BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Industri perbankan Indonesia mengalami perubahan struktural pada Tahun 1990 yang didorong oleh deregulasi kebijakan sektor perbankan pada era 1980-an (Mulyaningsih dan Daly, 2011: 152). Tahun 1980-an, pemerintah mengeluarkan kebijakan paket deregulasi 1 Juni 1983 (Pakjun 1983) dan paket deregulasi Oktober 1988 (Pakto 1988). Pakjun 1983 bertujuan untuk mengurangi regulasi yang menghambat mekanisme pasar untuk mencapai tingkat profesionalisme dan efisiensi yang tinggi dengan cara memberikan kebebasan perbankan untuk menetapkan garis haluannya sendiri (Ana, 2012: 1). Menurut Mafruhah (2006: 1), deregulasi perbankan Tahun 1983 ini mengandung 3 unsur utama, yaitu: 1. menghapus pagu kredit sehingga bank nasional bisa memberikan kredit secara leluasa sesuai dengan kemampuannya dengan harapan bank dapat berkembang secara wajar; 2. bank diberikan kebebasan untuk menentukan tingkat suku bunganya sendiri dalam rangka memobilisasi dana dari dan kepada masyarakat; 3. mengurangi sebanyak mungkin atau meniadakan ketergantungan kepada bank sentral (Bank Indonesia) dengan cara mengurangi atau meniadakan kredit likuiditas. Paket deregulasi selanjutnya adalah Pakto 1988 yang dikeluarkan pada tanggal 27 Oktober 1988. Penetapan deregulasi ini dimaksudkan untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap financial market seraya mendorong 1
perbankan ke arah kompetisi (persaingan) yang efisien dan sehat dengan memberi kemudahan dalam mendirikan bank (Mafruhah, 2006: 2). Lebih lanjut dikatakan bahwa dengan bertambahnya jumlah bank dan kantor cabang bank, diharapkan akan menumbuhkan persaingan antarbank yang sehat dengan mendorong masingmasing bank untuk menciptakan kreatifitas dan inovasi dalam kegiatannya. Kedua kebijakan tersebut membuat Indonesia memasuki masa liberalisasi sektor perbankan dan keuangan (Ana, 2012: 1), di mana jumlah bank, mobilisasi dana, bentuk kredit, jenis pembiayaan, volume transaksi, dan jenis produk keuangan meningkat. Bank swasta nasional berkembang sangat pesat, di mana jumlah bank bertambah dari 106 bank pada Tahun 1988, meningkat menjadi 239 bank pada Tahun 1996 (Statistik Perbankan Indonesia, 1988-1996). Dengan peningkatan jumlah bank yang signifikan, peran sektor perbankan dalam mobilisasi dana masyarakat pun mengalami peningkatan (Ana, 2012: 1). Di lain pihak, Mafruhah (2006: 2) menyatakan bahwa Pakto 1988 yang memberikan kebebasan dan kemudahan bagi bank komersiil untuk melakukan inovasi menyebabkan banyak bank yang salah langkah, kurang berhati–hati, atau menyimpang dari aturan atau ketentuan yang berlaku. Kekhawatiran tersebut terbukti pada Tahun 1997 saat terjadi krisis keuangan di negara-negara Asia. Krisis tersebut memengaruhi sektor finansial terutama sektor perbankan, sehingga bank kehilangan kepercayaan dari masyarakat dan mengakibatkan terjadinya bank rush, yaitu penarikan uang secara besar-besaran oleh masyarakat (Ana, 2012: 1). Mafruhah (2006: 2) menyatakan bahwa terjadinya krisis ekonomi di Indonesia yang diikuti keputusan Menteri Keuangan yang melikuidasi 16 bank
2
papan atas di Indonesia, menyebabkan kepanikan bagi masyarakat, terutama bagi nasabah yang memiliki dana di bank yang dilikuidasi. Kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan terutama swasta merosot tajam dan membuat kondisi perekonomian yang sudah jatuh semakin buruk. Untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat, pemerintah melakukan langkah stabilisasi dan restrukturisasi sektor keuangan pasca krisis 1998. Menurut Sucianti dan Naomi (2009: 91), besarnya kebutuhan dana dalam langkah stabilisasi dan restrukturisasi sektor keuangan pascakrisis 1998, membuat pemerintah Indonesia melakukan divestasi aset beberapa bank nasional kepada investor asing. Salah satu cara perbankan lepas dari trauma krisis lalu bangkit dan mengembangkan kembali efisiensi usaha yaitu dengan menjual beberapa sahamnya pada investor asing. Pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Pasal 26 Ayat (2) pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 menyebutkan, ”Warga negara Indonesia, warga negara asing, badan hukum Indonesia dan atau badan hukum asing dapat membeli saham Bank Umum, baik secara langsung dan atau melalui bursa efek”. Undang-Undang Perbankan tersebut ditindaklanjuti dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1999 tentang Pembelian Saham Bank Umum. Peraturan tersebut, khususnya Pasal 3, menyebutkan, ”Jumlah kepemilikan saham Bank oleh Warga Negara Asing dan atau Badan Hukum Asing yang diperoleh melalui pembelian secara langsung maupun melalui Bursa Efek sebanyak-banyaknya adalah 99 persen (sembilan puluh sembilan per seratus) dari jumlah saham Bank yang bersangkutan”.
3
Dengan menerbitkan kedua undang-undang tersebut, pemerintah bermaksud membuka keran investasi sebesar-besarnya untuk mengatasi perlambatan ekonomi akibat krisis moneter (Khakim, dalam http://www.stabilitas.co.id, 2011). Pada tanggal 9 Januari 2004, Bank Indonesia meluncurkan Arsitektur Perbankan Indonesia (API) sebagai suatu kerangka dasar sistem perbankan Indonesia yang bersifat menyeluruh dan memberikan arah, bentuk, dan tatanan industri perbankan untuk rentang waktu lima sampai sepuluh tahun ke depan (Bank Indonesia, 2014). Arah kebijakan pengembangan industri perbankan di masa datang yang dirumuskan dalam API dilandasi oleh visi mencapai suatu sistem perbankan yang sehat, kuat dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan dalam rangka membantu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Untuk mencapai tujuan, bank sentral merancang 6 pilar untuk menopang sistem perbankan di Indonesia, yaitu; menciptakan industri perbankan yang sehat, merumuskan sistem regulasi perbankan yang efektif berdasarkan standar internasional; meningkatkan fungsi monitoring bank sentral berdasarkan standar internasional; menciptakan industri perbankan yang kuat, kompetitif dengan pengelolaan usaha yang baik; mewujudkan infrastuktur yang baik untuk mendukung penciptaan sistem perbankan yang sehat; dan meningkatkan proteksi dan pemberdayaan konsumen. Ilustrasi keenam pilar tersebut disajikan dalam Gambar 1.1 berikut.
4
Sumber: Arsitektur Perbankan Indonesia, Bank Indonesia (2014) Gambar 1.1 Enam Pilar dalam Arsitektur Perbankan Indonesia
Secara keseluruhan, struktur perbankan Indonesia dalam kurun waktu sepuluh sampai lima belas tahun ke depan diharapkan akan terbentuk sebagaimana digambarkan dalam Gambar 1.2 berikut.
Sumber: Arsitektur Perbankan Indonesia, Bank Indonesia (2014) Gambar 1.2 Struktur Perbankan Indonesia berdasarkan Arsitektur Perbankan Indonesia 5
Salah satu pilar API adalah untuk menciptakan struktur perbankan yang sehat, yang diwujudkan dalam “Program Penguatan Struktur Perbankan Nasional” yang bertujuan untuk menciptakan struktur perbankan nasional yang sehat yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat dan mendorong pembangunan ekonomi nasional yang berkesinambungan. Disebutkan dalam API, bahwa program ini bertujuan untuk memperkuat permodalan bank umum (konvensional dan syariah) dalam rangka meningkatkan kemampuan bank mengelola usaha maupun risiko, mengembangkan teknologi informasi, maupun meningkatkan skala usahanya guna mendukung peningkatan kapasitas pertumbuhan kredit perbankan. Implementasi program penguatan permodalan bank dilaksanakan secara bertahap.
Upaya
peningkatan modal bank-bank tersebut dapat dilakukan dengan membuat business plan yang memuat target waktu, cara dan tahap pencapaian. Dalam rangka memperkuat modal perbankan, API mengeluarkan ketentuan sebagai berikut. 1.
Meningkatkan persyaratan modal inti minimum bagi bank umum konvensional maupun syariah (termasuk BPD) menjadi Rp80 miliar hingga Tahun 2007.
2.
Meningkatkan persyaratan modal inti minimum bagi bank umum konvensional maupun syariah (termasuk BPD) menjadi Rp100 miliar hingga Tahun 2010.
3.
Mempertahankan persyaratan modal disetor minimum Rp3 triliun untuk pendirian bank umum konvensional sampai dengan 1 Januari 2011.
