastis; lapisan tengah (lapisan Media) merupakan lapisan paling tebal yang berupa otot polos yang berkontraksi secara sadar; lapisan ketiga (lapisan Intima) yang berupa jaringan endotelium yang melindungi jaringan yang berada di dalamnya. 2) Pembuluh Balik (Vena) Vena mudah dikenali karena letaknya di daerah permukaan. Menurut Pratiwi (2000 : 129), vena juga mempunyai struktur yang kurang elastis dan berbentuk
45
bulat tidak teratur. Menurut Kurnadi (2002 : 12), seperti halnya nadi, pembuluh balik juga tersusun atas 3 lapisan, tetapi lapisan tengahnya lebih tipis dan lapisan yang paling tebal adalah lapisan pertama atau lapisan adventisia sehingga menyebabkan dinding vena kurang tebal, tetapi bagian lumennya menjadi tebal. Lapisan pertama (adventisia) tersusun oleh serat-serat otot, sedangkan lapisan keduanya (media) tersusun oleh lapisan otot tipis, dan lapisan ketiganya (intima) tersusun oleh jaringan endotelium. Menurut Pratiwi (2000 : 129), pembuluh balik adalah tempat masuknya darah dari seluruh tubuh ke jantung. Vena diselubungi oleh otot rangka dan memiliki sebuah katup, yaitu valvula semilunaris. Pembuluh balik yang masuk ke jantung adalah Vena kava superior, vena kava inferior, dan vena pulmonalis. Vena kava superior adalah pembuluh balik yang mengalirkan darah yang kaya akan CO2 dari tubuh bagian atas menuju jantung. Sedangkan vena kava inferior adalah pembuluh balik yang membawa darah yang kaya CO2 dari tubuh bagian bawah menuju jantung. Dan vena pulmonalis adalah pembuluh balik yang membawa darah yang kaya akan O2 dari paru-paru menuju jantung. 3) Pembuluh Kapiler Kurnadi (2002 : 11) menjelaskan bahwa pembuluh kapiler merupakan cabang terhalus dari pembuluh darah. Pembuluh darah kapiler tersusun atas satu lapis jaringan endotelium. Pada pembuluh kapiler, pertukaran gas dan zat-zat nutrisi (makanan) antara darah dengan cairan jaringan.
46
3. Gangguan pada Sistem Peredaran Darah pada Manusia a. Penyakit Jantung Ditinjau dari penyebabnya, Kurnadi (2002 : 20) membagi penyakit jantung kedalam tiga kelompok, yaitu : 1) Gangguan pada sirkulasi koroner, misalnya Angina Pectoris. Angina pectoris adalah suatu keadaan nyeri/teertekan di daerah dada yang dapat menjalar ke lengan kiri (refered pain), yang khas terjadi sewaktu olah raga/kerja, fisik/stres dan nyeri akan berkurang apabila diistirahatkan. Angina pectoris disebabkan oleh berkurangnya aliran darah (Ischemia) dari myocardium. 2) Gangguan pada sistem konduksi jantung Gangguan pada sistem konduksi jantung bisa menyebabkan arrythmia (gangguan irama jantung). Jenis arrythmia salah satunya adalah heartblock yaitu suatu keadaan dimana penyebaran impuls dari jantung terhalang/lambat pada bagian tertentu dari sistem konduksi. 3) Kelainan anatomis Kelainan anatomi jantung berupa cacat bawaan sejak lahir. Contohnya adanya lubang pada atrium sehingga terjadi aliran darah yang kaya akan oksigen dari kiri ke kanan jantung dengan gejala sesak napas. b. Varices Kurnadi (2002 : 23) menjelaskan bahwa varices adalah melebarnya dan berkelok-kelok vena super vacial terutama di daerah kaki. Penyakit ini dapat terjadi akibat katup-katup vena yang menjadi lumpuh karena memang lemah sejak lahir ditambah dengan bertambahnya beban vena.
47
c. Hypotensi (Tekanan Darah Rendah) Tekanan darah dibawah normal disebabkan oleh beberapa macam hal, diantaranya perubahan dari posisi jongkok atau terlentang ke posisi berdiri yang akan menimbulkan penimbunan darah di vena tungkai bawah karena pengaruh gravitasi. Gejala-gejala yang ditimbulkan oleh penyakit ini adalah lesu, pusing, gangguan penglihatan sampai pingsan (Kurnadi, 2002 : 24). d. Shock Menurut Kurnadi (2002 : 24), shock adalah keadaan dimana terjadi kekurangan aliran darah pada jaringan tubuh. Penyebab terjadinya shock adalah (1) Gangguan cardiac output karena gangguan fungsi jantung misalnya pada myocard infark; (2) Penurunan volume darah; (3) Terjadinya vasodilatasi dapat terjadi karena alergi obat-obatan yang berat, infeksi bakteri, atau racun bakteri. e. Hypertensi Kurnadi menerangkan bahwa Hypertensi adalah keadaan dimana tekanan darah sistol ataupun diastol meningkat dari batas normal. Penyebabnya diantaranya : (1) Pengeluaran Renin oleh ginjal yang dipengaruhi oleh penurunan suplai darah ginjal; (2) Peningkatan efek syaraf simphatis dengan meningkatnya curah jantung, vasokontriksi melalui hormon adrenalin dan noradrenalin; (3) Gangguan transpor aktif dati pompa Na+ dan K+; (4) Kekurangan zat-zat vasodilatator seperti bradikinin oleh prostaglandin. f. Anemia Anemia adalah suatu keadaan dimana tubuh kekurangan hemoglobin dan atau erithrosit. Anemia dapat teradi akibat perdarahan, karena erithrosit rusak oleh
48
suatu faktor ataupun karena produksi erithrosit menjadi berkurang. Gejala-gejala yang menunjukkan penyakit anemia adalah timbulnya gejala-gejala lesu, merasa dingin, telinga berdenging, sakit kepala, pusing, gangguan libido, menstruasi terhenti, muka dan kulit menjadi pucat, jantung berdebar malah dapat menimbulkan shock (Kurnadi, 2002 : 44). g. Sickle Cell Anemia Menurut Kurnadi (2002 : 46), pada jenis anemia ini, terdapat gen abnormal yang memproduksi polipeptida β yang abnormal pada hemoglobin. Hemoglobin yang terbentuk disebut Hb-S. Orang-orang yang homozigot untuk Hb-S (terutama orang Afrika) memiliki hemoglobin S yang tidak larut pada tekanan partial O2 yang kurang, dengan demikian bentuk erithrosit berubah menjadi seperti bulan sabit (sickle). Erithrosit berbentuk bulan sabit ini mudah menjadi saling tindih pada pembuluh darah kapiler, akibatnya dapat menyumbat pembuluh darah dan terjadilah hemolisis. Gejala-gejala penyakit ini sangat bervarisi, berupa gejala penyumbatan dan gejala hemolisis. h. Leukimia Leukimia adalah suatu penyakit neoplasma (pertumbuhan abnormal yang baru) ganas pada jaringan yang memproduksi sel-sel darah. Faktor-faktor yang dapat memudahkan timbulnya leukimia adalah : (1) Infeksi oleh virus ADN maupun ARN; (2) Terkena sinar radioaktif; (3) Terkena zat-zat kimia bersifat racun yang mempengaruhi sel-sel pembentuk darah; (4) Adanya kerentanan generasi pada keluarga tertentu (Kurnadi, 2002 : 44).
49
i. Thalasemia Menurut Kurnadi (2002 : 45), thalasemia adalah suatu penyakit keturunan yang ditandai dengan gangguan dan ketidakmampuan memproduksi hemoglobin dan erithrosit, dengan akibat anemia. Penyakit ini dapat terjadi karena terdapat kelainan pada suatu atau lebih gen-gen yang membentuk rantai-rantai polipeptida α, β, γ, δ, rantai-rantai polipeptida ini merupakan bagian dari molekul hemoglobin. Gejala - gejala penyakit penyakit sangat bervariasi, berupa : anemia, pembesaran limpa, bentuk tulang menjadi abnormal karena sumsum tulang merah hiperaktif, juga terjadi gangguan pertumbuhan.
