9
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Indonesia adalah Negara hukum yang demokratis, menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia (HAM) dan selalu melindungi hak dan kewajiban warga negaranya. Salah satu hak warga negara Indonesia adalah kebebasan berekspresi. Kebebasan berekspresi yang positif tentu akan berdampak positif pula, namun kadangkala kebebasan berekspresi ini di salahartikan sebagai kebebasan yang sebebas-bebasnya tanpa batas dan sering melanggar norma kesusilaan dan kesopanan di dalam masyarakat. Negara-negara timur, khususnya Indonesia sangat terkenal dengan bangsa yang sopan- santun, lebih beretika, dan sangat kuat memegang normanorma terutama norma agama. Berkat kemajuan teknologi dan informasi maka masuklah pengaruh dari negara-negara lain, yang mencolok dalam hal ini adalah masuknya budaya dari negara-negara Barat. Budaya Barat yang serba terbuka, termasuk buka-bukaan dalam berpakaian. Bangsa Indonesia adalah sebuah bangsa dengan pengalaman yang berbeda dengan Eropa/Barat. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius. 1 Dalam pandangan hidup dan budaya kita, pornografi dan pornoaksi adalah fenomena di luar sistem-nilai. Karena itu, sudah sepatutnya bagi mereka yang tetap berpegang teguh pada pandangan-hidup dan sistem nilai Indonesia yang menolak segala bentuk pornografi dan pornoaksi. 1
http:www.grelovejogja.wordpress.com/2007/05/16/pornografi-dan-pornoaksi-dalam pandangan-etika/, diakses tanggal 28 Maret 2011
10
Mengenai (ketelanjangan) terdapat 2 pengertian, antara lain: 2 1. ketelanjangan yang disajikan dalam media cetak dan elektronik. 2. ketelanjangan yang disajikan secara langsung dengan berbagai gaya dan ”sajian”.
Kategori pertama dinamakan ”pornografi”, sementara kategori kedua dinamakan ”pornoaksi”. Globalisasi telah menghapus sekat-sekat yang ada dalam masyarakat baik itu masyarakat internasional maupun merembes kepada masyarakat dalam satu negara. Hal yang nampak jelas adalah terjadinya pertemuan antar budaya yang telah melahirkan dua mata pisau, disatu sisi berdampak positif, namun di sisi lain terjadi pergesekan yang cukup hebat. Banyaknya tayangan seksual dalam video klip, majalah televisi, dan film membuat remaja melakukan aktivitas seks secara sembarangan. Tidaklah mengherankan ketika terjadi kasus pemerkosaan terhadap anak-anak oleh anak seusia SMP, adegan panas yang dilakukan oleh siswa-siswa SMA, seperti kasus di Cianjur ( melakukan sex di dalam kelas, yang turut melibatkan guru), dan banyak lagi kasus-kasus lain. Menurut Jane Brown, ilmuwan dari Universitas North Carolina, ”semakin banyak remaja disuguhi eksploitasi seks di media, mereka akan semakin berani mencoba seks di usia muda. Menurut Mary Anne Layden, direktur Program Psikologi dan Trauma Seksual, Universitas Pennsylvania, Amerika Serikat, menyatakan gambar porno adalah masalah utama pada kesehatan mental masyarakat dunia saat ini. Ia tak cuma memicu ketagihan yang serius, tapi juga pergeseran pada emosi dan 2
Ibid
11
perilaku sosial. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa pengaruh kokain dalam tubuh bisa dilenyapkan. Ini berbeda dengan pornografi. Sekali terekam dalam otak, image porno itu akan mendekam dalam otak selamanya. 3 Dalam hal ini salah satu sarana yang banyak digunakan masyarakat dalam berekspresi adalah dengan menggunakan media masa. Menurut Sayling Wen dalam bukunya Future of the media, membagi media menjadi 3 (tiga) kategori, antara lain: 4 1. Media komunikasi antar pribadi, terdiri dari media teks, grafik, suara, music, animasi, video. 2. Media penyimpanan, terdiri dari perekam video, disk optikal. 3. Media transmisi, terdiri dari media komunikasi, media penyiaran dan media jaringan. Perkembangan
teknologi
yang
demikian
pesat
dewasa
ini,
menimbulkan problema baru bagi pembentuk Undang-Undang tentang bagaimana caranya melindungi masyarakat secara efektif dan efisien terhadap bahaya demoralisasi sebagai akibat dari masuknya pandangan dan kebiasaan orang-orang asing mengenai kehidupan seksual di Negara masing-masing. Di samping itu, apabila dalam waktu yang sesingkat-singkatnya ternyata tidak dapat diduga bahwa masuknya pandangan dan kebiasaan orang-orang asing ke Indonesia, dapat menimbulkan problema baru bagi pemerintah dalam usahanya untuk memelihara keamanan umum dan mempertahankan ketertiban umum dalam masyarakat, yang
3
Ibid Sayling Wen, Future of The Media, (Batam: Lucky Publisher, 2002), hal. 17-80, sebagaimana dikutip dari Burhan Bungin, Pornomedia: Konstruksi Sosial teknologi Telematika dan Perayaan Seks di Media Massa, (Bogor: Kencana, 2003), hal. 5 4
12
bukan tidak mungkin dapat mempengaruhi secara negatif usaha bangsa Indonesia dalam memelihara ketahanan nasional mereka. Perdebatan mengenai masalah pornografi akhir-akhir ini sangatlah menarik, meskipun bukan masalah yang baru lagi karena sudah sejak beberapa waktu yang lalu telah mencuat. Namum masalah ini kembali muncul sejak semakin banyaknya peredaran VCD/DVD porno dan rekaman video porno di lingkungan sekolah dan juga kampus yang banyak dilakukan oleh para siswasiswi serta para mahasiswa-mahasiswi. Mengenai masalah seksualitas dan sensualitas yang ada di dalam pornografi bisa tidak menjadi tontonan dan konsumsi masyarakat secara massal dan tidak menjadi persoalan, jika dalam kenyataannya pornografi itu tidak dikemas dalam berbagai bentuk, baik oleh media cetak dan media elektronik yang banyak memproduksi barang-barang pornografi, seperti koran, majalah, tayangan film, internet dan VCD/DVD porno yang banyak dikonsumsi oleh khalayak ramai, dalam hal ini bukan hanya orang-orang dewasa tetapi juga para remaja dan anak-anak, yang masih rentan terhadap pengaruh negatif pornografi dari media masa tersebut. Dalam hal pengaruh media massa tidak kalah besarnya terhadap keinginan atau kehendak yang tertanam pada diri seseorang untuk berbuat jahat. Keinginan atau kehendak itu sering timbul karena adanya pengaruh dari bacaan, gambar-gambar dan film yang ditonton. Para remaja maupun anak-anak yang mengisi waktu luangnya dengan membaca bacaan, melihat film
