BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Laut merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada umat manusia yang memberian begitu banyak manfaat bagi terselenggaranya kehidupan dan kesejahteraan manusia. Laut merupakan sumber makanan bagi manusia, sebagai jalan raya transportasi dan perdagangan sebagai batas sekaligus pemersatu antar negara serta berbagai manfaat lainnya. 2 Indonesia merupakan salah satu negara yang terdiri adari beribu-ribu pulau yang dipisahkan oleh perairan-perairan dangkal maupun perairan-perairan dalam (selat, laut territorial dan laut lepas), yang mana wilayah perairan Indonesia memiliki keanekaragaaman sumber daya hayati, dan inilah ciri negara maritim yang dimiliki Indonesia. Kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari negara kepulauan dan dua pertiga wilayahnya adalah perairan laut yang terdiri atas laut pesisir, laut lepas, teluk dan selat myang kaya akan sumber daya laut dan ikan. 3 Status Indonesia sebagai salah satu negara kepulauan yang memiliki banyak pantai . Hal ini tentu saja mengakibatkan Indonesia juga rentan terkena masalah tindak pidana perikanan. Apalagi Indonesia juga dikenal sebagai negara dengan potensi sumber daya hayati yang besar. Sumber perikanan laut Indonesia diperkirakan mencapai 6.167.940 ton per tahunnya. Namun, akibat letak posisi silang Indonesia yang terletak di antara dua benua (Asia dan Australia) dan dua
2
Frans E. Lidkaja dan Daniel F. Bassie, Hukum Laut dan Undang-Undang Perikanan, Ghalia Indonesia, Jakarta , 1985, hlm 21. 3 http://hasaanudinnoor.blogspot.com/hukum-acara-pengdilan-perikanan.html. Diakses tanggal 20 Mei 2015 pukul 18.20 WIB.
1
Universitas Sumatera Utara
2
Samudera (Pasifik dan Hindia) menyebabkan wilayah Indonesia rawan terjadinya tindak pidana perikanan. 4 Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri atas 18.108 pulau dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia sesudah Kanada. 5 Luas perairan atau wilayah laut Indonesia yaitu 5,9 juta km, yang terdiri dari 0,4 juta km2 perairan teritorial, perairan nusantara seluas 2,8 juta km2 , serta Zona Ekonomi Eksklusif seluas 2,7 juta km2. Kondisi geografis yang menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara maritim terbesar di dunia. 6 Kejahatan yang umumnya terjadi di wilayah periran Indonesia adalah tindak pidana perikanan, yaitu kegiatan perikanan yang tidak sah, kegitan perikanan yang tidak diatur oleh peraturan yang berlaklu, aktivitasnya tidak dilporkan kepada suatu institusi atau lembaga perikanan yang bersedia/berwenang.Tindak pidana perikanan ini paling sering terjadi di wilayah Indonesia pengelolaan perikanan di Indonesia adalah pencurian ikan oleh kapal-kapal ikan asing yang berasal dari beberapa negara tetangga seperti negara Thailand, Fillipina, dan Vietnam, walaupun sulit untuk memetakan dan mengistemasi tindak pidana perikanan yang terjadi di wilayah perairan Indoneisa. 7
4
http://news.detik.com/read/2009/10/09/080806/1218292/471/illegal-fishing-kejahatantransnasionalyang-dilupakan. Diakses tanggal 21 Mei 2016 pukul 18.00 WIB. 5 Lihat Laode M. Syarif, Promotion and Management of Marine Fisheries in Indonesia, dalam Towards Sustainable Fisheries Law, A Comparative Analysis,Gerd Winter (ed) IUCN Enviromental Policy and Law Paper No.74, 2009, hlm. 31. 6 Alma Manuputty dkk, Identifikasi Konseptual Akses Perikanan Negara Tak Berpantai dan Negara yang Secara Geografis Tak Beruntung di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, Makassar: Arus Timur, 2012, hlm. 1-2. 7 http://mukhtar-api.blogspot.com../2011/05/illegal-fishing-di-indonesia-.html. Diakses tanggal 21 Mei 2016 pukul 18.30 WIB.
Universitas Sumatera Utara
3
Tindak Pidana Perikanan merupakan masalah klasik yang sering dihadapi oleh negara yang memiliki banyak pantai karena masalah tersebut sudah ada sejak dulu. Namun hingga sekarang masalah tindak pidana perikanan masih belum dapat diberantas.Hal itu dikarenakan untuk mengawasi wilayah laut yang banyak secara bersamaan itu merupakan hal yang sulit.Negara yang sudah memiliki teknologi yang maju dibidang pertahanan dan keamanan sekalipun pasti juga pernah terkena kejahatan dalam tindak pidana perikanan. Tindak pidana perikanan yang dilakukan oleh nelayan asing maupun lokal tampaknya merupakan suatu ancaman yang cukup serius dalam penegakan hukum.Secara faktual tindak pidana tersebut ada kecenderungan untuk mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, dan terjadi hampir di seluruh pelosok Indonesia.Peningkatan
tindak
pidana
tersebut
mengisyaratkan
bahwa
penanggulangannya harus dilakukan secara sistematik. Kasus tindak pidana perikanan di Indonesia sendiri masih kurang mendapat perhatian dari pemerintah Indonesia sendiri dan penaggulangannya masih
kurang
maksimal
dilaksanakan.Padahal
kejahatan
tindak
pidana
perikanandi perairan Indonesia khususnya ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) Indonesia mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit bagi pemerintah Indonesia. 8 Sumber perikanan di Indonesia masih merupakan sumber kekayaan yang memberikan kemungkinan yang sangat besar untuk dapat dikembangkan bagi kemakmuran bangsa Indonesia, baik untuk memenuhi kebutuhan protein rakyatnya, maupun untuk keperluan ekspor guna mendapatkan dana bagi usaha8
http://m.antaranews.com/berita/439091/18-titik-perairan-indonesia-rawan-pencurian-ikan. Diakses tanggal 22 Mei 2016 pukul 11.00 WIB.