50
BAB III METODE PENELITIAN
A. Definisi Operasional Beberapa istilah yang perlu diberikan penjelasan, agar memberikan gambaran yang lebih mudah, istilah-istilah tersebut adalah : 1. Pembelajaran untuk kelas peta konsep dilakukan dengan memberikan peta konsep berupa konsep-konsep yang dipetakan yang mempunyai hubungan bermakna antara konsep-konsep dalam bentuk proposisi dan tersusun dalam suatu hirarki mengenai materi sistem peredaran darah pada manusia yang telah dibuat oleh peneliti dan telah melalui proses judgement oleh para pakar kemudian diberikan kepada siswa pada kelas eksperimen 1. 2. Pembelajaran untuk kelas komik ilmiah dilakukan dengan memberikan rentetan suatu cerita yang berbentuk gambar dan dipisahkan dalam satu kotak serta dialognya disusun dalam balon-balon kata mengenai pokok bahasan sistem peredaran darah pada manusia kepada siswa pada kelas eksperimen 2. 3. Hasil belajar adalah hasil yang dicapai berupa nilai gain setelah materi sistem peredaran darah pada manusia dengan menggunakan dua media yang berbeda diajarkan. B. Metode dan Desain Penelitian 1. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen. Menurut Yatim Riyanto (2001:35), penelitian eksperimen merupakan penelitian yang sistematis, logis, dan teliti didalam melakukan kontrol terhadap kondisi.
51
Pada penelitian eksperimen, dituntut adanya manipulasi variabel bebas sehingga terlihat pengaruh dari variabel bebas terhadap variabel terikat (Herlanti, 2006 :16). Manipulasi variabel bebas terhadap variable terikat dilakukan dengan memberikan perlakuan. Digunakan penelitian eksperimen murni karena pada penelitian ini digunakan dua kelas eksperimen yang masing-masing kelas mendapatkan perlakuan yang berbeda dan sampel diambil secara acak kelas. 2. Desain Penelitian Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah Randomized Control Group Pretest-Postest Design. Berikut merupakan desain penelitian yang peneliti gunakan :
R O1 X O2 R O3 C O4
Proses pembuatan peta konsep dan komik ilmiah dimulai dengan melakukan analisis terhadap materi sistem peredaran darah pada manusia pada buku paket Biologi dan buku pegangan suplemen KTSP. Dari hasil analisis tersebut, dibuatlah media peta konsep dan buku komik yang relevan dan atraktif serta dipersiapkan pula skenario pembelajaran. Materi yang disiapkan dengan media peta konsep disampaikan kepada kelas eksperimen 1 dan materi yang menggunakan media komik ilmiah disampaikan kepada kelas eksperimen 2. Sebelum melaksanakan PBM, siswa pada kedua kelas diberikan pretest untuk mengukur sejauh mana pemahaman awal siswa mengenai materi sistem peredaran darah pada manusia, dan setelah perlakuan dilaksanakan, siswa pada kedua kelas dievaluasi dengan mengadakan postest untuk mengukur bagaimana hasil belajar siswa setelah mendapatkan perlakuan. Setelah didapatkan data hasil pretest dan
52
postest, maka dicari nilai gainnya untuk mengetahui sejauh mana pengaruh perlakuan serta bagaimana pengaruh yang dihasilkannya terhadap hasil belajar dilihat dari peningkatan pemahaman konsep siswa dari segi kognitifnya. Tinjauan skripsi ini adalah mengetahui perbedaan pengaruh antara penggunaan media komik ilmiah dan peta konsep terhadap pemahaman siswa dari segi kognitif yang berupa hasil belajar, hingga untuk itu diperlukan dua kelas eksperimen dan tes dilakukan di awal dan akhir perlakuan. Untuk melengkapi data yang diperoleh, diberikan juga angket kepada siswa yang hasilnya dijadikan bahan untuk pengambilan kesimpulan. C. Populasi dan Sampel Populasi yang digunakan untuk kepentingan penelitian ini adalah siswa SMAN 7 Bandung yang mempelajari pokok bahasan sistem peredaran darah pada manusia. Sampel yang digunakan adalah siswa kelas XI IPA 1 sebagai kelas eksperimen 1 yang mendapatkan perlakuan dengan menggunakan media peta konsep, dan siswa kelas XI IPA 2 sebagai kelas eksperimen 2 yang mendapatkan perlakuan dengan menggunakan media komik ilmiah. Sampel diambil dengan menggunakan tekhnik random cluster sampling methods atau pengambilan sampel secara acak kelas. Dari beberapa kelas yang dianggap homogen, diambil dua kelas dimana satu kelas akan dijadikan kelas eksperimen 1 dan yang lainnya sebagai kelas eksperimen 2. D. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di SMA Negeri 7 Bandung yang beralamat di Jalan Lengkong Kecil No. 53 Bandung – 40261.
53
E. Instrumen Penelitian 1. Soal objektif pilihan ganda Soal objektif pilihan ganda yang digunakan pada penelitian ini berjumlah 25 buah. Digunakan tes kognitif berbentuk tes objektif pilihan ganda karena lebih representatif mewakili isi dan cakupan luasnya materi, lebih objektif, lebih mudah dan cepat pemeriksaannya serta tidak ada unsur subyektif yang mempengaruhi penilaian. 2. Angket Angket digunakan dalam pengambilan data penunjang untuk mengetahui persepsi siswa mengenai media pembelajaran yang digunakan mencakup kesukaan / ketertarikan mereka terhadap media yang digunakan, pengaruh media pembelajaran yang digunakan terhadap tingkat pemahaman mereka, dan bagaimana perbandingannya dengan media lain. Keuntungan menggunakan angket gabungan adalah responden dapat mengungkapkan pendapatnya yang berguna bagi penelitian jika ingin mengetahui keadaan responden lebih mendalam tentang hal yang berkaitan dengan pembelajaran. Aspek yang diungkapkan meliputi : tanggapan terhadap materi pelajaran, kesulitan dalam menangkap materi melalui media peta konsep dan komik ilmiah serta dampak pemberian media terhadap pembelajaran. untuk menjawab angket ini, subjek cukup menjawab STS (sangat tidak sesuai), TS (tidak sesuai), ATS (agak tidak sesuai), S (Sesuai), dan SS (sangat sesuai). Selain itu, subjek juga diberikan kesempatan untuk mengungkapkan pendapatnya secara luas dengan adanya option ‘Alasan’.
54
F. Prosedur Pengumpulan Data 1. Uji Coba Instrumen Penelitian Untuk menguji baik atau buruknya suatu alat ukur, maka perlu dilakukan analisis mengenai reliabilitas tes, validitas tes, daya pembeda, dan tingkat kesukaran a. Reliabilitas Tes Reliabilitas adalah ketetapan alat evaluasi dalam mengukur atau ketetapan siswa dalam menjawab alat evaluasi itu. Untuk mengetahui reliabilitas alat ukur, maka sebelum diberikan pada kelompok penelitian, alat ukur tersebut harus diujicobakan terlebih dahulu. Dengan menggunakan rumus Kruder-Richardson 21 (K-R 21), koefisien reliabilitas dapat dihitung secara matematis sebagai berikut : Kr20
=
k
1-
2n. ∑(wL + wh) - ∑(wL + wh)2
k–1
0,667 [ ∑(wL + wh)]2
Dimana : Kr20
= Reliabilitas tes secara keseluruhan
k
= Jumlah item
wL
= Salah pada setiap item pada kelompok rendah
wh
= Salah pada setiap item pada kelompok tinggi
n
= 27 % dari jumlah siswa keseluruhan (Subino dalam Prina, 2004 : 33)
Adapun kriteria reliabilitas suatu tes menurut Subino adalah sebagai berikut :
55
