Bab III Konstruksi Kebebasan Berekspresi dalam Regulasi Isi Media
A. Kebebasan Bereskpresi sebagai Hak Asasi Manusia di Indonesia Media sarana
di
Indonesia
demokrasi
kehidupan
yang
berkembang menyentuh
masyarakat.
diwujudkan
dengan
menjadi
setiap
Eksistensi
perannya
selalu
lini
media menyertai
setiap perkembangan kehidupan masyarakat di dunia dan di Indonesia pada khususnya. Media memang
menjadi
sarana
mutakhir
untuk
menyebarluaskan semua informasi sehingga dapat mengembangkan wawasan dan pengetahuan warga masyarakat. Sejalan dengan hal tersebut, secara historis, media
didengungkan
memberikan
sebagai
penghargaan
sarana
kepada
hak
untuk asasi
manusia. Oleh karena media merupakan sarana, maka yang lantas harus dimengerti adalah bahwa yang disalurkan oleh media diantaranya mengenai kepentingan hak asasi manusia. Di samping itu, informasi yang disebarkan juga memuat begitu banyak kepentingan lain di dalamnya. Keadaan inilah kemudian diperlukan tatanan dalam suatu sistem hukum yang memberikan perlindungan yang 131
tepat
tanpa
mengebiri
manifestasi
hak
asasi
manusia itu sendiri. Kebebasan berekspresi sebagai bagian dari hak asasi manusia, di Indonesia konstruksi hukumnya dielaborasi
dari
sumber-sumber
hukum
internasional. Pijakan utamanya tetap berasal dari Universal Declaration of Human Rights (1948) yang menitikberatkan sebagaimana
pada
telah
Article
19.
diterangkan
Selanjutnya
pada
bab-bab
sebelumnya, kebebasan berekspresi yang tercantum dalam UDHR tersebut mendapatkan penegasanpenegasan
di
internasional
dalam
lainnya
yang
konvensi-konvensi diadakan
demi
penghargaan terhadap kebebasan manusia. 1. Pengakuan Kebebasan Berekspresi di dalam Konstitusi Tentang kebebasan berekspresi, perjalanannya di
Indonesia
tidak
dapat
dilepaskan
dari
keberadaan hak asasi manusia secara universal. Kebebasan
berekspresi
menjadi
satu
bagian
diantara bagian-bagian lain dari hak asasi manusia, yang
kemudian
sejarah
pemikiran
dan
perkembangannya berjalan beriringan. Kebebasan
berekspresi
sebagai
hak
yang
penting dan diakui secara universal dalam Universal Declaration of
Human
Rights dan
International
Covenant on Civil and Political Rights. Sebagai sebuah pengakuan atas keberadaan hak kebebasan 132
berekspresi, maka ratifikasi yang dilakukan dapat menjadi
acuan
peraturan muatan
dasar
dalam
perundang-undangan yang
internasional
sesuai yang
prinsip-prinsip dituangkan
dengan
universal.
hak
dalam
asasi
pembentukan yang
prinsip-prinsip Pengakuan
manusia
berbagai
memiliki
produk
atas
tersebut hukum
ratifikasi dalam beberapa ketentuan perundangundangan di Indoneisa. UDHR diratifikasi melalui Ketetapan
Majelis
Permusyawaratan
Rakyat
Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Sedangkan ICCPR diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil Dan Politik). Di
samping
itu,
ada
beberapa
konvensi-
konvensi lain yang memuat mengenai kepentingan kebebasan berekspresi sebagai hak, yang kemudian menjadi
acuan
dalam
pembentukan
peraturan
perundang-undangan di Indonesia. Oleh karena kebebasan berekspresi dipahami sebagai bagian dari eksistensi hak asasi manusia, kebebasan berekspresi berdiri diantara jenis-jenis hak asasi manusia yang lain. Hal ini menegaskan bahwa di dalam kerangka hak asasi manusia, kebebasan berekspresi juga menopang keberadaan jenis hak asasi manusia.
133
Konvensi-konvensi tersebut juga mendorong pembentukan
sistem
hukum
media
massa
di
Indonesia, yang akan berlaku efektif bilamana mencakup persoalan kepemilikan media (media ownership) dan peran serta masyarakat madani (civil society). Ratifikasi-ratifikasi
yang
dilakukan
oleh
Pemerintah (baca: negara) Indonesia, menimbulkan letak dasar yang fundamental bagi pembentukan peraturan perundang-undangan bagi
kebebasan
berekspresi. Demikian halnya sehingga konsepkonsep
mengenai
kebebasan
berekspresi
dan
perkembangannya di dunia, baik langsung maupun tidak langsung, menginspirasi para pembentuk undang-undang untuk memberikan perhatian yang komprehensif terhadap makna hak asasi manusia, khususnya kebebasan berekspresi. Pada titik inilah, tatanan hukum Indonesia tidak dapat melepaskan diri dari arus perkembangan hak asasi manusia di dunia,
yang
penghargaan
sejalan terhadap
dengan kepentingan
upaya-upaya masyarakat
dunia. Instrumen-instrumen tersebut,
memberikan
hukum cakupan
internasional kebebasan
berekspresi pada tiga hal utama: kebebasan untuk mencari informasi, kebebasan untuk menerima informasi, dan kebebasan untuk memberi informasi termasuk di dalamnya menyatakan pendapat.
134
Konstitusi sebagai landasan berbangsa dan bernegara,
memuat
segala
hal
yang
berkaitan
dengan kehidupan negara yang diaturnya. Prinsipprinsip hak asasi manusia juga diakomodasi di dalam
dasar
negara
tersebut.
Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang sudah diamandemen beberapa kali, memberikan arahanarahan
tentang
kehidupan
berbangsa
yang
menghargai hak asasi manusia. Di dalam batang tubuh UUD 1945 Amandemen telah disebutkan secara jelas bahwa: Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang (Pasal 28). Di samping itu, Pasal 28E ayat (3) juga menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Pasal
ini
mengindikasikan
bahwa
ada
penghargaan kepada warga negara untuk bebas merdeka berpendapat, yang kemudian ditegaskan sekali lagi dalam Pasal 28F: setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk
mengembangkan
pribadi
dan
lingkungan
sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Era pengakuan di dalam konstitusi, membuat kehidupan masyarakat semakin berkembang dan 135
dikenal sebagai era kebebasan media. Berlandaskan pada Pasal 28F UUD 1945 Amandemen, maka pemahaman
warga
negara
tentang
kebebasan
berubah. Dari yang terintervensi secara sistematis melalui
kebijakan
politis,
menjadi
berpeluang
berpendapat sejak secara regulatif diakui sebagai hak konstitusional. Bahkan, sebagai warga negara, mereka diperkenankan (secara konstitusional pula) untuk memperoleh informasi dari berbagai saluran. Adanya perlindungan dan jaminan hukum terhadap
kebebasan
berekspresi
peraturan-perundang-undangan,
di tidak
berbagai melulu
menjadi sumber perlindungan secara teknis, namun yang perlu dilihat adalah bagaimana hukum dasar (baca: konstitusi) memberikan jaminan yang paling mendasar landasan
dan
substansial.
hukum
Meskipun
konstitusional,
bukan
sebagai berarti
bahwa hak atas kebebasan berekspresi juga tidak dibatasi. Secara substansial, kebebasan berekspresi sebagai bagian dari hak asasi manusia juga dibatasi dalam prasyarat otentik yang ditentukan dalam UUD 1945 juga.109 109
Sehubungan dengan adanya Putusan MK No.132/PUU-VII/2009, oleh Mahkamah Konstitusi ditegaskan mengenai pembatasan terhadap hak asasi manusia yakni bahwa dari perspektif original intent pembentuk UUD 1945, maka seluruh hak asasi manusia yang tercantum dalam Bab XA UUD 1945 keberlakuannya dapat dibatasi (Pasal 28J UUD 1945) sebagai pasal penutup dari seluruh ketentuan yang mengatur tentang hak asasi manusia dalam Bab XA UUD 1945 tersebut. Disamping itu berdasarkan penafsiran sistematis (sistematische interpretatie), hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945 tunduk pada pembatasan yang diatur dalam Pasal 28J UUD 1945.
136
Konstitusi
juga
memerintahkan
adanya
peraturan dan pembatasan dari hak-hak asasi manusia
dalam
suatu
undang-undang
dalam
beberapa pasal: a. Pasal 28I ayat (5): “Untuk menegakkan dan melindungi dengan
hak
asasi
prinsip
manusia
negara
sesuai
hukum
yang
demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan” b. Pasal 28J ayat (1): “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam
tertib
kehidupan
bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara” c. Pasal 28J ayat (2): “Dalam menjalankan hak dan
kebebasannya,
tunduk
kepada
setiap
orang
pembatasan
wajib yang
ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud
semata-mata
untuk
menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan
memenuhi dengan
orang
tuntutan
pertimbangan
lain yang
dan
untuk
adil
sesuai
moral,
nilai-nilai
agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.” Dengan dilakukannya amandemen terhadap Undang-Undang Dasar, yakni sebanyak empat kali, dimaksudkan untuk mengakomodasi kepentingan 137
dan keinginan masyarakat khususnya mengenai persoalan hak asasi manusia yang tertuang di dalam
Pasal
28.
Bahwa
kemerdekaan
atau
kebebasan media harus dijamin oleh negara yang dilaksanakan dengan tetap mengingat manfaatnya untuk
tetap
menjaga
integrasi
nasional,
menegakkan nilai-nilai agama, kebenaran, keadilan, moral,
dan
tata
kesejahteraan
susila,
serta
umum,
kehidupan
bangsa.
kebebasan
juga
dan
Dalam harus
memajukan mencerdaskan
konteks
ini
dilaksanakan
pula, secara
bertanggung jawab, selaras dan seimbang antara kebebasan
dan
kesetaraan
menggunakan
hak
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Representasi Kebebasan Berekspresi sebagai Isi yang diatur di dalam Peraturan Perundangundangan Dengan
diakuinya
kebebasan
berekspresi
sebagai bagian penting bagi hak asasi manusia di dalam konstitusi, maka tetap saja dibutuhkan adanya pembentukan undang-undang yang secara khusus
mengimplementasikan
perlindungan
terhadap hak asasi manusia secara komprehensif dan berlaku sebagai payung hukum hak asasi manusia yang utama di Indonesia (umbrella act). Oleh
karena
itu,
kemudian
disusun
dan
diterbitkanlah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 138
1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-undang ini pula yang menjiwai pembentukan peraturan perundang-undangan tentang media di Indonesia. Di dalam undang-undang tersebut, dinyatakan dalam Pasal 23 ayat (2) bahwa setiap orang berhak untuk
mempunyai,
mengeluarkan,
dan
menyebarluaskan pendapat sesuai dengan hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media
cetak
memperhatikan ketertiban, bangsa.
maupun
elektronik
nilai-nilai
agama,
kepentingan
Dengan
umum,
demikian,
dengan
kesusilaan,
dan
keutuhan
secara
aplikatif,
ketentuan di dalam Pasal 28 UUD 1945 telah diwujudkan dalam suatu undang-undang tertentu tentang hak asasi manusia, dan khususnya tentang hak atas kebebasan berekspresi. Di
Indonesia
terdapat
beberapa
peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan media, yang juga mendorong perkembangan bisnis media. Diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman. Berkaitan dengan eksistensi kebebasan berekspresi mengatur
pula, mengenai
undang-undang substansi
disebarkan.
Masing-masing
menyebarkan
informasi
atau
yang
tersebut hendak
undang-undang konten
melalui 139
medianya masing-masing. Hanya saja kemudian apakah
ada
singgungan
kesepahaman kebebasan
yang
dan
sama,
berekspresi
atau
yakni
bahkan
bagaimana
dikonstruksikan
dalam
wujud isi media yang memenuhi ekspektasi hak asasi manusia. a. Undang-Undang
Nomor
40
Tahun
1999
tentang Pers Salah satu embrio kebebasan berekspresi pada
tataran
teknis
peraturan
adalah
dengan
perundang-undangan disahkannya
Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Undang-undang ini membuka kesempatan bagi seluruh
adresaat-nya
untuk
bebas
untuk
mengaktualisasikan diri, melalui media pers, cetak maupun non-cetak. Undang-undang
ini
dibentuk
sebagai
respon atas upaya untuk melaksanakan prinsip demokrasi khususnya
dan
keadilan
menjadi
di
upaya
bidang
hukum,
pengejawantahan
perlindungan kebebasan setelah dirubahnya UUD 1945 pada era reformasi. Undang-undang ini juga menggantikan Nomor
21
kedudukan Tahun
1982
Undang-Undang yang
dianggap
membelenggu kemerdekaan pers. Di samping itu UU No. 40 Tahun 1999 dianggap sebagai produk hukum yang merupakan hasil dari lembaga perwakilan rakyat yang demokratis. Pada bagian 140
konsideran
undang-undang
ini
menyebutkan
latar belakang kelahirannya, yaitu: a. Kemerdekaan perwujudan unsur
pers,
merupakan
kedaulatan
penting
dalam
rakyat
dan
kehidupan
demokrasi, sesuai dengan amanat Pasal 28 UUD 1945; b. Kemerdekaan
pers,
perwujudan
yang
dan
merupakan kemerdekaan
menyatakan pendapat secara lisan dan pendapat,
merupakan
hak
asasi
manusia; c. Kemerdekaan pers harus bebas dari campur tangan kekuasaan; d. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 yang harus
mengharuskan dicabut,
adanya
karena
SIUPP,
menghambat
kebebasan pers.110 Dengan
disahkannya
Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, maka
110
Terdapat persamaan antara UU No. 40/1999 dengan UU No. 11/1966 dimana keduanya lahir pada gejala awal suatu rezim yang sama-sama memimpikan diwujudkan proses demokrasi dengan menggunakan kemerdekaan pers sebagai salah satu pilarnya. Adapun prinsip dasar dalam kedua undang-undang tentang pers tersebut menjanjikan pencabutan semua belenggu yuridis pada rezim represif yang sebelumnya mendera kehidupan pers. Ketentuan-ketentuan yang identik diantaranya: sensor dan pembredelan pers, ketentuan tentang SIT dan SUPP, perlindungan terhadap tugas jurnalistik, dan pembebasan pers dari belenggu yuridis dan politis. Lihat Wikrama Iryans Abidin, Politik Hukum Pers Indonesia. PT. Grasindo; Jakarta, 2005. Hal.56-57.
141
dimulailah
era
baru
kebebasan
pers,
telah
membawa banyak perubahan bagi dinamisasi kehidupan media di Indonesia.111 Bagi insan media, dengan adanyanya undang-undang baru ini
memberikan
mendapatkan
peluang
keragaman
baru
untuk
informasi
yang
bersumber dari adanya keragaman isi maupun keragaman kepemilikan media. Selain
memberikan
peluang
bagi
munculnya berbagai lembaga pers baru, UU No. 40 Tahun 1999 juga memberikan dampak lain yang signifikan. Kemerdekaan dan keterbukaan para pelaku media pers semakin terlindungi dalam yakni
hal
menjalankan
mencari,
menyimpan,
aktivitas
jurnalistik,
memperoleh,
mengilah
dan
memiliki,
menyampaikan
informasi melalui berbagai saluran yang tersedia. Disamping tonggak
itu,
baru
undang-undang sejarah
ini
kebebasan
menjadi
pers
yang
kemudian dikenal sebagai kemerdekaan pers. Kemerdekaan pers sebagai konsep yang diperkenalkan bermaksud
melalui
untuk
undang-undang
memberikan
jaminan
ini, hak
asasu manusia yang merupakan salah satu ujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang 111
Indikator awal meningkatnya jumlah penerbitan lembaga pers. Data Direktorat Pembinaan Pers pada 23 September 1999, menyatakan bahwa jumlah penerbitan media cetak di Indonesia yang meliputi suratkabar, tabloid, majalah, dan bulletin mencapai 1.687 buah. Padahal pada tahun 1997 hanya 289 media, yang menunjukkan bahwa hanya sekitar seperlima dari jumlah penerbitan media setelah terbitnya UU No. 40 Tahun 1999.
142
sangat
penting
menciptakan
kehidupan
bermsyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis sehingga kemerdekaan mengeluarkan pendapat yang tercantum dalam Pasal 28 UUD 1945 harus dijamin.112 Selain itu, dinyatakan pula dalam Pasal 2 UU No. 40 Tahun 1999 bahwa kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan prinsip
rakyat
yang
demokrasi,
berasaskan
keadilan
dan
diatur
secara
prinsip-
supremasi
hukum. Hal-hal
yang
berbeda
dibanding dengan peraturan perundangan yang sebelumnya113 adalah pers dan kebebasan pers yang
diakui
sebagai
kemerdekaan
pers
merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasas prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum (Pasal 2). Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara (Pasal 4 A1). Pers nasional tidak dikenakan penyensoran,
pembredelan,
atau
pelarangan
penyiaran (Pasal 4 Ayat 2). Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional berhak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi
(Pasal
4
Ayat
3).
Serta
dalam
mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan
112
Lihat konsideran UU No. 40 Tahun 1999. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers dan Undang-Undang No. 21 Tahun 1982 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers. 113
143
hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak (Pasal 4 Ayat 4). Undang-Undang ini mengandung materi yang memberikan jaminan atas kebebasan pers sebagai hak asasi dan sebagai wujud atas adanya kedaulatan rakyat. Adanya ketentuan-ketentuan yang tegas yang menolak ancaman eksternal terhadap kebebasan pers seperti: a. penyensoran,
pembredelan
atau
pelarangan penyiaran, Pasal 4 ayat (2); b. tindakan
yang
menghambat
menyebarluaskan
atau
gagasan
dan
informasi, Pasal 4 ayat (3); c. kepada
siapa
ancaman
saja
yang
terhadap
melakukan
kebebasan
pers
dapat dipidana, Pasal 18 ayat (1); dan, d. pelanggaran-pelanggaran kewajiban
penghormatan
norma-norma masyarakat bersalah
terhadap
agama, serta
(Pasal
ras
asas 5
terhadap
ayat
kesusilaan
praduga (1)),
tak
dapat
diancam pidana, Pasal 18 ayat (2). Ketentuan-ketentuan
dalam
pasal-pasal
tersebut mendorong agar kegiatan pers yang bebas dan dilindungi oleh undang-undang, tidak diintervensi oleh pihak manapun, sekaligus juga memberikan pengakuan bahwa kebebasan pers atau 144
yang
kemudian
disebut
sebagai
kemerdekaan
pers
(seharusnya)
dapat
dilaksanakan secara bertanggungjawab. Asas tanggung jawab (responsibility) media terhadap publik penikmat media, juga dimuat oleh karena pers memiliki potensi melakukan kekeliruan dalam
melaksanakan aktivitasnya.
Kekeliruan dapat berdampak negatif pada aspek kepentingan orang atau sekelompok orang, baik langsung maupun tidak langsung. Maka dari itu, diperlukan mekanisme pertanggungjawaban pers atas
tindakan
Mekanisme
negatif
tanggung
dimunculkan
dalam
maksud
bahwa
karena
aktivitas
yang
jawab
dilakukannya. pers
kemudian
undang-undang,
persoalan
yang
pers
sudah
dengan
timbul
oleh
selayaknya
diselesaikan melalui pertanggung jawaban pers yang diperuntukkan pers sendiri. Karya pers jurnalistik
yang
bermasalah
mempunyai
mekanisme tanggungjawabnya sendiri. Terkait
dengan
muatan
pers,
yang
kemudian diatur di dalam UU No. 40 Tahun 1999, secara khusus terdapat pada Pasal 5 ayat (1)
yang
menyatakan
bahwa
pers
nasional
berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan ras kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. Pasal ini menjadi satu-satunya ketentuan di dalam UU No. 40 Tahun 1999 yang memberikan pernyataan bahwa muatan di dalam 145
pers harus memiliki syarat prakondisi tertentu. Pasal ini juga menjadi satu-satunya ketentuan yang secara eksplisit menyatakan kewajiban atas sesuatu
muatan
pers
yang
hendak
disebarluaskan. Hal
menarik
berikutnya
adalah
bahwa
dengan diundangkannya UU No. 40 Tahun 1999 ini, dipertegas adanya suatu lembaga yakni Dewan Pers yang dimaksudkan untuk menjadi pelindung
kebebasan
pers,
yang
tidak
lagi
menjadi penasihat Pemerintah.114 b. Undang-Undang
Nomor
32
Tahun
2002
tentang Penyiaran Isu pertama yang didengungkan ketika undang-undang ini disusun dan disahkan adalah undang-undang ini tidak ditandatangani oleh Presiden
RI
pada
waktu
itu,
Megawati
Soekarnoputri. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 memang merupakan inisiatif dari Dewan Perwakilan Rakyat pada masa itu kemudian tidak mendapatkan tanda tangan Presiden sebagai bentuk
pengesahan.
Oleh
karena
tidak
ditandatangani oleh Presiden, maka undang114
Dewan Pers pertama kali dibentuk pada tahun 1968 berdasarkan UU No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Tentang Pers, dan disahkan oleh Presiden Soekarno tanggal 12 Desember 1966. Fungsi awalnya adalah sebagai pendamping pemerintah, bersama-sama membina pertumbuhan dan perkembangan pers nasional. Adapun ketua Dewan Pers pertama kali adalah Menteri Penerangan. Seiring perkembangannya, Dewan Pers tidak banyak perubahan pada masa orde baru, dengan adanya UU No. 21 Tahun 1982.
146
undang tersebut tetap menjadi produk hukum yang mengikat bagi penyelenggaraan kegiatan penyiaran radio dan penyiaran televisi. Urgensi dari undang-undang ini adalah untuk mengembangkan demokrasi yang sekaligus memecah yang
cengkeraman
selama
ini
sekelompok
mengangkangi
pemodal
keberadaan
lembaga penyiaran di Indonesia. Undang-Undang Penyiaran
adalah
regulasi
dengan
visi
menyerahkan regulasi penyiaran kepada publik (yang
direpresentasikan
dengan
dibentuknya
Komisi Penyiaran Indonesia), serta mendorong adanya
keragaman
kepemilikan
menciptakan keragaman Undang-undang
untuk
muatan.115 ini
juga
hendak
mendorong terbentuknya sistem penyiaran di Indonesia yang demokratis, dengan bertumpu pada dua hal: diversity of content dan diversity of ownership. Dua hal inilah yang menjadi isu sentral
dalam
kajian
peraturan
perundang-
undangan tentang penyiaran. Semangat yang hendak dibangun melalui isu sentral itu adalah bahwa tersedianya informasi dapat menunjang kepentingan publik (public interest) untuk menuju kebaikan publik (public good). Dalam kerangka pembentukan peraturan perundang-undangan beberapa 115
aspek
tentang
yang
penyiaran,
ada
dipertimbangkan
dan
Judhariksawan. Hukum Penyiaran.Rajawali Press; Jakarta, 2010. Hal. 92.
147
menjadi
bahasan.
Aspek-aspek
itu
adalah:
persoalan
teknikal
atau
aspek
teknologi
(technology
aspect),
aspek
hukum
perizinan,
aspek hukum program siaran, dan aspek hukum pidana
dalam
penyiaran.
Aspek
teknologi
berkaitan dengan teknik operasional lembaga penyiaran,
yakni
penggunaan
spektrum
frekuesnsi sampai dengan digitalisasi penyiaran, dimana ada keterkaitan antara pranata hukum nasional dan hukum internasional. Aspek
hukum
memaparkan
perizinan
tentang
penyiaran,
kelembagaan
dan
mekanisme perizinan penyiaran di Indonesia, baik
berdasarkan
maupun
undang-undang
peraturan
penyiaran
pelaksanaannnya.