4.
Menetapkan persyaratan modal disetor minimum Rp1 triliun untuk pendirian
6
bank umum syariah, dengan batas waktu pelaksanaan hingga Tahun 2005. 5.
Menetapkan persyaratan modal sebesar Rp500 miliar bagi bank umum syariah yang berasal dari spin off Unit Usaha Syariah, dengan batas waktu pelaksanaan hingga Tahun 2006.
6.
Mempercepat batas waktu pemenuhan persyaratan minimum modal disetor BPR yang semula Tahun 2010 menjadi Tahun 2008.
API juga memberikan rekomendasi cara untuk mencapai ketentuan modal seperti di atas, yaitu melalui: 1.
penambahan modal baru baik dari shareholder lama maupun investor baru;
2.
merger dengan bank (atau beberapa bank) lain untuk mencapai persyaratan modal minimum baru;
3.
penerbitan saham baru atau secondary offering di pasar modal;
4.
penerbitan subordinated loan. Dengan rekomendasi dari API mengenai cara pencapaian ketentuan modal
dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, serta ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1999 yang mengijinkan pemilikan saham perbankan oleh investor asing hingga 99 persen, secara tidak langsung struktur kepemilikan bank akan berubah. Hingga 2012, status kepemilikan bank-bank umum yang beroperasi di Indonesia, di samping bank asing dan dikecualikan Bank Pembangunan Daerah, disajikan dalam Tabel 1.1 berikut.
7
Tabel 1.1 Daftar Bank di Indonesia dengan Kepemilikan Asing di atas 50 Persen Hingga Tahun 2012 No
Nama Bank
Kategori Bank
1
Bank CIMB Niaga, Tbk.
BUSN Devisa
2
Bank Danamon, Tbk.
BUSN Devisa
3
Bank Ekonomi Raharja, Tbk.
BUSN Devisa
4
Bank Hana
BUSN Devisa
5
Bank ICB Bumiputera Indonesia, Tbk. Bank ICBC Indonesia
BUSN Devisa
7
Bank International Indonesia, Tbk.
BUSN Devisa
8
Bank of India Indonesia, Tbk.
9
Pemegang Saham Pengendali CIMB Group Holding Berhad, melalui CIMB Group Sdn Bhd, Malaysia Temasek Holdings
Persentase Kepemilikan 96,92%
67,37%
HSBC Holdings plc melalui HSBC Asia Pacific Holdings (UK) Limited Hana Bank, Korea
98,94%
61,30%
BUSN Devisa
Tun Daim Zainuddin melalui Daim Limited Industrial and Commercial Bank of China Ltd Malayan Banking Berhard melalui a. Sorak Financial Holding Pte. Ltd b. Maybank Offshore Corporate Services (Labuan) Sdn Bhd Bank Of India
Bank Nusantara Parahyangan, Tbk.
BUSN Devisa
Acom, Co. Ltd
60,31%
10
Bank OCBC NISP, Tbk.
BUSN Devisa
85,08%
11
Bank QNB Kesawan, Tbk.
BUSN Devisa
OCBC Overseas Investment Pte.Ltd Qatar National Bank
12
Bank SBI Indonesia
BUSN Devisa
State Bank Of India
76,00%
13
Bank UOB Indonesia
BUSN Devisa
68,943%
14
Bank ANZ Indonesia
Bank Campuran
15
Bank BNP Paribas Indonesia
Bank Campuran
UOB International Investment Private Limited, Singapura HSBC Custody Nominees (Australia) Limited BNP Paribas, SA
16
Bank Chinatrust Indonesia
Bank Campuran
99,00 %
17
Bank Commonwealth
Bank Campuran
18
Bank DBS Indonesia
Bank Campuran
Chinatrust Commercial Bank, Taiwan Commonwealth Bank of Australia DBS Bank Ltd
6
BUSN Devisa
75,10%
97,50%
a. 54,33% b. 42,96%
76,00%
69,59%
99,00 %
99,00 %
98,38 % 99,00 %
8
Lanjutan Tabel 1.1 No
Nama Bank
Kategori Bank
19
Bank KEB Indonesia
Bank Campuran
20
Bank Mizuho Indonesia
Bank Campuran
21
Bank Rabobank International Indonesia
Bank Campuran
22
Bank Sumitomo Mitsui Indonesia
Bank Campuran
23
Bank Woori Indonesia
Bank Campuran
Pemegang Saham Pengendali Korea Exchange Bank, Seoul Mizuho Financial Group Inc. melalui Mizuho Corporate Bank, Ltd., Japan Cooperatieve Centrale Reiffeisen Boerenleenbank B.A Sumitomo Mitsui Banking Corporation Woori Bank, Korea
Persentase Kepemilikan 99,00 % 99,00 %
56,94%
98,48% 95,18%
Sumber: Bank Indonesia (2014)
Menurut Sufian dan Habibullah (2010: 464), kehadiran bank asing menimbulkan pertanyaan terkait dampak potensial yang akan ditimbulkan. Di satu pihak, masuknya bank asing memberi dampak positif dari sisi inovasi dan pengembangan produk, serta dapat mendorong penerapan best practice tersebut di antara bank yang lain, namun di lain pihak, kompetisi dalam industri perbankan menjadi semakin tinggi dan mengancam keberlangsungan bank-bank kecil. Penelitian yang dilakukan Caprico dan Honahan (2000: 1) serta Goldberg (2000: 1) menunjukkan bukti empiris korelasi positif antara kepemilikan asing dan stabilitas sistem perbankan. Studi Dages (2000: 1) menyimpulkan bahwa bank dengan kepemilikan asing lebih kuat dan memiliki volatilitas pertumbuhan pinjaman dibanding bank-bank domestik. Claessens (2001 dalam Sucianti dan Naomi, 2009: 92) menyimpulkan bahwa profit bank asing lebih besar dibanding bank domestik pada negara yang berkembang, namun profit bank asing hanya sedikit lebih besar dibanding bank domestik pada negara maju. Studi yang dilakukan Chen dan Liao (2010: 819) 9
menunjukkan bahwa profit bank asing lebih besar dari bank domestik ketika bank tersebut beroperasi di negara yang memiliki sektor perbankan kurang kompetitif dan induk bank di negara asalnya memiliki profit yang tinggi pula. Ketika bank asing beroperasi di negara yang memiliki tingkat pertumbuhan GDP lebih rendah, tingkat suku bunga dan inflasi yang lebih tinggi, serta regulasi yang lebih longgar (stringent), maka profit akan meningkat. Jeon, Olivero, dan Wu (2011: 856) melakukan studi yang menunjukkan bahwa meningkatnya jumlah bank asing yang masuk akan meningkatkan persaingan dalam sektor perbankan di negara yang dimasuki. Efek positif tersebut menguat jika bank asing yang lebih efisien dan memiliki risiko yang rendah memasuki negara yang memiliki pasar yang kurang terkonsentrasi. Di Indonesia, studi mengenai bank dominasi asing yang dilakukan oleh Sutaryono (2007 dalam Sucianti dan Naomi, 2009: 92) menyimpulkan bahwa keunggulan bank swasta nasional milik asing adalah pada kekuatan modal, kekuatan sumber daya manusia, serta dukungan sistem teknologi informasi (TI), sehingga pertumbuhan profit bank tersebut melampaui kelompok bank lainnya, termasuk bank BUMN. Para analis Indonesia memiliki kekuatiran akan kekuatan asing yang makin mendominasi sektor perbankan. Khakim (2011 dalam http://www.stabilitas.co.id, 2011) berpendapat bahwa “kuatnya dominasi asing pada suatu bank berpotensi menghambat berlangsungnya praktik good governance dan proses pengawasan pada bank yang bersangkutan. Dominasi asing juga berpotensi menghambat proses transmisi kebijakan moneter yang pada akhirnya bersifat kontraproduktif bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Kasus tingginya suku bunga kredit, misalnya. Meski Bank Indonesia telah menurunkan tingkat suku bunga acuan BI Rate, penurunan suku bunga kredit belum sesuai yang diharapkan. Dominasi asing pada perbankan nasional membuat pasar cenderung 10
oligopolistik. Hal ini membuat biaya modal (cost of fund) menjadi tidak efisien. Industri perbankan lebih mengejar besarnya pendapatan marjin daripada mengoptimalkan fungsi intermediasi.” Lebih
lanjut,
masih
dikutip
dari
Khakim
(2011
dalam