Universitas Sumatera Utara
4
usaha pembangunan bangsanya, 9menunjukan betapa pentingnya sumber kekayaan hayati dalam hal ini perikanan bagi Indonesia. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana perikanan di ZEE Indonesia. Salah satunya yaitu celah hukum yang terdapat dalam ketentuanPasal 29 ayat (2)Undang - Undang Nomor 45 Tahun 2009 perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan disebutkan bahwa orang atau badan hukum asing itu dapat masuk ke wilayah ZEE Indonesia untuk melakukan usaha penangkapan ikan berdasarkan persetujuan internasional atau ketentuan hukum internasional yang berlaku. 10Ketentuan Pasal 29 ayat (2)Undang - Undang Nomor 45 Tahun 2009 perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan 11 seakan membuka jalan bagi nelayan atau badan hukum asing untuk masuk ke ZEE Indonesia untuk kemudian mengeksplorasi serta mengeksploitasi kekayaan hayati di wilayah ZEE Indonesia. Namun hal itu tidak dapat disalahkan karena merupakan salah satu bentuk penerapan aturan yang telah ditentukan dalam Konvensi Hukum Laut Tahun 1982 yang merupakan salah satu konvensi internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985. Dalam ketentuan Pasal 62 ayat (3) dan (4) Konvensi Hukum Laut Tahun 1982 9
Hasjim Djalal, Perjuangan Indonesia Di Bidang Hukum Laut, Binacipta, Bandung, 1979,
hlm. 3. 10
Lihat ketentuanPasal 29 ayat (2) Undang - Undang Nomor 45 Tahun 2009 perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan. 11 Pasal 29 ayat (2) Undang - Undang Nomor 45 Tahun 2009 perubahan atas UndangUndang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan: Pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada orang atau badan hukum asing yang melakukan usaha penangkapan ikan di ZEEI, sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban Negara Republik Indonesia berdasarkan persetujuaan Internasional atau ketentuan hukum Internasional yang berlaku.
Universitas Sumatera Utara
5
mengharuskan negara pantai untuk memberikan hak akses kepada negara lain untuk mengeksploitasi kekayaan hayati di wilayah ZEE negara pantai apabila terjadi surplus dalam hal pemanfaatan sumber daya hayati oleh negara pantai. Kapal-kapal ikan asing yang mempunyai hak akses pada zona ekonomi eksklusif suatu negara pantai harus menaati peraturan perundang-undangan negara pantai yang bersangkutan, yang dapat berisikan kewajiban-kewajiban dan persyaratanpersyaratan mengenai berbagai macam hal, seperti perizinan, imbalan keuangan, kuota, tindakan-tindakan konservasi, informasi, riset, peninjau, pendaratan tangkapan, persetujuan-persetujuan kerja sama, dan lain sebagainya. 12 Faktor-faktor lain yang menyebabkan terjadinya tindak pidana perikanan di perairan Indonesia tidak terlepas dari lingkungan strategis global terutama kondisi perikanan di Negara lain yang memiliki perbatasan laut, dan sistem pengelolaan perikanan di Indonesia. Secara garis besar faktor penyebab tersebut dapat dikategorikan menjadi 7 (tujuh) faktor, sebagaimana diuraikan berikut: 13 1. Kebutuhan ikan di dunia (demand) meningkat, disisi lain pasokan ikan dunia menurun, terjadi overdemand terutama jenis ikan dari laut seperti Tuna. Hal ini mendorong armada perikanan dunia berburu ikan dimanapun dengan cara legal atau illegal. 2. Disparitas atau perbedaan harga ikan segar utuh (whole fish) di negara lain dibandingkan di Indonesia cukup tinggi sehingga membuat masih adanya surplus pendapatan.
12
http://dkp.kaltimprov.go.id/berita-157-kkp-kesulitan-awasi-perairan-indonesia.html. Diakses tanggal 22 Mei 2016 pukul 22.00 WIB. 13 Rohmin Dahuri, Petunjuk Teknis Penyelesaian Tindak Pidana Perikanan, Pusdiklat Kejagung RI, 2012, hlm. 4.
Universitas Sumatera Utara
6
3. Fishing ground di negara-negara lain
sudah mulai habis, sementara di
Indonesia masih sangat menjanjikan, padahal mereka harus mempertahankan produksi pengolahan di negara tersebut harus tetap bertahan. 4. Laut Indonesia sangat luas dan terbuka, disisi lain kemampuan pengawasan khususnya armada pengawasan nasional (kapal nasional) masih sangat terbatas dibandingkan kebutuhan untuk mengawasi daerah rawan. Luasnya wilayah laut yang menjadi yurisdiksi Indonesia dan kenyataan masih sangat terbukanya ZEE Indonesia yang berbatasan dengan laut lepas (High Seas) telah menjadi magnet masuknya kapal-kapal ikan asing maupun lokal untuk melakukan tindak pidana perikanan. 5. Sistem pengelolaan perikanan dalam bentuk sistem perizinan saat ini bersifat terbuka (open acces), pembatasannya hanya terbatas pada alat tangkap ( input restriction). Hal ini kurang cocok jika dihadapkan pada kondisi faktual geografi ZEE Indonesia yang berbatasan dengan laut lepas. 6. Masih terbatasnya sarana dan prasarana pengawasan serta sumber daya manusia pengawasan khususnya dari sisi kuantitas dibandingkan dengan luas wilayah perairan yang harus diawasi. Hal ini ditambah lagi dengan keterbatasan sarana dan prasarana pengawasan. 7. Presepsi dan langkah kerjasama aparat hukum masih dalam penanganan perkara tindak pidana perikanan masih belum terorganisasi dengan optimal, terutama dalam hal pemahaman tindakan hukum, dan komitmen operasi kapal pengawas di ZEE.
