BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia sebagai anggota masyarakat internasional secara resmi telah mengesahkan keikutsertaan dan menerima Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement Establishing The Word Trade Organization). 1
Dengan
demikian
Indonesia
terikat
untuk
melaksanakan
persetujuan tersebut. Salah satu persetujuan dibawah pengelolaan World Trade Organization (WTO) ialah Agreement Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights, Including Trade in Counterfeit Goods (Persetujuan mengenai aspek-aspek dagang yang terkait dengan Hak Atas Kekayaan Intelektual, termasuk perdagangan barang palsu), disingkat dengan TRIPs. 2 Untuk melaksanakan persetujuan Trade Related Aspects of
Intellectual
Property Rights (TRIPs) tersebut dan sekaligus membangun sistem hukum nasional di bidang Hak Kekayaan Intelektual (HKI), Indonesia telah membuat peraturan perundang-undangan di bidang Hak Kekayaan Intelektual (HKI), yaitu: 1. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang. 2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri.
1 2
Asian Law Group,Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar (Bandung; Alumni,2004) hal. 3. Ibid. hal. 4.
Universitas Sumatera Utara
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu. 4. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Varitas Jenis Tanaman. 5. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten. 6. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. 7. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Hak Kekayaan Intelektual (HKI) terkait dengan kreativitas manusia, daya cipta
manusia
dalam
memenuhi
kebutuhan
atau
memecahkan
masalah
kehidupannya, baik dalam seni, ilmu pengetahuan dan teknologi maupun produk unggulan suatu masyarakat. Oleh karena itu perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi disertai dengan eksistensi Hak Kekayaan Intelektual (HKI) sangat penting. Permasalahan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) akan menyentuh berbagai aspek diantaranya aspek teknologi, industri, sosial, hukum, budaya, dan berbagai aspek lainnya. Akan tetapi aspek terpenting jika dihubungkan dengan upaya perlindungan bagi karya intelektual adalah aspek hukum. Hukum diharapkan mampu mengatasi berbagai permasalahan yang timbul berkaitan dengan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) tersebut. Hukum harus dapat memberikan perlindungan bagi karya intelektual, sehingga mampu mengembangkan daya kreasi masyarakat
Universitas Sumatera Utara
yang akhirnya bermuara pada tujuan berhasilnya perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Dalam lingkup kajian Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Indonesia, salah satu isu yang menarik dan saat ini tengah berkembang adalah perlindungan hukum terhadap pengetahuan tradisional (traditional knowledge) yang dihasilkan oleh masyarakat asli atau masyarakat tradisional. Tuntutan untuk adanya perlindungan bagi pengetahuan tradisional merupakan isu baru dalam kaitannya dengan perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Kemunculannya berawal dengan ditandatanganinya Convention on Biological Diversty 1992 (CBD) 3 . World
Intellectual
Property
Organization
(WIPO)
mendefinisikan
pengetahuan tradisional sebagai pengetahuan yang berbasis pada tradisi. 4 Antara lain seperti pengetahuan di bidang karya sastra, karya artistik atau ilmiah, pertunjukan, invensi, penemuan ilmiah, desain, merek, nama dan simbol, informasi yang tidak diungkapkan dan semu inovasi dan kreasi berbasis pada tradisi yang disebabkan oleh kegiatan intelektual dalam bidang industri, ilmiah, kesusastraan dan artistik. Sedangkan pengetahuan yang berbasis tradisi menurut Achmad Zein Umar Purba, adalah pengetahuan yang dibangun oleh sekelompok orang, yang digunakan
3
Agus Sardjono, Pengetahuan Tradisional Studi Mengenai Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual atas Obat-Obatan (Jakarta: UI Press, 2004), hal.1. 4 Afrillyanna Purba, Gazalba Saleh dan Andriana Krinawati TRIPs-WTO Dan Hukum HKI Indonesia, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005),hal. 36.
