BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Kegiatan pembelajaran yang dibangun oleh guru dan siswa adalah kegiatan yang bertujuan. Sebagai kegiatan yang bertujuan, maka segala sesuatu yang dilakukan guru dan siswa hendaknya diarahkan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Oleh sebab itu, merumuskan tujuan merupakan langkah pertama yang harus dilakukan dalam merancang sebuah program pembelajaran. Menurut Sanjaya (2007: 64), ada beberapa alasan mengapa tujuan perlu dirumuskan dalam merancang suatu program pembelajaran, di antaranya untuk mengevaluasi efektivitas keberhasilan proses pembelajaran, sebagai pedoman dan panduan kegiatan belajar siswa, membantu guru dalam mendesain sistem pembelajaran, dan sebagai kontrol dalam menentukan batas-batas dan kualitas pembelajaran. Begitupun halnya dalam pembelajaran matematika, diharapkan adanya kreativitas guru sebagai fasilitator pembelajaran untuk merumuskan tujuan pembelajaran sehingga dapat menggali kompetensi matematis siswa secara optimal. Ditinjau dari aspek kognitif, salah satu tujuan pembelajaran matematika di sekolah, menurut Standar Isi (Permendiknas No. 22 tahun 2006), adalah agar peserta didik memiliki kemampuan mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah, sedangkan ditinjau dari sisi afektif, diharapkan siswa memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian,
2
dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Komunikasi adalah bagian esensial dari matematika dan pendidikan matematika (NCTM, 2000: 60) sebab komunikasi merupakan cara berbagi ide dan mengklarifikasi pemahaman sehingga ide tersebut menjadi lebih bermakna. Komunikasi bisa mendukung belajar para siswa atas konsep-konsep matematis yang baru saat mereka memainkan peran dalam suatu situasi, mengambil, menggunakan obyek-obyek, memberikan laporan dan penjelasan-penjelasan lisan, menggunakan diagram, menulis, dan menggunakan simbol-simbol matematis. Dengan demikian, kesalahan konsep dapat diidentifikasi dan ditanggulangi (Wahyudin, 2008: 42). Menurut Wahyudin (Permana, 2010: 2) kebergunaan matematika lahir dari kenyataan bahwa matematika menjelma sebagai alat komunikasi yang tangguh, singkat, padat dan tidak bermakna ganda. Bagi dunia keilmuan, matematika memiliki peran sebagai bahasa simbolik yang memungkinkan terwujudnya komunikasi yang cermat dan tepat. Dengan demikian, komunikasi matematis memegang peranan penting baik sebagai representasi pemahaman siswa terhadap konsep matematika sendiri maupun dunia keilmuan yang lain. Komunikasi matematis menjadi kemampuan yang harus digali oleh guru agar siswa memiliki kemampuan memberikan informasi yang padat, singkat dan akurat melalui nilai-nilai yang dibahasakan. Kenyataan ini jelas karena matematika banyak diterapkan dalam bidang ilmu lain. Dalam menggali kemampuan komunikasi matematis siswa, guru perlu menghadapkan siswa pada
3
berbagai masalah yang merupakan situasi nyata untuk memberikan kesempatan kepada siswa mengkomunikasikan gagasannya. Pentingnya komunikasi dalam pembelajaran matematika juga dikemukakan oleh Lappan (Hulukati, 2005: 5) yang menyatakan bahwa the overaching goall of connected mathematics is all student should be able to reason and communicate proficiently in mathematics. Beberapa hasil temuan penelitian menunjukkan bahwa kemampuan komunikasi matematis siswa dinilai masih rendah terutama keterampilan dan ketelitian dalam mencermati atau mengenali sebuah persoalan matematika (Fuentes, 1998; Wahyudin, 1999; Osterholm, 2006; Ahmad, Siti & Roziati, 2008). Fuentes (1998) dan Wahyudin (1999) melaporkan bahwa kurang cermatnya siswa membaca secara komprehensif suatu ungkapan matematis diindikasikan oleh cara mereka menyelesaikan permasalahan matematika tersebut yang cenderung lebih bersifat prosedural dan terkonsentrasi untuk menyelesaikan perhitungan secara rutin tanpa memahami makna dari permasalahan yang diberikan. Osterholm (2006) melaporkan bahwa responden tampaknya kesulitan mengartikulasikan alasan mereka dalam memahami suatu bacaan. Ketika mereka diminta mengemukakan alasan logis atas pemahaman mereka, responden kadangkadang hanya tertuju pada bagian kecil dari teks, menyatakan bahwa bagian ini (permasalahan matematika yang memuat simbol-simbol) tidak mengerti, tetapi tidak memberikan alasan atas pernyataannya tersebut. Adapun temuan yang dilaporkan Ahmad, Siti & Roziati (2008) menunjukkan bahwa mayoritas dari siswa tidak menuliskan solusi masalah dengan menggunakan bahasa matematik yang benar. Dengan demikian komunikasi intrapersonal dan interpersonal penting
4
dalam belajar matematika terutama dalam menginterpretasikan istilah untuk memecahkan
masalah
matematika.
