BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Celempungan adalah salah satu seni tradisional yang ada di Jawa Barat. Kesenian ini pada mulanya merupakan kalangenan bagi para petani ketika mereka sedang menggarap sawah dan seni celempungan pada awalnya disajikan di tempat bangunan yang sederhana yang disebut saung (dangau). Pada mulanya kesenian ini menggunakan waditra kacapi siter, goong buyung dan celempung disertai vokal, dan fungsinya hanya sebagai kalangenan ( berkesenian untuk menghibur diri sendiri). Penyajian seni celempungan pada awalnya hanya merupakan suatu kegiatan berkesenian untuk menghibur diri sendiri (kalangenan) dengan konsep seadanya, baik dari lagu yang disajikan, kostum yang digunakan maupun susunan lagu yang disajikan serta etika dalam penyajian sesuai dengan keinginan dan rasa musikal pemain. Lagu yang disajikan tidak disusun secara rapi, tapi berdasarkan keinginan dan kemampuan para pemain dan sinden, kemudian kostum yang digunakan apa adanya sesuai yang dipakai pada saat itu, serta etika penyajianpun tidak memperhatikan kaidah dalam sebuah pertunjukan, cara duduk, penataan letak pemain dan alat tidak ditata dengan rapi tapi sesuai dengan keinginan pemain. Kesederhanaan dalam penyajian seni celempungan tersebut tidak mengurangi estetika musik dan unsur hiburannya. Dilihat dari waditra yang digunakan celempung yang dibuat dari seruas bambu dan dua utas sembilu
1
2
sebagai senar suara, tidak kalah menarik dengan bunyi yang dihasilkan oleh waditra kendang, goong buyung yang terbuat dari gentong atau drum yang dipotong dan diberi kayu sebagai penahan dan dua lempengan besi berpenclon tidak kalah dengan goong dan kempul ditambah dua buah kacapi siter dan vokal. Alat musik yang sederhana tidak mengurangi keindahan musik baik irama, melodi, harmoni maupun lagu-lagu yang disajikan dan tidak mempengaruhi apresiator dalam menikmati penyajian seni celempungan. Alat musik yang digunakan pada seni celempungan pada perkembangnnya sejak tahun 30-an mengalami perubahan, yaitu waditra celempung yang awalnya terbuat dari seruas bambu bahannya berubah menjadi terbuat dari kayu yang diberi lubang dan kawat sebagai senarnya. Pergantian waditra yang digunakan waditra celempung diganti dengan kendang, waditra goong buyung diganti dengan goong dan kempul dan ditambah dengan waditra rebab, hal ini menambah keindahan dan daya tarik bagi penikmatnya bahkan seni celempungan difungsikan oleh masyarakat dalam berbagai hiburan pada kesempatan tertentu seperti hajatan pernikahan, hitanan dan syukuran lainnya. (Wawancara, Cahya Hedy, 15 Maret 2009). Berdasarkan fenomena tersebut penyajian seni celempungan memiliki konsep secara khusus, baik tempat pertunjukan, bentuk waditra, lagu-lagu yang disajikan serta kostum yang digunakan. Secara teknik konsep penyajian seni celempungan berdasar pada konsep penyajian gamelan sehingga dapat dikatakan mengalami perubahan dari sebelumnya yang sederhana menjadi lebih kompleks. Berdasarkan teori karawitan, seni Celempungan termasuk bentuk pertunjukan sekar gending. Menurut Soepandi (1988:66) mengungkapkan bahwa:
3
Sekar gending adalah karawitan yang merupakan perpaduan antara sekaran dan gendingan.