Universitas Sumatera Utara
7
Masalah tindak pidana perikanan ini terus menggelayuti perairan Indonesia, meskipun secara jelas dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang perikanan, bahwa pelaku tindak pidana perikanan diganjar dengan pidana penjara dan denda yang sepadan dengan pelanggaran yang dilakukan. Penerapan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana perikanan sangat menarik untuk dikaji khususnya warga negara asing sebagai pelaku tindak pidana perikanan. Hal ini ditujukan agar praktek-praktek tindak pidana perikanan yang dilakukan oleh kapal-kapal yang dioperasikan oleh warga negara asing dapat dihentikan melalui penegakan hukum pidana. Oleh karena hal tersebut diatas, maka penulis merasa tertarik untuk mengangkatnya menjadi sebuah skripsi yang berjudul “Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Perikanan yang Dilakukan Oleh Warga Negara Asing (Studi Kasus Putusan Nomor.12/Pid.P/2011/PN MDN)”
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah sebagaiberikut: 1. Bagaimanakah pengaturan tentang tindak pidana perikanan di Indoneia? 2. Bagaimana penerapan hukum pidana materil terhadap pelaku tindak pidana perikanan yang dilakukan oleh warga negara asing menurut putusan No.12/Pid.P/2011/PN.MDN?
Universitas Sumatera Utara
8
C. Tujuan dan manfaat penulisan Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini adalah: 1. Untuk mengetahuai pengaturan tentang tindak pidana perikanan di Indonesia. 2. Untuk mengetahui penerapan hukum pidana materil terhadap pelaku tindak pidana perikanan yang dilakukan oleh warga negara asing menurut putusan No.12/Pid.P/2011/PN.MDN. Adapun manfaat yang penulis harapkan dan akan diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis Penulis berharap karya tulis ilmiah berbentuk skripsi ini dapat memberi manfaat bagi kalangan akademis pada khususnya, dan masyarakat pada umumnya tentang pemahaman mengenai penangan tindak pidana perikanan khususnya yang dilakukan oleh warga negara asing. 2. Manfaat Praktis Memberi masukan kepada pemerintah, aparat penegak hukum dan pihak yang berkompeten dibidang penanganan tindak pidana perikanan.
D. Keaslian Penulisan Skripsi yang berjudul “ Analisis Yuridis Terhadap Tindak Pidana Perikanan Yang Dilakukan Oleh Warga Negara Asing (Studi Kasus Putusan No. 12/Pid.P/2011/PN.MDN)”
sepengetahuan
penulis
bahwa
dilingkungan
Universitas Sumatera Utara penulisan tentang judul tersebut belum pernah dilakukan oleh mahasiswa lain sebelumnya dan skripsi ini asli disusun oleh
Universitas Sumatera Utara
9
penulis sendiri dan bukan plagiat. Semua ini merupakan implikasi etis dari proes menemukan
kebenaran
ilmiah.
Sehingga
penelitian
ini
dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah, apabila dikemudian hari terdapat judul dan permasalahan yang sama, maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap skripsi ini.
E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu strafbaar feit . 14 Para ahli hukum mengemukakan istilah yang berbeda-beda dalam upayanya memberikan arti dari strafbaar feith sayangnya sampai saat ini belum ada keseragaman pendapat. Beberapa istilah yang pernah digunakan, baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dalam literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbaar feit ini adalah sebagai berikut: 15 a. Tindak Pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam perundangundangan pidana kita, hampir seluruh peraturan perundang-undangan menggunakan istilah tindak pidana. Ahli hukum yang menggunakan istilah ini seperti Wirdjono Prodjodikoro b. Peristiwa Pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum, misalnya Tresna dalam bukunya Asas-asas Hukum Pidana, H.J.Van Schravendijk dalam buku pelajaran tentang hukum pidana, Zainal Abiding, dalam buku beliau Hukum Pidana c. Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latinDelictum juga digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit.
