BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penyelenggaraan suatu pemerintahan senantiasa bertolak dari tujuan bernegara yang telah dicita-citakan sejak sebuah negara terbentuk. Eksistensi Indonesia sebagai sebuah negara kesatuan yang berbentuk republik1memiliki tujuan bernegara sebagaimana termaktub dalam alinea ke-4 Pembukaan UndangUndang Dasar (UUD) Tahun 1945, sebagai berikut: 1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; 2. Memajukan kesejahteraan umum; 3. Mencerdaskan kehidupan bangsa; 4. Ikut melaksanankan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.2 Berdasarkan tujuan negara tersebut, termaknai bahwa negara Indonesia berfungsi untuk melindungi kepentingan individu dan kepentingan umum. Hal demikian berbeda dengan negara-negara berideologi liberal/individu yang lebih
1
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi: “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik.” 2 Alinea ke-4 Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi: “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
1
mengutamakan kepentingan individu dan negara-negara berideologi sosialis yang lebih mengutamakan kepentingan umum. Negara
Indonesia
sebagai
negara
yang
berideologi
Pancasila,
sesungguhnya merupakan sintesis dari ideologi liberal/individu sebagai tesis dan ideologi sosialis sebagai antitesis.3 Makna yang terkandung dalam Pancasila ialah hidup dan kehidupan yang selaras, serasi, dan seimbang dalam segala hal. Hal tersebut mutlak diperlukan sebagai dasar-dasar pengorganisasian pemerintahan.4 Konsepsi fungsi negara Indonesia yang berideologi Pancasila mirip dengan konsepsi Negara Kesejahteraan atau welfare state. Hal ini dapat tercermati dari pendapat Muchsan, sebagai berikut: “Negara RI sedikit banyak mengambil ajaran sosialis, di mana hubungan antara negara dan individu berlaku doktrin bahwa kepentingan umum atau masyarakat lebih diutamakan daripada kepentingan individu atau perseorangan. Akan tetapi juga menerapkan ajaran individualis, karena UUD 1945 tetap mengakui adanya hak perseorangan yang harus dihormati oleh Pemerintah maupun orang lain.”5 Sejalan dengan pemikiran tersebut, Satjipto Rahardjo menjelaskan bahwa negara kesejahteraan dianggap sebagai kompromi antara ideologi sosialistis dan liberal. Perkembangan negara kesejahteraan menyebabkan bahwa hal-hal yang dulu merupakan inisiatif swasta, sekarang diambil-alih oleh pemerintah, demi
3
Ola Mangu Kanisius, Merefleksi Nasionalisme dalam Kebhinekaan, (opini) Pos Kupang, 27 Oktober 2011, Lihat Moh. Mahfud M.D., 2007, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, LP3S, Jakarta, hlm. 6, Pancasila merupakan konsep prismatik (meminjam istilah Fred W. Riggs) yakni konsep yang mengambil segi-segi baik dari dua konsep yang bertentangan kemudian disatukan sebagai konsep tersendiri sehingga dapat selalu diaktualkan dengan kenyataan masyarakat Indonesia dan setiap perkembangannya. 4 Ateng Syafrudin, 1991, Titik Berat Otonomi Daerah Pada Daerah Tingkat II dan Perkembanganannya, Mandar Maju, Bandung, hlm. 5. 5 Muchsan, 1981,Beberapa Catatan tentang Hukum Administrasi Negara dan Peradilan Administrasi Negara di Indonesia,Liberty, Yogyakarta, hlm. 9.
