BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Era globalisasi saat ini menuntut adanya suatu sistem akuntansi
internasional yang dapat distandardisasi secara internasional di setiap negara. Harmonisasi terhadap standar akuntansi internasional diperlukan dengan tujuan agar dapat menghasilkan informasi keuangan yang dapat diperbandingkan, mempermudah dalam melakukan analisis kompetitif. Asean Free Trade Area (AFTA) merupakan bagian yang penting dan tak terpisahkan dalam kerangka ASEAN Economic Community (AEC). AFTA menjadi satu dari delapan kerjasama dalam AEC. AFTA menjadi motor penggerak utama dalam sektor perdagangan ASEAN, sekaligus merupakan kerjasama yang paling pesat pertumbuhannya. Indonesia sebagai negara yang menyetujui AFTA, sebentar lagi akan masuk ke dalam era perdagangan bebas, sehingga bangsa ini akan bersaing dengan bangsabangsa ASEAN lainnya. Perkembangan paling aktual mengenai AFTA dalam AEC adalah pada KTT ASEAN ke-13 di Singapura bulan November 2007. Dalam pertemuan itu telah disepakati adanya ASEAN Charter yang menjadi payung hukum bagi kerjasama yang ada dalam ASEAN (Ratna, 2007). Salah satu dari beberapa dokumen yang ditandatangani adalah Cetak Biru Komunitas Ekonomi ASEAN. Dalam AEC Blue Print yang dirancang oleh para menteri ekonomi ASEAN,
1
terdapat tiga karakteristik yang dijadikan landasan bagi implementasi AEC, termasuk juga AFTA (http://www.aseansec.org). Mengingat pernyataan dari ketua DPN IAI Mardiasmo yang mengatakan dan mengingatkan bahwa kebutuhan akan akuntan profesional saat ini semakin meningkat dengan adanya tuntutan transparansi dan akuntabilitas, baik disektor swasta maupun pemerintah. Menjelang ASEAN Economic Community 2015, akuntan Indonesia harus siap menghadapi liberalisasi jasa akuntan se-ASEAN dalam kerangka AFTA 2015. Para akuntan di Indonesia harus bersiap-siap menghadapi persaingan yang semakin ketat dengan akuntan-akuntan negara tetangga. Untuk itu, langkah-langkah bersama harus dipersiapkan, karena tanggung jawab berada di pundak IAI dan harus bersinergi dengan regulasi pemerintah. Lingkup perjanjian kerjasama, meliputi penyelenggaraan pendidikan profesi akuntan, pembukaan dan penutupan pendidikan profesi akuntan, pengusulan penetapan standar kompetensi lulusan pendidikan profesi akuntan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, pengesahan standar nasional pendidikan
profesi
akuntan,
dan
pelaksanaan
uji
kompetensi.
(Akuntanonline.com/23 November 2013, 03.00). Liberalisasi jasa akuntan se-ASEAN dalam kerangka AFTA 2015, tampaknya bukanlah masalah yang mudah bagi keprofesian. Persaingan ketat dengan akuntan-akuntan negara
tetangga, bukanlah persoalan mudah bila
merujuk posisi kekuatan dalam peta ASEAN. Kita masih kalah dari segi jumlah. Tidak sedikit pula yang menyangsikan kualitas kompetensi akuntan Indonesia bila dibandingkan dengan akuntan-akuntan dari Malaysia, Singapura, dan Filipina.