Tabel 3.1. Kriteria Reliabilitas Nilai Kriteria 0,00 – 0,39 Rendah 0,40 – 0,69 Sedang 0,70 – 1,00 Tinggi (Subino dalam Prina, 2004 : 33) Karena dalam menghitung sering dilakukan pembulatan angka, sangat mungkin diperoleh koefisien lebih dari 1,000, koefisien negatif menunjukkan hubungan kebalikan sedangkan koefisien positif menunjukkan adanya kesejajaran. Berdasarkan aturan tersebut, jika sebuah instrument atau tes memiliki koefisien reliabilitas 0,400-1,000 artinya sudah reliable. b. Validitas Tes Suatu instrumen dikatakan berkualitas baik jika memiliki ketepatan atau validitas yang tinggi Validitas instrumen adalah tingkat keabsahan atau ketepatan suatu instrumen atau tes, sehingga instrumen tersebut benar-benar mengukur apa yang hendak diukur. Dalam penelitian ini, digunakan rumus korelasi product moment dengan angka kasar (Arikunto, 2002:157) untuk mengukur validitas suatu tes. Yaitu dengan menggunakan rumus : rxy =
N(ΣXY) – (ΣX)(ΣY) {N.ΣX2 – (ΣX)2}{N.ΣY2 – (ΣY)2
Dimana : rxy
= Koefesien korelasi antara variabel X dan Y
N
= Jumlah siswa
X
= Skor butir soal yang diperoleh setiap siswa
Y
= Skor total
56
Tabel 3.2. Kriteria Validitas Test Rentang
Kriteria
0,8 – 1,00
Sangat tinggi
0,6 – 0,8
Tinggi
0,4 – 0,6
Cukup
0,2 – 0,4
Rendah
0,0 – 0,2
Sangat rendah
(Arikunto, 2002 : 159) c. Daya Pembeda dan Tingkat Kesukaran Untuk melihat daya pembeda, digunakan rumus berikut : DP
= NA - NB ½n.x
Dimana : DP
= daya pembeda
NA
= jumlah skor yang diperoleh kelompok atas
NB
= jumlah skor yang diperoleh kelompok bawah
n
= jumlah siswa kelompok atas dankelompok bawah
x
= skor maksimum tiap butir soal (Arikunto dalam Prina, 2004 : 34)
Daya pembeda soal adalah kemampuan suatu soal untuk membedakan antara siswa yang berkemampuan tinggi dengan siswa yang berkemampuan rendah Adapun klasifikasi untuk daya pembeda adalah sebagai berikut :
57
Tabel 3.3. Klasifikasi Daya Pembeda Nilai
Kriteria
0,00-0,19
Jelek
0,20-0,39
Cukup
0,40-0,69
Baik
0,70-1,00
Baik sekali
(Arikunto dalam Prina, 2004 : 39) Bila daya pembeda bernilai negatif, itu berarti semuanya tidak baik, jika setiap butir soal yang mempunyai daya pembeda negatif, sebaiknya dibuang saja. Untuk mengetahui tingkat kesukaran soal, digunakan rumus sebagai berikut : TK =
U +L T (Arikunto dalam Prina, 2004 : 35)
Dimana : TK = Taraf Kesukaran U = Jumlah siswa dari kelompok tinggi yang menjawab benar untuk tiap soal L = Jumlah siswa dari kelompok rendah yang menjawab benar untuk tiap soal T = Jumlah seluruh siswa dari kelompok tinggi dan kelompok rendah Indeks kesukaran dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
58
Tabel 3.4. Klasifikasi Tingkat Kesukaran Soal Nilai
Kriteria
0,00-0,30
Sukar
0,31-0,70
Sedang
0,71-1,00
Mudah
(Arikunto dalam Prina, 2004 :35) 2. Analisis Data Hasil Penelitian Tahap ini digunakan untuk menganalisis data yang diperoleh baik dari tes tertulis maupun angket sehingga dihasilkan temuan dan kesimpulan. Tahap-tahap yang dilakukan adalah sebagai berikut : 1) Menentukan skor jawaban untuk data hasil pretest dan postest dari kelas eksperimen 1 dan 2. Sebelum hasil tes dianalisis, skor jawaban siswa ditentukan terlebih dahulu. Dengan kriteria sebagai berikut : a)
skor yang menjawab benar diberi skor 1
b)
skor yang menjawab salah diberi skor 0
2) Menghitung skor mentah Untuk menghitung skor mentah dari hasil test digunakan rumus sebagai berikut : S=R–W Dimana : S
= Skor yang diperoleh siswa
R
= Jumlah jawaban yang benar
W
= Jumlah jawaban yang salah
59
3) Mengolah skor yang diperoleh siswa kedalam skala 1 – 100 4) Setelah ditentukan skor mentah yang diperoleh siswa, kemudian skor tersebut diolah kedalam skala persentase dengan menggunakan :
% tiap
skala =
skor yang didapat x100 % skor total yang diharapkan (Arikunto dalam Ramdhan, 2005 : 39)
5) Memasukan sesuai dengan kategori nilai : 76% - 100% = kategori baik 56% - 75%
= kategori cukup
40% - 55%
= kategori kurang baik
0% - 40%
= kategori tidak baik (Arikunto dalam Ramdhan, 2005:40)
6) Menentukan indeks N-gain untuk mengetahui adanya pengaruh dari perlakuan yang diberikan sebelumnya. Gain adalah selisih antara nilai pos tes dan pre tes, gain menunjukkan peningkatan pemahaman atau penguasaan konsep siswa setelah pembelajaran dilakukan guru. Perhitungan Indeks N-gain (IG) dilakukan terhadap skor hasil belajar siswa dari kelompok eksperimen 1 dan eksperimen 2. Perhitungan menggunakan Normalized Gain menurut Hake (Meltzer dalam Herlanti, 2006 : 71), karena untuk menghindari adanya bias penelitian yang disebabkan perbedaan indeks gain akibat nilai pretest yang berbeda dari kedua kelas eksperimen. Misalkan saja, indeks gain pada kelas eksperimen 1 meningkat dengan tinggi karena nilai pretest sangat rendah sedangkan nilai postest sangat
60
tinggi, sedangkan peningkatan nilai indeks gain pada kelas eksperimen 2 rendah karena nilai pretest dan nilai postestnya sudah tinggi (bisa dikarenakan tingkat kognitif siswa pada kelas eksperimen 2 memang tinggi adatu sudah pandai-pandai). Normalized Indeks Gain dianalisis berdasarkan hasil tes awal dan tes akhir siswa dengan menggunakan rumus sbb : Indeks N-Gain
=
skor tes akhir – tes awal Skor maksimum – skor minimum (Meltzer dalam Herlanti, 2006 : 71)
Berikut adalah kriteria penilaian : Tinggi = 0,7 ≤ IG Sedang = 0,3 ≤ IG ≤ 0,7 Rendah = IG < 0,3 (Meltzer dalam Herlanti, 2006 : 72) 7) Menentukan Pengaruh yang diberikan perlakuan terhadap perubahan hasil belajar siswa. Pengaruh negatif (-) diberikan kepada indeks gain < 0,00. Pengaruh positif (+) diberikan untuk indeks gain > 0,00. 8) Mengelompokkan skor yang diperoleh siswa Untuk menganalisis data angket, nilai yang diperoleh oleh siswa diolah kedalam bentuk persen (%) dengan menggunakan rumus : % = Jumlah siswa menjawab pada satu soal X 100% Jumlah seluruh siswa
61
Tabel 3.5. Kategori persentase Persentase
Tafsiran
0
Tidak ada
1-25
Sebagian kecil
26-49
Hampir setengahnya
50
Setengahnya
51-75
Sebagian besar
76-99
Pada umumnya
100
Seluruhnya
(Kuntjaraningrat dalam Prina, 2004 : 36) 9) Melakukan Uji Prasyarat Uji prasyarat dilakukan terhadap nilai pretest dan indeks gain dari kelompok eksperimen 1 dan eksperimen 2. Uji prasyarat meliputi : a) Uji Normalitas dengan x2 (Chi-kuadrat) Dengan menggunakan hipotesis, Ho = distribusi normal, dan HI = distribusi tidak normal b) Uji Homogenitas, apabila data ternyata berdistribusi tidak normal, maka tidak perlu dilakukan uji homogenitas. Dengan hipotesis Ho :
data berasal dari populasi yang memiliki rata – rata dan varians yang identik.
HI :
data berasal dari populasi yang memiliki rata-rata dan varians yang berbeda.
c) Uji Hipotesis (dengan menggunakan uji t, apabila data berdistribusi tidak normal, maka uji hipotesis dilakukan dengan menggunakan uji wilcoxon)
62
Dengan menggunakan hipotesis : Ho :
tidak terdapat perbedaan hasil belajar antara kedua kelas eksperimen
HI :
terdapat perbedaan hasil belajar antara kedua kelas eksperimen.
10) Menentukan ketuntasan hasil belajar siswa dari nilai posttest. Kriteria ketuntasan belajar yang digunakan berdasarkan buku petunjuk teknis pengolahan penilaian Depdikbud 1997 (Wardani dalam Daryanti, 2004 : 55), bahwa seseorang telah belajar tuntas jika sekurang-kurangnya dapat mengerjakan soal dengan benar sebanyak 65 % dalam ulangan harian / 60 % dalam ulangan akhir caturwulan secara proporsional, hasil belajar suatu rombongan belajar dikatakan baik apabila sekurang-kurangnya 85% anggotanya telah tuntas belajar. Apabila anggota-anggotanya yang tuntas hanya mencapai 75 %, maka hasil belajar dikatakan ‘cukup’. Dan apabila persentase anggota yang tuntas kurang dari 60% maka dikatakan bahwa hasil belajar ‘kurang’ tuntas.
