BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kebijakan pembangunan pada era 1950-an hanya berfokus pada bagaimana suatu negara dapat meningkatkan pendapatannya guna mencapai target pertumbuhan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Meier dan Rouch (2000 dalam Arsyad, 2010: 3) yang mengatakan bahwa selama dekade 1950-an hingga dekade 1960-an,
kebijakan-kebijakan
pembangunan
ditujukan
terutama
pada
maksimalisasi pertumbuhan Gross National Product (GNP) melalui proses akumulasi modal dan industrialisasi. Menurut Todaro dan Smith (2011: 16), pembangunan diartikan sebagai upaya mencapai tingkat pertumbuhan pendapatan per kapita (income per capita) yang berkelanjutan. Diharapkan dengan pertumbuhan pendapatan yang meningkat, suatu negara dapat memperbanyak output yang lebih cepat dibandingkan laju pertumbuhan penduduk. Namun pada kenyataannya, pengertian tersebut terlalu sempit dalam memaknai pembangunan. Banyak negara-negara berkembang yang mencapai target pertumbuhan ekonominya, tetapi gagal dalam merubah tingkat kehidupan sebagian besar masyarakatnya. Keberhasilan pembangunan oleh suatu negara tidak dapat diukur hanya dengan melihat tingkat pertumbuhan ekonominya saja. Sudah terbukti bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi, menyisakan masalah-masalah baru seperti kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan. Pemerintah diharapkan mampu
1
mengelola sektor-sektor lainnya, seperti sosial dan lingkungan guna mencapai suatu pembangunan yang menyeluruh. Menurut Tjokrowinoto (1996 dalam Munir, 2002: 73), terdapat 3 pergeseran paradigma pembangunan yang perlu dicermati. Pertama paradigma production centered development, yang hanya berpatokan pada pertumbuhan dengan segala karakteristiknya. Paradigma ini kemudian bergeser ke Welfare Paradigm, yang berpatokan pada kesejahteraan yang menjanjikan keadilan. Hingga pada era 1980an, bergeser ke paradigma People Centered Development, pergeseran paradigma ini terjadi seiring dengan perkembangan manusia. Paradigma ini tidak hanya fokus pada kesejahteraan dan keadilan, tetapi juga melihat perkembangan pembangunan manusia yang berkelanjutan. Human Development Report (1990), menyebutkan bahwa pembangunan manusia adalah suatu proses untuk memperbanyak pilihan-pilihan yang dimiliki oleh manusia. Di antara banyak pilihan tersebut, pilihan yang terpenting adalah untuk berumur panjang dan sehat, untuk berilmu pengetahuan, dan untuk mempunyai akses terhadap sumberdaya yang dibutuhkan agar dapat hidup secara layak. United Nations for Development Program (UNDP) sejak tahun 1990, telah mengembangkan indeks kinerja pembangunan, yaitu Indeks Pembangunan Manusia (IPM). UNDP kemudian menerbitkan laporan tahunan mengenai kinerja dari IPM pada negara-negara di dunia.
2
Tabel 1.1 Peringkat IPM Negara-negara Asia Tenggara Tahun 2011–2013 No
Negara
IPM Negara di Asia Tenggara dari 187 Negara 2011
2012
2013
1
Singapura
12
11
9
2
Brunai Darussalam
31
30
30
3
Malaysia
61
62
62
4
Thailand
91
89
89
5
Indonesia
110
109
108
6
Filipina
118
118
117
7
Vietnam
121
121
121
8
Laos
139
139
139
9
Myanmar
150
150
150
10 Kamboja Sumber: BPS RI, 2013
137
137
137
Tabel 1.1 menunjukkan bahwa Indonesia berada pada peringkat kelima di antara negara-negara Asia Tenggara, di bawah Singapura, Brunai Darussalam, Malaysia, dan Thailand. Meskipun mengalami tren positif dalam peningkatan IPM Indonesia, namun jika dibandingkan dengan negara tetangga terdekat yaitu Singapura, Malaysia, dan Brunai Darussalam, posisi Indonesia masih sangat jauh tertinggal. Tentu saja banyak faktor yang mempengaruhi hal ini, diantaranya adalah luas wilayah dan jumlah penduduk. Provinsi Sulawesi Barat sebagai provinsi termuda kedua dengan 5 kabupaten di dalamnya, telah memperlihatkan tren positif dalam capaian IPM-nya. Perkembangan IPM Sulawesi Barat dengan 5 kabupaten di dalamnya dan nasional ditunjukkan pada Gambar 1.1.