2
keadilan sosial yang lebih baik dan untuk mencegah pengangguran dan stabilitas dalam menghadapi konjungtur ekonomi.6 Kerangka pemikiran demikian menegaskan bahwa pemerintah tidak dapat sepenuhnya mewujudkan tujuan negara yang tercermin dalam begitu banyak urusan-urusan pemerintahan. Pemerintah perlu menyerahkan sebagian urusanurusan
pemerintahan
ke
desentralisasi.7Penyelenggaraan
pemerintah
daerah
politik desentralisasi
berdasarkan
politik
mewujudkan “daerah
otonom”, sedangkan urusan yang diserahkan kepada daerah otonom menjadi hak atau wewenangnya disebut “otonomi daerah”. Pemberian otonomi daerah bertujuanuntuk menciptakan kesejahteraan bagi rakyat melalui pendekatan pelayanan secara optimal. Penyerahan urusan-urusan pemerintahan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah tidak berarti bahwa prinsip sentralisasi harus ditinggalkan. Sentralisasi dan desentralisasi bukanlah dua hal yang bersifat dikotomis, melainkan kontinum.8 Pemerintah daerah dalam negara kesatuan merupakan sub sistem dari pemerintah pusat.Penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak bermakna sebagai sebuah kemerdekaan bagi daerah, melainkan merupakan
6
Satjipto Rahardjo,2009, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, Genta Publishing, Yogyakarta, hlm. 20. 7 R.D.H. Koesoemahatmadja menyatakan bahwa pelaksanaan desentralisasi di Indonesia diakibatkan oleh beberapa hal sebagai berikut: (1) luasnya wilayah Indonesia; (2) ketidak mampuan Pemerintah Pusat untuk menyelenggarakan semua urusan pemerintahan; (3) Keadaan Indonesia yang pluralistik; (4)Untuk terciptanya daya guna dan hasil guna pemerintahan,. Periksa, R.D.H. Koesoemahatmadja,1979, Peranan Administrasi Dalam Pembangunan, Eresco, Bandung, 1979, hlm. 11-12, sebagaimana dikutip dalam Muhammad Fauzan, 2006, Hukum Pemerintahan Daerah Kajian Tentang Hubungan Keuangan antara Pusat dan Daerah, UII Press, Yogyakarta, hlm. 48. 8 Ni’Matul Huda, 2009, Hukum Pemerintahan Daerah, Nusa Media, Bandung, hlm. 13.
3
kemandirian dan tanggung jawab untuk menyelenggarakan urusan rumah tangganya. Hubungan antara pusat dan daerah harus selalu diseimbangkan antara sentralisasi (memusat) dan desentralisasi (mendaerah). Reformasi pada tahun 1998 sebagai gerakan korektif terhadap rezim orde baru, telah menandai beralihnya era otoriter-sentralistis ke era demokratis partisipatif.9 Hal demikian turut berimplikasi secara langsung terhadap pola hubungan antara pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah. Hubungan pusat dan daerah yang sebelumnya bercorak sentralistik diarahkan kepada politik desentralisasi. UUD Tahun 1945 hasil perubahan menegaskan bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan spirit desentralisasi teritorial, asas otonomi dan tugas pembantuan serta prinsip otonomi seluas-luasnya bagi pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) untuk mengatur dan menyelenggarakan urusan pemerintahan.
9
Gerakan reformasi pada tahun 1998 lahir dengan beberapa agenda atau tuntutan, antara lain: Amandemen UUD 1945, Hapus Dwifungsi ABRI, Percepat PEMILU, Otonomi Daerah, dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Dalam merespon tuntutan reformasi yang berkaitan dengan Otonomi Daerah,dikeluarkan TAP MPR No.XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah: Pengaturan, Pembagian dan pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Seiring dengan hal tersebut produk hukum rezim orde baru berupa UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah dan UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa digantikan oleh UU No. 22 Tahun 1999 yang kemudian direvisi dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pengaturan tentang pemerintahan daerah dan desa akan terus mengalami perkembangan, hal ini dapat tercermati pada konsensus bersama antara Pemerintah dan DPR untuk memecah UU No. 32 Tahun 2004 menjadi tiga buah undang-undang, yakni UU tentang Pemerintahan Daerah, UU tentang Pemilihan Kepala Daerah, dan UU tentang Desa.