63
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini akan diuraikan tentang hasil penelitian yang diperoleh dari nilai pretest – postest dan angket. Selanjutnya dilakukan pembahasan terhadap hasil temuan yang diperoleh berdasarkan analisis data. A. Hasil Penelitian Berdasarkan hasil tes tertulis mengenai pokok bahasan sistem peredaran darah pada manusia yang dilakukan terhadap 2 kelas eksperimen dimana masing – masing kelas mempunyai jumlah siswa 35 orang dan 40 orang, diperoleh skor jawaban siswa terhadap soal-soal yang diberikan. Skor siswa selengkapnya disajikan pada lampiran. Adapun konsep - konsep yang diujikan terdiri dari 9 konsep yang meliputi Struktur Komponen Darah, Fungsi Komponen Darah, Penggolongan Darah, Struktur Jantung, Fungsi Bagian – Bagian Jantung, Struktur Pembuluh Darah, Struktur Pembuluh Darah, Fungsi Pembuluh Darah, Jenis Peredaran Darah, dan Kelainan Pada Sistem Peredaran Darah pada Manusia, yang secara lengkap ditampilkan pada Tabel 4.1. Tabel 4. 1. Konsep – Konsep yang Diujikan No 1 2 3 4 5 6
Konsep Struktur Komponen Darah Fungsi Komponen Darah Penggolongan Darah Struktur Jantung Fungsi Bagian – Bagian Jantung Struktur Pembuluh Darah
No. Soal 2, 5, 10, 22 1, 3, 4, 6 7, 8, 23 11, 13 9, 19 15, 24
64
7 8 9
Fungsi Pembuluh Darah Jenis Peredaran Darah Kelainan pada Sistem Peredaran Darah pada Manusia
16, 17, 18, 25 12,14 20, 21
Setelah pretest dan postest diberikan kepada siswa dari kelas eksperimen 1 yang menggunakan peta konsep dan kelas eksperimen 2 yang menggunakan komik ilmiah, skor kemudian diolah. Berikut adalah data hasil analisis nilai pretest, postest dan gain dari kedua kelas eksperimen : Tabel 4.2. Analisis data Hasil Penelitian Kelas Eksperimen I
Kelas Eksperimen 2
N = 40
N = 35 orang
Pretest
Postest
Gain
Pretest
Postest
Gain
χ
38,25
70, 275
0,3085
24 ,81
60 ,18
0,33
Keterangan
Jelek
Cukup
Sedang
Jelek
Cukup
Sedang
SD
10,485
14,84
0,156
13,23
11,21
0,172
S2
109,936
220, 204
0,024
175,22
125,63
0,0296
16
32
0,04
0
40
-0,08
56
92
0,56
56
84
0,64
Nilai Minimum Nilai Maksimum
Dari tabel diatas, dapat diketahui bahwa nilai rata-rata pretest dan postest kelas eksperimen 1 yang menggunakan peta konsep lebih besar dari pada kelas eksperimen 2 yang menggunakan komik ilmiah. Hal ini berbanding terbalik dengan hasil rata-rata gain yang diperoleh pada kedua kelas eksperimen. Hasil gain pada kelas eksperimen 2 lebih besar daripada kelas eksperimen 1. Berikut ini
65
adalah grafik perbandingan hasil rata-rata pretest, gain, dan postest pada kedua kelas eksperimen : 80
70.275
70
60.18
60 50 40 30
Kelas Eksperimen 1
38.25 24.81
Kelas Eksperimen 2
20 10
0.3085 0.33
0 Pretest
Postest
Gain
Gambar 4.1. Perbandingan Hasil Rata-Rata 1. Temuan Hasil Pretest Data hasil pretest yang telah didapat dari kedua kelas eksperimen diasumsikan berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Untuk membuktikan asumsi tersebut agar langkah selanjutnya dapat dipertanggungjawabkan, maka perlu dilakukan uji prasyarat yang meliputi uji normalitas, homogenitas, dan uji hipotesis. Analisis data mengenai uji normalitas, homogenitas, dan hipotesis dapat dilihat selengkapnya pada lampiran. Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan uji x2 untuk mengetahui apakah data yang digunakan berdistribusi normal atau tidak. Uji normalitas juga dilakukan untuk mengetahui langkah selanjutnya dalam mengolah data, apakah akan
dilakukan
dengan
cara
parametrik
atau
non-parametrik.
Adapun
perbandingan antara hasil uji normalitas untuk data hasil pretest dari kedua kelas eksperimen dapat dilihat pada tabel berikut :
66
Tabel 4.3. Perbandingan Hasil Uji Normalitas Data Pretest Kelompok Penelitian
Kriteria
Eksperimen 1
Eksperimen 2
x2hitung
11,05
3,417
x2(o,99)(dk)
11,3449
11,3449
Kesimpulan
Normal
Normal
Dari tabel diatas, dengan menggunakan α = 0,01, dapat kita ketahui bahwa data hasil pretest kedua kelas eksperimen berasal dari sampel yang berdistribusi normal. Dari kedua data yang berdistribusi normal, kemudian dilanjutkan dengan melakukan uji homogenitas. Uji homogenitas dilakukan untuk mengetahui kesamaan dua buah rata-rata. Berikut ini adalah perbandingan antara hasil uji Fhitung dengan uji Ftabel dengan menggunakan α = 0,01. Tabel 4.4. Perbandingan Hasil Uji Homogenitas Data Pretest Fhitung
Ftabel
1,59
10,97
Seperti dapat dilihat pada tabel diatas, diketahui bahwa hasil dari uji homogenitas dengan menggunakan uji F menghasilkan Fhitung sebesar 1,59 dan Ftabel sebesar 10,97. Karena Fhitung < Ftabel , maka dapat disimpulkan bahwa data pretest merupakan data yang homogen. Setelah diketahui bahwa data berasal dari sampel yang berdistribusi normal dan homogen, juga berasal dari sampel yang berjumlah > 30, maka selanjutnya dilakukan uji hipotesis secara parametrik dengan menggunakan uji-t. Uji t dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan pengetahuan awal antara
67
siswa dari kedua kelas eksperimen. H0 pada uji hipotesis ini adalah tidak terdapat perbedaan hasil pretest antara kedua kelas eksperimen, sedangkan H1 pada uji hipotesis ini adalah terdapat perbedaan hasil pretest antara kedua kelas eksperimen. Tabel 4.5. Perbandingan Hasil Uji Hipotesis Data Pretest thitung
ttabel
4,871
3,17
Sesuai dengan kriteria penerimaan dan penolakan hipotesis yang telah ditentukan, maka dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak. Dengan kata lain, terdapat perbedaan antara pengetahuan awal yang dimiliki kedua kelompok penelitian. Perbedaan pengetahuan awal antara kedua kelas eksperimen dapat dilihat dari rata-rata hasil pretest kedua kelas eksperimen. 2. Temuan Gain Data gain dianalisis untuk mengetahui pengaruh dari perlakuan yang diberikan. Dari Tabel 4.6. dibawah ini dapat diketahui perbandingan nilai rata-rata Indeks N-Gain dari kedua kelas eksperimen : Tabel 4.6. Perbandingan Rata-Rata Indeks N-gain Kelas
Kelas
Eksperimen I
Eksperimen II
0,3085
0,33
Sama halnya dengan data pretest, pada data gain juga dilakukan uji prasyarat yang meliputi uji normalitas, uji homogenitas, dan uji hipotesis. Berikut adalah perbandingan hasil uji normalitas dengan x2 antara kedua kelas eksperimen:
68
Tabel 4.7. Perbandingan Hasil Uji Normalitas Data N-Gain Kelompok Penelitian
Kriteria
Eksperimen 1
Eksperimen 2
x2hitung
8,932
1,43
x2(o,99)(dk)
11,3449
11,3449
Kesimpulan
Normal
Normal
Dari data diatas, dengan menggunakan α = 0,01, dapat diketahui bahwa kedua kelas eksperimen menghasilkan x2hitung yang lebih kecil dari x2tabel . Hal ini berarti bahwa kedua kelas eksperimen berasal dari data yang berdistribusi normal. Setelah diketahui bahwa kedua kelas eksperimen merupakan data berdistribusi normal, maka dilakukan uji homogenitas dengan menggunakan uji F. Berikut adalah data hasil uji homogenitas antara kedua kelas eksperimen : Tabel 4.8. Perbandingan Hasil Uji Homogenitas Data N-Gain Fhitung
Ftabel
1,59
10,97
Dari tabel diatas, dapat diketahui bahwa Fhitung lebih besar dari Ftabel. Dan ini menunjukkan bahwa data berdistribusi normal. Setelah data diketahui berdistribusi normal, dan homogen, juga sampel berjumlah lebih dari 30, maka dilanjutkan dengan melakukan uji hipotesis dengan menggunakan uji-t. Sama halnya dengan syarat penerimaan dan penolakan hipotesis pada data pretest, H0 pada uji hipotesis data gain adalah tidak terdapat perbedaan hasil pretest antara kedua kelas eksperimen, sedangkan H1 pada uji hipotesis ini adalah terdapat
69
perbedaan hasil pretest antara kedua kelas eksperimen. Berikut ini adalah tabel perbandingan hasil uji hipotesis data gain : Tabel 4.9. Perbandingan Hasil Uji Hipotesis Data Gain thitung
ttabel
0,57
3,17
Dari tabel diatas, dapat diketahui bahwa thitung lebih kecil dari ttabel. Dan ini menunjukkan bahwa H0 diterima, yang berarti tidak terdapat perbedaan antara dua perlakuan. Nilai gain dari masing-masing siswa kemudian diberikan keterangan sesuai dengan kategori penilaian indeks gain untuk diketahui seberapa besar pengaruh yang
diberikan
perlakuan
terhadap
peningkatan
hasil
belajar
siswa.