3
PERKEMBANGAN IPM
71.76
72.27
72.77
73.29
73.81
72.78
NASIONAL
69.18
69.64
70.11
70.73
71.41
70.21
PROVINSI SULBAR
70.41
70.79
71.14
70.38
MAMUJU UTARA
71.38
69.55
69.99
68.89
69.32
69.78
70.76
70.03
MAMUJU
70.18
70.82
71.62
72.07
72.56
71.45
MAMASA
70.83
71.34
71.86
72.41
73.16
71.92
MAJENE
66.61
67.38
67.88
68.44
69.17
67.90
POLMAN
2009
2010
2011
2012
2013
Rata-rata
Sumber: BPS Sulawesi Barat, 2013 Gambar 1.1 Perkembangan IPM Nasional dan Provinsi Sulawesi Barat Tahun 2009–2013
Gambar 1.1 menunjukkan bahwa meskipun mengalami kenaikan, namun IPM Provinsi Sulawesi Barat dan 5 kabupaten di dalamnya masih berada di bawah rata-rata nasional. Rata-rata IPM nasional dari tahun 2009–2013 yaitu sebesar 72,78 sementara rata-rata IPM Provinsi Sulawesi Barat hanya mencapai 70,21. Pada tingkat kabupaten, rata-rata IPM Kabupaten Polewali Mandar (Polman) berada diurutan paling bawah, yaitu sebesar 70,90 dan Kabupaten Mamasa diurutan paling atas dengan nilai rata-rata IPM sebesar 71,45. Capain IPM Sulawesi Barat tersebut berbanding terbalik dengan pertumbuhan ekonomi di Sulawesi Barat yang melampaui pertumbuhan ekonomi nasional, baik itu pada level pemerintahan kabupaten/kota maupun level provinsi. Pertumbuhan ekonomi Sulawesi Barat dapat dilihat pada Gamber 1.2.
4
Pertumbuhan Ekonomi di Sulawesi Barat dan Nasional (Persen) 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0 Polewali Mandar Majene Mamasa Mamuju Mamuju Utara Sulawesi Barat Nasional
2009 5.41 8.94 7.52 8.26 13.37 6.03 4.63
2010 10.55 9.88 8.54 10.59 17.65 11.89 6.22
2011 9.68 7.52 7.35 11.51 16.14 10.32 6.49
2012 9.91 7.04 6.62 11.48 12.98 9.01 6.26
2013 8.03 5.56 5.28 9.09 8.56 7.16 5.73
Sumber: BPS Sulawesi Barat, 2013 Gambar 1.2 Perkembangan IPM Sulawesi Barat dan Nasional Tahun 2009–2013
Gambar 1.2 menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi di Sulawesi Barat melampaui pertumbuhan ekonomi nasional sejak tahun 2009–2013, hal ini berarti bahwa aktivitas perekonomian di Sulawesi Barat terus tumbuh dan berkembang namun hal ini tidak sejalan dengan tingkat pencapaian IPM di Sulawesi Barat yang masih tertinggal dari pencapaian IPM nasional. Berdasarkan skala internasional, capaian IPM dikategorikan menjadi kategori tinggi (IPM ≥ 80), kategori menengah atas (66 ≤ IPM < 80), kategori menengah bawah (50 ≤ IPM < 66), dan kategori rendah (IPM < 50). Pemeringkatan tersebut, menempatkan Provinsi Sulawesi Barat dengan kelima kabupaten di dalamnya pada level menengah atas, tetapi masih relatif jauh untuk dapat mencapai tingkat pembangunan manusia pada kategori level tinggi yaitu dengan nilai IPM lebih besar atau sama dengan 80. Tabel 1.2 menyajikan capaian IPM Sulawesi Barat bila dibandingkan dengan daerah lainnya di Indonesia.