14
Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana edisi 2, USU Press, Medan, 2013,
hlm.73. 15
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana: Stelsel Pidana, Teori-Teori Pemidanaan &Batas Berlakunya Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada,Jakarta, 2005, hlm. 68
Universitas Sumatera Utara
10
Untuk istilah “tindak” memang telah lazim digunakan dalam peraturan perundang-undangan kita walaupun masih dapat diperdebatkan juga ketepatannya. “Tindak” menunjuk pada kelakuan manusia dalam arti positif (handelen) semata, dan tidak termasuk kelakuan manusia yang pasif atau negativ (naleten). Padahal pengertian yang sebenarnya dalam istilah feit itu adalah termasuk baik perbuatan aktif maupun pasif tersebut. 16 Menurut Tongat, Penggunaan berbagai istilah tersebut pada hakikatnya tidak menjadi persoalan, sepanjang penggunaanya disesuaikan dengan konteksnya dan dipahami maknanya. 17 Secara harfiah tindak pidana, peristiwa pidana, dan perbuatan pidana merupakan beberapa istilah dari penterjemahan istilah strafbaar feit ke dalam bahasa Indonesia, dimana istilah strafbaar feit ke dalam bahasa Indonesia, dimana istilah strafbaar feit terdiri dari: straf berartihukuman (pidana), baar berarti dapat (boleh), dan feit
berarti
peristiwa (perbuatan). Jadi istilah strafbaar feit adalah peristiwa yang dapat dipidana atau perbuatan yang dapat dipidana. 18 Beberapa Pengertian Tindak Pidana yang dirumuskan oleh para ahli yaitu: 19 a. D. Simons Menurut Simons, tindak pidana adalah tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakan yang dapat dihukum. Dengan batasan
16
Ibid., hlm. 70. Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan,UMM Press, Malang, hlm. 102. 18 P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1997, hlm. 181. 19 Tongat, Op.cit., hlm 105 17
Universitas Sumatera Utara
11
seperti ini, maka menurut simons untuk adanya suatu tindak pidana harus dipenuhi unsur-unsur sebagai berikut: 1). Perbuatan manusia, baik dalam pengertian arti perbuatan positif (berbuat) maupun negatif (tidak berbuat) 2). Diancam dengan pidana 3). Melawan hukum 4). Dilakukan dengan kesalahan 5). Oleh orang yang mampu bertanggungjawab b. J. Bauman Menurut J. Bauman, perbuatan/tindak pidana adalah perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan. c. Wirdjono Prodjodikoro Menurut beliau, tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidana. d. Pompe Menurut Pompe, dalam hukum positif strafbaarfeit tidak lain adalah feit (tindakan), yang diancam pidana dalam ketentuan undang-undang. 2. Pengertian Tindak Pidana Perikanan Secara ilmiah tindak pidana perikanan dikenal dengan praktek perikanan IUU, yaitu: a. I adalah Ilegal (tidak sah) b. U adalah Unreported (tidak dilaporkan)
Universitas Sumatera Utara
12
c. U adalah Unregulated (tidak diatur) Defenisi perikanan IUU secara Internasional, menurut alinea 3.1, 3.2, 3.3 IPOA-IUU. Alinea 3.1 IPOA-IUU mengatakan tindak pidana perikanan adalah: 20 1). Kegiatan penengkapan ikan yang dilakukn oleh suatu negara tertentu atau kapal asing diperairan yang bukan merupakan yurisdiksinya tanpa izin dari negara
yang
memiliki
yurisdiksi
atau
kegiatan
penengkapan
ikan
bertentangan dengan hukum dan peraturan negara itu. (Activities conducted national or foreign vessels in waters under the jurisdiction of a state, Without permission of that state, or in contravention of its laws and regulation). 2). Kegitan penengkapan ikan yang dilakukan oleh kapal perikanan berbendera salah satu negar yang tergabung sebagi anggota organisasi pengelolaan perikanan regional, Regional Fisheries Management Organization (RFMO) tetapi pengoperasian kapal-kapalnya bertentangan dengan tindakan-tindakan konservasi dan pengelolaan perikanan regional yang telah diadopsi oleh RFMO. Negara anggota RFMO wajib mengikuti aturan yang ditetapkan itu atau aturan lain yang berkaitan dengan hukum internasional. (Activities conducted by vessels flying the flag of satates that are parties to a relevant regional fisheries management organization (RFMO) but operate on contravention of conservation and management measures adopted by the organization and by wich Statesare are bound, and relevant provisions of the applicable international law).
20
Victor PH Nikijuluw, Blue Water Crime, Cidesindo, Jakarta, 2008, hlm. 14-15.
Universitas Sumatera Utara
13
3). Kegiatan penangkapan ikan yang bertentangan dengan perundang-undangan suatu negara atau ketentuan internasional, termasuk aturan-aturan yang ditetapkan negara anggota RFMO. (Activities in violation of national laws or international obligations, including those undertaken by cooperating satates to a relevant regional fisheries management organization RFMO). Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia tindak pidana perikanan merupakan suatu tindak pidana yang dilakukan oleh setiap orang yang dengan sengaja dibawah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan penengkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan bahan kimia, bahan biologis bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia. 21 3. Pengertian Pidana dan Pemidanaan Berbicara masalah pidana tentu tidak terlepas dari pembicaraan mengenai pemidanaan. 22 Menurut Sudarto, pemidanaan itu kerap kali sinonim dengan kata penghukuman. Penghukuman berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumnya (berechten). Penghukuman dalam perkara pidana, sinonim dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim. Penghukuman dalam hal ini mempunyai makna sama dengan sentence atau veroordeling, misalnya dalam
21
Pasal 84 ayat (1) UU No.31 tahun 2004 jo. UU No.45 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas UU No.31 Tahun 2004 Tentang Perikanan. 22 Marlina, Hukum Penitensier, Refika Aditama, Bandung, 2011, hlm. 33.
Universitas Sumatera Utara
14
pengertian sentenced conditionally atau voorwaadelijk veroordeeld yang sama artinya dengan dihukum bersyarat atau pidana bersyarat. 23 Hukum pidana ialah hukum yang mengatur tentang kepentingankepentingan dan hubungan-hubungan yang berwujud perintah dan larangan atau yang mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan. Sedangkan “pemidanaan” diartikan sebagai penghukuman. Bapak Amir Ilyas dalam bukunya menjelaskan bahwa “pemidanaan bisa diartikan sebagai tahapan penetapan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana”. 24 Menurut Jan Remmelink, pemidanaan adalah pengenaan secara sadar dan matang suatu azab oleh instansi penguasa yang berwenang kepada pelaku yang bersalah melanggar suatu aturan hukum. 25 Jerome Hall dalam M. Sholehuddin membuat deskripsi yang terperinci mengenai pemidanaan, yaitu sebagai berikut: 26 a. Pemidanaan adalah kehilangan hal-hal yang diiperlukan dalam hidup; b. Ia memaksa dengan kekerasan; c. Ia diberi atas nama negara ; ia “diotoritaskan”; d. Pemidanaan mensyaratkan adanya peraturan-peraturan, pelanggarannya, dan penentuannya, yang diekspresikan di dalam putusan;
23 24
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 71-72. Amir Iliyas, Asas-Asas Hukum Pidana, Rangkang Education, Yogyakarta, 2012, hlm
95. 25 26
Jan Remmelink, Hukum Pidana, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hlm.7. M. Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana,Raja Grafindo Persada, Jakarta,
hlm.70.