Universitas Sumatera Utara
secara turun temurun, dan berkaitan langsung dengan lingkungan atau alam, yang dikembangkan secara non sistematis dan terus menerus. 5 Pengetahuan tradisional erat kaitannya dengan kelangsungan hidup masyarakat adat. Masyarakat adat sangat kental dengan kemampuan dan keterampilan mereka untuk mengelola pengetahuan tradisional tersebut secara lestari dan berkelanjutan. Pengelolaan dan pelestarian pengetahuan tradisional masyarakat adat ditentukan oleh tradisi, hukum dan praktek-praktek yang ada dalam komunitas adat yang bersangkutan, oleh sekelompok orang, klan atau masyarakat adat itu sendiri secara utuh. 6 Pengetahuan tradisional merupakan masalah hukum baru yang berkembang baik di tingkat nasional maupun internasional. pengetahuan tradisional telah muncul menjadi masalah hukum baru disebabkan belum ada instrumen hukum domestik yang mampu memberikan perlindungan hukum secara optimal terhadap pengetahuan tradisional yang sangat banyak dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Pengaturan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dalam lingkup internasional sebagaimana terdapat dalam Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs), misalnya hingga saat ini belum mengakomodasi pengetahuan tradisional yang dihasilkan oleh masyarakat asli. Adanya fenomena tersebut maka dapat dikatakan bahwa perlindungan hukum terhadap pengetahuan tradisional hingga saat ini masih lemah. Sayangnya 5 6
Ibid. Bushar Muhammad, Asas-asas Hukum Adat (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1994).hal. 30.
Universitas Sumatera Utara
hal ini justru terjadi di saat masyarakat dunia tengah bergerak menuju suatu trend yang dikenal dengan gerakan kembali kealam (back to nature). Kecenderungan masyarakat dunia ini menyebabkan eksplorasi dan eksploitasi terhadap pengetahuan tradisional semakin meningkat karena masyarakat asli selama ini memang dikenal mempunyai kearifan tersendiri sehingga mereka memiliki sejumlah pengetahuan tradisional yang sangat bersahabat dengan alam. Karena lemahnya perlindungan hukum terhadap pengetahuan tradisional ini maka yang kebanyakan terjadi justru adalah eksploitasi yang tidak sah oleh pihak asing. Konsep pengetahuan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) barat sangat bertolak belakang dengan sistem hukum adat di Indonesia. Umumnya masyarakat adat di Indonesia mempunyai satu kesamaan, yaitu sifat komunal atau sifat mementingkan keseluruhan. 7 Kepentingan individu dalam hukum adat selalu diimbangi oleh hakhak umum. Konsep harta komunal didalam masyarakat adat, mengakibatkan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) gaya barat tidak dimengerti sebagian besar masyarakat adat. Sifat Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang individualistis akan disalah artikan atau diabaikan karena tidak relevan dengan sistem masyarakat adat yang kolektif. Idealnya perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Indonesia seharusnya berlandaskan pada struktur masyarakat yang ada di Indonesia. Dalam mengetahui hukum pada suatu masyarakat, perlu diketahui terlebih dahulu sifat dan lembagalembaga hukum dimana masyarakatnya sehari-hari dikuasai oleh hukum tersebut.
7
Ibid. hal. 46.
Universitas Sumatera Utara
Hal ini dikarenakan struktur masyarakat menentukan sistem hukum yang berlaku di masyarakat tersebut. 8 Sebagai anggota World Trade Organization (WTO), Indonesia memang harus menyesuaikan semua ketentuan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang ada, dengan ketentuan Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs). Namun harus dengan catatan, bahwa dalam hal ini harus sejauh mungkin diupayakan agar penerapan dan implementasi ketentuan TRIPs tersebut tidak merugikan
kepentingan
Indonesia.
Keterlibatan
Indonesia
sebagai
negara
berkembang dalam penegakan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) harus ada penyesuaian, untuk mencegah adanya ketimpangan posisi antar negara dan membuat negara industri maju mendapat keuntungan lebih dulu. Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya, memandang bahwa Hak Kekayaan Intelektual (HKI) hanya akan dinikmati oleh negara maju sebagai pengekspor kekayaan intelektual. Negara maju dengan kelebihan tekhnologinya akan mampu menghasilkan kekayaan intelektual yang bernilai tinggi di pasar global. Pada negara-negara berkembang justru sebaliknya, produksinya sebagian besar dari pengetahuan tradisional. Belum diaturnya pengetahuan tradisional dalam TRIPs semakin menyudutkan posisi negara berkembang dipersaingan pasar global. Joseph E.Stiglitz, mengatakan bahwa Hak Kekayaan Intelektual (HKI) memiliki perbedaan mendasar dengan hak penguasaan lainnya. 9 Jika rambu hak 8
R. Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1977), hal. 41.