http://www.stabilitas.co.id, 2011), “kepemilikan saham di Indonesia yang umumnya bersifat terkonsentrasi bisa mendorong pemegang saham pengendali untuk melakukan ekpropriasi, yakni penggunaan hak kontrol untuk memaksimalkan kesejahteraan pribadi dengan distribusi kekayaan dari pihak lain. Konsentrasi terjadi dalam klaim keuangan pemegang saham terhadap perusahaan (hak aliran kas), hak pemegang saham biasa untuk memilih dewan direktur, dan berbagai kebijakan perusahaan (hak kontrol), serta selisih antara hak kontrol dan hak aliran kas (cash flow right leverage) sebagai pemegang saham pengendali. Tanpa adanya penegakan corporate governance dan law enforcement yang kuat, hak-hak pemegang saham minoritas bisa terabaikan. Dan dalam skala yang lebih besar, kebijakan pengelolaan perusahaan bisa tidak sejalan dengan kepentingan ekonomi nasional.” Sementara itu, analis finansial Lin Che Wei dalam http://bisnis.news. viva.co.id (2012) berpendapat bahwa “dominasi asing dalam perbankan Indonesia akan membawa dampak negatif bagi Indonesia, karena bank dominasi asing semakin condong ke segmen kredit konsumsi. Sebagai contoh, bank swasta milik asing seperti PT Bank Danamon Tbk. memiliki porsi kredit konsumen sebesar 48 persen, PT Bank CIMB Niaga Tbk. (30 persen), dan PT Bank Internasional Indonesia Tbk. (35 persen). Sementara itu, bank milik negara seperti PT Bank Mandiri Tbk. hanya memiliki porsi kredit konsumen sebesar 15 persen, dan PT Bank Negara Indonesia Tbk. (21 persen). Dengan kondisi seperti ini, diperkirakan dalam 5 sampai dengan 10 tahun ke depan, pangsa pasar bank BUMN dan swasta yang dimiliki lokal akan terus menyusut. Jika hal ini terus dibiarkan, bila terjadi krisis, dominasi kepemilikan asing berpotensi meningkatkan risiko pelarian modal.” Pengamat
dan
praktisi
perbankan,
Krisna
Wijaya
dalam
http://www.infobanknews.com (2011) mempunyai sudut pandang yang berbeda, yang justru mempertanyakan kebenaran anggapan bahwa regulasi yang mengijinkan kepemilikan asing hingga 99 persen-lah yang menjadi penyebab 11
berkurangnya pangsa pasar bank nasional, atau justru karena bank nasional sendiri yang kalah bersaing dan kurang mampu berinovasi dengan memanfaatkan keunggulan komparatif masing-masing. Lebih lanjut, dijelaskan bahwa bank asing memiliki keunggulan komparatif berupa keunggulan dalam inovasi produk dengan dukungan penguasaan teknologi, birokrasi yang minimalis, dan sumber daya manusia yang lebih unggul, sehingga bank asing lebih cepat dan berhasil dalam menembus pasar nasional. Dari segi kinerja keuangan, menurut Direktur Eksekutif Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan BI, Mulya Siregar, seperti dikutip oleh http://bisnis.news.viva.co.id (2013), rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) bank asing diakui jauh lebih besar dibanding rata-rata industri perbankan di Indonesia, yakni sekitar 30,89 persen, sedangkan perbankan Indonesia hanya sekitar 17,57 persen. Jika diukur dari perbandingan antara biaya operasional dan pendapatan operasional (BOPO), perbankan Indonesia lebih efisien daripada bank asing. BOPO perbankan Indonesia tercatat sekitar 75,13 persen, sementara BOPO bank asing sekitar 80,78 persen. Demikian pula, rasio kredit terhadap dana pihak ketiga (loan to deposit ratio/LDR) industri perbankan Indonesia yang sekitar 84,19 persen masih lebih baik daripada LDR bank asing yang mencapai 111,21 persen. Sucianti dan Naomi (2009: 91) mengambil sampel PT. Bank Central Asia Tbk., PT Bank Internasional Indonesia Tbk., PT Bank OCBC NISP Tbk., PT Bank Niaga Tbk., PT Bank Danamon Tbk., PT Bank Lippo Tbk., dan PT Bank UOB Buana Tbk. untuk mewakili kelompok bank yang terdaftar di Bursa Efek
12
Indonesia pada Tahun 2007 yang memiliki kepemilikan asing lebih dari 51 persen dan membandingkannya dengan rasio LDR (Loan to Deposit Ratio), CAR (Capital Adequacy Ratio), ROE (Return on Equity), BOPO (Biaya Operasional per Pendapatan Operasional), PBV (Price to Book Value), dan PER (Price Earning Ratio) dari kelompok bank pemerintah. Hasil yang diperoleh menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan pada kinerja keuangan di antara bank berkepemilikan asing dengan bank negara dilihat dari rasio LDR, CAR, ROE, BOPO, PBV, dan PER. Rasio keuangan seperti CAR, BOPO, dan LDR di atas lazim digunakan untuk mengevaluasi kinerja suatu bank. Evaluasi terhadap kinerja suatu organisasi merupakan suatu hal yang mutlak dilakukan untuk menjamin keberhasilan strategi perusahaan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kinerja diartikan sebagai sesuatu yang dicapai, prestasi yang diperlihatkan, atau kemampuan kerja (dari suatu peralatan). Dalam dunia perbankan, kinerja suatu bank biasanya diukur dengan indikator kesehatan bank yang menggunakan indikator penilaian yang mencakup Capital, Assets, Management, Earnings, Liquidity, dan Sensitivity to Risk Market yang lebih dikenal sebagai analisis rasio CAMELS. Penggunaan analisis CAMELS tersebut tidak lepas dari Bank Indonesia selaku regulator yang telah mengeluarkan ketentuan tentang penilaian tingkat kesehatan bank sejak dikeluarkannya Surat Edaran BI Nomor 26/BPPP/1993 tanggal 23 Mei 1993 (Setiawan, 2013). Kriteria Sensitivity to Risk Market merupakan aspek tambahan dari metoda penilaian kesehatan bank yang sebelumnya, yaitu CAMEL yang
13
dikeluarkan sejak Tahun 1993. CAMEL berkembang menjadi CAMELS di Indonesia pada akhir Tahun 1997 sebagai dampak dari krisis ekonomi dan moneter (Abidin, 2008: 4). Analisis CAMELS diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/10/PBI/2004 perihal Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/1/PBI/2007 perihal Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah. Analisis CAMELS merupakan ukuran kinerja perbankan yang menggunakan parameter permodalan (Capital), kualitas aset (Asset Quality), Manajemen (Management), Profitabilitas (Earnings), Likuiditas (Liquidity), dan Sensitivitas terhadap risiko pasar (Sensitivity to Market Risk) sebagai dasar penetapan kesehatan sebuah bank. Masing-masing paramater ditetapkan berdasarkan rumusan rasio yang telah dibakukan oleh Bank Indonesia. Rasio-rasio ini pun memiliki klasifikasi skor yang menunjukkan di mana posisi bank yang sedang dievaluasi. Terdapat lima peringkat mulai dari “Peringkat 1″ hingga “Peringkat 5″, di mana urutan peringkat yang lebih kecil mencerminkan kondisi Bank yang lebih baik. Hasil akhir penilaiannya disebut Peringkat Komposit, yaitu peringkat akhir hasil penilaian Tingkat Kesehatan Bank. Misalnya, Peringkat Komposit 1 mencerminkan kondisi Bank yang secara umum sangat sehat sehingga dinilai sangat mampu menghadapi pengaruh negatif yang signifikan dari perubahan kondisi bisnis dan faktor eksternal lainnya, sedangkan Peringkat Komposit 5 mencerminkan kondisi Bank yang secara umum tidak sehat sehingga dinilai tidak mampu menghadapi pengaruh negatif yang signifikan dari perubahan kondisi
14
bisnis
dan
faktor
eksternal
lainnya
(Hermana,
dalam
http://ekonomi.kompasiana.com 2011). Analisis CAMELS adalah bentuk pendekatan rasio yang dilakukan dengan cara menghitung perbandingan output dan input yang digunakan. Melalui pendekatan ini, suatu kinerja dinilai tinggi apabila dapat menghasilkan output yang semaksimal mungkin dengan input yang seminimal mungkin.