Universitas Sumatera Utara
15
e. Ia diberikan kepada pelanggar yang telah melakukan kejahatan, dan ini mensyaratkan adanya sekumpulan nilai-nilai yang dengan beracuan kepadanya, kejahatan dan pemidanan itu signifikan dalam etika; f. Tingkat atau jenis pemidanaan berhubungan dengan perbuatan kejahatan, dan diperberat atau diringankan dengan melihat personalitas (kepribadian) si pelanggar, motif dan dorongannya. Ted Honderich dalam Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah berpendapat, bahwa pemidanaan harus memuat tiga unsur berikut: 27 a. Pemidanaan harus mengandung semacam kehilangan (deprivation) atau kesengsaraan (distress) yang biasanya secara wajar dirumuskan sebagai sasaran dari tindakan pemidanaan. Unsur pertama ini pada dasarnya merupakan kerugian atau kejahatan yang di derita oleh subjek yang menjadi korban sebagai akibat dari tindakan sadar subjek lain. Secara aktual, tindakan subjek lain itu dianggap salah bukan saja karena mengakibatkan penderitaan bagi orang lain, tetapi juga karena melawan hukum yang berlaku secara sah; b. Setiap pemidanaan harus datang dari institusi yang berwenang secara hukum pula. Jadi, pemidanaan tidak merupakan konsekuensi alamiah dari suatu tindakan, melainkan sebagai hasil keputusan pelaku-pelaku personal suatu lembaga yang berkuasa. Karenanya, pemidanaan bukan merupakan tindakan balas dendam dari korban terhadap pelanggar hukum yang mengakibatkan penderitaan;
27
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana: Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hlm. 75-76.
Universitas Sumatera Utara
16
c. Penguasa yang berwenang, berhak untuk menjatuhkan pidana hanya kepada subjek yang telah terbukti secara sengaja melanggar hukum atau peraturan yang berlaku dalam masyarakat. unsur yang ketiga ini memang mengundang pertanyaan tentang “hukuman kolektif”, misalnya embargo ekonomi yang dirasakan juga oleh orang-orang yang tidak bersalah. Meskipun demikian, secara umum pemidanaan dapat dirumuskan terbukti sebagai denda (penalty) yang diberikan oleh instansi yang berwenang kepada pelanggar hukum atau peraturan. 4. Ruang Lingkup Berlakunya Hukum Pidana a. Menurut Waktu 1). Asas Legalitas 28 Jauh sebelum lahirnya asas legalitas, prinsip hukum Romawi memperlihatakan wajah tatanan hukum yang individualistis, sedangkan dalam bidang politik kebebasan warga negara semakin dibelenggu. 29 Pada zaman itu hukum pidana sebagian besar tidak tertulios sehingga kekeuasaan raja yang sangat absolut dapat menyelenggarakan pengadilan dengan sewenang-wenang. Proses pengadilan berjalan tidak fair karena hukum ditetapkan menurut perasaan hukum hakim yang mengadili. 30
28
Asas legalitas merupakan salah satu asas yang sangat penting dalam Hukum Acara Pidana. Berdasarkan asas legalitas, maka semua tindakan penegakan hukum harus berdasarkan ketentuan hukum dan undang-undang, sehingga jajaran penegak hukum tidak dibenarkan bertindak diluar ketentuan hukum dan melaklukan tindakan sewenang-wenang. (lihat M. Yahya Harahap Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, Edisi Kedua, Cet.11, Sinar Grafika,Jakarta, 2009, hlm,36).. 29 John Gillisen dan Frist Gorle, Sejarah Hukum: Suatu Pengantar, Refika Aditama, Bandung, 2005, hlm. 177. 30 Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta, 1982, hlm. 24.
Universitas Sumatera Utara
17
Pada saat yang bersamaan muncul para ahli pikir seperti Montesquieu dan Rousseau yang menuntut agar kekuasaan raja dibatasi dengan undangundang tertulis. Pasca Revolusi Prancis struktur hukum mulai dibangun dengan adanya hubungan antara yang memerintah dengan yang diperintah, antara kekuasaan negara dengan individu. 31 Asas legalitas pertama kali disebut dalam Pasal 8 Declaration des droit de L’homme et du citoyen (1789), sebuah undang-undang yang keluar pada tahun pecahnya Revolusi Prancis. Selanjutnya Napoleon Bonaparte memasukkan asas legalitas dalam Pasal 4 Code Penal dan berlanjut pada Pasal 1 WvS Nederland 1881 dan pasal 1 WvSNI 1918. Pasal 1 ayat (1) KUHP mengatur asas legalitas sebagai berikut: 32 “Tiada satu berperbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”. Anselm vonb Feurbach dalam bukunya Lehrbuch des peinlichen Recht (1801) merumuskan asas legalitas dengan “nullum delictum nulla poena siena praevia lege poenali” (tidak ada tindak pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang pidana yang mendahului)yang berkaitan dengan teori paksaan psikis yang dicetuskannya. Konsekuensi asas legalitas formil a). Suatu tindak pidana harus dirumuskan/disebutkan dala peraturan perundang-undangan, yaitu bahwa perbuatan seseorang yang tidak tercantum dalam un dang-undang sebagai tindak pidana juga tidak dapat
31
Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana,Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, 2016, hlm. 63. 32 Ahmad Bahiej, “Kekuatan Berlakunya Hukum Pidana Indonesia Menurut waktu dan Perkembangannya dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia”, http://kubuskecil.blogspot.com/202/12/kekuatan-berlakunya-hukum-pidana. hal. 1. Diakses tanggal 24 Mei 2016 pukul 16.30 WIB.
