BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG MASALAH
Sejarah gerakan mahasiswa Indonesia tidak berbeda dengan sejarah gerakan mahasiswa lainnya diberbagai belahan dunia manapun. Gerakan mahasiswa yang didominasi oleh pemuda yang memang memiliki watak muda menginginkan adanya suatu perubahan yang cukup signifikan dalam suatu pemerintahan rezim yang berkuasa. Dan hampir seluruh gerakan mahasiswa yang ada di belahan dunia manapun tidaklah dilakukan secara matang tapi lebih dikarenakan adanya suatu momentum. Jadi tidak salah jika banyak orang yang akhirnya menyimpulkan bahwa gerakan mahasiswa hanya bersandar pada momentum semata, bukanlah atas kesadaran dan telah dipersiapkan secara matang.
Seperti halnya gerakan mahasiswa yang terjadi di Indonesia. Sejak zaman pra kemerdekaan hingga sekarang, gerakan mahasiswa di Indonesia bersandar pada momentum. Zaman pra kemerdekaan, gerakan mahasiswa ditandai dengan munculnya organisasi-organisasi modern pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Di mana pada masa pemerintahan kolonial, tenaga-tenaga rakyat Indonesia dihisap dan dipaksa bekerja tanpa ampun dengan sistem penjajahan yang memaksa bangsa Indonesia menjadi budak di negerinya sendiri. Dan untuk memaksimalkan penindasan yang mengeruk kekayaan alam Indonesia sampai
Universitas Sumatera Utara
kedasar-dasarnya, mereka (pemerintahan kolonial) membangun sekolah-sekolah yang bisa melahirkan tenaga-tenaga ahli baru yang kelak akan dipergunakan kembali oleh mereka. Misalnya, seperti sekolah militer yang dibangun di Semarang pada tahun 1819. Belanda membutuhkan militer untuk alat menindas yang akan menjadi sekrup-sekrup kapitalisme. Baru kemudian setelah itu, Belanda membuka sekolah-sekolah umum seperti Sekolah Tinggi Leiden (1826), Institut Bahasa Jawa Surakarta (1832), Sekolah Pegawai Hindia-Belanda di Delft (1842), Sekolah Guru Bumiputra di Surakarta (1852).1 Sekolah-sekolah ini jelas-jelas dibuka untuk tangan-tangan pemerintah kolonial Belanda di Hindia Belanda, dan sekolah-sekolah ini tentu saja hanya diperuntukkan bagi anak-anak Belanda dan pegawai Tinggi Pribumi. Selain membuka sekolah-sekolah tinggi, di Hindia mulai dibangun sekolah dasar—tetapi sekali lagi khusus untuk golongan Belanda— dengan membuka sekolah dasar yang sekuler di Weltervreden pada 24 Februari 1817. 2 Dan baru 1871—bersamaan dengan liberalisme di Hindia Belanda— dikeluarkan UU Pendidikan pertama, pendidikan dan pengajaran semakin diarahkan bagi kepentingan Bumiputra.3 Dan hingga tahun 1850 telah terdapat lebih kurang 562 sekolah dasar yang mana setengahnya dikuasai oleh Belanda dan swasta.
Seiring dengan pekembangan liberalisme di Hindia Belanda—yang ditandai dengan disahkan UU Pokok Agraria yang memberikan keleluasaan kepada modal swasta Belanda masuk ke Hindia Belanda—mau tidak mau pendidikan menjadi salah satu faktor penting dalam pembangunan sistem 1
Parakitri T Simbolon, Menjadi Indonesia, Penerbit Kompas, Jakarta, Hal.185. Parakitri, Ibid.hal.188 3 Parakitri, Ibid.hal.186. 2
Universitas Sumatera Utara
kapitalisme. Dengan kedok Politik Etis, dibukalah sekolah-sekolah dasar sampai sekolah tinggi bagi pribumi yang tujuan pokoknya adalah sebagai tenaga-tenaga bagi industrailisasi modal-modal swasta Belanda di tanah jajahan. Ini seiring dengan prinsip liberalisme dimana koloni bukan hanya sebagai penghasil produkproduk yang menguntungkan seperti kopi, teh, gula, tembakau, tetapi juga sumber suplai bahan mentah seperi baja, minyak, batu bara, dll bagi industrialisasi di Belanda. 4 Sumber-sumber bahan mentah tersebut sebagian besar ada diluar Jawa sehingga banyak membutuhkan tenaga-tenaga kerja baru, maka bergandenganlah program politik etis—edukasi, irigrasi dan emigrasi—untuk mengekploitasi sumber bahan mentah tersebut.
Dengan
dibukanya
sekolah-sekolah
tersebut,
semakin
membuka
kesempatan bagi masyarakat Indonesia pada masa itu untuk mengetahui tentang dunia luar, perkembangan teknologi dan bahkan sampai kepada teori-teori tentang pentingnya nasionalisme bagi rakyat Pribumi. Perluasan pengajaran tingkat atas mulai terjadi secara berangsur-angsur. Dan pada tahun 1902 didirikanlah STOVIA, dimana Tirto Adi Suryo yang merupakan pelopor pendiri organisasi modern pertama Indonesia adalah jebolan atau tamatan dari sekolah ini. Disusul kemudian NIAS pada tahun 1913 yang setahun kemudian menjadi sekolah kedokteran hewan. Dan pada tahun 1927 sekolah kedokteran diubah menjadi GHS (Geneeskundige Hoogeschool). Sedangkan untuk perguruan tinggi sendiri belumlah muncul di Nusantara. Hanya beberapa pribumi yang mampu dan kaya
4
W.F Wertheim, Masyarakat Indonesia Dalam Transisi Studi Perubahan Sosial, Yogyakarta: Tiara Wacana hlm.71.
Universitas Sumatera Utara
yang mampu mengirimkan anaknya untuk bersekolah di Eropa.5 Namun setelah kepulangan mereka dari Eropa, mereka malah menjadi bibit-bibit baru yang siap untuk mendobrak penindasan yang selama ini telah mengakar dan menghisap setiap tetes keringat bangsa Indonesia. Politik Etis akhirnya menjadi senjata balik atau menjadi bumerang balik bagi kaum kolonial pada masa itu. Bukannya menjadi taktik yang menguntungkan. Karena pada awalnya Politik Etis hanya untuk mendapatkan tenaga terdidik yang murah dari masyarakat pribumi.
Tabel 1. Sekolah Dasar di Hindia Belanda Sekitar Tahun 1900 Sekolah
Sekolah
Sekolah
Daerah
Total Negeri
Jawa dan Madura
Populasi
Swasta
Misi
(dalam ribuan)
269
231
62
562
28386
Sumatera (kecuali Daerah Batak)
77
17
4
98
2862
Daerah Batak
19
6
175
200
321
Kalimantan
12
3
21
36
1076
Sulawesi (kecuali Manado)
14
14
1442
-
-
(1895) Manado
115
14
237
366
423
Ternate
2
2
9
13
133
Ambon
74
75
17
166
271
Timur
15
10
16
41
306 (1905)
Bali dan Lombok Total
4
1
601
359
541
5
1039
1501
36259
Sumber: Bernhard Dahm, Bergerak Bersama Rakyat, 200. Hal 51. 5
Suharsih, Ing Mahendra K, Bergerak Bersama Rakyat, Sejarah Gerakan Mahasiswa dan Perubahan Sosial di Indonesia, Yogyakarta: Resist Book, 2007, hlm.50.
Universitas Sumatera Utara
Berjamurnya sekolah-sekolah yang ada di Nusantara pada saat itu juga turut mendorong munculnya organisasi-organisasi modern di Indonesia. Organisasi yang pertama kali muncul adalah Sarekat Priyayi pada tahun 1906. Pendirinya pada saat itu adalah Tirto Adi Suryo yang merupakan jebolan dari STOVIA. Dalam perkembangannya Sarekat Priyayi berkembang pesat menjadi sebuah organisasi modern pertama Nusantara yang memiliki semangat kebangsaan yang besar dalam melawan kolonialisme pada saat itu. Akan tetapi keberadaan organisasi ini pun tidak terlalu lama. Sarekat Priyayi akhirnya hancur dan bubar. Salah satu faktor yang menyebabkannya adalah meletakkan kepemimpinan kepada kaum priyayi sebagai unsur yang dianggap mampu untuk melakukan perubahan. Golongan priyayi ini merupakan golongan yang beku, yang hanya mengharapkan kedudukan dari gubermen, impian-impian mereka hanya sebatas pada kenaikan gaji dan kenaikan pangkat 6, yang dunia pikirannya berlindung di bawah kewibawaan gubermen 7, tanpa kewibawan, mereka tidak ada artinya 8. Sedangkan sifatnya yang paling progresif adalah gonta-ganti istri, sebelum kawin ‘sesungguhnya’, sebagai latihan, para priyayi-priyayi ini melakukan ‘gladi bersih’ dengan menikahi perempuan dari keturunan orang kebanyakan. 9 Kegagalan Sarikat Priyayi juga dikarenakan ketidakmampuan menggerakkan kaum priyayi yang sudah mapan dan tidak mau bergerak tanpa restu pemerintah.
6
Pramodya Ananta Toer, Rumah Kaca, Jakarta: Hasta Mitra, 1998. Hal.264 Pamodya Ananta Toer, Ibid, hal.300 8 Pramodya Ananta Toer, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Jakarta: Hasta Mitra,1998. Hal. 7
169 9
Pramodya Ananta Toer, Gadis Pantai, Jakarta: Hasta Mitra,1998. Hal.62.
Universitas Sumatera Utara
Setelah kegagalan itu, mulai tumbuh satu benih baru dalam perjuangan rakyat Nusantara. Tahun 1908 berdirilah Boedi Oetomo dengan tokoh-tokohnya antara lain E. Douwes Dekker dan Wahidin Soediro Hoesodo. Sama seperti Sarikat Priyayi, Boedi Oetomo juga dipelopori oleh pemuda dan mahasiswa yang berada di STOVIA. Dalam sejarah resmi Indonesia, Boedi Oetomo dikatakan sebagai organisasi modern pertama Nusantara. Sejalan dengan perkembangannya, Boedi Oetomo bergerak hanya dalam kawasan terbatas di Jawa dan Madura. Namun akhirnya gerakan ini meluas ke seluruh Hindia. Cita-cita Boedi Oetomo saat itu masih hanya diterapkan tentang rasa nasionalisme terhadap Hindia melawan penjajahan kolonialisme Belanda.
Boedi Oetomo memandang bahwa intelektualitas dan budaya merupakan bagian dari jati diri sebuah bangsa dan dari sanalah maka kebijakan dan wawasan terhadap bangsa ditumbuhkan. Keberadaan Boedi Oetomo yang lahir pada masa penjajahan kolonial yang berkarakter menindas, menghisap dan tidak memberikan hak kepada kaum pribumi untuk berpartisipasi di dalam masalah-masalah politik yang menyangkut nasib bangsanya sendiri membuat Boedi Oetomo tidak hanya disenangi oleh kaum muda tapi juga mendapat simpati luas dari masyarakat Hindia. Dan ketika itu, posisi pelajar menjadi tergeser oleh generasi yang lebih tua. Dan saat kongres Boedi Oetomo dibuka di Yogyakarta, pimpinan organisasi beralih kepada golongan tua dan terutama kaum priyayi rendahan. 10 Banyak dari mereka meluaskan pendidikan Barat dan terutama kepada pengetahuan terhadap Bahasa Belanda yang merupakan sebagai suatu syarat untuk bisa memasuki jenjang kepegawaian pemerintahan kolonial. Hal ini menyebabkan organisasi 10
Suharsih, Ing Mahendra K, op.cit., Hal 55.