Aspek
hukum program siaran meliputi aturan tentang boleh dan tidak boleh suatu program disiarkan, standar program dan isi siaran, serta aturan hukum lain yang harus dipatuhi oleh praktisi penyiaran. Aspek-aspek memberikan
tersebut
pertimbangan
sekaligus
bagi
pembentuk
undang-undang, khususnya pada aspek program siaran
yang
Penyiaran
mendorong
memiliki
muatan
Undang-Undang tertentu
yang
mengakomodasi kepentingan akan kebebasan berekspresi. Di dalam undang-undang kemudia dicantumkan tetantang isi siaran yang harus sesuai dengan Pasal 2 yang menyatakan bahwa 148
diselenggarakan berdasar Pancasila dan UUD 1945 dengan asas-asasnya: manfaat, adil dan merata,
kepastian
hukum,
keamanan,
keberagaman, kemitraan, etika, kemandirian, kebebasan, dan tanggung jawab. Sedang isi siaran harus sesuai dengan Pasal 3 yakni bertujuan
untuk
memperkukuh
integrasi
nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang
beriman
dan
bertakwa,
mencerdaskan
kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil dan sejahtera, serta
menumbuhkan
industri
penyiaran
Indonesia. Isi siaran sesuai amanat Pasal 4 adalah sebagai kegiatan komunikasi massa mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial. Artinya
bahwa
dengan
demikian
isi
siaran
sekaligus mewujudkan fungsi penyiaran, yaitu fungsi ekonomi dan fungsi kebudayaan. Di sisi lain isi siaran juga harus diarahkan pada hal-hal yang terurai pada Pasal 5. Arah penyelenggaraan penyiaran
tersebut
harus
mengedepankan
prinsip perlindungan hak asasi oleh negara agar aktivitas penyiaran yang dilakukan oleh lembaga penyiaran berdampak positif bagi publik dalam kerangka diversity of ownership dan diversity of content. 149
Berkaitan
dengan
isi
siaran,
maka
dibuatlah program siaran yang dalam kerangka tersebut dapat diketahui tentang dua hal: bentuk ‘kewajiban’ dan ‘larangan’ terhadap isi siaran. Adapun dimuat bahwa lembaga penyiaran dalam menyampaikan
program
siarannya
memiliki
empat kewajiban, yakni: a. Isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan moral,
intelektualitas,
kemajuan,
kekuatan
watak, bangsa,
menjaga persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan
nilai-nilai
agama
dan
budaya Indonesia. b. Isi siaran dari jasa penyiaran televisi, yang diselenggarakan oleh Lembaga Penyiaran Swasta dan Lembaga Penyiaran Publik, wajib memuat sekurang-kurangnya 60% (enam puluh per seratus) mata acara yang berasal dari dalam negeri. c. Isi siaran wajib memberikan perlindungan dan
pemberdayaan
kepada
khalayak
khusus, yaitu anak-anak dan remaja, dengan
menyiarkan
mata
acara
pada
waktu yang tepat, dan lembaga penyiaran wajib
mencantumkan
dan/atau
menyebutkan klasifikasi khalayak sesuai dengan isi siaran.
150
d. Isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu. Sementara di dalam Pasal 36 UndangUndang Nomor 32 Tahun 2002 dicantumkan hal sebagai berikut: (1) Isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia. (2) -... (3) Isi siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus, yaitu anak-anak dan remaja, dengan menyiarkan mata acara pada waktu yang tepat, dan lembaga penyiaran wajib mencantumkan dan/atau menyebutkan klasifikasi khalayak sesuai dengan isi siaran. (4) Isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu. (5) Isi siaran dilarang: a. bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong; b. menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang; atau c. mempertentangkan suku, agama, ras, dan antar golongan. (6) Isi siaran dilarang memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional.
151
Pasal yang sama pula, dicantumkan pula tentang larangan-larangan tentang isi siaran. Larangan ini terkelompok dalam dua kategori, yakni yang pertama adalah kelompok isi siaran yang
mengandung
tindakan-tindakan
pidana
dan diskriminasi. Kandungan isi siaran yang dilarang adalah yang bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong; menonjolkan unsur
kekerasan,
cabul,
perjudian,
penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang; atau mempertentangkan suku, aga-ma, ras, dan antar golongan. Sedang yang kedua adalah isi siaran yang mendiskreditkan
norma-norma
sosial
serta
interaksinya dalam hubungan internasional. Isi siaran
ini
dahkan,
dilarang
memperolokkan,
melecehkan
dan/atau
meren-
mengabaikan
nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional. Undangundang ini juga mengatur hal-hal lain yang terkait dengan isi siaran, diantaranya tentang Bahasa Siaran, Relai dan Siaran Bersama, Ralat Siaran, Arsip Siaran, Siaran Iklan, serta Sensor Siaran. Hal-hal tersebut melekat pada content yang
hendak
disebarluaskan
dalam
rangka
penyelenggaraan siaran. Di samping itu, perlindungan terhadap hak intelektual, nampak pada Pasal 43 tentang Hak Siar, 152
dimana
persoalan
hak
cipta
juga
mendapatkan perhatian khusus. Korelasi yang nampak adalah hubungan antara Pasal 35 dengan
Pasal
43
dimana
ada
penekanan
mengenai ‘hak siar’. Adapun hak siar adalah hak yang dimiliki oleh lembaga penyiaran program atau acara tertentu yang diperoleh secara sah dari pemilik hak cipta atau penciptanya. Bahkan
secara
teknis,
Undang-Undang
Penyiaran membentuk lembaga yang diberikan kewenangan untuk mengawasi isi siaran, yakni Komisi
Penyiaran
Indonesia
(KPI).116
Komisi
inilah yang kemudian membuat suatu Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS).117 Di dalam ketentuan ini disebutkan bahwa Pedoman Perilaku Penyiaran merupakan panduan tentang batasan-batasan mengenai apa yang
diperbolehkan
diperbolehkan
dan
berlangsung
atau
tidak
dalam
proses
116
KPI disebut sebagai lembaga negara independen (independent state body/agency), yang dalam struktur ketatanegaraan KPI diklasifikasikan sebagai lembaga negara independen yang dibentuk oleh undang-undang (bukan konstitusi). Pembentukannya didasarkan atas pemikiran agar KPI berfungsi sebagai regulator di bidang penyiaran (self regulatory body) yakni untuk menjalankan prinsip diversity of ownership dan diversity of content dalam demokratisasi penyiaran. Lihat Masduki, Hukum Penyiaran: Dari Otoriter ke Liberal. LKiS; Yogyakarta, 2007. Hal. 206-209. 117 Ditetapkan pertama kali melalui Keputusan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 009/SK/KPI/8/2004 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran, tanggal 30 Agustus 2004 (selanjutnya disebut dengan Keputusan KPI No. 009/SK/KPI/8/2004). Berikutnya keputusan ini mengalami perkembangan dan kemudian beberapa kali dibentuk Peraturan KPI yang mengatur mengenai Pedoman Perilaku Penyiaran, yakni dengan Peraturan KPI Nomor: 02/P/KPI/12/2009. Di samping itu dibentuk pula Peraturan KPI Nomor: 03/P/KPI/12/2009 tentang Standar Program Siaran.
153
pembuatan program siaran, sedangkan Standar Program Siaran merupakan panduan tentang batasan apa yang diperbolehkan dan atau yang tidak diperbolehkan ditayangkan dalam program siaran.118 P3/SPS dibentuk dengan tujuan untuk mengatur
perilaku
lembaga
penyiaran
dan
lembaga-lembaga lain yang terlibat dalam dunia penyiaran di Indonesia. Pedoman ini dibutuhkan oleh mereka penyiaran
yang
oleh
berkepentingan di
karena
adanya
dunia
pemanfaatan
frekuensi radio yang merupakan sumber daya alam
yang
terbatas
dan
pemanfaatannya
tersebut harus ditujukan demi kemaslahatan masyarakat baku
ini
yang
sebesar-besarnya.
menjadi
pedoman
bagi
Standar lembaga
penyiaran untuk terus menerus memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa
yang
beriman
dan
bertakwa,
mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil dan sejahtera.119 Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) adalah dasar Siaran
untuk (SPS).
penyusunan Keduanya
Standar
Program
merupakan
dua
kerangka yang saling berkaitan satu dengan 118 119
Pasal 1angka 1 Peraturan KPI Nomor: 02/P/KPI/12/2009. Pasal 2 s.d 4 Peraturan KPI Nomor: 02/P/KPI/12/2009.
154
yang
lainnya.
Pedoman
Perilaku
Penyiaran
mengatur hal-hal yang menyangkut penyusunan standar program siaran120: Tabel 3.1. P3 dan SPS Pedoman Perilaku Penyiaran vide Standar Program Siaran
Penghormatan
Perlindungan
Pembatasan materi program siaran Tertentu
- Terhadap nilai-nilai kesukuan, agama, ras dan antar golongan; - Terhadap norma kesopanan dan kesusilaan; - Terhadap hak privasi dan pribadi; - Terhadap hak-hak anak, remaja dan perempuan; - Terhadap hak-hak kelompok masyarakat minoritas dan marjinal; - Terhadap kepentingan publik; - Terkait kesusilaan; - Terkait kekerasan dan sadism; - Terkait narkotika, psikotropika, dan zat adiktif (NAPZA), alcohol dan perjudian; - Penggolongan program siaran; - Prinsip jurnalistik; - Bahasa, bendera, lambang negara, dan lagu kebangsaan; - Sensor dalam program siaran; - Lembaga penyiaran berlangganan; - Siaran iklan; - Siaran asing; - Siaran lokal dalam sistem stasiun jaringan; - Siaran langsung; - Program siaran kuis, undian berhadiah, dan penggalangan dana; - Peliputan bencana alam; - Siaran pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah; - Narasumber; - Privasi; - Pembawa acara; - Siaran pembuka dan penutup; dan - Pengawasan, pengaduan dan penanggung jawab.
Dengan melihat substansi dari peraturan teknis yang disusun dan ditetapkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia sebagai regulator di bidang 120
Pasal 5 Peraturan KPI Nomor: 02/P/KPI/12/2009 vide Pasal 5 Peraturan KPI Nomor: 03/P/KPI/12/2009.
155
penyiaran, peraturan teknis tersebut, secara substantive dibuat dengan mengacu berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2002. c. Undang-Undang
Nomor
11
Tahun
2008
tentang Informasi dan Transaksi Elekronik Akhirnya pada tanggal 25 Maret 2008 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik disahkan oleh DPR-RI yang kemudian diundangkan secara resmi oleh Presiden RI pada tanggal 21 April 2008. Undang-undang ini lahir dari proses dirancangnya dua Naskah Akademik dan dua Rancangan Undang-Undang (RUU Pemanfaatan Teknologi
Informasi
dan
RUU
Transaksi
Elektronik).121 Bahwa kedua rancangan undangundang
tersebut
merupakan
respon
dari
perkembangan dunia teknologi, khususnya yang berkaitan
dengan
perkembangan
teknologi
jaringan/networking melalui internet. Dipahami juga
bahwa
perkembangan
ini
harus
mendapatkan tempat untuk diperhatikan oleh negara, oleh karena implikasi teknologi ini dapat mempengaruhi dimensi-dimensi perekonomian,
121
RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi disusun dan dibahas oleh Fakultas Hukum Universitas Padjajaran dan Tim Asistensi Institut Teknologi Bandung. Sedangkan RUU Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik disusun oleh Lembaga Kajian Hukum dan Teknologi Universitas Indonesia yang dilakukan melalui jalur Departemen Perindustrian dan Perdagangan.
156
perdagangan,
bahkan
juga
sampai
pada
kehidupan ekonomi dan sosial. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 adalah
merupakan
pertama
di
undang-undang
Indonesia
yang
yang
secara
khusus
mengatur mengenai kegiatan yang menggunakan sarana internet. Dua muatan besar yang diatur di dalam undang-undang ini sebenarnya hanya mengenai pengaturan transaksi elektronik dan tentang tindak pidana cyber. Materi muatan itu merupakan implementasi dari perkembangan global
tentang
penggunaan
media
internet
sebagai sarana teknologi yang memungkinkan penyebaran informasi dan kegiatan lainnya yang dapat
dilakukan.
Prinsip-prinsip
di
dalam
instrumen hukum internasional yang menjadi referensi
adalah
UNCITRAL
Model
Law
on
Electronic Commerce, UNCITRAL Model Law on Electronic Signature, Convention on Cybercrime, EU Directives on Electronic Commerce, dan EU Directives on Electronic Signature. Di
dunia
cyber,
ekstrateritorial
karena
merupak
dunia
virtual
negara,
sehingga
bagaimana
diberlakukanlah
asas
jangkauan
cyber
yang
perlu
yurisdiksi
yang
bersifat
lintas
dipertimbangkan berlaku
atas
perbuatan atau tindakan yang menggunakan
157
cyber sebagai domainnya.122 Undang-undang ini berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur di dalam undang-undang tersebut, baik yang berada di luar Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan bersama.123
Adapun
merugikan
kepentingan
yang
dimaksud dengan Indonesia
adalah
meliputi, tetapi tidak terbatas pada, kerugian yang ditimbulkan terhadap kepentingan ekonomi nasional, perlindungan data strategis, harkat dan
martabat
bangsa,
pertahanan
dan
keamanan negara, kedaulatan negara, warga negara serta badan hukum negara. Secara yurisdiksi, undang-undang ini juga menjangkau
setiap
perbuatan
hukum
tidak
hanya dilakukan di Indonesia, namun di luar wilayah Indonesia, dilakukan oleh warga negara Indonesia, maupun warga negara asing, badan 122
Asas ekstrateritorial yang terdapat di UU ITE dikembangkan dari pemberlakuan asas teritorialitas, asas nasionalitas aktif, dan asas nasionalitas pasif yang terdapat dalam KUHP. Bahwa asas tersebut merupakan prinsip-prinsip yang berlaku di undang-undang pidana suatu negara berlaku bagi setiap orang-pribadi kodrati, baik warga negara itu maupun warga negara asing yang berada di dalam wilayah negara itu-baik yang melakukan perbuatan pidana di dalam wilayah negara tersebut, baik wilayah darat maupun laut. Di dalam KUHP, asas territorial terdapat pada Pasal 2 yang menyatakan bahwa aturan pidana dalam perundangundangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan perbuatan pidana di dalam Indonesia. Sedang perluasan dari asas ini sebagaimana terdapat pada Pasal 3 KUHP yang menyatakan ketentuan pidana perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air atau pesawat udara. 123 Lihat Pasal 2 UU No. 11 Tahun 2008.
158
hukum Indonesia maupun badan hukum asing, dimana perbuatan hukum tersebut memiliki akibat
hukum
di
Indonesia,
oleh
karena
pemanfaatan informasi teknologi intik informasi elektronik bersifat
dan
transaksi
elektronik
lintas
territorial
atau
keberlakuan menjangkau
universal.124
undang-undang semua
orang
dapat
ini
yang
yang
melakukan
perbuatan hukum (khususnya tindak pidana) baik di dalam dan di wilayah negara Indonesia, memberikan ruang yang lebih luas bagi negara sendiri
untuk
perlindungan
memastikan
bagi
bahwa
perkembangan
ada
teknologi
informasi yang bertanggung jawab. Dalam
konsep
ini
diperluaslah
makna
prinsip universality: universal interest jurisdiction, dari dimana setiap orang berhak menangkap dan menghukum para pelaku pembajakan, menjadi kejahatan
kemanusiaan
(crime
against
humanity), genocide, pembajakan pesawat, dapat diperluas: internet privacy, hacking, cracking, viruses sepanjang termasuk very serious crime
124
Lihat Pasal 4 KUHP yang memuat asas nasionalitas pasif. Bahwa undangundang pidana Indonesia berlaku bagi setiap orang baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing yang melakukan tindak pidana di luar wilayah Indonesia sepanjang perbuatan itu melanggar kepentingan Indonesia. Dan Pasal 5 KUHP dinyatakan bahwa perundang-undangan Indonesia berlaku terhadap warga negara Indonesia dimanapun ia berada. Pasal ini mengandung dan memuat asas nasional aktif.
159
dikembangkan
menjadi
extra
territorial
jurisdiction.125 Pengembangan asas territorial menjadi asas ekstrateritorial
dikarenakan
bahwa
asas
territorial dirasa belumlah cukup untuk menjerat seseorang yang melakukan perbuatan hukum di luar
wilayah
perkembangan
suatu teknologi
berbasiskan dunia cyber negara
untuk
prinsip-prinsip
negara. informasi
yang
mendorong banyak
menambahkan atau
Dengan
asas-asas
keberlakukan lain
agar
peraturan perundang-undangan tetap berlaku dalam
kondisi-kondisi
yang
tidak
dapat
dijangkau dengan asas teritorialitas. Dunia cyber memerlukan
asas
ekstrateritorialitas
karena
pelaku perbuatan hukum belum tentu hadir dalam wilayah negara yang bersangkutan. Pasal 1 angka 1 UU ITE menyatakan bahwa Informasi
Elektronik
adalah
satu
atau
sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah
125
Sigid Suseno dalam Soemarno Partodihardjo, Tanya Jawab Sekitar UndangUndang No, 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. PT. Gramedia Pustaka Utama; Jakarta, 2008. Hal. 9.
160
diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Di UU ITE diberikan pengertian mengenai Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital,
elektromagnetik,
optikal,
atau
sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau Sistem
didengar
Elektronik,
melalui
Komputer
termasuk
tetapi
atau tidak
terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Secara khusus, dapat dilihat bagaimana UU ITE mengatur tentang konten media, namun karakternya lebih kepada substansi media yang dilarang. Konten126 pada dasarnya merupakan informasi yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang.127 Oleh karena itu, konten perlu
126
Istilah “konten” merupakan terjemahan dari bahasa Inggris: content yang diartikan sebagai adalah informasi yang tersedia melalui media atau produk elektronik. Konten ini dapat disampaikan melalui berbagai medium seperti internet, televisi, CD audio, bahkan acara langsung seperti konferensi dan pertunjukan panggung. Istilah ini digunakan untuk mengidentifikasi dan menguantifikasi beragam format dan genre informasi sebagai komponen nilai tambah media. Lihat: Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Keempat. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2008. 127 Josua Sitompul. Cyberspaces, Cybercrimes, Cyberlaw: Tinjauan Aspek Hukum Pidana. Cet. Pertama. PT. Tatanusa; Ciputat, 2012. Hal.149.
161
diatur karena alasan penting, yakni pertama, perlunya
perlindungan
perlindungan diberikan
seperti
dalam
hukum perlindungan
dunia
nyata
atau
seperti yang fisik
(realspace). Meskipun di dunia virtual, faktanya adalah kumpulan orang-orang dari dunia fisik dan ada dampak dari semua jenis transaksi elektronik via dunia virtual (cyber) tersebut yang dirasakan secara nyata. Sedangkan alasan yang kedua adalah bahwa dengan adanya internet, informasi dapat disebar dan diteruskan ke berbagai penjuru dunia dengan seketika serta dapat diakses dari berbagai negara. Misalnya saja pengguna internet seringkali menggunakan nama
alias
atau
anonym.
Konten
yang
disebarkan (apapun akibatnya), dapat berasal dari subyek-subyek yang belum tentu bisa diketahu identitas aslinya.128 Di dalam UU ITE ada perbuatan-perbuatan yang
dilakukan
subyek
pengguna
media
teknologi informasi, yang dapat dikategorikan sebagai tindakan pidana. Perbuatan-perbuatan tersebut berkaitan erat dengan substansi atau isi media, yakni yang disebut sebagai kontenkonten
yang
dilarang,
beberapa pasal berikut:
128
Josua Sitompul, ibid. Hal. 148-149.
162
diantaranya
dalam
Tabel 3.2. Ketentuan tentang Isi dalam UU ITE Pasal 27 ayat (1)
Pasal 27 ayat (2)
Pasal 27 ayat (3)
Pasal 27 ayat (4)
Pasal 28 ayat (1)
Pasal 28 ayat (2)
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/ atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/ atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/ atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/ atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
163
Pasal 29
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi.
Pasal-pasal dalam UU ITE tersebut pada dasarnya memuat konteks larangan terhadap perbuatan-perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai
ancaman
terhadap
kebebasan
berekspresi. Artinya bahwa implementasi atas kebebasan berekspresi pada UU ITE mengarah pada
bentuk-bentuk
larangan
terhadap
perbuatan yang dianggap menciderai kebebasan berekspresi pada beberapa hal yang terkait, yakni:
(a)
kesusilaan,
(b)
perjudian,
(c)
penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, (d)
pemerasan
dan/atau
pengancaman,
(e)
kerugian konsumen, (f) rasa kebencian atau permusuhan
individu
dan/atau
kelompok
masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), dan (g) ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi. d. Undang-Undang
Nomor
33
Tahun
2009
tentang Perfilman Undang-undang respon
terhadap
Indonesia, 164
yang
ini
dibentuk
perkembangan kemudian
harus
sebagai film
di
direspon
secara akomodatif. Undang-Undang No. 8 Tahun 1992 tentang Perfilman dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan aktivitas film di Indonesia. Undang-Undang No. 33 Tahun 2009 tentang
Perfilman
disusun
sebagai
peraturan
yang
dengan
maksud
merespon
adanya
reformasi di bidang politik dan kebudayaan, dimana perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
mendorong
terciptanya
paradigma
baru, khususnya mengenai film. Dalam undangundang ini pula, aspek-aspek yang menjadi perhatian adalah perlindungan hukum terhadap aktivitas
perfilman,
sensor
dan/atau
penyensoran film, serta peran serta masyarakat luas di bidang perfilman yang difasilitasi negara. Sebagai karya seni kebudayaan, film dapat ditampilkan dengan atau tanpa suara yang mengandung arti bahwa film menjadi media komunikasi massa yang dapat menyampaikan pesan dan gagasan kepada publik. Film juga menjadi fungsi
bentuk
ekspresi
pendidikan,
yang
hiburan,
mempunyai
informasi,
dan
pendorong karya kreatif. Oleh karena fungsi tersebut, maka film dapat berfungsi ekonomi yang
mampu
masyarakat
memajukan
dengan
kesejahteraan
memperhatikan
prinsip
persaingan usaha yang sehat. Film menyentuh berbagai
segi
kehidupan
manusia
dalam
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 165
Undang-undang segala
aktivitas
ini di
hendak dunia
mengatur
film,
yang
diselenggarakan di Indonesia. Baik aspek tata kelola, produksi, pemasaran, pembuatan dan aktivitas-aktivitas stakeholders di bidang film di Indonesia. Film memang produk kesenian yang berbeda dengan produk seni yang lain, yang di dalamnya hampir memuat segala ekspektasi dari
pembuatnya
khalayak
yang
dan
berasal
ditujukan dari
kepada
berbagai
latar
belakang. Film memuat hal-hal yang merupakan wujud ekspresi pembuatnya (dan segala pihak yang terlibat) untuk mencapai suatu pesan tertentu
yang
hendak
disampaikan
kepada
masyarakat penikmatnya. Film adalah bagian dari kebudayaan yang mampu menjadi sarana untuk tujuan-tujuan pencerdasan bangsa, sebagai pengembangan kualitas manusia yang berpotensi budaya, film juga dianggap dapat menjadi alat penetrasi kebudayaan sehingga perlu untuk mendapatkan perhatian khusus dalam hal substansinya yang mudah terkontaminasi dengan nilai-nilai asing yang bersifat negatif. Hal-hal tersebut menjadi latar
belakang
diterbitkannya
alasan
dibentuk
undang-undang
perfilman
dan di
Indonesia, selain karena alasan bahwa undangundang yang lama sudah tidak sesuai dengan perkembangan era global. 166
Film dapat diproduksi di dalam negeri dan dapat pula merupakan film-film yang diproduksi oleh pembuatnya di luar negeri. Maka dari itu film dapat diedarkan dari luar negeri ke dalam negeri.
