BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kehidupan dan kematian merupakan dua kata yang saling beroposisi namun juga saling berkaitan. Kehidupan suatu waktu akan dihadiri oleh kematian dan kematian itu tak ada yang mampu melarangnya untuk mendatangi kehidupan, kapanpun ketika waktunya telah tiba. Hal tersebut telah menjadi ketentuan dan hukum alam. Ini adalah sebagai pengingat bagi manusia bahwa sebagai makhluk hidup yang memiliki nyawa pasti nantinya “manusia, hewan maupun tumbuhan akan mati”. Ada beragam macam pendapat tentang definisi kematian. Menurut Socrates, kematian adalah berpisahnya tubuh dan roh; tubuh bersifat sementara sedangkan roh bersifat abadi. Di waktu yang berbeda Plato mendefinisikan kematian adalah suatu kebebasan, karena tubuh adalah penjara jiwa, ketika kematian datang maka jiwa dapat mencapai pengetahuan tertinggi (Hagin, 2010: 4). Dalam ilmu biologi kematian diartikan sebagai mekanisme sel-sel dan organ-orang penting dalam tubuh yang berhenti bekerja di satu waktu tertentu, sehingga tubuh tak lagi disebut hidup. Kematian sama sekali tak dapat dihindari dan akan datang kepada apapun yang bernyawa. Kematian merupakan sebuah kepastian yang akan terjadi pada setiap makhluk hidup sebagai kodratnya. Walaupun kematian itu disadari oleh manusia akan keberadaannya, namun kematian akan selalu disangkal, bahkan kematian dilarang untuk datang. Hal ini
1
2
kontras dengan pandangan terhadap kematian di masa lalu dimana meski kematian
ditakuti
namun
kematian dipersiapkan
kedatangannya
dengan
menyadari akan tanda-tanda pada diri manusia tersebut bahwa kematian mereka akan segera datang. Ini diungkapkan oleh Philipe Ariés dalam buku yang berjudul Western Attitudes Toward Death (1974) bahwa di masa modern ini manusia memasuki masa yang disebut Forbidden Death atau masa di mana kematian menjadi sangat ditakuti. Kematian kini dipandang begitu menakutkan disebabkan oleh taraf kehidupan yang sangat baik, harapan hidup yang tinggi, serta kebahagiaan yang didapatkan di dunia menjadikan mereka tidak menginginkan kematian datang begitu cepat. Oleh karena itu, dengan adanya teknologi dan pengetahuan yang semakin maju, manusia dibuat menjadi takut sehingga kematian berusaha dihindari dengan cara terus menunda-menunda datangnya kematian. “One dies in the hospital because the hospital has become the place to receive care which can no longer be given at home. Previously the hospital had been shelter for the poor, for pilgrims; then it became a medical center where people were healed, where one struggled against death. It still has that curative function, but people are also beginning to consider a certain type of hospital as the designated spot for dying. One dies in the hospital because the doctor did not succeed in healing.” (Ariés, 1974: 87-88) Penjelasan di atas mengenai ketakutan manusia terhadap kematian, dan ketakutan tersebut membawa Manusia pada sebuah persepsi bahwa rumah sakit yang dulunya hanya berfungsi sebagai tempat perlindungan bagi orang miskin dan musafir, kini telah berganti fungsi menjadi tempat untuk berlindung dari kematian. Manusia begitu menggantungkan harapan mereka kepada teknologi
3
yang dioperasikan oleh dokter dan rumah sakit yang bisa dipercaya dapat menolong hidup mereka dari kematian. Seperti yang disebutkan tadi, tidak hanya si sakit tetapi juga keluarga dan kerabat orang sakit tersebut juga mengalami ketakutan akan kematian. Bukan kematian mereka, tetapi kematian manusia yang mereka cintai. Kematian orang yang dicintai tak dapat diterima beigtu saja oleh para keluarga, teman dan sahabat yang telah mereka kenal dan cintai dalam waktu yang lama (Ariés, 1974). Hal ini juga diungkapkan oleh Kübler-Ross (1998) bahwa kematian akan membuat keluarga dan kerabat dari orang yang akan atau telah meninggal juga mengalami gejolak batin. Ini disebabkan karena ikatan yang kuat seperti rasa cinta dan kasih sayang yang membuat mereka tak rela jika salah satu orang yang mereka cintai pergi karena kematian. Kematian kini dianggap kenyataan yang seharusnya tidak terjadi. Ini merupakan sesuatu yang memalukan jika terjadi di sekitar mereka (Ariés, 1974). Dalam novel Inggris berjudul A Monster Calls yang bertema death and dying, ketakutan terhadap kematian yang dialami oleh sang tokoh utama bernama Conor O’Malley tergambar cukup jelas sebagaimana yang dipaparkan oleh Philippe Ariés mengenai pandangan kematian era forbidden death. Penyangkalan serta ketidakterimaan terhadap kematian yang akan menghampiri sang ibu terus dilakukan si tokoh. Kemampuan dokter begitu diandalkan untuk dapat menyembuhkan penyakit ibu Conor agar nantinya dia tidak jadi meninggal. Novel ini merupakan karya Patrick Ness berdasarkan ide asli dari mendiang Siobhan Dowd yang dulunya juga berprofesi sebagai penulis. Novel ini adalah