5
Tabel 1.2 Peringkat IPM Provinsi di Kawasan Timur Indonesia Tahun 2011–2013 Provinsi
IPM
Peringkat
2011
2012
2013
2011
2012
2013
Kalimantan Barat
69,66
70,31
70,93
28
28
29
Kalimantan Tengah
75,06
75,46
75,68
7
7
7
Kalimantan Selatan
70,44
71,08
71,74
26
25
26
Kalimantan Timur
76,22
76,71
77,33
5
5
4
Kalimantan Utara
-
-
74,72
-
-
10
Sulawesi Utara
76,54
76,95
77,36
2
2
3
Sulawesi Tengah
71,62
72,14
72,54
22
22
23
Sulawesi Selatan
72,14
72,70
73,28
19
18
19
Sulawesi Tenggara
70,55
71,05
71,73
25
26
27
Gorontalo
70,82
71,31
71,77
24
24
25
Sulawesi Barat
70,11
70,73
71,41
27
27
28
Maluku
71,87
72,42
72,70
21
21
22
Maluku Utara
69,47
69,98
70,63
30
30
30
Papua Barat
69,65
70,22
70,62
29
29
31
Papua Sumber: BPS RI, 2013
65,36
65,86
66,25
33
33
34
Tabel 1.2 menunjukkan bahwa capaian IPM untuk provinsi-provinsi yang ada di Pulau Sulawesi relatif sama, kecuali Sulawesi Utara yang jauh meninggalkan daerah lainnya dengan capaian IPM menempati peringkat kedua pada tahun 2011 dan 2012, kemudian turun satu peringkat pada tahun 2013 di peringkat ketiga. Bila melihat capaian IPM untuk daerah-daerah di Pulau Kalimantan, Maluku, dan Papua, peringkat IPM pada daerah-daerah ini relatif sama kecuali Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Utara. Hal ini juga dapat mengindikasikan bahwa terjadi ketimpangan dalam hal pembangunan manusia antardaerah di Indonesia, di mana untuk peringkat IPM 10 terbawah didominasi oleh daerah-daerah di wilayah timur Indonesia, dan 10 teratas didominasi oleh daerah-daerah di wilayah barat seperti Jawa dan Sumatera.
6
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan capaian IPM di Sulawesi Barat, adalah dengan memberikan porsi belanja pemerintah yang besar pada sektor-sektor yang berpengaruh langsung pada pencapaian pembangunan manusia. Dua hal yang dianggap menjadi kunci dan merepresentasikan dari indikator penghitung IPM adalah, belanja pemerintah sektor pendidikan dan belanja pemerintah sektor kesehatan. Menurut Mirza (2012), investasi pada bidang pendidikan dan kesehatan akan lebih berarti bagi penduduk miskin dibandingkan penduduk tidak miskin, karena aset utama penduduk miskin adalah tenaga kasar. Peningkatan belanja pemerintah pada sektor pendidikan dan kesehatan diharapkan dapat memudahkan penduduk miskin dalam mengakses pendidikan dan kesehatan murah untuk kemudian nantinya akan meningkatkan taraf hidup penduduk miskin. Pertumbuhan alokasi belanja pada sektor pendidikan dan kesehatan di 5 kabupaten se-Sulawesi Barat, dapat di lihat pada Tabel 1.3. Tabel 1.3 Belanja Pendidikan dan Kesehatan Kabupaten se-Sulawesi Barat Tahun 2011–2013 No
Kabupaten
Belanja Pendidikan (Juta Rupiah)
Belanja Kesehatan (Juta Rupiah)
2011
2012
2013
2011
2012
2013
1
Polman
283.605
326.635
351.830
58.574
61.593
75.405
2
Majene
168.453
186.228
211.395
32.748
41.747
63.413
3
Mamasa
136.066
159.007
163.448
26.171
31.508
31.987
4
Mamuju
168.650
186.586
211.615
61.636
57.497
71.006
5 Matra 65.991 71.030 77.205 Sumber: DJPK Kementerian Keuangan, 2013
48.338
34.761
40.402
Tabel 1.3 menunjukkan bahwa pertumbuhan belanja pada dua sektor ini memiliki tren positif, namun porsi alokasi belanja kesehatan pada masing-masing kabupaten dianggap masih rendah. Berbeda dengan porsi alokasi belanja
7
pendidikan yang memang sudah tinggi, bila dilihat dari rasio belanja pendidikan terhadap total belanja. Hal ini, terlihat pada Gambar 1.3. Rasio Belanja Pendidikan terhadap Total Belanja (Persen)
0.12 0.25 0.27 0.40
0.12 0.12 0.21 0.39
0.14 0.16 0.23 0.39
0.36
0.34
0.32
0.13 0.21 0.19 0.41 0.43
0.08 0.15 0.27 0.31 0.32
0.20 0.27 0.36
0.19 0.27 0.34
0.38 0.43
Kab. Mamuju Utara
0.38
0.16 0.25 0.31 0.37
0.46
0.44
Kab. Majene
Kab. Mamuju Kab. Mamasa
Kab. Polman 2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Sumber: DJPK Kementerian Keuangan, 2013 Gambar 1.3. Rasio Belanja Pendidikan terhadap Total Belanja Kabupaten se-Sulawesi Barat Tahun 2006–2013