yang
13
mengandung adanya unsur pornografi maka hal itu akan berbahaya dan dapat mmepengaruhi mereka untuk melakukan perbuatan jahat. Keterpaduan teknologi telekomunikasi dan teknologi komputer menghasilkan inovasi, berupa transformasi aktivitas baik lokal maupun global menjadi sangat singkat. 5 Terdapat sisi negatif dan positif terhadap perkembangan ini. Segi positif perkembangan ini memudahkan manusia dalam menghadapi kehidupannya, sedangkan imbas negatifnya antara lain semakin merajalelanya jaringan pornografi internasional. Akses jaringan pornografi ini dapat dinikmati oleh penduduk berbagai negara. Melalui sarana teknologi telekomunikasi yang berupa internet, penyebaran pornografi dapat dilakukan secara luas, melewati batas-batas negara. Jaringan internet secara potensial menyebarkan “polusi” pornografi ke seluruh dunia. Bahkan disebut sebagai “perusakan dan pencemaran informasi di mayantara” (mungkin dapat disebut sebagai “cyber damage” dan “cyber pollution”) bagian dari environmental crime, yang perlu dicegah dan ditanggulangi. 6 Dalam Konvensi Cyber Crime Dewan Eropa disebut pula sebagai “Global crime”. 7 Dampak arus global pornografi tidak urung telah merambah wilayah kita. Beberapa waktu yang lalu berita yang disiarkan di televisi mengenai majalah mesum “Playboy” yang berkantor pusat di Amerika akan terbit dan beredar dalam versi Indonesia. Kenyatan ini cukup menggelisahkan, sehingga memicu gelombang protes di berbagai tempat. Protes masyarakat tersebut menegaskan, 5
Dimyati Hartono, Hukum Sebagai Faktor Penentu Pemanfaatan Teknologi Telekomunikasi, (Pidato Pengukuhan Gurubesar FH UNDIP Semarang,1990), hal. 19 6 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 250 7 Ibid
14
jenis kejahatan di bidang kesusilaan ini dipandang cukup serius untuk ditanggulangi. Sebenarnya upaya memberantas kejahatan kesusilaan ini sejak dahulu telah dilakukan. Terdapat pasal-pasal dalam KUHP yang melarang segala bentuk dan jenis pornografi, di samping itu terdapat pada peraturan perundangan lainnya, seperti Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, UndangUndang Nomor 24 tahun 1997 tentang Penyiaran dan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). 8 Perbuatan pornografi merupakan bentuk perbutan yang dilarang oleh norma agama, kesopanan, kesusilaan masyarakat maka perbuatan pornografi tersebut merupakan perbuatan yang tercela, sehingga secara substansial layak dinyatakan sebagai perbuatan kriminal. Seberapa jauh komitmen suatu negara untuk memberantas pornografi tergantung pada politik hukum dan kondisi negara yang bersangkutan. Hal ini sesuai dengan Konggres PBB Ke V tahun 1975 di Geneva, Swiss bahwa dikriminalisasikan atau tidak pornografi atau kejahatan di bidang kesusilaan ini di hubungkan dengan kuat dan lemahnya hubungan antara moral dan hukum (law and moral standrad) di negara yang bersangkutan. Indonesia merupakan negara yang bersifat religius, yakni moral menjadi hal yang dijunjung tinggi. Oleh karena itu hal-hal yang bersifat pornografi maupun pornoaksi tetap menjadi persoalan
8
Maret 2011
http:www.eprints.ums.ac.id/320/1/4._.SULISTYANTO.pdf, diakses tanggal 28
15
yang banyak mengundang perhatian dan kecaman di masyarakat. Oleh sebab itu tidak benar kiranya apabila pornografi dianggap sebagai urusan pribadi semata. 9 Apabila dihubungkan dengan cyber crime (tindak pidana di mayantara) yang bersifat Cyber Pollution, maka polusi pornografi yang dapat menimbulkan kerusakan moralitas bangsa, merupakan kepentingan hukum yang hendak dilindungi. Pengaruh global terhadap penyebaran pornografi sungguh luar biasa. Melalui internet inilah penyebaran pornografi tidak terbendung lagi. Keadaan ini dapat menjadi bahan kajian ulang (reevaluasi) baik dalam aspek hukum pidana materiil maupun hukum pidana formil.
B. Perumusan Masalah 1. Peraturan-peraturan apakah yang berkaitan dengan pornografi dalam hukum positif di Indonesia sebelum lahirnya dan menurut UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi? 2. Bagaimanakah penerapan UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi terhadap penjual VCD/DVD porno (Studi Putusan No. 1096/Pid.B/2010/PN.Bdg)?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan Berdasarkan uraian latar belakang dan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka penelitian ini bertujuan :
9
Ibid
16
a. Untuk mengetahui pengaturan kejahatan pornografi ditinjau berdasarkan sebelum lahirnya dan menurut Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. b. Untuk mengetahui penerapan pidana ditinjau berdasarkan Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dalam perkara register No. 1096/Pid.B/2010/PN.Bdg terhadap orang yang memperjualbelikan VCD/DVD porno.
