BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Masalah
Infeksi Toxoplasma gondii (T. gondii) dan Cytomegalovirus (CMV) pada manusia merupakan infeksi yang memberikan efek membahayakan umumnya pada ibu dan anak. Penelitian WHO pada tahun 2000-2001 menyatakan setiap negara memiliki potensi terinfeksi T. gondii 10-90%. Infeksi protozoa jenis sporozoa ini menjadi membahayakan pada kasus Congenital Toxoplasmosis (CT) pada bayi baru lahir. Prevalensi CT di benua Amerika mencapai 80% dengan gejala klinis chorioretinitis pada awal kehidupan bayi. Pada tahun yang sama ditemukan 190.000 kasus infeksi T. gondii di seluruh dunia (Torgerson and Mastroiacovo, 2013). Di Indonesia, prevalensi seropositif infeksi T. gondii diantara orang sehat bervariasi. Yogyakarta menduduki angka yang tertinggi kedua, setelah Surabaya (63 %) dengan 51% sedangkan provinsi yang lain di pulau Jawa berkisar 20-63% (Sofoewan, 1997). Infeksi CMV di dunia pada tahun 2009 mencapai ≥ 70% untuk negara dengan manajemen infeksi yang buruk dan 50-70% untuk negara dengan manajemen yang baik. Infeksi primer pada ibu hamil mencapai 30-35% dengan kemungkinan bayi cacat lahir bawaan sebesar 35%. Kelainan kongenital yang umum pada bayi yang terinfeksi CMV adalah kehilangan pendengaran, prevalensinya mencapai 50% pada 1
negara berkembang (Manickal et.al., 2013). Pada penelitian lain, seroprevalensi pada ibu mencapai 84-100% di negara berkembang (tahun 1978-2007), sedangkan pada bayi berkisar 0,6-6,1% (Lanzieri et.al., 2014). Di Indonesia prevalensi infeksi CMV pada tahun 2004 mencapai 87,8% (Lisyani, 2007). Tingginya prevalensi kedua jenis infeksi ini dapat memberikan efek stres psikis kepada penderitanya, seperti depresi. Pada penelitian Anna Philips dan tim pada tahun 2007, kelompok seropositif IgG anti-CMV memiliki risiko mengalami gejala depresi. Semakin tinggi titer antibodi yang ditemukan dalam serum darah pasien CMV, semakin tinggi pula produksi TNF (Tumor Necrosis Factor)-ά dan IL (Interleukin)-6 (Philips et.al., 2000). Produksi kedua jenis sitokin ini memiliki hubungan dengan manajemen stres psikis. Sekresi TNF- ά dan IL-6 dapat meningkatkan kerja respon imun dalam mengendalikan stres psikis. Hal tersebut membuktikan bahwa pasien dengan titer IgG anti-CMV yang tinggi dapat mengalami gejala stres berupa depresi (Goebel et.al., 2000). Salah satu penyebab munculnya gangguan psikis pada manusia adalah faktor infeksi patogen tertentu, seperti protozoa T. gondii yang bersifat neurotropik. Efek neurologis dari T. gondii
umumnya dirasakan oleh penderita imunokompromi
dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah. Parasit ini sulit dieliminasi oleh sel-sel efektor yang berperan dalam sistem kekebalan tubuh manusia. Beberapa penelitian serologis menyatakan bahwa T. gondii memiliki hubungan dengan gangguan psikis jenis skizofrenia, depresi, penyakit bipolar, dan perilaku bunuh diri. Pada penelitian 2
Adam A. Markovitz (2008-2009) ditemukan bahwa individu seropositif T. gondii memiliki risiko depresi lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan individu seronegatif. Selain itu pada penelitian Miman dan tim ditemukan bahwa risiko pasien mengalami obsessive compulsive disorder (OCD) lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan individu seronegatif sebagai kontrol. Hal menarik yang telah ditemukan adalah bahwa T. gondii dapat mengaktifkan secara langsung sistem dopaminergik dari inangnya, sehingga parasit ini dapat membatasi enzim yang dibutuhkan dalam biosintesis dopamin. Temuan baru lainnya menunjukkan bahwa paparan T. gondii (khususnya pada infeksi dengan jumlah titer IgG tinggi) dapat meningkatkan risiko depresi (Markovitz et.al., 2015). Pada penelitian ini, infeksi T. gondii dan CMV yang ditandai dengan hasil pemeriksaan IgG seropositif dihubungkan dengan kejadian gejala somatik yang pengukurannya menggunakan instrumen Somatic Symptom Inventory (SSI). Dalam sebuah studi klinis, Hamilton melaporkan bahwa gejala somatik dapat muncul pada sebagian besar pasien penyakit kronis. Gejala yang muncul umumnya berupa kecemasan dan kelelahan yang menimbulkan gangguan somatik. Studi ini menyatakan 80% pasien penyakit kronis menderita depresi berat. Dua dari tiga gejala yang paling umum dilaporkan untuk pasien dengan gejala somatik adalah gejala letih dan lesu (73%) dan gangguan tidur (63%). Gejala somatik dapat muncul berupa perubahan nafsu makan atau berat badan, perubahan aktivitas seksual, gangguan tidur, disfungsional hipotalamus yang semuanya dipengaruhi oleh sekresi serotonin 3