Pemerintah
beredarnya
sebagai
film,
pelindung
harus
mampu
atas untuk
memberikan perlindungan bagi peredaran film di Indonesia yang dimaksudkan untuk tetap dapat
mewujudkan
kecerdasan
kehidupan
bangsa, terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa,meningkatnya
harkat
dan
martabat
bangsa, berkembangnya dan lestarinya nilai budaya bangsa, meningkatnya kesejahteraan masyarakat, dan berkembangnya film berbasis budaya bangsa yang hidup dan berkelanjutan. Film sebelum beredar dan dipertunjukkan di Indonesia wajib disensor dan memperoleh surat tanda lulus sensor yang dikeluarkan oleh lembaga khusus yakni lembaga sensor film. Sensor
pada
dasarnya
diperlukan
untuk
melindungi masyarakat dari pengaruh negatif film dari adanya dorongan kekerasan, perjudian, penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat
adiktif
lainnya,
serta
penonjolan
pornografi,penistaan,
pelecehan
penodaan
agama
pengaruh
nilai-nilai negatif
budaya
dan/atau
atau
karena
asing.129
Adapun
mekanisme penyensoran dilaksanakan dengan 129
Pasal 60 ayat (2) Undang-Undang No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman.
167
prinsip dialog dengan pemilik film yang disensor yaitu pelaku kegiatan perfilman, pelaku usaha perfilman, perwakilan diplomatik atau badan internasional yang diakui Pemerintah. Sedangkan film yang mengandung tema, gambar, adegan, suara, dan teks terjemahan yang tidak sesuai dengan pedoman dan kriteria sensor dikembalikan kepada pemilik film untuk diperbaiki sesuai dengan pedoman dan kriteria sensor. Di
dalam
Nomor
33
memuat
penjelasan
Tahun
bahwa
2009
peran
Undang-Undang tentang
strategis
Perfilman perfilman,
pembiayaan pengembangan perfilman, lembaga sensor film, dan badan perfilman Indonesia dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta anggaran pendapatan dan belanja daerah. Selain itu masyarakat wajib dilindungi
dari
masyarakat
juga
pengaruh diberi
negatif
film,
kesempatan
untuk
berperan serta dalam perfilman, baik secara perseorangan maupun secara kelompok. Adanya latar belakang pemikiran-pemikiran tersebut di atas, maka Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman dipandang sudah tidak
sesuai
lagi
dengan
perkembangan
perfilman dan semangat zamannya sehingga perlu dicabut dan diganti. Penyusunan UU Perfilman yang baru (UU No. 33 Tahun 2009) 168
dilakukan
sesuai
persyaratan
penyusunan
Undang-undang, dengan melibatkan seluruh elemen ataupun stake holder yang terlibat dalam dunia perfilman baik itu budayawan kemudian akademisi,
praktisi-praktisi
perfilman,
para
pengamat film dan kebudayaan, bahkan juga para
artis
serta
pengusaha-pengusaha
perfilman. Undang-Undang No. 33 Tahun 2009 secara substansial mengatur hal-hal yang berkaitan dengan film, yakni tentang bagaimana proses pembuatan film, mengatur tentang masalahmasalah yang berkenaan dengan pendidikan atau skill tentang perfilman, isi film, metode penayangan dan cara mengedarkan film. Pada undang-undang ini diperkenalkan kategorisasi film
yang
yang
layak
dikonsumsi
oleh
penikmatnya, yakni golongan umur tertentu, waktu tertentu. Tentang cara peredaran film juga diatur agar tidak terjadi monopoli oleh salah satu pihak tertentu saja. Berkaitan dengan isu kebebasan, maka undang-undang
ini
mengatur
hal-hal
yang
terkait dengan isi dengan menghadirkan satu lembaga yang disebut dengan Lembaga Sensor Film
yang
peranannya
diperkuat
untuk
mengukur atau menilai suatu substansi film. Isi film diawasi oleh lembaga ini dengan tujuan agar produk film dapat memenuhi standar169
standar kualitas tertentu yang ditetapkan agar tidak memberikan dampak negatif terhadap konsumennya. Satu hal yang menarik dalam undang-undang ini yang berkaitan dengan isi dalam kebebasan berekspresi adalah tentang adanya self sensor sebagai isu yang banyak dibahas. Pengguntingan film yang ditiadakan, dikarenakan para pembuat film dibebaskan untuk
memproduksi
filmnya
sendiri
untuk
kemudian diajukan ke lembaga sensor. Lembaga sensor kemudian memberikan penilaian sesuai dengan kriteria. Bilamana tidak sesuai dengan kriteria, maka lembaga sensor mengembalikan film dimaksud kepada pembuatnya, disertai dengan
permintaan
untuk
memperbaikinya
sendiri. Inilah yang disebut dengan self sensor. Mengembangkan kebebasan berekspresi di bidang
perfilman,
undang-undang
mengatur
mengenai isi film yang terdapat pada Pasal 6 UU No. 33 Tahun 2009, yang menyatakan bahwa unsur pokok kegiatan perfilman dan usaha perfilman dilarang mengandung isi: a. mendorong khalayak umum melakukan kekerasan
dan
penyalahgunaan
perjudian narkotika,
tropika, dan zat adiktif lainnya; b. menonjolkan pornografi;
170
serta psiko-
c. memprovokasi terjadinya pertentangan antarkelompok, antar suku, antar ras, dan/atau antargolongan; d. menistakan,
melecehkan,
dan/atau
mendoai nilai-nilai agama; e. mendorong khalayak umum melakukan tindakan melawan hukum; dan/atau f. merendahkan
harkat
dan
martabat
manusia. Isi yang diatur di dalam perfilman juga menyangkut iklan dalam film yang disebut iklan film, yang pada dasarnya secara substansi tidak boleh bertentangan dengan Pasal 6 tersebut di atas.
Secara
otentik
undang-undang
menggunakan
kalimat
larangan,
mengindikasikan
ada
ruang
ini
sehingga
batasan
bagi
pelaksanaan isi film. Sejalan dengan itu, pada pasal-pasal lainnya juga dibatasi isi film yang berkaitan adanya
dengan kewajiban
mencegah
beredarnya bagi
masuknya
film,
yakni:
pemerintah
untuk
film
impor
yang
bertentangan dengan nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan, dan budaya bangsa (Pasal 41). Tentang beredarnya film atau iklan film ini, juga harus mendapatkan dengan tanda lolos uji yang disebut dengan surat tanda lulus sensor dari lembaga sensor film (Pasal 57-58).
171
Ada yang menarik yang dapat menjadi perhatian juga, yakni bahwa pada Pasal 2 dan 3, pemerintah
berkewajiban
melindungi
dan
memfasilitasi setiap produksi film. Sedangkan pada Pasal 17 tertera bahwa pembuat film wajib melaporkan judul, isi, dan rencana produksi film
kepada
Kementerian
Kebudayaan
dan
pariwisata sebelum memulai proses produksi. Jadi semenjak awal ada upaya untuk membuka ruang produksi film kepada pemerintah dengan maksud agar ada kejelasan tentang hal apa yang hendak dibuat (film).
B. Kebebasan Berekspresi dalam Peraturan Tentang Media di Indonesia Media berpijak pada ideologi yang berorientasi kepada massa, sehingga media menjadi sarana atau lembaga sosial yang memiliki pengaruh dalam perkembangan kehidupan masyarakat dewasa ini. Media dalam kerangka yang demikian memiliki beberapa fungsi yang antara lain130: 1. Fungsi informasi: bahwa media telah menjadi alat untuk mencari dan mendapatkan informasi bagi masyarakat. 2. Fungsi agenda: bahwa media menjadi agenda kerja
130
bagi
masyarakat,
dimana
masyarakat
Hari Wiryawan, Dasar-Dasar Hukum Media. Pustaka Pelajar; Yogyakarta, 2007. Hal. 60-62.
172
memiliki rencana-rencana oleh karena pengaruh media. 3. Fungsi
penghubung
orang:
bahwa
medi
memberikan peluang bagi masyarakat untuk mengetahui keadaan, posisi dan kegiatan orang lain di tempat lain, sehingga dengan demikian media
menjadi
alat
untuk
menghubungkan
manusia yang satu dengan yang lainnya. 4. Pendidikan: bahwa media memberikan pesan tentang pendidikan. 5. Fungsi
membujuk:
kekuatan
untuk
bahwa membujuk
media atau
memiliki merayu
pendengar, penonton atau pembacanya demi melakukan sesuatu. 6. Fungsi menghibur: bahwa media memberikan hiburan melalui apa yang ditampilkan dan disebarkan olehnya. Sedangkan dalam kaitannya dengan isi dan jenis media, ada perbedaan antara jenis media yang satu dengan jenis media yang lain. Media meliputi media
cetak
dan
media
elektronik,
yang
di
dalamnya terdapat pers cetak dan pers penyiaran. Pers menjadi bagian yang tidak dapat dilepaskan dari kedua jenis media ini, karena pers yang kemudian menjiwai keberadaan media cetak dan penyiaran. Media setidaknya terdiri dari jenis media cetak dan media penyiaran. Media cetak isinya sebagian besar adalah karya jurnalistik, sedang 173
media penyiaran sebagian besar adalah bukan jurnalistik.131
karya
Untuk
mengatur
media,
dibentuklah hukum media yang menjadi sarana regulasi dan bertujuan untuk mengatur media massa. Disebut dengan hukum media, dikarenakan merupakan
kumpulan
dari
berbagai
peraturan
perundang-undangan yang mengatur bidang-bidang media yang berbeda. Meskipun sebenarnya bila dilihat
aspek-aspek
pengaturannya
memiliki
kemiripan satu sama lain. Demikian sehingga hukum
media
mengenai
sebagai hukum
ketentuan-ketentuan
yang
mengatur
media
massa,
sebagai alat komunikasi massa. Hukum media sendiri meliputi hukum media cetak, hukum media penyiaran, film, hukum siber (cyber law), dan hukum pers (baik pers cetak, penyiaran maupun pers
via
dalamnya
internet). adalah
Ketentuan yang
yang
mengenai
diatur isi
di
media,
prosedur penggunaan media, kepemilikan media, dan
sebagainya,
yang
kesemuanya
melibatkan
media sebagai obyek sentralnya. Pada
situasi
yang
demikian,
maka
memunculkan konsepsi mendasar, yakni bahwa ada
alasan-alasan
penting
mengapa
kemudian
media harus diatur. Bertolak dari kepentingan hak asasi manusia, maka ada beberapa hal yang menyebabkan
media
harus
diatur.
Pertama,
pertimbangan kepentingan umum atau kepentingan 131
Ibid. Hal. 67.
174
publik. Bahwa pernyataan pendapat, apapun itu, berkaitan dengan keberadaan media sebagai alat untuk menyebarluaskan. Demikian maka media pada dasarnya menjadi alat untuk menyatakan pendapat
secara
masyarakat.
luas
Media
yang
digunakan
kemudian
menjadi
oleh
penting
untuk diatur, dimana media harus mendapatkan perlindungan dari upaya-upaya pengekangan atau gangguan-gangguan terhadap pernyataan pendapat. Media
diatur
agar
masyarakat
hambatan-hambatan
yang
terhindar
dari
berakibat
pada
terganggunya hak asasi manusia. Di sisi lain, ada kepentingan bisnis yang menyertai hadirnya media. Pengelolaan media oleh subyek-subyek organisasi/lembaga, menyebabkan ada orientasi bisnis yang juga berpengaruh pada kepentingan
ekonomi.
berhadap-hadapan dimana
dengan
kepentingan
berorientasi
Kepentingan
bisnis
bisnis
kepentingan
privat
ini
bisnis,
organisasi
mempengaruhi
yang aspek
kepentingan umum. Demikian maka hukum media hendak menjembatani tiga unsur utama: media, kepentingan bisnis dan kepentingan umum.132
132
Pendapat Hari Wiryawan mengemukakan bahwa hukum media dibentuk dari tiga inti dasar: media, kepentingan umum dan kepentingan privat perusahaan. Hukum media hendak menjaga agar kepentingan umum dapat terjaga dari media, dan tetap menyadari bahwa media harus menghidupi dirinya sendiri. Lihat: Hari Wiryawan, op. cit. Hal. 134.
175
Bilamana
media
harus
diatur
di
dalam
hukum, maka yang harus dicermati dalam konteks ini
adalah
bagaimana
kebebasan
berekspresi
diberikan ruang untuk ‘bebas’ dan ‘diatur’ olehnya. Kebebasan
berekspresi,
sekali
lagi
merupakan
bagian dari hak asasi manusia, menggunakan media
sebagai
wadah
untuk
menegaskan
eksistensinya. Media adalah salah satunya. Media dewasa ini menjadi saluran utama bagi upaya mengembangkan kebebasan berekspresi. Sejalan
dengan
hal
tersebut,
ada
tujuh
penyimpangan media yang dikemukakan oleh Paul Jhonson demikian133: Pertama, distorsi informasi, yakni praktek mengurangi hal penting atau malah menambahkan hal
yang
tidak
rekonstruksi
penting
pemberitaan
bagi
publik
terhadap
(pola suatu
pemberitaan). Kedua, dramatisasi fakta palsu, yang dilakukan dengan bertumpu pada kekuatan narasi dari narrator. Ketiga, mengganggu privasi, alibi demi kepentingan publik dengan cara memaksa nara
sumber
sesuatu
yang
untuk
bersedia
sifatnya
menyampaikan
privasi.
Keempat,
pembunuhan karakter, dengan mencari sisi gelap atau
kesalahan
seseorang
yang
dikemukakan
dengan penuh tendensius.
133
Paul Jhonson dalam Iswandi Syahputra, Rezim Media: Pergulatan Demokrasi, Jurnalisme, dan Infotaiment dalam Industri Televisi, PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2013. Hal.38-40.
176
Kelima,
eksploitasi
memanfaatkan dikonstruksi
seks,
eksistensi
secara
dengan
perempuan
seksual,
dari
yang
penggunaan
kostum yang minim sampai dengan menonjolkan bagian-bagian Keenam,
tertentu
meracuni
dari
tubuh
benak/pikiran
perempuan. anak,
yakni
dengan mengeksploitasi kesadaran berpikir anak secara
tidak
normal
padahal
tidak
mendidik
(memaksa anak berperan dalam sebuah adegan agar
tayangan
seakan-akan
layak
dikonsumsi
anak). Dan ketujuh, penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), dimana ada produksi opini dan mendistribusikannya sebagai wacana yang dapat membentuk dan menggiring opini publik lewat mass deception. Perkembangan media dan hukum media, tidak
dapat
dilepaskan
dari
eksistensi
hak,
khususnya hak atas kebebasan berekspresi. Perlu diamati
dan
dikaji
bagaimana
kebebasan
berekspresi yang dimaksud dalam pelbagai konsep yang
universal
tentang
hak,
untuk
kemudian
diakomodasi di peraturan perundang-undangan di bidang
media.
Berkaitan
dengan
tujuan
atau
orientasi pada bisnis media, maka setidak-tidaknya UU Pers, UU Penyiaran, UU ITE dan UU Perfilman dapat menggambarkan bagaimana isi media dapat ditampilkan secara bertanggung jawab. Masingmasing undang-undang memiliki muatan tersendiri mengenai isi yang hendak disampaikan kepada 177
khalayak. berbeda,
Meskipun namun
media
pada
yang
titik
digunakan
tertentu
terdapat
identitas, yang notabene adalah implementasi dari kebebasan berekspresi, dalam kerangka prinsip yang identik. Berkaitan dengan hal tersebut, keberadaan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008
tentang
Pornografi,
dan
Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2008 tentang Kebebasan Informasi Publik (KIP) memang tidak dapat dilepaskan dari eksistensi hak atas kebebasan berekspresi. Akan tetapi
ketiga
undang-undang
tersebut
dalam
penulisan ini tidak dapat dikaji secara mendalam, khususnya
dalam
hal
isi
media.
UU
Telekomunikasi, UU Pornografi dan UU KIP tidak mengatur mengenai isi media sebagai isu utama dalam dilihat,
perkembangan memang
bisnis
UU
media.
Pornografi
Bilamana mengatur
bagaimana pornografi di media massa, namun perihal pornografi hanya menjadi sebagian kecil isu dalam kebebasan berekspresi. Pornografi bukanlah satu-satunya isu sentral di isi media yang diatur di dalam empat peraturan perundang-undangan yang menjadi norma dasar isi media di Indonesia. Sementara itu, UU Telekomunikasi mengatur hal
teknis
bagaimana bentuk 178
yang
berbeda.
telekomunikasi
infrastruktur,
Selain dibangun
namun
juga
mengenai sebagai mengatur
mengenai perkembangan teknologi informasi di Indonesia.
UU
Telekomunikasi
juga
mengatur
mengenai tata cara penggunaan teknologi informasi yang tidak berhubungan erat dengan isi media secara langsung dan hanya mengatur hal-hal yang bersifat teknis. Pengaturan tersebut menjadi tidak dapat dijadikan titik tolak dalam penulisan ini dikarenakan isu mengenai isi media tidak menjadi fokus utama, sehingga UU Telekomunikasi tidak mengatur secara detail. UU
KIP
perwujudan
memang
merupakan
kebebasan
salah
berekspresi,
satu yakni
menekankan pada penyelenggaraan negara yang harus dilakukan secara terbuka atau transparan. Undang-undang ini juga menjamin setiap orang untuk memperoleh informasi publik sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Implikasinya
adalah bahwa masyarakat terlibat lebih banyak dalam
penyelenggaraan
negara,
yakni
dapat
mengawasi serta terlibat saat proses penentuan kebijakan
publik.
akhirnya
akan
Keterlibatan menghasilkan
tersebut
pada
penyeleggaraan
negara yang lebih berkualitas. Partisipasi seperti itu menghendaki
adanya
jaminan
terhadap
keterbukaan informasi publik. Berbeda dengan fokus pada peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai
media,
UU
KIP
menjadi
landasan hukum bagi keberadaan masyarakat yang harus memiliki akses terhadap penyelenggaraan 179
negara yakni hak setiap orang untuk memperoleh informasi publik, kewajiban setiap badan publik menyediakan dan melayani permintaan informasi secara
cepat,
tepat
waktu,
biaya
ringan/
proporsional, dan dengan cara sederhana, serta informasi dengan pengecualian yang bersifat ketat dan terbatas, sekaligus kewajiban badan publik untuk
membenahi
sistem
dokumentasi
dan
pelayanan informasi. Oleh karenanya, UU KIP hanya mempertegas eksistensi kebebasan berekspresi dalam rangka hubungan
masyarakat
dengan
negara,
yakni
khusus mengenai penyelenggaraan negara yang bertanggungjawab.
UU
KIP
tidak
secara
komprehensif memberikan landasan bagi isi media yang pada masa ini berkembang sebagai komoditas bisnis
media.
Demikian
sehingga,
UU
Telekomunikasi, UU KIP dan UU Pornografi tidak menjadi
landasan
isi
media
yang
merupakan
representasi kebebasan berekspresi berdasarkan Pasal
28F
UUD
1945
Amandemen.
Meskipun
demikian, secara substansial, dapat membentuk kerangka hukum media yang dapat mendukung implementasi
keempat
undang-undang
tentang
media di Indonesia. Kebebasan
berekspresi
hendak
dilihat
bagaimana cakupan dan batasannya yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan. Hal yang pasti menjadi perhatian adalah bagaimana undang180
undang
tersebut
mampu
memberikan
sarana
perlindungan, secara otentik, maupun prakondisi yang dibentuk demi tujuan dan asas kebebasan berekspresi
itu
sendiri.
Undang-undang
selain
memberikan pengakuan terhadap eksistensi hak, juga mempengaruhi bagaimana nantinya aktivitasaktivitas ekonomi dan bisnis di bidang media. Ruang
lingkup
penting
dan
manakala
batasan bisnis
menjadi
media
semakin
berkembang,
dikarenakan komoditas yang disebarluaskan adalah isi media itu sendiri. Isi media, baik isi pers, penyiaran, internet dan
film,
yang
kemudian
disebarluaskan,
mengandung minimal dua sisi kepentingan. Isi media berdiri diantara kepentingan perlindungan hak asasi manusia dengan kepentingan bisnis media yang berkembang di lingkungan masyarakat. Pada sisi sebagai hak asasi adalah jelas, yakni bagaimana harus
kebebasan
dilindungi
berekspresi
negara,
melalui
sebagai
hak
seperangkat
ketentuan dan kebijakan-kebijakan lainnya yang mendukung eksistensinya sebagai hak. Namun di sisi lain kebebasan berekspresi menjelma menjadi sebuah komoditas yang merupakan kunci dalam perkembangan bisnis media, yakni obyek untuk ditampilkan sekaligus ‘dijual’ demi mendapatkan keuntungan. berekspresi
Dengan
demikian,
mempertemukan
kebebasan
(minimal)
dua
kepentingan yang saling bersinggungan, sehingga 181
perlu
dicermati
bagaimana
bisnis
media
berkembang tanpa meninggalkan sisi perlindungan hukum atas hak. Diperlukan keseimbangan, untuk mengatur dan menempatkan aspek bisnis tanpa melukai aspek hak asasi manusia. 1. Prinsip-Prinsip
Perlindungan
Hukum
Kebebasan Berekspresi dan Isi Media Mengatur peraturan
penetrasi
bisnis
perundang-undangan
khususnya
mengenai
apa
media
melalui
tentang
media,
yang
hendak
disebarluaskan, menitik beratkan pada bagaimana ada keseimbangan antara aspek hukum dengan aspek bisnis. Pertemuan keduanya menentukan bagaimana perkembangan media sebagai bisnis sekaligus sebagai wujud kebebasan. Oleh karena itu,
muatan
pers,
muatan
penyiaran,
muatan
internet serta muatan film, dapat diatur dengan bijaksana. Setidak-tidaknya ada dua konvensi tentang hak asasi manusia yang dapat menjadi referensi utama
dalam
mengimplementasikan
kebebasan
berekspresi di dalam konstitusi negara-negara yang meratifikasinya. UDHR dan ICCPR menjadi rujukan utama. Khususnya mengenai muatan media yang berhubungan erat dengan kebebasan berekspresi, UDHR dan ICCPR memberikan nilai pengakuan sebagai
hardlaw
yang
menginspirasi
perkembangan hukum di bidang media. 182
adanya
Salah satu kewajiban yang harus dilakukan bagi
negara-negara
yang
telah
meratifikasi
konvensi, termasuk Indonesia, maka ada kewajiban untuk
mengadopsi
substansi
konvensi
dalam
peraturan perundang-undangan dan atau bahkan melakukan
upaya-upaya
lain
tang
dapat
memberikan perlindungan hukum bagi hak-hak tersebut. Sebagai hak, maka kebebasan berekspresi yang
dilindungi
mendasar,
di
dalam
Indonesia
konvensi,
secara
telah
berani
mencantumkannya di dalam konstitusi. Di dalam UUD
1945
Amandemen
(yang
kedua),
mencamtumkan ada tiga pasal yang secara khusus dan
tegas
memuat
jaminan
atas
kebebasan
berekspresi, yakni: Pasal 28 Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Pasal 28 E ayat (3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Adapun di dalam UUD 1945 Amandemen, terdapat satu ketentuan di dalam Pasal 28F yang memberikan pernyataan yang menegaskan adanya hal
khusus
terkait
jaminan
terhadap
proses
perwujudan kebebasan berekspresi, demikian: 183
Pasal 28F Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Keberadaan
pasal-pasal
tersebut
telah
membuat tegas bahwa negara di dalam konstitusi, memberikan
perlindungan
terhadap
kebebasan
berekspresi (apapun bentuk kalimatnya). Ketiga pasal tersebut menjadi dasar konstitusional yang (seharusnya) dijadikan acuan untuk pembentukan peraturan
perundang-undangan
tentang
media.
Pertanyaan yang dapat diajukan dalam konsep hak berkaitan dengan yang tercantum di atas adalah apakah
pasal-pasal
tersebut
mampu
mengakomodasi
dapat
dikatakan
prinsip-prinsip
hukum
internasional. Keberadaan
Pasal
28
UUD
1945
pada
dasarnya tidak dapat dilepaskan dari prinsipprinsip hukum internasional yang diakui di dalam UDHR dan ICCPR yang berkaitan dengan pengakuan terhadap hak atas kebebasan berekspresi. Akan tetapi
perlu
keterkaitan
diperhatikan dan/atau
pula,
pengaruh
apakah
ada
langsung
dari
prinsip hukum internasional yang menginspirasi adanya perubahan (melalui penambahan) Pasal 28 UUD 1945 Amandemen tersebut. 184
Pengakuan sebagai
hak
demokrasi,
atas
yang
kebebasan
penting
sebelum
di
berekspresi
dalam
disahkannya
ruang
UDHR,
pada
sidang pertama PBB tahun 1946 sudah dinyatakan bahwa Resolusi PBB No. 59 (I) bahwa hak atas informasi
merupakan
hak
asasi
manusia
fundamental dan standar dari semua kebebasan yang
dinyatakan
‘suci’
oleh
PBB.