4
salah satu dari sekian banyak novel bertema death and dying. Hal yang menarik dari novel ini adalah adanya pohon yew yang berubah wujud menjadi monster dan sering mendatangi Conor ketika jam menunjukkan 12.07 tengah malam. Pohon itu bertempat di halaman gereja yang berada di belakang rumah Conor, yang mana pohon yew dan gereja tersebut dapat dijangkau oleh penglihatan Conor melalui jendela kamarnya. Monster itu muncul ketika penyakit ibunya mulai tidak terkendali. Dia datang untuk menceritakan tiga cerita yang berbeda masa yang berkaitan dengan monster tersebut. Monster itu juga mengaku bahwa dia dipanggil oleh Conor karena Conor membutuhkannya. Sang monster juga memiliki maksud dari kemunculannya di hadapan Conor, yaitu untuk menyembuhkan Conor. Hal ini sangat tidak sinkron dengan situasi yang terjadi dimana yang seharusnya disembuhkan adalah ibunya Conor, bukan Conor. Pada akhirnya diketahui bahwa Conor memang menakuti kematian, namun dia ingin semua masalah ini segera berakhir, bahkan itu berarti dia merelakan jika kematian benar-benar mendatangi ibunya. Akan tetapi pikiran tersebut berusaha ia buang jauh-jauh karena menurutnya itu sangat tidak pantas untuk dipikirkan seorang anak terhadap ibunya sendiri. Bagi Conor, jika kematian ibunya terjadi, maka dia yang patut disalahkan karena skeptis pada kesembuhan ibunya. Peneliti beranggapan bahwa apa yang terjadi pada tokoh Conor berkaitan dengan psikologinya. Contohnya dia bertemu dan berbicara dengan monster pohon yew, kemudian ia diceritakan tiga cerita yang dalam cerita tersebut Conor dan sang monster melewati ruang dan waktu dan melihat kejadian dari cerita monster tersebut. Conor mengalami mimpi buruk dalam kegelapan yang
5
mengerikan. Di satu sisi sikap tidak menerima kematian ibunya ditunjukkan oleh Conor, namun di sisi lain dia membuat pengakuan bahwa dia menerima kematian ibunya tersebut. Selain itu, Conor juga berlaku agresif dengan melakukan pengrusakan di ruang tengah neneknya dan pemukulan terhadap teman sekolahnya yang bernama Harry. Hal-hal yang disebutkan tadi terlihat adanya keterlibatan peran alam sadar dan alam bawah sadar Conor. Jika kelakuan dan pikiran Conor yang telah dijelaskan di atas dikaitkan dengan teori, maka teori psikoanalisis Sigmund Freud mengenai alam sadar dan alam bawah sadar cocok untuk digunakan untuk menganalisis novel ini. Sebagai sebuah karya tulis ilmiah, maka teori sangat dibutuhkan untuk membangun penelitian ini/ Selain itu, penelitian ini juga akan membahas kepribadian Conor serta motifnya dalam melakukan semua tindakan-tindakan serta pengalamanpengalaman aneh yang dia alami, namun tidak dirasakan oleh orang lain. Peneliti juga mendapatkan tindakan-tindakan yang dilakukan Conor sesuai dengan lima tahap sikap menghadapi kematian yang dirumuskan oleh Elizabeth-Kübler-Ross. Lima tahap ini peneliti masukkan untuk memperlihatkan lebih jelas tindakantindakan yang dilakukan Conor sebagai sikapnya menghadapi kematian ibunya.
1.2 Permasalahan, Masalah dan Rumusan Masalah 1.2.1 Permasalahan Di masa modern ini kematian menjadi hal yang tabu dan tak dapat dijadikan topik pembicaraan. Kematian bukanlah hal yang diinginkan manusia karena dianggap menakutkan. Kematian dilarang terjadi baik kepada orang itu sendiri maupun kerabat yang dicintainya. Ditunjang dengan kemampuan dokter yang
6
semakin luas serta teknologi dan ilmu pengetahuan yang semakin maju dan canggih membuat manusia berusaha menghindari kematian.
1.2.2 Masalah Dalam novel A Monster Calls karya Patrick Ness, Sebuah kenyataan pahit tentang kematian ibunya yang semakin dekat harus dihadapi oleh Conor O’Malley. Di satu sisi kematian ibunya sangat ditakutinya, di sisi lain kematian ibunya merupakan hal yang ia sadari.
1.2.3 Rumusan Masalah Dari permasalahan dan masalah yang tertulis di atas, maka didapatkan dua rumusan masalah terkait dengan penelitian ini, yaitu: 1. Bagaimanakah tindakan-tindakan tokoh utama yang disadarinya dalam menghadapi kematian ibunya? 2. Bagaimanakah alam bawah sadar tokoh utama yang terefleksi dalam kesehariannya menghadapi kematian ibunya, serta relasinya dengan alam sadar?