Universitas Sumatera Utara
menjadi semakin lemah dan mengulang kembali sejarah terdahulu yang salah yang meletakkan kepemimpian ditangan kaum priyayi. Bahkan sekolah-sekolah yang didirikan oleh Boedi Oetomo pun ikut memasukkan kurikulum sekolah dasar Belanda dengan penyesuaian pada kondisi asal murid dan mendapat subsidi dari pemerintahan kolonial.
Setelah dua organisasi di atas, mulai menjamurlah organisasi-organisasi modern di Indonesia. Sarekat Priyayi setelah bubar berubah menjadi Serikat Dagang Islamiah (SDI) dengan basis utamanya kaum pedagang—yang kemudian berkembang menjadi SI dan dalam perkembangan selanjutnya sebagai embrio dari PKI. Organisasi ini bukan hanya sebagai wadah bagi masyarakat Pribumi untuk melakukan perlawanan terhadap pedagang-pedagang Cina yang pada masa itu menguasai hampir setiap pintu masuk perdagangan Nusantara. Organisasi ini juga merupakan wadah bagi masyarakat pribumi untuk melakukan perlawanan terhadap segala bentuk penghinaan yang dilakukan terhadap masyarakat. SI tidak lagi bersifat elitis seperti Sarikat Priyayi. Hampir setiap lapisan masyarakat bisa menjadi anggotanya. Dan tujuan SI didirikan pada waktu itu adalah: 11 •
Mengembangkan jiwa berdagang
•
Memberi bantuan kepada anggota-anggotanya yang menderita kesukaran
•
Memajukan pengajaran dan semua yang dapat mempercepat naiknya derajat bumiputera
•
11
Menentang pendapat-pendapat yang keliru tentang Islam
Suharsih, Ing Mahendra K, op.cit., Hal: 56
Universitas Sumatera Utara
SI berkembang dengan sangat pesat dan mengaku memiliki 2.000.000 orang anggota sehingga menjadikannya sebagai organisasi massa yang terbesar pada saat itu. Namun konflik internal yang ada ditubuh SI sendiri yang menyebabkan SI terpecah menjadi dua. Adalah Semaoen, seorang buruh muda yang bekerja di perusahaan kereta api pada saat itu yang mampu membawa SI menjadi lebih revolusioner. SI akhirnya terpecah menjadi SI Merah dan SI Putih. Dan diputuskan dalam kongres pada bulan Oktober 1921 bahwa yang merupakan anggota SI tidak boleh merangkap dua keanggotaan di organisasi lainnya. Keputusan ini akhirnya membawa anggota SI yang juga merupakan anggota PKI dikeluarkan oleh SI. Selanjutnya, setelah perpecahan tersebut, SI Merah yang merupakan SI yang massif menentang segala bentuk penindasan dan penghisapan yang dilakukan oleh pemerintahan kolonial, berubah nama menjadi Syarikat Rakyat (SR).
Sementara itu, di Bandung pada 6 September 1912 dua mahasiswa lulusan STOVIA, Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat serta seorang Indo (keturunan Indonesia), E.F.E. Douwes Dekker, mendirikan Partai Hindia atau Indishe Partij (IP). 12 Maka semakin maraklah organisasi-organisasi kebangsaan yang dipelopori oleh mahasiswa. Tidak ketinggal, mahasiswamahasiswa Indonesia di negeri Belanda antara bulan Januari-Pebruari 1925 didirikan organisasi yaitu Perhimpunan Indonesia (PI)—organisasi ini merupakan kelanjutan dari Indische Vereeniging 13. PI sangat dipengaruhi oleh ideologi marxisme yang sedang naik daun di Eropa dan juga banyak melakukan diskusi12
Parakitri T Simbolon, opcit. Hal 246-247. John Ingleson, Jalan Ke Pengasingan, Pergerakan Nasionalis Indonesia Tahun 19271938, Jakarta: LP3ES. Hal. 2. 13
Universitas Sumatera Utara
diskusi dengan tokoh-tokoh komunis Indonesia seperti
Semaoen. 14 Dalam
program perjuangannya, PI menyatakan:
1. Hanya
suatu
kesatuan
Indonesia
yang
mengesampingkan
perbedaan-perbedaan sempit dapat menghancurkan kekuasaan penjajah. Tujuan bersama untuk membentuk suatu Indonesia yang merdeka menuntut pembinaan tata kebangsaan yang didasarkan kepada suatu aksi-massa yang sadar dan percaya diri. 2. Syarat mutlak untuk mencapai tujuan itu ialah adanya partisipasi seluruh lapisan rakyat Indonesia dalam suatu perjuangan yang terpadu untuk mencapai kemerdekaan. 3. Unsur yang pokok dan dominan dalam setiap masalah politik dan penjajahan ialah konflik kepentingan antara penguasa dan yang dijajah. Kecenderungan pihak penguasa untuk mengaburkan dan menutupi masalah ini harus dilawan dengan mempertajam dan mempertegas konflik kepentingan tersebut. 4. melihat adanya dislokasi dan demoralisasi sebagai akibat pengaruh pemerintah kolonial terhadap kesehatan fisis dan psikologis dari kehidupan orang Indonesia, diperlukan sejumlah besar usaha untuk memulihkan kondisi rohani dan kondisi material menjadi normal.
Selain organisasi-organisasi ini, di Indonesia juga berkembang study-study club misalnya yang terdapat di Surabaya dan di Bandung. Sekembalinya dari Eropa, mahasiswa-mahasiswa Indonesia mulai mempraktekkan apa yang mereka
14
Harry A. Poeze, Tan Malaka, Pergulatan Menuju Republik, Jakarta: Grafiti. Hal. 368.
Universitas Sumatera Utara
pelajari untuk dapat diterapkan di Indonesia sesuai dengan geo-politik Indonesia pada saat itu. Berjamurlah study clubs saat itu. Study Club yang ada di Bandung dengan nama Algemeene Studie Club didirikan oleh Ir. Soekarno pada tahun 1925 dan kemudian berkembang menjadi Partai Nasionalis Indonesia (PNI) yang juga dipimpin oleh Soekarno.
Apabila kita amati, organisasi-organisasi yang dipelopori oleh mahasiswa di atas condong kepada ideologi kebangsaan. Kerangka organisasi yang dibuat oleh gerakan mahasiswa ketika itu tidak semata-mata hanya melibatkan mahasiswa, tetapi berusaha melibatkan massa rakyat secara luas untuk kepentingan kemerdekaan, bahkan sudah sampai pada pendirian partai politik. Dalam kerangka gerakan, konsep yang dibangun oleh mahasiswa-mahasiswa ketika itu untuk membangun format gerakan adalah tepat, bahwa tulang punggung dari gerakan adalah massa rakyat yang terlibat aktif dalam organisasi modern. Sikap sektarian, dalam artian hanya melibatkan mahasiswa dalam gerakan pembebasan nasional tidak terjadi, tetapi yang tumbuh adalah sikap kebangsaan untuk mencapai Indonesia Merdeka.
Sejarah juga mencatat bahwa pada masa pendudukan Jepang organisasi pemuda yang ada dibubarkan dan pemuda dimasukkan ke dalam;
Seinendan
dan Keibodan (Barisan Pelopor) dan PETA (Pembela Tanah Air) untuk dididik politik untuk kepentingan fasisme. Yang menjadi topik menarik pada zaman ini adalah ramainya bermunculan Gerakan Bawah Tanah (GBT) dengan rapat-rapat gelap, dan penyebaran pamflet. GBT ini dikombinasikan dengan gerakan legal Sukarno; merupakan jalan keluar yang logis bagi perlawanan anti fasis. Suatu
Universitas Sumatera Utara
jalan keluar yang mencekam dan tidak memassa. Tingkat kesadaran massa untuk mengambil jalan keluar ini belum mencapai tingkat yang revolusioner. Penguasa baru ini melarang semua kegiatan yang berbau politik, dan membubarkan semua organisasi pelajar dan mahasiswa, serta partai politik. Banyak perguruan tinggi juga ditutup. Karena kondisi yang lebih represif itu, mahasiswa memilih melakukan kegiatan berkumpul dan berdiskusi di asrama-asrama. Tiga asrama yang terkenal dalam sejarah kemerdekaan adalah Asrama Menteng Raya, Asrama Kebon Sirih, dan Asrama Cikini. Para mahasiswa inilah yang kemudian menjadi pemuda generasi ’45, yang bangkit merebut dan mempertahankan kemerdekaan dengan cara pemuda.
Masa 1945-1950 merupakan momentum yang penting dalam gerakan pemuda
dan pelajar: selain melucuti senjata Jepang,
organisasi-organisasi seperti: Angkatan
juga memunculkan
Pemuda Indonesia (API), Pemuda
Republik Indonesia (PRI), Gerakan Pemuda Republik Indonesia (GERPRI), Ikatan Pelajar Indonesia (IPI), Pemuda Putri Indoensia (PPI) dan banyak lagi. Pada saat belum ada organisasi pemuda dan pelajar, yang berbentuk federasi, diselenggarakan Kongres Pemuda seluruh Indonesia I (1945) dan II (1946). Dan Gerakan Pemudalah yang berhasil mendesak Soekarno-Hatta melalui penculikan untuk segera memproklamirkan Kemerdekaan RI.
Dalam situasi seperti inilah gerakan mahasiswa mulai bangkit kembali. Gerakan mahasiswa yang timbul pasca revolusi didasari pada ideologi yang berbeda-beda. Pada tanggal 5 Februari 1947 diresmikan terbentuknya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), kemudian diikuti berdirinya Perhimpunan Mahasiswa
Universitas Sumatera Utara
Kristen Indonesia (PMKI) pada tanggal 25 Maret 1947 dan kemudian disusul dengan pendirian Perhimpunan Mahasiswa Katolik
Republik Indonesia
(PMKRI). 15 Organisasi-organisasi mahasiswa ini mengunakan ideologi agama— Islam atau Katolik/Kristen. Kemunculan organisasi-organisasi yang berideologi agama ini sebetulnya mengikuti kemunculan partai politik yang seideologi yaitu Masyumi ( 7 Nopember 1945)—yang berideologi Islam dan Partai Katolik ( 8 Desember 1945)—yang berideologi Katolik. 16 Sementara itu partai besar lainya yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI) mempunyai ormas mahasiswa Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang berdiri pada tanggal 23 Maret 1954, sedngkan Partai Komunis Indonesia (PKI) membangun ormas mahasiswa yaitu Central Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI).