dan norepinefrin. Ketidakseimbangan sekresi neurotransmiter ini, dapat menghambat respon sensorik pada usus, sistem muskuloskeletal, dan daerah tubuh lainnya, sehingga menimbulkan rasa nyeri yang sulit dikendalikan (Kapfhammer, 2006). Gangguan
somatik
umumnya
dikaitkan
dengan
cabang
ilmu
psikoneuroimunologi. Pada tahun 1980 ditemukan sebuah mekanisme distribusi reseptor neuropeptida yang tersebar disalah satu bagian otak. Bagian ini berhubungan dengan pengolahan emosi yang berdampak pada sistem organ. Adanya keberadaan reseptor ini berfungsi untuk memaksimalkan sistem penyembuhan secara fungsional. Relevansi medis dari temuan ini diperkuat oleh beberapa penelitian terkait psikoneuroimunologi yang menyatakan bahwa neuropeptida membantu pengaturan distribusi sel-sel imun. Penelitian tersebut menyatakan bahwa komunikasi dua arah antara komponen sistem saraf dan kekebalan tubuh ditunjukan dari kemampuan selsel imun menghasilkan neuropeptida dan sel-sel saraf menghasilkan sitokin yang turut berperan dalam sistem kekebalan tubuh (Pert et.al., 1998). Hal yang terjadi dalam kondisi stres psikis adalah penurunan sekresi neuropeptida. Kondisi ini jelas dapat menganggu sistem kekebalan tubuh, utamanya pada proses inflamasi (Kapfhammer, 2006). Oleh karena itu, diharapkan dalam penelitian ini peneliti dapat menemukan hubungan seropositif IgG anti-T. gondii dan anti-CMV dengan gejala somatik, yang selanjutnya jika tidak ditangani dengan baik dapat berkembang menjadi gangguan psikosomatik. Gangguan psikosomatik dapat menganggu kerja sistem kekebalan 4
tubuh dan ini dapat memperparah kondisi pasien yang terinfeksi T. gondii dan CMV. Diketahuinya hubungan yang signifikan antara variabel diharapkan dapat menjadi salah satu informasi yang bermanfaat untuk pasien agar dapat memperhatikan aspek kejiwaan dalam proses pengobatan infeksi T. gondii dan CMV.
I.2. Perumusan Masalah
1. Apakah ada hubungan positif seropositif IgG anti-T. gondii dan anti-CMV dengan gejala somatik menggunakan Somatic Symptom Inventory (SSI)? 2. Berapa jumlah persentase penderita T. gondii dan CMV dengan seropositif IgG yang mengalami gejala somatik (Skor SSI ˃ 48)? 3. Berapa besar rasio prevalensi munculnya gejala somatik pada penderita infeksi T. gondii dan CMV di pulau Jawa?
I.3. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui hubungan seropositif IgG anti-T. gondii dan anti-CMV dengan gejala somatik menggunakan Somatic Symptom Inventory (SSI). 2. Mengetahui jumlah persentase penderita T. gondii dan CMV dengan seropositif IgG yang mengalami gejala somatik (Skor SSI ˃ 48).
5
3. Mengetahui besar rasio prevalensi munculnya gejala somatik pada penderita infeksi T. gondii dan CMV di pulau Jawa.
I.4. Keaslian Penelitian
Penelitian mengenai hubungan seropositif IgG anti-T. gondii dan anti-CMV dengan gejala somatik menggunakan Somatic Symptom Inventory (SSI) merupakan penelitian pertama yang dilakukan. Adapun penelitian yang berkaitan dengan seropositif IgG anti-T. gondii dan anti-CMV dan gejala somatik menggunakan SSI diteliti secara terpisah. Berikut gambaran penelitian terkait topik ini : 1.
Penelitian Rector dan tim pada tahun 2014 dengan judul “Consistent associations between measures of psychological stres and CMV antibody levels in a large occupational sample” yang menghubungkan titer IgG seropositif CMV dengan faktor-faktor stres psikologis. Penelitian ini menggunakan lima jenis instrumen yang mewakili faktor-faktor yang diteliti (Rector et.al., 2014).