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki dua tujuan, yaitu tujuan teoritis dan tujuan praktis. Tujuan teoritis penelitian ini adalah untuk menerapkan teori tentang psikoanalisis dari Sigmund Freud. Teori ini digunakan untuk melihat bagaimana alam sadar dan alam bawah sadar tokoh ketika menghadapi sebuah kenyataan bahwa ibunya sedang sakit keras dan sedang menghadapi kematian. Selain teori dari Sigmund Freud, teori on death and dying oleh Elizabeth Kübler-Ross juga akan digunakan
7
dalam penelitian ini untuk melihat tahapan-tahapan yang dialami Conor dalam menghadapi kematian ibunya. Dalam penelitian ini,
kedua
teori tersebut
digunakan untuk meneliti novel A Monster Calls. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menambah dan melengkapi hasil-hasil penelitian sejenis, yang cukup relevan sebagai sumbangan ilmu sastra bagi pengembangan ilmu pengetahuan humaniora. Sedangkan tujuan praktis dari penelitian ini adalah untuk menunjukkan adanya keterkaitan antara karya sastra dengan kehidupan setiap individu di dunia nyata dalam menghadapi persoalan-persoalannya khususnya kematian. Hasil yang digunakan dalam penelitian ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa tiap individu memiliki kesadaran tentang kematian yang pada akhirnya kesadaran itu berbenturan dengan rasa takut terhadap kematian yang sebenarnya telah dimiliki oleh manusia sebagai ketakutan alamiah, dan tiap individu dapat menunjukkan sikap menghadapi kematian secara bertahap. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi kalangan luas.
1.4 Tinjauan Pustaka Ada beberapa penelitian yang berkaitan dengan penelitian di dalam tesis ini. Sebuah penelitian berjudul Breaking Death in Breaking Bad: Escaping Death Matters as Portrayed in Walter White yang diteliti oleh Anastasia Yuanita dari Universitas Gadjah Mada jurusan Kajian Amerika. Dalam penelitiannya, Yuanita melihat signifikansi kematian tokoh utama serial tv Breaking Bad yang bernama Walter White yang mengalami konflik batin sebagai responnya terhadap kematiannya yang akan datang. Dengan menggunakan teori psikoanalisis
8
Sigmund Freud, penelitian ini juga membahas tentang kepribadian Walter dalam berurusan dengan kematiannya. Penelitian mengenai kematian dengan menggunakan teori psikoanalisis Sigmund Freud juga dilakukan oleh Eric Rygaard Gray dalam disertasinya yang berjudul “Death and Katherine Anne Porter a Reading of a Long Stories”. Penelitian tersebut bertujuan untuk melihat psikologis pengarang dengan menghubungkan pengaruh teori psikoanalisis Freud dengan budaya di lingkungan tempat tinggal si penulis novel. Dari penelitian tersebut ditemukan bahwa terdapat unsur-unsur di dalam karya Katherine Anne Porter yang bertema kematian maupun feminisme yang memiliki kesamaan dengan pemikiran Freud seperti yang terdapat dalam beberapa karya Freud seperti “Interpretation of Dreams”, “The Psychopathology of Everyday Life”, “Three Essays on Sexuality”, beberapa studi kasus besarnya, beberapa kuliah preliminarinya, and “Totem and Taboo”. Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Geoffrey Alan Miles di disertasinya yang berjudul “Gravida-Gradiva: Pregnancy and Death Work in Freud‟s Pompeiian Fantasy”. Penelitian tersebut merupakan analisis karya Sigmund Freud yaitu “Delusions and Dreams in Jensen‟s „Gradiva‟”. Penelitian tersebut menjelaskan bagaimana figur ibu Freud Wilhelm Fliess dan cinta masa kecilnya Gisella Fluss telah membentuk represi dan supresi pada minat Freud terhadap novella Jensen yang berjudul Gradiva. Peneliti menemukan bahwa karya Sigmund Freud “Delusions and Dreams in Jensen‟s „Gradiva‟” merupakan sebuah lanjutan dari self-analysisnya.
9
Penelitian yang telah dilakukan yang tertulis diatas dimaksudkan sebagai tinjauan pustaka untuk penelitian ini. Setelah melihat tinjauan pustaka tersebut, belum ditemukan kajian-kajian yang membahas tentang novel A Monster Calls dengan melihat alam sadar, alam bawah sadar dan ambivalensi tokoh serta 5 tahapan dalam menghadapi kematian. Oleh karena itu, penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian yang baru dan original serta tidak memiliki kesamaan yang pasti dengan penelitian-penelitian sebelumnya.
1.5 Objek Penelitian 1.5.1 Objek Formal Objek formal dari penelitian ini adalah kesadaran dan tak kesadaran tokoh utama serta tahapan responnya dalam menghadapi kematian. Objek formal tersebut digunakan untuk melihat sikap tokoh utama terhadap kematian 1.5.2 Objek Material Objek material dan data dari penelitian ini adalah dua teks novel berjudul A Monster Calls. Novel ini ditulis oleh Patrick Ness dan diilustrasikan oleh Jim Kay, novel ini berdasarkan ide asli dari Siobhan Dowd diakhir hidupnya. Novel ini telah meraih beberapa penghargaan. Selain itu, novel ini juga memuat kisah yang cukup kuat menggambarkan sikap dan perasaaan si tokoh utama dalam menghadapi kematian yang akan mendatangi ibunya.
1.6 Landasan Teori Tesis ini akan menggunakan dua teori untuk menganalisis objek material novel A Monster Calls karya Patrick Ness. Dua teori yang akan digunakan adalah
10
teori psikoanalisis Sigmund Freud dan teori 5 tahap menghadapi kematian Elizabeth Kübler-Ross. Kedua teori ini masih berkaitan satu sama lain karena teori Kübler-Ross ini masuk dalam kategori psikoanalisis dan masih dipengaruhi oleh psikoanalisis Sigmund Freud. Dengan kedua teori ini akan dianalisis mengenai psikologis tokoh utama yang bernama Conor O’Malley dalam menghadapi kematian ibunya.