Komunikasi
intrapersonal
merupakan
keterlibatan internal secara aktif dari individu dalam pemrosesan simbolik pesanpesan (penggunaan bahasa atau pikiran yang terjadi di dalam komunikator sendiri), sedangkan komunikasi interpersonal merupakan proses penyampaian pesan oleh satu orang dan penerimaan pesan oleh paling sedikit satu orang dengan harapan dapat segera memberikan umpan balik. Dengan
mempertimbangkan
hasil
studi
empiris
tersebut,
tidaklah
mengherankan bila kemampuan komunikasi matematis siswa di sekolah terutama kecermatan dalam membaca secara komprehensif suatu ungkapan matematis yang diberikan masih lemah, sebagai dampak dari lemahnya proses pembelajaran. Sebab, selama ini anak kurang didorong untuk mengembangkan kemampuan berpikir tetapi lebih diarahkan kepada kemampuan anak untuk menghapal informasi sehingga otak anak dipaksa mengingat dan menimbun berbagai informasi tanpa dituntut memahami informasi yang diingatnya itu. Dengan demikian, pembelajaran menjadi tidak bermakna (meaningful) (Sanjaya, 2007:1). Sebagaimana ungkapan Crawley dan Mountain (Rahim, 2008: 2) bahwa membaca pada hakikatnya adalah sesuatu yang rumit yang melibatkan banyak hal, tidak hanya sekedar melafalkan tulisan, tetapi juga melibatkan aktivitas visual, berpikir, psikolinguistik, dan metakognitif. Sebagai aktivitas visual, membaca merupakan proses menerjemahkan simbol-simbol dalam bahasa lisan. Sebagai suatu proses berpikir, membaca mencakup aktivitas pengenalan kata, pemahaman literal, interpretasi, membaca kritis, dan pemahaman kreatif. Membaca sebagai
5
proses linguistik, skemata pembaca membantunya membangun makna, sedangkan fonologis, semantik dan fitur sintaksis membantunya mengkomunikasikan dan menginterpretasikan pesan-pesan. Proses metakognitif melibatkan perencanaan, pembetulan suatu strategi, pemonitoran dan pengevaluasian. Dengan demikian, membaca merupakan gabungan proses perseptual dan kognitif. Hal berbeda dikemukakan Klein, dkk. (Rahim, 2008: 3) bahwa membaca merupakan suatu proses, strategi dan interaktif. Membaca merupakan suatu proses, artinya informasi dari teks dan pengetahuan yang dimiliki oleh pembaca mempunyai peranan yang utama dalam membentuk makna. Membaca sebagai suatu strategi, maksudnya pembaca secara efektif menggunakan berbagai strategi membaca yang sesuai dengan teks dan konteks dalam mengkonstruksi makna ketika membaca. Membaca sebagai suatu interaktif, maksudnya adanya interaksi antara pembaca dengan teks. Faktor membaca bahan matematika dapat menimbulkan beraneka ragam masalah bagi siswa, salah satunya dapat menghambat potensi pembelajaran. Bell (1978: 404) menyatakan bahwa yang menjadi penyebab siswa kesulitan belajar matematika adalah lemahnya kemampuan membaca secara umum, dan ketidakmampuan membaca secara khusus, apalagi matematika merupakan ilmu yang bahasnya sarat dengan simbol dan istilah. Fuentes (1998) mengatakan bahwa mengembangkan kemampuan membaca dan keterampilan matematis peserta didik sangat
penting
untuk
direalisasikan
oleh
guru,
sebab
biasanya
lebih
mengembangkan keterampilan prosedural sehingga siswa kesulitan memahami istilah atau bacaan dari teks untuk memecahkan masalah matematik.