Universitas Sumatera Utara
penguasaan lainnya adalah tidak memonopoli, mengurangi efisiensi ekonomi dan mengancam kesejahteraan masyarakat, maka Hak Kekayaan Intelektual (HKI) pada dasarnya menciptakan monopoli. Menurut Rahardi Ramelan pemberian hak monopoli ini, sering kali merugikan kepentingan umum dan tidak selalu sama dengan wilayah lain 10 . Di Indonesia misalnya, pengetahuan tradisional yang berkembang berorientasi kepada komunitas, bukan individu. Sehingga masalah perlindungan pengetahuan tradisional yang muncul selalu harus diselesaikan secara khusus Praktek monopoli terlebih dalam Hak Kekayaan Intelektual (HKI) menjadi suatu yang asing dalam masyarakat Indonesia yang memiliki kepemilikan bersama, Orang-orang dengan hubungan kekerabatan dekat, seperti keluarga bathin, mungkin untuk secara bersama mengatasnamakan hak kepemilikan atas suatu benda. Dimana hak kepemilikan ini tidak selalu disahkan menurut hukum, melainkan atas dasar konvensi. Masing-masing anggota boleh memanfaatkan guna benda untuk keperluan pribadi atau bersama, dengan sepengetahuan yang lain. Hal ini dimungkinkan selain akibat anggotanya percaya dan menghormati kebersamaan yang termaknakan pada benda, juga karena di sini kedekatan hubungan pada umumnya merupakan jaminan. 11
9
.JosephE.StiglitzdalamAndriTK,NasibHaKITradisionalKita,(http://catatankammi.blogspot.com /2007/12/nasib-haki-tradisional-kita.html), diakses tanggal 2 April 2011 10 . Rahardi Ramelan dalam Andri TK, Ibid, 11 Ganjar dalam Andri TK, Ibid,
Universitas Sumatera Utara
Hukum Kekayaan Intelektual (HKI) bersifat asing bagi kepercayaan yang mendasari hukum adat, sehingga kemungkinan besar tidak akan berpengaruh atau kalaupun ada pengaruhnya kecil di kebanyakan wilayah di Indonesia. Hal inilah yang barangkali menjadi halangan terbesar yang dapat membantu melegitimasi penolakan terhadap kekayaan intelektual di Indonesia yaitu konsep yang sudah lama diakui kebanyakan masyarakat Indonesia sesuai dengan hukum adat. 12 Prinsip hukum adat yang universal dan mungkin yang paling fundamental adalah bahwa hukum adat lebih mementingkan masyarakat dibandingkan individu. Dikatakan bahwa pemegang hak harus dapat membenarkan penggunaan hak itu sesuai dengan fungsi hak di dalam suatu masyarakat. Sebagaimana yang dikemukakan olen Peter Jaszi dari American University bahwa perlindungan hukum sebaiknya disesuaikan dengan roh dan semangat dari budaya tradisional tersebut. 13 Peraturan yang dibuat tidak digeneralisasi yang akhirnya membuat pengetahuan tradisional sebagai subyek dari bentuk baru perlindungan kekayaan intelektual. Pengetahuan tradisional Indonesia dalam dilema. Di satu sisi rentan terhadap klaim oleh negara lain, di sisi lain pendaftaran pengetahuan tradisional sama saja menghilangkan nilai budaya dan kesejarahan yang melahirkannya dan menggantinya dengan individualisme dan liberalisme.
12
Banyak konstruksi abstrak yang umum di sistem hukum barat tidak diakui oleh kebanyakan hukum adat. Salah satu diantaranya adalah perbedaan antara harta berwujud dan tidak berwujud. Hukum adat berdasar pada konstruksi keadilan yang konkret, nyata dan dapat dilihat sehingga tidak mengakui penjualan barang yang tidak berwujud. Dengan demikian, hukum adat sama sekali tidak dapat mengakui keberadaan hukum HKI. Tim Lindsey. dkk, Hak Kekayaan Intelektual (Suatu Pengantar), (Bandung; PT. Alumni, 2006), hal. 71. 13 Peter Jaszi dalam Andri TK, Op. Cit..