1.6.1
Teori Psikoanalisis Sigmund Freud
1.6.1.1 Alam Sadar dan Alam Bawah Sadar Dalam teorinya mengenai psikoanalisis, Sigmund Freud menawarkan sebuah struktur kesadaran dalam diri manusia yang terdiri dari tiga komponen yaitu, alam sadar, alam pra-sadar dan alam bawah sadar. Menurut Freud dari ketiga komponen tersebut hanya terdapat dua komponen yang paling penting dalam pembentukan kepribadian, yaitu alam sadar dan alam bawah sadar (dalam Rokhman, 2005:204), sedangkan alam prasadar hanya sebagai jembatan antara alam sadar dan alam bawah sadar. Walaupun keduanya sama-sama penting dalam pembentukan kepribadian dalam diri manusia dan memiliki keterikatan antara satu sama lain, namun kedua komponen tersebut memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Freud mengartikan alam sadar seperti berikut: “Now let us call „conscious‟ the conception which is present to our consciousness and of which we are aware, and let this be the only meaning of the term „conscious‟”(Freud, 1989: 2577). Alam sadar adalah konsepsi atau gagasan yang muncul dalam kesadaran, yang artinya sesuatu berada dalam alam sadar seseorang jika orang tersebut menyadari
11
apa yang dia lakukan, pikirkan atau rasakan sesuatu. Ini menunjukkan alam sadar sangat terlihat dan memiliki bukti yang kuat karena dapat diamati langsung. Berangkat dari adanya pandangan yang lebih mengutamakan alam sadar, ditambah dengan kalimat terkenal René Descartes yaitu cogito ergo sum yang artinya saya berpikir maka saya ada, Sigmund Freud kemudian menentang pendapat tersebut yang hanya mementingkan alam sadar dan tidak melihat adanya unsur lain selain alam sadar itu. Unsur lain itu adalah alam bawah sadar. Freud dalam teorinya lebih banyak membicarakan alam bawah sadar. Teori psikoanalisis Freud menunjukkan bahwa alam sadar hanyalah bagian kecil dunia pikiran manusia, sedangkan bagian terbesar itu adalah alam bawah sadar (Feist & Feist, 2006). Jika di alam sadar manusia menyadari apa yang dia lakukan, berbeda dengan alam bawah sadar dimana manusia sama sekali tidak menyadarinya. Walaupun berada jauh di luar kesadaran manusia, itu tidak berarti alam bawah sadar tidak ada dalam diri manusia. Alam bawah sadar adalah sebuah daerah dalam diri manusia yang sangat dalam dan tersembunyi, besar dan memiliki kekuatan (Pals, 2006). Selain itu, sering kali dalam alam sadar muncul hal-hal yang dianggap kurang menyenangkan dan cukup membahayakan, maka hal itu berusaha dihilangkan dari alam sadar dengan cara melupakannya. Kenangan dan pikiran yang berusaha dilupakan tersebut sebenarnya tidak hilang begitu saja akan tetapi masuk ke dalam alam bawah sadar, dan proses mental ini disebut represi. Menurut Freud, represi disebabkan oleh adanya sebuah perasaan tak senang karena terjadi ketidaksesuaian antara sebuah gagasan yang akan direpresi dan gagasan-gagasan
12
yang dominan dalam diri yang membentuk ego (1989). Maka, dapat disimpulkan bahwa alam bawah sadar manusia terdiri dari dua, yaitu yang pertama, insting dan dorongan alami manusia yang telah ada sejak lahir; dan yang kedua, pikiran dan kenangan yang direpresi dari alam sadar (Pals, 2006). Untuk mengetahui alam bawah sadar seseorang, maka hal itu bisa ditelaah melalui alam sadarnya dulu, sebagaimana pernyataan Freud berikut ini: “How are we to arrive at a knowledge of the unconscious? It is of course only as something conscious that we know it, after it has undergone transformation or translation into something conscious. Psycho-analytic work shows us every day that translation of this kind is possible.” (Freud, 1963: 116). Seperti yang dikemukakan sebelumnya bahwa alam sadar sangat terlihat jelas dengan bukti konkrit dan langsung terlihat. Berbeda dengan alam bawah sadar yang tidak bisa dilihat langsung. Pernyataan Freud di atas menjelaskan bahwa alam bawah sadar dapat diselidiki melalui alam sadar manusia. Alam bawah sadar suatu waktu dapat menunjukkan eksistensinya dengan bertransformasi menjadi berbagai macam bentuk seperti mimpi, halusinasi atau slip of tongue (Pals, 2006). Ini dikarenakan alam bawah sadar sangat kuat, jauh lebih kuat dibandingkan alam sadar.