Universitas Sumatera Utara
18
dipidana dan dilarang untuk melakuykan analogi untuk membuat suatu perbuatan menjadi tindak pidana. b). Peraturan perundang-undangan itu harus ada sebelum terjadinya tindak pidana, yaitu bahwa aturan pidana tidak boleh berlaku surut (retro aktif). Yang menjadi dasar dari hal ini adalah: (1). Menjamin kebebasan individu terhadap kesewenang-wenangan penguasa. (2). Berhubungan dengan teori paksaan psikis dari Anselm von Feurbach, bahwa si calon pelaku tindak pidana akan terpengaruh jiwanya, motif untuk berbuat tindak pidana akan ditekan, apabila ia mengetahui bahwa perbuatannya itu akan mengakibatkan pemidanaan terhadapnya. Menurut asas legalitas formil, tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam telah ditentukan dengan aturan pidana.Hal ini menjadi masalah, jika menurut hukum adat/ masyarakat adat ada sebuah perbuatan yang menurut mereka kejahatan, namun menurut KUHP bukan kejahatan (dengan tidak dicantumkan didalam KUHP).Dalam sistem peradilan di Indonesia hakim sangat diharapkan untuk memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat. Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam
Universitas Sumatera Utara
19
masyarakatsebagimana ditentukan dalam Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. 33 Dengan demikian, Indonesia yang mengakui hukum yang hidup yang tidak tertulis, artinya tidak menganut asas legalitas formil secara mutlak, namun juga berdasar asas legalitas materil, yaitu menurut hukum yang hidup/tidak tertulis/hukum adat.Artinya suatu perbuatan menurut hukum yang hidup/adat dianggap sebagai tindak pidana, walaupun tidak dicantumkan dalam undang-undang pidana, tetapi dapat dianggap sewbagai tindak pidana.
b. Menurut Tempat Batas berlakunya hukum pidana menurut tempat diatur didalam Pasal 2-9 KUHP. Ajaran berlakunya hukum pidana menurut tempat merupakan hal yang penting, karena dengan ajaran ini dapat diketahui: (1). Sampai dimana berlakunya undang-undang hukum pidana dari suatu negara, apabila terjadi perbuatan pidana; (2). Bilamana negara berhak menuntut seseorang atas suatu perbuatan pidana yang dilakukan. 34 Berlakunya undang-undang hukum
pidana menurut tempat dapat
dibagi atas empat asas, yaitu: 35
33
Pasal 5 ayat (1) UU No.48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa:“Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.” 34 Satochid Kartanegara, Dictaat Hukum Pidana I jilid IV, Disusun oleh Mahasiswa PTIK Angkatan V, Tahun 1954-1955, hlm. 132. 35 Eddy O.S Hiariej, Op.Cit, hlm. 19.
Universitas Sumatera Utara
20
(a). Asas teritorial (territorialiteitsbeginsel); (b). Asas personal (personaliteitsbeginsel); (c). Asas perlindungan atau nasional yang pasif (bescermingsbeginsel atau passief nationliteitsbeginsel); dan (d). Asas universal (universaliteitsbeginsel) Pompe dalam Bambang Poernomo, menyatakan bahwa yang mendasari sifat hukum pidana adalah melindungi, maka asas perlindungan menjadi sumber dari semua asas-asas, oleh karena itu ke empat asas itu dapat dipersatukan menjadi satu asas perlindungan untuk kepentingan dan kewibawaan dari setiap subjek hukum yang harus dilindungi. 36 1). Asas teritorial (territorialiteitsbeginsel)37 Asas teritorial dianut oleh Indonesia dan disebutkan dalam pasal 2 dan 3 KUHP. Dalam pasal 2, yang menjadi patokan adalah wilayah dan tidak mempersoalkan siapa yang melakukan tindak pidana di wilayah itu. Artinya, siapapun baik orang Indonesia maupun orang asing, yang melakukan tindak pidana di dalam wilayah negara Indonesia maka diberlakukan hukum pidana Indonesia. Asas teritorial merupakan asas yang penting sebagai dasar utama dari kedaulatan hukum, sedangkan asas-asas yang lainnya dipandang sebagi pengecualian
yang
bersifat
perluasan
dari
asas
ini.