Sekaran adalah seni suara yang berasal dari suara manusia,
sedangkan gendingan adalah bunyi yang dihasilkan dari suara alat musik (instrumentalia). Dengan dengan demikian celempungan memadukan bunyi instrument dan vokal. Berdasarkan istilahnya celempungan berasal dari kata celempung. Celempung adalah waditra yang berfungsi sebagai kendang yang dibuat dari seruas bambu dan dua utas sembilu sebagai senar suara atau sumber suara. Ruas tersebut berfungsi sebagai resonator, di pinggirnya terdapat lubang yang berfungsi sebagai alat untuk pengolahan suara. Istilah celempung di Jawa tengah disebut gumbeng dan di Bali disebut guntang (Soepandi, 1988:41). Pernyataan di atas menegaskan bahwa dengan demikian istilah kesenian celempungan semula berasal dari nama sebuah alat yang disebut celempung, dibuat dari seruas bambu dan dua utas sembilu digunakan sebagai senar sehingga bentuknya menyerupai kacapi. Celempung ini berfungsi sebagai pengatur irama lagu dalam penyajian seni celempungan. Sejalan dengan perkembangan zaman, secara berangsur seni celempungan mengalami perkembangan terutama dari kelengkapan waditra yang dipergunakan. Cahya Hedy mengungkapkan bahwa : “Pada mulanya seni celempungan itu hanya terdiri dari waditra kacapi dan celempung saja. Tetapi sejak tahun 30-an celempung diganti dengan kendang dan ditambah dengan rebab” (Wawancara, 15 Maret 2009). Penggantian waditra celempung oleh waditra kendang dan ditambah
4
dengan waditra rebab menambah kekayaan seni celempungan baik dari segi melodi, harmoni, sehingga lebih indah dan menarik. Seni celempungan saat ini sudah mengalami perkembangan dari bentuknya semula. Waditra-waditra yang digunakan adalah: dua buah kacapi siter yang mempunyai bentuk sama tetapi memiliki fungsi yang berbeda yaitu Kacapi Siter 1(kacapi indung) berfungsi ngindungan, Kacapi Siter 2(kacapi rincik) berfungsi ngarincikan, kendang, rebab dan ditambah vokal (juru sekar). (wawancara, Cahya Hedy, 15 Maret 2009). Pada umumnya kesenian celempungan juga sudah mengalami perubahan dengan menggunakan waditra rebab. Perkembangan ini dimungkinkan karena adanya kebutuhan pirigan (iringan). Waditra celempung diganti dengan kendang karena bunyi yang dihasilkan oleh kendang bisa diolah lebih banyak dengan kualitas bunyi yang memadai menurut kebutuhan. Walaupun waditra celempung yang terbuat dari seruas bambu tidak digunakan lagi, namun hal ini tidak akan mengubah esensi seni celempungan karena waditra kendang fungsinya sama dengan waditra celempung. Sopandi mengungkapkan bahwa: “Celempung adalah waditra yang berfungsi sebagai kendang, dibuat dari seruas bambu dengan dua utas sembilu sebagai senar suara dan ruas tersebut sebagai
resonator,
di pinggirnya
terdapat lubang
sebagai alat pengolahan suara “ ( 1988:41). Waditra kacapi adalah salah satu waditra yang dipergunakan dalam penyajian seni celempungan. Kacapi termasuk waditra yang tergolong pada
5
chordophone yang dimainkannya dengan cara dipetik. Teknik permainan kacapi sunda secara umum sebenarnya tidak hanya dipetik namun ada pula yang disebut dijentik, ditoel, disintreuk dan diranggeum. Kubarsah mengungkapkan sebagai berikut. Dalam musik tradisional sunda, teknik permainan waditra mempunyai cara-cara yang khas. Misalnya untuk waditra kacapi yang dipetik, dikenal dengan istilah ditoel, disintreuk, dan diranggeum. Cara-cara tersebut merupakan teknik dasar untuk mewujudkan pirigan atau iringan dalam pola yang beraturan seperti pola masieup, ngemprangan, dan lain-lain” (2004: 7). Teknik dalam memainkan kacapi adalah bagaimana cara memainkan kacapi dalam penyajian seni celempungan pada dasarnya teknik yang digunakan dalam memainkan sama yaitu dipetik istilah lain dikenal ditoel atau dikait yaitu dengan meluruskan jari yang ujungnya diletakkan di dawai yang diinginkan kemudian dikaitkan sekaligus sehingga otomatis setelah tersentuh ujung jari akan bergerak dekat ke arah pemain; bagi jemari selain ibu jari. Bagi ibu jari gerakannya itu kebalikannya sebab khusus untuk ibu jari gerakan petikannya bukan dari depan ke belakang melainkan dari belakang ke depan (Sukanda, 1996:24). Teknik dijentik yaitu petikan yang menggunakan empat jari yaitu ibu jari, telunjuk tangan kanan dan kiri dalam prosesnya petikan telunjuk yang konstan sebagai sedangkan ibu jari mengisi celah antara bunyi pokok tersebut selang dua dan tiga nada ke bawah (Sukanda, 1996:25). Istilah diranggeum yaitu memainkan waditra kacapi dengan cara dikait dan ditoel dibunyikan bersamaan yang dilakukan oleh tangan kanan teknik