Menurut Silkman (1986) dan Ario (2005 dalam Muharam dan Pusvitasari, 2007), pendekatan ini memiliki kelemahan apabila terdapat banyak input dan banyak output yang akan dihitung, karena jika diperhitungkan serempak akan menghasilkan banyak hasil perhitungan sehingga menghasilkan asumsi yang tidak tegas. Contohnya saat Pemerintah India menetapkan target dari sisi pembiayaan (lending) sebagai sektor utama, mengakibatkan penurunan tingkat suku bunga pinjaman dan deposito, dan mengakibatkan tingkat profitabilitas bank menurun. Demikian pula halnya kebijakan pembukaan cabang-cabang baru di pedesaan yang lebih banyak meningkatkan biaya operasional bank (Kumbhakar dan Sarkar, 2004 dalam Bhat dan Reddy, 2007). Penilaian yang selama ini digunakan lebih banyak menyoroti aspek kinerja keuangan, seperti dari sisi solvabilitas, likuiditas dan rentabilitas, namun belum banyak yang menyoroti kinerja perbankan dari sisi efisiensi bank yang mengukur sejauh mana input yang dimiliki lembaga perbankan bisa menghasilkan output dalam jumlah yang optimal, padahal efisiensi juga dapat mengindikasikan keberhasilan suatu bank. Jika bank mampu mencapai nilai efisiensi tinggi, akan 15
membuktikan bahwa bank dapat bekerja dengan baik dalam kegiatan operasionalnya dan mampu mengelola sumber daya yang dimilikinya. Bahkan, hal ini dapat mengarahkan bank pada suatu kondisi seperti pengembangan produk dan jasa, pencapaian nilai yang lebih tinggi bagi pemegang saham, serta pencapaian pertumbuhan yang lebih tinggi jika dana bank diinvestasikan pada usaha yang mampu menciptakan profit lebih tinggi. Bank yang efisien diharapkan mampu meningkatkan kemampuan internal bank untuk mentransformasi sumber daya yang dimiliki menjadi produk dan jasa keuangan, dan pada gilirannya mendorong pertumbuhan ekonomi dengan meningkatkan volume dana yang diintermediasi dalam ekonomi (Bhat dan Reddy, 2007). Efisiensi teknis perbankan dianggap satu yang memegang peranan penting (Kalirajan and Chand, 1994 dalam Bhat dan Reddy, 2007). Efisiensi ini mengukur kemampuan sebuah unit ekonomi untuk: 1. menghasilkan output maksimum dengan sumber daya dan tingkat teknologi yang dimiliki; atau 2. menghasilkan tingkat output yang sama dengan menggunakan lebih sedikit input tanpa menambah jumlah input lain. Misal diberikan kurva kemungkinan produksi suatu perusahaan, maka efisiensi teknis perusahaan tersebut dapat diukur dari seberapa dekat perusahaan yang dievaluasi dengan batas kemungkinan produksi (the production possibility frontier) dengan penggunaan sumber daya dan tingkat teknologi yang dimiliki. Jika tingkat produksi aktual perusahaan berada pada batas (frontier), perusahaan dikatakan telah efisien secara teknis (technically efficient). Jika tingkat produksi
16
di bawah batas, perusahaan tersebut tidak efisien secara teknis atau technically inefficient. Untuk mempermudah pemahaman, disajikan ilustrasi berikut (Mankiw, 2000: 30-31).
Sumber: Mankiw (2000: 31) Gambar 1.3 Kurva Kemungkinan Produksi
Kurva kemungkinan produksi adalah grafik yang memperlihatkan berbagai kombinasi keluaran (output), dalam hal ini adalah mobil dan komputer, yang mungkin dapat diproduksi oleh suatu perusahaan, dengan faktor produksi tertentu dan teknologi produksi yang tersedia, yang dapat digunakan perusahaan untuk mengubah faktor produksi menjadi output. Dalam perusahaan tersebut, jika semua sumber daya digunakan dalam industri mobil, perusahaan akan memproduksi 1.000 mobil, tetapi tidak ada komputer. Sebaliknya, jika semua sumber daya digunakan untuk industri komputer, perusahaan akan memproduksi 3.000 komputer, tetapi tidak ada mobil. Kedua titik ini merupakan kemungkinan ekstrem dari batas kemungkinan produksi. Jika perusahaan membagi sumber dayanya antara dua industri tersebut, perusahaan akan memproduksi 700 mobil 17
dan 2.000 komputer, dalam Gambar 1.3 ditunjukkan oleh titik A. Sebaliknya, titik D adalah kombinasi yang tidak mungkin dihasilkan, karena perusahaan tidak mempunyai sumber daya untuk mencapai tingkat produksi ini. Dengan kata lain, perusahaan dapat memproduksi di semua titik pada, atau dalam batas kemungkinan produksi, tetapi tidak pada titik-titik di luar batas kemungkinan produksi tersebut. Suatu hasil dikatakan efisien jika perusahaan dapat menghasilkan kombinasi tersebut dari sumber daya yang tersedia. Titik-titik pada (bukan yang berada di dalam kurva) batas kemungkinan produksi menunjukkan tingkat efisiensi produksi. Ketika perusahaan berproduksi pada suatu titik, katakan titik A, tidak ada cara lain untuk memproduksi lebih banyak barang yang satu, tanpa mengurangi produksi barang yang lain. Titik B menunjukkan suatu hasil yang tidak efisien. Misalnya perusahaan hanya dapat memproduksi 300 mobil dan 1.000 komputer. Jika sumber ketidakefisienan dihapuskan, perusahaan dapat bergerak dari titik B menuju titik A, menaikkan produksi keduanya, mobil (menjadi 700) dan komputer (menjadi 2.000). Menurut Coelli et. al. (2005: 58), selain efisiensi dalam hal operasional perusahaan yang terkait dengan batas kemungkinan produksi pada suatu level input-output dengan tingkat harga input-output tertentu, sangat memungkinkan pula bahwa perusahaan menghadapi skala produksi yang belum optimal. Misalkan suatu perusahaan terlalu kecil dalam skala produksinya sehingga menghadapi increasing return to scale (IRS), atau mungkin skala produksinya terlalu besar dan menghadapi decreasing return to scale (DRS). Dalam kedua kasus, efisiensi
18
perusahaan dapat diperbaiki dengan mengubah skala produksi namun tetap menggunakan tingkat input yang sama. Jika skala produksi perusahaan adalah Constant Return to Scale (CRS), perusahaan dikatakan telah efisien secara global. Dengan pengukuran efisiensi, selain diketahui tingkat efisiensinya, sumber dari ketidakefisienan tersebut juga dapat diketahui. Untuk tujuan tersebut, efisiensi teknik dapat didekomposisi menjadi Pure Technical Efficiency (PTE) dan Scale Efficiency (SE). PTE mengukur efisiensi perusahaan terkait manajemen atau manajerial (kemampuan perusahaan untuk memanfaatkan keterbatasan sumber daya dan teknologi agar mampu menghasilkan output yang maksimum), sementara SE terkait dengan skala produksi perusahaan. Efisiensi teknis (technical efficiency = TE) selanjutnya adalah gabungan dari PTE dan SE. Dengan kata lain, jika suatu perusahaan tidak efisien secara manajerial (artinya kurang mampu menghasilkan output yang maksimum dengan sumber daya dan teknologi yang tersedia), secara teknis juga tidak akan efisien. Hal yang sama berlaku pada efisiensi skala SE. Pengukuran kinerja berdasarkan indikator efisiensi bertujuan untuk menemukan sumber ketidakefisienan perusahaan, apakah disebabkan oleh ketidakmampuan manajemen untuk mengoptimalkan output yang dihasilkan dengan sumber daya yang ada, atau disebabkan oleh skala produksi. Jika sumber ketidakefisienan berasal dari skala produksi, dapat ditelusuri lebih jauh lagi apakah itu IRS maupun DRS. Baik IRS maupun DRS akan menyebabkan ketidakefisienan
biaya
yang pada
gilirannya
memengaruhi
kemampuan
perusahaan untuk menghasilkan profit. Informasi ini sangat berguna karena
19
memungkinkan perusahaan melakukan koreksi atas ketidakefisienan perusahaan sehingga dapat memaksimumkan profit melalui penghematan biaya. Sebagai contoh, berdasarkan temuan dari penelitian Sufian dan Majid (2007a), Maybank Malaysia tidak efisien disebabkan oleh skala produksinya. Analisis selanjutnya mengindikasikan bahwa Maybank beroperasi pada decreasing return to scale (DRS). Saran Sufian dan Majid (2007a) bagi manajemen Maybank dan pembuat kebijakan adalah agar Maybank mengurangi skala produksinya dan tidak melakukan kebijakan merger dan akuisisi domestik karena tidak efisien dari segi biaya. Berkaitan dengan pengukuran efisiensi perbankan, Mafruhah (2006: 9) mencatat beberapa penelitian dengan menggunakan alat analisis regresi, diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Permono dan Darmawan (2000), yang bertujuan untuk menganalisis efisiensi secara teknis dan efisiensi ekonomis di antara bank pemerintah, bank swasta dan bank asing. Dari hasil penelitian tersebut diperoleh kesimpulan sebagai berikut. 1. Dilihat dari perspektif efisiensi teknis, secara keseluruhan bank sampel sudah mempunyai efisiensi teknis yang mampu mendukung usahanya, sedangkan bila dilihat dari kelompok bank, kelompok bank pemerintah mempunyai koefisien teknologi yang tinggi baru kemudian disusul oleh kelompok bank asing sementara kelompok bank swasta mempunyai koefisien teknologi yang bersifat negatif atau mengalami inefisiensi. 2. Dilihat dari efisiensi ekonomi terlihat bahwa penggunaan input belum efisien. 3. Pangsa pasar untuk industri perbankan di Indonesia tidak berpengaruh
20
signifikan terhadap tingkat keuntungan yang diperoleh oleh perbankan. Hal ini disebabkan industri perbankan di Indonesia terkonsentrasi pada beberapa kelompok bank atau bersifat monopsoni. Dalam mengukur efisiensi, pendekatan regresi menggunakan sebuah model dari tingkat output tertentu sebagai fungsi dari berbagai tingkat input tertentu (Setiawan, 2013). Persamaan regresi adalah: di mana:
n
: Output : Input i, dengan i=1,2,3,...,n : Jumlah input
Pendekatan regresi akan menghasilkan estimasi tingkat output yang dihasilkan sebuah Unit Kegiatan Ekonomi (UKE), dalam hal ini adalah bank, pada tingkat input tertentu. Bank dapat dikatakan efisien apabila menghasilkan output aktual yang lebih banyak dari pada output hasil estimasi (Muharam dan Pusvitasari, 2007). Namun, pendekatan regresi ini juga memiliki kelemahan, yaitu terletak pada ketidakmampuannya dalam mengakomodir banyak output, karena dalam sebuah persamaan regresi hanya dapat menggunakan satu indikator output. 1.2 Keaslian Penelitian Penelitian mengenai efisiensi pada bank telah banyak dilakukan, di antaranya tercantum dalam Tabel 1.2 berikut ini.