Pengelompokan nilai indeks gain kedalam kategori rendah, sedang, dan tinggi dapat dilihat secara lengkap pada lampiran. Berikut ini adalah tabel pengelompokkan siswa pada kedua kelas eksperimen sesuai dengan kategori indeks gainnya : Tabel 4.10. Persentase Perolehan Gain Berdasarkan Kelompoknya Kategori
Kelas Eksperimen I
Kelas Eksperimen 2
Tinggi
0%
0%
Sedang
52,5 %
57,14%
Rendah
47,5 %
42,86 %
Untuk mengetahui lebih terperinci mengenai pengaruh media yang diberikan terhadap hasil belajar siswa, maka dilakukan interpretasi terhadap hasil perhitungan indeks gain yang diperoleh. Pengaruh (+) diberikan terhadap nilai
70
indeks gain positif (> 0,00), tidak berpengaruh diberikan terhadap nilai indeks = 0,00, dan pengaruh (-) diberikan terhadap nilai indeks gain negatif (< 0,00). Berikut ini adalah tabel pengaruh media yang diberikan terhadap hasil belajar siswa : Tabel 4.11. Persentase Pengaruh Media Terhadap Hasil Belajar Kelas Eksperimen I
Kelas Eksperimen 2
Pengaruh
Persentase
Pengaruh
Persentase
Negatif ( - )
0%
Negatif ( - )
2,85%
Positif ( + )
100%
Positif ( + )
97,15%
3. Temuan Hasil Postest Hasil analisis data pretest yang menunjukkan adanya perbedaan rata-rata pengetahuan awal antara kedua kelas eksperimen jelas mempengaruhi hasil yang didapatkan pada postest. Analisis data postest dilakukan untuk mengetahui ketuntasan dan pencapaian hasil belajar siswa. Maka dari itu, pada hasil temuan postest tidak dilakukan uji hipotesis secara statistik. Kriteria ketuntasan yang digunakan berdasarkan Depdikbud 1997 (Wardani dalam Daryanti, 2004 : 55), menyatakan bahwa siswa baru bisa dikatakan tuntas apabila siswa tersebut mampu menyelesaikan soal dengan benar sebanyak 65% dari keseluruhan soal. Hasil belajar suatu rombongan belajar dikatakan baik apabila sekurang-kurangnya 85% anggotanya telah tuntas belajar. Apabila anggota-anggotanya yang tuntas hanya mencapai 75 %, maka hasil belajar
71
dikatakan ‘cukup’. Dan apabila persentase anggota yang tuntas kurang dari 60% maka dikatakan bahwa hasil belajar ‘kurang’ tuntas. Berikut ini adalah tabel persentase tingkat ketuntasan dari masing-masing kelas eksperimen : Tabel 4.12. Persentase Tingkat Ketuntasan Hasil Belajar Kelas Eksperimen 1
Kelas Eksperimen 2
Tuntas
Tidak Tuntas
Tuntas
Tidak Tuntas
72,5 %
27,5 %
28,57 %
71,43 %
Cukup
Kurang
B. Pembahasan Hasil Penelitian Berdasarkan analisis data hasil penelitian, diperoleh perbandingan nilai pretest, postest, dan indeks gain dari kedua kelas eksperimen. Dari hasil tes tertulis juga dapat dianalisis mengenai perbandingan hasil belajar antara siswa yang menggunakan media komik ilmiah dan peta konsep serta pengaruhnya terhadap perubahan pemahaman konsep siswa yang diindikasikan dengan peningkatan atau penurunan hasil belajar. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa pemberian media pembelajaran sangatlah berperan penting dalam mencapai tujuan pembelajaran. Sudjana (2005 : 2) menjelaskan bahwa media pengajaran dapat mempertinggi proses belajar siswa dalam pengajaran yang pada gilirannya diharapkan dapat mempertinggi hasil belajar yang dicapainya. Pemberian media pembelajaran yang tepat untuk siswa merupakan salah satu bentuk aplikasi cara dalam mewujudkan sebuah pembelajaran yang bermakna.
72
Pembelajaran bermakna menimbulkan pemahaman konsep yang lebih tahan lama dalam ingatan dibandingkan dengan belajar hapalan (Abram, 1999). Dalam belajar bermakna, faktor terpenting yang harus diketahui oleh guru adalah pengetahuan awal siswa (Ausubel dalam Hassard, 2000). Pengetahuan awal siswa diperlukan sebagai konstruksi kognitif awal yang kemudian akan beradaptasi sesuai dengan pengalaman yang dialami siswa. Pengetahuan awal siswa tentunya akan mempengaruhi hasil akhir yang didapat setelah belajar. Untuk itu, perlu diketahui secara pasti mengenai pengetahuan awal siswa yang diindikasikan dengan hasil pretest melalui uji statistik. Untuk mengetahui perbedaan rata-rata dua sampel digunakan uji-t. Uji-t digunakan untuk menguji data-data yang mempunyai skala interval atau rasio (Herlanti, 2006 : 66). Setelah dianalisis dengan menggunakan uji-t, data pretest menunjukkan adanya perbedaan rata-rata yang signifikan antara kedua kelas eksperimen. Perbedaan ini jelas terlihat dari nilai rata-rata pretest pada kelas eksperimen 1 lebih besar daripada nilai rata-rata pretest pada kelas eksperimen 2. rata-rata nilai pretest pada kelas eksperimen 1 dengan kelas eksperimen 2 terpaut sebesar 13,44. Meskipun sebelumnya telah dilakukan uji homogenitas terhadap sampel tersebut, dan terbukti data berasal dari sampel yang berdistribusi homogen, tetapi bisa saja terjadi perbedaan rata-rata hasil penelitian. Hal ini dapat dipengaruhi oleh faktor dari luar diri dan faktor dalam diri dan keduanya saling berinteraksi (Gagne dalam Abrams, 1999). Wibawa (1991:1) juga menjelaskan bahwa pencapaian hasil belajar siswa dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal.