Universitas Sumatera Utara
Indonesia telah menghasilkan karya-karya artistik yang luar biasa. Karyakarya ini merupakan aspek dari hubungan lokal dan hubungan yang lebih luas dalam bidang perdagangan, agama, kekerabatan dan juga politik. Pengetahuan tradisional ini memiliki nilai bagi masyarakat Indonesia. Pengetahuan tradisional bukan hanya merupakan suatu hiburan, wahana inspirasi dan pencerahan bagi masyarakat Indonesia, tetapi juga memungkinkan mereka untuk menempatkan dirinya secara positif dan kreatif dalam hubungannya terhadap sesama dan dalam hubungannya terhadap agama. Pengetahuan dan praktek kesenian berkontribusi pada kesejahteraan ekonomi, identitas kelompok, kebanggaan terhadap daerah dan bangsanya, serta pengembangan kesadaran etika yang mendalam dan bersifat khas. Gairah kehidupan kesenian ini sebagai sumber dan juga hasil dari proses hubungan yang bersifat kompleks. Gairah berkreatifitas ini muncul dari sebuah keragaman asli. Pengetahuan tradisional Indonesia seperti wayang kulit,batik Jawa, tarian, tenun ikat Bali, kain songket, dan ulos Batak Toba yang dalam sepanjang sejarah telah dipraktekkan sebagaimana layaknya pengetahuan tradisional lainnya. Sebagai salah satu negara yang terdiri atas berbagai macam suku dan sangat kaya akan keragaman tradisi dan budaya, Indonesia tentunya memiliki kepentingan tersendiri dalam perlindungan hukum terhadap pengetahuan tradisional. Ditambah lagi, posisi Indonesia sebagai negara dengan keanekaragaman hayati yang luar biasa (mega biodiversity) telah menjadikan Indonesia sebagai negara yang memiliki potensi sumber daya yang besar untuk pengembangan di bidang kesenian. Karena perlindungan hukum terhadap pengetahuan tradisional masih lemah, maka potensi
Universitas Sumatera Utara
yang dimiliki oleh Indonesia tersebut justru lebih banyak dimanfaatkan oleh pihak asing secara tidak sah. Indonesia memiliki banyak komoditas asli. Akan tetapi, semuanya tak berarti apa-apa jika komoditas itu dicuri pihak asing. Sudah beberapa kali produk asal negara kita dibajak negara lain terutama Malaysia, yang gencar mempromosikan diri sebagai "'Truly Asia". Salah satu kasus yang dapat dikatakan paling menonjol adalah kasus pemanfaatan lagu 'Rasa Sayange' yang terasa riang, sederhana, dan amat menyenangkan jika dinyanyikan bersama-sama. Dimana semua sepakat ketika menyanyikan lagu itu terbayang di pelupuk mata betapa indahnya Ambon di Maluku sana. Pantas bila kemudian hampir seluruh warga Indonesia terperanjat saat secara tiba-tiba Malaysia menjadikan lagu yang berirama sama persis dengan 'Rasa Sayange' sebagai "jingle" promosi pariwisata negeri jiran itu. Meski syair lagunya tidak sama, 'Rasa Sayange' versi Malaysia yang berjudul 'Rasa Sayang Hey' itu memiliki notasi dan irama yang hampir sama persis dengan lagu 'Rasa Sayange' yang lebih dahulu ada di Indonesia. Malaysia juga mengklaim tarian Reog Ponorogo sebagai warisan budaya mereka. Kasus itu muncul dalam website Kementerian Kebudayaan, Kesenian, dan Warisan Malaysia. 14 Gambar dadak merak reog terpampang di website itu dan di depannya terdapat tulisan "Malaysia". Tari Reog Ponorogo versi Malaysia ini bernama tari Barongan, dimana cerita yang ditampilkan dalam tarian Barongan, mirip dengan cerita pada tarian Reog Ponorogo.
14
Lihat website Kementerian Perpaduan, Kebudayaan, Kesenian dan Warisan Malaysia, http://www.heritage.Qov.mv, diakses tanggal 5 Mei 2011.