38
Satochid
36
Bambang Poernomo, Op.Cit, hlm.58. Menurut Moeljanto, asas ini diartikan perundang-undangan hukum pidana suatu negara berlaku bagi semua orang yang melakukan perbuatan pidana di negara tersebut, baik oleh warga negaranya sendiri maupun warga negara asing. (Lihat Moeljanto, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, hlm. 38). 38 Bambang Poernomo, Op. Cit, hlm. 59. 37
Universitas Sumatera Utara
21
Kertanegara, 39 menyebutkan bahwa dasar hukum (rechtground) dari asas teritorialitas adalah de souvereniteit van de staat (kedaulatan negara). Berdasarkan asas teritorialitas, maka perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang terjadi di dalam wilayah negara, yang dilakukan oleh setiap orang, baik sebagai warga negara maupun orang asing. Berlakunya undang-undang hukum pidana dititikberatkan pada “tempat” perbuatan diwilayah negara Indonesia dan tidak mensyaratkan bahwa si pembuat harus berada di dalam wilayah, tetapi cukup dengan bersalah telah melakukan perbuatan pidana yang “terjadi” di dalam wilayah negara Indonesia. 40 Pasal 3 KUHP kemudian memperluas berlakunya asas teritorial dengan memandang kendaraan air/perahu (vaartuig) sebagai ruang berlakunya hukum pidana. Pasal ini tidak memperluas wilayah Indonesia, arti harafiah vaartuig adalah segala sesuatau yang dapat berlayar, yang dapat bergerak diatas air. Namun berdasrkan hukum Internasional, kendaraan air yang dapat diberlakukan asas teritorial ini adalah kapal perang dan kapal dagang laut terbuka yang diberlakukan ius passagii innoxii (ketentuan yang mengatur suatu kapal yang lewat secara damai diwilayah laut negara lain). Pasal 3 kemudian diubah dengan keluarnya UU Nomor 4 Tahun 1976, ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah
39 40
Satochid Kertanegara, Op. Cit, hlm. 144. Bambang Poernomo, Op. Cit, hlm. 58.
Universitas Sumatera Utara
22
Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air atau pesawat udara Indonesia. 41 2). Asas personal (personaliteitsbeginsel)42 Asas personalitas bertumpu pada kewarganegaraan pelaku tindak pidana. Artinya, hukum pidana suatu negara mengikuti ke manapun warga negaranya. Dengan demikian, hukum pidana Indonesia akan selalu mengikuti warga negara Indonesia ke mana pun ia berada. Dalam KUHP, asas ini diatur dalam Pasal 5- Pasal 7. Pasal 5 ayat (1) ke-1 menentukan sejumlah pasal yang jika dilakukan oleh orang Indonesia di luar negeri maka diberlakukan hukum pidana Indonesia. Di sini tidak dipersoalkan apakah tindak pidana tersebut dianggap sebagai kejahatan menurut hukum pidana negara tempat orang Indonesia itu berada. Karena dianggap membahayakan kepentingan negar Indonesia, maka sejumlah pasal dalam Psal 5 ayat (1) tersebut tetap dapat diberlakukan hukum pidana Indonesia. Pasal 5 ayat (1) ke-2 menentukan bahwa hukum pidana Indonesia berlaku bagi warga negar Indonesia yang diluar Indonesia melakukan tindak Pidana yang dianggap kejahatan bagi hukum pidana Indonesia dan di luar negeri danb kemudian pulang ke Indonesia sebelum diadili di luar negeri tidak bebas dari pemidanaan. Namun demikian, negar Indonesia tidak akan
41
UU No. 4 Tahun 1976 Tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam KUHP Bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-undangan Pidana Kejahatan Penerbangan, dan Kejahatan Terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan. 42 Asas personalitas merupakan suatu asas yang mendasari lahirnya norma yang menentukan, bahwa berlakunya peraturan perundang-undangan pidana suatu negara didasarkan pada kewarganegaraan (nasionalitas) orang yang melakukan suatu tindak pidana. (Lihat Mohammad Ekaputra, Op. Cit, hlm. 62.
Universitas Sumatera Utara
23
menyerahkan warganya diadili di luar Indonesia. Angka ke-2 ini juga membatasi bahwa yang dapat dipidana adalah yang masuk kategori kejahatan. 3). Asas perlindungan atau nasional yang pasif (bescermingsbeginsel atau passief nationliteitsbeginsel) Asas perlindungan atau nasionaliteit pasif , merupakan suatu asas yang mendasari lahirnya norma yang menentukan, bahwa berlakunya hukum pidana didasrkan kepada kepentingan hukum (rechtsbelang/rechtsgoed) yang dilindungi oleh suatu negara, yang dilanggar. 43 Asas perlindungan menentukan bahwa hukum pidana suatu negara berlaku bagi perbuatan-perbuatan yng dilakukan di luar negeri, jika perbuatan tersebut melanggar kepentingan negara yang bersangkutan. Asas tersebut juga diberlakukan di Indonesia, sehingga hukum pidana Indonesia berlaku bagi tindak pidana yang menyerang kepentingan hukum negar Indonesia, baik yang dilakukan oleh warga negara Indonesia maupun yang bukan warga negara Indonesia.
44
Asas perlindungan ini diatur dalam pasal 4,7 dan 8 KUHP, diperluas juga dengan UU No. 4 Tahun 1976 Tentang Kejahatan Penerbangan dan UU No. 7 Drt Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi. Dalam KUHP, beberapa tindak pidana yang dikelompokkan ke dalam asas perlindungan adalah: 45 a). Kejahatan terhadap keamanan negara dan martabat Presiden (pasal 104, 106, 107, 108, 110, 111 bis ke-1, 127 dan 131). 43
Mohammad Ekaputra, Op. Cit, hlm. 66. Sudarto, Op. Cit, hlm. 34. 45 Satochid Kertanegara, Op. Cit, hlm. 166. 44
Universitas Sumatera Utara
24
b). Kejahatan tentang merk atau materai yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia. c). Pemalsuan surat hutang atau sertifikat hutang atas beban Indonesia. d). Kejahatan jabatan (Bab XXVIII Buku II KUHP). e). Kejahatan Pelayaran (Bab XXIX Buku II KUHP). Tindak pidana tersebut dianggap menyerang kepentingan negara, oleh karena itu asas ini tidak berlaku jika terjadi pelanggaran terhadap kepentingan individu/pribadi warga negara di luar negeri. 1.