Maka
tidaklah
mengherankan jika
alam
bawah
sadar
mampu
mempengaruhi manusia dalam bertindak ketika dalam keadaan sadar. Halusinasi seperti halnya mimpi merupakan sebuah auditory image yang mana keduanya merupakan bentukan dari alam bawah sadar baik itu insting alami maupun dorongan atau kenangan yang telah direpresi. Sedangkan mimpi merupakan bukti atas eksistensi aktivitas dalam psike manusia, yang berarti aktivitas itu tidak hanya terjadi dalam kesadaran, tapi juga ketidak sadaran seperti
13
mimpi (Pals, 2006), dan mimpi juga disebut sebagai “a glory bridge to unconsciousness” oleh Freud (Cloninger, 2004). Hal yang membedakan antara halusinasi dan mimpi adalah mimpi terjadi ketika ego sedang tidak berada dalam kesadaran sehingga ketidaksadaran masuk ke dalam ego dan melakukan aktivitasnya di situ, sedangkan halusinasi terjadi ketika ego berada dalam keadaan sadar dan tidak sadar. Selain itu ada juga slip of tongue yang juga dikenal dengan istilah Freudian slip. Slip of tongue adalah kekhilafan atau kekeliruan ketika berbicara. Kesalahan dalam berbicara itu dipercaya merupakan pengaruh dari alam bawah sadar, seperti halnya halusinasi dan mimpi. Slip of tongue ini membeberkan rahasia atau yang tersembunyi selama ini di alam bawah sadar. Pengaruh dari alam bawah sadar juga munculnya emosi dan gagasan yang muncul di dalam pikiran alam sadar dari luar diri, maka seringkali terjadi benturan dua pikiran dalam diri manusia. Benturan ini terjadi karena adanya dua pikiran yang saling berkontradiksi dan membingungkan subjek, inilah yang disebut dengan ambivalensi. Freud (dalam Smith, 2010) mengartikan ambivalensi sebagai sebuah keadaan dimana terjadi kontradiksi dalam pikiran seseorang.
1.6.1.2 Id, Ego dan Superego Selain itu dalam teori kepribadian manusia Sigmund Freud, terdapat tiga komponen yang berperan penting dalam membentuk kepribadian, yaitu id (das es), ego (das ich) dan superego (das ueber ich). Ketiga komponen ini memiliki sifat dan perannya masing-masing. Id adalah salah dari komponen penyusun kepribadian yang bersifat impulsif dan tidak disadari yang berpedoman pada pleasure principle, dan sangat
14
responsif pada insting. Sebagaimana id sepenuhnya berada di alam bawah sadar, sehingga dapat dipastikan bahwa id mengandung unsur-unsur biologis yang merupakan bawaan sejak kecil. Id selalu menuntut agar kemauannya segera terlaksana, karena jika tidak maka akan muncul ketegangan dalam diri. Id yang bersifat biologis dan berpegang pada pleasure principle memiliki tuntutan yang harus disaring dulu oleh ego, karena tuntutan id sangat bersifat biologis.. Anna Freud (1993:9) mengungkapkan bahwa: “If within the id a state of calm and satisfaction prevails, so that there is no occasion for any instinctual impulse to invade the ego in search of gratification and there to produce feelings of tension and unpleasure, we can learn nothing of the id contents.” Id sendiri bukanlah sebuah daerah yang tenang yang tidak membutuhkan kepuasaan. Di dalamnya terdiri dari dorongan-dorongan batiniah yang suatu waktu dapat mengganggu kestabilan ego karena menuntut kemauannya dilaksanakan untuk mencapai suatu kepuasan. Berbeda dengan id, superego adalah komponen pembentuk kepribadian yang di dalamnya terdapat aspek moral dan nilai-nilai tradisional maupun kemasyarakatan yang mulai didapatkan oleh manusia di masa kanak-kanaknya. Ajaran-ajaran tentang sopan santun dan segala unsur kebaikan dan tata krama terdapat di dalam superego. Ini sangat bertolak belakang dengan id yang berisikan hal-hal di luar nilai-nilai kesopanan dan moralitas, superego menuntut ego untuk menjadi diri ideal, yang artinya ketika melakukan kesalahan atau terlalu mengikuti tuntutan id, maka superego akan menghukum ego dengan rasa malu, berdosa atau bersalah, namun jika ego mampu mengikuti kemauan superego untuk tidak begitu
15
mengikuti tuntutan id, maka ego akan dihadiahkan rasa bangga dan tentram. Bisa dikatakan bahwa id sebagai sisi yang buruk dan superego sebagai sisi yang baik. Yang terakhir adalah ego. Ego berada dipertengahan antara id dan superego. Tugas ego bukanlah meredam tuntutan-tuntutan yang muncul dari id dan superego, melainkan ego menjadi perantara antara id dan superego agar keadaan menjadi lebih seimbang. Jika id berada pada prinsip kesenangan yang bersifat batiniah, maka ego berpegang pada prinsip realita yang berada di dunia obyektif. Ini terdapat dalam kutipan berikut ini: “We have formed the idea that in each individual there is a coherent organization of mental processes; and we call this his ego. It is to this ego that consciousness is attached; the ego controls the approaches to motility - that is, to the discharge of excitations into the external world; it is the mental agency which supervises all its own constituent processes, and which goes to sleep at night, though even then it exercises the censorship on dreams.” (Freud, 1989: 3951) Freud menyebut ego sebagai sebuah organisasi proses mental yang koheren yang terhubung dengan alam sadar dan juga alam bawah sadar sekaligus dan mampu meredam tuntutan dan rangsangan yang bersifat biologis yang akan mengeluarkan dirinya ke alam sadar. Sigmund Freud menganalogikan alam sadar dan alam bawah sadar dengan sebuah gunung es, di mana dalam analogi tersebut juga masuk id, ego dan superego. Gunung es tersebut seperti berikut:
16
Gambar 1. Gunung Es Sigmund Freud Sumber: http://www.simplypsychology.org/Sigmund-Freud.html
Dalam gambar tersebut, id posisinya berada sepenuhnya di dalam alam bawah sadar. Hal ini dibuktikan dengan id yang hanya mengejar kesenangan dan tidak dapat membedakan antara baik dan buruk. Ego berada di antara alam sadar dan alam bawah sadar, ini dikarenakan ego juga mendapat pengaruh dari alam sadar yang namun ia dapat menyadari apa yang harus dilakukannya. Superego juga berada di dalam alam sadar dan alam bawah sadar, ini juga dikarenakan oleh nilai-nilai sosial dan aturan-aturan yang berlaku yang ditanamkan sejak kecil, sehingga hal tersebut membentuk pribadi manusia.