Selain organisasi yang didasarkan pada ideologi tertentu, juga banyak bermunculan organisasi mahasiswa yang berdasarkan profesi dan komunitas. Dalam kategori ini, kita dapat mengambil contoh Perhimpunan Mahasiswa Kedokteran Hewan (PMKH) di Bogor, Perhimpunan Mahasiswa Djakarta (PMD), Perhimpunan Mahasiswa Jogyakarta (PMJ), Masyarakat Mahasiswa Malang (MMM). Kemudian di UGM pada tanggal 11 Januari 1950 terbentuk Dewan Mahasiswa (DM) yang merupakan lembaga mahasiswa tingkat universitas, dan kemudian diikuti dengan berdirinya Dewan Mahasiswa di UI pada 20 Nopember 1955.
Pada masa demokrasi terpimpin, organisasi-organisasi yang berafiliasi dengan partai politiklah yang banyak meramaikan panggung perpolitikan. Mereka 15
Arbi Sanit, Mahasiswa, Kekuasaan dan Bangsa, Jakarta: Lingkar Studi Indonesia,
hal.84. 16
Arbi Sanit, Ibid.
Universitas Sumatera Utara
saling berlomba-lomba, adu program untuk mendapatkan basis massa yang besar. Pertarungan semakin ramai ketika Soekarno lebih dekat pada organisasiorganisasi yang berideologi komunis dan nasionalis radikal. Organisasi-organisasi mahasiswa yang berbasiskan agama—HMI, PMKRI—semakin terpinggirkan. Pada tahun 1963, ketegangan politik di dalam kampus semakin memanas setelah GMNI, CGMI, Germindo, Permi semakin mendominasi senat fakultas dan dewan mahsiswa universitas di perguruan-pergurun tinggi
yang ada. 17Konflik yang
terjadi misalnya ketika kongres nasional keempat Majelis Mahasiswa Indonesia (MMI) pada bulan April 1964 di Malino, dalam kongres ini GMMI memenangkan 18 dari 24 kursi esekutif. Sementara itu, kelompaok mahasiswa dari UI dan ITB yang non-GMNI tidak mendapatkan posisi yang menyebabkan mereka menolak hasil kongres, dan akibatnya dewan mahasiswa dari kedua universitas ini dikeluarkan dari MMI. 18 Pertentangan-pertentangan terus terjadi sampai tahun 1965. Sebuah pertarungan di tingkat fakultas misalnya terjadi di fakultas sastra UI ketika GMNI dan sekutu-sekutunya menuntut agar senat yang baru terbentuk dibubarkan karena terdapat unsur-unsur kontra-revolusioner seperti HMI. 19
Mahasiswa yang semakin tersingkir semakin membenci konsepsi Soekarno sendiri tentang demokrasi terpimpin, yang mereka anggap sebagai biang keladi semakin tersingkirnya posisi mereka. Mahasiswa-mahasiswa ini, yang telah mendapatkan pendidikan tentang demokrasi liberal, yang sayup-sayup mereka peroleh dari barat, merasakan bahwa demokrasi tepimpin sangat merantai kebebasan mereka, tidak sesuai dengan teori yang pernah mereka dapatkan. 17
John Maxwell, Soe Hok-Gie, Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani, Jakarta: Grafiti. Hal. 140. 18 John Maxwell, Ibid, hal.143. 19 John Maxwell, Ibid, hal.147.
Universitas Sumatera Utara
Apalagi kedekatan pemerintahan Soekarno dengan Soviet maupun Cina Komunis yang membuat gerah banyak kalangan—termasuk mahasiswa. Ruang-ruang bagi golongan non komunis dan non nasionalisme radikal seakan-akan telah tertutup. Golongan-golongan mahasiswa yang merasa senasib sepenanggungan ini kemudian bersatu, mengorganisasikan di dalam kesatuan-kesatuan aksi.
Sementara itu, situasi tahun 1960-an semakin memanas dengan adanya konfontrasi dengan Malaysia yang menyebabkan hubungan dengan negara-negara barat—khususnya Amerika dan Inggris—semakin memburuk. Amerika yang melihat Indonesia sebagai tempat yang strategis karena letaknya pada jalur perdagangan internasional dan mempunyai jumlah penduduk yang besar sangat potensial bagi pasar produk-produk Amerika. Namun, situasi yang semakin berkembang semakin menunjukkan Indonesia semakin jatuh dalam genggaman komunis yang selalu mengusung isu-isu anti imperialisme. Dan apabila Indonesia sampai jatuh ke tangan kaum komunis, maka semakin sulitlah bagi bangsa-bangsa barat untuk mendominasi ekonomi di negara-negara Asia Tenggara.
Kekuatan lain yang merasa terdesak pada masa demokrasi terpimpin ini adalah tentara. Mereka yang sejak demokrasi parlementer merasa disingkirkan, dalam
beberapa
hal
memang
mendukung
demokrasi
terpimpin
yang
menguntungkan mereka. Namun, karena kedekatan Soekarno dengan kelompok komunis, menyebabkan tentara semakin gerah karena secara ideologi mereka sangat berseberangan dengan ideologi komunis, apalagi setelah kaum komunis mengusulkan dibentuknya angkatan kelima dengan mempersenjatai kaum tani.
Universitas Sumatera Utara
Akhirnya, ketiga kekuatan di atas—mahasiswa yang berideologi liberal, Amerika dan tentara—bersatu ketika pecah peristiwa 30 September 1965—yang dianggap sebagai pemberontakan PKI. Histeria anti komunis kemudian ditiupkan keseluruh pelosok negeri, dibentuklah Kesatuan Aksi Penggayangan Gestapu (KAP-Gestapu). Badan ini dipimpin oleh politikus NU Subchan dan aktivis katolik Harry Tjan dengan dukungan penuh dari tentara. 20 Dalam perkembangan selanjutnya, setelah pertemuan terakhir dirumah Menteri Pendidikan Tinggi, Brigjen. Syarief Thayep, tepatnya pada tanggal 25 Oktober 1965 dibentuklah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Organisasi ini didominasi oleh organisasi seperti PMKRI, SOMAL,
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
(PMII), dan Mahasiswa Pancasila (Mapancas)—organisasi ini dekat dengan tentara, ketuanya David Napitupulu dekat dengan Brigjen Sukendro dan Jendral Nasution. 21 Maka, sejak saat ini, pemburuan terhadap orang-orang komunis atau simpatisanya dimulai. Inilah prestasi dari Gerakan Mahasiswa 1966, bersama tentara dan Amarika, berhasil menggulingkan kekuasaan Soekarno dan menaikkan Soeharto dengan tumbal jutaan rakyat yang tidak berdosa. Salah satu pimpinan GM ’66, Soe Hok-Gie merasa ngeri sendiri setelah melihat dari demostrasidemontrasi pengganyangan terhadap komunis selama delapan belas bulan:
“Tetapi bagi yang ikut-ikutan PKI karena pertimbangan-pertimbangan ekonomi keadaan ini sangat sulit. Banyak ex-SOBSI tidak tahu-menahu tentang komunisme. Mereka masuk SOBSI karena kalau tidak masuk mandor mereka (yang komunis) akan mempersulitnya. Demikian pula BTI-nya. Pernah seorang petani hampir dibunuh di Bali minta-minta ampun dan bersumpah bahwa ia bukan PKI. “Organisasi saya adalah BTI,” katanya dengan berlinang air mata.
20 21
John Maxwell, Ibid, hal.154. John Maxwell, Ibid, hal 159.
Universitas Sumatera Utara
Mereka tidak bisa mengerti mengapa tiba-tiba mereka dipecat, dibunuh, diasingkan masyarakat dan diusir dari pergaulan. Dan hampir tak ada yang mau memberikan kerja baru untuk mereka karena mereka exSOBSI. Lowongan yang tersedia untuk mereka adalah (yang tak perlu tanda tidak terlibat Gestapu) tukang beca, kuli harian, pedagang kecil (tukang loak) dan untuk wanita babu atau pelacur (bagi yang masih muda dan lumayan wajahnya). Di desa di aman kesempatan kerja lebih sulit biasanya mereka menjadi pedagang kecil atau lari ke kota. Saya pernah menjumpai di sebuah desa di Jawa tengah seorang istri “Gestapu” yang membuka warung kopi mulai jam 3 pagi untuk memberikan makan 9 orang anaknya. Kehidupan mereka sangat berat. Anak-anaknya juga “punya inferiority complex” karena ayahnya ada di penajara. Kesembilan anak ini tidak berani bermain-main disawah atau jalan-jalan karena “malu” diejek oleh kawan-awan sebayanya. Mereka bermain-main sesama saudara di rumah mereka sendiri. Anak-anak kecil ini telah belajar betap “pahitnya” politik. Bagi yang keluarganya yang dibunuh keadaanya lebih parah. Mereka diam dan tak banyak berkata. Tetapi dalam hati kecilnya tumbuh dendam kebencian terhadap golongan yang telah membunuh sanak mereka. Dan saat kebencian ini kebencian akan mengambil bentuknya. Kita tidak tahu berapa jumlah mereka. Tetapi kalau kita ambil angka 300 ribu orang mati terbunuh selama masa-masa tersebut dan pembunuhan ini menimbulkan bekas pada 3 atau 4 orang sanaknya yang terdekat (istrianak-saudara kandung, ayah) maka dewasa ini terdapat kira-kira satu juta orang yang hidup menyimpan dendam untuk masa kemudian”. 22
Gerakan mahasiswa kembali memberi warna dalam ritme politik nasional ketika di tahun 1974 mahasiswa kembali bergerak, Bandung, Jakarta, dan Yogyakarta adalah kota dimana para mahasiswa mulai merasakan depolitisasi yang dilakukan oleh Orde Baru. Pergolakan kembali dilakukan dengan menolak Soeharto menjadi Presiden untuk yang kedua kali. Beberapa mahasiswa di tangkap dan dijeboskan kedalam penjara.
22
John Maxwell, Ibid, hal.273.
Universitas Sumatera Utara
Pada 19 April 1978, sebagai bagian dari upaya depolitisasi kampus dan meredam
aktivitas
politik
mahasiswa,
konsep
Normalisasi
Kehidupan
Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) diterapkan secara resmi oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan DR. Daoed Joesoef, melalui Surat Keputusan Menteri P dan K No. 01/V/1978. NKK/BKK ini baru diakhiri secara formal oleh Mendikbud Prof. DR. Fuad Hassan pada 28 Juli 1990, dengan keluarnya Surat Keputusan No. 403/U/1990 tentang Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT).
Iklim politik nasional sementara itu makin menunjukkan penguatan rezim Orde Baru, yang ditandai dengan kemenangan Golkar yang didukung militer pada Pemilu 1971, 1977, dan 1982. Penguatan rezim Orde Baru ini diperkokoh dengan pencanangan Pancasila sebagai asas tunggal bagi seluruh organisasi politik dan kemasyarakatan pada 1982, penyeragaman pemahamannya sebagai ideologi melalui Tap MPR No. II/MPR/1978, serta pemberlakuan Paket 5 UU Politik pada tahun 1985, yang membatasi jumlah partai politik dan merampas kedaulatan rakyat. Melalui Tap MPR No. II/MPR/1978 juga diberlakukan Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) kepada berbagai kalangan masyarakat, birokrat sipil/militer, dengan metode indoktrinasi.