21
Tabel 1.2 Studi Empiris Analisis Efisiensi Bank No
Peneliti
Alat Analisis
1
Hadad, M.D et. al. (2003a)
Data Envelopment Analysis (DEA)
2
Hadad, M.D et. al. (2003b)
1.
2.
3
Holis, A (2006)
1.
2. 3. 4.
Stochastic Frontier Approach (SFA) Distribution Free Approach (DFA) Analisis DFA (Distribution Free Aproach), Lang-Welzel, Ray Scale Elasticity (RSCE) Expansion Path Scale Elasticity (EPSCE)
4
Kusmargiani, I.S. (2006)
Data Evelopment Analysis (DEA)
5
Sufian, F (2006)
Data Envelopment Analysis (DEA)
Kesimpulan 1. Kredit dan surat berharga memiliki potensi tinggi untuk meningkatkan efisiensi. Potensi efisiensi input cukup besar (85.75% dari bea personalia dan 87.07% dari beban bunga). 2. Merger bank tidak selalu membuat bank lebih efisien. 3. Kelompok bank swasta nasional non devisa merupakan yang paling efisien selama 2001-2003. Bank asing campuran paling efisien Tahun 1997 dan bank swasta nasional devisa paling efisien Tahun 19981999. 1. Merger dari bank tidak selamanya membuat bank menjadi lebih efisien. 2. Hanya sedikit bank (1 dari 6 bank) yang meningkat skor efisiensinya setelah merger. Berdasarkan SFA dan DFA, bank asing campuran adalah bank yang paling efisien. 1. Hasil analisis DFA dan Lang-Welzel, tidak ada hubungan yang nyata antara tingkat efisiensi dengan ukuran modal inti yang dimiliki oleh masing-masing bank. 2. Hasil RSCE dan EPSCE, tidak ditemukan konsistensi antara nilai skala ekonomi bank dengan jumlah modal inti yang dimilikinya. 3. Jumlah modal inti yang lebih besar tidak selamanya membuat kinerja sebuah bank menjadi lebih baik jika dibandingkan dengan bank lain yang lebih kecil. Usaha merger dan penguatan modal inti bank tidak menjamin peningkatan efisiensi bank. Tidak ada perbedaan efisiensi operasional dan efisiensi profitabilitas sebelum dan sesudah merger dan akuisisi. 1. Inefisiensi skala produksi mendominasi inefisiensi teknis. 2. Meski efisiensi teknis bank Islam asing lebih rendah, namun lebih efisien dalam mengontrol biaya operasional, sehingga sumber inefisiensi bank Islam asing lebih didominasi oleh masalah skala produksi.
22
Lanjutan Tabel 1.2 No
Peneliti
6
Sufian, F (2007)
Alat Analisis 1.
2.
Data Envelopment Analysis (DEA). Spearman Rho Rank and Pearson Correlation
Kesimpulan 1.
2.
3. 4.
7
Sufian, F., dan Majid, M.Z. (2007a)
1. Data Envelopment Analysis (DEA) 2. Multivariate Tobit model
1.
2. 3.
8
Sufian, F., dan Majid, M.Z., (2007b)
1. 2. 3.
Data Evelopment Analysis (DEA) Window Analysis Tobit Model
1. 2.
3.
Meneliti konsistensi skor efisiensi estimasi DEA dengan meneliti korelasinya dengan alat ukur kinerja bank tradisional (ROA (Net Income/Total Assets)) sebagai proksi profitabilitas bank, LOGASS (Log of Total Assets) dan LOGLOANS (Log of Total Loans) sebagai proksi ukuran bank. Pada 2002, efisiensi perbankan syariah menurun, namun pulih kembali pada Tahun 2003 dan 2004. Bank syariah domestik lebih efisien daripada bank syariah asing. Uji Spearman- Pearson Correlation Rho Rank menunjukkan makin besar kredit yang bisa diberikan, bank makin efisien. Ukuran bank yang merupakan proksi dari market share signifikan dan berkorelasi positif dengan efisiensi bank. Demikian pula, makin efisien suatu bank juga makin besar profit yang diperoleh. Ketidakefisienan skala produksi mendominasi inefisiensi teknis dalam perbankan syariah Malaysia. Bank asing mempunyai efisiensi teknis lebih tinggi daripada bank domestik. Analisis dengan Tobit menunjukkan bahwa secara teknis, bank yang lebih efisien adalah bank yang lebih besar, memiliki kredit yang lebih besar, dan lebih sedikit NPL (non-performing loans). Overall efficiency bank di Singapura setelah merger mengalami peningkatan. Rata-rata overall efficiency bank pengakuisisi meningkat (menurun) setelah merger dengan bank yang lebih (kurang) efisien. Tobit model digunakan untuk menentukan faktor yang memengaruhi kinerja bank. Profitabilitas bank secara signifikan berpengaruh positif pada efisiensi bank, dan kredit yang berkualitas buruk berpengaruh negatif pada kinerja bank.
23
Lanjutan Tabel 1.2 No 9
Peneliti Kumar dan Gulati (2008)
Alat Analisis 1.
2.
Data Envelopment Analysis (DEA). Logistic regression analysis
Kesimpulan 1.
2.
3.
4.
10
Hartono, Edy (2009)
Stochastic Frontier Analysis (SFA)
1.
2.
11
Sucianti dan Naomi, P (2009)
Uji Kruskal-Wallis
1.
12
Colline, F (2010)
Data Envelopment Analysis (DEA)
1.
2.
27 bank sektor publik di India pada Tahun 2004/2005 beroperasi pada overall technical efficiency 88,5 persen dan dapat mengurangi input-nya sebesar 11,5 persen tanpa mengorbankan output-nya. Inefisiensi skala (scale inefficiency) lebih rendah daripada inefisiensi manajerial (pure technical inefficiency). Bentuk dominan dari inefisiensi skala (scale inefficiency) adalah decreasing returns-to scale. Hasil logistic regression analysis menunjukkan bahwa kegiatan bank pada off-balance sheet activities (yaitu nontraditional activities) memiliki pengaruh signifikan dan positif bagi tingkat efisiensi keseluruhan bank. Hasil analisis Cross Section Stochastic Frontier Analysis menunjukkan nilai efisiensi perbankan di Indonesia mendekati 100%. Hasil analisis frontier pendekatan data panel menunjukkan rata-rata efisiensi bank sebesar 62,58%. Kelompok bank BUSN Non Devisa periode 2004-2007 memiliki efisiensi tertinggi, diikuti bank BUSN Devisa dan bank BUMN. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara kinerja bank dominasi asing dan bank dominasi negara dilihat dari rasio LDR, CAR, ROE, BOPO, maupun PER dan PBV. Dari 8 bank domestik dan 8 bank asing yang diteliti, terdapat 3 bank domestik dan 4 bank asing yang efisien (tingkat efisiensi = 1,00), sedangkan yang lain mempunyai tingkat efisiensi antara 0,80-0,95. Bank asing periode 2003-2007 kurang dapat menyalurkan kredit karena gap to target yang paling besar terjadi pada faktor output Kredit. Bank domestik cukup baik dalam menyalurkan kredit serta pendapatan bunga.
24
Lanjutan Tabel 1.2 No
Peneliti
Alat Analisis
13
Santoso, R.T. (2010)
Data Evelopment Analysis (DEA)
14
Staub, R.B., Souza, G.S., dan Tabak, B.M (2010)
Data Envelopment Analysis (DEA)
15
Sturm, J., dan Williams, B (2010)
1.
16
Sufian, F dan Habibullah, M.S. (2010)
17
Chen, S. dan Liao, C (2011)
Parametric distance function. 2. Extreme bounds analysis. Data Envelopment Analysis (DEA)
1. Panzar-Rosse H 2. Basel risk weights
Kesimpulan 1.