6
kempyung atau gemyang, sedangkan tangan kiri telunjuk dengan teknik ditoel dan dikait oleh jempol (ibu jari) Teknik lain yang tak kalah pentingnya yaitu teknik dicaruk dan digumek yang dilakukan oleh kacapi siter yang berfungsi sebagai rincik. Dicaruk adalah menabuh kacapi dengan cara disintreuk dan ditoel dengan nada yang saling bersahutan. Konsepnya sama dengan pola tabuhan saron 1 dan saron 2 dalam permainan gamelan, sedangkan digumek hampir sama dengan teknik pasieupan yaitu teknik disintreuk dan ditoel dengan cara menggunakan dua telunjuk tangan kanan dan kiri. Konsepnya sama dengan pola tabuhan bonang pada degung klasik (Wiradiredja, 2003:23). Dari keterangan di atas jelas bahwa cara memainkan kacapi itu tidak hanya dipetik saja, tetapi terdapat beberapa teknik memainkan kacapi, diantaranya ada yang hanya dijentik saja, dipetik saja, ditoel, dan diranggeum. Selain teknik petikan di atas, dalam kesenian-kesenian tertentu terdapat teknik khusus petikan kacapi yang merupakan ciri khas dari kesenian tersebut. Seperti halnya dalam tembang Sunda Cianjuran terdapat tiga macam petikan kacapi yaitu dipasieup, dikemprang, dan dikait. Wiradiredja mengungkapkan sebagai berikut. Dalam konteks penyajian tembang Sunda Cianjuran semua lagu mamaos pada umumnya diiringi oleh kacapi indung dengan menggunakan teknik tabuhan pasieupan ataupun kemprangan. Sementara itu lagu-lagu panambih diiringi oleh kacapi indung dengan cara mengunakan teknik tabuhan kait. (2003:20) Berdasarkan keterangan tersebut di atas, penyajian kesenian celempungan yang menjadi objek penelitian ini, pada dasarnya menggunakan petikan kacapi
7
yang sama dengan petikan kacapi pada penyajian kesenian lain, yaitu disintreuk, diranggeum, ditoel dan dikait. Tetapi petikan kacapi pada sajian kesenian celempungan memiliki petikan khusus yang berbeda dengan petikan kacapi lain seperti halnya pada tembang Sunda Cianjuran, dan petikan kacapi lainnya. Dalam kesenian celempungan menggunakan dua jenis kacapi yaitu kacapi siter 1(kacapi indung) dan kacapi siter 2 (kacapi rincik), yang pada dasarnya secara umum menggunakan teknik petikan sama yaitu dengan cara dikait atau ditoel dan dijentrik atau disintreuk. Hal menarik disini adalah terletak pada kacapi indung yang memiliki petikan khusus yang dikenal dengan istilah beulit kacang. Seiring dengan perubahan zaman
petikan kacapi seni celempungan
mengalamai perkembangan terutama pada gaya petikan kacapi indung yang mempunyai daya interpretasi serta keunikan dan menjadi ciri khas seni celempungan. Salah satu buktinya adalah menghasilkan efek bunyi berbeda yang tidak ada dalam kesenian lain, yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu : teknik
penjarian,
komposisi
tabuhan
dan
lain-lain.
Perkembangan
ini
dimungkinkan karena adanya kebutuhan pirigan (iringan) garap pada ansamble tersebut. Selain petikan yang mempunyai ciri khas tersendiri dalam seni celempungan, struktur penyajian lagu dalam seni celempungan
mempunyai
struktur yang berbeda dibanding struktur penyajian lagu pada bentuk penyajian tembang Sunda Cianjuran atau penyajian lagu pada degung (Wawancara, Cahya Hedy, 19 Maret 2009).
8
Diantara beberapa grup celempungan yang ada di Kabupaten Sumedang seperti yang tersebut di atas, peneliti tertarik pada salah satu grup celempungan yang ada di wilayah Jatinagor yaitu lingkung seni Lokapala yang beralamat di Jl. Sayang Perum IKOPIN Blok IX no. 3. Alasan peneliti memilih grup tersebut, salah satu diantaranya bahwa lingkung seni tersebut memiliki kompetensi yang lebih baik dari grup-grup celempungan yang ada di wilayah Kabupaten Sumedang yaitu grup celempungan di daerah Tanjungkerta, Buah dua dan Cimalaka. Di samping memiliki kompetensi yang baik, penyajian seni celempungan pada grup Lokapala terjadi upaya pengembangan seni celempungan dengan pergantian
regenerasi
dari
generasi
pertama
yang
belum
mengalami
perkembangan terutama dalam gaya petikan kacapi, dengan generasi kedua yang sudah mengalami perkembangan dalam gaya petikan kacapi yang lebih bervariasi dan tampak beda. Hal ini menjadi daya tarik untuk melihat lebih lanjut tentang perkembangan gaya petikan. Dari beberapa alasan yang telah peneliti ungkapkan tersebut di atas, maka pada kesempatan ini peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian lebih dalam tentang seni celempungan, yang dituangkan dalam bentuk tesis dengan judul:
GAYA
PETIKAN
KACAPI
DALAM
PENYAJIAN
SENI
CELEMPUNGAN PADA GRUP LOKAPALA JATINANGOR SUMEDANG.