4
Otonomi
seluas-luasnya
berarti
pemerintah
daerah
dalam
menyelenggarakan pemerintahan daerah menangani semua urusan pemerintahan, kecuali urusan pemerintahan yang ditentukan sebagai urusan pusat. Enny Nurbaningsih menjelaskan bahwa: “Istilah otonomi seluas-luasnya tidak mengandung arti bahwa daerah akan mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang jauh lebih banyak dari pusat. Titik berat otonomi seluas-luasnya bukan pada jumlah urusan daerah, tetapi pada kebebasan (kemandirian) untuk mengatur dan mengurus kepentingan yang sesuai dengan kondisi riil daerah, meliputi segala kepentingan umum dari masyarakat dan daerah, sepanjang hal itu tidak termasuk atau ditarik ke dalam pengurusan pemerintahan yang lebih tinggi atau pemerintah pusat.”10 Pengertian otonomi seluas-luasnya yang dianut dalam hukum positif dimaksudkan memberikan keleluasaan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya dalam rangka mendorong terwujudnya tujuan otonomi daerah.11 UUD Tahun 1945 hasil perubahan juga turut mempertegas pola hubungan antara pemerintah dan pemerintah daerah dengan memberikan pengakuan dan penghormatan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.12 Berdasarkan ketentuan tersebut, terkandung beberapa makna, yaitu: Pertama, pengakuan dan penghormatan negara terhadap kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya; Kedua, pengakuan negara 10
Enny Nurbaningsih, 2011, Aktualisasi Pengaturan Wewenang Mengatur Urusan Daerah Dalam Peraturan Daerah (Studi Periode Era Otonomi Seluas-Luasnya.), Disertasi Program Pascasarjana FH UGM, Yogyakarta, hlm. 72. 11 Ibid. hlm. 161. 12 Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, yang berbunyi: “Negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”
5
tidak secara mutlak, tetapi dengan syarat bahwa kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya itu masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan Ketiga, pengaturan dalam undang-undang. Pengakuan
dan
penghormatan
negara
terhadap
kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya yang dikenal dengan pengakuan terhadap pemerintahan desa adat dan otonomi aslinya. Desa atau dengan sebutan lain yang beragam merupakan suatu kesatuan organisasi masyarakat hukum yang memiliki wilayah, mengatur dan menyelenggarakan komunitasnya secara mandiri berdasarkan hukum adat dan eksistensinya mendahului masyarakat hukum yang dinamakan dengan negara. Hal demikian dapat dijelaskan melalui pendapat M. Nasroen yang menjelaskan bahwa: “Dari zaman ke zaman desa, nagari, marga ini ada dan tetap ada sampai desa ini. Majapahit telah hilang, demikian pula Sriwijaya, Aceh, Bugis, Minangkabau, Mataram dan sebagainya. Hindia Belanda, Pendudukan Jepang telah lenyap, namun desa, nagari, marga itu tetap ada. Dari jalan sejarah ini sebagai bukti dapat diambil kesimpulan, bahwa sesuatu negara akan tetap ada, asal negara itu sanggup menyatukan dirinya dengan desa, nagari dan marga.”13 Desa merupakan sebuah daerah hukum yang paling tua menjalankan otonomi yang sangat luas, lebih luas daripada otonomi daerah-daerah hukum yang di atasnya yang menyusul di kemudian hari, baik yang dibentuk oleh desa-desa
13
M.Nasroen, 1955, Daerah Otonomi Tingkat Terbawah, Beringin Traiding Company, Jakarta. hlm.11.
6
bersama-sama dengan sukarela, maupun yang dipaksakan oleh pihak-pihak yang lebih kuat.14 Otonomi pada desa berbeda dengan otonomi daerah pada pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota), yang bersifat pemberian atau penyerahan dari pemerintah (pusat). Otonomi yang ada pada desa bersifat asli, merupakan pengakuan kewenangan oleh negara tanpa melalui suatu pengalihan kewenangan. Pemerintah Daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang telah ditentukan menjadi urusan Pemerintah. Pemerintah Daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan menyelenggarakan urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Desa merupakan bagian integral dari susunan pemerintahan daerah yang menjalankan otonomi bersifat asli, mencakup penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan susunan asli dan kewenangan berdasarkan hak asal-usul. Berdasarkan prinsip-prinsip konstitusional penyelenggaraan pemerintahan daerah yang telah digariskan UUD Tahun 1945 (Hasil Perubahan), tercermati bahwa otonomi luas daerah kabupaten diharapkan dapat mendukung dan memantapkan penyelenggaraan sistem pemerintahan desa, dengan tetap menghormati, memelihara dan mengembangkan susunan pemerintahan asli beserta hak-hak istimewa yang dimiliki desa.