2. Manfaat Penulisan Disamping untuk melengkapi tugas–tugas dan syarat–syarat mencapai gelar sarjana hukum, penulisan skripsi ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun praktis. a. Manfaat Teoritis Secara teoritis, yaitu penulisan skripsi ini dapat memberikan informasi serta dapat menjadi motivasi bagi mereka yang hendak mempelajari hal- hal yang berkaitan dengan Pornografi. b. Manfaat Praktis Secara praktis, yaitu penulisan ini diharapkan dapat berguna sebagai bahann kajian serta kontribusi pemikiran baik bagi perorangan, masyarakat, serta pemerintah, khususnya aparat penegak hukum untuk dapat menekan dan memberantas akibat negatif yang ti,bulkan oleh Pornografi, terutama terhadap orang yang memperjualbelikan VCD/DVD porno.
17
D. Keaslian Penulisan Skripsi ini penulis beri judul Penerapan UU No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi Terhadap Penjual VCD/DVD Porno (Studi Putusan No. 1096/Pid.B/2010/PN.Bdg). Penulisan skripsi ini adalah untuk melengkapi tugas– tugas dan memenuhi syarat untuk memperoleh gelar sarjana hukum. Penulisan skripsi ini merupakan hasil karya penulis. Topik ini penulis angkat karena banyaknya orang yang memperjualbelikan VCD/DVD porno yang terjadi di dalam masyarakat yang terjadi akhir-akhir ini. Dan sepanjang pengetahuan penulis berdasarkan data kepustakaan Departemen Hukum Pidan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, bahwa skripsi dengan judul tersebut belum pernah ada yang, menulis sebelumnya.
E. Tinjauan Kepustakaan Sebelum skripsi ini penulisan jabarkan lebih lanjut, ada beberapa hal yang harus penulis uraikan terlebih dahulu guna mempermudah pemahaman dalam pembahasan lebih lanjut atas skripsi ini, yaitu : 1. Pengertian Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu “strafbaar feit”. Istilah-istilah yang pernah digunakan baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah starfbaar feit adalah: 10
10
Adami, Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada: 2001), hal.67
18
a. Tindak pidana b. Peristiwa pidana c. Delik d. Pelanggaran pidanaPerbuatan yang boleh dihukum e. Perbuatan yang dapat dihukum f. Perbuatan pidana.
Moeljatno menggunakan istilah tindak pidana, dimana perkataan “Tindak” tidak menunjuk pada hal abstrak seperti perbuatan, tapi sama dengan perkataan peristiwa yang juga menyatakan keadaan kongrit, seperti kelakuan, gerak-gerik atau sikap jasmani, hal mana lebih dikenal dalam tindak tanduk, tindakan dan bertindak. 11 Pandangan dualisme memisahkan tindak pidana itu antara unsur yang mengenai perbuatan dengan unsur yang melekat pada diri orangnya tentang tindak pidana. Sedangkan pandangan monoisme tidak memisahkan antara unsur-unsur mengenai perbuatan dengan unsur-unsur mengenai diri orangnya.
12
Dalam hal ini yang termasuk ke dalam pandangan monoisme antara lain: 13 a. J.E. Jonkers, yang merumuskan peristiwa pidana adalah perbuatan yang melawan hukum yang berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan
yang
dilakukan
dipertanggungjawabkan, 11
Ibid, hal 72 Ibid, hal 75 13 Ibid 12
oleh
orang
yang
dapat
19
b. Wirjono Projodikoro, menyatakan bahwa tindak pidana itu adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana. c. H.J. van Schravendijk, merumuskan perbuatan yang boleh dihukum adalah kelakuan orang yang begitu bertentangan dengan keinsyafan hukum sehingga kelakuan itu diancam dengan hukuman, asal dilakukan oleh seorang yang karena itu dapat dipersalahkan. d. Simons, merumuskan strafbaar feit adalah suatu tindakan melanggar hukum yang dengan sengaja telah dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya, yang dinyatakan sebagai dapat dihukum.
Sedangkan unsur-unsur tindak pidana dari beberapa ahli antara lain: 14 a. Menurut Moeljatno, unsur tindak pidana adalah: perbuatan, yang dilarang
(oleh aturan hukum), ancaman pidana (bagi yang
melanggar larangan) b. Menurut R.Tresna, tindak pidana terdiri dari unsur-unsur: perbuatan/rangkaian perbuatan (manusia), yang bertentangan dengan
peraturan
perundang-undangan,
diadakan
dengan
penghukuman. c. Menurut Vos, unsur-unsur tindak pidana: kelakuan manusia, diancam dengan pidana, dalam peraturan perundang-undangan. 14
Ibid, hal 79-81
20
d. Menurut Jonkers, unsur-unsur tindak pidana: perbuatan (yang), melawan hukum (yang berhubungan dengan), kesalahan (yang dilakukan oleh orang yang dapat), dipertanggungjawabkan. e. Menurut Schravendijk, unsur-unsur tindak pidana: kelakuan (orang yang), bertentangan dengan keinsyafan hukum, diancam dengan hukuman,
dilakukan
oleh
orang
(yang
dapat),
dipersalahkan/kesalahan.
Sedangkan unsur-unsur tindak pidana menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) antara lain: 15 a. unsur tingkah laku b. unsur melawan hukum c. unsur kesalahan d. unsur akibat konstitutif e. unsur keadaan yang menyertai f. unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana g. unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana h. unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana.
15
Ibid
21
Dalam hal mengenai pengertian pertanggungjawaban pidana maka Pasal 34 Naskah Rancangan KUHP Baru (1991/1992) merumuskan bahwa pertanggungjawaban pidana ialah diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada tindak pidana berdasarkan ketentuan hukum untuk dapat dikenai pidana karena
perbuatannya
itu.