Mahasiswa dilarang berpolitik, ataupun melakukan aktivitas yang berbau politik, kebebasan intelektual kampus di kebiri, dan kontrol yang kuat kepada organisasi – organisasi mahasiswa diperketat. Kampus menjadi sebuah penjara berpikir bagi semua civitasnya.
Universitas Sumatera Utara
Praktis sejak diberlakukan NKK/BKK, gerakan mahasiswa “tertidur”. Kebijaksanaan NKK/BKK ini kemudian lebih diperketat lagi. Ketika Mendikbud dijabat oleh Nugroho Notosusanto, pemerintah memberlakukan transpolitisasi yaitu ketika mahasiswa ingin berpolitik, mahasiswa harus disalurkan melalui organisasi politik resmi macam Senat, BEM, dll, diluar itu dianggap ilegal. Dalam kurun waktu ini juga diberlakukan Sistem Kredit Semester (SKS), sehingga aktivitas mahasiswa dipacu hanya untuk cepat selesai studi/kuliah dan meraih IP yang tinggi. Inilah hal-hal yang membuat mahasiswa semakin mengalami depolitisasi dan semakin terasing dari lingkungannya.
Implikasi konsep NKK/BKK adalah pembubaran DEMA, yang merupakan simbol demokrasi kampus. Segala kegiatan kemahasiswaan tidak lagi dibawah asuhan DEMA tapi langsung di bawah kontrol BKK. Alhasil semua kegiatan pun langsung dibawah kontrol pejabat teras Universitas, Rektor dan para dosen. Ditambah lagi salah satu peraturan dalam NKK/BKK, jabatan Pemimpin Umum Pers Mahasiswa harus dipegang oleh dosen yang ditunjuk langsung oleh rektorat.
Yang terjadi kemudian adalah demoralisasi di tingkatan mahasiswa. Mahasiswa dipaksa kembali ke dunia akademik --mengajar, berbangku kuliah lagi, belajar ke luar negeri, -- membentuk NGOs yang pada tahun 1982 sudah ada ribuan NGO, berbisnis, berkolaborasi dengan rejim dan sebagainya. NGO menjajakan kemanusiaan borjuis-kecil --mengemis reformasi ekonomi-politik pada rejim diktator/korup, bahkan ada yang masih bermimpi membangun pulau impian di tengah modal raksasa-- kaum sekolahan yang baru pulang belajar dari
Universitas Sumatera Utara
luar negeri mengajarkan -- di tengah kemampuan bahasa Inggris kaum muda yang menyedihkan-- teori-teori baru sosial-demokrasi, neo-marxis, new-left ….23
Ada dua kecenderungan yang muncul kemudian. Pertama, kembali kepada gerakan awal 1900: munculnya kembali kelompok-kelopok diskusi. Kehadiran kelompok-kelompok diskusi
inipun dilakukan dengan sembunyi-sembunyi,
karena apabila diketahui oleh rejim bisa berakibat fatal. Kita dapat melihat nasib yang menimpa Bonar Tigor Naipospos, Bambang Isti Nugroho 24 dari kelompok diskusi Palagan yang dipenjara hanya karena memperjualbelikan buku Pramoedya Ananta Toer. Rejim memang tidak ambil peduli kepada siapapun yang akan kembali mengusik ketenangannya. Marlin menggambarkan sebagai berikut:
….(kebanyakan mahasiswa) mencerahkan sel-sel otaknya dalam kelompok-kelompok studi untuk menemukan makna demokrasi (walau sering tak bisa menerima sifat blak-blakannya), makna egalitarian (walau tak bisa menerima radikalisme dalam mewujudkannya). Semua nilai-nilai budaya baru itu diserap dan dimuntahkan dalam dunia bacaan --betapa militannya mereka (yang bisa berbahasa Ingris) mencari buku-buku langka yang baru….. 25
Kedua, mereka yang “melarikan” ke luar negeri setelah represi 1978 membawa ide-ide kiri baru (New Left). Teori-teori yang sebetulnya sudah usang ini diterapkan dengan apa adanya, “seperti halnya anak kecil yang baru melihat hal yang baru, ditiru begitu saja”. Ditengah rasa demoralisasi, mereka mengatakan metode perjuangan harus diubah, perjungan harus melalui “pemberdayaan” rakyat. Maka dalam kurun waktu itu beratus-ratus LSM (Lembaga Swadaya 23
John Maxwell, Ibid. Bambang Isti Nugroho, seorang droup-out kelas 3 SMA, yang kemudian bekerja di fakultas MIPA UGM. Dia diadili karena memperdagangkan buku-buku Pramoedya Ananta Toer dan menyimpan buku-buku Pram, Marxim Gorky, Frans Magnis Suseno. 25 Wawancara Marlin, LINK 24
Universitas Sumatera Utara
Masyarakat) didirikan. Tapi dalam kenyataanya, LSM ini hanya dijadikan kedok untuk memperoleh kekayaan pribadi dengan membuat proposal dengan kata-kata indah, “memperjuangkan” rakyat miskin.
Ada baiknya kita bahas secara singkat kemunculan organisasi LSM karena bagaimanapun berpengaruh kepada gerakan mahasiswa sampai saat ini. Berbarengan dengan terjadinya represi terhadap gerakan mahasiswa 1978, Barat yang merupakan pusat dari kapitalisme mulai menyadari bahwa kebijaksanaan mereka mulai menimbulkan keresahan sosial. Keadaan ini tentunya tidak dapat dibiarkan karena apabila dibiarkan bisa menjadi picu ledak bagi perlawanan rakyat. Maka mulailah disiapkan dana untuk membangun organisasi-organisasi yang seolah-olah anti negara, berasal dari arus bawah, 26. Organisasi inilah yang dipakai untuk masuk ke daerah-daerah “api” dan kemudian digunakan untuk menjaga “api” tersebut supaya tidak membesar. Organisasi ini juga digunakan untuk
mendemoralisasi
perlawanan
rakyat.
Lembaga-Lembaga
Swadaya
Masyarakat ini mempunyai hubungan simbiosis mutualisme dengan kapitalis internasional. Kapitalis butuh LSM untuk mencegah terjadinya konflik sosial, sedangkan LSM butuh dana kapitalis untuk memperbesar “perut” mereka. Sampai saat ini menjadi anggota LSM adalah kecenderungan mantan aktivis mahasiswa yang sudah selesai kuliah. Ini terjadi karena perspektif ideologi mereka lemah – setelah selesai studi di universitas berarti sudah tidak pantas lagi terlibat aktif dalam gerakan mahasiswa – padahal apabila mereka mempunyai kesadaran ideologis, tentu akan bergabung dengan organisasi revolusioner.
26
Lihat James Petras, Kritik Terhadap Kaum Post Marxis, LINK.
Universitas Sumatera Utara
Walau bagaimanapun ketatnya rejim
berusaha “memagari” gerak
mahasiswa, lambat laun mahasiswa bisa lepas juga dari kungkungan yang ada. Perlahan namun pasti, mahasiswa yang mempunyai kesadaran politis, keluar dari “ruang-ruang” diskusi dan kembali mulai turun ke jalan. Seperti yang dijelaskan diatas, gerakan mahasiswa mengambil strategi “melingkar”, melakukan aksi-aksi advoksi terhadap kasus-kasus rakyat, hal ini mengingat depolitisasi kampus yang amat kronis. Gerakan mahasiswa mencoba menyadarkan mayoritas mahasiswa yang terkena trauma dan mengalami depolitisasi dengan menunjukkan realitasrealitas yang ada di masyarakat, bahwa penindasan, pelanggaran HAM, kesewenang-wenangan dilakukan oleh penguasa. Memang dalam kurun waktu ini banyak kasus-kasus seperti penghapusan becak dan angling darmo, pengusuran tanah, masalah perburuhan, pem-PHK-an yang kesemuanya tanpa perlawanan pihak yang ditindas.
Strategi “melingkar” ini memang berhasil – walaupun tidak maksimal, seperti yang dijelaskan diatas, kampus tidak mampu untuk diliberalisasikan -mengusik hati para mahasiswa yang masih ada di dalam kampus untuk kembali terlibat dalam gerakan-gerakan mengkritisi, menentang kebijaksanaan penguasa. Awal-awal 1990 mulai muncullah organisasi mahasiswa “ilegal” bagi rejim. Ini merupakan perkembangan dari organisasi-organisasi bentukan gerakan mahasiswa akhir 1986–1990, yang berupa komite-komite aksi. Gerakan mahasiswa mencoba melakukan konsolidasi ditingkat nasional dan mulai mempermanenkan organ yang ada. Di Yogyakarta muncul Forum Komunikasi Mahasiswa Yogyakarta (FKMY), di Surabaya muncul Forum Komunikasi Mahasiswa Surabaya (FKMS),
Universitas Sumatera Utara
di Manado lahir Forum Komunikasi Mahasiswa Manado (FKMM), dan organorgan lain di Jakarta, Bandung, Solo, Semarang.
Dalam periode diatas, pers mahasiswa juga memberikan sumbangan yang cukup besar dalam menumbuhkan semangat demokratisasi. Ditengah membeonya pers-pers umum, pers mahasiswa berani muncul sebagai pers alternatif dalam melihat kondisi yang terjadi di Indonesia. Kritik-kritik pedas dan bahkan dilakukan secara terus terang terhadap rejim Soeharto seringkali membuat gerah pengguasa, sehingga banyak pers-pers mahasiswa yang ditutup oleh penguasa lewat tangan rektorat.
Sejak munculnya organisasi-organisasi diatas, gerakan mahasiswa semakin menguat. Aksi-aksi mahasiswa mulai membesar kembali, energi perlawanan mahasiswa timbul kembali. Di Yogyakarta pertengahan tahun 1992, 12 ribu mahasiswa Universitas Gajah Mada dan universitas lain di Yogya didampingi rektor UGM -- Prof. Koesnadi Harjosoemantri -- melakukan rally dari kampus UGM menuju DPRD I Yogyakarta, memprotes diberlakukanya Undang-undang Lalu Lintas No. 14/1992. Tahun 1993 ribuan mahasiswa – mayoritas mahasiswa Islam – menduduki Gedung DPR/MPR, menuntut SDSB dihapuskan. Menteri Sosial waktu itu, Inten Soeweno, dengan menitikkan air mata mencabut pemberlakuan SDSB di depan anggota DPR sementara diluar gedung, ribuan mahasiswa terus menjalankan aksinya.
Satu
tahun
kemudian,
mahasiswa
diberbagai
daerah
memprotes
dibredelnya Tempo, Detik, dan Editor. Beberapa aksi direpresif oleh militer, seperti yang terjadi di Jakarta. Namun demikian aksi-aksi mahasiswa terus
Universitas Sumatera Utara
berlanjut. Tahun 1996, tepatnya bulan April, di Ujung Pandang, mahasiswa yang memprotes kebijaksanaan kenaikan tarif transportasi ditembaki oleh militer, sekitar 7 mahasiswa tewas dalam insiden tersebut. Aksi ini telah menimbulkan solidaritas di kalangan mahasiswa lain di berbagai daerah, seperti Jakarta, Surabaya, Lampung, Yogyakarta, Solo, Semarang, bahkan di Yogyakarta sempat terjadi bentrokan dengan militer.