73
Faktor internal tentu saja datang dari dalam sampel. Dari angket yang telah disebarkan juga diketahui bahwa hampir setengah dari jumlah keseluruhan siswa pada kelas eksperimen 1 berpendapat bahwa materi sistem peredaran darah pada manusia merupakan materi yang mudah dipahami karena sebelumnya pernah mendapatkan pengetahuan mengenai materi tersebut saat mengikuti bimbingan belajar dan saat pembelajaran di SMP (Lampiran i). Sedangkan pada kelas eksperimen 2, sebagian besar siswa tidak setuju bahwa materi sistem peredaran darah pada manusia merupakan materi yang mudah dipahami. Jadi jelas terlihat bahwa rata-rata hasil pretest pada kelas eksperimen I lebih besar daripada kelas eksperimen II. Pada saat pembelajaran, peneliti juga melakukan tanya jawab seputar materi tersebut kepada siswa dari kedua kelas eksperimen, namun berbeda dengan kelas eksperimen 1, kebanyakan siswa dari kelas eksperimen 2 menyatakan sudah lupa mengenai materi tersebut yang sudah dibahas di SMP. Jadi jelas terlihat bahwa faktor internal yang berupa hapalan siswa mengenai materi sistem peredaran darah pada manusia terdahulu sangat berpengaruh pada hasil pretest yang dihasilkan. Faktor eksternal yang mempengaruhi perbedaan rata-rata kedua kelas eksperimen, salah satunya adalah kebocoran informasi dari kelas eksperimen 2 kepada kelas eksperimen 1. Hal ini peneliti rasakan saat memasuki kelas eksperimen 1 yang jadwalnya setelah kelas eksperimen 2. Banyak siswa yang sedang membaca buku biologi dan menanyakan perihal ulangan. Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa siswa pada kelas eksperimen 1 telah memiliki persiapan
74
yang lebih banyak tinimbang siswa pada kelas eksperimen 2 yang melaksanakan pembelajaran secara mendadak. Pada umumnya, siswa yang mempunyai pengetahuan awal atau nilai pretest yang tinggi, cenderung mendapatkan hasil postest yang tinggi pula setelah proses belajar. Begitu pula dengan siswa yang memiliki pengetahuan awal atau nilai pretest yang rendah, setelah pembelajaran, nilai postest cenderung naik. Untuk mengetahui selisih antara nilai pretest dan postest juga peningkatan pemahaman atau penguasaan konsep setelah pembelajaran guru, maka perlu dilakukan perhitungan indeks gain. Pada perhitungan indeks gain, sering sekali terjadi permasalahan mengenai perbedaan indeks gain akibat nilai pretest pada dua kelompok penelitian yang dibandingkan berbeda, sehingga sering sekali penelitian menjadi bias. Untuk menghindari bias penelitian semacam ini, maka digunakan indeks normal gain menurut Meltzer (Herlanti, 2006 : 71). Hasil analisis data N-gain dengan menggunakan uji-t menunjukkan bahwa rata-rata nilai indeks N-gain antara kedua kelas eksperimen tidak berbeda secara signifikan. Berikut ini adalah grafik perbandingan rata-rata indeks N-gain antara kedua kelas eksperimen : 0.33 0.33 0.325 0.32 0.315 0.31
0.3058
0.305
Kelas Eksperimen 1 Kelas Eksperimen 2
0.3 0.295 0.29 Gain
Gambar 4.2. Rata - Rata N-Gain
75
Dari grafik tersebut dapat diketahui bahwa perbedaan nilai rata-rata indeks Ngain antara kedua kelas tersebut sangatlah kecil bahkan cenderung sama (hanya berbeda 0,0215). Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu : Pertama, siswa dari kedua kelas eksperimen sama-sama mempunyai minat yang sama terhadap media pembelajaran yang diberikan. Hal ini dapat dilihat dari data angket pada tabel 4.13. Minat yang tinggi terhadap media pembelajaran yang disajikan dapat timbul karena pembelajaran dengan menggunakan media peta konsep dan komik ilmiah baru pertama kali mereka rasakan. Dari hasil wawancara khusus dengan siswa dan guru yang biasa mengajar pada kedua kelas eksperimen tersebut, diketahui bahwa mereka terbiasa belajar dengan menggunakan metode ceramah biasa saja dan jarang sekali menggunakan media pembelajaran. Menurut Wibawa (1993 : 3), penyajian pembelajaran secara verbal (kata-kata) membuat siswa cepat menjadi bosan dan cepat lupa mengenai materi pelajaran yang telah dipelajari. Dari data angket pada tabel 4.13. juga diketahui bahwa pada umumnya siswa lebih menyukai pembelajaran dengan menggunakan media peta konsep dan komik ilmiah daripada belajar dengan menggunakan metode ceramah.
76
Tabel 4.13. Data Angket Siswa Kelas Eksperimen 1 dan 2 STS Kls Kelas Eksp Eksp 1 2 9,76 0% % = = tidak seba ada gian kecil
Kls Eksp 1 2,44 % = sebag ian kecil
Kls Eksp 2 5,26 % = sebag ia kecil
2. Media peta konsep dan komik ilmiah membuat saya lebih mudah memahami materi.
0% = Tdk ada
0% = tidak ada
0% = tidak ada
0% = tidak ada
9,76 % = seba gian kecil
3. Media peta konsep dan komik ilmiah membuat saya lebih aktif dalam mencerna materi.
0% = Tdk ada
0% = tidak ada
4,88 % = sebag ian kecil
0% = tidak ada
26,3 % = ham pir seten gahn ya
44,74 % = hampi r seten gahny a
63,41 % = sebag ian besar
34,21 % = hampi r seten gahny a
0% = tidak ada
4,88 % = sebag ian kecil
2,63 % = sebag ian kecil
Soal
1. Menurut saya, konsepkonsep yang ada dalam materi Sistem Peredaran Darah ini mudah dipahami.
4. Saya tidak menyukai media peta konsep dan komik ilmiah.
5. Saya merasa tertarik belajar dengan menggunakan media peta konsep dan komik ilmiah.
0% = tdk ada
TS
ATS Kls. Kls. Eksp. Eksp.2 1 41,46 36,84 % % = = hamp hampi ir r seten sebagi gahn an ya
S
SS
Kls. Eksp. 1 43,9% = hampir seteng hnya
Kls. Eksp.2
Kls. Eksp. 1 2,44 % = sebagi an kecil
Kls. Eksp.2
10,53 % = sebagi an kecil
78,0 % = sebagi an besar
47,37 % = hampi r seteng hnya
12,19 % = sebagi an kecil
42,10 % = hampi r seteng ahnya
31,7 % = hamp ir seten gahn ya 4,88 % = seba gian kecil
5,26 % = sebagi an kecil
58,54 % = sebagi an besar
71,05 % = sebagi an besar
4,88 % = sebagi an kecil
23,68 % = sebagi an kecil
13,16 % = sebagi an kecil
2,44 % = sebagi an kecil
7,89 % = sebagi an kecil
2,44 % sebagi an kecil
0% = tidak ada
14,63 % = seba gian kecil
13,16 % = sebagi an kecil
70,73 % = sebagi a besar
52,63 % = sebagi an besar
9,76 % = sebagi an kecil
31,58 % = hampir seteng ahnya
47,37 % = hampi r seteng ahnya
10,53 % = sebagi an kecil
77
6. Saya merasakan kesulitan dalam memahami materi dengan menggunakan media peta konsep dan komik ilmiah.
4,88 % = Seba gian kecil
21,05 % = sebag ian kecil
56,1 % = sebag ian besar
55,26 % = sebag ian besar
29,27 % = hamp ir seten gahn ya
18,42 % = sebagi an kecil
9,75 % = sebagi an kecil
5,26 % = sebagi an kecil
0% = tidak ada
0% = tidak ada
7. Saya lebih mudah memahami materi dengan menggunakan media peta konsep dan komik ilmiah daripada dengan menggunakan ceramah/katakata.