1. 2 Identifikasi Masalah Sesuai dengan judul di atas, maka batasan-batasan penelitian ini berkisar pada gaya petikan kacapi dalam penyajian seni celempungan. Batasan penelitian
9
tersebut, kemudian dispesifikan ke dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimana gaya petikan kacapi dalam penyajian seni celempungan pada grup lokapala? 2. Bagaimana perkembangan gaya petikan kacapi dalam penyajian seni celempungan pada grup lokapala? 3. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi perkembangan gaya petikan kacapi dalam penyajian seni celempungan pada grup lokapala?
1.3 Tujuan Penelitian Sesuai dengan masalah yang akan penulis teliti, maka tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui Bagaimana gaya petikan kacapi dalam penyajian seni celempungan pada grup lokapala. 2. Untuk mengetahui perkembangan gaya petikan kacapi dalam penyajian seni celempungan pada grup lokapala 3. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya perkembangan gaya petikan kacapi dalam penyajian seni celempungan pada grup lokapala.
1.4 Manfaat Penelitian Penitian dilakukan untuk mencapai sasaran yang diharapkan oleh peneliti, selain itu diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut sebagai berikut.
10
1. Menambah pengetahuan tentang fenomena perkembangan yang terjadi dalam kehidupan seni celempungan, di samping diharapkan dapat menambah referensi musik tentang kajian perkembangan yang terjadi pada seni rakyat. 2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pihak terkait dalam rangka pemberdayaan dan penguatan seni daerah. 3. Hasil penulisan lagu-lagu celempungan dalam penelitian ini, diharapkan bermanfaat bagi siapa saja khalayak yang ingin mempelajarinya.
1.5 Telaah Pustaka Guna mendapatkan dasar keilmuan yang lebih luas, peneliti berusaha memahami beberapa hasil tulisan yang hampir serupa sebagai tuntunan yang informatif. Tulisan-tulisan tersebut antara lain: Mariko Sasaki, buku berjudul Laras pada Karawitan Sunda (2007). Buku ini membahas tentang laras yang dipergunakan dalam
penyajian karawitan
Sunda, di antaranya pada penyajian Tembang Sunda Cianjuran, celempungan, jenaka Sunda dan lain-lain. Hal lain yang dibahas dalam buku ini adalah mengenai perbedaan istilah celempung di Sunda dengan istilah celempung di Jawa. Celempung Sunda adalah sebuah instrumen tradisional yang terbuat dari ruas bambu dengan sembilunya sebagai senar yang berfungsi sebagai pengatur tempo dalam ansamble yang disebut celempungan. Isi buku terbatas hanya pada laras dan pengertian istilah celempungan saja sementara yang berhubungan dengan gaya petikan kacapi pada penyajian seni celempungan tidak dibahas. Nano S dan Kos Warnika, buku berjudul Pengetahuan Karawitan Daerah Sunda (1983). Buku ini membahas tentang berbagai jenis kesenian yang ada di
11
Jawa Barat, laras yang digunakan dalam karawitan Sunda, cara memainkan alat musik Sunda, dan contoh-contoh tabuhan waditra diantaranya petikan kacapi pada penyajian seni celempungan. Namun demikian gaya petikan kacapi dalam celempungan grup lokapala tidak dibahas. Enip Sukanda, buku berjudul Kacapi Sunda (1996). Buku ini membahas mengenai jenis kacapi Sunda dan perkembangannya serta sistem nada yang digunakan, Kesenian Sunda yang menggunakan waditra kacapi sebagai musik pengiring diantaranya : Jentreng, Pantun, Tembang Sunda Cianjuran dan celempungan. Selanjutnya buku ini membahas tentang pengertian Celempungan dalam kesenian Sunda, dikatakan bahwa seni celempungan adalah salah satu jenis pertunjukan dalam bentuk sekar gending. Sekarannya (nyanyiannya) dibawakan oleh seorang juru sekar yang biasa disebut juru sinden. Gending pengiringnya (musik pengiring) terdiri dari dua buah kacapi siter, sebuah rebab, seperangkat kendang