Sentimen anti kediktoran rejim Orde Baru Soeharto mulai meluas. Keberanian rakyat untuk mempertahankan hak-haknya semakin tumbuh. Jaringan dan wadah-wadah perlawanan mulai dibentuk diberbagai tempat dan sektor masyarakat. Watak kerakyatan dalam perlawanan demokratik mulai muncul sebagai pendorong utama untuk memaksakan keterbukaan dengan mulai terangkatnya isu perburuhan dan tani (pertanahan). Unsur-unsur demokratik dan kerakyatan dalam perlawanan telah mampu berkembang dan berdiri di garda depan, baik dalam skala sektoral maupun wilayah tertentu.
Sementara di dalam kampus mulai dibentuk organ mahasiswa sektor kampus.
Sebelumnya selama kurun waktu 1979-1995 hanya ada lembaga
mahasiswa formal yang diakui oleh pemerintah, yaitu Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT). Tahun 1995 mulai dirintis berdirnya kembali Dewan Mahasiswa (Dema), yang sejak diberlakukannya NKK/BKK dimatikan keberadaannya. Maka muncullah Dema UGM, Dema UI, Dema USD. Namun sebelum konsolidasi ini selesai, meletuslah peristiwa 27 Juli 1996. Setelah “Peristiwa Sabtu Kelabu”, rejim Soeharto memburu-buru aktivis mahasiswa radikal dan aktivis PRD yang difitnah sebagai dalang peristiwa tersebut. Dalam kurun waktu 1996-akhir 1997,
Universitas Sumatera Utara
dapat dikatakan gerakan mahasiswa tiarap. Kalaupun ada aksi, hanya sebatas dilakukan oleh kelompok-kelompok mahasiswa radikal dengan kembali memakai komite aksi yang bersifat “musiman” untuk terus melakukan perlawanan.
Sejak September 1997 krisis ekonomi global ikut menyapu Indonesia, nilai rupiah melemah terhadap dolar AS, harga-harga barang kebutuhan pokok mulai merangkak naik, banyak perusahaan yang gulung tikar akibatnya banyak buruh yang ter-PHK. Dampak ini secara langsung juga menimpa mahasiswa, terutama mahasiswa perantauan, harga makanan melonjak, kertas naik, belum lagi orang tuanya yang di PHK atau perusahaan mereka yang bangkrut.
Dari kondisi seperti ini, aksi-aksi mahasiswa mulai marak kembali, dengan tuntutan-tuntutan ekonomis, seperti turunkan harga. Akan tetapi kelompok mahasiswa radikal yang masih minoritas secara kuantitatif tetap melancarkan tuntutan politik, seperti suksesi kepemimpinan nasional, pencabutan Dwi Fungsi ABRI.
Secara perlahan, bersamaan dengan krisis ekonomi yang semakin
memuncak, usaha-usaha kelompok radikal untuk menarik dari kesadaran “ekonomis” menjadi kesadaran politik mulai berhasil. Aksi-aksi mahasiswa yang semakin membesar mulai meneriakkan tuntutan politik, meminta Soeharto turun. Ini merupakan sejarah maju dalam gerakan mahasiswa di Indonesia. Tuntutan yang selama ini “diharamkan” tidak ditabukan lagi. Seperti halnya dalam tulisan Aspinal tentang tuntutan mahasiswa yang semakin politis:
Tipe demostrasi mahasiswa merupakan reduksi dari naiknya harga barang, menuntut dihapuskannya korupsi, kolusi dan nepostisme, dan menuntut reformasi. Dari awal kebanyakan protes secara ekplisit menuntut Soeharto turun dari jabatan
Universitas Sumatera Utara
sebagai presiden ( sebuah ekpresi dari sentimen ini dapat dilihat pembakaran gambar Soeharto pada sebuah aksi di Universitas Gadjah Mada pada tanggal 11 Maret).27
Dalam kurun waktu awal Februari sampai Mei 1998, secara kuantitatif dan kualitatif gerakan mahasiswa naik secara dratis, dengan tuntutan yang sudah politis. Di kampus UI, Depok, dari tanggal 19-26 Maret terjadi aksi besar yang hampir menyamai aksi di tahun 1966
28
. Pada hari terakhir Sidang Umum MPR
1998, di Yogyakarta, sebuah patung raksasa berwajah Soeharto dibakar oleh para demonstran, sekitar 50 ribu mahasiswa memenuhi Balairung UGM dalam aksi tersebut. Pada hari yang sama juga terjadi aksi-aksi di Solo, Surabaya, Malang, Manado, Ujung Pandang, Denpasar, Padang, Purwokerto, Kudus 29.
Dalam
perkembangannya
aksi-aksi
mahasiswa
semakin
radikal.
Diberbagai wilayah terjadi bentrokan antara demostran dengan militer. Di Universitas Sebelas Maret Surakarta dan di kampus Universitas Lampung, pada tanggal 17 Maret 1998 terjadi bentrokan antara mahasiswa-- yang ingin melanjutkan rally keluar kampus-- dengan militer. Sementara di Yogyakarta, tanggal 2 - 3 April bentrokan terjadi di Boulevard UGM dan bentrokan berulang pada tanggal 13 April ketika demonstran dikejar-kejar dan ditembaki oleh militer sampai ke dalam kampus. Hampir 8 jam kampus UGM dikusai oleh militer. Di Medan juga terjadi bentrokan serupa, dalam aksi tanggal 24 April demosntran melempari militer dengan molotov, akibatnya
kampus Universitas Sumatera
Utara (USU) diliburkan beberapa hari. Pada bulan Mei aksi-aksi mahsiswa 27
The Indonesia Student Uprising of 1998, Edwad Aspinal . Ibid 29 Ibid 28
Universitas Sumatera Utara
semakin bertambah banyak, kampus-kampus yang selama ini apolitis ikut terlibat dalam aksi-aksi. Peristiwa paling tragis terjadi tanggal 12 Mei ketika terjadi aksi di Universitas Trisakti, Jakarta, 6 mahasiswa gugur diterjang peluru militer. Peristiwa ini kemudian menyulut perlawanan dari sektor rakyat lain, tanggal 1314 Mei Jakarta lumpuh total dengan adanya kerusuhan masal. Sementara pada peringatan Hari Pendidikan Nasional, tanggal 2 Mei, terjadi bentrokan di Jakarta, Medan, Yogyakarta, Jember, Malang dan beberapa kota lain. Antara tanggal 1 Maret sampai 2 Mei tercatat 14 bentrokan antara mahasiswa dan militer yang terjadi di Jawa, Sumatera, Bali dan Lombok. Ketika hari-hari terakhir Soeharto akan “lengser”, gedung DPR/MPR dikuasai mahasiswa, ratusan ribu mahasiswa menggelar mimbar bebas di gedung tersebut. Sementara di Yogyakarta, sehari sebelum Soeharto turun, sekitar satu juta rakyat – yang dipelopori mahasiswa Yogyakarta -- memenuhi alun-alun Utara, menuntut Soeharto mundur.
Masa-masa ini merupakan masa-masa yang revolusioner bagi gerakan mahasiswa. Aksi-aksi mahasiswa dibeberapa tempat bahkan sudah menguasai RRI seperti yang terjadi di Surabaya, Semarang, Padang. Sementara di Medan, mahasiswa menguasai bandar udara.
Dapat dikatakan aktivitas penerbangan,
terutama penerbangan internasional, lumpuh total. Dalam kurun waktu ini juga bermunculan beratus-ratus komite mahasiswa, besar maupun kecil. Namun sayangnya gerakan yang sudah membesar ini hanya mampu menghasilkan pengalihan jabatan presiden dari Soeharto ke Habibie. Kelemahan-kelemahan apa yang menyebabkan gerakan mahasiswa gagal melakukan perubahan total, nanti akan kita bahas lebih lanjut.
Universitas Sumatera Utara
Setelah berhasil “melengserkan” Soeharto, secara kualitatif dan kuantitatif gerakan mahasiswa menurun, hampir 6 bulan gerakan seperti tenggelam tertelan tanah. Gerakan kembali bangkit mendekati Sidang Istimewa MPR, pertengahan Nopember. Pada tanggal 13-14 Nopember 1998 aksi besar-besaran terjadi di Jakarta.
Sekitar satu juta mahasiswa dan rakyat berkumpul didepan kampus
Universitas Atmajaya, Jakarta.
Mereka akan melakukan rally ke gedung
DPR/MPR. Kemudian meletuslah insiden Semanggi, ketika mahasiswa yang akan meninggalkan Universitas Atma Jaya ditembaki oleh militer, korban kembali berjatuhan. Gerakan kali ini disokong penuh oleh rakyat – disamping rakyat terlibat aktif dalam aksi-aksi, ikut membuat barikade, mengejar pamswakarsa, juga memberikan bantuan logistik --, kerusuhan seperti Mei tidak terjadi karena mahasiswa berhasil memimpin. Gerakan tidak hanya terjadi di Jakarta, dibeberapa daerah seperti Yogyakarta, markas militer seperti Korem sempat dikuasai mahasiswa selama beberapa jam, sementara di tempat lain mahasiswa berhasil memaksa RRI menyiarkan tuntutan-tuntutan mereka. Represi memang hanya terjadi di Jakarta, sedangkan gerakan di daerah tidak mengalami represi, secara kualitatif dan kuantitatif gerakan di daerah juga tidak membesar seperti di bulan Mei ’98. Kembali tuntutan mahasiswa seperti cabut Dwi Fungsi ABRI, Tolak SI dan pemerintahan transisi belum berhasil digolkan.
Merujuk pada masalah diatas, penulis tertarik untuk menganalisa lebih mendalam mengenai gerakan perlawanan mahasiswa dalam merubuhkan simbol kediktatoran pada masa Orde Baru. Gerakan yang secara spontan terjadi pada masa tersebut terjadi juga karena momentum dimana ketika itu krisis ekonomi semakin memuncak dan semakin menjerat leher orang miskin yang ada di negeri
Universitas Sumatera Utara
ini. Segala kebijakan ekonomi yang ditetapkan oleh Soeharto menjadi boomerang kembali kepadanya dengan hadirnya perlawanan dari semua basis-basis massa yang dipelopori oleh mahasiswa. Meskipun masih bersifat momentuman, sektarian dalam artian hanya didominasi oleh kaum intelektual kampus dan tidak melibatkan massa rakyat luas tapi gebrakan dari gerakan ini mampu mengantarkan Indonesia ke dalam suatu system pemerintahan baru yakni reformasi dan menjatuhkan symbol kediktatoran selama 32 tahun. Namun strategi taktik seperti apa yang telah dilakukan oleh mahasiswa pada masa itu serta bagaimana peran, keterlibatan dan keberpihakan Negara pada mahasiswa?
2. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, Penulis merumuskan masalah penelitiannya sebagai berikut:
a. Bagaimana deskripsi sejarah gerakan mahasiswa Indonesia pada masa Orde Baru periode 1998. b. Bagaimana analisis politik gerakan mahasiswa sebagai gerakan sosial terhadap Negara.