Universitas Sumatera Utara
Ulos Batak Toba sebagai bagian dari pengetahuan tradisional, ulos dibuat oleh masyarakat adat Batak Toba yang ada di Sumatera Utara, pembuatan ulos ini dilakukan secara turun temurun. Ulos terdiri dari berbagai jenis dan motif yang masing-masing mempunyai makna, fungsi dan kegunaan tersendiri, kapan digunakan, disampaikan kepada siapa dan dalam upacara adat yang bagaimana. Ulos Batak Toba perlu mendapat perlindungan agar tidak dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. B. Rumusan Masalah Dalam menyusun tesis ini peneliti hanya membatasi permasalahan yang akan dibahas sebagai berikut: 1. Bagaimana pengertian pengetahuan tradisional dalam pengaturan Hak Kekayaan Intelektual? 2. Bagaimana
pengaturan
mengenai
perlindungan
hukum
terhadap
pengetahuan tradisional khususnya atas Motif Ulos Batak Toba? 3. Bagaimana kendala-kendala perlindungan hukum terhadap pengetahuan tradisional khususnya atas Motif Ulos Batak Toba? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan pokok permasalahan tersebut diatas maka terdapat beberapa tujuan yang melandasi penelitian ini, sesuai dengan topik diatas tujuan yang hendak dicapai adalah :
Universitas Sumatera Utara
1. Untuk mengetahui pengertian pengetahuan tradisional dalam pengaturan Hak Kekayaan Intelektual. 2. Untuk mengetahui pengaturan mengenai perlindungan hukum terhadap pengetahuan tradisional khususnya atas Motif Ulos Batak Toba. 3. Untuk mengetahui kendala-kendala perlindungan hukum terhadap pengetahuan tradisional khususnya atas Motif Ulos Batak Toba
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaaat secara teoritis dan praktis yaitu : 1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat melalui sumbangsih pemikiran di bidang Hukum Hak Kekayaan Intelektual (HKI)
Khususnya
mengenai
perlindungan
hukum
pengetahuan
tradisional masyarakat Indonesia. 2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pihak-pihak yang terkait dan khususnya bagi masyarakat Indonesia di dalam kehidupannya sehari-hari. E. Keaslian Penelitian
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan informasi dan penelusuran yang dilakukan oleh peneliti terhadap hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan di lingkungan Universitas Sumatera Utara, ditemukan judul penelitian yaitu: Tinjauan Hukum Perlindungan Hak Cipta Atas Motif Ulos Batak Toba (Penelitian Kerajinan Ulos di Kabupaten Toba Samosir), Oleh Rita Silvia, Nim: 067011070, tetapi permasalahan yang diangkat berbeda, oleh karena itu penulis berkenyakinan penelitian yang penulis lakukan ini jelas dapat dipertanggung jawabkan secara akademis, karena senantiasa memperhatikan ketentuan-ketentuan atau etika penelitian yang harus dijunjung tinggi bagi peneliti dan akademisi, dengan demikian penelitian ini adalah asli.
F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsi
1. Kerangka Teori Perkembangan ilmu hukum tidak terlepas dari teori hukum sebagai landasannya dan tugas teori hukum adalah untuk menjelaskan nilai-nilai hukum dan postulat-postulatnya hingga dasar-dasar filsafatnya yang paling dalam. 15 Sehingga penelitian ini tidak terlepas dari teori-teori ahli hukum yang dibahas dalam bahasa dan sistem pemikiran para ahli hukum sendiri. Jelaslah kiranya bahwa seorang ilmuan mempunyai tanggungjawab sosial yang terpikul dibahunya. Bukan karena dia adalah warga masyarakat yang kepentingannya terlibat secara langsung di 15
W.Friedman, Teori dan Filsafat Umum (Jakarta; Raja Grafindo) hal.2.
Universitas Sumatera Utara
masyarakat melainkan juga karena dia mempunyai fungsi tertentu dalam kelangsungan masyarakat hidup masyarakat. 16 Holland yang dikutip oleh Wise, Percy M. Winfield dan Bias, menyatakan bahwa tujuan hukum adalah menciptakan dan melindungi hak-hak (legal rights). Hukum pada hakikatnya adalah sesuatu yang abstrak, tetapi dalam manifestasinya bisa berwujud konkrit. Suatu ketentuan hukum baru dapat dinilai baik jika akibat-akibat yang dihasilkan dari penerapannya adalah kebaikan, kebahagian yang sebesar-besarnya dan berkurangnya penderitaan. 17 Menurut teori konvensional, tujuan hukum adalah mewujudkan keadilan (rechtsgerechtigheid),
kemanfaatan
(rechtsutiliteit)
dan
kepastian
hukum
(rechtszekerheid). 18 Menurut Satjipto Raharjo, ”Hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur, dalam arti, ditentukan keluasan dan kedalamannya. Kekuasaan yang demikian itulah yang disebut hak. Tetapi tidak di setiap kekuasaan dalam masyarakat bisa disebut
16
Jujun S. Suryasumantri, Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer (Jakarta; Pustaka Sinar Harapan, 1999) hal. 237. 17 Lili Rasjidi dan I. B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem (Bandung; Remaja Rosdakarya, 1993) hal. 79. 18 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), (Jakarta; PT. Gunung Agung Tbk, 2002), hal. 85.