dan sepasang goong buyung. Isi Buku ini masih terbatas pada deskripsi dan nama instrumen yang digunakan pada pertunjukannya. Keterangan yang terkait mengenai gaya petikan kacapi pada seni celempungan tidak dibahas. Atik Sopandi, buku berjudul Teori Dasar Karawitan (1970). Buku ini membahas tentang teori dasar karawitan di dalamnya membahas mengenai pengertian karawitan, laras, surupan, pembagian karawitan, titi laras, fungsi waditra dan cara memainkan waditra. Pokok bahasan dalam buku ini sangat menunjang terhadap pemecahan masalah yang diteliti. Iwan Natapradja, buku berjudul Sekar gending (2003). Buku ini membahas mengenai laras, nada, patet, serat kanayagan, swarantara, surupan,
12
pengetahuan sekar, gending, dan sekar gending yang di dalamnya dibahas mengenai pangkat gending dan pasieupan. Pangkat gending yang dibahas adalah pangkat gending renggong alit dan pangkat gending renggong ageung lalamba temasuk pangkat gending untuk mengringi lagu bawa sekar yang bersifat sekar wirahma merdeka, pangkat gending raehan yang merupakan gubahan baru yang artinya pangkat lagu gending diciptakan oleh seseorang sebagai pengganti pangkat lagu yang umumnya digunakan untuk gending itu. Selain itu dibahas juga pindah pasieupan dan
aturan menabuh waditra kacapi yang sangat relepan
dengan masalah yang ingin dibahas dalam tulisan ini. Perbedaan dengan penelitian yang saya lakukan yaitu pada pokus penelitian diteliti yaitu gaya petikan kacapi pada seni celempungan, sementara buku tersebut di atas tidak membahas gaya petikan kacapi dalam seni celempungan. Atik Sopandi dan Enoch Atmadibrata, buku berjudul Khazanah Kesenian Jawa Barat (1977). Buku ini membahas mengenai berbagai ragam kesenian di Jawa Barat, seni celempungan adalah salah satu ragam seni yang diuraikan di dalamnya. Isi buku tersebut masih terbatas pada deskripsi dan pengertian celempungan saja. Keterangan yang terkait dengan gaya petikan kacapi tidak dibahas. Ubun Kubarsah, buku berjudul Waditra (2004). Buku ini membahas mengenai pengertian dan klasifikasi waditra, teknik permainan waditra dalam karawitan sunda, bentuk penyajian karawitan Sunda, cara-cara memainkan waditra karawitan Sunda serta bahan dan rancangan dalam membuat alat musik.
13
Bahasan selanjutnya dalam buku adalah membahas tentang pengertian istilah celempungan, bahan dan rancang bangun celempung. Isi buku tersebut masih terbatas pada deskripsi saja, keterangan yang terkait dengan gaya petikan kacapi dalam penyajian seni celempungan tidak dibahas. Yusup Wiradiredja, Buku berjudul Tembang Sunda Cianjuran (2003). Buku ini membahas mengenai pendekatan pembelajaran tembang Sunda, pengertian, asal-usul dan perkembangan tembang Sunda Cianjuran, aspek-aspek tembang sunda cianjuran meliputi : tangga nada, lagu, alat musik yang digunakan diantaranya waditra kacapi. Masalah yang relefan dengan tulisan ini adalah mengenai permainan waditra kacapi walaupun tulisan ini bukan membahas mengenai tembang sunda cianjuran, tetapi dapat dijadikan bahan perbandingan dengan kesenian yang diteliti yaitu seni celempungan. Atik Sopandi, kamus istilah karawitan Sunda (1988) kamus ini membahas istilah- istilah yang berkaitan dengan seni suara, baik seni suara vokal baik seni suara instrumental, di samping istilah-istilah pemanggungan seni karawitan. Diantaranya istilah-istilah: waditra/instrumen, vokal/sekar, teknik penyajian karawitan, akustika karawitan, cara membuat waditra, pengetahuan karawitan serta notasi/titi laras. Namun yang berhubungan dengan penelitian ini hanya mengenai pengertian celempungan saja, mengenai petikan kacapi dalam seni celempungan tidak dibahas. Enoch Atmadibrata, buku berjudul Khasanah Seni Pertunjukan Jawa Barat (2006). Buku ini membahas jenis-jenis kesenian daerah Jawa Barat dan Banten, memang cukup banyak jenis-jenis kesenian yang tersebar di seluruh