Sedangkan
syarat
untuk
dapat
adanya
pertanggungjawaban pidana atau dikenakannya suatu pidana, maka harus ada unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kelalaian. Sudarto pertanggungjawaban
menegaskan pidana,
bahwa
disamping
dalam
ruang
kemampuan
lingkup
bertanggung
asas jawab,
kesalahan (schuld) dan melawan hukum (wederechttelijk) sebagai syarat untuk pengenaan pidana, ialah pembahayaan masyarakat oleh pembuat. Dengan demikian konsepsi pertanggungjawaban pidana dalam arti dipidana nya pembuat, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu: 16 1. Ada suatu tindak pidana yang dilakukan oleh pembuat. 2. Ada unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan. 3. Ada pembuat yang mampu bertanggung jawab. 4. Tidak ada alasan pemaaf.
16
Hamzah Hatrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), 1996, hal.11-12
22
Berikut akan dijelaskan mengenai syarat-syarat pertanggung jawaban diatas. Ad. 1 Ada suatu tindak pidana yang dilakukan oleh pembuat Melawan hukum adalah suatu sifat tercelanya atau terlarangya dari suatu perbuatan, yang sifat tercela mana dapat bersumber pada (melawan formil) dan dapat bersumber pada masyaraka (melawan materil). Karena bersumber pada masyarakat, yang sering juga disebut dengan bertentangan dengan asas-asas masyarakat, maka sifat tercela itu tidak tertulis. Sering kali sifat tercela dari suatu perbuatan itu terletak pada kedua-duanya, seperti perbuatan menghilangkan nyawa (orang lain) pada pembunuhan (Pasal 338 KUHP), adalah dilarang baik dalam maupun dalam masyarakat. Adalah wajar setiap perbuatan yang tercela menurut masyarakat adalah tercela pula menurut, walaupun kadang kala ada pebuatan yang tidak tercela menurut masyarakat tetapi tercela menurut UndangUndang, misalnya perbuatan mengemis (Pasal 504 KUHP) dan bergelandang (Pasal 505 KUHP). Dari sudut, suatu perbuatan tidaklah mempunyai sifat melawan sebelum perbuatan itu diberi sifat terlarang dengan memuatnya sebagai dilarang dalam peraturan perundang-undagan, artinya sifat terlarang itu bersumber pada dimuatnya dalam peraturan perUndang-Undangan. 17
17
Ibid
23
Perkataan melawan dalam KUHP yang berlaku sekarang, kadangkadang disebutkan dalama rumusan tindak pidana dan kadang-kadang tidak. Menurut Schaffmeister ditambahkannya kata melawan sebagai salah satu unsur dalam rumusan delik yang (telah) dibuat terlalu luas. Ia menambahkan bahwa, tanpa ditambahkannya perkataan melawan mungkin timbul bahaya, yaitu mereka yang menggunakan haknya akan termasuk kedalam ketentuan
pidana.18
Sedangkan, alasan tidak dicantumkannya dalam tiap-tiap Pasal dalam KUHP adalah bilamana dari rumusan, perbuatan yang tercantum sudah sedemikian wajar sifat melawan nya, sehingga tidak perlu dinyatakan secara eksplisit. 19 Menurut Hoffman, bahwa suatu perbuatan dikatakan melawan apabila memenuhi 4 unsur, yaitu: 20 1. Harus ada yang melakukan perbuatan 2. Perbuatan itu harus melawan 3. Perbuatan itu harus menimbulkan kerugian pada orang lain 4. Perbuatan itu karena kesalahan yang dapat dicelakan kepadanya.
Ad 2. Ada unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan Kesalahan (schuld) adalah unsur mengenai keadaan atau gambaran batin orang sebelum atau pada saat memulai perbuatan, karena itu unsur ini selalu melekat pada diri pelaku dan bersifat subyektif. Unsur kesalahan yang mengenai
18
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Pada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, (Jakarta: Kencana), 2006, hal 50 19 A.Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, (Jakarta: Sinar Grafika), 1995, hal 240 20 Komariah Emong Sapardjadja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Alumni), 2002, hal.34
24
keadaan batin pelaku adalah berupa unsur yang menghubungkan antara perbuatan dan akibat serta sifat melawan dan perbuatan dengan si pelaku. Istilah kesalahan (schuld) dalam pidana adalah berhubungan dengan pertanggungjawaban pidana atau mengandung beban pertanggung jawab pidana, yang terdiri dari kesengajaan (dolus atau opzet) dan kelalaian (culpa). Kesalahan merupakan penilaian normatif terhadap tindak pidana, pembuatnya dan hubungan keduanya, yang dari situ dapat disimoulkan bahwa pembuatnya dapat dicela karena sebenarnya dapat berbuat lain, jika tidak ingin melakukan tindak pidana. Seperti halnya unsur melawan hukum, unsur kesalahan ini ada di sebagian rumusan tindak pidana yakni kejahatan tertentu dengan dicantumkan secara tegas, misalnya: Pasal 104, Pasal 179, Pasal 204, Pasal 205, Pasal 362, Pasal 368, Pasal 372, Pasal 378, Pasal 406 dan Pasal 480 KUHP, dan disebagian lagi tidak dicantumkan, misalnya: Pasal 162, Pasal 167, Pasal 170, Pasal 211, Pasal 212, Pasal 289, Pasal 294 dan Pasal 422 KUHP. 21
Ad 3. Pembuat yang mampu bertanggungjawab Berdasarkan teori pemisahan tindak pidana dan pertanggungjawaban tindak pidana, maka tindak pidana merupakan suatu yang bersifat eksternal dari pertanggungjawaban pembuat. Dilakukannya tindak pidana merupakan syarat eksternal kesalahan. Namun demikian, selain syarat eksternal untuk adanya kesalahan, ada pula syarat internal, yaitu persyaratan yang justru terletak pada diri 21
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada), 2001, hal.91
25
si pembuat. Konkritnya, kondisi si pembuatlah yang dapat dipersalahkan atas suatu tindak pidana. Syarat internal tersebut karenanya merupakan unsur pertanggungjawaban pidana. 22 Dapat dipertanggung jawabkan pembuat dalam hal ini berarti pembuat memenuhi syarat untuk dapat dipertanggung jawabkan. Mengenai asa tiada pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan, mka pembuat dapat dipertanggung jawabkan jika mempunyai kesalahan. Dengan demikian keadaan batin pembuat yang normal atau akalnya mampu membeda-bedakan perbuatan yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan, atau dengan kata lain mampu bertanggungjawab, merupakan sesuatu
yang berada di luar pengertian