Universitas Sumatera Utara
3. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Membuat gambaran gerakan mahasiswa Indonesia pada periode 1998. b. Menganalisis perlawanan gerakan mahasiswa sebagai gerakan social melawan Negara.
4. MANFAAT PENELITIAN
Disamping tujuan yang hendak dicapai maka suatu penelitian harus mempunyai manfaat. Adapun manfaat penelitian ini adalah :
1. Manfaat Praktis, bagi penulis penelitian ini bermanfaat untuk mengembangkan kemampuan penulis dalam membuat karya ilmiah dalam menganalisis kondisi social masyarakat. 2. Manfaat Akademis, bagi FISIP USU, khususnya Departemen Ilmu Politik, penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu sosial secara umum dan secara khusus. 3. Manfaat praksis, penelitian ini bermanfaat sebagai sebuah konsumsi dan referensi bagi gerakan sosial mahasiswa dan gerakan sosial lainnya serta lembaga-lembaga yang kerkompeten.
Universitas Sumatera Utara
5. KERANGKA TEORI
Kerangka teori diperlukan dalam setiap penelitian untuk memberikan landasan teoritis bagi penulis dalam menyelesaikan masalah dalam proses penelitian. 30 Kerangka teori juga membantu seorang peneliti dalam menentukan tujuan dan arah penelitian serta sebagai dasar penelitian agar langkah yang ditempuh selanjutnya dapat jelas dan konsisten. 31 Dekripsi teori disini menerangkan tentang variable yang diteliti, baik yang bersifat deskripstif (satu variable) atau lebih dari dua variable (hubungan, pengaruh dan komparatif) 32.
Kerangka teori berisi uraian tentang telaahan teori dan hasil penelitian terdahulu yang terkait. Telaahan ini bisa dalam arti membandingkan, mengkontraskan atau meletakkan tempat kedudukan masing-masing dalam masalah yang sedang diteliti, dan pada akhirnya menyatakan posisi atau pendirian peneliti disertai dengan alasan-alasannya. Dan bukan bermaksud untuk memamerkan teori dan hasil penelitian ilmiah para pakar terdahulu dalam satu adegan verbal sehingga pembaca ‘diberitahu’ mengenai sumber tertulis yang telah dipilih oleh peneliti. Hal ini juga dimaksudkan untuk menampilkan mengapa dan bagaimana teori hasil penelitian para pakar terdahulu digunakan peneliti dalam
38
Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survei, Jakarta: LP3ES, hal.
31
Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 1990, hal.
21. 65. 32
Drs.Ridwan, M.B.A, Belajar Mudah Penelitian untuk Guru-Peneliti dan Peneliti Pemula, Bandung: Alfabeta, 2006, hal. 7
Universitas Sumatera Utara
penelitiannya,
termasuk
dalam
merumuskan
asumsi-asumsi
dalam
penelitiannya. 33
Teori-teori atau tinjauan pustaka yang dipakai oleh penulis sebagai landasan berfikir dan titik tolak menyoroti masalah yang diteliti adalah sebagai berikut:
5.1 Teori Demokrasi dan Demokratisasi
Demokrasi bukanlah sebatas dunia politik, tetapi juga harus diberlakukan dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam kerja-kerja pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Dalam bekerja, dalam menentukan produksi, dan hal-hal yang selama ini dianggap rutin dan remeh-temeh yang justru sebenarnya adalah penentu keberadaan manusia di dunia ini.
Dalam perkembangannya begitu banyak para ahli yang memberikan definisi yang beragam mengenai demokrasi. Menurut Abraham Lincoln demokrasi merupakan sistem dimana ada pemisahan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Demokrasi merupakan sistem dimana rakyat bebas mengeluarkan pendapatnya. Abdul Ghani Ar Rahhal di dalam bukunya, Al Islamiyyun wa Sarah Ad Dimuqrathiyyah mendefinisikan demokrasi sebagai “kekuasaan rakyat oleh rakyat”. Rakyat adalah sumber kekuasaan. Menurut Robert Dahl, Demokrasi adalah suatu sistem politik dimana para anggotanya saling memandang antara yang satu dengan yang lainnya sebagai orang-orang yang sama dipandang dari segi politik, dan mereka itu secara bersama-sama adalah berdaulat,dan memiliki 33
O. Setiawan Djuaharie, Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, Disertasi, Bandung: Yrama Widya, 2001, hal. 55
Universitas Sumatera Utara
segala kemampuan, sumberdaya dan lembaga-lembaga yang mereka perlukan demi untuk memerintah diri merekas sendiri. Dan lain sebagainya para ahli mengemukakan teori mereka tentang demokrasi yang pada hakikatnya memiliki nilai atau esensi yang sama mengenai kekuasaan dan kedaulatan yang seutuhnya ditangan rakyat.
Demokrasi sering dikaitkan dengan pola pemerintahan dalam Athena, dan polis-polis lainnya di Yunani. Bahkan kata demokrasi inipun dari kata Yunani demos (rakyat) dan cratein (pemerintahan). Masyarakat Athena dan polis-polis lainnya adalah masyarakat yang terlibat dalam persaingan-persaingan ekonomi yang kemudian melahirkan konflik-konflik bersenjata. Kenyataan sejarah seperti inilah yang mengkondisikan pembentukan sebuah organisasi masyarakat yang bernama polis itu sendiri, di mana segala persoalan-persoalan publik dibicarakan dalam forum-forum yang melibatkan anggota masyarakat. Bentuk seperti ini akan menjamin tersedianya angkatan perang untuk membela kota mereka ataupun menyerang kota lain.
Pada awalnya, para tuan tanah merupakan penduduk asli daerah tengah perkotaan. Lalu perdagangan telah dibangun, harga-harga tanah melambung tinggi dan para tuan tanah menggunakan posisinya untuk mengontrol pemasaran hasil produksi dan sudah barang pasti mereka menggunakan posisi dominan mereka untuk meminjamkan bibit kepada penduduk-penduduk miskin yang tinggal dipinggiran dan untuk menambah perbudakan.Semua Negara kota di Yunani dan Romawi dijalankan atas dasar dan prinsip yang sama, seluruh penghuni Negara kota (polis dalam bahasa Yunani ) bersatu untuk menghadapi Negara kota lainnya,
Universitas Sumatera Utara
tapi sebenarnya terbelah didalam dirinya sendiri, dibedakan menjadi dua kaum: antara wargakota dan budak.
Warga kota yang miskin (mereka disebut Plebeian dalam bahasa Romawi ) sama sekali tidak memiliki hak-hak politik. Perjuangan mereka adalah perjuangan politik, perjuangan untuk meraih posisi yang dapat penentu kebijaksanaan di negara-kota mereka. Kemenangan demokrasi tak terelakkan di Athena, hal ini terjadi setelah warga negara kota yang miskin mampu memenangkan perang laut di Salamis melawan orang persia yang ingin merebut kota itu. Meskipun mereka terlalu miskin untuk mempersenjatai diri mereka sendiri, mereka menyediakan pendayung-pendayung yang handal kepada Armada Laut Athena. Sebuah persatuan yang rapuh telah tebentuk antara warga negara yang kaya dan yang miskin melalui ekspansi keluar dan penaklukan budak-budak. Kemudian penduduk yang miskin tidak terlalu tertekan, karena orang-orang kaya memiliki cadangan tenaga kerja.
Tapi Demokrasi Athena –Demokrasi untuk warga kota – berbasiskan pada eksploitasi terhadap kaum-kaum non warga kota: yaitu para budak yang tidak memiliki hak-hak politik. Demokrasi Athena sebenarnya adalah sebuah mekanisme untuk memaksakan kepentingan-kepentingan kaum yang berkuasa kepada kaum-kaum yang tertindas dan untuk mempertahankan kepentingankepentingan kaum yang berkuasa di dalam perang.
Negara berpihak kepada kaum yang berkuasa, struktur masyarakat berdiri di atas kerja kaum budak –semua perkembangan pesat dalam bidang seni, budaya dan filsafat dapat terjadi karena kerja keras budak yang dieksploitasi, hal ini
Universitas Sumatera Utara
menyebabkan para pemilik budak memiliki banyak waktu untuk istirahat, masyarakat kemudian berkembang. Namun model demokrasi kuno yang ada di awal peradaban ini tidaklah dapat dikatakan sebagai demokrasi sejati yang meletakkan kepentingan mayoritas diatas minoritas.
Dalam perkembangan masyarakat manusia, telah berulang kali bagian terbesar masyarakat dipaksa untuk tunduk baik secara kesadaran maupun karena penggunaan alat-alat kekerasan seperti senjata. Tak jarang penggunaan kekerasan sebagai alat pemaksa kehendak dilakukan karena kehendak minoritas masyarakat memang bertentangan dengan kebutuhan mayoritas masyarakat.
Sering kali, sebuah tirani hanya terfokus pada satu orang diktator, seorang tiran. Namun kenyataan yang terjadi selama berkuasanya sang Tiran tersebut, ia hanyalah perwakilan ataupun penampakan dari sekelompok minoritas yang ingin mendapatkan hak-hak khusus di atas penindasan terhadap mayoritas rakyat.
Bagi sebagian besar orang Eropa di bawah Imperium Romawi, Julius Caesar adalah seorang tiran. Legiun-legiunnya yang membawa pedang dan tameng merah sangat efektif menaklukkan suku-suku primitif di dataran Eropa Barat. Sistem pajak dan kerja paksa diberlakukan tanpa perlawanan yang berarti. Tapi apakah Julius Caesar bertindak atas kehendaknya sendiri? Dari mana asalnya para legiuner-legiuner, perwira-perwira, dan jendral-jendral pasukan Romawi yang tak terkalahkan itu? Sangat jelas, mereka adalah orang-orang yang dibiayai ataupun memang berasal dari keluarga-keluarga tuan tanah di Roma. Caesar berkuasa atas dukungan Senat, sebuah badan permusyawaratan kaum patricia (tuan-tuan tanah dan pemilik budak) Romawi. Tanpa perluasan teritorial yang
Universitas Sumatera Utara
kemudian menghasilkan pajak dan budak, mustahil Romawi dapat berkembang. Dan para patricia pemilik colonate (perkebunan besar) pun akan kesulitan memperkaya diri karena mereka akan selalu membutuhkan budak-budak untuk mengerjakan colonate mereka. 34
Gubernur-gubernur jendral Hindia Belanda juga memiliki latar belakang yang sama. Di tanah jajahan mereka adalah tiran, yang menggunakan bala tentara untuk menaklukan perlawanan-perlawanan reaksioner dan sia-sia para bangsawan Jawa dan untuk memastikan rakyat jajahan membayar pajak tanah dan pajak kepala. Tetapi siapakah pendukung mereka sebenarnya di tanah jajahan, apakah para prajurit “londo” dan setengah “londo”? Mereka adalah justru orang-orang yang dipaksa secara ekonomi menjadi prajurit di tanah air mereka. Pendukung kebijakan-kebijakan para gubernur jendral adalah para pemilik (perampas tanah) perkebunan-perkebunan dan pabrik-pabrik baik di tanah jajahan ataupun negara induk mereka. Gubernur Jendral Hindia Belanda adalah wakil dari minoritas masyarakat Belanda, para bangsawan dan pemilik modal.