6
Menurut Wahyudin (2008: 232), terdapat beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam membaca bahan matematika, yaitu (1) matematika memiliki kosakata tekniksnya sendiri, sehingga siswa dituntut untuk memahami dengan jelas berbagai simbol dan istilah teknis yang digunakan untuk mengekspresikan konsep-konsep matematis; (2) siswa harus belajar memahami makna dari simbolsimbol pendek dan belajar menangkap makna dari rumus, grafik dan diagram; (3) siswa dituntut untuk mengingat banyak konsep dan keterampilan yang telah dipelajari pada waktu sebelumnya; (4) kecepatan membaca, maksudnya siswa perlu menyesuaikan tindakan membacanya dengan kesukaran materi dan tujuan dari kegiatan membaca itu sendiri. Dengan memperhatikan kriteria membaca sebagaimana diungkapkan oleh Wahyudin, pembelajaran keterampilan membaca nampaknya mempunyai peranan penting dalam meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa. Melalui membaca siswa mengkonstruksi makna matematik (Siegel, Borasi, Ponzi, Sanrige, dan Smith dalam Elliot and Kenney, 1996: 66) sehingga siswa belajar bermakna secara aktif. Dengan demikian, selama kegiatan membaca, pembaca membentuk dan dibentuk secara aktif oleh teks. Ini berarti bahwa pembaca tidak hanya sekadar melafalkan sajian tertulis saja, tetapi dengan menggunakan pengetahuannya, minatnya, nilainya, dan perasaannya, pembaca mengembangkan makna yang termuat dalam teks yang bersangkutan. Seorang pembaca dikatakan memahami teks yang dibacanya secara bermakna apabila ia dapat mengemukakan ide dalam teks tersebut secara benar dalam bahasanya sendiri, sehingga bukan hanya dapat memahamkan diri sendri tapi juga dapat memahamkan orang lain.
7
Sejalan dengan pendapat di atas, Soemarmo (2003) menyatakan bahwa keterampilan membaca matematika merupakan proses yang aktif, dinamik dan generatif, serta memuat aktivitas yang kompleks yang melibatkan respons fisikal (sensasi dan persepsi), mental (simbol abstrak dan makna), intelektual (critical thinking), dan emosi (intensitas emosi). Kualitas keterampilan membaca matematika berkaitan dengan pemahaman simbol, gambar, dan atau pola matematika, sedangkan pengembangan keterampilan membaca matematika berkaitan erat dengan kemampuan melaksanakan proses dan tugas matematis (doing math, mathematical task). Dengan demikian, keterampilan membaca matematika perlu untuk dikembangkan. Salah satu strategi membaca yang dapat digunakan dalam pembelajaran matematika ialah strategi SQ3R (Survey, Question, Read, Recite, dan Review) yang dikembangkan oleh Francis P. Robinson dari Ohio University. Adapun yang menjadi kekhasan SQ3R dalam pembelajaran matematika antara lain bahwa tahapan dalam strategi SQ3R, sangat baik untuk kepentingan membaca secara intensif (membaca pemahaman, meliputi membaca literal, kritis dan kreatif) dan membaca secara rasional, sehingga memfasilitasi proses memori (memorizing proses) dan dapat digunakan sebagai Advance Organizer, yaitu suatu cara yang digunakan guru untuk membantu siswa mengenal ide-ide relevan, konsep-konsep, atau fakta-fakta, serta memberikan pandangan secara menyeluruh berkaitan dengan materi, dan membantu siswa untuk mengorganisasikan elemen-elemen yang ada dalam bacaan (Dejnozka, E.L dan Kapel, E.D (1991: 13). Menurut Tampubolon (1987: 172), strategi membaca ini umumnya dipakai untuk membaca
8