Dengan
meratifikasi konvensi-konvensi tersebut, maka ada kewajiban
bagi
pemerintah
untuk
mengimplementasikan nilai-nilai universal dalam peraturan perundang-undangan. Ketentuan Amandemen
dalam
adalah
Pasal
jelas,
28
UUD
bahwa
1945
ada
segi
pengakuan terhadap hak di dalam konstitusi. Hak yang tercantum dengan demikian dapat disebut sebagai hak konstitusional, yang berarti bahwa hak itu berasal dari undang-undang dasar. Berkaitan dengan isi media, maka di dalam UUD 1945 Amandemen tidak menyatakan ketegasan tentang apa yang dapat dimuat. Akan tetapi, dengan memberikan
landasan
konstitusi,
maka
implementasi soal isi (atau informasi dan pendapat) dapat disebarluaskan melalui berbagai cara dan sarana. Penjabaran terhadap Pasal 28 UUD 1945 ini menimbulkan Secara
berbagai
proporsional,
macam
akan
ada
muatan tarik
politis.
menarik,
dinamis, sesuai dengan perkembangan masyarakat dan stabilitas negara. Pembentukan hukum yang 185
berkaitan dengan Pasal 28 tersebut, diarahkan pada fungsi hukum sebagai pengontrol berbagai institusi kemasyarakatan
dan
kenegaraan.
Fungsi
ini
menciptakan dua hal, preventif dan represif. Fungsi preventif
sebagai
bentuk
pencegahan
dalam
berbagai aturan yang bersifat prevention regulation, yakni
desain
dari
tiap
tindakan
yang
akan
dilakukan oleh masyarakat. Di sisi lain, ada fungsi represif yakni mengajukan penanggulangan sebagai penyelesaian sengketa atau pemulihan keadaan yang diakibatkan adanya perencanaan tindakan tersebut.134 Kebebasan
berekspresi
sebagai
hak
yang
kemudian harus diatur dan dikelola dengan tepat berkaitan dengan akomodasi peraturan perundangundangan nasional tentang media. Implikasi dari adanya peraturan perundang-undangan tentang media adalah bagaimana peraturan perundangundangan tersebut dapat mengimplementasikan prinsip-prinsip dasar kebebasan berekspresi dalam konvensi. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka hubungan antara konvensi, UUD 1945 dan undangundang
yang
perlindungan dalam
isi
dibentuk terhadap
media
yang
untuk
kepentingan
kebebasan berdasarkan
berekspresi peraturan
perundang-undangan, dapat dilihat dalam bagan berikut: 134
Samsul Wahidin, op.cit. Hal. 63-65.
186
Bagan 3.1. Konvensi, UUD, dan Undang-undang UDHR (Article 19)
+ ICCPR (Article 19 Section 2)
UUD 1945 Pasal 28 dan Pasal 28F
UU 39/1999 Pasal 23 Ayat (2)
UU 40/1999 Pers
UU 32/2002 Penyiaran
UU 11/2008 ITE
UU 33/2009 Perfilman
Prinsip-prinsip yang tertuang dalam Article 19 UDHR dan Article 19 ICCPR menjadi inspirasi bagi muatan materi di dalam konstitusi maupun dalam peraturan perundang-undangan. Keberadaan Pasal 28
UUD
1945
mengatur
bahwa
kemerdekaan
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan ditetapkan dengan undang-undang, yang kemudian ditimpali dengan Pasal 28F yang membebaskan segala
saluran
informasi,
maka
terbentuklah
undang-undang tentang pers, penyiaran, internet dan film. Undang-undang tersebut tetap harus menjunjung tinggi pemaknaan terhadap hak asasi. Pada sisi yang lain, sebenarnya kebebasan berekspresi juga dilindungi di dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yakni 187
pada Pasal 23 ayat (2) yang menyatakan bahwa setiap
orang
bebas
untuk
mempunyai,
mengeluarkan dan menyebarluaskan
pendapat
sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektonik dengan memperhatikan ketertiban,
nilai-nilai
kepentingan
agama,
umum,
kesusilaan,
dan
keutuhan
bangsa. Hal ini berarti bahwa undang-undang tentang
hak
landasan
asasi
hukum
manusia sebagai
juga
memberikan
jaminan
terhadap
kebebasan berekspresi di dalam hukum nasional. 2. Menjamin Hak atas Kebebasan Berekspresi di dalam Hukum Nasional Memberikan
jaminan
terhadap
kebebasan
berekspresi melalui peraturan perundang-undangan memberikan
tantangan
tersendiri
pembentuk
undang-undang.
bagi
Selain
para harus
memperhatikan struktur dan bentuk perlindungan, yang
paling
bagaimana
harus substansi
menjadi
perhatian
undang-undang
adalah mampu
secara komprehensif menjangkau semua prinsip nilai yang berkembang secara universal dan secara potensial dapat memenuhi ekspektasi perlindungan hukum bagi masyarakat adresaat, yakni warga negara Indonesia.
188
Dalam hal ini ada tiga konsepsi mendasar di dalam konvensi yang harus menjadi perhatian, yakni:
pertama,
pendapat
tanpa
hak
untuk
dibatasi.
menyampaikan
Kedua,
hak
untuk
mencari, menerima dan memberikan informasi dan gagasan. Dan ketiga, jenis informasi dan gagasan yang dilindungi. Peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur tentang media, terbagi atas undang-undang tentang pers, penyiaran, cyber, dan perfilman. Masing-masing mengatur secara tersendiri tentang bagaimana mengimplementasikan isi media. Mengenai muatan isi media, khususnya isi pers sendiri, sebenarnya ada prakondisi tertenty yang harus diciptakan pers, yaitu pertama informasi yang disampaikan mampu menciptakan komunikasi yang efektif. Artinya penyampaian informasinya memenuhi
kebutuhan
khalayak
dan
mencapai
sasaran sesuai dengan kehendak penyaji informasi. Kedua, informasi yang disampaikan pers mampu melampaui fungsi pers yang sebenarnya. Artinya bahwa
pers
tidak
hanya
memberikan
fakta,
menerjemahkannya ke dalam bahasa yang dapat dimengerti, bahasa
tapi
yang
menerjemah-kannya dapat
dimengerti,
ke tapi
dalam juga
mmepromosikan sesuatu sehingga khalayak jadi
189
berpikir, yang pada gilirannya mampu bertindak memperbaiki hidupnya dari hari ke hari.135 Pengakuan terhadap kebebasan berekspresi menjadi kunci dalam pelaksanaan perlindungan hak tersebut. Substansi dasar “Everyone shall have the right to freedom of expression” menyiratkan bahwa pelaksanaan kebebasan berekspresi dapat dimuat dan diatur baik dalam konstitusi maupun di dalam
undang-undang
Kemerdekaan melalui
untuk
berbagai
tentang
media.
mengeluarkan
pendapat
saluran
yang
tersedia,
yang
kemudian dijamin di dalam konstitusi dan undangundang,
memberikan
kesempatan
kepada
masyarakat untuk memperoleh informasi. Tentang pengakuan
atas
kebebasan
berekspresi
dapat
dilihat dalam tabel berikut:
135
Ana Nadhya Abrar, Analisis Pers: Teori dan Praktik. Cahaya Atma Pustaka; Yogyakarta, 2011. Hal. 39.
190
Tabel 3.3. Pengakuan Kebebasan Berekspresi sebagai Hak UDHR dan ICCPR Pengakuan “Everyone shall have the right to freedom of expression”
UUD 1945 Dimuat dalam Pasal 28, dan terutama Pasal 28F
UndangUndang UU Pers
UU Penyiaran
UU ITE UU Perfilman
Pernyataan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi manusia yang berdasar prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. (Pasal 4) Dinyatakan dalam bagian “Menimbang” bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat dan memperoleh informasi melalui penyiaran sebagai wujud hak asasi manusia. Tidak ada dan tidak diatur. Tidak tegas diatur namun dinyatakan bahwa kegiatan perfilman dan usaha perfilman dilakukan dengan berdasar kebebasan berkreasi, berinovasi, dan berkarya (Pasal 5)
Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers
menjadi
menekankan
undang-undang adanya
pertama
kebebasan
pers
yang yang
bertanggung jawab. Kebebasan adalah suatu yang bersifat asasi, pada umumnya dipahami bahwa kebebasan harus ada pada setiap insane manusia. Undang-undang ini juga memberi jaminan bahwa terhadap
pers
penyensoran,
nasional
tidak
dikenakan
pembredelan
atau
pelarangan 191
penyiaran. UU Pers menjamin tiga lingkup kegiatan dalam
kebebasan
mencari,
berekspresi,
memperoleh
dan
diantaranya:
menyebarluaskan
gagasan dan informasi. Hak tolak diperkenalkan sebagai hak yang dijamin oleh undang-undang, yang
digunakan
oleh
wartawan
untuk
mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum. Sejalan dengan hal tersebut, disusun dan diterbitkan pula Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Salah satu isu utama dalam pembentukan undang-undang ini adalah mengenai diversity of content atau keberagaman media,
disamping
ownership.
isu
Bagi
lain
yakni
kebebasan
diversity
of
berekspresi,
keberagaman media yang diatur di dalam UU Penyiaran penting untuk diamati, yakni bagaimana perlindungan dilakukan terhadap pengguna media termasuk kelompok minoritas agar dapar menerima gagasan dan informasi yang tersedia. Di sisi lain, perkembangan media massa modern juga menuntut negara untuk mencegah adanya monopoli dan menjamin
adanya
keberagaman
media.136
Manifestasi kebebasan berekspresi di dalam UU Penyiaran,
mengindikasikan
karakter
konsep
perlindungan terhadap kebebasan berekspresi di ranah penyiaran.
136
Lihat Putusan MK No. 78/PUU-IX/2011.
192
Dalam perkembangan penyiaran, beberapa hal menjadi perhatian, yakni bagaimana siaran dilakukan dan muatan-muatan siaran. Terdapat syarat-syarat
tertentu
yang
secara
konseptual,
mendasari tentang muatan siaran. Salah satunya dalam kutipan berikut ARTICLE 19 memberikan gambaran: Furthermore, the public service remit of these broadcaster must be clearly set out in law and must include the following requirements: (1) provide quality, independent programming which contributes to a plurality of opinions and an informed public; (2) provide comprehensive news and current affairs programming which is impartial, accurate and balanced; (3) provide a wide range of broadcast material which strikes a balance between programming of wide appeal and specialized programmes that serve the needs of different audiences; (4) be universally accessible and serve all the people and regions of the country, including minority groups; (5) provide educational programmes and programmes directed towards children; and (6) promote local programme production, including through minimum quotas for original productions and material produced by independent producers.137
Undang-Undang
Nomor
32
Tahun
2003
tentang Penyiaran mengatur bahwa isi siaran harus sesuai dengan asas, tujuan, fungsi dan arah siaran yang sesuai dengan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, dan 137
Access to the Airwaves, note 31 on page 21, Principle 37.
193
Pasal 5 undang-undang tersebut. Asas dan arah tersebut penting untuk menjadi koridor utama bahwa penyiaran akan dilaksanakan dengan tetap memperhatikan kepentingan-kepentingan nasional yang terpengaruh oleh perkembangan penyiaran di Indonesia. Demokratisasi penyiaran yang menjadi isu utama sehingga perlu dibentuk undang-undang ini, tidak hanya mengeliminasi terpusatnya kekuatan monopoli ekonomi pada satu kelompok, tetapi juga dapat mencegah terjadinya pemusatan opini dan rekayasa sosial sesuai dengan yang dikehendaki oleh kelompok tertentu. Demokratisasi penyiaran juga memberikan peluang bagi adanya keterbukaan ruang
publik
yang
jauh
lebih
luas,
dengan
keberagaman opini dan kemudahan akses bagi seluruh pihak.138 Pantas menjadi fokus apakah ketentuan di dalam undang-undang penyiaran, khususnya pada bagian ketentuan mengenai isi siaran, mampu menyediakan jaminan yang cukup bagi kebebasan berekspresi. otentik
Perlu
diperhatikan
undang-undang
bahwa
penyiaran
secara memuat
mengenai hal-hal apa saja yang dapat disiarkan oleh lembaga-lembaga penyiaran. Isu yang sentral yang
didengungkan
tentang
isi
siaran
adalah
tentang diversity of content, dimana undang-undang ini mampu menjadi payung perlindungan akan 138
Judhariksawan. Op. cit. Hal. 93.
194
keberagaman isi. Kebebasan untuk mewujudkan hak kebebasan berekspresi pada beragamnya isi yang disiarkan (atau disebarluaskan) oleh lembagalembaga penyiaran, merupakan hak subyek media. Isu ini juga berkaitan erat dengan isi yang diatur di dalam Undang-Undang Perfilman, yakni bahwa
secara
memberikan
substansial
kebebasan
ada
usaha
untuk
kepada
subyek
untuk
berkreasi, berinovasi, dan berkarya (lihat Pasal 5 UU No. 33 Tahun 2009). Bagian yang sangat mendasar adalah bahwa menampilkan isi oleh pers, penyiaran dan perfilman sebagaimana diatur dalam undang-undang, memberikan jaminan kebebasan untuk menuangkan segala hal tentang ekspresi subyek. Penekanan ini ada pada bagaimana titik tolak pengembangan prinsip konvensi yakni hak untuk menyampaikan pendapat tanpa dibatasi. Pers
yang
memiliki
fungsi
untuk
media
informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial, berbarengan dengan penyiaran yang memiliki fungsi sebagai
penyedia
saluran
untuk
mendapatkan
informasi, dari sarana elektronik (radio, televisi) serta film yang sebagai produk kebudayaan yang disebarkan. Hal berbeda adalah bahwa UU ITE tidak menyatakan
adanya
pengakuan
terhadap
kebebasan berekspresi sebagai hak. UU ITE sendiri dilibatkan dalam konteks hukum media oleh karena UU
ITE
masih
menjadi
satu-satunya
undang195
undang yang mengatur media internet di Indonesia. Substansinya
sebenarnya
perkembangan
lalu-lintas
mengacu
pada
perdagangan
yang
menggunakan media internet sebagai sarananya. Akan tetapi, perlu dicermati bahwa ada muatan isi media yang diatur di dalam Pasal 27, Pasal 28 dan Pasal 29, yang memberikan batasan terhadap isi internet dalam bentuk informasi dan dokumen elektronik, dimana isi ini akan dikonsumsi secara luas oleh masyarakat pengguna internet. 3. Struktur dalam Jaminan Hukum terhadap Kebebasan Berekspresi Dibentuknya peraturan perundang-undangan tentang media, mempunyai implikasi yuridis yang berakibat pada pembentukan struktur di dalam bidang yang diatur. Struktur di bidang media muncul beriringan dengan situasi dan kondisi yang hendak dibentuk oleh negara. Pentingnya struktur ini
dimaksudkan
terutama
untuk
memberikan
kontrol terhadap substansi media yang makin berkembang teknologi
seiring
media.
dengan
Struktur
perkembangan
berkaitan
dengan
keberadaan perangkat lembaga serta aparat yang memiliki tugas dan wewenang tertentu. Isi
media
yang
menjadi
kunci
dalam
implementasi kebebasan berekspresi, perlu diawasi oleh negara, sebagai pelindung hak. Mekanisme pengawasan 196
dapat
dilakukan
dengan
metode
preventif maupun represif. Metode-metode tersebut digunakan dengan menghadirkan lembaga tertentu yang dapat menjadi representasi negara untuk melaksanakan perlindungan hukum atas hak. Masing-masing membentuk
lembaganya
undang-undang sendiri
(sesuai
pula, bidang
media) untuk sekaligus juga menjadi lembaga terdepan dalam menjamin perlindungan. Lembagalembaga ini dibentuk oleh undang-undang dengan maksud agar negara dapat dihadirkan secara fisik, yang secara etis dan norma memiliki kemampuan untuk memberikan penilaian terhadap isi media. Berikut lembaga-lembaga dimaksud: Tabel 3.4. Lembaga Negara di Bidang Media Lembaga
Tugas pokok terkait isi media
Dewan Pers
Dibentuk berdasarkan Pasal 15 UU Pers, yang pada pokoknya dimaksudkan untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, yang bersifat independen. Salah satu fungsi penting lembaga ini adalah memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.
Komisi Penyiaran Indonesia
Dibentuk berdasarkan Pasal 7 UU Penyiaran, sebagai lembaga negara independen yang mengatur hal-hal mengenai penyiaran. Dalam wewenangnya, KPI dapat menetapkan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran sekaligus menjadi pengawas yang dapat memberikan sanksi pula terhadap para pelanggar peraturan KPI tersebut.
197
Lembaga Sensor Film
Dibentuk berdasarkan Pasal 57-58 UU Perfilman. Lembaga ini bersifat tetap dan lembaga independen yang bertugas untuk melakukan penyensoran terhadap film berdasarkan pedoman dan kriteria sensor film (vide Pasal 6 dan Pasal 7).
Pembentukan tersebut
lembaga-lembaga
mengindikasikan
bahwa
khusus
negara
perlu
memberikan pengawasan langsung secara mandiri, yang melibatkan peran serta subyek-subyek yang memiliki keahlian. Kompetensi lembaga menjadi penting karena obyek yang hendak diawasi adalah produk-produk
media
yang
memiliki
kekuatan
untuk mempengaruhi khalayak. Berbeda
dengan
UU
ITE
yang
tidak
membentuk lembaga apapun dalam memberikan pengawasan terhadap konten-konten ITE. Oleh karena
bilamana
terjadi
pelanggaran
terhadap
ketentuan di dalam UU ITE, maka dapat dilakukan gugatan perdata atau tuntutan pidana yang sesuai dengan
peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku. Lembaga-lembaga
ini
memiliki
kesamaan
tugas dan wewenang, yakni memberikan penilaian terhadap
isi
dilaksanakan
media.
Tugas
dan
dengan
membentuk
wewenang peraturan-
peraturan teknis (yakni peraturan organik) yang memberikan ukuran-ukuran bagaimana isi media dapat ditampilkan dan disebarluaskan. Disamping itu, 198
lembaga-lembaga
ini
dimunculkan
oleh
peraturan perundang-undangan oleh karena alasan bahwa demi menjauhkan intervensi negara dalam aktivitas media (pers, penyiaran, internet) yang terlalu
dalam,
sehingga
menciderai
makna
kebebasan itu sendiri. Pelibatan unsur masyarakat dan para ahli dalam lembaga ini dilakukan demi menjaga arus informasi yang terbuka dan tepat sasaran. Lembaga ini juga berperan sebagai self regulatory body untuk mengatur secara teknis perihal aktivitas di dunia media. KPI misalnya, di dunia penyiaran Indonesia, berperan utama untuk menjamin perlindungan isi dari
materi
siaran
yang
berdasarkan
prinsip
diversity of content dengan: membuat peraturan penyiaran untuk menjamin kebebasan publik untuk menggunakan media, seperti yang terdapat pada Pasal 23 ayat (2) UU No. 39/1999 tentang HAM yang menyatakan bahwa setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektonik dengan
memperhatikan
nilai-nilai
agama,
kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa. Disamping kebebasan
dan
itu
KPI
juga
kemerdekaan
mendukung pers
yang
bertanggung jawab, sesuai dengan Pasal 6 UU No. 40/1999
tentang
Pers,
yakni
diantaranya
memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui dan 199
menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebhinekaan. Bahkan dalam kontek yang lebih jauh, KPI juga harus mampu menjamin
kebebasan
berkarya
dengan
tetap berpegang teguh pada nilai – nilai dan norma, serta budaya yang berkembang di Indonesia, sesuai dengan
Pasal
3
UU
No.
8/1992
tentang
Perfilman139. Melalui UU No. 40/1999 dibentuklah lembaga yang disebut dengan Dewan Pers, yang memiliki fungsi
dan
tugas
untuk
menetapkan
standar-
standar tertentu bagi ‘rasa’ profesionalitas para insan pers. Dewan Pers menyusun sistem kerja berupa: (1) Kode Praktik bagi Media Pers, yang dimaksudkan sebagai upaya pengakuan kebebasan pers dengan fungsi menjamin berlakunya etika pers dan standar jurnalistik profesional serta media yang bertanggung jawab; (2) Standar Operasional, yang difungsikan sebagai landasan dalam memberikan penilaian
dan
rekomendasi
menyangkut
pelanggaran kode etik, penyalahgunaan profesi, dan kebebasan pers; dan (3) Etika Bisnis Pers, yang menekankan
bahwa
kebebasan
pers
sebagai
institusi bisnis harus mengutamakan kepentingan publik, menghormati kode etik profesi, kejujuran 139
Pada saat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran disahkan, masih berlaku Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman yang masih berlaku, sehingga KPI bertindak juga berdasarkan nilai-nilai dan asas-asas yang diatur di undang-undang tersebut.
200
dan keadilan; mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan institusi dan perorangan, setia kepada
profesi
dan
bidang
tugasnya;
serta
140
mengutamakan supremasi hukum.
Dewan Pers dalam hubungan dengan isi media (khususnya media pers), menekankan pada hal-hal yang harus dilakukan oleh pembuat berita pers,
bukan
ditampilkan.
kepada Bahwa
muatan
kemudian
yang yang
hendak dilindungi
adalah kebebasan pers, Dewan Pers tidak serta merta turut campur memberikan batasan-batasan tentang
isi
pers.
Berbeda
dengan
KPI
yang
membentuk standar-standar tentang isi program, Dewan Pers lebih kepada mengarahkan pelakupelaku
pers
untuk
membuat
berita
yang
bertanggungjawab. Yakni berita yang dibuat dengan etika dan standar jurnalistik para pelakunya. Hal ini juga menjadi masalah tersendiri karena Dewan Pers
seharusnya
mampu
memfasilitasi
dan
mengatur distribusi media dan kesesuaian dengan segmen yang dituju sehingga mereka yang menjadi sasaran
berita
atau
konsumen
pers
tidak
mendapatkan dirinya sebagai korban. Sementara memberikan
itu,
undang-undang
wewenang
kepada
perfilman
LSF
untuk
memotong atau menghapus bagian gambar, adegan, suara dan teks terjemahan dari suatu film dan 140
Wahyu Wibowo, Menuju Jurnalisme Beretika: Peran Bahasa, Bisnis, dan Politik di Era Mondial. PT. Kompas Media Nusantara; Jakarta, 2009. Hal. 100.
201
reklame film yang tidak layak untuk dipertunjukkan dan/atau ditayangkan kepada umum ditiadakan karena dalam undang-undang yang baru pelaku usaha
perfilman
melakukan
self
sensor.
LSF
kemudian mengembalikan film yang mengandung tema, gambar adegan, suara, dan teks terjemahan yang tidak sesuai dengan pedoman dan kriteria sensor kepada pemilik film yang disensor untuk diperbaiki. Dewan
Diantara
Pers,
Komisi
eksistensi Penyiaran
lembaga,
yakni
Indonesia
dan
Lembaga Sensor Film, hanya LSF yang memiliki jangkauan
kewenangan
yang
dapat
mengatur
sampai ke dalam substansi isi media yang hendak disebarkan. LSF berwenang berdasarkan undang-undang, mengawasi isi film semenjak film tersebut hendak diproduksi
sampai
dengan
film
tersebut
disebarluaskan. LSF juga memiliki kewenangan untuk menerbitkan surat tanda lulus sensor, yang menjadi bentuk legalitas bahwa sebuah hasil dari produksi film dapat diedarkan dan disebarluaskan di Indonesia. Hanya saja pelaksanaan penyensoran ini berdasarkan prinsip dialog yang dimaksudkan agar LSF tidak ikut campur terlalu jauh dalam sebuah produksi film, khususnya dalam hal isi. Sebagai
bagian
dari
struktur,
lembaga-
lembaga ini dimungkinkan untuk bertemu dalam satu
waktu.