Gambar 1.3 menunjukkan bahwa meskipun terjadi fluktuasi dalam pengalokasian belanja pendidikan oleh pemerintah, namun trennya tetap meningkat. Dengan semakin meningkatnya kemampuan pembiayaan daerah dalam mendanai program-program strategi bidang pendidikan, diharapkan dapat secara signifikan menaikkan capaian pembangunan manusia di daerah tersebut. Pendidikan dan kesehatan merupakan dua hal pokok yang menjadi kunci dari pembangunan manusia. Selain pendidikan, sektor kesehatan juga perlu mendapat perhatian dari pemerintah. Rasio Belanja Kesehatan terhadap Total Belanja (Persen) 0.50 0.40 0.30 0.20 0.10 0.00
0.06 0.09 0.09 0.08 0.09
0.10
0.11
0.10
0.10 0.07 0.08 0.10
0.09 0.07 0.07 0.10
0.10 0.06 0.09 0.08
0.14 0.08 0.08 0.06 0.09 0.09
0.10 0.07 0.07 0.09
0.09 0.08 0.07 0.08 0.09
0.08 0.08 0.06 0.11
Kab. Mamuju Utara
0.09
Kab. Majene
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Kab. Mamuju Kab. Mamasa
Kab. Polman
Sumber: DJPK Kementerian Keuangan, 2013 Gambar 1.4. Rasio Belanja Kesehatan terhadap Total Belanja Kabupaten se-Sulawesi Barat Tahun 2006–2013
8
Gambar 1.4 menunjukkan bahwa porsi alokasi belanja pemerintah di 5 kabupaten di Sulawesi Barat pada sektor kesehatan masih kecil. Kecilnya alokasi belanja kesehatan tersebut menjadi penyebab sulitnya masyarakat menengah ke bawah dalam mengakses fasilitas kesehatan dan akan berdampak pada rendahnya kualitas hidup masyarakat, serta akan menghambat produktifitas masyarakat itu sendiri. Pemerintah daerah seharusnya dapat mengidentifikasi lebih jauh tentang sektor-sektor yang memerlukan perhatian serius dalam pembangunan, dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pengalokasian belanja pemerintah yang besar dan tepat sasaran pada sektor-sektor strategis merupakan wujud pelaksanaan fungsi pelayanan pemerintah kepada masyarakatnya. Pemberian kewenangan yang lebih kepada daerah merupakan momentum yang tepat bagi pemerintah daerah agar dapat mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sesuai dengan kebutuhan daerah tersebut serta dalam rangka mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Pemerintah daerah juga diharapkan dapat melihat berbagai peluang dalam mencari sumber-sumber pembiayaan lainnya (selain pajak daerah dan retribusi daerah) untuk membantu pemerintah daerah dalam melaksanakan pembangunan, seperti misalnya dari dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ataupun dana hibah dari lembaga-lembaga donor dunia seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Bank Dunia.
9
1.2 Keaslian Penelitian Grimm (2008), melakukan penelitian tentang pembangunan manusia berdasarkan klasifikasi pendapatan. Penelitian tersebut menemukan bahwa ketimpangan pembangunan manusia sangat besar terjadi di negara-negara Afrika sub-Sahara, dan juga terdapat perbedaan besar dalam hal capaian pembangunan manusia antara negara kaya dan negara miskin. Penelitian ini juga menekankan bahwa pemerintah harus peka terhadap ketimpangan yang terjadi di wilayahnya, dalam hal ini ketimpangan pendapatan, ketimpangan kualitas pendidikan, dan kesehatan. Kritik dalam penelitian ini, Human Development Index (HDI) tidak memperhitungkan ketimpangan yang terjadi dalam suatu wilayah atau negara. Dengan melihat distribusi pendapatan, diharapkan pengambil kebijakan dapat melihat dengan jelas masalah pembangunan yang dihadapi oleh kalangan miskin dan kaya, demikian juga antara negara kaya dan miskin. Baho (2009), melakukan penelitian tentang dampak dana otonomi khusus terhadap pembangunan manusia di Kabupaten Sorong Tahun 1996–2007. Penelitian ini menggunakan uji beda dua untuk mengetahui apakah ada perbedaan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebelum dan sesudah adanya otonomi khusus di Kabupatern Sorong. Hasil analisis menemukan bahwa tidak terdapat perbedaan IPM di Kabupaten Sorong antara sebelum dan sesudah adanya otonomi khusus, atau dengan kata lain dana otonomi khusus belum memberikan pengaruh terhadap pencapaian pembangunan manusia di Kabupaten Sorong. Hal ini terlihat dari capaian IPM
10
Kabupaten Sorong masih berada pada kategori menengah ke bawah, yaitu 50 ≤ IPM < 66. Yuanda
(2013),
melakukan
penelitian
tentang
faktor-faktor
yang