Universitas Sumatera Utara
sebagai hak, melainkan hanya kekuasaan tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada seseorang. 19 Menurut Setiono, perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman sehingga
memungkinkan
manusia
untuk
menikmati
martabatnya
sebagai
manusia. 20 Menurut Muchsin, perlindungan hukum merupakan kegiatan untuk melindungi individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau kaidah-kaidah yang menjelma dalam sikap dan tindakan dalam menciptakan adanya ketertiban dalam pergaulan hidup antar sesama manusia. 21 Perlindungan hukum merupakan suatu hal yang melindungi subyek-subyek hukum melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Perlindungan hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: 22 a. Perlindungan Hukum Preventif Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk mencegah suatu pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan dalam melakukan sutu kewajiban. b. Perlindungan Hukum Represif. 19
Satjipto Rahardjo, Ilmu hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, Cetakan ke-V 2000). hal. 53. Setiono, Rule of Law (Supremasi Hukum), (Surakarta; Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, 2004) hal. 3. 21 Muchsin, Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia, (Surakarta; magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, 2003), hal. 14. 22 Ibid, hal. 20. 20
Universitas Sumatera Utara
Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa sanksi seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran.
World
Iintellectual
Property
Organization
(WIPO)
mendefinisikan
pengetahuan tradisional sebagai pengetahuan yang berbasis pada tradisi. 23 Antara lain seperti pengetahuan di bidang karya sastra, karya artistik atau ilmiah, pertunjukan, invensi, penemuan ilmiah, desain, merek, nama dan simbol, informasi yang tidak diungkapkan dan semu inovasi dan kreasi berbasis pada tradisi yang disebabkan oleh kegiatan intelektual dalam bidang industri, ilmiah, kesusastraan dan artistik. Sedangkan pengetahuan yang berbasis tradisi menurut Achmad Zein Umar Purba, adalah pengetahuan yang dibangun oleh sekelompok orang, yang digunakan secara turun temurun, dan berkaitan langsung dengan lingkungan atau alam, yang dikembangkan secara non sistematis dan terus menerus. 24 Konsep “tradisi” yang diberikan oleh World Intellectual Property Organization (WIPO) yang hanya terbatas pada proses (turun temurun) ini oleh Agus Sardjono di dalam bukunya “Hak Kekayaan Intelektual dan Pengetahuan Tradisional” dianggap sebagai ganjalan di dalam memberikan perlindungan hukum terhadap pengetahuan tradisional. Menurutnya konsep “tradisi” pada dasarnya tidak hanya terbatas pada proses (turun temurun), tetapi juga mencakup adat istiadat yang
23 24
Ibid. hal. 36. Ibid. hal. 40
Universitas Sumatera Utara
tidak terlepas dari nilai atau pandangan hidup (philosophical background) masyarakat yang bersangkutan. 25 Istilah tradisional dalam pengetahuan tradisional tidak selalu diasosiasikan dengan sesuatu yang kuno, Pengetahuan tradisional sebenarnya dapat merupakan sesuatu yang dinamis, yang dihasilkan oleh sekelompok masyarakat tertentu yang mencerminkan
budaya
mereka.