14
Soetardjo Kartohadikoesoemo, 1984, Desa, Balai Pustaka, Jakarta., hlm. 282.
7
Relevansi antara otonomi luas daerah kabupaten dengan penyelenggaraan sistem pemerintahan desa dilatarbelakangi oleh dasar pemikiran sebagai berikut: penyelenggaraan sistem pemerintahan desa merupakan salah satu bidang urusan yang bersifat konkuren; mayoritas masyarakat tinggal di desa; dan daerah kabupaten merupakan satuan pemerintahan daerah yang lebih dekat dengan desa, sehingga lebih memahami kondisi dan kebutuhan masyarakat setempat. Hal ini berarti kesejahteraan masyarakat lebih mudah diwujudkan oleh daerah kabupaten dengan otonomi luas yang dimilikinya untuk mendukung dan memantapkan penyelenggaraan sistem pemerintahan desa yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kondisi khusus daerah setempat. Perkembangan penyelenggaraan sistem pemerintahan desa padaKabupaten Flores Timur mengalami pasang surut seiring dengan perkembangan pengaturan yang silih berganti. Sejak masa penjajahan hingga awal kemerdekaan Negara Republik Indonesia penyelenggaraan sistem pemerintahan desa menempatkan desa sebagai intitusi kemasyarakatan berdasarkan hukum adat.15Pada rentang waktu tersebut penyelenggaraan pemerintahan desa diKabupaten Flores Timur 15
Secara praksis pasca kemerdekaan,, penyelenggaraan pemerintahan desa di Indonesia berdasarkan Indlandsche Gemeente Ordonantie Java en Madoera (IGO), undang-undang tentang desa yang diberlakukan untuk Jawa dan Madura, serta pada Indlandsche Gemeente Ordonantie Buitengwesten (IGOB), undang-undang tentang desa yang diberlakukan untuk daerah di luar Jawa dan Madura. IGO dan IGOB menggariskan penyelenggaraan pemerintahan desa didasarkan pada hukum adat atau otonomi asli. Lihat Hanif Nurcholis, 2011, Pertumbuhan dan Penyelengaraan Pemerintahan Desa, Penerbit Erlangga, Jakarta, hlm. 57-62. Bandingkan dengan Loekman Soetrisno, Dari Kebhinekaan Ke Ekaan: UU No. 5/1979 dan Dampaknya Terhadap Status DesaDesa di Indonesia, dalam Selo Soemardjan (Penyunting), 1993, Hukum Kenegaraan Republik Indonesia Antara Teori, Tatanan dan Terapan, Kerjasama Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial dan PT. Grasindo, Jakarta, hlm. 57-58, Sesuai dengan falsafah pemerintah Hindia Belanda yakni indirecht rule maka kedua undang-undang desa itu (IGO dan IGOB --pen) pun tidak berusaha menciptakan suatu struktur pemerintahan desa baru bagi masyarakat di Indonesia tetapi lebih memberikan pengakuan hukum terhadap struktur pemerintahan adat di pedesaan dengan tujuan agar mereka secara legal mewakili kepentingan pemerintahan Hindia Belanda.