14
Tatar Sunda ini dan karakteristiknya beraneka pula sehingga dalam buku ini dikelompokkan jenis-jenis kesenian ini di dalam rumpun-rumpun salah satu di antaranya adalah rumpun seni celempungan. Ternyata dari sekitar 200 lebih jenis kesenian yang terdata, beberapa di antaranya ada yang usianya berabad-abad yang menunjukan betapa kuatnya akar budaya orang Sunda dalam berkesenian. Salah satu contoh tentang ini misalnya seni angklung dan pantun, kedua jenis kesenian ini termasuk bentuk kesenian yang sudah tua yang dapat disaksikan sejak silam dan masih dapat disaksikan sampai sekarang, bahkan dalam bentuknya yang terbaru. Adapun jenis-jenis kesenian lainnya yang jumlahnya cukup banyak itu, yang memang merupakan hasil perkembangan, yang memang merupakan hasil proses perkembangan, menunjukkan bahwa kreativitas telah terjadi sepanjang masa di dalam masyarakat tatar Sunda. Tetapi, dalam buku ini hanya mengemukakan 93 jenis kesenian yang salah satu diantarnya adalah seni celempungan, tetapi hanya dibahas sekitar istilah celempungan dan cara penyajiannya. Menyimak beberapa tulisan tersebut dapat disimpulkan bahwa uraian yang tercantum di dalamnya berbeda dengan topik penelitian ini. Adapun yang dijadikan fokus penelitian ini adalah mengenai gaya petikan kacapi dalam seni celempungan, perkembangan motif petikan kacapi dalam penyajian seni celempungan dan faktor penyebab terjadinya perkembangan gaya petikan kacapi.
15
1.6 Kerangka Teoretis Pada lingkung seni celempungan Lokapala Jatinangor Sumedang yang menjadi objek penelitaian terjadi beberapa perkembangan dan perubahan terutama dalam gaya petikan kacapi lebih berpariasi khususnya dalam petikan kacapi indung. Secara singkat, perkembangan (development) adalah proses atau tahapan pertumbuhan ke arah yang lebih maju. Pertumbuhan sendiri (growth) berarti tahapan peningkatan sesuatu dalam hal jumlah, ukuran, dan arti pentingnya. Pertumbuhan juga dapat berarti sebuah tahapan perkembangan (a stage of development, McLeod,1989). Selanjutnya, dictionary of pyscology di atas secara lebih jelas merinci pengertian perkembangan sebagai berikut: a. The proggress and continous change in the organism from birth to death, perkembangan ini merupakan perubahan yang progresif dan terus- menerus dalam diri organisme sejak lahir hingga mati b. Growth, perkembangan itu berarti pertumbuhan Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perkembangan adalah rentetan perubahan jasmani dan rohani manusia menuju ke arah yang lebih maju dan sempurna. Perubahan ini terjadi karena personil pada grup Lokapala memiliki potensi individu yang tinggi untuk berkreatifitas sehingga terbentuklah ciri khas khusus yang menjadi daya tarik untuk diteliti dari lingkung seni tersebut. Perkembangan seni celempungan Lokapala Jatinangor Sumedang menarik untuk diungkap. Masih difungsikannya seni celempungan di masyarakat
16
Sumedang dan terdapat fenomeana perubahan, hal ini menunjukkan bahwa seni celempungan memiliki sifat kontinuitas dan perubahan. Sifat kontinuitas antara lain dapat diamati melalui: fungsinya di masyarakat, penggunaan waditra serta repertoar lagu, dan terdapatnya aspek pendukung pertunjukan yang berasal dari jenis kesenian lain yang berkembang sebelumnya. Sifat perubahan pada pertunjukan celempungan tampak pada perbedaan: gaya petikan kacapi, penambahan dan perubahan waditra yang digunakan, repertoar lagu dan ragam garapnya. Kontuitas dan perubahan unsur pertunjukan seni celempungan, bersifat dinamis dan semakin kompleks sesuai dengan perubahan jaman yang semakin maju. Menurut Kartodirdjo, (1992:99) dalam tesis Karwati yang berjudul SENI BANGRENG DI KECAMATAN SITURAJA KABUPATEN SUMEDANG (Studi Tentang Kontinuitas dan Perubahan) mengungkapkan bahwa perubahan yang dinamis antara lain menunjukkan pergerakan dari