Pengetahuan
tradisional
dikembangkan,
dipertahankan, dan diteruskan secara turun temurun antar generasi dalam masyarakat tersebut, dan kadangkala diturunkan melalui tata cara adat tertentu yang berlaku dalam kebudayaan masyarakat tersebut. Banyak komunitas masyarakat yang menganggap pengetahuan tradisional sebagai bentuk identitas budaya (cultural identity) mereka sehingga inilah yang membuat pengetahuan tradisional bersifat “tradisional”. 26 Di dalam Article 8 (j) Convention on Biological Diversity (CBD) 1992, dikatakan bahwa pengetahuan tradisional itu meliputi pengetahuan, inovasi, dan praktik-praktik masyarakat lokal yang mencakup tata cara hidup tradisional yang relevan
dengan
pelestarian
dan
pemanfaatan
berkelanjutan
dari
pada
keanekaragaman hayati. 27 Pengetahuan tradisional menurut Convention on Biological Diversity (CBD) dapat dikategorikan menjadi dua macam, yaitu pertama,
25
Ibid Dwi Rezki Sri Astarini, HKI dalam kaitannya dengan perlindungan traditional knowledge, Floklore dan Genetic Resources, http://astarini.multiply.com/jurnal/item/1, diakses tanggal 24 Januari 2011. 27 Ibid., hal.36. 26
Universitas Sumatera Utara
pengetahuan tradisional yang terkait dengan keanekaragaman hayati, misalnya obat tradisional. Dan kedua, pengetahuan yang terkait dengan seni (folklore). 28 Hak Kekayaan Intelektual (HKI) adalah konsepsi yang mengatur tentang penghargaan atas karya orang lain, untuk pengembangan invensi, kreasi, desain dan lain-lain bentuk karya intelektual. 29
Hak Kekayaan Intelektual (HKI) bersifat
privat, namun hanya akan bermakna jika diwujudkan dalam bentuk produk di pasaran, digunakan dalam siklus permintaaan dan penawaran, oleh karena itu memainkan suatu peranan dalam bidang ekonomi. 30 Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dapat dikategorikan dalam kelompok sebagai berikut: 31 a. Hak Cipta (Copy Right) b. Hak Kekayaan Industri (Industrial Property), yang mencakup: 1) Paten (Patent) 2) Merek (Trade Mark) 3) Desain Produk Industri dan 4) Penanggulangan praktek persaingan curang (Repression of Unfair Competition Practices).
2. Landasan Konsepsi 28
Ibid., hal.37. A. Zen Umar Purba, Peta Mutakhir Hak Kekayaan Intelektual Indonesia; (http://www. d gip. Go.id/ebhtml/hki/filecontent.php?fid=5764) diakses tanggal 29 Januari 2011. 30 Ibid. 31 H.OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Jakarta; PT.Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 13. 29
Universitas Sumatera Utara
Suatu kerangka konsepsi merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang ingin atau akan diteliti. Suatu konsep bukan merupakan gejala yang akan diteliti, akan tetapi merupakan suatu abstraksi dari gejala tersebut. Gejala itu sendiri biasanya dinamakan fakta, sedangkan konsep merupakan suatu uraian mengenai hubungan-hubungan dalam fakta tersebut. 32 Konsep merupakan alat yang dipakai oleh hukum dan disamping yang lainlain, seperti asas dan standar. Oleh karena itu kebutuhan untuk membentuk konsep merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasa penting dalam hukum. Konsep adalah suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analitis. 33 Penggunaan konsep dalam suatu penelitian adalah untuk menghindari penafsiran yang berbeda terhadap kerangka konsep yang dipergunakan, oleh karena itu penulis merumuskan konsep dengan mempergunakan model definisi operasional. 34 Adapun definisi yang dipergunakan dalam penelitian ini yaitu: 1. Pengetahuan tradisional adalah pengetahuan yang berbasis pada tradisi. 35 antara lain seperti pengetahuan di bidang karya sastra, karya artistik atau ilmiah, pertunjukan, invensi, penemuan ilmiah, desain, merek, nama dan simbol, informasi yang tidak diungkapkan dan semu inovasi dan kreasi
32
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta; UI Press, 1984) hal.132. Sacipto Rahardjo, Op. Cit. hal. 307. 34 Universitas Sumatera Utara, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Thesis (Medan: Universitas Sumatera Utara, 2009) hal. 72. 35 Afrillyanna Purba Op.Cit. hal. 36. 33
Universitas Sumatera Utara
berbasis pada tradisi yang disebabkan oleh kegiatan intelektual dalam bidang industri, ilmiah, kesusastraan dan artistik. 2. Pengetahuan yang berbasis tradisi adalah pengetahuan yang dibangun oleh sekelompok orang, yang digunakan secara turun temurun, dan berkaitan langsung dengan lingkungan atau alam, yang dikembangkan secara non sistematis dan terus menerus. 36 3. Hak Kekayaan Intelektual (HKI) adalah konsepsi yang mengatur tentang penghargaan atas karya orang lain, untuk pengembangan invensi, kreasi, desain dan lain-lain bentuk karya intelektual.37 4.