kesalahan. 23 Mampu bertanggungjawab merupakan syarat kesalahan. Sementara itu, kesalahan adalah unsur pertangungjawaban pidana. Mampu bertanggungjawab merupakan masalah yang berkaitan dengan keadaan mental pembuat yang dapat dipertanggungjawabkan dalam pidana. Allen mengatakan bahwa keadaan mental pembuat termasuk dalam masalah kemampuan bertanggungjawab. Tepatnya keadaan mental pembuat yang tidak dapat dipertanggugjawabkan dalam pidana. Tidak mampu bertanggungjawab ditandai dari dua hal, yaitu jiwa yang cacat atau jiwa yang terganggu karena penyakit. Mengenai hal ini, haruslah diambil sikap, bahwa mengenai mampu bertanggungjawab ini adalah hal mengenai jiwa seseorang yang diperlukan dalam hal untuk menjatuhkan pidana dan bukan hal untuk terjadinya tindak pidana. Tidak mampu bertanggungjawab 22 23
Chairul Huda, Op.Cit, hal.88 Ibid, hal.89
26
adalah ketidak normalan keadaan batin pembuat, karena cacat jiwa atau gangguan penyakit jiwa, sehingga padanya tidak memenuhi persyaratan untuk diperiksa apakah patut dicela atau tidak karena perbuatannya. Dengan kata lain, seseorang dipandang mampu bertanggung jawab jika tidak ditemukan keadaan-keadaan tersebut. Tidak dapat dipertanggungjawabkan mengakibatkan tidak dapat dijatuhi pidana. Berarti, ketika ditemukan tanda (sebab) seseorang tidak mampu bertanggung jawab dan karenanya dipandang tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam
pidana, maka proses pertanggungjawabannya berhenti sampai disini.
Orang itu hanya dapat dikenakan tindakan, tetapi tidak dapat dipidana. 24 D. Simons menyatakan bahwa ciri-ciri psikis yang dimiliki oleh orang yang mampu bertanggung jawab pada umumnya adalah ciri-ciri yang dimiliki oleh orang yang sehat rohaninya, orang yang memiliki pandangan normal, yang dapat menerima secara normal pandangan-pandangan yang dihadapkan, yang dibawah pengaruh pandangan tersebut ia dapat menentukan adanya kehendaknya dengan cara yang normal pula. 25 Moeljanto
menarik
kesimpulan
tentang
adanya
kemampuan
bertanggung jawab ialah pertama harus adanya kemamppuan untuk membedabedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, yang sesuai
dan yang
melawan; kedua harus adanya kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi. 26 KUHP di seluruh dunia pada umumnya tidak mengatur tentang kemampuan bertanggung jawab, yang diatur adalah kebalikannya, yaitu 24
Ibid, hal.94-95 Adami Chazawi, Op.Cit, hal.144 26 Ibid 25
27
ketidakmampuan bertanggung jawab. 27 Hal ini dapat dilihat dalam rumusan KUHP Pasal 44 ayat (1): “Barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal tidak boleh dihukum”.
Ad 4. Tidak ada alasan pemaaf Mengenai istilah-istlah alasan pembenar dan alasan pemaaf tidak ada disebutkan dalam KUHP. Dalam teori pidana, yang dimaksud dengan alasan pembenar yaitu alasan yang mengahapuskan sifat melawan nya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa menjadi perbuatan yang patut dan benar. Sedangkan alasan pemaaf yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan, jadi tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi ia tidak dipidana karena tidak ada kesalahan. Pembuat tidak dapat berbuat lain yang berujung pada terjadinya tindak pidana
dalam
keadaan-keadaan
tertentu,
sekalipun
sebenarnya
tidak
diinginkannya. Dalam kejadian tersebut, tidak pada tempatnya apabila masyarakat masih mengharapkan pada yang bersangkutan untuk tetap berada pada jalur yang telah ditetapkan, dengan kata lain, terjadinya tindak pidana ada kalanya tidak dapat dihindari oleh pembuat, karena sesuatu yang berasal dari luar dirinya. 28 Faktor eksternal yang menyebakan pembuat tidak dapat berbuat lain mengakibatkan kesalahannya menjadi terhapus. Artinya, pada diri pembuat 27 28
A. Zainal Abidin Farid, Op.Cit, hal.260 Chairul Huda, Op.Cit, hal.188
28
terdapat alasan penghapus kesalahan. Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana masih ditunggukan sampai dapat dipastikan tidak ada alasan yang menghapuskan kesalahan pembuat. Sekalipun pembuatnya dapat dicela, tetapi dalam hal-hal tertentu celaan tersebut menjadi hilang atau selaan tidak dapat diteruskan terhadapnya, karena pembuat tidak dapat berbuat lain selain melakukan perbuatan itu. 29 Kesengajaan adalah pertanda kesalahan yang utama, alasan penghapus kesalahan selalu tertuju pada tekanan dari luar yang ditujukan pada kehendak bebas pelaku, sehingga memaksanya melakukan tindak pidana. Tekanan dari luar diri pelaku ini lah yang dikatakan sebagai kondisi luar pelaku yang tidak normal. Kondisi tersebut menekan batin pembuat, sehingga kehendaknya tidak lagi bebas. Kehendak yang tidak bebas inilah yang kemudian berakibat pada dilakukannya tindak pidana dengan sengaja, tetapi hal itu tidak dapat dicelakan padanya. 30 Tidak dapat dicelanya pembuat karena memiliki alasan pemaaf ketika melakukan tindak pidana, berkaitan dengan pengertian kesalahan dalam hubungannya dengan fungsi preventif maupun represif pidana. Adanya alasan pemaaf menyebabkan pembuat tidak dapat dipertanggungjawabkan dan tidak dapat dipidana. 31 Yang dipandang sebagai alasan pembenar dalam titel 3 buku I KUHP adalah Pasal 49 ayat (1) mengenai pembelaan terpaksa (noodweer), Pasal 50 mengenai melaksanakan ketentuan , Pasal 51 ayat (1) tentang melaksanakan 29
Ibid Ibid, hal.120 31 Ibid, hal.121-122 30
29
perintah dari pihak atasan. Sedangkan yang dianggap sebagai alasan pemaaf adalah Pasal 49 ayat (2) tentang pembelaan yang melampaui batas, Pasal 51 ayat (2) (alasan penghapus) penuntutan pidana tentang perintah jabatan yang tanpa wewenang. Sedangkan tentang Pasal 48 yang dinamakan daya paksa (overmacht) ada yang mengatakan, daya paksa ini sebagai alasan pembenar dan ada pula yang mengatakan bahwa ini ada alasan pemaaf. Disamping itu, ada pendapat ketiga yang mengatakan bahwa Pasal 48 itu mungkin ada alasan pembenar dan mungkin pula ada alasan pemaaf. Berdasarkan hal di atas maka alasan penulis mengambil judul skripsi ini adalah dikarenakan pada saat ini kejahatan terhadap pronografi semakin hari semakin berkembang, hal ini dikarenakan semakin banyaknya peredaran VCD/DVD porno yang diperjualbelikan secara bebas di tempat-tempat umum yang dapat diliat oleh anak-anak dibawah umur sehingga mereka mempunyai niat untuk membelinya. Selain dari semakin banyaknya peredaran VCD/DVD porno, pornografi juga sudah banyak beredar di internet sebagai akibat dari semakin berkembangnya sarana teknologi. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi ini maka diharapkan kejahatan terhadap ponografi ini dapat berkurang sehingga tidak menimbulkan keresahan lagi di dalam masyarakat.