perkembangan terdahulu hingga saat ini, atau dari yang
sederhana menuju ke bentuknya yang bervariasi. Pada dasarnya kebudayaan selalu berubah mengiringi perubahan yang terjadi pada kebutuhan hidup masyarakat sesuai dengan perkembangan jaman. Seni celempungan sebagai hasil budaya masyarakat dengan demikian tidak luput dari perubahan yang diakibatkan oleh dua kepentingan antara lain: fihak seniman dan masyarakat sebagai bentuk penyelarasan dengan perkembangan jaman. Terkait hal perubahan seni pertunjukan, menurut Karwati (Sedyawati, 1981:2), pada hakekatnya perubahan pada bentuk pertunjukan dapat diakibatkan oleh
17
beberapa faktor yakni pertumbuhan masyarakat dengan segala prasarana, dan faktor seniman . Perubahan bentuk seni oleh seniman lebih khusus dijelaskan Hauser (1980:72) bahwa hal itu dapat diakibatkan oleh adanya perubahan: kondisi, pemikiran baru, perasaan/minat dan kehidupan. Dijelaskan pula bahwa penciptaan seni oleh seniman dipengaruhi oleh perjalanan waktu, kesuksesan dan kekurangan tergantung pula pada keadaan eksternal dan kualitas inner estetikannya. Menurut Sairin (2002:196), dalam tesis Karwati mengungkapkan bahwa perubahan budaya pada masyarakat dapat diakibatkan oleh berbagai hal yakni : disebabkan oleh penetrasi kebudayaan luar ke dalam budaya sendiri, atau karena terjadi orientasi baru dalam kalangan internal masyarakat pendukung kebudayaan itu sendiri. Perubahan dan perkembangan yang terjadi pada grup seni celempungan Lokapala Jatinangor Sumedang terjadi berdasarkan orientasi baru dalam kalangan internal masyarakat pendukung kebudayaan itu sendiri terutama pelaku seni (seniman) dalam lingkung seni celempungan tersebut. Perubahan personil (seniman) dari generasi pertama kegenerasi kedua mengalami perkembangan terhadap penyajian seni celempungan grup lokapala Jatinangor Sumedang. Menurut Hauser (2001:203), dalam tesis karwati mengungkapkan bahwa berdasarkan pandangan sosiologis, sifat mekanisme yang mendorong perubahan timbul oleh berbagai sebab antara lain: akibat konplik, karena adanya elit kreatif, karena cara berfikir baru, karena kekuatan dari luar, karena motivasi individu untuk berprestasi, dan karena sejumlah penyebab lain. Adapun sebagai variabel
18
yang turut menentukan perubahan pada masyarakat antara lain: politik pemerintahan, teknologi, dan idiologis/keyakinan ( Hauser, 205-226). Varibel penentu perkembangan yang terjadi pada seni celempungan Lokapala Jatinangor sumedang ini disebabkan karena para elit kreatif yang menjadi tokoh dalam lingkung seni ini adalah orang-orang yang profesional dalam bidang seni dan berasal dari kalangan yang berpendidikan dan memiliki pemikiran baru serta motivasi individu untuk berprestasi, sehingga terjadilah perubahan dan perkembangan yang baru, dan menambah daya tarik dari kesenian celempungan tanpa merusak khasanah kesenian itu sendiri. Berbicara masalah gaya petikan dalam hal ini Supanggah yang dikutif kembali oleh Juli (2006:134) mengungkapkan, bahwa gaya adalah kekhasan atau kekhususan yang ditandai oleh ciri fisik, estetika (musikal), dan sistem garap yang dimiliki oleh perorangan, kelompok, atau kawasan budaya tertentu yang diakui eksistensinya dan berpotensi untuk mempengaruhi individu, kelompok, atau kawasan (budaya, musik, kesenian). Oleh sebab itu, selain dapat menciptakan dan memiliki pengakuan ihwal kekhasan atau kekhususan dalam garap musikal, seorang seniman kacapi yang memiliki gaya petikan tersendiri mampu mempengaruhi seniman kacapi lainnya untuk mengikuti gaya petikan kacapinya, atau menjadi anutan (kiblat) bagi seniman kacapi lainnya.