1.6.1.3 Mekanisme Pertahanan (Defense Mechanism) Mekanisme pertahanan atau defence mechanism merupakan suatu bentuk pertahanan yang dibangun oleh ego setelah mendapatkan tekanan dari id dan
17
superego karena atau adanya kenangan, pikiran, ketakutan dan segala hal yang dianggap berbahaya berusaha dicegah untuk masuk dan merusak tantanan ego. Seringkali krisis di dalam diri akan bangkit ketika sebuah gangguan dari dalam maupun dari luar terjadi yang tentunya akan membahayakan diri seseorang, maka dibutuhkan mekanisme pertahanan untuk melindungi diri melawan bahaya yang mengancam diri (Freud dalam Boumeister, Dale & Sommer, 1998). Mekanisme pertahanan merupakan hal yang normal dan wajar yang dilakukan oleh manusia untuk melindungi dirinya dari hal-hal yang kurang mengenakkan. Hal-hal yang dianggap mengancam ego tersebut berusaha dihilangkan dari alam sadar dan ditekan menuju ke alam bawah sadar, yang juga disebut sebagai represi, dan ini merupakan salah satu bentuk mekanisme pertahanan. Mekanisme pertahanan memiliki banyak bentuk, tiga di antaranya adalah Repression, Denial dan displacement. Repression seperti yang disebutkan sebelumnya merupakan salah satu mekanisme pertahanan dengan menekan sesuatu yang mengancam dari alam sadar masuk ke dalam alam bawah sadar, ini dilakukan agar alam sadar seseorang tidak terganggu. Freud mengatakan bahwa: “… I named this process repression; it was a novelty, and nothing like it had ever before been recognized in mental life. It was obviously a primary mechanism of defence (Freud, 1989: 4206) Dikatakan bahwa represi merupakan mekanisme pertahanan yang utama dan cara yang paling sering digunakan dalam melakukan mekanisme pertahanan. Represi biasa juga disebut sebagai “mechanism of forgetting”, karena bagi seseorang yang menggunakan mekanisme pertahanan ini, kenangan atau pikiran yang menganggu itu dia lupakan, namun sebenarnya yang terjadi adalah kenangan atau pikiran itu
18
tidak dilupakan melainkan ditekan masuk ke dalam alam bawah sadar, namun suatu saat kenangan dan pikiran itu kembali muncul di alam sadar dalam wujud yang lain seperti mimpi. Denial merupakan sebuah mekanisme pertahanan yang dilakukan untuk menyangkal dorongan/insting/keinginan yang dianggap berbahaya. Denial dianggap secara konseptual mirip dengan repression (Boumeister, Dale & Sommer, 1998), namun bedanya denial lebih pada aksi menyangkal kenyataan atau sesuatu yang tak mengenakkan itu. Displacement adalah mekanisme pertahanan yang mengalihkan dorongan id atau kenangan atau pikiran ke sesuatu sebagai pelampiasannya, dan ini biasanya terjadi secara agresif. Ini adalah bentuk pengalihan kemarahan dengan menjadikan objek lain sebagai tempat pelampiasannya, objek itu bisa berupa benda, manusia atau hewan. Bahkan korban pelampiasan tersebut memiliki kaitan yang terasosiasi dengan target sebenarnya (Boumeister, Dale & Sommer, 1998)
1.6.2 Lima Tahap Sikap terhadap Kematian, Duka dan Kesedihan dalam menghadapi Kematian oleh Kübler-Ross Elizabeth Kübler-Ross merupakan dokter yang melakukan penelitian pada pasien-pasiennya di rumah sakit tentang perasaan para pasien tersebut terhadap penyakit mematikan dan menghadapi kematian. Dari penelitian tersebut, KüblerRoss merumuskan lima tahap dalam menghadapi kematian, duka dan kesedihan, lima tahap tersebut adalah penyangkalan, marah, penawaran, depresi serta penerimaan. Di dalam buku ini, Kübler-Ross banyak memberikan contoh tentang pasien-pasiennya yang mengalami 5 tahap ini. Tidak selamanya 5 tahap ini
19