2. Pengertian Pornografi dan Dampak Pornografi Dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Tentang Pormografi No. 44 Tahun 2008 diberikan suatu defenisi tentang pornografi yaitu: gambar, sketsa,
30
illustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Pornografi berasal dari bahasa Yunani pornographia, secara harafiah berati “tulisan tentang pelacur” atau “gambar tentang pelacur” adalah penggambaran tubuh manusia atau perilaku seksual manusia dengan tujuan membangkitkan rangsangan seksual, mirip, namun berbeda dengan erotika, meskipun kedua istilah ini sering digunakan secara bergantian. 32 Dalam pengertian aslinya, pornografi secara harafiah berarti “tulisan tentang pelacur”, mulanya adalah sebuah eufemisme dan secara harafiah berarti “(sesuatu yang) dijual”. Kata ini berasal dari istilah Yunani untuk orang-orang yang mencatat pornoai, atau pelacur-pelacur terkenal atau yang mempunyai kecakapan tertentu dari zaman Yunani kuno. Pada masa modern, istilah ini diambil oleh para ilmuan social untuk menggambarkan pekerjaan orang-orang seperti Nicholas Restif dan William Acton, yang pada abad ke-18 dan 19 menerbitkan risalah-risalah yang mempelajari pelauran dan mengajukan usul-usul untuk mengaturnya. Istilah ini tetap digunakan dengan makna ini dalam Oxford English Dictionary hingga 1905. 33 Belakangan istilah ini digunakan untuk publikasi segala sesuatu yang bersifat seksual, khususnya yang dianggap berselera rendah atau tidak bermoral, apabila pembuatan, penyajian atau konsumsi bahan tersebut dimaksdukan hanya 32 33
http://id.wikipedia.org/wiki/pornografi, diakses tanggal 20 Februari 2011 Ibid
31
untuk membangkitkan rangsangan seksual. Sekarang istilah ini digunakan untuk merujuk secara seksual segala jenis bahan tertulis maupun grafis. Istilah “pornografi” seringkali mengandung konotasi negatif dan bernilai seni yang rendahan, dibandingkan dengan “erotika” yang sifatnya dianggap lebih terhormat. Kadang-kadang orang juga membedakan antara pornografi ringan dengan pornografi berat. Pornografi ringan umumnya merujuk kepada bahanbahan yang menampilkan ketelanjangan, adegan-adegan yang secara sugestif bersifat seksual, atau menirukan adegan seks, sementara pornografi berat mengandung gambar-gambar alat kelamin dalam keadaan terangsang dan kegiatan seksual termasuk penetrasi. Di dalam industrinya (industri pornografi) sendiri dilakukan klasifikasi lebih jauh secara informal. Pembedaan-pembedaan ini mungkin tampaknya tidak berarti bagi banyak orang, namun defenisi hukum yang tidak pasti dan standar yang berbeda-beda pada penyalur-penyalur yang berbeda pula menyebabkan produser membuat pengambilan gambar dan penyuntingannya dengan cara yang berbeda-beda pula. Mereka terlebih dulu mengkonsultasikan film-film mereka dalam versi yang berbeda-beda kepada tim hukum mereka. 34 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa defenisi kata “pornografi” adalah: 35 1. penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu berahi 2. bahan bacaan yang dengan sengaja dan semata-mata dirancang untuk membangkitkan nafsu berahi dalam seks. 34
Ibid Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, Jakarta, 1995, hal.782 35
32
K. Deaux menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan pornografi adalah gabungan unsur-unsur yang bersifat erotis yang berhubungan dengan agresi dan seksualitas yang pada akhirnya mendorong seseorang untuk melakukan tindakan seksual (We define pornography as a particular type of erotic material, material that combines elements of sexuality and aggression and in which force or coercion is used to accomplish the sexual act). 36 Adami Chazawi menjelaskan bahwa ponrnografi berasal dari dua suku kata yaitu pornos dan grafi. Pornos artinya sesuatu yang asusila (dalam hal yang berhubungan dengan seksual), atau perbuatan yang bersifat tidak senonoh atau cabul, sedangkan grafi adalah gambar atau tulisan, yang dalam arti luas termasuk benda-benda patung, yang isi atau artinya menunjukkan atau menggambarkan sesuatu yang bersifat asusila atau menyerang rasa kesusilaan masyarakat. Bagi setiap orang yang normal berdasarkan pengalaman orang-orang pada umumnya, jika membaca tulisan atau melihat gambar atau benda patung atau boneka semacam itu, akan menyerang rasa kesusilaannya seperti dia merasa malu atau mungkin jijik atau mungkin pula merasa berdosa. 37 Secara garis besar, dalam wacana porno atau tindakan pencabulan kontemporer, ada beberapa bentuk porno, yaitu pornografi, pornoteks, pornosuara, dan pornoaksi. Dalam kasus tertentu semua kategori ini dapat menjadi sajian dalam satu media, sehingga konsepnya menjadi pornomedia. 38
36
K.Deaux, Social Psychology in The 90’s, Wadsworth Inc, California, 1993,hal.274,sebagaiamana dikutip dari Adami Chazawi,Op.Cit, hal 144 37 Adami Chazawi, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, Raja Grafindo Persada, Jakarta,2005, hal.22 38 Burhan Bungin, Pornomedia:Konstruksi Sosial Teknologi Telematika & Perayaan Seks di Media Massa,Prenada Media,Jakarta,2003,hal.154