Pertemuan
kewenangan
tersebut
berada pada ranah publik (public sphere) yang 202
menyediakan fasilitas bagi masing-masing lembaga menunjukkan eksistensinya dalam mengatur isi media. Ranah publik menjadikan isi media menjadi bahan utama bagi Dewan Pers, KPI dan LSF untuk menyatakan bahwa isi media telah diawasi dan disebarluaskan dengan standar tertentu. Persinggungan yang terkait dengan kinerja lembaga-lembaga tersebut, yang disebabkan oleh saluran dan/atau sarana media yang digunakan untuk menyebarluaskan isi, adalah sarana yang sama. LSF dan KPI menerbitkan Memo Bersama Nomor 03/NK/KPI/X/2012 atau 2273/LSF/X/2012 yang mengatur tentang Penyensoran dan Kewajiban Pencantuman Klasifikasi Usia Penonton Film di Layar
Televisi,
yang
menyatakan bahwa
salah
KPI
dan
satu
klausulnya
LSF menegaskan
pemberlakuan ketentuan dan syarat bagi lembaga penyiaran televisi bahwa isi siaran dalam bentuk film dan/atau iklan film bagi jasa penyiaran televisi, sebagaimana
ditetapkan
peraturan
perundang-
undangan, wajib memperoleh tanda lulus sensor dari LSF. Disamping itu, KPI dan Dewan Pers juga senantiasa siaran
bersinggungan
yang
seringkali
dengan
masalah
melibatkan
hasil
isi dari
kegiatan jurnalistik, yang dilakukan oleh jurnalis (wartawan), kemudian disiarkan melalui lembagalembaga
penyiaran.
Dua
lembaga
ini
secara
bersama-sama melakukan pengawasan agar isi 203
siaran, tunduk pada ketentuan pada UU Pers dan UU Penyiaran yang mengakomodasi kepentingan yang sama di bidang media, terutama dalam hal produk jurnalistik yang disebarluaskan melalui media penyiaran. 4. Limitasi Kebebasan Berekspresi dalam Isi Media Pembatasan terhadap kebebasan berekspresi sebagai hak, maka pembatasan tersebut berhadaphadapan
dengan
konsepsi
hak
kebebasan
berekspresi sebagai derogable right dan inalienable right.
Keterkaitannya
sebagai
hak,
batasan
menentukan
kebebasan
yang
bagaimana
berekspresi
memadai,
sah
diberikan
dan
tidak
mengintervensi terlalu jauh. Kebebasan sendiri memang bersifat asasi, namun tidak kemudian diartikan sebagai sebebas-bebasnya dalam artian yang deskriptif. Akan ada senantiasa pembatasan baik oleh kelemahan yang bersifat internal (psikis, moral) maupun oleh batasan yang bersifat eksternal seperti paksaan dan sejenisnya.141 Pada
pembahasan
di
bab
sebelumnya,
dinyatakan bahwa kebebasan berekspresi memiliki batasan-batasan internasional.
yang
ditetapkan
Batasan-batasan
oleh
hukum
tersebut
adalah
batasan yang penting, baik oleh siapa batasan itu 141
Samsul Wahidin, Hukum Pers. Cet ke-1. Pustaka Pelajar; Yogyakarta, 2006. Hal.55.
204
dibuat, konsekuensi, dan landasan yang paling sah untuk menetapkan batasan tersebut. John Stuart Mill142
memandang
menyatakan
bahwa
penting “even
hal
ini,
opinions
dengan
lose
their
immunity when the circumstances in which they are expressed are such as to constitute their expression a positive instigation to some mischievous act”. Pandangan
tersebut
bermaksud
mengemukakan tentang tindakan kekerasan dapat muncul
dengan
dibiarkannya
kebebasan
berekspresi diwujudkan tanpa batas, yang justru menimbulkan efek negatif. Oleh karena kovenankovenan
telah
diratifikasi
di
Indonesia,
maka
batasan yang ditetapkan oleh hukum internasional sudah sepantasnya menjadi acuan bagi peraturan perundang-undangan tentang media di Indonesia agar sejalan dengan hukum internasional. Dalam perkembangan
hak
asasi
manusia
secara
internasional, hak asasi manusia bisa dibatasi secara hati-hati. Kovenan sendiri mengakui bahwa hak
atas
kebebasan
berekspresi
menerbitkan
kewajiban dan tanggung jawab khusus. Pada masa lalu di Indonesia dikenal adanya frasa “bebas yang bertanggung jawab”, dimana frasa ini menjadi isu yang khas. Akan tetapi, pada masa itu pula, 142
John Stuart Mill memberikan kata kunci ‘instigation’ atau ‘penghasutan’ yang tersirat dalam keadaan bebas berkata-kata, yang dapat mendorong timbulnya tindakan-tindakan kekerasan yang membahayakan jiwa. Lihat: John Stuart Mill, On Liberty, Chapter III, On Individuality, As One of The Element of Well Being. 1859. (http://www.utilitarianism.com/ol/three.html).
205
pembatasan
yang
demikian
dengan kenyataan. pengekangan
bertolak
belakang
Faktanya pada masa lalu,
terhadap
kebebasan
cenderung
represif.
Berbagai
mengenai
persoalan
“bebas
berekspresi
upaya yang
pengertian bertanggung
jawab” diakomodasi dalam hukum internasional sebagaimana
tercantum
dalam
ICCPR
tadi.
Rumusan mengenai “kewajiban dan tanggung jawab khusus”, diurai di dalam Article 19 ICCPR.143 Beberapa hal yang menjadi pertimbangan dalam melakukan pembatasan terhadap wujudwujud
kebebasan
berhadap-hadapan
berekspresi dengan
public
diantaranya order,
public
health, public moral, national security, public safety, dan rights and freedoms of
others.
Peraturan
perundang-undangan
media
kemudian
tentang
harus memperhatikan hal-hal tersebut, bilamana aspek
legalitas
untuk
melakukan
pembatasan
(prescribed by law) sebagai dasar, tanpa melukai makna kebebasan itu sendiri. ICCPR yang telah berlaku di Indonesia sejak diratifikasi
melalui
Undang-Undang
Nomor
12
Tahun 2005, memperkenankan pembatasan hak asasi 143
dengan
dilakukannya
three
part
test.144
Dalam konteks yang lebih seimbang, kebebasan itu harus senantiasa dibarengi dengan tanggung jawab, bahkan bila diperhadapkan pada kebebasan dalam arti sosial. Kebebasan dalam arti sosial tersebut, mengharuskan seseorang untuk melakukan tindakan dengan memperhatikan kebebasan orang lain yang juga mempunyai hal yang sama. Lihat Samsul Wahidin, op. cit. Hal. 56 144 Lihat Article 18 section 3 ICCPR yang naskah aslinya berbunyi: “Freedom to manifest one’s religion or beliefs may be subject only to such limitations as are
206
Pertama,
pembatasan
harus
dilakukan
hanya
melalui undang-undang. Kedua, pembatasan hanya diperkenankan terhadap tujuan yang sah yang telah disebutkan dalam Article 19 section 3 ICCPR. Ketiga,
pembatasan
tersebut
benar-benar
diperlukan untuk menjamin dan melindungi tujuan yang sah tersebut. Dengan berpijak pada konsepsi tersebut, maka pembatasan terhadap kebebasan berekspresi (sebagai hak) tetap dapat dilakukan dengan
prasyarat
tertentu.
Permasalahannya
adalah bagaimana kerangka hukum nasional untuk memberikan batasan-batasan terhadap kebebasan berekspresi, tanpa menciderai konsepsi pembatasan sebagaimana
ditentukan
di
dalam
instrumen
hukum internasional. Tentang bentuk pembatasan ini, sebenarnya tiap-tiap negara dapat mengatur pembatasan dalam berbagai bentuk bidang hukum. Isi media yang dibatasi, dapat secara hukum diatur di bidangbidang hukum yang berlaku di negara tersebut. ARTICLE 19 Organization, menyatakan berikut:
prescribed by law and are necessary to protect public safety, order, health, or morals or the fundamental rights and freedoms of others.” Oleh UU No. 12/2005 diterjemahkan sebagai: “Kebebasan menjalankan dan menentukan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain.” Pernyataan tersebut menentukan bahwa ada kewajiban pembatasan yang dilakukan dengan berdasarkan hukum. 207
Different States organize their laws in different ways, and content restrictions may be found in all sorts of laws, such as criminal, civil, administrative an so on. In principle, international law does note prescribe any particular type of law for content restrictions in the domestic legal system, although the first part of the first part of three-part test does require such restrictions to be sufficiently accessible and clear. 145
Negara-negara internasional melakukan
yang
tersebut,
meratifikasi
tidak
pembatasan
konvensi
dikekang
untuk
bentuk
aturan
dalam
tertentu yang khusus yang membatasi kebebasan berekspresi, namun diberikan kebebasan untuk mengatur. Maksudnya adalah bahwa negara melalui bidang-bidang
hukumnya,
yang
tersebar
dan
berlaku di negara tersebut, memberikan batasan terhadap
konten
media.
Baik
hukum
pidana,
administrasi, dan bidang hukum lainnya, yang pada pokoknya
sebenarnya
demi
melegalisasi
pembatasan oleh negara. Article tentang
19
ICCPR
kewajiban
memberikan
negara
perlindungan
terhadap
bersekspresi
bagi
untuk
pelaksanaan
setiap
warga
gambaran
memberikan kebebasan negaranya.
Kewajiban negara ini untuk menghormati hak asasi manusia (obligation to respect) yang mengacu pada tindakan 145
negara
untuk
tidak
mengintervensi
ARTICLE 19 dalam Asian Pocketbook on Freedom of Expression, op. cit. Hal. 117. Organisasi ini memberikan panduan bahwa three-past test harus dipenuhi sebagai bentuk perlindungan atas pembatasan itu sendiri agar tetap sah dan ditetapkan oleh negara, tanpa menciderai makna kebebasan berekspresi itu sendiri.
208
pelaksanaan hak asasi manusia. Di samping itu, negara
harus
(obligation
melindungi
to
protect)
hak
yang
asasi
manusia
menekankan
pada
tindakan-tindakan untuk menghadapi human rights abuse (pelanggaran hak asasi) yang dilakukan oleh pihak
lain.
Pemenuhan
terhadap
kewajiban-
kewajiban tersebut adalah dengan menekankan adanya
upaya-upaya
positif
negara
melalui
mekanisme pembentukan peraturan perundangundangan
(legislated),
pengadilan
yang
efektif,
dan/atau aspek administratif yang dilakukan untuk memberikan jaminan terhadap implementasi atau perwujudan hak asasi manusia sampai pada tingkat yang paling konkrit. Inilah kewajiban negara untuk memenuhi yang disebut obligation of fulfil. Tentang
pembatasan
terhadap
hak
atas
kebebasan berekspresi di Indonesia, berdasar pada ketentuan dalam Article 19 ICCPR, dapat dilihat pada dua hal berikut. a. Pembatasan berdasar ketentuan otentik Secara ratifikasi,
otentik, di
dicantumkan
dalam tentang
setelah
dilakukannya
konstitusi bagaimana
Indonesia, pembatasan
harus dilakukan dan pembatasan itu adalah sah. Pembatasan
terhadap
kebebasan
berekspresi
memang diperkenankan dengan syarat bahwa undang-undang mencantumkan secara tertulis, yang berarti ada landasan hukum yang jelas. 209
Sebagaimana temuat dalam Pasal 28J UUD 1945
Amandemen,
yang
pada
pokoknya
menyatakan bahwa: (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud sematamata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Disamping secara
otentik
pembatasan di
dalam
yang
ditentukan
konstitusi,
Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
sebagai
payung
hukum
hak
asasi
manusia, memberikan pengaturan dalam beberapa pasal sebagai berikut: Pasal 70 Dalam menjalankan hak dan kewajiban, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adli sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Pasal 73 Hak dan kebebasan yang diatur dalam Undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undangundang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan
210
penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa.
Jangkauan
pembatasan
ini
merupakan
ketentuan normatif yang berhubungan erat dengan tujuan pembatasan sebagaimana termuat dalam Article 19 section (3) ICCPR. Bahwa konvensi tersebutlah yang memberikan klausul pembatasan hak, yang sejatinya tidak hanya diterapkan secara umum, namun penerapannya diatur hak per hak. Konstitusi dan UU HAM memang memberikan batasan serupa dengan maksud dalam Article 19 section (3) ICCPR pada dua hal yang penting, yakni bahwa
pembatasan
hak
dilakukan
dengan
ditetapkan melalui undang-undang,146 dan dalam suatu masyarakat yang demokratis. Dua ketentuan ini layak menjadi inspirasi bagi pembatasan-pembatasan terhadap isi media, yakni
bahwa
peraturan
perundang-undangan
harus mampu memberikan batasan yang tepat. Demikian dapat dilihat perbandingan pembatasan yang dilakukan oleh masing-masing ketentuan sebagaimana dalam tabel berikut:
146
Lihat Article 19 ICCPR.
211
Tabel 3.5. Perbandingan Pembatasan ICCPR
UUD 1945
UU No. 39/1999
ditetapkan oleh hukum/undang-undang dalam suatu masyarakat yang demokratis ketertiban umum, kesehatan publik, moral publik, keamanan nasional dan keamanan publik, hak dan kebebasan orang lain, hak atau reputasi orang lain, kepentingan kehidupan pribadi orang lain yang berkaitan dengan pembatasan terhadap pers dan publik pada pengadilan
Dasar
pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain, moral, nilai-nilai agama, keamanan, ketertiban umum
perlindungan
pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, pertiumbangan moral, keamanan, ketertiban umum, kesusilaan dan kepentingan bangsa
terhadap
hak
atas
kebebasan berekspresi tidak melulu berada pada ruang lingkup perwujudan hak yang sebebasbebasnya, namun juga membatasi implementasi hak
yang
dapat
dianggap
membahayakan.
Terbukti bahwa secara otentik, masing-masing ketentuan
yang
menjadi
acuan,
memiliki
kesamaan visi untuk memberikan ruang bagi adanya intervensi terhadap hak atas kebebasan berekspresi.
Klausul
ketentuan-ketentuan
pembatas di
atas
di
ditujukan
dalam pada
pembatasan yang berbasiskan pada dua hal yang 212
sama, yakni bahwa secara normatif, pembatasan harus
ditetapkan
oleh
hukum
atau
undang-
undang, dan pembatasan itu dimungkinkan di adakan pada suatu lingkungan masyarakat yang demokratis. Perbedaan jangkauan
konsepsi
hanya
pemahaman
terletak
terhadap
pada makna
kepentingan lain yang bersinggungan terhadap hak.
Cakupan
mengarah
pada
kepentingan dengan
terhadap
hak
kepentingan
eksistensi
umum atas
yang
hak
lain
dan
ini juga
berhadap-hadapan
kebebasan
berekspresi.
Permasalahannya adalah bagaimana peraturan perundang-undangan
mampu
mengimplementasikan apa yang sudah tertuang dalam konsep pembatasan yang diatur di dalam ICCPR, UUD 1945 dan UU HAM. Materi muatan di dalam undang-undang yang teknis kemudian harus menyesuaikan dengan yang diatur oleh konvensi dan norma dasarnya. Hal ini secara sederhana dapat dilihat di masingmasing asas yang tercantum di masing-masing undang-undang. Di dalam tabel berikut dapat dilihat asas-asas yang mendasari peraturan:
213
Tabel 3.6. Asas dalam Undang-Undang Media UU Pers
UU Penyiaran
Pasal 2 dan 3 Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsipprinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Pasal 2 Penyiaran diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, keberagaman, kemitraan, etika, kemandirian, kebebasan, dan tanggung jawab.
UU ITE
Pasal 3 Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilaksanakan berdasarkan asas kepastian hukum, manfaat, kehati-hatian, iktikad baik, dan kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi.
UU Perfilman
Pasal 5 Kegiatan perfilman dan usaha perfilman dilakukan berdasarkan kebebasan berkreasi, berinovasi, dan berkarya dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan, dan budaya bangsa.
Asas-asas yang menjadi dasar di peraturan perundang-undangan
tersebut,
secara
prinsip
memberikan pembatasan yang tersirat. Bahwa kebebasan berekspresi dapat dilakukan dengan tetap melakukan penghormatan terhadap nilainilai yang ada di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga masyarakat menjadi subyek yang mengontrol terhadap kebebasan berekspresi. 214
Asas tersebut berfungsi memberikan koridor terhadap
ruang
kebebasan
berekspresi
yang
hendak diwujudkan dalam isi media. Terhadap isi pula, asas-asas ini adalah inspirasi, sehingga menunjukkan bagaimana peraturan perundangundangan menyerap prinsip-prinsip universal yang disediakan oleh konvensi-konvensi internasional. Keberadaan
asas-asas
ini
di
dalam
undang-
undang menjadi prinsip pembatasan pertama yang dapat dilihat. Implementasi dari maksud dalam frasa “…to seek, receive and impart information and ideas
through
any
media
and
regardless
of
frontiers..” menjadi inspirasi bahwa kebebasan berekspresi
yang
perundang-undangan
terdapat
pada
tentang
peraturan
media,
sejalan
dengan maksud dari konvensi. Indikasinya dari cakupan asas-asas yang dimuat dan menjadi dasar
pengembangan
wujud
kebebasan
berekspresi di dalam undang-undang. Pembatasan yang dapat dilihat melalui asas, dapat diketahui dimana pers dan kemerdekaannya dibatasi oleh koridor prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum serta ada kewajibannya menjadi kontrol sosial. Penyiaran secara prinsip dibatasi
oleh
keamanan,
etika
dan
tanggung
jawab. ITE juga dibatasi oleh kehati-hatian dan itikad baik serta perfilman yang harus menjunjung tinggi nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan dan budaya bangsa. 215
Selain dari asas, terdapat batasan otentik yang lain ada pada pasal-pasal yang termuat di masing
undang-undang
tentang
media.
Maksudnya adalah bahwa isi media itu sendiri, secara
implementatif,
diberikan
batasan
oleh
undang-undang. Baik berdasarkan pengertiannya maupun berdasarkan muatan yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan untuk dilakukan. Sekali lagi bahwa sebagai isi, maka berita atau informasi, siaran, internet dan film, menjadi komoditas dalam dunia bisnis yang tidak boleh dikembangkan secara luas tanpa ada batasan pengertian
masing-masingnya.
Segala
saluran
yang tersedia tidak diperkenankan menjadi sarana bagi isi media yang di luar batas. Pemaknaan terhadap isi media, adalah penting. Pada titik ini, makna ‘prescribed by law’ ditempatkan sebagai prinsip yang mendasari bahwa secara otentik, pembatasan harus jelas dan dapat dipahami.147 Dengan demikian, pembatasan tersebut maknanya juga harus jelas dan memiliki alasan yang sesuai. Menarik ditemukan dalam Pasal 4 ayat (2) UU Pers, yang menyatakan bahwa terhadap pers nasional pembredelan 147
tidak atau
dikenakan pelarangan
penyensoran, penyiaran.
Untuk ‘prescribed by law’ sebagai prinsip dalam konvensi baik UDHR dan ICCPR dapat dikembangkan secara luas dalam beberapa softlaw seperti yang termuat dalam Siracausa Principle. Tentang ‘prescribed by law’ ada beberapa hal yang diperjelas, yakni bahwa pembatasan dapat dilakukan dengan membentuk undang-undang yang konsisten dengan substansi konvensi (yang telah diratifikasi), dan dapat diterapkan pembatasan itu ketika undang-undang berlaku.
216
Ketentuan
ini
merupakan
hal
yang
berbeda
dengan undang-undang yang lain, dimana batasan menjadi
hilang,
oleh
karena
demi
tujuan
kemerdekaan pers, pada sisi isi pers, dibebaskan dari larangan-larangan. Dengan demikian, pers ini diberikan ruang yang sebebas-bebasnya agar pers secara positif dikembangkan oleh para pelakunya. Kebebasan itu juga dimaksudkan agar peristiwaperistiwa pers pada masa lalu, yang terkait dengan penyensoran
yang
ketat,
pembredelan
dan
larangan-larangan tidak terjadi lagi. Pada Pasal 35 UU Penyiaran dinyatakan bahwa isi siaran harus sesuai dengan asas, tujuan, fungsi dan arah siaran, yang sebagaimana sudah tercantum pada pasal-pasal sebelumnya. Pasal ini mengindikasikan bahwa isi siaran harus berada di ruang atau koridor undang-undang yang memberikan
jaminan
terhadap
kebebasan
berekspresi di bidang penyiaran. Isi siaran juga wajib
mengandung
substansi-substansi
yang
diperkenankan dalam Pasal 36 UU No. 32 Tahun 2002. Diantaranya adalah kewajiban bagi isi siaran
yang
harus
mengandung
informasi,
pendidikan, hiburan dan manfaat. Di sisi lain harus
wajib
memberikan
perlindungan
dan
pemberdayaan kepada khalayak khusus, serta isi siaran bersifat netral. Isi siaran sendiri harus memiliki hak siar sebelum disebarluaskan melalui media penyiaran yang tersedia. Hak siar sendiri 217
masih menjadi problematika bagi pelaksanaan perwujudan kebebasan berekspresi. Berbeda dengan cara atau metode teknis yang dimuat di dalam UU No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman dan UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE yang memberikan batasan dengan mencantumkan larangan. Pasal 6 UU No. 33 Tahun 2009 sendiri mencantumkan larangan-larangan pada substansi isi film yang bersifat negatif, yakni hal-hal yang dapat menstimulasi khalayak untuk melakukan perbuatan-perbuatan negatif dan mengancam diri sendiri serta orang lain. Sementara dalam UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE, pada Bab VII diatur tentang
larangan-larangan
muatan
dalam
informasi
terhadap
muatan-
elektronik
dan/atau
dokumen elektronik yang dapat merugikan. Di bidang perfilman sendiri, penyensoran film dan reklame film dilakukan untuk melindungi masyarakat dari kemungkinan dampak negatif yang
timbul
dalam
peredaran,
pertunjukan
dan/atau penayangan film dan reklame film yang tidak sesuai dengan dasar, arah dan tujuan perfilman Indonesia. Penyensoran dimaksudkan untuk mencegah agar film dan reklame film tidak mendorong khalayak untuk: a.
bersimpati bertentangan
terhadap dengan
ideologi Pancasila
Undang-undang Dasar 1945; 218
yang dan
b.
melakukan perbuatan-perbuatan tercela dan hal-hal yang bersifat amoral;
c.
melakukan
perbuatan-perbuatan
yang
bertentangan dengan ketertiban umum dan
perbuatan-perbuatan
melawan
hukum lainnya; atau d.
bersimpati
terhadap
sikap-sikap
anti
Tuhan dan anti agama, serta melakukan penghinaan terhadap salah satu agama yang dapat merusak kerukunan hidup antar-umat beragama. Penyensoran
dimaksudkan
pula
sebagai
sarana pemelihara tata nilai dan budaya bangsa agar dapat terjaga dan berkembang sesuai dengan kepribadian nasional Indonesia, mengingat melalui film dan reklame film dapat masuk pengaruhpengaruh budaya dan nilai-nilai negatif. Demikian
diatur
oleh
negara,
namun
seharusnya tetap menyesuaikan dengan konsepsi tentang three-part test sebagaimana ditetapkan dalam Article 19 Section (3) ICCPR yang menjadi acuan dalam memberikan batasan. b. Pembatasan oleh karena Eksistensi Hak Lain Pembatasan demi tujuan untuk melindungi kepentingan pemerintah
umum untuk
menjadi membatasi
landasan
bagi
praktek-praktek 219
kebebasan
berekspresi.