berurutan seperti yang dirumuskan, namun terdapat juga kasus-kasus dimana 5 tahap ini berurutan secara acak, bahkan biasa juga ada kasus dimana tidak terdapat salah satu dari lima tahap terhadap kematian ini (Kübler-Ross, 2009). 1.6.2.1 Penyangkalan/Denial Penyangkalan atau denial merupakan tahap awal dari lima tahap sikap dalam menghadapi kematian. Penyangkalan berupa bentuk ketidakpercayaan manusia terhadap berita kematian baik itu berita akan kematiannya yang tidak lama lagi ataupun kematian yang orang lain yang memiliki hubungan dengannya. Mereka lebih meyakini bahwa kematian yang mereka hadapi itu hanyalah sebuah kebohongan atau kesalahan ucapan sehingga tak dapat dipercaya begitu saja.. Di tahap ini, penyangkalan terjadi disebabkan oleh ketidaksiapan seseorang untuk mendengarkan kabar buruk yang menimpa dirinya berupa kematian yang akan atau telah datang. Kebanyakan pernyataan “tidak, itu bukan saya”, “ada yang salah” dan “itu semua tidak benar” dan semacamnya mereka katakan sebagai bentuk penyangkalan mereka (Kübler-Ross, 1987:31). Tahap ini juga merupakan tahap dimana bangkitnya rasa syok dan ketidakpercayaan pada kenyataan. Di tahap penyangkalan, seseorang tidak akan menerima berita buruk yang ia dapatkan begitu saja. Ia akan berusaha mencari sumber lain untuk mendukung keyakinannya. Misalnya ketika seseorang didiagnosa menderita kanker stadium dua, maka dia tidak akan percaya begitu saja, dia malah berusaha mencari dokter lain agar bisa mendapatkan hasil diagnosa yang sesuai ia harapkan. Menurut Kübler-Ross, penyangkalan berada di daerah alam sadar, dan merupakan salah satu bentuk pertahanan ketika menghadapi kenyataan yang tak
20
mengenakkan. Namun pertahanan ini tidak akan bertahan lama karena penyangkalan ini akan segera digantikan dengan penerimaan. Dalam hal ini penerimaan yang dimaksud bukan langsung mengikhlaskan atau merelakan semua ini terjadi, akan tetapi penerimaan disini lebih kepada dia harus akui bahwa ini semua memang kenyataan dan terjadi. 1.6.2.2 Marah/Anger Setelah melewati tahap penyangkalan dimana seseorang yang sedang tidak bisa menerima dan menyangkal kematian, setelah itu dia menyadari bahwa yang terjadi ini memang benar dan nyata. Kesadaran ini dibarengi dengan perasaan marah, cemburu, geram dan dongkol. Pertanyaan seperti “kenapa harus saya?”, “kenapa bukan orang lain saja? Lebih sering dilontarkan bagi mereka yang sedang berada di tahap marah. Kemarahan tidak hanya ditujukan kepada Tuhan sebagai satu-satunya pemberi takdir, akan tetapi kemarahan juga dapat berimbas kepada mereka yang berada disekitar seseorang yang mengalaminya. Tahap ini termasuk susah untuk dihadapi berdasarkan pandangan dari keluarga dan manusia yang menanganinya. Karena kemarahan ini sering disalahtempatkan. Mereka yang berada di tahap ini merasa tidak didengarkan, tidak dihargai, bahkan merasa tidak ada yang peduli pada mereka. Di tahap ini juga mereka lebih sering merasa cemburu ketika melihat orang lain memiliki hidup yang menyenangkan sedangkan dia harus berada di situasi yang berbeda. Kübler-Ross beranggapan bahwa sebaiknya tidak merespon pada kemarahan mereka dan lebih baik berikan mereka dukungan.
21
1.6.2.3 Penawaran/Bargaining Setelah mengalami masa kemarahan, penawaran pun dilakukan. Kübler-Ross memberikan analogi, ketika seorang anak marah kepada kedua orang tuanya karena keinginannya tak bisa dikabulkan, maka dia akan mengunci dirinya di dalam kamar dan tidak mau berbicara dengan kedua orang tuanya. Lama kelamaan dia akan memikirkan cara baru agar keinginannya bisa dikabulkan. Dia pun meminta maaf dan melakukan berbagai pekerjaan rumah yang biasanya dia sangat susah untuk disuruh, kemudian dia kembali memohon dengan cara yang jauh lebih halus. Ini juga yang terjadi dengan mereka yang sedang berada di tahap penawaran. Setelah mereka berlaku kasar dan marah kepada siapa saja bahkan kepada Tuhan karena kemarahan tidak bisa menyelesaikan masalahnya, maka mereka pun melakukan pendekatan baru, atau yang disebut Kübler-Ross sebagai penawaran. Penawaran ini biasanya dilakukan kepada Tuhan agar takdirnya bisa dirubah. Kebanyakan mereka yang berada di fase ini mereka menjadi lebih mendekatkan diri kepada Tuhan dan menjadi lebih beriman. Namun, penawaran juga bisa kepada manusia atau seseorang yang memiliki kemampuan dan pengetahuan khusus, misalkan dokter. Mereka akan lebih sering memohon untuk diberikan pengobatan dan perawatan yang terbaik.