mempengaruhi pembangunan manusia di DKI Jakarta Tahun 2006–2011. Penelitian dilakukan pada 6 kabupaten/kota administrasi di Provinsi DKI Jakarta. Data yang digunakan adalah data sekunder yaitu Indeks Pembangunan Manusia (IPM), pertumbuhan ekonomi, belanja pendidikan, belanja kesehatan, jumlah tenaga kesehatan, dan tingkat pengangguran. Alat analisis yang digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pembangunan manusia adalah regresi data panel. Dengan teknik estimasi menggunakan Common Effect Model (CEM), hasil penelitian menemukan bahwa tidak terdapat pengaruh variabel pertumbuhan ekonomi terhadap IPM, terdapat pengaruh yang positif dan signifikan variabel belanja pendidikan, dan belanja kesehatan terhadap IPM, terdapat pengaruh positif dan signifikan jumlah tenaga kesehatan terhadap IPM, serta terdapat pengaruh negatif dan signifikan tingkat pengangguran terhadap IPM. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak selalu seiring dengan pembangunan manusia, di sisi lain belanja pendidikan dan belanja kesehatan mempengaruhi pembangunan manusia secara signifikan. Gyven (2012), melakukan penelitian di wilayah Provinsi Papua Tahun 2007– 2010. Penelitian ini menganalisis pengaruh PDRB per kapita, dana otonomi khusus serta investasi terhadap IPM di Provinsi Papua, dengan menggunakan model regresi data panel pada 10 kabupaten/kota. Hasil penelitian menunjukkan
11
bahwa dana otonomi khusus dan investasi memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap IPM, sedangkan variabel PDRB per kapita tidak signifikan, dan bertanda negatif. Naput (2012), melakukan penelitian tentang pengaruh dayabeli, belanja kesehatan, dan belanja pendidikan terhadap IPM di Indonesia. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh dayabeli masyarakat, belanja pendidikan, dan belanja kesehatan terhadap indikator pendidikan dan indikator kesehatan dalam IPM pada kabupaten/kota di Indonesia. Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian kuantitatif dengan menggunakan data cross-section, yang dikumpulkan dengan metode dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa belanja kesehatan yang diproksikan dengan realisasi belanja kesehatan kabupaten/kota tahun 2007, secara statistik tidak signifikan dan tidak berpengaruh positif terhadap angka harapan hidup tahun 2007–2009. Belanja pendidikan yang diproksikan dengan realisasi belanja pendidikan tahun 2007, secara signifikan tidak berpengaruh positif terhadap angka melek huruf tahun 2007–2009. Daya beli masyarakat berpengaruh positif dan signifikan terhadap rata-rata lama sekolah 2007–2009 demikian juga halnya terhadap angka melek huruf. Syahputra (2012), meneliti tentang ketimpangan kualitas pembangunan manusia di Provinsi Sumatera Utara tahun 2005–2009. Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui kualitas pembangunan manusia dan ketimpangannya dilihat dari IPM pada kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara. Data yang digunakan terdiri dari PDRB per kapita, jumlah penduduk, tingkat melek huruf, rata-rata lama sekolah, dan harapan hidup. Alat analisis yaitu IPM, Klassen,
12
inequality adjusted HDI, indeks Theil, dan korelasi pearson product moment. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 18 kabupaten/kota di Sumatera Utara masih berada pada kuadran IV tipologi Klassen, ini menunjukkan bahwa 18 kabupaten/kota tersebut relatif masih tertinggal baik dari segi IPM maupun PDRB per kapita. Medan memiliki IPM tertinggi yaitu 0,6175, sedangkan yang terkecil adalah Tapanuli Tengah yaitu sebesar 0,4520. Loss HDI tertinggi juga diperoleh Tapanuli Tengah dan terendah adalah Medan, dan indeks ketimpangan Theil untuk Sumatera Utara sebesar 0, 1743. Berdasarkan korelasi Pearson menunjukkan korelasi negatif antara IPM (HDI), Loss HDI dan indeks Theil yang berarti dengan meningkatnya IPM, maka loss HDI akan menurun dan indeks ketimpangan Theil juga turun. Ashan
(2011),
melakukan
penelitian
tentang
faktor-faktor
yang