Sementara
berbagai
putusan dan keputusan yang dikeluarkan oleh institusi
internasional
semacam
International
Commission of Human Rights (ICHR) dan European Commission of Human Rights (ECHR), memberikan dasar
penjelasan
bahwa
pembatasan
harus
didasarkan pada dua hal, yakni tuduhan-tuduhan yang
konkrit
kebebasan
tentang
bagaimana
berekspresi
mengancam
si
kepentingan
pelaksanaan
tertuduh umum,
(subyek)
dan
bahwa
pembatasan tersebut diperlukan untuk melindungi kepentingan umum. Meskipun
hukum
kemudian
menyatakan
bahwa kepentingan umum bisa terganggu, namun hukum diadakan untuk mengantisipasi keadaankeadaan yang secara efektif dapat mengancam atau
menyerang
ketertiban
umum.
Kewajiban
untuk tetap menjunjung tinggi prinsip-prinsip equality dan non-diskriminasi harus dilakukan oleh
Pemerintah,
khususnya
dalam
upaya
melakukan pembatasan yang sesuai dengan ruang lingkup seperti dimengerti bersama dalam hukum internasional. Pembatasan memang layak dilakukan dengan sejumlah prasyarat, yang kemudian secara teknis dirinci dalam sejumlah prinsip hak asasi manusia. Secara
normatif
kemudian
pembatasan
harus
diatur di dalam peraturan perundang-undangan
220
sebagaimana
prinsip
yang
dianut
semenjak
diratifikasinya konvensi hak asasi manusia. Pembatasan
melalui
larangan-larangan
tersebut di dalam peraturan perundang-undangan media, menyiratkan kepentingan lain yang harus diperhatikan.
Article
19
Section
3
ICCPR
menyatakan bahwa: The exercise of the rights provided for in paragraph 2148 of this article carries with it special duties and responsibilities. It may therefore be subject to certain restrictions, but these shall only be such as are provided by law and are necessary: (a) For respect of the rights or reputations of others; (b) For the protection of national security or of public order (ordre public), or of public health or morals.
Dalam
pernyataan
tersebut
ada
situasi
dimana kebebasan berekspresi berhadap-hadapan dengan hak lain yang eksis. Bahwa kebebasan berekspresi
berhadapan
dengan
‘rigths
or
reputations of others’ dan ‘national security or of public order (ordre public), or of public health or morals’.149 Pembatasan dalam Article 19 Section 3 148
Article 19 Section 2 berbunyi: Everyone shall have the right to freedom of expression; this right shall include freedom to seek, receive and impart information and ideas of all kinds, regardless of frontiers, either orally, in writing or in print, in the form of art, or through any other media of his choice. 149 Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 menerjemahkan bahwa ‘rigths or reputations of others’ sebagai menghormati hak atau nama baik orang lain; dan ‘protection of national security or of public order (ordre public), or of public health or morals’ sebagai melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral umum.
221
berkaitan erat dengan Article 20 ICCPR, yakni bahwa: (1) Any propaganda for war shall be prohibited by law. (2) Any advocacy of national, racial or religious hatred that constitutes incitement to discrimination, hostility or violence shall be prohibited by law.
Pernyataan di dalam Article 19 Section (3) dan Article 20 ICCPR merupakan implementasi Article 19 UDHR150, dimana ketentuan tentang batasbatas
kebebasan
berekspresi
menyangkut
eksistensi hak lain. Hak lain ini yang pertama adalah penghormatan terhadap nama baik orang lain.
Masing-masing
undang-undang
mengatur
perlindungan terhadap nama baik orang lain dengan muatan dalam pasal yang bervariasi. Menarik untuk dilihat bagaimana arah kebebasan berekspresi,
khususnya
perundang-undangan
keempat
mengatur
peraturan kepentingan-
kepentingan dalam Article 19 ICCPR. Prinsip prescribed by law/conformity with the law
secara
diketemukan
mandiri, dalam
pengertiannya
berbagai
panduan
dapat yang
mengimplementasikan maksud dari Article 19. Menurut Siracusa Principle dan Johannesburg 150
Article 19 UDHR menyatakan: setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat dengan cara apa pun dan dengan tidak memandang batas-batas.
222
Principle, tentang hal tersebut dimengerti sebagai berikut151: (a) Pembatasan hanya dapat dilakukan berdasarkan hukum nasional. Namun hukum yang membatasi hak tersebut tidak boleh sewenang-wenang dan tanpa alasan. (b) Aturan hukum yang membatasi pelaksanaan hak asasi harus menyediakan upaya perlindungan dan pemulihan yang memadai terhadap penetapan ataupun penerapan pembatasan yang bersifat sewenang-wenang terhadap hak-hak tersebut. (c) Hukum tersebut harus dapat diakses, tidak bersifat ambigu, dan dibuat secara hati-hati dan teliti, yang memungkinkan setiap individu melihat apakah suatu tindakan bertentangan dengan hukum atau tidak.
Kebebasan berekspresi di Indonesia dibatasi secara normatif oleh keberadaan hak-hak lain yang
dapat
terancam.
Setiap
undang-undang
mencantumkan hak-hak yang dapat terancam dengan
perwujudan
kebebasan
berekspresi,
diantaranya yang dimuat dalam beberapa muatan otentik berikut. Tabel 3.7. Larangan Muatan Isi Media UU Pers
Dalam Pasal 5 dimuat bahwa pers berkewajiban untuk memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. Disamping itu, dalam Pasal 13 disinggung pula bahwa iklan dilarang memuat hal-hal yang merendahkan martabat agama dan/atau kelompok tertentu,
151
Tim ELSAM, Buku Saku Kebebasan Berekspresi di Internet: Seri Internet dan HAM. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM); Jakarta, 2012. Hal. 47.
223
minuman keras dan narkotika, serta eksistensi rokok.
224
UU Penyiaran
Isi siaran termasuk di dalamnya adalah siaran iklan, terutama siaran iklan, dilarang untuk mempromosikan hal-hal yang berhubungan dengan ajaran suatu agama, baik dalam konteks menyinggung atau memaksakan ajaran agama tertentu. Di samping itu, iklan juga dilarang bertentangan dengan kesusilaan, nilai agama, dan bahkan eksploitasi anak di bawah umur. (Pasal 46-47). Secara teknis isi siaran juga diatur agar memenuhi standar tertentu yang ditetapkan KPI melalui P3/SPS yang menjadi acuan agar isi siaran tidak mengancam keberadaan hak lain.
UU ITE
Dalam UU ITE secara tegas diberikan larangan terhadap isi atau muatan yang melanggar kesusilaan, perjudian, penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, dan pemerasan dan/atau pengancaman (Pasal 27). Berkaitan dengan konsumen dalam transaksi elektronik, muatan materi dalam informasi elektronik juga dilarang mengandung berita bohong dan menyesatkan secara sengaja (Pasal 28 ayat (1)). Dan bahkan dilarang juga secara sengaja ada muatan dalam informasi elektronik yang isinya ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu, berdasarkan SARA. Ancaman kekerasan terhadap pribadi juga dilarang.
UU Perfilman
Pasal 6 menyatakan hal-hal yang dilarang untuk ditampilkan dalam isi film, diantaranya kekerasan dan perjudian, narkotikapsikotropika, pornografi, provokasi pada kelompok-kelompok tertentu, memperolok-olok nilai-nilai agama, merendahkan harkat dan martabat manusia.
Pada umumnya, pembatasan akan sesuatu tindakan
yang
diatur
di
dalam
peraturan
perundang-undangan, selalu menggunakan kata “dilarang” sebagai bentuk wujud ketegasan batasan. Akan tetapi, makna lain yang dapat ditemukan adalah bahwa larangan tersebut menjadi pijakan utama bagi pelaku untuk tidak boleh menyinggung eksistensi hak-hak lain yang dimiliki oleh individu maupun anggota masyarakat lainnya. Laranganlarangan tersebut membatasi ruang gerak hak atas kebebasan
berekspresi
agar
tidak
merusak
keberadaan hak lain yang diatur di dalam undangundang. Penghargaan terhadap nama baik di dalam UU Pers, tidak diatur dengan lugas. Yang menarik adalah bahwa pemberitaan (isi berita) bila dinilai telah mencemarkan nama baik seseorang atau sekelompok orang, pers selalu cenderung dibawa ke ranah pengadilan. Umumnya oleh pengadilan, pers dikenai pasal-pasal yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang
Hukum
Pidana
(KHUP)
dikarenakan Undang-undang Pers No. 40 Tahun 1999 tidak mengatur delik pencemaran nama baik. Undang-undang Pers No. 40 Tahun 1999 tentang Pers sendiri mengatur penyelesaian delik pers melalui Hak Jawab.152 Hal ini berarti bahwa prinsip
152
Pasal 1 Angka 11 UU No. 40 Tahun 1999 menyatakan bahwa Hak Jawab adalah seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
225
‘respect of the rights or reputation of others’ tidak secara tegas dimuat di dalam ketentuan undangundang pers. Penghormatan terhadap nama baik orang lain, dapat dimaknai secara meluas. Pemaknaan berbeda adalah dengan adanya persinggungan antara
UU
Pers
dengan
Pelaksanaan
keduanya
perlindungan
terhadap
UU
yang nama
Penyiaran. memberikan baik,
tidak
dicantumkan secara otentik. Kejelasan terhadap perlindungan nama baik menjadi penting oleh karena keberadaannya sebagai lex specialis dalam konteks kebebasan berekspresi. UU Pers dan UU Penyiaran bersinggungan,
pada
kenyataannya dikarenakan
selalu kebebasan
berekspresi selalu melibatkan kegiatan jurnalistik dan saluran yang sering digunakan adalah media atau lembaga-lembaga penyiaran. Pasal 18 UU Pers
sendiri
mengancam
siapapun
yang
menghambat dan menghalangi kemerdekaan pers dengan ancaman hukum pidana penjara maksimal dua tahun dan pidana denda maksimal Rp 500 juta. Akan tetapi, klausul ini menjadi kontradiktif dikarenakan proses hukum terhadap sengketa pemberitaan pers lebih mengacu pada undangundang lain, khususnya KUHP yang memuat pasal
226
yang dapat menjerat pekerja pers dengan pasalpasal pidana.153 Pasal 54 UU Penyiaran menyatakan bahwa Pimpinan
badan
hukum
bertanggungjawab
lembaga
secara
penyiaran
umum
atas
penyelenggaraan penyiaran dan wajib menunjuk penangungjawab
atas
tiap-tiap
program
yang
disiarkan. Ada persoalan tanggung jawab yang dibebankan kepada pimpinan lembaga penyiaran, terutama bilamana ada isi siaran yang melanggar Pasal 36 UU Penyiaran.154 Pertanggungjawaban ini pun
diarahkan
menjadi
perbuatan
yang
merupakan tindak pidana karena pelanggaran Pasal 36 dapat dikenai pidana 5 tahun dan/atau denda paling banyak satu milyar rupiah (untuk penyiaran radio), dan pidana penjara lima tahun dan/atau denda paling banyak 10 miliar rupiah (untuk
penyiaran
televisi).
Jadi,
prinsip
perlindungan terhadap nama baik dan reputasi orang lain, melalui UU Pers dan UU Penyiaran, diarahkan pada mekanisme ancaman pidana.
153
Di dalam KUHP terdapat beberapa pasal yang berkaitan erat dengan pencemaran nama baik yang selama ini masih digunakan oleh hakim saat memutus perkara pers. Diantaranya Pasal 310 tentang pencemaran, Pasal 311 tentang fitnah, Pasal 315 tentang penghinaan ringan, Pasal 317 tentang pengaduan fitnah, Pasal 318 tentang persangkaan palsu, Pasal 320 tentang pencemaran nama baik orang mati, dan Pasal 321 tentang pencemaran nama baik orang mati dengan tulisan atau gambar. 154 Pasal 36 ayat 5 UU Penyiaran yang mengatur bahwa isi siaran dilarang bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong. Juga dilarang menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang; atau mempertentangkan suku, agama, ras dan antar golongan.
227
Sejalan dengan konsep pemikiran yang sama, UU ITE melalui Pasal 27 ayat (3) menyatakan bahwa orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau
mentransmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, merupakan perbuatan yang dilarang. Pasal ini hanya merupakan salah satu pasal diantara pasal lain di dalam UU ITE yang memberikan larangan.
Secara
tegas,
Pasal
27
ayat
(3)
menekankan pada ‘muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik’ yang dapat dituntut secara
pidana.
Bahwa
pasal
ini
sebenarnya
mengacu pada KUHP, khususnya Pasal 311 KUHP yang memberikan dasar pemahaman atau esensi mengenai penghinaan atau pencemaran nama baik.
Esensinya
adalah
adanya
tindakan
menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan maksud untuk diketahui oleh umum. Informasi
elektronik
dan/atau
dokumen
elektronik yang memuat hal demikian, secara normatif tidak dapat serta merta dikategorikan sebagai perbuatan yang dilarang dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Alasannya adalah penghinaan (atau delik penghinaan) harus bersifat subyektif, yakni
perbuatan
mentransmisikan diaksesnya 228
mendistribusikan dan/atau
informasi
dan/atau
membuat
elektronik
dapat
dan/atau
dokumen
elektronik
dimaksudkan
untuk
menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan maksud diketahui oleh umum. Ketentuan tentang penghormatan terhadap nama
baik
seseorang
ini
ditegaskan
oleh
Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK No. 14/PUU-VI/2008.
Mahkamah
Konstitusi
menyatakan bahwa nama baik, martabat, atau kehormatan seseorang adalah satu kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum pidana karena merupakan bagian dari hak konstitusional setiap orang yang dijamin baik oleh UUD 1945 maupun hukum
internasional.155
hukum
pidana
Bilamana
memberikan
kemudian
sanksi
tertentu
terhadap perbuatan yang menyerang nama baik, martabat, atau kehormatan seseorang, hal itu tidaklah bertentangan dengan konstitusi. Pertimbangan
MK
terhadap
sifat
konstitusionalitas Pasal 27 ayat (3) UU ITE antara lain: penghargaan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan tidak boleh tercederai oleh tindakantindakan yang mengusik nilai-nilai kemanusiaan melalui
tindakan
penghinaan
dan/atau
155
Lihat Kutipan Lengkap Amar Putusan MK No. 14/PUU-VI/2008, hal. 287. Putusan MK ini memutus perkara mengenai diajukannya pengujian terhadap Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 311 ayat (1), Pasal 316, dan Pasal 207 KUHP.MK berpendapat bahwa ketentuan pasal-pasal itu berfungsi untuk melindungi kehormatan sebagai salah satu fungsi hukum. Menurut MK hal itu merupakan argumentasi yang mempersoalkan penerapan norma, bukan mempersoalkan konstitusionalitas norma. Kelemahan atau kekurangan yang terjadi dalam proses penerapan norma tidaklah benar jika diatasi dengan jalan mencabut norma itu. MK menyatakan bahwa pasal-pasaltersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945.
229
pencemaran nama baik. Disamping itu masyarakat internasional juga menjunjung tinggi nilai-nilai yang
memberikan
jaminan
dan
perlindungan
kehormatan atas diri pribadi, seperti dalam Article 12 UDHR156, Article 17157 dan Article 19 ICCPR.158 Sementara itu di dalam UU Perfilman, tentang perlindungan undang
ini
terhadap
nama
baik,
undang-
bahkan
tidak
mencantumkan
ketentuan yang tersendiri. Tentang perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, hanya pada Pasal 6 yang menyatakan bahwa film yang menjadi unsur pokok kegiatan perfilman dan usaha perfilman dilarang mengandung isi yang (f) merendahkan harkat dan martabat manusia. Pasal ini menjadi satu-satunya pasal yang menentukan batasan bahwa isi film harus memperhatikan dan memperdulikan persoalan harkat dan martabat manusia, yang belum tentu juga didapat sebuah ketegasan
bahwa
ada
persoalan
nama
baik
termasuk di dalamnya. Penghargaan terhadap 156
No one shall be subjected to arbitrary interference with his privacy, family, home or correspondence, nor to attacks upon his honour and reputation. Everyone has the right to the protection of the law against such interference or attacks. 157 (1) No one shall be subjected to arbitrary or unlawful interference with his privacy, family, or correspondence, nor to unlawful attacks on his honour and reputation. (2) Everyone has the right to the protection of the law against such interference or attacks. 158 Lihat Kutipan Lengkap Amar Putusan MK No. 50/PUU-VI/2008 hal. 82-83. Tentang hak atas reputasi, dilindungi pula di dalam Article 12 UDHR dan Article 17 ICCPR, kemudian diperjelas dalam Pasal 28G UUD 1945. Akan tetapi menjadi perdebatan tersendiri karena asumsi dasar hukum pidana apakah tepat untuk menjadi satu-satunya pendekatan hukum untuk melindungi hak atas reputasi oleh negara.
230
kehormatan nama baik seseorang di dalam UU Perfilman
tidak
nampak
tegas
diatur
secara
otentik. Akan tetapi, sebenarnya melalui ketentuan tentang isi film tersebut dapat ditarik pengertian bahwa cakupan isi yang diperkenankan adalah hal-hal
yang
secara
teknis
tidak
boleh
mengungkapkan ekspresi yang dapat mengganggu harkat dan martabat manusia. Oleh
karena
itu,
di
dalam
Peraturan
Pemerintah No. 18 Tahun 2014 tentang Lembaga Sensor Film, pada Pasal 30 ayat (8) dinyatakan bahwa kriteria penyensoran terhadap isi film dan iklan film dari segi harkat dan martabat manusia meliputi adegan visual, dialog dan/atau monolog yang melanggar hak asasi manusia. Peraturan ini mengatur hal yang sifatnya teknis dengan LSF sebagai
lembaga
terhadap
isi.
yang
melakukan
Persoalan
yang
dapat
penilaian muncul,
implementasi dari konteks hak asasi manusia yakni harkat dan martabat manusia menjadi luas, dapat
beragam
problematik
persepsi.
hukum
Dengan
tentang
demikian,
penghormatan
tentang nama baik dan reputasi seseorang, diatur secara berbeda-beda. Implementasi dari kovensikonvensi internasional, khususnya yang terkait dengan Article 12 UDHR dan Article 19 ICCPR harus terus mendapat perhatian.
231
Keamanan nasional (national security) menjadi salah satu pertimbangan adanya pembatasan. Article
20
ICCPR
menyatakan
bahwa
segala
propaganda untuk perang harus dilarang oleh hukum. Dinyatakan juga bahwa Segala tindakan yang
menganjurkan
kebencian
atas
dasar
kebangsaan, ras atau agama yang merupakan hasutan
untuk
melakukan
diskriminasi,
permusuhan atau kekerasan harus dilarang oleh hukum. Ketentuan ini berkaitan erat dengan Article 19 ICCPR, yakni menjadi tembok pembatas yang dapat digunakan untuk menangkal segala bentuk ekspresi, baik yang tertulis, gambar, audio, dan sebagainya yang ditujukan untuk melakukan propaganda perang. Selain itu, membatasi ruang gerak kebebasan berekspresi yang mendorong adanya kebencian berdasar kebangsaan, ras, atau agama tertentu, yang merupakan bentuk hasutan untuk
melakukan
diskriminatif, kekerasan
tindakan-tindakan
dorongan termasuk
untuk kekerasan
yang
melakukan terhadap
kebebasan berpendapat (hate speech). Di Indonesia, peraturan perundang-undangan tentang media, menjadi landasan bagi pembatasan terhadap kebebasan berekspresi yang berusaha memenuhi maksud dan tujuan kovenan-kovenan. Sebagai
prinsip
yang
umum,
kovenan
perlu
diperjelas dalam struktur yang lebih konkrit. Disinilah pentingnya softlaw untuk memberikan 232
gambaran
yang
lebih
mudah
dicerna
oleh
stakeholders.159 Tentang keamanan nasional atau national security definisinya dapat dilihat sebagaimana dinyatakan
pada
Siracusa
Principle
dalam
kutipan160: 29. National security may be invoked to justify measures limiting certain rights only when they are taken to protect the existence of the nation or its territorial integrity or political independence against force or threat of force. 30. National security cannot be invoked as a reason for imposing limitations to prevent merely local or relatively isolated threats to law and order.
Adapun Principle
yang
adalah
ditekankan pembatasan
oleh
Siracusa
dengan
basis
‘national security’ dimana suatu negara memiliki yurisdiksi untuk melakukan sesuatu tindakan tertentu
(yang
kebebasan
sifatnya
berekspresi
membatasi) yang
terhadap
mengancam
eksistensi negara, integritas atau kemerdekaan politik. Hal itu dapat dianggap sebagai ancaman
159
Siracusa Principles on the Limitation and Derogation Provisions in the International Covenant on Civil and Political Rights, lebih rinci mendefinisikan hal-hal yang berkaitan dengan implementasi pada Article 19 Section 3 yakni mengenai faktor-faktor penyebab kondisi darurat (emergency) seperti ancaman terhadap tatanan masyarakat (public order), kesehatan masyarakat (public health), moral publik (public morals), keselamatan nasional (national security) dan keselamatan publik (public safety). 160 Lihat Siracusa Principles on the Limitation and Derogation Provisions in the International Covenant on Civil and Political Rights.
233
kekerasan
atau
tindakan
kriminal
terhadap
wilayah negara. Tidak
jauh
Johannesburg
berbeda,
Principles
On
melalui National
The
Security,
Freedom of Expression And Access to Information menyatakan bahwa kebebasan berekspresi atau berpendapat baru dapat dikenai pembatasan atau dapat
dihukum
sejauh
merupakan
ancaman
terhadap keamanan nasional dan hanya ketika negara dapat menunjukkan bahwa penyampaian pendapat/ekspresi
tersebut
ditujukan
untuk
memotivasi kekerasan yang akan terjadi atau dapat memotivasi terjadinya kekerasan, atau ada hubungan
langsung
penyampaian
dan
pendapat
dekat
dengan
antara
kemungkinan
terjadinya atau kejadian kekerasan.161 Namun Johannesburg Principle juga menyatakan bahwa tidak
seorang
pun
boleh
menjadi
subyek
pembatasan, pengurangan hak, dan sanksi, serta dirugikan karena pendapat atau kepercayaannya. Isi media sebagai komoditas bisnis, perlu untuk
diawasi
melalui
peraturan
perundang-
undangan media. Permasalahan yang layak untuk dilihat adalah bagaimana peraturan perundang161
Lihat The Johannesburg Principles On National Security, Freedom of Expression And Access to Information, Principle 6, yang bunyi aslinya: “…expression may be punished as a threat to national security unity only if a government can demonstrate that: (a) the expression is intended to incite imminent violence; (b) it is likely to incite such violence, and; (c) there is a direct and immediate connection between the expression and the likehood or occurrence of such violence.”
234
undangan
tersebut
mengakomodasi
substansi
dalam Article 19 Section 3 ICCPR, yakni dalam hal membatasi ruang gerak kebebasan berekspresi khususnya
yang
berkaitan
dengan
keamanan
nasional. Titik tolak utama dalam melakukan pembatasan
terhadap
kebebasan
berekspresi
adalah Pasal 28J UUD 1945, Pasal 70 dan Pasal 73 UU No. 39 Tahun 1999.Konstruksi di dalam pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan media di Indonesia untuk membatasi secara sah penting
adanya.