8
diselenggarakan oleh kesatuan masyarakat hukum adat yang dikenal dengan nama Lewotanah yang secara harafiah berarti tanah air atau kampung halaman. Pada tahun 1964, Instruksi Gubernur Kepala Daerah Swatantra Tingkat I NTT tanggal 4 November 1964 Nomor: Und. 2/1/27 Tentang Pembentukan Desa Gaya Baru di Seluruh Daerah Swatantra Tingkat II Dalam Wilayah Daerah Swatantra Tingkat I NTT16, untuk merubah desa adat menjadi desa gaya baru dalam rangka merealisir pemerintahan di tingkat desa pada masing-masing wilayah kecamatan. Transformasi desa adat menjadi desa gaya baru dilakukan dengan beberapa cara, yakni: satu desa adat diubah menjadi desa gaya baru, penggabungan dua atau lebih desa adat menjadi satu desa gaya baru dan pemecahan satu desa adat menjadi beberapa desa gaya baru. UU No. 5 Tahun 1979tentang Pemerintahan Desa, menempatkan satuan pemerintahan terendah di bawah kecamatan disebut dengan nomenklatur desa. Penyeragaman
tidak
hanya
pada
nomenlaktur,
melainkan
mencakup
penyeragaman terhadap struktur organisasi dan mekanisme kerja.17Wajah desa
16
B.K. Kotten, Dkk, 1986, Kepemimpinan Dalam Masyarakat Pedesaan NTT,Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Ditjend Kebudayaan, Depdikbud, Jakarta, hlm. 38. Instruksi Gubernur Kepala Dati I NTT tanggal 4 November 1964, No. Und. 2/1/27 sebagai tindak lanjut Instruksi Gubernur Kepala Dati I NTT tanggal 15 Desember 1960 no 81/Des. 65/2/23 tentang Penghapusan Swapraja-Swapraja beserta struktur kekapitanan, haminte,kefetoran, serta wilayah raja kecil yang berada di bawahnya. Setelah dihapuskannya pemerintahan swapraja beserta struktur pemerintahan yang berada di bawahnya, kemudian dibentuklah kecamatan-kecamatan . Bandingkan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984, Sejarah Daerah Nusa Tenggara Timur, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, Jakarta. hlm. 20. Di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) semula terdapat 4555 buah desa tradisional yakni desa bersifat kesatuan genealogis yang kemudian dirubah menjadi desa gaya baru, sehingga totalnya berjumlah 1720 desa. 17 Lihat Hanif Nurcholis, 2011, Pertumbuhan dan Penyelengaraan Pemerintahan Desa … …Op Cit, hlm. 67.
9
lebih nampak sebagai sebuah unit birokrasi pemerintahan terendah di bawah kendali camat. Kebijakan desa gaya baru berdasarkanInstruksi Gubernur Kepala Daerah Swatantra Tingkat I NTT dan penyeragaman desa berdasarkan UU No. 5 Tahun 1979, tidak serta merta menghapus keberadaan dan penyelenggaraan desa adat (Lewotanah). Desa adat tetap eksis dalam menyelenggarakan pemerintahan berdasarkan susunan asli dan kewenangan berdasarkan hak asal-usul, serta hidup berdampingan dengan desa sebagai institusi bentukan pemerintah dalam satu wilayah. Pasca reformasi melalui kehadiran UU No. 22 Tahun 1999 yang kemudian diubah
dengan
UU
No.
Daerahmenggariskan daerah
32
Tahun
provinsi
dan
2004 daerah
Tentang
Pemerintahan
kabupaten
atau kota
menyelenggarakan otonomi seluas-luasnya. Sedangkan desa ditempatkan sebagai sub sistem pemerintah daerah kabupaten atau kota, dalam artian penyelenggaraan sistem pemerintahan desa merupakan urusan rumah tangga daerah yang bersifat konkuren. Penyelenggaraan sistem pemerintahan desa disesuaikan dengan tatanan adat yang berlaku, tetapi dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) disesuaikan sistem pemerintahan modern. Namun penyelenggaraan pemerintahan daerah Kabupaten Flores Timur di era otonomi luas belum berbanding linear dengan pengaturan penyelenggaraan sistem pemerintahan desa. Pengaturan sistem penyelenggaraan pemerintahan desa, mencakup aspek
10
kelembagaan, kewenangan dan keuangan, belum sesuai dengan karakteristik daerah dan kebutuhan masyarakat setempat. Pada awal tahun 2004, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) mengesahkan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, pengaturan desa dilakukan secara terpisah dari undang-undang pemerintahan daerah. Meskipun demikian, desa tetap merupakan bagian yang integral dari susunan pemerintahan daerah sebagaimana kehendak konstitusi (UUD 1945). Urusan mengenai desa merupakan urusan pemerintahan yang terkategorikan sebagai urusan bersifat konkuren (bersama) yang diselenggarakan secara proporsional antara pemerintah (pusat), pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota. UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa dijabarkan lebih lanjut melalui PP No. 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, menempatkan kedudukan desa sebagai kesatuan masyarakat hukum adat sebagai institusi modern yang terjelma dalam dua bentuk desa (desa dan desa adat) yang berkedudukan di wilayah kabupaten/kota.18 Perlu dilakukan kajian atas implementasi otonomi luas terhadap penyelenggaraan sistem pemerintahan desa (retrospeksi) berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004, sekaligus coba menengarai kemungkinan-kemungkinan ke depan (prospek)
implementasi
otonomi
luas
terhadap
penyelenggaraan
sistem
pemerintahan desa berdasarkan UU No. 6 Tahun 2014.