33
Pornografi adalah gambaran-gambaran porno yang dapat diperoleh dalam bentuk foto dan gambar video. Sedangkan pornoteks adalah karya pencabulan yang menyangkut cerita berbagai versi hubungan seksual dalam bentuk narasi, testimonial, atau pengalaman pribadi secara detail dan vulgar, sehingga pembaca merasa ia menyaksikan sendiri, mengalami atau melakukan sendiri peristiwa-peristiwa hubungan seks itu.penggambaran yang detail secara naratif terhadap hubungan seks itu menimbulkan terciptanya “theatre of mind” pembaca, sehingga fantasi seksual pembaca menjadi menggebu-gebu terhadap hubungan seks yang digambarkan itu. 39 Pornosuara yaitu suara, tuturan, dan kalimat-kalimat yang diucapkan seseorang langsung atau tidak langsung, bahkan secara halus atau vulgar tentang obyek seksual atau aktivitas seksual. Pornosuara ini secara langsung atau tidak meberi respons seksual terhadap pendengar atau penerima informasi seksual itu. Sedangkan pornoaksi adalah suatu penggambaran aksi gerakan, lenggokan, liukan tubuh yang disengaja atau tidak disengaja untuk memancing bangkitnya nafsu seksual laki-laki. Pornoaksi pada awalnya adalah aksi-aksi obyek seksual yang dipertontonkan secara langsung dari seseorang kepada orang lain, sehingga menimbulkan histeria seksual di masyarakat. 40 Kemudian berikut ini akan diuraikan pengertian pornografi menurut bebrapa sarjana hukum: 1. Menurut Azimah Subagio (Sekretaris Umum Masyarakat Anti-Pornografi Indonesia), Pornografi adalah semua materi yang bias merangsang hasrat 39 40
Ibid Ibid, hal.155
34
seksual orang pada umumnya, baik dalam bentuk gambar, tayangan, pembicaraan dan tulisan. 41 2. Menurut Andi Hamzah, pornografi adalah 42 : a. Suatu ungkapan dalam bentuk cerita-cerita tentang pelacuran atau prostitusi b. Suatu ungkapan dalam bentuk tulisan atau lukisan tentang kehidupan erotik dengan hanya untuk menimbulkan rangsangan seks kepada pembacanya atau yang melihatnya. Berdasarkan defenisi di atas maka pornografi itu bisa dujumpai dalam tulisan-tulisan, lukisan, fotografi, film, seni pahat, syair bahkan juga ucapan-ucapan, tetapi apabila dilihat segi ilmu pengetahuan maka dapat dibedakan mana yang dimaksud dengan pornografi tersebut. 3. Menurut Wiryono Projodikoro memberikan rumusan tentang Pornografi yaitu kata pornografi itu terbentuk dari asal kata pornos, yaitu berarti melanggar kesusilaan atau cabul dan tulisan, gambar atau patung benda pada umumnya yang berisi atau menggairahkan sesuatu yang menyinggung rasa susila yang membaca atau melihatnya. 43 4. Menurut Oemar Seno Adji dalam bukunya yang berjudul Mass Media dan Hukum, mengatakan bahwa: “Sedangkan pornografi mempunyai pemikiran yang assiatif dengan istilah cabul, dimana suatu kecabulan itu di dalam 41
http:wwww.kompas.com, diakses tanggal 20 Februari 2011
42
Andi Hamzah, Pornografi dalam Hukum Pidana, Bina Mulia, Jakarta, 1987, hal.8
43
Wiryono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Erisco, Bandung, 1986,hal.120
35
masyarakat telah melanggar rasa kesusilaan yang melihatnya. Di negaranegara Anglo Saxon istilah kecabulan lebih mendekati dan identik dengan kata obscenity, yang kadang-kadang menunjukkan suatu perbedaan lain dengan kata lain dengan kata pornografi. Obscenity merupakan restruksi universal terhadap kebebasan pers yang berintikan larangan tindakan pencegahan dan sensor, khususnya pejabat yang berwenang. Kebebasan pers yang bertanggungjawab pada umumnya telah diterima oleh undang-undang dan hukum. 44
Pornografi telah memberikan dampak negatif terutama kepada anak. Beberapa dampak negatif itu antara lain: 45 1. Pelecehan seksual Setelah
melihat
tayangan
pornografi,
biasanya
orang
yang
bersangkutan lalu mencari cara untuk melampiaskan dorongan seksnya. Anak usia dini adalah individu yang sangat rentan terhadap pelecehan seksual, apalagi di Indonesia sendiri pendidikan seks untuk anak bagi sebagian besar orangtua masih tabu dan belum waktunya diberikan. Hasilnya anak sering menjadi korban pelampiasan seks oleh orang disekitarnya terutama yang dekat dengan anak. 2. Penyimpangan seksual Anak balita atau anak usia dini yang belum waktunya sudah melihat adegan atau tayangan hubungan intim suami istri atau tayangan –tanyangan porno lainnya, dan tidak ketahuan orangtua sehingga tidak langsung diberi pemahaman 44
Ibid, hal.120 http://bapakethufail.wordpress.com/2008/10/22/dampak-pornografi-bagi perkembangan-anak/, di akses tanggal 1 April 2011 45
36