Terkait
dengan
keamanan
nasional, UU Pers sejatinya tidak mencantumkan secara terperinci bagaimana keamanan nasional dilindungi dari perwujudan kebebasan berekspresi yang
berlebihan.
memperjelas
UU
Pers
bagaimana
sendiri
tidak
ketentuan-ketentuan
tentang isinya, memberikan batasan terhadap keamanan nasional. Baik UU Pers, UU Perfilman, UU Penyiaran dan UU ITE, tidak menggambarkan dengan jelas bagaimana keamanan nasional yang di dalam konvensi diletakkan sebagai hal yang dapat membatasi kebebasan berekspresi. Akan tetapi, bukan berarti keamanan nasional tidak menjadi
bagian
yang
dilindungi
oleh
hukum
media. UU ITE melakukan pembatasan terhadap kepentingan
ini,
dengan
dasar
melanggar
kesusilaan yang merujuk pada ketentuan dalam hukum pidana. Melalui UU ITE khususnya pada 235
Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 29 dipandang dapat dimasukkan
dalam
klausul
pembatas
yang
digunakan sebagai dasar pembatas hak atas kebebasan berekspresi, yaitu ketertiban umum dan menghormati hak atau nama baik orang lain serta
melindungi
keamanan
nasional
atau
ketertiban umum atau kesehatan atau moral masyarakat. Pendekatan hukum yang dilakukan yaitu mengatur nasional teknologi
melalui yang
instrumen
terkait
informasi162
hukum
dengan
positif
pemanfaatan
yang merupakan turunan
dari UU ITE, yakni PP No. 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronika (PSTE) yang salah satunya adalah kebijakan dan regulasi di bidang keamanan informasi. Peraturan ini
menggarisbawahi
teknologi beragam,
bahwa
mendukung sehingga
akses perlu
perkembangan informasi
dibatasi
yang
tentang
informasi-informasi apa saja yang layak untuk dikonsumsi atau disebarluaskan. Di samping itu, peraturan
tersebut
dapat
digunakan
untuk
membatasi akses ilegal. 162
Lihat Siaran Pers Kominfo NO. 83/PIH/KOMINFO/11/2013 tanggal 16 November 2013, tentang Ancaman Cyber Attack dan Urgensi Keamanan Informasi Nasional, yang mendorong pendekatan yang komprehensif, yakni People, Process dan Technology. People meliputi kesadaran dan kepedulian pengetahuan, keahlian dari sumber daya manusia. Process meliputi pembangunan dan penerapan Sistem manajemen keamanan Informasi yang sesuai dengan ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku, dan technology merupakan tools untuk mewujudkan metodologi, strategi dan perencanaan terhadap sistem keamanan informasi nasional.
236
Keamanan
nasional
menjadi
perhatian
tersendiri bagi pemerintah dengan mengajukan pembentukan nasional163,
undang-undang yang
keamanan
dimaksudkan
agar
secara
spesifik mengatur hal-hal apa saja yang perlu diatur untuk memberikan perlindungan terhadap keamanan nasional. Melalui ketentuan ini pula, dimungkinkan adanya pembatasan (atau bahkan pengurangan) berbagai hak asasi, dengan prasyarat tertentu. Pemenuhan
hak
asasi
manusia,
harus
dikompromikan dengan hal-hal lain yang dapat terganggu, misalnya gangguan keamanan yang mungkin
terjadi.
Sebagaimana
dimaksud
gangguan dalam Article 19 yakni terhadap “public order”,
gangguan
kesehatan
dan
keselamatan
publik/masyarakat, masalah bencana alam, dan lain sebagainya. Pembatasan dengan prasyarat ditujukan untuk mencapai masyarakat demokratis dan demi terwujudnya kesejahteraan sosial (public goods). Di
sisi
lain,
kepentingan
umum
adalah
persoalan mengenai “the protection of national security or of public order (ordre public), or of public health or morals” (melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral 163
Sampai dengan saat ini masih dibahas mengenai penyusunan dan pembentukan Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional di tingkat legislative. RUU ini menjadi salah satu upaya pembentukan hukum yang mengatur hal-hal apa saja yang dapat mengancam keamanan nasional di Indonesia.
237
umum) yang pada dasarnya cakupan maknanya sangat luas dan ukurannya relatif. Tentang hal ini, United Nations Committee menyatakan bahwa164: The Committee observed in general comment No. 22, that “the concept of morals derives from many social, philosophical and religious traditions; consequently, limitations... for the purpose of protecting morals must be based on principles not deriving exclusively from a single tradition”. Any such limitations must be understood in the light of universality of human rights and the principle of non-discrimination.
Terkait
dengan
yang
dimaksud
dengan
konsepsi moral, dalam pernyataan di atas, dapat berasal dari tradisi-tradisi yang hidup, baik sosial, filosofi
dan
religiusitas
yang
ada
di
dalam
masyarakat. Namun, yang harus diperhatikan bahwa tidak boleh pembatasan itu didasarkan pada satu kepentingan saja. Prinsip dasar hak asasi manusia yang universal dan prinsip nondiskriminasi Pembatasan
harus terhadap
dijadikan
landasan.
kebebasan
berekspresi
adalah berdasarkan pada nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat yang sangat relatif. Aspek mekanisme pembatasan menjadi penting untuk dapat
mengukur
bahwa
suatu
perwujudan
kebebasan berekspresi melukai nilai-nilai.
164
UN Human Rights Committee, General Comments No. 34 (CCPR/C/GC/34): Article 19 Freedom of Expression, issued 12 September 2011, point 32.
238
Mencantumkan kepentingan umum sebagai pembatas
untuk
berekspresi
implementasi
menjadi
diperdebatkan.
Definisi
persoalan terhadap
kebebasan yang
dapat
kepentingan
umum menjadi sulit diperjelas, karena definisinya sangat relatif dan bergantung pada lingkungan masyarakat tempat hidupnya. Public order (ordre public),
or
of
public
health
or
morals
atau
diterjemahkan sebagai ketertiban
umum
atau
kesehatan atau moral umum165 juga tidak dapat diperjelas
definisinya.
Akan
tetapi,
Siracusa
Principle dan Johannesburg Principle memberikan penjelasan tentang hal ini yang bilamana hendak digambarkan secara rinci, maka dapat dilihat dalam tabel berikut166: Tabel 3.8. Public Order, Public Health dan Public Moral public order (ketertiban umum)
public health (kesehatan masyarakat)
Dalam konteks ini harus diterjemahkan sebagai sejumlah aturan yang menjamin berfungsinya masyarakat atau seperangkat prinsip mendasar yang hidup di masyarakat, selain itu tujuan suatu hak asasi tertentu, dimana negara (otoritas) membentuk norma yang menjamin berfungsinya masyarakat, dan negara dalam melaksanakan wewenangnya diawasi oleh badan yang kompeten Merupakan hal-hal yang digunakan untuk mengambil langkah-langkah penanganan atas sebuah ancaman yang bersifat serius terhadap kesehatan masyarakat ataupun anggota
165
Menurut UU No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi ICCPR. Disarikan dari pernyataan dari Siracusa Principles on the Limitation and Derogation Provisions in the International Covenant on Civil and Political Rights dan The Johannesburg Principles On National Security, Freedom of Expression And Access to Information. Lihat pula Tim ELSAM, op. cit. Hal. 37-39. 166
239
public moral (moral publik)
masyarakat, atau ancaman terhadap kesehatan populasi (atau anggota populasi). Akan tetapi, langkah pembatasan ini harus diletakkan dalam konteks pencegahan penyakit atau kecelakaan dalam rangka menyediakan layanan kesehatan bagi yang terluka atau sakit (dalam hal ini negara harus mengacu pada atuean kesehatan internasional dari Worl Health Organization). Berkaitan dengan eksistensi negara yang harus menunjukkan bahwa pembatasan terhadap kebebasan berekspresi diupayakan untuk memlihara nilai-nilai mendasar dalam masyarakat. Alasan moral memang dapat dipergunakan untuk negara melakukan diskresi, namun harus tetap tunduk pada maksud dan tujuan konvensi, yakni membuktikan tujuan untuk menjaga penghormatan pada nilai-nilai fundamental dalam masyarakat.
Permasalahan yang dapat diajukan adalah bagian mana tentang aturan isi media yang mengimplementasikan batasan-batasan tersebut di atas? Atau apa saja yang termasuk dalam public order, public health dan public moral di dalam pengaturan
isi
intepretatif
Siracusa
Principle,
dan
media
di
Indonesia?
Principle,
Camden
Secara
Johannesburg
Principle
memberikan
gambaran mengenai ketiga hal tersebut di atas. UU Pers sendiri tidak secara pasti dan tegas memuat batasan isinya yang berkaitan dengan ketertiban umum. Pasal 5 dan Pasal 13 UU Pers hanya
menyatakan
memberitakan menghormati 240
peristiwa
adanya dan
norma-norma
kewajiban opini
agama
dengan
dan
rasa
kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. Disamping itu, ada larangan untuk isi yang merendahkan martabat agama, mengganggu kehidupan beragama, minuman keras dan obatobat berbahaya serta rokok. Agaknya di dalam UU Pers tidak memisahkan mana yang dapat disebut sebagai public order, public health dan public moral. Meskipun demikian, tersirat UU Pers hendak mengakomodasi kepentingan-kepentingan tersebut dalam ketentuan yang umum. Berbeda dengan UU Penyiaran di Pasal 36 mewajibkan bagi isi siaran mengandung informasi, pendidikan,
hiburan,
pembentukan
dan
manfaat
untuk
watak,
moral,
intelektualitas,
kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan
kesatuan,
agama
dan
serta
mengamalkan
budaya
Indonesia.
nilai-nilai Sementara
larangannya adalah isi yang fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong; serta menonjolkan unsur
kekerasan,
cabul,
perjudian,
penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang; atau mempertentangkan suku, agama, ras, dan antar golongan. Terhadap pelanggaran ketentuan ini, subyek pelanggar dapat dikenakan sanksi administratif.167 Letak implementasi public order 167
Sanksi administratif berupa : (a) teguran tertulis; (b) penghentian sementara mata acara yang bermasalah setelah melalui tahap tertentu; (c) pembatasan durasi dan waktu siaran; (d) denda administratif; (e) pembekuan kegiatan siaran untuk waktu tertentu; (f) tidak diberi perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran; dan (g) pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran. Lihat Pasal 55 UU Penyiaran.
241
dapat dilihat dari substansi yang mengupayakan persatuan dan kesatuan (baik dalam hal SARA maupun amalan terhadap nilai kebudayaan) serta mendorong penguatan karakter masyarakat. Melalui
pasal
ini
pula,
public
health
diperjuangkan dengan melarang adanya isi siaran yang memuat penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang. Sementara di undang-undang ini juga menetapkan
nilai-nilai
agama,
perlindungan
terhadap khalayak tertentu (khususnya anak-anak dan remaja), dan budaya Indonesia, tidak boleh diganggu gugat, yang dapat menjadi pembatasan oleh karena perlindungan terhadap public moral. Unsur moralitas yang ditekankan tidak melulu pada aspek kekerasan dan pornografi, namun juga pada pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan dan kekuatan bangsa. Sejalan dengan itu, UU ITE memberikan metode
berbeda
dengan
memuat
larangan-
larangan, yang secara intepretatif menekan ruang kebebasan agar tunduk pada public order, public health dan public moral. Pasal 27 UU ITE oleh pembuat undang-undang, dijadikan patokan dasar perwujudan kebebasan berekspresi dalam muatan isinya. Public order tidak dapat dinyatakan secara tegas, karena hal yang dilarang adalah kesusilaan, perjudian, pengancaman.
242
defamation,
dan
pemerasan/
UU
ITE
cenderung
menggunakan
bahasa
teknis secara tersirat untuk memastikan bahwa public order diberikan perlindungan hukum, yakni dengan
melarang
mengakses
tindakan-tindakan
komputer
milik
orang
seperti
lain
atau
informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik tanpa ijin, merusak sistem keamanan, melakukan intersepsi untuk
tujuan yang tidak diijinkan,
melakukan tindakan yang merugikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik milik publik,
sampai
dan/atau
merusak
dokumen
informasi
elektronik
elektronik
yang
bersifat
rahasia sehingga menjadi tidak utuh.168 UU Perfilman menekankan poin penting dari kegiatan perfilman yang dilaksanakan dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan, dan budaya bangsa (Pasal 5 UU Perfilman). Tujuan ini dapat dikaitkan dengan makna public order, public health dan public moral yang diamanatkan oleh konvensi. Arah kegiatan perfilman ini menjadi asas utama yang membatasi ruang gerak isi film. Salah satu yang paling terlihat untuk melindungi public order adalah isi film di Pasal 6 huruf e UU Perfilman, tidak diperkenankan
mendorong
khalayak
umum
melakukan tindakan melawan hukum.
168
Lihat Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32 dan Pasal 33 UU ITE.
243
Keempat
undang-undang
secara
prinsip
memandang public order, public health dan public moral dengan caranya sendiri-sendiri. Tentang public
health
bila
diinterpretasikan
sebagai
perlindungan terhadap ancaman yang bersifat serius terhadap kesehatan masyarakat ataupun anggota
masyarakat,
maka
UU
Pers,
UU
Penyiaran, dan UU Perfilman hanya menyinggung hal yang berkaitan dengan larangan isi yang memuat tentang penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang. Muatan ini menjadi satu-satunya pembatasan terhadap isi media demi melindungi public health. Sedangkan yang morals,
berkaitan
masing-masing
dengan
public
undang-undang
selalu
mencantumkan penegasan bahwa isi dilarang memuat hal-hal yang merendahkan harkat dan martabat
manusia,
melecehkan/mengabaikan
nilai-nilai agama, mencederai rasa kesusilaan, serta
bertentangan
dengan
masyarakat
Indonesia.
kebebasan
berekspresi,
melanggar
public
moral
sosial
Determinasi
budaya hak
atas
tidak
diperkenankan
sebab
masyarakatlah
sebagai subyek yang mengerti dan memahami lingkungan hidupnya. Sehingga bilamana dirasa sesuatu hal (isi media) dirasa masyarakat tidak sesuai dengan lingkungannya, maka hak mereka untuk menolak. Demikian artinya bahwa isi media menjadi komoditas yang dipertaruhkan oleh para 244
anggota
masyarakat
karena
akan
mendorong
pembentukan opini dan perubahan sosial. Inilah fungsi
dari
merupakan
informasi salah
satu
yang
bebas
unsur
itu,
utama
yang dalam
kehidupan yang demokratis. Selain keterbukaan terhadap eksistensi hak, di sisi lain isi media memberikan
akses
kepada
masyarakat
untuk
menikmati
perkembangan
teknologi
dan
pengetahuan untuk meningkatkan kesejahteraan bersama. Dengan pemenuhan
uraian-uraian prinsip
tersebut,
kebebasan
maka
berekspresi
di
dalam peraturan tentang isi media, dapat dilihat dalam simpulan sederhana melalui tabel berikut:
245
Tabel 3.9. Pemenuhan Prinsip Kebebasan Berekspresi dalam Isi Media Prinsip Konvensi
UUD 1945
UU Pers
UU Penyiaran
UU ITE
UU Perfilman
Pengakuan: Kebebasan sebagai hak
Dinyatakan: Kebebasan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi, melalui berbagai saluran yang tersedia pembatasan ditetapkan undangundang: pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis
Dinyatakan: kemerdekaan pers
Dinyatakan: dalam konsideran ‘menimbang’
Tidak diatur
Berita (peristiwa dan opini) yang hormat pada norma agama, norma susila, asas praduga tak bersalah (akurat, benar)
Siaran: rangkaian pesan (suara, gambar, suara & gambar, grafis, karakter interaktif atau tidak) yang dapat diterima oleh perangkat penyiaran.
Informasi dan dokumen elektronik yang dimuat di media internet
Tidak tegas diatur, hanya dinyatakan sebagai kebebasan berkreasi, berinovasi dan berkarya Film: pranata sosial dan media komunikasi massa berdasar kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara yang dapat dipertunjukkan
Tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, pelarangan penyiaran. Isi iklan dilarang: merendahkan martabat agama, mengganggu kerukunan antar umat, bertentangan norma susila, minuman keras, narkotika, psikotropika, zat aditif lainnya, rokok
Dilarang memuat: fitnah, hasutan, sesat/bohong, kekerasan, cabul, perjudian, narkotika, obat terlarang, pertentangan SARA & golongan, memperolokkan, merendahkan, melecehkan, mengabaikan nilai agama, martabat manusia Indonesia, merusak hubungan internasional
Dilarang memuat: melanggar kesusilaan, perjudian, penghinaan/ pencemaran nama baik, pemerasan/ pengancaman, berita bohong, rasa kebencian individu/ kelompok/SARA, ancaman kekerasan terhadap pribadi
Cakupan: “freedom to seek, receive and impart information and ideas of all kinds,” dan “orally, writing or print, the form of art, or through any other media of his choice Pembatasan: prescribed by law, respect to reputations of others, national security, public order (ordre public), or of public health or morals, propaganda for war shall be prohibited by law; racial or religious hatred that constitutes incitement to discrimination, hostility or violence
Dilarang memuat: kekerasan, perjudian, narkotika, psikotropika, zat adiktif, pornografi, provokasi (SARA, antarkelompok, dsb), serangan pada agama, tindakan melawan hukum, merendahkan harkat & martabat
246
C. Harmonisasi Pengaturan Isi Media Instrumen-instrumen menjadi
sumber
hukum
untuk
mengatur
internasional isi
media.
Indonesia sebagai negara pihak dalam konvensi, memiliki kewajiban untuk menyesuaikan sistem hukumnya dengan substansi konvensi. Uniformitas hukum mendorong untuk dapat mempersatukan berbagai
kepentingan,
baik
kepentingan
internasional, regional, dan antar sektor kehidupan nasional. Perspektif
tersebut
dapat
diimplementasikan
dalam dua mekanisme perumusan, harmonisasi kebijakan
formulasi
dan
harmonisasi
materi.
Indonesia menjadi negara pihak dalam konvensi, oleh karena melalui ratifikasi terhadap UDHR diratifikasi melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi dan ICCPR diratifikasi melalui UndangUndang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil Dan Politik), setidaknya ada dua konvensi yang dapat dijadikan acuan.168
168
Disamping itu, Indonesia telah meratifikasi instrumen hak asasi manusia lainnya, yakni International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights melalui UU No. 11 Tahun 2005; International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (1965) melalui UU No. 29 Tahun 1999; Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (1979) melalui UU No. 7 Tahun 1984; Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (1984) melalui UU No. 5
247
Menurut James W. Nickel negara memiliki kewajiban
untuk
memenuhi
(to
fulfil),
yakni
mengharuskan negara untuk mengambil tindakantindakan legislatif, administratif, anggaran, hukum, dan semua tindakan lain yang memadai guna memenuhi
sepenuhnya
manusia.169 menimbulkan
atas
Pelaksanaan
hak-hak
kewajiban
persinggungan
antara
asasi tersebut hukum
internasional dengan hukum nasional suatu negara. Implementasi hukum internasional melalui hukum nasional menjadi conditio sina quanon berlakunya hukum internasional pada yurisdiksi nasional suatu negara
secara
efektif.
Persetujuan
negara
yang
menyatakan untuk mengikatkan diri (consent to be bound) merupakan langkah pertama dalam proses transformasi, yakni untuk memberlakukan normanorma hukum hak asasi manusia internasional, ke dalam hukum positif di suatu negara. Peristiwa persinggungan awal ini menjadi prasyarat untuk memberlakukan prinsip-prinsip instrumen hukum internasional ke dalam hukum nasional. Terkait
dengan
transformasi
hukum
internasional ke dalam hukum nasional, J.G. Starke menyatakan bahwa hal tersebut bergantung pada dua hal pokok, yakni: (a) sifat dan ketentuanketentuan
perjanjian
internasional
yang
Tahun 1998; dan Convention on the Rights of the Child (1989) melalui Keppres No. 36 Tahun 1990. 169 James W. Nickel, Hak Asasi Manusia : Refleksi Teoritis atas Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. PT Gramedia Pustaka Utama; Jakarta, 1996.
248
bersangkutan, yakni terdapat beberapa perjanjian internasional
tertentu
merupakan
perjanjian
internasional yang self-operating atau self-executing dan tidak mensyaratkan implementasi legislatif; dan, (b) praktik konstitusional atau administrasi pada setiap negara itu sendiri dan implementasi pada level lokal di suatu negara. Terdapat juga perjanjian internasional struktural
yang
dari
memerlukan
kaidah
yang
transformasi
ditetapkan
dalam
perjanjian internasional tersebut.170 Hal-hal inilah yang menjadi kewajiban utama bagi negara pihak. Baik secara forma maupun secara substansial, prinsip-prinsip dalam konvensi harus menyentuh sampai pada sistem hukum yang dibangun olehnya. Oleh karena itu, di dalam konteks melihat substansi
konvensi,
sebagai
prinsip
kebebasan
berekspresi di Indonesia, khususnya yang terdapat pada peraturan perundang-undangan tentang media, maka harmonisasi mutlak diperlukan. Harmonisasi vertikal dan harmonisasi horizontal menjadi upaya untuk muatan
mengetahui peraturan
tentang
bagaimana
materi
perundang-undangan
dengan
konvensi/ perjanjian internasional. Adapun prinsip dalam konvensi harus tetap menjadi titik tolak untuk melihat bagaimana peraturan perundang-undangan mengadopsi
kebebasan
berekspresi
secara
komprehensif. Ratifikasi atas konvensi/perjanjian 170
J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional. Sinar Grafika; Jakarta, 2001. Hal.
249
internasional menjadi penyebab bahwa peraturan perundang-undangan harus memperhatikan muatan konvensi/perjanjian
internasional
yang
telah
diakui/diratifikasi. Di sisi lain harmonisasi vertikal juga berkaitan dengan konsepsi materi muatan peraturan Undang
perundang-undangan Dasar.
Peraturan
dengan
Undang-
perundang-undangan
tersebut harus diselaraskan dengan UUD, berkaitan
dengan
pasal-pasal
tertentu,
baik
maupun
dengan prinsip-prinsip negara hukum dan negara demokrasi. Di sinilah kebebasan berekspresi menjadi isu yang wajib dilihat, bahwa peraturan perundangundangan secara vertikal tunduk pada konstitusi dan memperjelas hak atas kebebasan berekspresi. Harmonisasi horizontal diperlukan juga untuk mengetahui
bagaimana
substansi
kebebasan
berekspresi dimaknai sama antara satu undangundang
dengan
undang-undang
yang
lain.
Kedudukannya yang sederajat, dapat mendorong pembentukan peraturan perundang-undangan yang memiliki pemahaman yang sama tentang satu isu, yakni kebebasan bereskpresi. Karakter kebebasan berekspresi menjadi prinsip yang dapat diketahui melalui undang-undang yang mengatur mengenai media. Isi media yang diatur di dalam masing-masing undang-undang,
mendeskripsikan
bagaimana
kebebasan berekspresi mampu dilindungi sekaligus diberikan batasan yang tepat, sebagaimana hak asasi dilindungi oleh konvensi maupun konstitusi. 250
Demikian dapat dilihat bahwa ada dua cara pandang
untuk
melihat
harmonisasi
kebebasan
bereskpresi dalam peraturan perundang-undangan, yakni harmonisasi undang-undang dengan muatan kebebasan
berekspresi
dalam
konvensi
dan
konstitusi, serta harmonisasi isi media. Keduanya bertitik
tolak
pada
upaya
harmonisasi
vertikal
dengan harmonisasi horizontal, untuk mendapatkan kesesuaian tentang prinsip kebebasan berekspresi dalam
peraturan
perundang-undangan
tentang
media.
1. Harmonisasi
Materi
Muatan
Peraturan
Perundang-undangan dengan Konvensi dan Konstitusi Indonesia
telah
ICCPR,
sehingga
untuk
menyerap
meratifikasi
harus dan
UDHR
memenuhi
dan
kewajiban
melaksanakan
prinsip-
prinsip konvensi. Freedom of the expression dan prinsip-prinsipnya harus pula menjadi perhatian dalam
konteks
harmonisasi.
Kebebasan
berekspresi di dalam konvensi dapat dilihat dari dua perspektif yakni: hak untuk mengakses, menerima dan menyebarkan informasi, dan hak untuk
mengekspresikan
diri
melalui
media
apapun.171 Jadi di dalam konvensi setidaknya ada empat hal utama: pengakuan terhadap hak atas 171
Lihat Article 19 UDHR dan Article 19 ICCPR.
251
kebebasan berekspresi sebagai hak asasi manusia, kebebasan
memperoleh
informasi
dan/atau
menyebarkan informasi, dan mengaktualisasikan diri (berekspresi) melalui media apapun, serta pembatasan
terhadap
implementasi
hak
atas
kebebasan berekspresi. Bahwa kemudian terdapat kewajiban negara pihak
(yang
menandatangani
dan/atau
meratifikasi konvensi) harus memberikan jaminan terhadap hak atas kebebasan berekspresi, maka perlu dicermati bagaimana peraturan perundangundangan
memuat
prinsip-prinsip.