buku ajar, tetapi dapat pula digunakan dalam membaca artikel untuk kepentingan studi. Pendapat lain dikemukakan oleh Soedarso (1989: 59) yang menyatakan bahwa menurut para ahli psikolog, strategi membaca ini merupakan cara efisien dalam membantu siswa memahami suatu konsep atau tulisan yang sedang dibaca. Disamping itu, strategi ini bersifat praktis dan dapat diaplikasikan dalam berbagai pendekatan belajar (Syah, 2006: 140). Aktivitas membaca sering dilakukan dalam proses memecahkan masalah, sebagai contoh, memeriksa istilah masalah atau mempelajari ekspresi simbolis. Memeriksa istilah dalam pemecahan masalah adalah salah satu tugas yang paling menantang dalam matematika bagi kebanyakan siswa. Ini mengharuskan solver untuk menerjemahkan masalah ke dalam bahasa matematik. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Ahmad, Siti & Roziati (2008) terhadap peserta didik sekolah menengah di Malaysia ditemukan bahwa mayoritas dari mereka tidak menuliskan solusi masalah dengan menggunakan bahasa matematik yang benar. Dengan demikian komunikasi intrapersonal dan interpersonal penting dalam belajar matematika terutama dalam menginterpretasikan istilah untuk memecahkan masalah matematika. Dengan demikian, ditinjau dari sisi kepentingannya khususnya dalam pembelajaran matematika yang mana pengembangan keterampilan membaca matematika berkaitan erat dengan kemampuan melaksanakan proses dan tugas matematis (doing math, mathematical task), maka strategi SQ3R dapat diaplikasikan dengan menghadapkan siswa pada teks atau berbagai masalah yang merupakan situasi nyata sehingga kemampuan komunikasi matematis siswa akan
9
semakin terlatih. Dengan demikian, judul penelitian ini adalah “Pencapaian Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa melalui Pembelajaran dengan Strategi SQ3R (Studi Eksperimen di Salah Satu SMA Negeri di Kabupaten Garut)”.
B. Rumusan Masalah Secara garis besar, masalah penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: 1. Apakah
kemampuan
komunikasi
matematis
siswa
yang
mendapat
pembelajaran dengan strategi SQ3R lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional? 2. Apakah terdapat perbedaan kemampuan komunikasi matematis antara subkelompok tinggi, subkelompok sedang dan subkelompok rendah pada kelompok siswa yang mendapat pembelajaran dengan strategi SQ3R dan kelompok siswa yang mendapat pembelajaran konvensional? 3. Apakah terdapat hubungan antara sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dengan strategi SQ3R dan kemampuan komunikasi matematis? 4. Bagaimana aktivitas dan komunikasi matematis siswa yang mendapat pembelajaran dengan strategi SQ3R?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui kemampuan komunikasi matematis siswa yang mendapat pembelajaran dengan strategi SQ3R di Salah Satu SMA Negeri di Kabupaten Garut. Adapun secara khusus, tujuan penelitian ini diuraikan sebagai berikut:
10
1. Untuk mengetahui perbedaan kemampuan komunikasi matematis siswa yang mendapat pembelajaran dengan strategi SQ3R dan siswa yang mendapat pembelajaran konvensional. 2. Untuk mengidentifikasi perbedaan kemampuan komunikasi matematis antara subkelompok tinggi, subkelompok sedang dan subkelompok rendah pada kelompok siswa yang mendapat pembelajaran dengan strategi SQ3R dan kelompok siswa yang mendapat pembelajaran konvensional. 3. Untuk menganalisis hubungan antara sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dengan strategi SQ3R dan kemampuan komunikasi matematis. 4. Untuk mendeskripsikan aktivitas dan komunikasi matematis siswa yang mendapat pembelajaran dengan strategi SQ3R.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoretis maupun praktis. Secara rinci, manfaat penelitian ini diuraikan sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis a. Memperluas wawasan bagi kajian ilmu pendidikan matematika khususnya dalam hal pembelajaran sehingga dapat dijadikan sebagai rujukan untuk pengembangan penelitian yang akan datang. b. Memberikan
kontribusi
keilmuan
dalam
meningkatkan
kualitas
pembelajaran matematika. 2. Manfaat Praktis a. Memberikan pengalaman tentang cara mengembangkan salah satu alternatif strategi pembelajaran matematika.
11
b. Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai rujukan untuk mengetahui sejauh mana kontribusi pembelajaran dengan strategi SQ3R terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa. c. Sebagai salah satu langkah inovatif dan kreatif bagi calon guru untuk mengimplementasikan kurikulum.