Merger dan akusisi tidak signifikan untuk meningkatkan efisiensi dan tergantung faktor kualitatif dari bank seperti efektivitas organisasi dan kemampuan manajerial. 2. Bank Mandiri memiliki rasio efisiensi yang stabil sesudah merger dan akusisi sampai Tahun 2009 dan tidak terpengaruh oleh krisis, akan tetapi memengaruhi secara signifikan efisiensi di peer groups-nya pada saat merger dan akusisi tersebut. 1. Pada periode dengan gejolak ekonomi yang tinggi (2000–2002), ketidaksefisiean ekonomi dari bank-bank di Brazil dominan disebabkan oleh ketidakefisienan teknis daripada ketidakefisienan alokatif. 2. Bank milik pemerintah secara signikan lebih efisien biaya daripada bank asing, bank swasta domestik, dan bank swasta dengan partisipasi asing. Bank baru (following clients) mengurangi penciptaan efisiensi profit. Pangsa pasar bank yang telah ada (Incumbent bank’s market share) menjadi barrier to entry. Perbankan syariah Malaysia memiliki tingkat efisiensi yang lebih rendah pasca masuknya bank syariah asing yang baru (De Novo foreign Islamic banks). 1. Profitabilitas bank asing lebih tinggi saat beroperasi di negara yang tingkat kompetisinya rendah dan saat bank induknya di negara asalnya juga memiliki profitabilitas yang tinggi. 2. Saat bank asing beroperasi di negara dengan tingkat GDP lebih rendah, tingkat suku bunga dan inflasi yang lebih tinggi, dan regulasi yang lebih longgar (stringent), margin bank mengalami peningkatan. 3. Perubahan supervisi dari pembatasan kepemilikan bank di negara asal bank signifikan meningkatkan margin.
25
Lanjutan Tabel 1.2 No
Peneliti
18
Pranawaningsih, Y.A. (2011)
Alat Analisis 1.
2.
Stochastic Frontier Analysis (SFA) Ray Scale Elasticity (RSCE)
Kesimpulan 1.
2.
3.
4.
19
Sufian, F (2011)
1.
Data Envelopment Analysis (DEA), Malmquist Productivity Index (MPI)\, Regression Panel Analysis.
1.
Stochastic Frontier Analysis (SFA) 2. Data Evelopment Analysis (DEA) Stochastic Frontier Analysis (SFA) dan Ray Scale Elasticity (RSCE)
1.
2.
3.
20
21
Wu, D.D., Zhou, Z., dan Birge, J.R. (2011) Ana, Lifi (2012)
1.
2.
3.
2.
1.
2.
3.
Diversifikasi pendapatan dan pangsa pasar bank hasil merger tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja bank hasil merger. Kualitas aset, efisiensi biaya, kecukupan modal, dan likuiditas berpengaruh negatif terhadap kinerja bank hasil merger. Penggantian terhadap manajemen yang tidak efisien memberikan dampak positif terhadap kinerja bank hasil merger. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kinerja bank hasil merger di Negara Indonesia, Malaysia, Singapura dan Thailand. Menganalisis produktifitas perbankan Malaysia periode 1995–2004. Bank asing menunjukkan penurunan produktivitas, sementara bank domestik mengalami peningkatan margin. Selama periode studi, produktivitas secara positif berkaitan dengan nilai saham bank, namun berkorelasi negatif dengan kepemilikan asing. Evaluasi dinamik sebelum dan sesudah merger bank-bank di Toronto, Canada. Merger menghasilkan efisiensi keseluruhan (overall efficiency). Hasil analisis SFA menunjukkan bahwa bank asing memiliki skor efisiensi lebih tinggi daripada bank BUMN. Pemberlakuan kebijakan API dengan melakukan merger dan akuisisi lebih bertujuan menyelamatkan bank dari pemberlakuan sanksi bila memiliki modal minimum di bawah 100 miliar dibanding meningkatkan efisiensi dan kinerja bank. Hasil analisis RSCE menunjukkan bahwa secara keseluruhan bank di Indonesia yang melakukan merger dan akuisisi mengalami kondisi increasing return to scale atau decreasing cost.
26
Lanjutan Tabel 1.2 No
Peneliti
Alat Analisis
22
Lee, T.H., L.W. Liang, B.Y. Huang (2013)
Stochastic Frontier Analysis (SFA)
23
Sufian, F., dan Kamarudin, F (2014)
24
Wang, K., Huang, W., dan Liu, Y (2014)
1. Data Envelopment Analysis (DEA). 2. Malmquist Productivity Index (MPI) 1. Data Envelopment Analysis (DEA). 2. Efficiency Decomposition 3. Two-stage DEA.
Kesimpulan Bagi perbankan Taiwan, efisiensi biaya menurun segera setelah merger terjadi, dan perlu waktu tiga tahun untuk memulihkan efisiensi. Bank yang lebih besar dan bank Financial Holding Companies mendapat keuntungan yang lebih dari cost savings dibandingkan bank yang lebih kecil. Peningkatan produktifitas perbankan Malaysia, baik bank domestik maupun asing, disebabkan oleh peningkatan teknologi.
1. Ketidakefisienan sistem perbankan China terutama disebabkan oleh ketidakefisienan dari simpanan bank dalam subproses yang menghasilkan deposito. 2. Keseluruhan efisiensi dari sistem perbankan China meningkat karena adanya reformasi perbankan. 3. Bank swasta milik pemerintah secara keseluruhan lebih efisien daripada bank komersial campuran (join-stock banks) hanya pada masa sebelum reformasi, pasca reformasi perbedaannya makin menurun. 4. NPL perbankan China adalah kunci umum dan reformasi joint-equity dari bank komersial pemerintah menjadi penyebab peningkatan efisiensi perbankan China
Sumber: diolah dari berbagai sumber
Berikut ini adalah perbedaan-perbedaan yang dapat ditemukan pada penelitian ini dibandingkan dengan penelitian-penelitian terdahulu. 1.
Penelitian mengenai efisiensi teknis ini dilakukan pada 47 bank yang beroperasi di Indonesia, terdiri dari 4 bank pemerintah, 29 bank swasta devisa, dan 14 bank campuran. Bank pemerintah dan bank swasta devisa selanjutnya akan disebut bank domestik. Daftar lengkap bank yang dievaluasi terdapat pada Lampiran 1.
27
2.
Penelitian ini dilaksanakan pada periode studi 2009-2013.
3.
Penelitian ini menggunakan aplikasi Data Envelopment Analysis model CCR (dengan asumsi constrant return to scale) dan model BCC (dengan asumsi variable return to scale), sehingga dapat diinvestigasi sumber ketakefisienan bank yang dievaluasi, apakah disebabkan oleh ketidakmampuan manajemen untuk mengoptimalkan output yang dihasilkan dengan sumber daya yang ada, atau disebabkan oleh skala produksi, ataukah keduanya.
4.
Penelitian ini menginvestigasi pengaruh profitabilitas bank, ukuran bank, tingkat antisipasi risiko (coverage) bank, kontribusi pendapatan bank berasal dari pendapatan non-bunga, kontribusi pengeluaran bank berasal dari pengeluaran non-bunga, dan tingkat leverage bank (tingkat pembiayaan yang berasal dari utang) terhadap tingkat efisiensi teknis bank.
5.
Penelitian ini juga menginvestigasi bagaimana investor memandang efisiensi bank dalam mengelola sumber daya yang dimilikinya untuk mencapai output yang optimal, yaitu dengan memeriksa korelasi rasio harga-laba (Price-toEarning Ratio, disingkat PER) dari bank-bank yang dievaluasi yang telah go public di Bursa Efek Indonesia periode 2009-2013 dengan nilai efisiensi bank yang telah diperoleh dengan menggunakan pendekatan Data Envelopment Analysis.
1.3 Rumusan Masalah Ramli (dalam http://dramli.wordpress.com, 2009) berpendapat bahwa lebih dari sekadar menekan biaya serendah mungkin, efisiensi berkaitan dengan pengelolaan faktor-faktor produksi (input) sedemikian rupa sehingga dapat
28
memberikan hasil (output) yang optimal. Suatu bank akan dianggap lebih efisien apabila dengan tingkat input tertentu dapat menghasilkan output lebih banyak, atau pada tingkat output tertentu dapat menggunakan input lebih sedikit. Tingkat efisiensi pada dasarnya merupakan rasio output terhadap input (output to input ratio). Permono dan Darmawan (2000: 1) serta Colline (2010: 2) menyatakan bahwa masalah efisiensi menjadi faktor yang sangat penting karena beberapa hal. 1.
Persaingan yang semakin ketat mengharuskan bank-bank yang beroperasi di Indonesia mampu bersaing secara sehat di industri perbankan untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat dan memenangkan persaingan.
2.
Permasalahan terbatasnya sumber daya, baik berupa modal, tenaga kerja, sistem manajemen, sistem informasi dan sumber daya lainnya.