Undang-
undang harus menjamin hak seseorang untuk memuat apa saja, melalui media apapun. Hal ini dipahami dengan hak untuk berekspresi apapun bentuknya (visual, audio, dan lain sebagainya), melalui media apapun. Media dalam konteks ini adalah media pers (baik cetak maupun elektronik), media siar, internet dan film. Disamping memberikan kebebasan
itu,
undang-undang
batasan berekspresi,
atas
harus
implementasi
terkait
dengan
hak ruang
lingkup hak tersebut. Pembatasan ini penting dengan
maksud
memberikan
margin
of
appreciation to human rights atau tanggung jawab khusus
untuk
menghormati,
melindungi,
dan
memenuhi hak asasi manusia. Oleh karena itu, konvensi mendorong dua kepentingan: formil dan materiil untuk memberikan landasan terhadap 252
implementasi perlindungan sekaligus pembatasan hak. Harmonisasi yang menekankan pada proses untuk
menuju
harmoni,
dimaksudkan
untuk
menyelaraskan hal-hal yang bertentangan secara proporsional agar membentuk suatu sistem. Di bidang
hukum
undangan,
atau
peraturan
harmonisasi
perundang-
dimaksudkan
agar
peraturan perundang-undangan menjadi bagian integral dari hukum suatu negara, peraturan perundang-undangan dapat saling terkait satu dengan
yang
lainnya
secara
utuh.
Secara
substansial pula, muatan masing-masing undangundang, harus memiliki kandungan makna yang sama bilamana mengatur sesuatu tertentu. Oleh karena itu, Indonesia yang telah meratifikasi konvensi,
juga
memiliki
kewajiban
untuk
mengatur hak asasi dalam kerangka makna yang sama, baik berbentuk konstitusi, undang-undang dan peraturan perundang-undangan yang lain yang mengatur hak. Tugas
dari
pemerintah
negara
pihak,
termasuk Indonesia, melaksanakan hal-hal utama, yakni
memberikan
sebagaimana
pengakuan
konvensi
mengakui
yang hak
sama atas
kebebasan berekspresi. Negara pihak juga harus memberikan jaminan kebebasan berekspresi warga negaranya, sekaligus juga mengatur ruang lingkup kebebasan berekspresi. Semua hal tersebut harus taat
prinsip
konvensi,
sehingga
kunci
dari 253
harmonisasi bereskpresi
dari di
pengaturan
dalam
kebebasan
peraturan
perundang-
undangan nasional adalah kesepahaman makna prinsip-prinsip konvensi dalam implementasinya di peraturan perundang-undangan di Indonesia. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka di dalam konvensi dapat diketahui ada tiga pokok substansi utama yang seharusnya dipenuhi oleh negara pihak. Pertama, substansi yang berkaitan dengan
pengakuan
terhadap
kebebasan
berekspresi sebagai hak asasi. Kedua, ruang lingkup
atau
jangkauan
implementasi
atau
perwujudan hak kebebasan berekspresi secara yuridis. Ketiga, mekanisme yuridis yang berkaitan dengan
pembatasan-pembatasan
atas
hak
kebebasan berekspresi. Ketiganya ini bertolak dari kewajiban
umum
negara
pihak
untuk
melaksanakan hal-hal yang ditetapkan konvensi. Di dalam kerangka harmonisasi, substansi konvensi
yang
kebebasan
berkaitan
berekspresi,
dengan
menjadi
perwujudan
sumber
yang
untuk melihat apakah keberadaan isi media yang diatur
sesuai.
Pada
aras
bagaimana
peraturan
memberikan
pengakuan
pertama
adalah
perundang-undangan terhadap
hak
atas
kebebasan berekspresi. Norma dasarnya, yakni UUD 1945 pada Pasal 28F telah menyatakan dengan
tegas
bahwa
ada
jaminan
sekaligus
pengakuan bahwa kebebasan berekspresi adalah 254
hak asasi yang harus dilindungi. Pasal ini menjadi rujukan
utama
untuk
mengimplementasikan
wujud kebebasan berekspresi. Dengan dimuat di dalam
konstitusi,
maka
ada
letak
dasar
pembentukan sistem hukum terhadap kebebasan berekspresi.
Pemenuhan
kewajiban
terhadap
konvensi, juga terwujud dengan adanya Pasal 28F UUD 1945, dalam dua hal: kewajiban umum sebagai negara pihak dan kewajiban substansial untuk memuat materi prinsip konvensi. Dengan
demikian,
prinsip
kebebasan
berekspresi menjadi kunci yang substansial pada upaya harmonisasi hukum media, khususnya pada konteks isi media. Baik di dalam norma dasar maupun pada tingkatan undang-undang yang
dibentuk
Harmonisasi
berdasarkan
adalah
kata
kunci
konstitusi. mengetahui
maksud dari undang-undang yang dibentuk oleh karena perintah dari konstitusi. Maka, peraturan perundang-undangan tentang media, yakni pers, penyiaran,
internet
dan
perfilman,
harus
merupakan peraturan perundang-undangan yang mengimplementasikan
substansi
konstitusi.
Harmonisasi dengan konstitusi adalah penting, yakni
peraturan
perundang-undangan
menjadi
bagian integral dari sistem hukum. UUD 1945 merupakan hukum dasar peraturan perundangundangan. UUD 1945 yang memuat hukum dasar negara adalah sumber hukum bagi pembentukan 255
peraturan perundang-undangan di bawah undangundang
dasar.
Artinya
konstitusi
menjadi
landasan normatif yang paling fundamental bagi pembentukan peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan merupakan bagian yang integral dari suatu sistem hukum, dimana
harus
memenuhi
ciri-ciri
yang
sama
antara undang-undang yang satu dengan undangundang yang lain. Selain itu, harus terdapat saling keterkaitan menjadi
dan
saling
kebulatan
berekspresi
ketergantungan
utuh.
kemudian
Muatan
menjadi
yang
kebebasan
pertimbangan,
apakah secara vertikal, maupun secara horizontal, harmonisasi dapat ditemui dalam pembentukan sistem hukum media. Melalui keempat undangundang yang merujuk pada Pasal 28 UUD 1945 Amandemen, layak dilihat bagaimana kebebasan berekspresi
diterjemahkan
sebagai
hak
asasi
dengan karakter yang serupa. Bertolak dari hal tersebut, UUD 1945 telah memasukkan muatan konvensi, yakni tentang konsep pengakuan terhadap freedom of expression di
dalam
Pasal
28
yang
menjamin
bahwa
seseorang dapat mengeluarkan pikiran dengan lisan
dan
dengan substansi
tulisan
dan
undang-undang. Pasal
28F
sebagainya
ditetapkan
Ditambah yang
lebih
dengan spesifik
menunjukkan ada ruang bebas untuk berekspresi, sebagaimana diakui konvensi, yakni bahwa setiap 256
orang
berhak
memperoleh
untuk
informasi
berkomunikasi untuk
dan
mengembangkan
pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk
mencari,
menyimpan, informasi
memperoleh,
mengolah,
dengan
dan
memiliki,
menyampaikan
menggunakan
segala
jenis
saluran yang tersedia. Karena menjadi norma dasar, maka munculnya UU Pers, UU Penyiaran, UU
ITE
dan
UU
Perfilman
adalah
karena
keberadaan Pasal 28 dan Pasal 28F UUD 1945 ini. Baik UU Pers, UU Penyiaran, UU ITE dan UU Perfilman, secara lugas maupun tidak, menjadikan kebebasan berekspresi sebagai substansi yang tidak dapat diterjemahkan dalam satu tolakan. Masing-masing
undang-undang
mewujudkan
kebebasan berekspresi di ketentuannya masingmasing tentang isi media. Meskipun demikian, ada maksud untuk memberikan pemahaman yang setara dalam hal mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
mengolah
dan
menyampaikan
informasi dengan bertanggung jawab. Undangundang
menciptakan
perlindungan
sekaligus
memberikan batasan yang dimungkinkan bagi perwujudan kebebasan berekspresi tersebut.
257
2. Harmonisasi Isi Media Terlepas
dari
kedudukan
konstitusi,
keberadaan prinsip-prinsip kebebasan berekspresi di dalam konvensi tetap memberikan sumbangsih inspirasi terhadap pembentukan undang-undang. Pasal 28 dan Pasal 28F memang mendasari perlindungan
terhadap
kebebasan
berekspresi,
namun diperlukan undang-undang yang mengatur lebih rinci. Kebebasan berekspresi menjadi isu yang paling utama, terkait dengan pengaturan terhadap
isi.
Muatan
tentang
kebebasan
berekspresi sudah selayaknya dimaknai dengan derajat yang sama bilamana diatur dalam undangundang teknis. Jadi isi media menjadi kunci bagaimana
kebebasan
berekspresi
dapat
diwujudkan melalui pers, penyiaran, internet dan film.
Perwujudan
tersebut
dilindungi
undang-
undang dan harus dapat selaras antara undangundang yang satu dengan undang-undang yang lain. Isi media yang diatur, berkaitan dengan cara pandang terhadap kebebasan berekspresi, yakni tentang hak untuk mengekspresikan diri melalui media
apapun.
Artinya
dalam
kerangka
harmonisasi hukum, yang melihat pada tiga aspek yakni legal substance, legal structure, dan legal culture, maka ketentuan undang-undang yang mengatur tentang kebebasan berekspresi harus diuji. 258
Terbitnya tentang
media,
peraturan yang
perundang-undangan
diarahkan
pada
tujuan
perlindungan terhadap akses dan sarana informasi yang digunakan oleh masyarakat, menimbulkan persoalan tersendiri. Pers, penyiaran, internet dan film adalah hal-hal yang paling mudah diakses dan menjadi sumber informasi bagi masyarakat di berbagai kalangan. Isi masing-masing media ini menjadi penentu, apakah isi tersebut menyiratkan kebutuhan atau hanya menjadi sensasi. Produksi isi,
menimbulkan
dua
kepentingan,
yakni
kepentingan berekspresi dan kepentingan tujuan (atau manfaat) yang akan diperoleh. Pada sisi ini, undang-undang
menyediakan
perlindungan.
Bagaimana undang-undang melindungi isi tanpa melukai
hak
subyek
lain,
ini
yang
harus
diselaraskan. Mengingat bahwa pers, penyiaran, internet dan film pada satu titik akan bertemu, memiliki kepentingan masing-masing pada aspek bisnis
dan
non-bisnis,
serta
sekaligus
menyinggung prioritas subyek. Mengatur tentang isi media, melalui berbagai undang-undang yang teknis, menyebabkan ada keharusan
untuk
menyelaraskan
kepentingan
yang sama, yakni tentang kebebasan berekspresi. Pelibatan substansi konvensi dalam harmonisasi vertikal dan horizontal tidak dapat dipisahkan dari upaya
harmonisasi
konvensi.
Baik
terhadap
aturan
tentang
prinsip isi
dalam
pers,
isi 259
penyiaran, isi internet (dokumen dan transaksi elektronik), dan isi film, mengindikasikan ada tidaknya keselarasan, keserasian tentang hal sama yang
diatur:
berbagai
kebebasan
bentuknya.
bereskpresi
Kebebasan
dalam
berekspresi
kemudian menjadi bagian yang integral dari sistem hukum. Membandingkan perlakuan keempat undangundang tentang media, kebebasan berekspresi dapat dilihat dari makna “…an information and ideas of any kinds…” yang seharusnya muncul dalam
ketentuan
tentang
isi.
Masing-masing
undang-undang mengatur dengan cara yang khas. Semenjak
diakuinya
kebebasan
berekspresi
sebagai hak asasi di dalam UUD 1945, yang kemudian diterbitkan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, maka kebebasan berekspresi menjadi hak konstitusional yang harus dilindungi. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dapat dianggap sebagai undangundang pertama pada era reformasi yang secara tegas meletakkan dasar kebebasan terhadap media (khususnya media pers). Undang-undang ini pula yang memuat tentang kemerdekaan pers sebagai bentuk
perlindungan
terhadap
freedom
of
expression secara otentik. UU Pers menegaskan bahwa kemerdekaan pers adalah utama adanya. Penegasan tersebut juga bermaksud agar terhadap pers nasional tidak 260
dikenakan
penyensoran,
pelarangan
penyiaran.
pembredelan Untuk
atau
menjamin
kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari,
memperoleh,
dan
menyebarluaskan
gagasan dan informasi. Pada perkembangannya, UU Pers dengan prinsip
kemerdekaan
pers
yang
dimilikinya,
kemudian memberikan inspirasi bagi terbentuknya peraturan
perundang-undangan
yang
lain
di
bidang media. Aspek kebebasan sebagai hak menjadi landasan fundamental bagi perwujudan kebebasan berekspresi. UU Pers telah memulai dengan membebaskan muatan materi pers secara bertanggung jawab. Setelah UU Pers, terbitlah UU Penyiaran, UU ITE dan UU Perfilman yang dalam kerangka
harmonisasi
hukum
media,
pada
prinsipnya mengatur substansi yang sama. Jadi, UU
Pers
sudah
mengatur
demikian
adanya,
sehingga undang-undang yang lain juga berada pada konsep kebebasan berekspresi yang sama. Keserasian dan keselarasan substansi tentang isi media, sudah selayaknya memiliki karakter yang sama antara undang-undang yang satu dengan undang-undang yang lain. UU Pers, UU Penyiaran, UU ITE dan UU Perfilman sebenarnya berada
pada
satu
mengimplementasikan
frame,
yakni
kebebasan
dalam
berekspresi
dengan situasi tanggung jawabnya. Terdapat dua hal
yang
harus
dicermati,
bahwa
peraturan 261
perundang-undangan secara horizontal memiliki karakter mirip, sekaligus juga memuat prinsip konvensi
di
koridor
yang
sepaham.
Hal
ini
diajukan sebagai cara untuk melihat apakah terdapat tumpah tindih aturan undang-undang saat memuat prinsip kebebasan berekspresi. Kerangka
harmonisasi
penyusunan cakupannya structure
sistem ada
menekankan
hukum
pada
pada
nasional,
legal
maka
substance,
legal
dan legal culture. Aturan tentang isi
media yang sudah dibentuk harus mencerminkan ketiga
hal
ini.
Disandingkan
dengan
prinsip
kebebasan berekspresi, maka isi media yang diatur harus dapat memuat substansi, struktur dan budaya. Sekalipun, UU Pers, UU Penyiaran, UU ITE dan UU Perfilman merupakan undang-undang dengan spesifikasi khusus, keempatnya sudah seharusnya berada pada karakter yang sama. Tentang legal substance, konvensi dan UUD 1945
telah
mengakui
adanya
kebebasan
berekspresi, ruang lingkup dan pembatasannya. Isi media yang diatur di UU Pers, UU Penyiaran, UU
ITE
memiliki
dan
UU
karakter
Perfilman yang
pada
sama.
prinsipnya
Masing-masing
mengatur mengenai tiga hal utama tentang isi, yakni:
bentuk
isi
media
(pers
cetak
atau
elektronik, siaran, internet dan film), mekanisme perlindungannya, serta batasan-batasan isi. Pada bagian sebelumnya, dijelaskan bahwa bermula 262
dari pengakuan atas kemerdekaan pers di UU Pers yang dijamin secara bebas, memberikan inspirasi kepada media lain untuk mewujudkan kebebasan berekspresi. Media mampu menjadi sarana yang efektif untuk menyebarluaskan informasi, dengan standar konvensi. Penekanan utama pada keempat undang-undang dianggap
ada
pada
penting,
public
sehingga
order
perlu
yang
diberikan
perhatian. Public order juga menyiratkan satu kondisi yang mempertemukan kepentingan pers, penyiaran, internet dan film pada satu titik persinggungan. Terdapat tiga substansi pada kepentingan umum atau public order yang menjadi titik temu persinggungan dan/atau persamaan.172 Hal itu adalah kerukunan hidup antarumat beragama, kesusilaan, serta perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia. Persinggungan terjadi bilamana
substansi
isi
sebagai
informasi
disebarluaskan melalui media pers, penyiaran, internet
dan
film
pada
waktu
yang
hampir
bersamaan. Informasi tersebut dapat menjadi isu yang menggugah kepentingan umum. Bahkan UU Penyiaran memperluas makna kepentingan umum yang
bisa
menyangkut
muatan
yang
dapat
mengganggu hubungan internasional. 172
Dapat dilihat pada Pasal 13 UU Pers, Pasal 36 ayat (1) dan (5) UU Penyiaran, Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 6 UU Perfilman. Masing-masing mengatur bahwa ada keadaan yang dilindungi terkait kepentingan yang lebih luas, seperti SARA, kesusilaan dan kemanusiaan.
263
Harmonisasi tentang isi media menciptakan warna tersendiri ketika pers diberikan larangan terhadap iklan yang memperlihatkan penggunaan minuman keras, narkotika, psikotropika dan zat aditif lainnya. Serentak, UU Penyiaran, UU ITE dan UU Perfilman mengatur pula agar masyarakat terlindungi dari ancaman terhadap public health tersebut. Substansi isi media ini memperlihatkan ada pemahaman yang serupa antar undangundang tentang keberadaan ancaman terhadap public health, kemudian memuatnya secara lugas di dalam undang-undang. Pada kenyataannya, isu-isu substansial yang berkaitan dengan isi media, berada pada irisan pertemuan antar undang-undang. Misalnya, isu tertentu menjadi isi pers yang kemudian disiarkan secara luas melalui media penyiaran dan media internet. Maka perdebatan yang muncul adalah undang-undang yang mana yang akan menjadi lex specialis-nya. Hal ini sangat bergantung pada letak isu yang menjadi sentral dari semua permasalahan media
yang
muncul
dan
pertimbangan
para
pelaku. Ancaman terhadap kebebasan berekspresi, dapat mengenakan kebebasan pers, kebebasan penyiaran
dan
kebebasan
internet
sebagai
sendiri,
masing-
wujudnya. Tentang masing
structure
undang-undang,
membentuk 264
legal wadah
terkecuali
organisasi
UU
khusus
ITE, (atau
aparat)
yang
memiliki
mengendalikan.
Dengan
wewenang membentuk
untuk lembaga-
lembaga khusus tersebut, peraturan perundangundangan tentang media berada pada konsepsi yang
serupa,
yakni
bahwa
wujud
kebebasan
berekspresi harus diawasi dan dikendalikan secara proporsional. Lembaga tersebut juga berwenang untuk
memberikan
perlindungan
terhadap
eksistensi hak lain yang cenderung dilukai oleh implementasi hak kebebasan berekspresi oleh subyek. Dewan Pers, Komisi Penyiaran Indonesia, dan
Lembaga
Sensor
Film,
landasan
undang-undang,
tersebut
melibatkan
dibentuk dimana
dengan
organisasi
subyek-subyek
yang
profesional di bidangnya. Aspek profesionalitas dipentingkan, oleh karena isi media perlu dinilai, apakah layak untuk dapat dikonsumsi khalayak. Kelayakan
tersebut
dan/atau
standar
diberikan
label
ijin
diukur
dengan
tertentu, siar
pedoman
sehingga
atau
lolos
dapat sensor.
Lembaga-lembaga memberikan penilaian terhadap isi pers, isi penyiaran dan isi film. Bilamana struktur hukum merupakan upaya membentuk aparat
yang
berfungsi
sebagai
pengatur
dan
pengendali, maka Dewan Pers, KPI dan LSF adalah wujud
organisasi
organik
yang
mendorong
keseimbangan antara pelaksanaan hak dengan dan pencegahannya agar tidak berlebihan.
265
Meskipun UU ITE tidak membentuk lembaga tertentu
untuk
menjadi
pengendali,
negara
bertindak langsung maupun tidak langsung untuk memberikan perlindungan terhadap kebebasan berekspresi melarang
melalui
media
konten-konten
internet,
tertentu
dengan
yang
dapat
mengancam eksistensi hak lain. Negara di media internet
bermutasi
menjadi
watch
dog
yang
berbeda fungsi dengan Dewan Pers, KPI dan LSF, dimana negara bertindak langsung dan tidak langsung melalui hukum pidana. Dalam konteks harmonisasi, sebenarnya menjadi tidak selaras, bahwa internet yang merupakan sarana dengan tujuan yang sama dengan sarana informasi yang lain, namun eksistensi negara tampak lebih kuat. Jadi
bilamana
harmonisasi
hukum
secara
horizontal, tentang legal culture, UU ITE berada pada sisi substansi yang berbeda. Sementara jika diharmonisasikan dengan muatan materi di dalam konvensi, maka pembentukan lembaga tertentu untuk
mengawal
kebebasan
berekspresi,
merupakan hal yang sangat intepretatif. Asumsi negara, apapun wujudnya, bisa diatur sesuai kebutuhan.173 lembaga, 173
UU
Meskipun ITE
tidak
membentuk
memperkenankan
hadirnya
Siracusa Principle menyatakan bahwa “state organs or agents responsible for the maintenance of public order (odre public) shall be subject to c ontrols in the exercise of their power through the parliament, courts, or other competent independent bodies.” Pernyataan ini memberikan penjelasan bahwa dipandang perlu untuk membentuk lembaga tertentu yang melaksanakan kontrol bagi pelaksanaan kebebasan berekspresi tanpa menciderai kepentingan publik.
266
negara melalui ketentuan hukum pidana untuk mengamankan amanat undang-undang. Tentang legal culture, peraturan perundangundangan
tentang
membentuk
media
lingkungan
dirumuskan
yang
berbeda
untuk dengan
masa lalu. Sistem hukum media yang baru secara normatif hendak mendorong masyarakat untuk lebih terbuka terhadap informasi yang berkembang melalui
saluran-saluran
pengakuan sebagai
terhadap
hak,
informasi.
kebebasan
mekanisme
Baik
berekspresi
perolehan
dan
penyebaran informasi melalui media dan batasanbatasan terhadap kebebasan berekspresi, diajukan untuk membentuk masyarakat Indonesia untuk memberikan Legal culture
penghargaan
dan
penghormatan.
baru yang hendak dikembangkan
dan menjadi tujuan normatif di dalam undangundang
adalah
untuk
mendorong
lingkungan
media yang lebih terbuka dan ekspresif sekaligus transparan. Hal ini ditunjukkan dengan menempatkan upaya pemenuhan hak masyarakat atas informasi, penegakkan nilai-nilai dasar hak asasi manusia yang
demokratis,
bertanggung bahwa
jawab.
dan Isi
pembentukan
kebebasan
media
yang
menjadi
kehidupan
kunci
masyarakat
dipengaruhi oleh informasi yang dimuatnya. Oleh karena
itu
lembaga-lembaga
media
memiliki
tanggung jawab untuk mampu menjaga arus 267
informasi yang akurat, aman, serta kebenarannya sangat terbukti atau teruji. Pengolahan isi juga menyangkut representasi masyarakat pemakainya, sehingga masyarakat dapat turut berkembang seiring perkembangan pengetahuan dan informasi yang tersedia. Indonesia sebagai negara pihak dalam konvensi, yang turut serta meratifikasi Universal Declaration of Human Rights dan International Convenant on Civil and
Political
Rights, bermaksud
untuk
menjadi
subyek internasional yang menghormati hak-hak universal. Kebebasan berekspresi yang menjelma sebagai hak yang berkembang secara masif pada beberapa dekade belakangan ini, perlu diantisipasi agar tetap terwujud namun penuh tanggung jawab. Makin
bervariasinya
sarana
atau
media
untuk
menjadi saluran, negara Indonesia sebagai negara demokratis, wajib memberikan perlindungan yang sama kepada warga negaranya maupun subyek lain di Indonesia. Ketiadaan batas untuk mendapatkan informasi, menyebabkan negara perlu membentuk aturan
yang
mampu
menjaga
persatuan
dan
kesatuan. Aturan itulah yang secara harmonis dapat mewujudkan isi media yang bertanggung jawab, sebagai
wujud
transparan.
268
kebebasan
berekspresi
yang