Ikatan Indonesia (IAI) dalam laporan terbarunya memublikasikan jumlah anggota sebanyak 17.649. Sebagai perbandingan, hingga Desember 2013, Malaysian Institute of Accountants (MIA) memiliki anggota 30.503 orang. Anggota Institute of Singapore Chartered Accountants (ISCA) per 31 December 2013 tercatat sebanyak 27.394 orang. Per Juli 2013, jumlah anggota Philippine Institute of Certified Public Accountants (PICPA) mencapai 22.072 orang. Thailand per Desember 2013 memiliki 57.244 akuntan yang tercatat sebagai anggota Federation of Accounting Profession (FAP). Padahal Indonesia adalah satusatunya negara G-20 di Asia Tenggara, dengan perkembangan ekonomi yang mengesankan dan sumberdaya alam melimpah, sehingga dibutuhkan banyak akuntan berkualitas untuk mengawal pembangunan ekonomi agar semakin efisien dan efektif dengan kekuatan integritas, transparansi, dan akuntabilitas (Mustaip, 2012). Begitu juga halnya auditor merupakan suatu profesi yang kompleks dimana hanya terdapat jumlah yang
relatif sedikit dari profesi ini yang
mempunyai derajat keahlian pada suatu spesialisasi bidang atau area tertentu. Profesi auditor
diakui sebagai suatu keahlian bagi perusahaan dan ikatan
profesinya. Selain itu juga mempunyai kedudukan yang unik dibandingkan dengan profesi yang lain. Secara tidak langsung, kondisi seperti ini bisa membuat akuntan dan auditor di Indonesia kehilangan pangsa pasar karena perusahaanperusahaan di Indonesia tentunya akan lebih memilih untuk merekrut akuntan asing yang sudah lebih dulu paham tentang standar IFRS.
Di setiap negara, penyusunan laporan keuangan memiliki standar dan tahapan yang berbeda-beda. Standar dan tahapan tersebut ditentukan oleh kalangan profesi yang bergabung dalam sebuah lembaga resmi. Misalnya di Amerika Serikat, terdapat lembaga yang menangani masalah akuntansi dan pelaporannya yaitu Financial Accounting Standar Board (FASB). Untuk menyamakan standar dan tahapan dalam membuat laporan keuangan di seluruh dunia, tanggal 29 Juni 1973 didirikan lembaga yang menangani standar dan tahapan laporan keuangan yaitu International Accounting Standard Committee (IASC). Lembaga ini didirikan oleh lembaga-lembaga profesi dari Australia, Kanada, Perancis, Jerman, Jepang, Meksiko, Belanda, dan Inggris pada pertemuan perdana di Inggris. Agenda pertamanya adalah mengakui praktik akuntansi di semua negara. Lembaga ini kemudian menyepakati International Accounting Standard (IAS) yang akan menjadi cikal bakal International Financial Reporting Standard (IFRS) pada tahun 1974. Pada tahun ini juga ada negara-negara baru yang menjadi anggota pertama dari IASC yaitu Belgia, India, Israel, Selandia Baru, Pakistan, dan Zimbabwe. Setelah mengalami perkembangan yang cukup panjang, pada tahun 2001, dibentuk IASB sebagai IASC. Tujuannya untuk melakukan konvergensi ke GAS dengan kualitas yang meliputi prinsip-prinsip laporan keuangan dengan standar tunggal yang transparan, bisa dipertanggung jawabkan, comparable, dan berguna bagi pasar modal. Pada 2001, IASC, IASB dan SIC mengadopsi IASB. Pada 2002, FASB dan IASB sepakat untuk melakukan konvergensi standar akuntansi
US GAAP dan IFRS. Langkah itu untuk menjadikan kedua standar tersebut menjadi sesuai. Proses yang panjang tersebut akhirnya menjadi apa yang disebut IFRS, yang merupakan suatu tata cara bagaimana perusahaan menyusun laporan keuangannya berdasarkan standar yang bisa diterima secara global. Jika sebuah negara beralih ke IFRS, artinya negara tersebut sedang mengadopsi bahasa pelaporan keuangan global yang dimengerti oleh pasar dunia. Hal yang penting dari peralihan ke IFRS bukanlah sekedar pekerjaan mengganti angka-angka di laporan keuangan, tetapi juga mengubah pola pikir dan cara semua elemen di dalam perusahaan. Hal inilah yang tentunya harus dipahami khususnya oleh para auditor dan akuntan di Indonesia. Tingkat kecerdasan auditor dalam memahami IFRS tentu