Menurut Dahl, negara yang demokratis tidak hanya mengakomodasi kompetisi politik secara ekstensi dan partisipatif, namun juga terdapat kebebasan berbicara didalamnya, pers serta pluralisme yang memudahkan rakyat untuk membentuk dan mengekspresikan pilihan-pilihan politik mereka dalam sebuah
34
Dokumen Resmi Materi Pendidikan Dasar Liga Mahasiswa untuk Demokrasi Politik Rakyat Miskin (LMND PRM) Sumatera Utara.
Universitas Sumatera Utara
cara yang lebih bermakna. Dan untuk menjamin mekanisme tersebut, rakyat harus diberi kesempatan untuk:35
1. Merumuskan pilihan atau kepentingannya sendiri. 2. Memberitahukan preferensinya itu pada sesama warga Negara dan pemerintah lewat tindakan individual maupun kolektif. 3. Mengusahakan agar kepentingannya itu dipertimbangkan secara setara dalam proses pembuatan keputusan pemerintah, artinya tidak ada diskriminasi berdasar isi atau asalnya.
Transisi menuju demokrasi tidak terlepas dari adanya gelombang demokratisasi ketiga yang melanda negara-negara di dunia pada masa 1970-an. Gelombang demokratisasi ini terjadi pertama kali terjadi di Eropa Selatan misalnya di Portugal, Yunani dan Spanyol yang kala itu ditandai dengan runtuhnya rezim otoriter di negara masing-masing. Di Asia, gelombang ini pun ikut terjadi yang pertama kalinya di India pada tahun 1997 dan diikuti oleh Turki, Filipina, Korea, Taiwan dan Pakistan.
Proses demokratisasi sendiri mempunyai tiga model:
1. Model liniear. Model demokratisasi klasik yang memberikan hakhak sipil ke hak-hak politis bahkan hingga ke hak-hak sosial. Model ini memberikan pemahaman tentang persatuan nasional,
35
Sutoro Eko, Transisi Demokrasi Indonesia: Runtuhnya Rezim Orde Baru, Yogyakarta: APMD Press, 2003, hlm. 9.
Universitas Sumatera Utara
perjuangan politik yang panjang dan tidak menentu, dan suatu keputusan sadar untuk mengadopsi hukum-hukum demokrasi. Model ini tercerminkan dalam pengalaman Eropa akhir abad ke-19 dan beberapa pengalaman negara Amerika Latin. 2. Model siklis despotisme dan demokrasi yang berseling-seling. Biasanya elit-elit penguasa menerima legitimasi bentuk-bentuk demokrasi secara dangkal. Pemilu dilangsungkan dengan tempo waktu yang berkelangsungan akan tetapi jarang sekali pemerintah berganti dari hasil pemilu tersebut. Dan juga campur tangan militer mampu mengambil alih kekuasaan dari tangan pemerintahan dalam segala bidang termasuk ekonomi politik dan tatanan publik secara efektif. 3. Model dialektis. Dalam model ini menjelaskan kelas menengah menyebabkan tekanan yang makin meningkat terhadap rezim otoriter yang ada untuk memperluas partisipasi dan persaingan. Dan pada akhirnya hingga terjadi suatu keretakan dalam sistem politik yang memaksa penggulingan rezim otoriter yang ada dan pelembagaan rezim demokratis. Dalam perjalanan waktu rezim otoriter akan runtuh dan terjadilah sistem demokrasi yang lebih stabil, lebih seimbang dan lebih langgeng.
Semua model ini menekankan keinginan akan perkembangan demokrasi yang stabil dan perluasan partisipasi politik yang relatif terlambat dalam urutan perubahan. Namun demikian mengingat keinginan umum akan parisipasi politik dan peningkatan dalam mobilisasi sosial yang dihasilkan oleh perkembangan
Universitas Sumatera Utara
ekonomi, maka kecenderungan yang menonjol adalah partisipasi dan persaingan. Inilah mungkin salah satu penyebab mengapa ekonomi di Negara Dunia Ketiga belum dapat merangsang munculnya rezim demokratik yang lebih stabil.
Terdapat lima macam perubahan yang menyebabkan terjadinya gelombang demokratisasi ketiga antara lain sebagai berikut: 36
1. Merosotnya legitimasi dan dilemma kerja. Semakin mendalamnya masalah-masalah legitimasi yang dihadapi oleh system-sistem otoriter di dunia dimana nilai-nilai demokrasi telah diterima banyak orang, ketergantunga rezim-rezim itu pada legitimasi kinerja dan melemahnya legitimasi akibat kalah perang, kegagalan ekonomi dan “kejutan minyak” pada tahun 1973-1974 dan 19781979. 2. Pertumbuhan ekonomi dan krisis ekonomi. Pertumbuhan ekonomi global yang luar biasa pada tahun 1960-an yang telah mengakibatkan meningkatnya standar hidup, taraf pendidikan dan membesarnya kelas menengah kota di banyak negeri. 3. Perubahan keagamaan. Perubahan-perubahan yang mencolok pada doktrin dan kegiatan Gereja Katolik yang termanifestasi dalam Dewan Vatikan Kedua tahun 1963-1965 serta transformasi gerejagereja nasional dari posisi sebagai pembela status quo menjadi penentang otoritarianisme dan pendukung reformasi social, ekonomi dan politik.
36
Samuel Huntington, Gelombang Demokrasi Ketiga, Jakarta: Grafiti, 2001, hlm. 56-57.
Universitas Sumatera Utara
4. Kebijakan baru pelaku eksternal. Perubahan-perubahan dalam kebijakan para pelaku luar negeri, termasuk sikap baru masyarakat Eropa
pada
akhir
dasawarsa
1960
untuk
memperluas
keanggotaannya, pergeseran besar kebijakan AS ke arah promosi hak-hak asasi manusia demokrasi di negeri-negeri lain mulai tahun 1974, serta perubahan dramatis yang dilakukan Gorbachev dalam kebijakan Uni Soviet ke arah mempertahankan kekuasaan Uni Soviet. 5. Efek demonstrasi atau efek bola salju dari transisi-transisi awal menuju demokrasi pada gelombang ketiga, yang diperkuat oleh sarana
komunikasi
internasional,
dalam
merangsang
dan
menyediakan model bagi upaya mengubah rezim di negeri-negeri lain selanjutnya.
Berdasarkan pemaparan mengenai demokrasi dan yang menyebabkan terjadinya gelombang demokratisasi diatas, dapat ditarik dua kesimpulan hipotesa. Pertama, demokrasi yang terjadi dibelahan dunia manapun sekarang ini dapat dikatakan bukanlah demokrasi yang sejatinya, yang meletakkan kepemimpinan diatas kepentingan mayoritas. Melainkan demokrasi yang semu yang ingin menemukan pola terbaik dalam perkembangannya. Kedua, konsepsi demokratisasi menjadi suatu
pembelajaran baru bagi Negara-negara dunia ketiga dalam
menentukan pola pemerintahan dan politik Negara berkembang.
5.2 Teori Negara
Universitas Sumatera Utara
Pemikiran tentang Negara sudah ada sejak zaman Yunani Kuno. Beberapa ahli fisafat dari Yunani bahkan mempunyai deskripsi yang
berbeda-beda
mengenai Negara. Aristoteles menyatakan Negara adalah perpaduan beberapa keluarga mencakupi beberapa desa, hingga pada akhirnya dapat berdiri sendiri sepenuhnya, dengan tujuan kesenangan dan kehormatan bersama. Sedangkan Cicero, pemikir Roma menegaskan Negara adalah timbulnya pemikiran sehat masyarakat banyak bersatu untuk keadilan, dan berpartisipasi bersama dalam keuntungan. 37 Dilain pihak Penulis Francis Jean Bodin mengatakan Negara adalah asosiasi beberapa keluarga dengan kesejahteraan yang layak, dengan alasan yang sehat setuju untuk dipimpin oleh penguasa tertinggi. Phillimore menyatakan Negara adalah: orang- orang yang secara permanent mendiami suatu wilayah tertentu, dijilid dengan hukum- hukum kebersamaan, kebiasaan dan adat-istiadat didalam satu kebijaksanaan. Bluntschli mengatakan Negara adalah organisasi kebijaksanaan orang-orang diwilayah tertentu. Gettell menegaskan Negara adalah komunitas oknum-oknum, secara permanent mendiami wilayah tertentu, menuntut dengan sah kemerdekaan diri dari luar dan mempunyai sebuah organisasi pemerintahan, dengan menciptakan dan menjalankan hukum secara menyeluruh didalam lingkungan. Definisi Gattel lebih mengena dari pada definisi yang lainnya, wilayah yang dihuni oleh komunitas masyarakat, karna merasa tertindas, maka merdeka menjadi hak mereka menentukan hidup mereka sendiri. Menurut Marx & Engels, munculnya negara adalah akibat dari pembagian sosial dari kerja. Negara tak lain dan tak bukan adalah mesin yang dipakai oleh
37
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta:
Universitas Sumatera Utara
satu kelas untuk menindas kelas lain. Bagi kaum Proletar negara digunakan untuk memperjuangkan kebebasan dan menindas lawan-lawan, setelah kebebasan tercapai maka negara tidak perlu ada. Negara adalah alat di tangan kaum borjuis untuk mempertahankan kepentingannya. Pandangan ini didasarkan pada paham materialisme sejarah Marx yang menempatkan negara dalam bangunan atas (supra struktur) bersamaan dengan hukum, ideologi, agama, filsafat dan lain-lain. Ada pun ekonomi yang menjadi sentral dari perkembangan sejarah manusia berada dalam bangunan bawah (infra strukture). Negara menjadi alat kaum borjuis untuk menjamin kelangsungan penindasan terhadap kaum buruh agar kaum buruh tidak berusaha membebaskan diri dari usaha penghisapan dari kaum majikan. Sedangkan hukum, moral, agama, filsafat yang disebut juga dengan “bangunan atas ideologis” berfungsi memberikan legitimasi bagi usaha penghisapan yang dilakukan oleh kaum majikan. Negara muncul sebagai akibat dari kebutuhan kaum borjuis untuk melindungi keberlangsungan proses kapitalisme yang ada dalam dalam masyarakat sipil. Relasi-relasi dalam masyarakat sipil dikendalikan oleh relasirelasi produksi kapitalis sehingga dalam masyarakat sipil terkandung tirani ideal bagi konsolidasi kapitalisme. Negara akan melindungi proses kapitalisme itu dari segala macam upaya yang akan menggagalkan proses tersebut. Perkembangan Negara dalam sejarah perkembangan masyarakat menurut Marx dimulai pada masyarakat komunal primitive. Pada awalnya masyarakat komunal primitf tidaklah mengenal Negara. Pada masa ini belum ada pembagian masyarakat ke dalam kelas-kelas. Karena pada masa ini alat-alat produksi dan
Universitas Sumatera Utara
juga pengetahuan manusia masih primitive, kegiatan semua anggota masyarakat untuk dapat bertahan hidup. Yang ada hanyalah pembagian kerja seperti berburu, bercocok tanam dan lainnya. Masyarakat kelas muncul ketika kekuatan produksi bertambah dan menghasilkan produksi yang berlebih. Perampasan terhadap hasil produksi dilakukan oleh kelompok lain. Proses pengambilan tersebut terjadi tidaklah dengan cara damai melainkan melalui kekerasan atau dengan cara lain. Dan terjadilah perbudakan yang merupakan awal dari adanya kelas-kelas dari masyarakat. Produksi pada masa perbudakan didasarkan atas kerja kaum budak itu sendiri. Dan sepanjang sejarah timbul pemberontakan-pemberontakan budak yang ingin bebas dari tuan budak. Proses inilah yang mengantarkan system berganti dari perbudakan menuju feodalisme. Pada masa feodalisme yang menjadi kelas yang tidak terdamaikan adalah tuan tanah dan tani hamba. Penguasa feodal adalah penguasa absolut di wilayah kekuasaannya. Hanya dialah yang berhak membawa senjata setiap waktu, dialah yang menjadi polisi, dialah yang menjadi constable, dialah hakim satu-satunya, hanya dialah yang berhak mengeluarkan uang, dialah menteri keuangan. Dia menjalankan semua peran klasik yang kini dijalankan negara yang kita kenal sekarang. Inilah awal dari munculnya Negara. Meskipun harus dipahami bahwa Negara yang ada bukanlah negara yang dijalankan oleh kelas berkuasa. Tidak hanya sekitar masalah kekuasaan, seperti tentara, keadilan, keuangan. Di genggaman tangan bangsawan ini juga terdapat ideologi, hukum, filasafat, ilmu pengetahuan, seni. Orang yang menjalankan peran-peran tersebut adalah orang miskin yang, guna mempertahankan hidupnya, terpaksa menjual
Universitas Sumatera Utara
keahlian mereka kepada seorang tuan tanah yang dapat memenuhi kebutuhan mereka. Dalam kondisi demikian, minimal selama ketergantungannya penuh, perkembangan idelogi dikendalikan sepenuhnya oleh kelas penguasa: yang dengan sendirinya memerintahkan “produksi ideologi” yang dengan sendirinya mampu membiayai “ideolog-ideolog”. Dalam perkembangannya revolusi borjuis melahirkan suatu system yang baru yang semakin menghisap yaitu kapitalisme. Masyarakat baru ini tidak lagi didominasi tuan-tuan tanah melainkan oleh kapitalisme, oleh kapitalis-kapitalis modern. Seperti kita ketahui, kebutuhan keuangan akan negara modern-kekuasaan terpusat baru, seperti monarki absolut- semakin membesar, mulai dari abad 15 sampai abad 16 dan selanjutnya. Uang dari para kapitalis, para pedagang, dan para bankir komersial adalah pengisi secara besar-besaran pundi-pundi negara. Sejak masa itu, sebagai pamrih dari pembayaran kapitalis atas proses jalannya negara, mereka akan mengharapkan negara menempatkan diri sepenuhnya menjadi pelayan mereka. Mereka akan membuat hal ini terasa dan dimengerti secara jelas melalui hukum yang mereka buat dan institusi yang mereka bangun.