1.6.2.4 Depresi/Depression Tahap keempat yaitu depresi. Tahap ini ditandai dengan rasa penyesalan, kekecewaan dan kesedihan yang mendalam. Ini semua karena segala usaha dan
22
cara yang telah dilakukan tidak membuahkan hasil dan menyadari bahwa kematian itu semakin dekat dan bahwa segalanya tidak bisa lagi ditawar. Di tahap ini dukungan manusia terdekat sangat dibutuhkan oleh mereka yang berada di tahap depresi. Kübler-Ross membagi dua macam depresi yaitu depresi reaktif dan depresi preparatif. Depresi reaktif adalah depresi setelah mengalami kehilangan. Ini lebih kepada mereka yang lebih dulu mengalami kehilangan, lalu merasakan depresi. Biasanya ini terjadi pada manusia yang kehilangan pekerjaan atau mereka yang baru saja ditinggal mati kerabatnya. Sedangkan depresi preparatif adalah depresi yang terjadi karena akan mengalami kehilangan. Ini terjadi pada mereka yang akan mengalami kematian. Mereka akan kehilangan kehidupan, nyawa, kebahagiaan dan dunia mereka. Mereka merasakan depresi dan harus mempersiapkan diri mereka sebelum kematian itu datang. Mereka harus melewati tahap depresi sebagai proses mempersiapkan diri untuk menerima dengan lapang dada takdir mereka. Mereka telah yakin bahwa mereka sedang melalui sebuah kenyataan. Di tahap depresi ini, Kübler-Ross menyarankan bahwa mereka butuh untuk membicarakan keinginan mereka dan didengarkan.
1.6.2.5 Penerimaan/Acceptance Tahap terakhir dari 5 tahap menghadapi kematian ini adalah penerimaan. Seseorang yang sedang menghadapi kematian bisa memasuki tahap ini jika mereka mendapatkan perhatian, dukungan dan kepedulian dari manusia disekitarnya. Penerimaan bukanlah sebuah happy ending atau akhir yang indah,
23
namun sebuah perasaan menyerah, hampa dan mengikhlaskan atau merelakan walaupun perasaan ikhlas itu lebih karena sudah tidak ada yang bisa dilakukan dan diusahakan lagi. Ini seakan-akan merujuk pada “kesakitan yang telah hilang, perjuangan sudah berakhir dan waktunya beristirahat untuk perjalanan yang panjang” (Kübler-Ross, 1987: 92) 1.7 Hipotesis Di masa modern yang memiliki pandangan kematian forbidden death ini, masyarakat modern khususnya barat sangat menakuti kematian dan berusaha menghalangi kematian dengan kecanggihan alat-alat rumah sakit dan kemampuan dokter-dokter beserta krunya. Pengobatan-pengobatan yang dianggap canggih dan dapat menyembuhkan tersebut memberikan pengharapan bagi para pasien dan keluarganya untuk bisa terhindar dari kematian. Hal ini juga terdapat pada novel A Monster Calls dimana pengobatan di rumah sakit begitu dipercaya dapat menyembuhkan sekaligus menyingkirkan kematian. Walaupun sebenarnya tokoh mengalami ambivalensi dalam pikirannya antara menerima atau menghindari kematian. Kedua pikiran itu yang saling bertolak belakang itu membuat tokoh mengalami pergolakan batin sehingga alam bawah sadarnya pun muncul dalam bentuk halusinasi, mimpi dan slip of tongue dan alam sadarnya melakukan perlawanan terhadap pikiran yang dianggap mengancam. Pada akhirnya salah satu dari pikiran itu akan memenangkan pertarungan dalan diri tokoh berdasarkan kejadian dari akhir cerita dalam novel.
24
1.8 Metode Penelitian Berdasarkan teori yang akan digunakan dalam penelitian ini, maka metode yang akan digunakan adalah metode deskriptif kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain sebagainya secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa (Chamamah-Soeratno, 2001). Selain itu, penelitian ini juga akan menjadi penelitian studi kepustakaan atau library research¸ dengan sumber utama novel A Monster Call. Berkaitan dengan yang disebutkan tadi, sumber informasi seperti buku, makalah, artikel, dan hasil-hasil penelitian yang memiliki relevansi dengan topik studi ini dimanfaatkan untuk mempertajam hasil penelitian. Oleh karena itu, langkah-langkah yang akan dilakukan dalam penelitian adalah sebagai berikut: 1.
Mengumpulkan data berupa pustaka-pustaka yang relevan dengan penelitian dalam tesis ini, kemudian membaca dan mempelajari secara teliti seluruh data yang didapat
2.
Menentukan karya yang akan dijadikan objek material penelitian yaitu A Monster Calls dan menetapkan masalah utama dari penelitian ini
3.
Menganalisis data dengan menggunakan teori psikoanalisis Sigmund Freud dan lima tahap sikap terhadap kematian oleh Elizabeth Kübler-Ross dengan mengaplikasikan teori tersebut ke dalam novel A Monster Calls
25
4.
Menyusun laporan dari analisis penelitian ini sebagai langkah akhir dari seluruh kegiatan penelitian
1.9 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan penelitian ini terbagi dalam beberapa bab: Bab I berisi latar belakang penelitian, rumusan masalah, objek penelitian, tujuan penelitian, landasan teori, hipotesis dan sistematika penulisan Bab II berisi analisis alam sadar Conor melalui sikap dan tindakannya dalam novel A Monster Calls Bab III berisi analisis alam bawah sadar Conor yang terefleksi dari tindakantindakannya di kesadarannya dan relasi antara alam sadar dan alam bawah sadarnya dalam novel A Monster Calls Bab IV bab terakhir yang berisi kesimpulan hasil dari penelitian ini