Hak Cipta adalah hak ekslusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 38
5.
Pencipta adalah seorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang dituangkan ke dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi. 39
36
Ibid. A. Zen Umar Purba, Op. Cit, hal. 53. 38 Pasal 1 butir 1 UUHC Nomor 19 tahun 2002. 39 Pasal 1 butir 2 UUHC Nomor 19 tahun 2002. 37
Universitas Sumatera Utara
6.
Ciptaan adalah hasil setiap karya pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, atau sastra. 40
G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau doktriner, yaitu menggunakan hukum positif dan bahan hukum yang lain, yang mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum, sejarah hukum dan perbandingan hukum. 41 Oleh karena itu penelitian ini tertuju pada penelitian kepustakaan, yang berarti akan lebih banyak menelaah dan mengkaji data sekunder yang diperoleh dari penelitian. 42 Menurut Ronald Dworkin bahwa penelitian hukum normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research), yaitu suatu penelitian yang menganalisis baik hukum yang tertulis dalam buku (law as written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law as is decided by the judge through judical process). 43 2. Sumber Data Data sekunder yang dipergunakan dalam penelitian ini mencakup: 40
Pasal 1 butir 3 UUHC Nomor 19 tahun 2002. Jhony Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Malang; Bayumedia Publishing 2007) hal. 5. 42 Ibid.hal 53. 43 Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, disampaikan pada “Dialog Interaktif tentang Penelitian Hukum pada Majalah Akreditasi”, Medan: Tanggal 18 Februari, 2003, hal.1. 41
Universitas Sumatera Utara
a. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan merupakan landasan utama untuk dipakai dalam rangka penelitian ini, diantaranya adalah: Undang-Undang Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002. b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang relevan dengan penelitian ini, diantaranya adalah: 1. Berbagai kepustakaan mengenai Hak atas Kekayaan Intelektual. 2. Berbagai kepustakaan mengenai Pengetahuan Tradisional. 3. Berbagai hasil kesimpulan seminar dan pertemuan ilmiah lainnya mengenai Hak atas Kekayaan Intelektual dan Pengetahuan Tradisional. c. Bahan hukum tertier yaitu bahan hukum penunjang, yaitu bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, berupa kamus, majalah, jurnal-jurnal, surat khabar dan sebagainya yang dipergunakan untuk melengkapi ataupun menunjang data penelitian. 3. Teknik Dan Alat Pengumpul Data Teknik pengumpul data yang akan digunakan oleh peneliti adalah melalui penelitian kepustakaan dengan menggunakan alat studi dokumen, untuk mempelajari bahan-bahan hukum yang merupakan data sekunder.
Universitas Sumatera Utara
Pertama-tama, peneliti akan menghimpun semua peraturan-peraturan yang berkaitan dengan bidang hukum yang menjadi obyek penelitian. Selanjutnya dari bahan-bahan tersebut, peneliti akan memilih asas-asas, doktrin dan ketentuan-ketentuan mengenai Hak Kekayaan Intelektual (HKI) terutama tentang Hak Cipta yang berhubungan dengan perlindungan hukum terhadap pengetahuan tradisional. Hasil yang diperoleh akan disusun secara sistematis, guna memudahkan peneliti dalam melakukan analisis data. Metode analisa data yang dipergunakan oleh peneliti dalam penelitian ini, adalah dengan metode analisis kualitatif. 44 Proses analisis data dalam penelitian ini dimulai dengan menelaah seluruh data, yang bertujuan untuk mencari dan memahami esensi makna di balik teori, bukan untuk menguji atau membuktikan teori yang ada. 4. Analisis Data Data yang diperoleh dalam studi kepustakaan atas bahan hukum akan diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa sehingga dapat disajikan dalam penulisan yang lebih sistematis guna mencapai target yang diinginkan berupa jawaban atas permasalahan perlindungan hukum terhadap pengetahuan tradisional masyarakat Indonesia. Pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif, yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum untuk permasalahan yang bersifat konkret yang sedang dihadapi. Selanjutnya bahan hukum yang telah ada akan dianalisis untuk melihat 44
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta; Rake Sarasin, 2000), hal.139
Universitas Sumatera Utara
bagaimana
ketentuan
hukum
positif
Indonesia
mengatur
mengenai
perlindungan hukum terhadap pengetahuan tradisional masyarakat Indonesia.
Universitas Sumatera Utara