3.
Meningkatnya standar kepuasan nasabah akan pelayanan dan fasilitas yang lebih baik dari sebelumnya. Bank harus berusaha memenuhi keinginan nasabah tanpa menimbulkan kerugian pada bank tersebut, sehingga bank dituntut untuk beroperasi lebih efisien lagi. Tidak jauh berbeda, Kumar dan Gulati (2008: 34) berpendapat bahwa
analisis efisiensi bank menjadi begitu penting bagi regulator, pengguna jasa (customer), manajer, dan pemangku kepentingan (stakeholders) dengan sudut pandang yang berbeda. Dari sudut pandang regulator, bank yang tidak efisien diangggap memiliki risiko yang lebih tinggi dan memengaruhi produktifitas ekonomi suatu negara. Mengutip dari Ramli (dalam http://dramli.wordpress.com, 2009), bahwa 29
“otoritas perbankan, dalam hal ini pemerintah dan Bank Sentral, sangat berkepentingan terhadap terciptanya suatu sistem perbankan yang sehat dan efisien untuk menopang program-program stabilisasi dan pertumbuhan ekonomi makro. Sistem perbankan yang beroperasi secara tidak sehat dan tidak efisien tidak hanya merugikan industri perbankan sendiri tetapi lebih dari itu membawa pengaruh negatif terhadap kondisi makro. Bahkan, salah satu penyebab utama krisis keuangan dan ekonomi serius yang terjadi di sejumlah negara, termasuk Indonesia, diduga bersumber dari operasi perbankan yang tidak sehat dan tidak efisien.” Dari sudut pandang pengguna jasa, menurut Kumar dan Gulati (2008: 34), bank yang efisien dapat memberikan jasa yang lebih baik dengan harga yang wajar (reasonable prices). Ramli (dalam http://dramli.wordpress.com, 2009) memaparkan bahwa “kepentingan para pengguna jasa terhadap keberadaan lembaga perbankan yang efisien adalah karena terkait langsung dengan risiko dan biaya yang akan ditanggung serta manfaat yang akan diperoleh dari melakukan transaksi dengan bank. Bank yang tidak efisien, misalnya, cenderung menetapkan interest margin dan biaya transaksi yang tinggi. Sebaliknya, bank-bank yang efisien pada umumnya cenderung dapat memberikan pelayanan lebih baik kepada para nasabahnya dengan tarif yang lebih kompetitif.” Bagi stakeholders, menurut Kumar dan Gulati (2008: 34), bank yang efisien akan menjamin return yang wajar pula. Lebih lanjut, Ramli (dalam http://dramli.wordpress.com, 2009) menjelaskan, bahwa hasil (return) dari investasinya akan memuaskan jika kinerja bank baik. Bank-bank yang efisien dan memperlihatkan kinerja baik akan memberikan keuntungan kepada para investor melalui kenaikan nilai sahamnya. Pentingnya efisiensi bagi manajer bank adalah karena hanya bank yang efisien saja yang mampu mempertahankan pangsa pasar di tengah persaingan yang makin dinamis dan kompetitif. Bank yang efisien akan mampu bersaing dengan biaya operasional yang lebih rendah dan dengan demikian mampu 30
mengambil pangsa pasar bank lain yang tidak efisien. Pada akhirnya, bank yang tidak efisien akan tereliminasi melalui seleksi alam. Mengutip dari Ramli (dalam http://dramli.wordpress.com, 2009), bahwa “di dalam persaingan sempurna (perfect competition) atau struktur pasar yang mendekati persaingan sempurna, bank-bank yang kurang efisien bisa tersingkir dari pasar karena tidak mampu bersaing dengan kompetitornya, baik dari segi harga (pricing) maupun dalam hal kualitas produk dan pelayanan. Bank seperti ini tidak hanya akan mengalami kesulitan dalam mempertahankan nasabahnya, tetapi juga dalam menarik nasabah-nasabah baru untuk memperbesar customer-base nya. Kesulitan yang akan dihadapi oleh bank-bank yang kurang efisien bisa lebih berat lagi bila dikaitkan dengan perkembangan pasar keuangan yang semakin kompetitif di mana lembaga perbankan tidak hanya menghadapi para pesaing dari dalam industri perbankan saja tetapi juga dari industri lain.” Ramli (dalam http://dramli.wordpress.com, 2009) juga menunjukkan peran strategis lembaga-lembaga perbankan dengan tingkat efisiensi tinggi bagi sektor lain. Dikatakan, bahwa “melalui kegiatan utamanya dalam financial market, yaitu mobilisasi dana dan penyaluran kredit, lembaga-lembaga perbankan tidak hanya bisa meningkatkan produktivitas dana, tetapi juga dapat mendorong perkembangan sektor-sektor ekonomi lainnya. Bahkan, penyaluran berbagai bentuk kredit konsumsi pun juga mempunyai dampak positif bagi dunia usaha karena ikut membantu peningkatan permintaan terhadap berbagai jenis produk dan jasa. Selain itu, terdapat banyak sekali bentuk jasa keuangan yang amat dibutuhkan dalam transaksi ekonomi, baik lokal maupun internasional, yang hanya bisa disediakan oleh lembaga-lembaga perbankan.” Keterbatasan dalam analisis rasio dan regresi mendorong pengembangan alat yang mampu mengukur kinerja suatu perusahaan. Menurut Cooper et. al. (2011: 317), dalam beberapa tahun terakhir, penelitian mengenai kinerja institusi keuangan berfokus pada model pendekatan batas produksi (production frontier), yang mengestimasi seberapa baik kinerja suatu perusahaan relatif terhadap perusahaan yang terbaik jika berada pada kondisi operasional yang sama. 31
Perusahaan terbaik ini kemudian diidentifikasi dari semua perusahaan yang ada (disebut dataset), dan membentuk suatu batas efisiensi (efficiency frontier). Kegunaan utama indikator batas efisien dibandingkan indikator kinerja lain adalah kemampuannya dalam memberikan skor efisiensi yang objektif melalui mekanisme optimalisasi ekonomi dalam lingkungan operasional yang kompleks (Berger and Humphrey 1997). Pihak manajemen juga disediakan suatu kerangka yang mendukung perencanaan, pembuatan keputusan, dan proses pengawasan. Sumber dan besarnya inefisiensi dapat ditentukan, sehingga mampu membawa perusahaan pada pengurangan biaya operasional atau peningkatan dalam pelayanan tanpa menggunakan sumber daya tambahan. Target yang harus dicapai untuk unit yang tidak efisien dan efek lingkungan bagi unit tersebut dapat ditentukan untuk memberi wawasan tambahan dan meningkatkan pemahaman secara menyeluruh tentang sistem produksinya (Cooper et. al., 2011: 317). Selama tiga dekade terakhir, terdapat lima pendekatan populer yang telah digunakan dalam pengukuran efisiensi suatu bank, yaitu
Stochastic Frontier
Approach (SFA), Thick Frontier Approach (TFA), dan Distribution Free Approach (DFA), yang merupakan pendekatan ekonometrik parametrik. Dua pendekatan yang lain adalah Data Envelopment Analysis (DEA) dan Free Disposal Hull (FDH) yang merupakan pendekatan program linear nonparametrik. Pendekatan-pendekatan tersebut memiliki asumsi yang berbeda dalam hal spesifikasi batas efisien, keberadaan random error, serta distribusi inefisiensi dan random error (Bauer 1990 serta Berger dan Humphrey 1997, dalam Cooper et. al., 2011: 318). Analisis ekonometrik parametrik membutuhkan spesifikasi awal
32
mengenai bentuk fungsi produksi serta dua komponen kesalahan (error), yaitu error yang mampu mewakili inefisiensi dan random error. Metoda nonparametrik hanya membutuhkan lebih sedikit asumsi saat menentukan batas efisiensi serta menganggap tidak ada random error. Menurut Sufian dan Majid (2007a: 5-6) serta Kumar dan Gulati (2008: 3637), penggunaan DEA untuk mengukur efisiensi relatif dari bank lebih disukai daripada teknik sejenis, terutama Stochastic Frontier Analysis (SFA), karena beberapa alasan. Pertama, memungkinkan estimasi efisiensi teknis keseluruhan (TE) dan menguraikannya menjadi dua komponen yang saling meniadakan (mutually exclusive) dan non-aditif, yaitu efisiensi teknis murni (PTE) dan efisiensi skala (SE). Dari kedua komponen tersebut (PTE dan SE), selanjutnya dapat membantu mengidentifikasi apakah bank beroperasi dalam decreasing returns-to-scale atau dalam increasing returns-to-scale. Kedua, dalam DEA, tidak perlu memilih bentuk fungsi produksi awal yang berkaitan dengan input dan output seperti fungsi Cobb- Douglas dan fungsi produksi Translog (Banker, 1984). Ketiga, DEA mampu mengakomodasi multiple-input dan multiple-output dari bank. Keempat, DEA menyediakan ukuran skalar efisiensi relatif dan rekomendasi untuk penambahan output dan pengurangan input. Kelima, DEA, tidak perlu untuk memberikan bobot awal yang terkait dengan faktor input dan output. Keenam, memungkinkan bagi peneliti untuk memilih input dan output dengan unit pengukuran yang berbeda. Di samping kelebihan, DEA mempunyai kelemahan utama (Sufian dan Majid, 2007a: 10) karena mengasumsikan data yang bebas dari kesalahan
33
pengukuran (measurement error). Pengukuran efisiensi ini juga bersifat relatif, yaitu hanya pada sample set yang digunakan, menjadikan nilai efisiensi yang diperoleh tidak bisa dibandingkan dengan dengan bank lain di luar sample set. Integritas data yang tidak terjamin juga dapat memberikan hasil yang tidak dapat diandalkan (Avkiran, 1999 dalam Kumar dan Gulati, 2008: 37). Perlu menjadi perhatian pula, karena nilai efisiensi yang diestimasi bersifat relatif, UKE yang dievaluasi (dalam penelitian ini adalah bank) harus memiliki karakteristik yang sama agar nilai perbandingan yang diperoleh memiliki arti. Oleh karena itu, terdapat beberapa asumsi awal yang dinyatakan sebagai homogeneity assumptions sebagai berikut. 1.