mempengaruhi pembangunan manusia di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tahun 2005–2009. Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk menganalisis pengaruh PDRB per kapita, belanja pendidikan, belanja kesehatan, rasio angkatan kerja yang tidak bekerja dengan jumlah angkatan kerja, jumlah puskesmas, tipe rumah sakit daerah, jumlah penduduk lulusan Sekolah Dasar (SD), dan jumlah penduduk lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Untuk kemudian melihat pengaruhnya terhadap pembangunan manusia di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dengan menggunakan model data panel. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa PDRB per kapita, pengeluaran pemerintah bidang pendidikan, dan kesehatan berpengaruh positif dan signifikan terhadap IPM. PDRB per kapita memberikan pengaruh paling besar, kemudian belanja kesehatan
13
dan belanja pendidikan. Rasio angkatan kerja yang tidak bekerja per jumlah angkatan kerja, jumlah puskesmas, dan jumlah penduduk lulusan SMP berpengaruh positif, tetapi tidak signifikan terhadap IPM. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada objek penelitian, serta periode waktu penelitian. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu belanja pemerintah sektor pendidikan, belanja pemerintah sektor kesehatan, pengeluaran per kapita, dan PDRB untuk melihat pengaruhnya terhadap pembangunan manusia yang dalam hal ini adalah IPM.
1.3 Rumusan Masalah Berdasarkan ulasan pada latar belakang, maka dapat dirumuskan rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut. 1.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tingkat kabupaten/kota dan provinsi di Sulawesi Barat masih berada di bawah rata-rata nasional, memberikan alokasi belanja pemerintah yang besar pada sektor pendidikan dan kesehatan diharapkan dapat meningkatkan pelayanan pendidikan dan kesehatan sehingga menjangkau seluruh lapisan masyarakat dan secara bertahap akan meningkatkan capaian IPM di Sulawesi Barat.
2.
Sulawesi Barat mengalami pertumbuhan ekonomi di atas rata-rata nasional sejak tahun 2009–2013, namun hal ini berbanding terbalik dengan capaian pembangunan pada manusia yang masih berada di bawah rata-rata nasional.
14
1.4 Pertanyaan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah, maka pertanyaan penelitian pada penelitian ini adalah sebagai berikut. 1.
Bagaimana pengaruh belanja pemerintah sektor pendidikan terhadap pembangunan manusia pada kabupaten/kota di Sulawesi Barat?
2.
Bagaimana pengaruh belanja pemerintah sektor kesehatan terhadap pembangunan manusia pada kabupaten/kota di Sulawesi Barat?
3.
Bagaiman
pengaruh
PDRB
terhadap
pembangunan
manusia
pada
kabupaten/kota di Sulawesi Barat?
1.5 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1.
Menganalisis pengaruh belanja pemerintah sektor pendidikan terhadap pembangunan manusia pada kabupaten/kota di Sulawesi Barat.
2.
Menganalisis pengaruh belanja pemerintah sektor kesehatan terhadap pembangunan manusia pada kabupaten/kota di Sulawesi Barat.
3.
Menganalisis pengaruh PDRB terhadap pembangunan manusia pada kabupaten/kota di Sulawesi Barat.
1.6 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1.
Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi pemerintah daerah khususnya
pemerintah
Provinsi
Sulawesi
Barat
dan
pemerintah
15
kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Barat, sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil kebijakan agar lebih fokus terhadap pembangunan yang menyeluruh di Provinsi Sulawesi Barat. 2.
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan untuk penelitian yang lebih lanjut.
1.7 Sistematika Penulisan Penulisan tesis ini terbagi kedalam 5 bab utama, yang terdiri dari: Bab I Pendahuluan, berisi latar belakang, keaslian penelitian, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaaat penelitian, dan sistimatika penulisan. Bab II Landasan Teori, berisikan teori, kajian terhadap penelitian terdahulu, kerangka penelitian. Bab III Metode Penelitian, berisikan desain penelitian, metode pengumpulan data, defenisi operasional, dan metode analisis data. Bab IV Analisis, berisi tentang deskripsi data, uji akurasi instrumen, dan pembahasannya. Bab V Simpulan dan Saran, berisi tentang simpulan, implikasi, keterbatasan, dan saran.
16