18
Pasal 5 UU No. 6 Tahun 2014 jo Pasal 6 UU No. 6 Tahun 2014
11
Berkaitan dengan perkembangan pengaturan dan kenyataan-kenyataan dalam proses penyelenggaraan pemerintahan daerah dan desa, penulis tertarik untuk menyusun sebuah penelitian berbentuk tesis yang berjudul: “Implementasi Otonomi
Luas
Daerah
Kabupaten
Terhadap
Penyelenggaraan
Sistem
Pemerintahan Desa (Studi Pada Kabupaten Flores Timur)? B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian-uraian pada latar belakang masalah di atas, rumusan masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Bagaimana implementasi otonomi luas daerah kabupaten terhadap penyelenggaraan sistem pemerintahan desa?
2.
Kendala-kendala apakah yang menghambat implementasi otonomi luas daerah kabupaten terhadap penyelenggaraan sistem pemerintahan desa?
C. Keaslian Penelitian Berdasarkan pengetahuan dan penelusuran penulis dalam data kepustakaan pada Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas GadjahMada Yogyakarta dan terhadap penelitian maupun penulisan karya ilmiah, sampai saat ini peneliti belum menemukan permasalahan yang sama dengan penelitian ini. Ada beberapa tulisan,dengan topik yang hampir sama atau berkaitan dengan penelitian ini, antara lain: 1.
Dinamika Pengaturan dan Kedudukan Pemerintahan Desa dalam Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia, berupa tesis yang ditulis oleh Beni Kharisma Arrasuli, (2012), Mahasiswa Magister Ilmu Hukum FH UGM yang mengkaji tentang perkembangan pengaturan tentang Pemerintahan 12
Desa sejak era kolonial Hindia Belanda hingga era reformasi. Perbedaan pokok dengan penelitian yang penulis lakukan terletak pada fokus kajian
tentang implementasi otonomi luas daerah kabupaten
terhadap penyelenggaraan sistem pemerintahan desa sejak era reformasi. 2.
Kebijakan Pemerintahan Daerah Dalam Rangka Penyelenggaraan Pemerintahan Desa di Kabupaten Biak-Numfor, berupa tesis yang ditulis oleh Toto Eko Suranto, (2008), Mahasiswa Magister Hukum FH UGM yang memotret kebijakan Pemerintah Daerah dalam suatu regulasi untuk mengisi kekosongan peraturan sebagai pedoman dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa di Kabupaten Biak-Numfor. Perbedaan pokok dengan penelitian yang penulis lakukan terletak pada fokus kajian yaitu yang berkaitan dengan implementasi otonomi luas daerah kabupaten terhadap penyelenggaraan sistem pemerintahan desa pada Kabupaten Flores Timur.
D. Tujuan Penelitian 1.
Tujuan objektif. a. Untuk mengetahui implementasi otonomi luas daerah kabupaten terhadap penyelenggaraan sistem pemerintahan desa; b. Untuk
mengetahui
implementasi
otonomi
kendala-kendala luas
daerah
yang
menghambat
kabupaten
terhadap
penyelenggaraan sistem pemerintahan desa. 2.
Tujuan subjektif 13
Untuk memperoleh data konkrit berkaitan dengan objek yang diteliti guna menyusun tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar “Magister Hukum” (MH) pada Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. E. Manfaat Penelitian Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu hukum, khususnya hukum pemerintahan daerah, berkaitan dengan implementasi otonomi luas daerah kabupaten terhadap penyelenggaraan sistem pemerintahan desa. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi Pemerintah daerah Kabupaten Flores Timur untuk mengimplementasikan otonomi luas daerah kabupaten terhadap penyelenggaraan sistem pemerintahan desa sesuai dengan kondisi khusus daerah.
14