Asumsi pertama, bahwa bank-bank yang kinerjanya akan dibandingkan, harus memiliki kegiatan yang sama dan menciptakan produk dan jasa yang sejenis.
2.
Asumsi kedua, tersedianya sumber daya yang sejenis untuk semua bank, dan bank-bank yang dievaluasi beroperasi dalam lingkungan yang sama. Terakhir, telah disebutkan sebelumnya bahwa bank-bank yang efisien dan
memperlihatkan kinerja baik akan memberikan keuntungan kepada para investor melalui kenaikan nilai sahamnya. Harga saham terbentuk dari interaksi para penjual dan pembeli saham yang dilatarbelakangi oleh harapan terhadap prospek pertumbuhan maupun profit perusahaan penerbit saham tersebut. Dengan kata lain, harga saham tersebut akan ditentukan oleh kekuatan demand dan supply atau kekuatan pasar. Menurut Tandelilin (2001: 156), harga saham dapat menentukan
34
nilai perusahaan dengan mengalikan harga saham tersebut dengan jumlah saham yang beredar. Penelitian ini menggunakan rasio harga-laba atau Price-to-Earning Ratio (PER) untuk mewakili sudut pandang investor dalam melihat kinerja perusahaan di masa lalu serta prospeknya di masa yang akan datang. PER dianggap mampu mewakili bagaimana apresiasi atau penghargaan investor terhadap saham yang diterbitkan. Hal ini tidak lain karena PER menunjukkan kesediaan investor untuk membayar setiap rupiah laba yang dilaporkan. Jika pada umumnya PER disandingkan dengan analisis rasio-rasio seperti rasio likuiditas, manajemen aktiva, manajemen utang, dan rasio profitabilitas, penelitian ini mencoba menghubungkan PER dengan penilaian efisiensi berdasarkan pengelolaan faktorfaktor produksi (input) sedemikian rupa sehingga dapat memberikan hasil (output) yang optimal. Penelitian ini berusaha memberikan bukti empiris terkait potensi dampak menguatnya dominasi asing bagi dunia perbankan Indonesia. Di satu sisi, masuknya bank asing membawa pengaruh positif pada pengembangan produk dan jasa perbankan dan meningkatkan kinerja perbankan. Di sisi lain, masuknya bank asing mendorong persaingan yang ketat dalam merebut pangsa pasar domestik. Mengingat efisiensi bank menjadi begitu penting bagi regulator, pengguna jasa (customer), manajer, dan pemangku kepentingan (stakeholders) dengan sudut pandang yang berbeda, penelitian ini berusaha menginvestigasi efisiensi teknis relatif bank dominasi asing yang direpresentasikan oleh bank campuran terhadap bank domestik di Indonesia. Pengukuran efiensi teknis relatif bank domestik dan
35
bank campuran dalam penelitian ini menggunakan metoda nonparametrik Data Envelopment Analysis (DEA). Metoda ini digunakan terutama karena kemampuan DEA dalam mengidentifikasi unit yang digunakan sebagai benchmark atau referensi serta dapat mengidentifikasi sumber inefisiensi dari tiap bank yang dievaluasi, di samping kelebihan lain dari DEA yang telah penulis uraikan sebelumnya. Mengingat tingkat efisiensi teknis yang dihasilkan oleh DEA bersifat relatif, demi penyederhanaan penulisan, efisiensi maupun efisiensi teknis yang dimaksud dalam tulisan ini adalah efisiensi teknis relatif, kecuali dinyatakan lain oleh penulis. 1.4 Pertanyaan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang dikemukakan, dapat dirumuskan beberapa pertanyaan dalam penelitian ini. 1.
Bagaimanakah tingkat efisiensi teknis relatif bank campuran dan bank domestik selama periode 2009-2013?
2.
Apakah sumber utama inefisiensi teknis relatif bank campuran dan bank domestik selama periode 2009-2013, disebabkan oleh ketidakmampuan manajemen untuk mengoptimalkan output yang dihasilkan dengan sumber daya yang ada, disebabkan oleh skala produksi, atau keduanya?
3.
Bagaimana pengaruh profitabilitas bank, ukuran bank, tingkat antisipasi risiko (coverage) bank, kontribusi pendapatan bank dari pendapatan nonbunga, kontribusi pengeluaran bank dari pengeluaran non-bunga, dan tingkat leverage bank (tingkat pembiayaan berasal dari utang) terhadap tingkat efisiensi teknis relatif bank campuran dan bank domestik periode 2009-2013?
36
4.
Bagaimana korelasi rasio harga-laba (Price-to-Earning Ratio, disingkat PER) dari bank campuran dan bank domestik yang dievaluasi yang telah go public di Bursa Efek Indonesia periode 2009-2013 terhadap tingkat efisiensi teknis relatif bank campuran dan bank domestik selama periode 2009-2013?
1.5 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, penelitian ini bertujuan untuk: 1.
menganalisis tingkat efisiensi teknis relatif bank campuran dan bank domestik periode 2009-2013;
2.
menginvestigasi sumber utama inefisiensi teknis bank campuran dan bank domestik periode 2009-2013, disebabkan oleh ketidakmampuan manajemen untuk mengoptimalkan output yang dihasilkan dengan sumber daya yang ada, atau disebabkan oleh skala produksi;
3.
menginvestigasi pengaruh profitabilitas bank, ukuran bank, tingkat antisipasi risiko (coverage) bank, kontribusi pendapatan bank berasal dari pendapatan non-bunga, kontribusi pengeluaran bank berasal dari pengeluaran non-bunga, dan tingkat leverage bank (tingkat pembiayaan yang berasal dari utang) terhadap tingkat efisiensi teknis relatif bank campuran dan bank domestik periode 2009-2013;
4.
memeriksa korelasi rasio harga-laba (Price-to-Earning Ratio, disingkat PER) dari bank campuran dan bank domestik yang dievaluasi yang telah go public di Bursa Efek Indonesia terhadap tingkat efisiensi teknis relatif bank campuran dan bank domestik periode 2009-2013.
37
1.6 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berikut. 1.
Masukan bagi para pengambil keputusan bidang perbankan dalam melakukan evaluasi kinerja sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu pedoman untuk mengambil keputusan di masa mendatang.
2.
Menambah khasanah ilmu ekonomi, khususnya ekonomika pembangunan, dan dapat menjadi bahan pembanding serta stimulus penelitian-penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan aplikasi DEA.
1.7 Sistematika Penulisan Tesis ini disajikan dalam 5 bab, dengan sistematika sebagai berikut: Bab I Pendahuluan, berisi tentang latar belakang penelitian, keaslian penelitian, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta sistematika penulisan. Bab II Landasan Teori dan Kajian Pustaka, berisi teori yang dipakai sebagai landasan teori penelitian ini, kajian terhadap hasil penelitian sebelumnya yang sejenis, formulasi hipotesis yang digunakan dalam penelitian, serta model atau kerangka penelitian ini. Bab III Metoda Penelitian, berisi desain penelitian, metoda pengumpulan data, metoda penyampelan, definisi operasional penelitian, instrumen penelitian, serta metoda analisis data yang digunakan untuk menjawab permasalahan penelitian. Bab IV Analisis, berisi deskripsi data, uji akurasi instrumen (validitas dan reliabilitas), uji hipotesis, serta pembahasan. Bab V Simpulan dan Saran, berisi simpulan atas rumusan dan pertanyaan penelitian, implikasi atau rekomendasi atas temuan penelitian, keterbatasan penelitian, serta saran yang dapat diajukan terkait hasil akhir penelitian.
38