0% = Tida k ada
0% = tidak ada
7,32 % = sebag ian kecil
2,63 % = sebag ian kecil
21,95 % = hamp ir seten gahn ya
13,16 % = sebagi an kecil
46,34 % = hampir seteng hnya
47,37 % = hampi r seteng ahnya
24,39 % = sebagi an kecil
36,84 % = hampir seteng hnya
Kedua, kedua pembelajaran sama-sama merupakan tipe belajar bermakna. Menurut Daud (2003), bahan yang dikemas secara bermakna, atau memiliki arti lebih, lebih mudah untuk dipelajari tinimbang informasi yang kurang bermakna. Dalam hal ini, peta konsep dan komik ilmiah sama-sama memadukan kerja antara otak kanan dan otak kiri. Selain itu, kedua media tersebut juga sama-sama dikemas dalam bentuk menarik. Peta konsep dan komik limiah sama-sama disertai dengan gambar visual yang menarik dan relevan dengan materi yang diajarkan sehingga memudahkan siswa untuk memahami isi materi yang disampaikan. Dari data angket pada tabel 4.13.dapat diketahui bahwa siswa merasa mudah memahami materi yang disampaikan dengan menggunakan media peta konsep dan komik ilmiah. Kelebihan dari peta konsep adalah media tersebut dapat
78
membentuk stuktur kognitif yang lebih terarah dan mempunyai kemungkinan miskonsepsi yang lebih kecil dibandingkan dengan media komik ilmiah (Fonseca, 2004). Peta konsep juga memudahkan siswa dalam mengingat materi hapalan yang banyak, karena peta konsep meringkas konsep-konsep kuncinya. Disamping itu, komik ilmiah juga memudahkan siswa memahami isi materi karena dapat meningkatkan motivasi belajar siswa (Ekawati, 2007). Selain itu, berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu yang menyangkut dengan media komik ilmiah dan peta konsep, pada umumnya menghasilkan kesimpulan yang baik mengenai pembelajaran dengan menggunakan kedua media tersebut. Seperti penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Fanny Prina (2004) dan Yakti (2003), penelitian mereka menghasilkan kesimpulan bahwa penggunaan bacaan komik sebagai media pembelajaran sangat efektif dalam meningkatkan pemahaman siswa. Hal ini disebabkan oleh karakteristik bacaan komik yang menarik karena sarat dengan gambar dan adanya alur cerita, dan juga sesuai dengan karakteristik siswa SMA yang cenderung serius tetapi juga senang bergurau dan mencoba hal-hal baru. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Daryanti (2004) yang berkaitan dengan penggunaan peta konsep menghasilkan kesimpulan bahwa peta konsep dapat menjadi sebuah alat evaluasi yang baik. Ketiga, metode pembelajaran dalam menyampaikan materi melalui media peta konsep dan komik ilmiah sama-sama menggunakan metode diskusi. Sehingga siswa dari kedua kelas eksperimen dapat menggali isi materi dalam media yagn berbeda dengan cara atau merode yang sama. Hal ini memungkinkan siswa mendapatkan persepsi tentang materi pembelajaran yang sama melalui diskusi
79
meskipun dengan menggunakan media yang berbeda. Keempat, kedua media yang digunakan sama-sama mampu meningkatkan keaktifan siswa. Hal ini dapat dilihat dari data penunjang yang diperoleh dari sebaran angket (Tabel 4.13). Subiyanto (2005)
menjelaskan
bahwa
melalui
proses
keaktifan,
seseorang
dapat
mengembangkan kemampuannya. Menurut prinsip pembelajaran konstruktivisme (Subiyanto, 2005), pengetahuan adalah bentukan (konstruksi) dari dirinya sendiri. Melalui proses aktif, siswa mampu membentuk stuktur kognitif yang kuat. Melalui media peta konsep, siswa diminta aktif dalam mengaitkan konsep-konsep tersebut kedalam struktur yang benar. Sedangkan dengan menggunakan media komik ilmiah, siswa diminta aktif dalam menggali isi materi melalui rangkaian cerita yang saling berkaitan. Pengelompokkan hasil indeks gain ke dalam ukuran ’rendah’, ’sedang’, dan ’tinggi’, diberikan untuk mengetahui besarnya pengaruh yang diberikan oleh perlakuan terhadap hasil belajar. Dari hasil analisis data, dapat dilihat bahwa kedua media yang digunakan tidak menunjukkan pengaruh yang tinggi. Bahkan perbandingan persentase antara yang berkategori ’sedang’ dengan yang berkategori ’rendah’ mendekati seimbang. Berikut ini adalah grafik persentase kategori indeks N-gain berdasarkan pengaruhnya : 60.00% 50.00%
52.50% 57.14%
47.50%
42.86%
40.00% 30.00%
Kelo mpo k Eksperimen 1
20.00%
0%
10.00%
0%
kelo mpo k Eksperimen 2
0.00% Rendah
Sedang
Tinggi
Gambar 4.3. Persentase kategori Indeks N-gain
80
Pada kelas eksperimen 1, 47,5 % siswa mengalami peningkatan hasil belajar yang berkategori ’rendah’ akibat pemberian media peta konsep, dan 52,5 % siswa mendapatkan peningkatan hasil belajar yang berkategori ’sedang’. Sedangkan pada kelas eksperimen 2, 42,86 % siswa mendapatkan peningkatan hasil belajar yang berkategori ’rendah’ akibat pemberian media komik ilmiah, dan 57,14 % siswa yang mendapatkan peningkatan hasil belajar yang berkategori ’sedang’. Jika dirata-ratakan, pengaruh yang diberikan oleh media pembelajaran yang digunakan terhadap perubahan hasil belajar siswa memang masuk ke dalam kategori ’sedang’. Tetapi selisih dari kategori ’sedang dan ’rendah’ sangatlah tipis, bahkan cenderung dikatakan seimbang. Hal ini menunjukkan bahwa media pembelajaran yang digunakan tidak menunjukkan hasil yang terhadap hasil belajar siswa. Terdapat faktor-faktor yang diduga menjadi penyebabnya kurang efektifnya media yang digunakan, yaitu : pertama, adanya keterbatasan media visual. Wibawa (1993 : 29) menjelaskan bahwa keterbatasan yang dimiliki media visual, antara lain :semata-mata hanya media visual, memerlukan ketersediaan sumber dan keterampilan serta kejelian guru untuk dapat memanfaatkannya. Kedua, kurangnya ketersediaan waktu untuk menggunakan media dapat menjadi salah satu faktor kurangnya efektifitas dari media yang digunakan (Sudjana, 2005 : 5). Peneliti juga merasakan bahwa pada saat memberikan materi pelajaran dengan menggunakan media penelitian, keterbatasan waktu dan banyaknya materi yagn akan disampaikan menjadi salah satu faktor kurangnya pengaruh media pembelajaran yang dirasakan melalui hasil belajar siswa. Keterbatasan waktu menyebabkan siswa harus menerima materi pelajaran dengan kuantitas yang
81
banyak dalam satu kali pertemuan. Hal ini juga diperkuat dengan pendapat siswa yang terungkap dari sebaran angket. Analisis data juga dilakukan untuk mengetahui pengaruh yang diberikan oleh media pembelajaran yang digunakan. Dari hasil analisis data N-gain dapat dilihat jenis pengaruh yang diberikan dari kedua media pada kedua keals eksperimen. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada gambar di bawah ini :
100%
100%
97%
90% 80% 70% 60% 50%
P ositif
40%
Negatif
30% 20% 10%
0%
2.86%
0% Kelas Eksperim en 1
Kelas Eksperim en 2
Gambar 4.5. Persentase Pengaruh Media Terhadap Hasil Belajar
Pada kelas eksperimen 1 yang menggunakan media peta konsep, seluruh siswa (100%) mendapatkan pengaruh yang positif dari perlakuan. Sedangkan pada kelas eksperimen 2 yang menggunakan komik ilmiah, terdapat 97,14% siswa yang mendapatkan pengaruh positif dan 2,86% siswa yang mendapatkan pengaruh negatif dari pemberian media komik ilmiah. Satu orang siswa yang mengalami penurunan hasil belajar dari pretest ke postest, diketahui dari data angket, ternyata tidak begitu menyukai media komik ilmiah dan kesulitan dalam membacanya (Lampiran i). Perolehan N-gain terkadang dapat berbanding terbalik dengan ketuntasan hasil belajar siswa yang dilihat dari nilai postestnya. Bisa jadi siswa yang mengalami
82
peningkatan yang tinggi tidak tuntas dalam melangsungkan pembelajaran dilihat dari hasil belajar akhir yang mereka dapatkan. Hal seperti ini juga terjadi pada penelitian ini. Dari hasil analisis data pada kelas eksperimen 2, diketahui hasil Ngain yang lebih besar 0,0215 dari yang diperoleh pada kelas eksperimen 1. Namun, dalam hal ketuntasan belajar, siswa pada kelas eksperimen 2 menunjukkan hasil yang lebih rendah daripada kelas eksperimen 1. dari analisis data postest, diketahui bahwa ketuntasan hasil belajar siswa pada kelas eksperimen 1 berada pada kategori ’cukup’. Sedangkan ketuntasaan hasil belajar siswa pad akelas eksperimen 2 berada pada kategori ’kurang’. Berikut adalah grafik ketuntasan belajar dari kedua kelas eksperimen :
80.00%
72.50%
71.43%
70.00% 60.00% 50.00% 40.00%