(dengan bahasa yang mudah dipahami anak tentu saja) ketika dewasa kelak bisa mengalami penyimpangan seksual, karena yang ada dalam benak anak adegan itu jorok, sakit, seram. 3. Sulit konsentrasi Bagaimana bisa konsentrasi kalau yang ada dalam pikiran anak adalah pikiran-pikiran kotor. Belum lagi kalau anak belum paham sehingga yang ada dalam otak anak adalah berbagai pertanyaan seputar adegan atau tayangan porno yang baru dia lihat. Yang bahaya lagi, kalau sudah tertanam dalam otak maka untuk menghapus akan sangat sulit. Hal in dikarenakan seks merupakan kebutuhan dasar manusia. Anak yang sudah menemukan kenikmatan seks sebelum waktunya dan tertanam secara mendalam dalam pikirannya akan sulit untuk dihilangkan. 4. Tidak percaya diri Anak bisa saja jadi tidak percaya diri, hal ini karena frame yang dia lihat dari maraknya tayangan TV atau bahkan lingkungan disekitarnya, ”kalau mau cantik dan punya banyak teman ya harus berpakaian terbuka”, ”kalau berpakaian tertutup kuper gak gaul, ndeso”. Besok-besok anak akan muncul PDnya ketika berpakaian minim dan terbuka. 5. Menarik Diri Anak yang mengalami pelecehan seksual atau kekerasan seksual biasanya cenderung menarik diri, tertutup dan minder. Apalagi kalau orangtua tidak segera mencari bantuan psikolog dan cenderung menyalahkan anak, memarahi atau menggunakan kekerasan. Dimasa depan bisa saja kemudian anak
37
akan sangat membenci orang dengan jenis kelamin tertentu karena mengingatkan pada kejadian seram masa kecilnya. 6. Meniru Anak usia dini adalah peniru ulung, apa yang dia lihat dan apa yang dia dengar dari orang dewasa dan lingkungannya akan ditiru. Anak kan belum tahu mana yang benar atau mana yang salah, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh, yang mereka tahu orang dewasa adalah model atau sumber yang paling baik untuk ditiru
F. Metode Penelitian Dalam pembahasan skripsi ini, metode penelitian yang digunakan penulis meliputi: 1. Spesifikasi Penelitian Penelitian skripsi ini merupakan penelitian hukum normatif. Dalam hal penelitian hukum normatif, dilakukan penelitian terhadap peraturan-peraturan dan bahan yang berhubungan serta menganalisis kasus yang berkaitan dengan judul skripsi ini yaitu Penerapan UU No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi Terhadap Penjual VCD/DVD Porno (Studi Putusan No. 1096/Pid.B/2010/ PN.Bdg).
2. Data dan Sumber Data Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder.Data sekunder diperoleh dari:
38
a. Bahan hukum primer, yakni berupa buku- buku b. Bahan hukum sekunder, yakni berupa majalah dan artikel c. Bahan hukum tertier, yakni berupa kamus-kamus yang relevan dengan skripsi ini.
3. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang dipergunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research). Dalam hal ini, penelitian terhadap literatur-literatur adalah untuk memperoleh bahan teoritis ilmiah yang dapat digunakan sebagai dasar analisis terhadap substansi pembahasan dalam penulisan skripsi. Tujuan penelitian kepustakaan (library research) ini adalah untuk memperoleh data sekunder yang meliputi peraturan peran, buku, majalah, surat kabar, situs internet maupun bahan bacaan lainnya yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.
4. Analisis Data Data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research) akan dianalisis secara kualitatif. Analisis kualitatif dilakukan untuk menjawab permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini.
G. Sistematika Penulisan Sistem penulisan dalam skripsi ini terbagi dalam beberapa bagian yang disebut dengan bab dimana masing-masing bab merupakan penjelasan dari
39
jawaban permasalahan skripsi ini, namun bab tersebut masih dalam konteks yang berkaitan satu sama lainnya. Secara sistematis penulis menempatkan materi pembahasan keseluruhannya ke dalam 4 (empat) bab yang terperinci sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan Menggambarkan hal-hal yang bersifat umum, yang memuat mengenai alasan atau latar belakang pemilihan judul, lalu dilanjutkan dengan permasalahan, keaslian penulisan, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan kepustakaan dan metode penelitian.
Bab II Peraturan Yang Berkaitan Dengan Pornografi Dalam Hukum Positif Di Indonesia Sebelum Lahirnya dan Menurut Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 Tahun 2008 Tentang Pornografi Dalam bab ini diuraikan mengenai peraturan–peraturan yang berkaitan dengan Pornografi sebelum keluarnya Undang-Undang Pornografi yaitu menurut Kitab Undang–Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Penyiaran, UndangUndang Perfilman, Undang-Undang Pers, Undang-Undang Telekomunikasi, Undang-Undang ITE, dan menurut Undang– Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
40
Bab III Penerapan Undang–Undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi Terhadap
Penjual
VCD/DVD
Porno
(Studi
Putusan
No.
1096/Pid.B/2010/PN.Bdg ) Dalam bab ini akan diuraikan mengenai penjualan VCD/DVD Porno sebagai salah satu perbuatan yang termasuk dalam lingkup tindak pidana pornografi menurut Undang– Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi., serta akan dibahas kasus posisi dimulai dari kronologis, dakwaan, fakta hukum, tuntutan, pertimbangan hakim dan putusan serta akan dibahas juga mengenai analisa putusan.
Bab IV Kesimpulan dan Saran Bab ini berisi kesimpulan dan saran yang merumuskan suatu kesimpulan dari pembahasan permasalahan yang dilanjutkan dengan memberikan beberapa saran yang diharapkan akan dapat berguna bagi para pembaca baik secara teori maupun di dalam prakteknya.