1.7 Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitik dengan pendekatan kualitatif. Ketepatan menggunakan metode dalam
19
suatu penelitian
merupakan faktor penentu keberhasilan dalam penelitian .
Winarno Surakhmad, mengemukakan sebagai berikut. Metode merupakan cara utama yang dipergunakan untuk mencapai suatu tujuan misalnya untuk menguji serangkaian hipoptesa, dengan mengunakan teknik serta alat-alat penyelidikan memperhitungkan kewajibannya ditinjau dari tujuan penyelidikan serta situasi penyelidikan. (1984:54) Alasan menggunakan metode deskriptif analitik ini sejalan dengan tujuannya untuk mendeskripsikan dan menganalisis peristiwa-peristiwa masa lampau dan masa sekarang, serta masalah yang ada di dalamnya. Masalah yang penulis maksud adalah perkembangan gaya petikan kacapi dalam penyajian seni celempungan pada grup Lokapala yang beralamat di Jl Sayang Perum IKOPIN Blok IX No 3 Jatinangor Sumedang. Hal esensial yang dikaji dalam penelitian ini adalah menetapkan hubungan antara objek yang satu dengan objek yang lain yang relevan dengan masalah yang diteliti. 1.7.1 Teknik Pengumpulan Data Menurut S. Nasution dalam Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif (1988:56) mengemukakan bahwa, sebagai berikut. Keberhasilan dalam suatu penelitian kualitatif sangat tergantung pada ketelitian dan kelengkapan catatan lapangan yang disusun peneliti. Catatan lapangan dapat disusun melalui observasi, wawancara dan studi dokumenter. Sesuai dengan pendapat di atas, maka dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik observasi, teknik wawancara dan studi dokumenter.
20
1. Teknik Observasi Teknik
ini
digunakan
untuk
mengamati
secara
langsung
dan
mencatat seluruh data yang diperoleh dari lokasi penelitian. Data dikumpulkan dengan harapan dapat tercapainya diharapkan
dalam
tujuan
yang
kegiatan observasi perkembangan gaya
petikan
kacapi, mengetahui faktor penyebab terjadinya perkembangan motif petikan kacapi pada grup lokapala generasi ke dua dalam melakukan perkembangan motif petikan kacapi. 2. Teknik Wawancara Teknik ini digunakan, dengan jalan melakukan tanya jawab secara langsung dengan responden, guna mendapatkan informasi secara lisan. Adapun
bentuk
berstruktur,
wawancara
yang
digunakan adalah wawancara
artinya pertanyaan diajukan setelah
disusun
terlebih
dahulu oleh peneliti, yang dirumuskan dalam pedoman wawancara. Dalam hal ini, peneliti mencoba melakukan responden tentang sumber
mengenai
hal-hal
pencarian dari
yang
dengan gaya petikan kacapi, perkembangan gaya petikan
berkenaan
kacapi dalam
penyajian seni celempungan. Sumber tersebut diperoleh antara lain dari pimpinan grup Lokapala, personil grup Lokapala dan tokoh celempungan. 3. Studi Dokumenter, yaitu mempelajari dokumen-dokumen yang ada pada grup seni Celempungan Lokalala yang berkenaan dengan masalah yang diteliti.
21
Sebagai penunjang maka digunakan studi kepustakaan, yaitu usaha untuk mengumpulkan informasi yang berhubungan dengan teori-teori yang ada kaitannya dengan masalah yang diteliti. 1.7.2 Teknik Analisis dan Pengolahan Data Setelah melakukan pengumpulan data, maka kegiatan selanjutnya dari kegiatan penelitian ini adalah tahap analisis dan pengolahan data-data yang terkumpul. Analisis
dan
pengolahan
data
ini
dilakukan
untuk
mengklasifikasikan berbagai data yang dihimpun baik melalui studi pustaka, observasi maupun wawancara, berdasarkan pada kepentingan hasil penelitian. Data yang benar-benar mendukung, kemudian dianalisis berdasarkan metode deskriptif , sehingga diperoleh hasil yang diharapkan. 1.7.3 Objek Penelitian Objek dalam penelitian ini adalah gaya petikan kacapi dalam seni celempungan pada grup lokapala yang beralat di Jl Sayang Perum Ikopin Blok IX No 3 Jatinangor Sumedang . Alasan peneliti memilih grup Lokapala karena grup Lokapala memiliki ciri khas perkembangan dalam gaya petikan, dengan demikin grup lokapala merupakan objek yang terpilih yang dijadikan objek penelitian.