menjadi salah satu tolak ukur kesiapan auditor dalam menghadapi AFTA 2015. Dengan demikian, auditor dalam negeri dituntut untuk senantiasa meningkatkan kompetensi dan profesionalisme serta pengetahuannya tentang standar yang ditetapkan oleh IFRS agar dapat memenuhi kebutuhan pengguna jasa dan mengemban kepercayaan publik dan dapat bertahan serta bersaing dengan auditor asing. Disamping itu, pengalaman seorang auditor dalam mengaudit laporan keuangan kliennya, juga merupakan hal penting lainnya guna melihat kesiapan seorang auditor dalam menghadapi AFTA 2015. Pengalaman merupakan salah satu sumber peningkatan keahlian auditor yang dapat berasal dari pengalaman-pengalaman dalam bidang audit dan akuntansi. Pengalaman tersebut dapat diperoleh melalui proses yang bertahap,
seperti: pelaksanaan tugas-tugas pemeriksaan, pelatihan ataupun kegiatan lainnya yang berkaitan dengan pengembangan keahlian auditor. Selain itu, pengalaman juga mempunyai arti penting dalam upaya perkembangan tingkah laku dan sikap seorang auditor. Perbedaan pengalaman yang dihubungkan dengan pengetahuan dapat digunakan untuk mempengaruhi kinerja (Bonner, 1990). Hayes-Roth, Hutchinson, Murphy dan Wright dalam Hartoko dkk. (1997) menyatakan bahwa seseorang dengan pengalaman lebih pada suatu bidang tertentu mempunyai lebih banyak item disimpan dalam ingatannya. Hal ini didukung pula dengan penelitian Choo dan Tromant (1991) yang menyatakan bahwa auditor berpengalaman akan mengingat lebih banyak jenis item daripada item yang sejenis, sedangkan auditor yang tidak berpengalaman lebih mengingat item sejenis. Berdasarkan pemaparan diatas, tingkat kecerdasan dan pengalaman audit tentu merupakan faktor yang mempengaruhi kesiapan auditor dalam menghadapi AFTA 2015. Seseorang harus mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan dalam pengimplementasian tugas-tugas mereka untuk mendapatkan sebuah pekerjaan atau tugas. Fisik, psikologi dan kognitif harus dipersiapkan. Hal ini juga berlaku bagi seorang auditor. Kesiapan dalam kamus psikologi didefinisikan sebagai point pada kematangan untuk menerima atau mempraktekan perilaku tertentu (Gulo Dali, 1983). Ann (2008) mengartikan kesiapan pada kesiapan seseorang adalah kompetensi dan keahlian dalam mengembangkan pengalaman, sehingga seseorang yang memiliki kompetensi dan keahlian diartikan bahwa orang tersebut memiliki kesiapan yang memadai untuk melakukan sesuatu.
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka yang menjadi
pokok permasalahan penelitian ini adalah: 1) Apakah tingkat kecerdasan berpengaruh terhadap kesiapan auditor dalam menghadapi AFTA 2015 ? 2) Apakah pengalaman audit berpengaruh terhadap kesiapan auditor dalam menghadapi AFTA 2015 ?
1.3
Tujuan Penelitian Sesuai dengan pokok permasalahan di atas maka yang menjadi tujuan dari
penelitian ini adalah: 1) Untuk mengetahui pengaruh tingkat kecerdasan auditor dalam memahami IFRS terhadap kesiapan auditor dalam menghadapi AFTA 2015. 2) Untuk mengetahui pengaruh pengalaman audit terhadap kesiapan auditor dalam menghadapi AFTA 2015.
1.4
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi pihak-pihak
yang berkepentingan meliputi: 1)
Kegunaan Teoritis (1)
Penelitian ini memaparkan motivasi kerja seorang auditor untuk dapat bekerja dan mencapai prestasi kerja yang tinggi, baik dalam
hal meningkatkan pemahaman terhadap IFRS maupun pengalaman kerja khususnya dalam bidang audit. (2)
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dan memberikan sumbangan konseptual bagi penelitian sejenis maupun civitas akademika
lainnya
dalam
rangka
mengembangkan
ilmu
pengetahuan perkembangan dan kemajuan dunia pendidikan. 2)
Kegunaan Praktis (1)
Sebagai bahan evaluasi para auditor sehingga dapat meningkatkan kualitas dan profesionalisme mereka.
(2)
Penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan dan tambahan informasi bagi penelitian selanjutnya.
9