2.
Penelitian Tamayo dan tim dengan judul „The level of recognition of physical symptoms in patients with a major depression episode in the outpatient psychiatric practice in Puerto Rico: An observational study’ ini menggunakan instrumen Somatic System Inventory (SSI). Salah satu
6
instrumen yang dapat menggambarkan gejala somatik pada subjek penelitian (Tamayo et.al., 2005). 3.
Penelitian terbaru Markovitz dan tim pada tahun 2015 dengan judul “Toxoplasma gondii and anxiety disorders in a community-based sample” menggunakan sampel berbasis komunitas. Metode pengumpulan data melalui kerjasama dengan lembaga masyarakat (Markovitz et.al., 2015).
4.
Penelitian Anna Phillips dan tim pada tahun 2008 dengan judul “Cytomegalovirus is associated with depression and anxiety in older adults” yang menggunakan tiga jenis instrumen yang menghubungkan depresi dengan sistem kekebalan tubuh (Phillips et.al., 2008).
5.
Penelitian Essau dan tim pada tahun 2013 dengan judul “Somatic Symptoms among Children and Adolescents in Poland: A Confirmatory Factor Analytic Study of the Children Somatization Inventory” yang dilakukan untuk melihat gejala somatik pada anak-anak dan remaja di Polandia (Essau et.al, 2013).
6.
Penelitian Tomenson pada tahun 2013 dengan judul “Total somatic symptom score as a predictor of health outcome in somatic symptom disorders” yang membahas tentang gejala somatik sebagai penanda kejadian gangguan somatik (Tomenson, et.al., 2013). Keaslian pada penelitian ini ditunjukkan dari persamaan dan perbedaan
dengan penelitian sejenis yang telah dipublikasikan di dunia. Persamaan penelitian 7
terdahulu dengan yang akan dilakukan ditinjau dari segi subjek yang diteliti dapat dilihat pada poin 1, 3, dan 4. Subjek penelitian yang digunakan adalah penderita seropositif IgG anti-T.gondii dan anti-CMV. Persamaan lainnya adalah dari metode yang digunakan, yaitu cross sectional. Dalam penelitian ini, sebagian besar metode yang digunakan merujuk pada penelitian “Toxoplasma gondii and anxiety disorders in a community-based sample” (poin 3), terutama dalam hal teknis pengambilan sampel penelitian. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari penelitian „The level of recognition of physical symptoms in patients with a major depression episode in the outpatient psychiatric practice in Puerto Rico: An observational study’ (poin 2) dengan 26 item pokok penilaian. Instrumen SSI ditemukan pula pada penelitian lain (poin 5) yang menggunakan 24 item pokok penilaian. Pada penelitian tersebut menggunakan sampel anak-anak dan remaja, hal tersebut berbeda dengan penelitian yang akan dilakukan, karena menggunakan sampel dewasa (25-66 tahun) yang ditentukan berdasarkan penelitian “Total somatic symptom score as a predictor of health outcome in somatic symptom disorders”. Berdasarkan keenam penelitian yang menjadi rujukan utama dalam penelitian ini, peneliti berusaha mengkombinasikan dari segi jenis subjek, usia subjek, dan metode yang digunakan. Keaslian penelitian ini dapat dilihat dari jenis subjek yang berbeda dengan penelitian sebelumnya, karena menggabungkan subjek yang terinfeksi T. gondii dan CMV. Penelitian yang menggabungkan kedua jenis infeksi ini masih jarang diteliti di dunia, khususnya Indonesia. Selain itu, penggunaan 8
instrumen SSI untuk melihat gejala somatik masih jarang digunakan dalam penelitian terkait infeksi T. gondii dan CMV. Hal ini menjadi keunggulan dalam penelitian yang akan dilakukan, karena instrumen ini baru pertamakali digunakan secara resmi dalam penelitian di Indonesia.
I.5. Manfaat Penelitian
1.
Keilmuan : Memberikan informasi terkait mekanisme hubungan seropositif IgG anti-T. gondii dan CMV dengan gejala somatik menggunakan Somatic Symptom Inventory (SSI).
2.
Praktis : Memberikan informasi kepada tenaga kesehatan, terkait kejadian gejala somatik yang mungkin ditemukan pada individu seropositive IgG anti-T. gondii dan anti-CMV. Sehingga dapat menyertakan terapi psikis dalam manajemen penanganan infeksi, guna mengoptimalkan pengobatan yang dilakukan pasien.
3.
Masyarakat : Memberikan informasi pada masyarakat terkait pentingnya menjaga keseimbangan kejiwaan saat menghadapi penyakit infeksi guna mencegah kejadian gejala somatik pada penderita T. gondii dan CMV.
9