Asas universal (universaliteitsbeginsel) Asas universal melihat kepada suatu tata hukum internasional, diamana
terlibat kepentingan bersama dari semua negara di dunia. Jika ada suatu tindak pidana yang merugikan kepentingan bersama dari semua negara, maka adalah layak bahwa tindak pidana itu dapat dituntut dan dihukum oleh pengadilan setiap negara, dengan tidak dipersoalkan siapa yang melakukannya dan tempat melakukannya. 46 Pengertian asas universal adalah asas yang menyatakan, bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan pidana dapat dituntut undang-undang hukum pidana Indonesia di luar wilayah negara untuk kepentingan hukum bagi seluruh dunia. 47 Beberapa kejahatan yang dapat diberlakukan huklum pidana Indonesia berdasarkan asas universal adalah:
46
Wirjono Prodjodikoro, Op. Cit, hlm 43. Mohammad Ekaputra, Op. Cit, hlm. 70.
47
Universitas Sumatera Utara
25
a). Kejahatan mata uang yang dikeluarkan oleh negara tertentu (pasal 4 sub ke2 KUHP) yang didasarkan pada Konvensi Jeneva 1929. b). Kejahatan perampokan/pembajakan di laut/udara (pasal 4 sub 4 KUHP yang dibaharui dengan UU No. 4 Tahun 1976 Tentang Kejahatan Penerbangan) yang didasarkan pada Deklarasi Paris 1858, Konvensi Tokyo 1963, Konvensi The Hague 1970, dan Konvensi Montreal 1971. Pasal 9 menyebutkan bahwa berlakunya pasal 2-5, 7 dan 8 dibatasi oleh pengecualian-pengecualian yang diakui dalam hukum Internasional. KUHP tidak merinci hukum Internasional mana yang membatasi pasal-pasal tersebut. dengan demikian, aturan ini cukup luasa karena dimungkinkan adanya perubahan-perubahan ketentuan dasar pada hukum Internasional. pengecualian yang didasarkan pada hukum internasional ini adalah hak imunitas atau exterritorialitas.
F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian skripsi ini adalah penelitian hukum yuridis normatif yaitu dilakukan dengan melakukan analisis terhadap permasalahan melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. 2. Data dan Sumber Data Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data skunder, yang diperoleh dari:
Universitas Sumatera Utara
26
a. Bahan hukum primer Yaitu dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang. 48 Bahan hukum primer dalam tulisan ini diantarnya UndangUndang Nomor 31 Tahun 2004 jo. UU Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas UU No.31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, UndangUndang Nomor 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia, UndangUndang Nomor 5 Tahun 1983 Tentang Zona Ekonomi Eksklusif, dan Peraturan lain yang terkait. b. Bahan Hukum Skunder Yaitu semua dokumen yang merupakan informasi, atau kajian yang berkaitan dengan tindak pidana perikanan, seperti: seminar-seminar, jurnal-jurnal hukum, majalah-majalah, surat kabar/koran, karya tulis ilmiah, dan beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan persoalan diatas. c.
Bahan Hukum Tertier Yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum skunder, seperti: kamus, ensiklopedia dan lain-lain.
3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan
data dilakukan dengan
cara penelitian
kepustakaan (Library Research), yaitu penenlitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data 48
Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1988, hlm 19.
Universitas Sumatera Utara
27
sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antar lain berasal dari buku-buku baik koleksi pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari media cetak maupun media elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk peraturan perundang-undangan. 4. Analisa Data Data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudianm dianalisa dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan sedangkan metode induktif dilakukan dengan menterjemahkan berbagai sumberyang berhubungan dengan topik dengan skripsi ini, sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan. Data yang diperoleh dari penelitian studi dokumen ini disusun secara sistematik untuk memperoleh deskripsi tentang penyelesaian hukum dalam tindak pidana perikanan yang dilakukan oleh warga negara asing. Analisis data dilakukan secara kualitatif, yaitu dengan cara penguraian, menghubungkan dengan peraturan-peraturan yang berlaku, menghubungkan dengan pendapat pakar hukum. Untuk mengambil kesimpulan dilakukan dengan pendekatan deduktif. G. Sistematika Penulisan Untuk memberikan gambaran yang merupakan isi dari pembahasan skripsi ini dan utuk mempermudah penguraiannya, maka penulis membagi skripsi ini kedalam 4 (empat) Bab. BAB I
: PENDAHULUAN
Universitas Sumatera Utara
28
Berisi tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, keasliaan penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan. BAB II
:TINDAK
PIDANA
PERATURAN
PERIKANAN
DALAM
PERUNDANG-UNDANGAN
DI
INDONESIA. Berisi tentang penegakan hukum diperairan Indonesia, dan bentuk-bentuk tindak pidana dibidang perikanan serta sanksi pidana yang dijatuhkan terhadap tindak pidana perikanan. BAB III
:PENERAPAN
HUKUM
TERHADAP
PELAKU
PIDANA TINDAK
MATERIL PIDANA
PERIKANAN MENURUT PUTUSAN NO.12/PID.P 2011/PN MEDAN Berisi tentang penerapan hukum pidana materil terhadap pelaku tindak pidana perikanan, dimana penulis akan mendeskripsikan kasus yang menyangkut tentang tindak pidana perikanan dan penulis akan memberikan analisa terhadap kasustersebut. BAB IV
: KESIMPULAN DAN SARAN Berisi tentang kesimpulan dari pembahasan skripsi ini dan saran-saran yang berguna bagi siapa saja yang membaca skripsi ini.
Universitas Sumatera Utara