28.57%
30.00%
27.50%
Kelompok eksperimen 1 Kelompok eksperimen 2
20.00% 10.00% 0.00% Tuntas
Tidak Tuntas
Gambar 4.4. Persentase Ketuntasan Belajar Siswa
Siswa dikatakan tuntas dalam mencapai tujuan pembelajaran apabila dia mampu menjawab soal uji dengan benar sebanyak minimal 65% dari keseluruhan soal ujian yang diberikan. Dalam hal ini, hal-hal yang mempengaruhi seorang siswa tidak tuntas dalam melaksanakan pembelajaran adalah : pertama, kesulitan dalam membaca media. Dari sebaran angket, diketahui bahwa hampir setengah dari keseluruhan siswa merasakan kesulitan dalam mencerna materi dengan
83
menggunakan komik ilmiah. dari angket tersebut juga diketahui bahwa setengah dari keseluruhan siswa merasa bahwa dialog yang ada pada komik ilmiah terlalu banyak dan sulit dalam mengikuti arah bacaan komik. Kedua, banyaknya materi pelajaran juga mempengaruhi siswa dalam membaca media. Dari analisis hasil postest yang didapat juga menunjukkan tingkat pencapaian pemahaman siswa setelah melakukan pembelajaran. Dari analisis data hasil penelitian diketahui bahwa nilai rata-rata postest pada kelas eksperimen 1 lebih besar daripada kelas eksperimen 2. Namun hasil postest dari kedua kelas eksperimen ini berada pada kategori ”Cukup”. Pencapaian hasil belajar yang tergolong cukup yang artinya tidak baik, erat kaitannya dengan pengetahuan awal yang siswa miliki dan efektivitas dari media yang digunakan. Hal ini dapat diperjelas melalui grafik dibawah ini : 72.00 70.00 68.00 66.00 64.00 62.00 60.00 58.00 56.00 54.00
70.28
60.18
Kelas Eksperimen 1 Kelas Eksperimen 2
Nilai Rata-Rata
Gambar 4.2. Perbandingan Rata-Rata Nilai Postest
84
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan temuan dan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa rata-rata hasil belajar antara kedua kelas eksperimen yang masing-masing menggunakan media peta konsep dan komik ilmiah, tidak berbeda secara signfikan. Hasil uji-t menunjukkan bahwa thitung : 0,57 < ttabel : 3,17. Kedua media peda umumnya memberikan pengaruh yang positif terhadap peningkatan hasil belajar siswa. Analisis indeks N-gain menunjukkan bahwa peta konsep memberikan pengaruh positif sebesar 100 % terhadap hasil belajar siswa, sedangkan komik ilmiah memberikan pengaruh positif sebesar 97,14 % terhadap hasil belajar siswa. Ketuntasan pada kelas peta konsep berkategori ‘cukup’ dengan persentase ketuntasan sebesar 72,5%. Sedangkan siswa pada kelas komik ilmiah kurang tuntas dalam mencapai tujuan pembelajaran dengan persentase ketuntasan sebesar 28,57%. Penggunaan peta konsep dan komik ilmiah sebagai media pembelajaran memberikan kontribusi yang ‘cukup’ terhadap hasil belajar akhir siswa. Rata-rata nilai postest pada kelas eksperimen 1 adalah 70,275 dan rata-rata nilai postest pada kelas eksperimen 2 adalah 60,18. B. Saran Berdasarkan hasil penelitian ini, maka ada beberapa saran yang perlu diajukan : 1. Bagi guru :
85
a. Dalam pemilihan media pembelajaran hendaknya lebih bervariasi dan disesuaikan dengan kebutuhan siswa. Jangan menggunakan media yang monoton dan kurang menarik perhatian siswa. b. Komik ilmiah dan peta konsep dapat digunakan sebagai alternatif media pembelajaran. c. Pada saat melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan media peta konsep dan komik ilmiah, hendaknya guru senantiasa memberikan bimbingan terhadap siswa dan disertai dengan metode pembelajaran yagn sesuai. d. Pada saat melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan media peta konsep dan komik ilmiah, guru hendaknya lebih komunikatif dalam menyampaikan materi. 2. Bagi Peneliti Lainnya : a. Peneliti dapat mengkaji penggunaan komik ilmiah dan peta konsep dalam bidang kajian lainnya. b. Peneliti dapat menyempurnakan pembuatan komik dan peta konsep dengan memanfaatkan kemajuan tekhnologi yang menyediakan programprogram aplikasi komputer yang mendukung.
86
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah, Husni. (2003). Pengertian Belajar. [online]. http://www.husniabdillah.multiply.com [8 Februari 2008]
Tersedia
:
Abram, Roberts. (1999). Meaningful Learning A Collaborative Literature Review of Concept Mapping. [online]. Tersedia : http://www.ucsc.edu . [12 Desember 2007] Arikunto, S. (1998). Prosedur Penelitian. Jakarta : Bumi Aksara. Arikunto, S. (1999). Dasar – Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara. Atikah, Tintin. et al. (1995). Belajar Aktif Biologi. Bandung : Multi Adi Wiyata. Bevelander, Gerrit dan Judith A. Ramalay. (1988). Dasar-Dasar Histologi. Jakarta : Erlangga Daryanti, Ida. (2004). Perbandingan Piktogram dan Peta Konsep pada Konsep Sistem Ekskresi Manusia. Skripsi FPMIPA UPI Jurusan Pendidikan Biologi : Tidak diterbitkan. Ekawati, Riana. (2007). Komik Ilmiah Sebagai Pemancing Minat Belajar [online]. Tersedia : http://www.suarapembaruan.com [17 Februari 2008]. Gall, Meredith D. et al. (2003). Educational research an Introduction. USA : Allyn and Bacon. Gondo, P. (2007). Media Kartu untuk Pembelajaran Bahasa Inggris [online]. Tersedia : http://www.slb1jogja.com/lihat_artikel.php?id=4 [17 Februari 2008]. Hassard. (2000). Meaningful Learning Model [online]. Tersedia http://scied.gsu.edu/Hassard/mos/2.10.html [ 17 Februari 2008].
:
Hamalik, O. (1983). Metode Belajar dan Kesulitan - kesulitan Belajar. Bandung : Tarsito. Isjoni. (2004). Guru Masa Depan. [online]. Tersedia : http://www.ganecaexact.com. [12 Desember 2007]. Kurniawati. (2003). Keefektifan Media Komik Terhadap Kemampuan Menulis Karangan Narasi Siswa Kelas II SMKN 1 Cimahi. Skripsi FPMIPA UPI Jurusan Pendidikan Biologi : Tidak diterbitkan.
87
Latuheru, John D. (1988). Media Pembelajaran dalam Proses Belajar Mengajar Masa Kini. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Syah, Muhibbin. 1995. Psikologi Pendidikan Suatu Pendekatan Baru. Bandung : Remaja RosdaKarya. Novak, Joseph D. dan Alberto J. Canas. (2004). Building new constructivist Ideas and Cmap Tools to Create A New Model for Education.[online]. Tersedia : http://www.ihmc.us [8 Februari 2008] P,
Daud. (2003). Prinsip Kebermaknaan. [online]. http://www.geocities.com [12 Desember 2007].
Tersedia
:
Pratiwi, D. A. et al. (2000). Biologi SMU. Jakarta : Erlangga. Prina, Fanny. (2004). Perbandingan Hasil Belajar Antara Siswa yang Menggunakan Buku Paket dengan Siswa yang Menggunakan Buku Komik pada Konsep Hormon. Skripsi FPMIPA UPI Jurusan Pendidikan Biologi : Tidak diterbitkan. Purwanto, Ngalim. (1995). Ilmu Pendidikan Teoritisdan Praktis. Bandung : Remaja Rosda Karya. Riyanto, Yatim. (2001). Metode Penelitian Pendidikan. Surabaya : Penerbit SIC Rustaman, Nuryani Y. et al. (2003). Strategi Belajar Mengajar Biologi. Bandung : Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA UPI. Sabaria, Juremi dan Aminah Ayob. (2003). Menentukan Kesahan Alat Ukur-Alat Ukur Kemahiran Berfikir Kritis, Kemahiran Berfikir Kreatif, KemahiranProses Sains dan Pencapaian Biologi [online]. Tersedia : www.geocities.com/drwanrani/SabariaJuremi.doc [ 17 February 2008] Subiyanto, Paul. (2005). Proses Berpikir Aktif Siswa yangTerabaikan. [online]. Tersedia : http://www.Balipost.co.id. [12 Desember 2007]. Sudjana. (1989). Metode Statistik. Bandung : Tarsito. Sudjana, Nana dan Ahmad Rivai. (2005). Media Pengajaran. Bandung : Sinar Baru Algensindo. Sudrajat, Ahmad. (2008). Media Pembelajaran. [online]. Tersedia http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/12/media-pembelajaran/ [17 Februari 2008].
:
88
Sutedjo, Nana. (2005). Bikin Komik, kenapa Tidak ?. [online]. Tersedia : http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=208446&kat_id=253&kat_id1=& kat_id2 [12 Desember 2007]. Syamsudin, A. (1990). Psikologi Pendidikan. Bandung : Remaja Rosda Karya. Wibawa, Basuki dan Farida Mukti. (1991). Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Wulangi, Kartolo S. (1993). Prinsip - Prinsip Fisiologi Hewan. Bandung : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. ….(2000). Concept Mapping. [online]. Tersedia : http://www.wikipedia.com . [12 Desember 2007] ….(…). Kinds of Concept Maps [online]. Tersedia : http://www.classes.aces.uiuc.edu/ACES100/Mind/c-m2.html [12 Desember 2007].