Kekuasaan Negara adalah sebuah kekuasaan permanen. Kekuasaan ini dijalankan oleh sejumlah tertentu institusi yang diisolasi dan independen dari pengaruh yang dapat berubah-ubah dan tidak stabil seperti hak pilih universal. Institusi seperti inilah yang harus dianalisa kalau kita ingin mengetahui di mana kekuasaan yang sebenarnya berada: “Pemerintahan datang dan pergi, tetapi polisi
Universitas Sumatera Utara
dan para administrator (pejabat) tetap tidak berubah.” 38
Negara adalah di atas segalanya, institusi-institusi permanen: tentara (bagian permanen dari tentara -staf jendral, pasukan khusus), polisi, polisi khusus, polisi rahasia, pejabat tinggi departemen-departemen Negara, badan keamanan nasional, hakim-hakim, dan lain-lain -semua institusi yang terbebas dari pengaruh hak pilih universal.
Pada konsepsi dasar Negara borjuis - tanpa memandang apakah bentuknya lebih ataupun kurang demokratis - terdapat asumsi fundamental, berhubungan dengan asal mula negara: Sifat dari negara tetaplah antagonistik, atau agak tidak adaptif, terhadap kebutuhan-kebutuhan dari kolektivitas. Negara adalah, secara definitif, sekelompok orang yang menjalankan peran-peran yang pada awalnya dijalankan oleh semua anggota kolektivitas. Orang-orang ini tidak menghasilkan kerja-kerja produktif tetapi menggantungkan diri kepada anggota masyarakat lainnya.
Dalam keadaan normal, tidak ada kebutuhan akan adanya pengawaspengawas. Bahkan di Moskow, contohnya, tidak ada petugas yang mengumpulkan ongkos bus: para penumpang memasukkan uang mereka ketika mereka naik, baik ada ataupun tidak ada orang yang mengawasi mereka. Di masyarakat yang tingkat perkembangan kekuatan-kekuatan produksinya rendah, di saat setiap orang bersaing untuk mendapatkan penghidupan pribadi dari pendapatan nasional yang sangat kecil, sebuah aparatur pengawas yang besar sangat dibutuhkan.
38
Dokumen Resmi Komite Politik Rakyat Miskin Partai Rakyat Demokratik (KPRM
PRD)
Universitas Sumatera Utara
Menurut Gramsci, Negara memiliki alat-alat koersif yaitu lembagalembaga yang disebutnya sebagai masyarakat politik. Tetapi negara tidak sematamata melakukan koersif saja tetapi negara juga melakukan apa yang ia sebut sebagai ‘peran edukatif dan formatif negara’ yaitu melakukan hegemoni. Kekuasaan dipahami oleh Gramsci sebagai hubungan sosial. Hubungan sosial negara terjadi terhadap masyarakat politik dan juga terhadap masyarakat sipil. Jadi, di dalam masyarakat sipil disamping terdapat hubungan sosial di antara kelompok-kelompoknya sendiri juga terdapat hubungan sosial dengan Negara.
Jadi ia mendefinisikan negara sebagai kekuatan plus kesadaran atau hegemoni yang dipersenjatai dengan pemaksaan, yang didalamnya masyarakat politik mengatur kekuatan, dan masyarakat sipil menyediakan kesadaran. Gramsci menggunakan kata 'negara' dengan cara yang berbeda: dalam pertimbangan legal konstitusional yang kaku sebagai suatu keseimbangan antara masyarakat sipil dan masyarakat politik atau mencakup keduanya.
Munculnya negara dalam masyarakat kapitalis adalah akibat dari tidak terdamaikannya pertentangan klas (antara borjuis dan proletar) dalam struktur masyarakat tersebut. Negara juga mengontrol perjuangan sosial dari kepentingan ekonomi yang berbeda, dimana kontrol tersebut dipegang oleh klas yang kuat secara ekonomi dalam masyarakat. Dengan demikian negara juga menjadi alat represif dari klas yang berkuasa.
Selain kekuatan represif tersebut, negara juga menjalankan kekuatan hegemoni yang mampu melanggengkan kekuasaannya, yang berarti kekuasaan dari klas dominan. Maka, hegemoni selalu berhubungan dengan penyusunan
Universitas Sumatera Utara
kekuatan negara sebagai klas diktator. Atau dengan kata lain, salah satu hal yang menyebabkan kapitalisme bertahan adalah genggaman ideologisnya terhadap massa proletar.
John Markoff dalam bukunya “Gelombang Demokrasi Dunia: Gerakan Sosial dan Perubahan Politik”, mempelajari kekuasaan negara dari dua perspektif yang agak berbeda. Pertama, mempertimbangkan kemampuan negara dalam membuat dan menjalankan kebijakan atau apa yang disebut dengan “kapasitas kekuasaan”. Kedua, mempertimbangkan klaim atas apa yang membuat masyarakat mau mematuhi kehendak para penguasa dan mengapa mereka harus melakukannya. Apakah karena para penguasa tersebut mengklaim diri mereka adalah wakil Tuhan atau apakah mereka memegang mandat dari rakyat. Ketika kita mendapati klaim yang membenarkan penggunaan kekuasaan, maka berhubungan dengan legitimasi. Negara seringkali membuat legitimasi atas suatu klaim, yakni klaim dalam mempraktekkan demokrasi. 39
Dalam penegakkan demokrasi yang terjadi pada masa Orde Baru tahun 1998, Negara menggunakan aparaturnya untuk meredam perlawanan yang dilakukan oleh mahasiswa. Perlawanan yang dilakukan oleh mahasiswa adalah suatu bentuk perlawanan yang didasarkan atas kegagalan yang dilakukan Negara dalam bidang ekonomi politik pada masa itu. Mahasiswa sebagai pelopor yang memulai pergerakan itu memandang bahwa kegagalan itu memberikan dampak yang sangat luas bagi masyarakat Indonesia dan juga bagi perkembangan
39
John Markoff, Gelombang Demokratisasi Dunia: Gerakan Sosial dan Perubahan Politik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002. Hal. 25.
Universitas Sumatera Utara
demokrasi yang ada di Indonesia yang selama tiga puluh dua tahun berada dalam system otoritarianisme yang dibangun Soeharto.
Negara melakukan tindakan represif guna tetap mempertahankan kekuasaan modal yang ada di Indonesia baik kekuasaan modal asing maupun dalam negeri yang juga pada saat itu masih dikuasai oleh Soeharto dan kronikroninya. Dengan demikian, konsepsi tentang negara menjadi pembahasan menarik dalam penelitian ini dimana dominasi hegemoni negara terhadap masyarakat sipil dalam hal ini gerakan sosial yang dilakukan mahasiswa dalam menuntut hak berpolitik rakyat oleh karena arah kebijakan yang mengedepankan dominasi segelintir atau klas pemilik modal.
5.3 Teori Gerakan Sosial
Gerakan sosial merupakan suatu tindakan terencana yang dilakukan oleh suatu kelompok kepentingan masyarakat yang memiliki program-program terencana dan ditujukan pada suatu perubahan atau sebagai gerakan perlawanan untuk melestarikan pola-pola dan lembaga masyarakat yang ada. 40 Suatu gerak yang ingin melakukan perubahan dalam bentuk perlawanan atau desakan dapat dikatakan sebagai gerakan sosial. Secara teoritis dapat dikatakan sebagai gerakan yang menuntut perubahan karena menganggap bahwa kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah sudah tidak sesuai lagi dengan konteks yang seharusnya dan sudah jauh melenceng sebagai pengabdi bagi masyarakat.
40
http://globalisasi.wordpress.com/2006/07/10/Gerakan Sosial: Kajian Teoritis (Makalah yang dimuat pada hari Senin, 10 Juli 2006), hal. 3-4.
Universitas Sumatera Utara
Dilihat dari perspektif Marxis, gerakan sosial dianggap sebagai gejala yang positif yang
kemunculannya disebabkan oleh karena terjadinya proses
eksploitasi dan dominasi satu kelas terhadap kelas lainnya. Gerakan sosial, dengan demikian, dipahami sebagai reaksi (perlawanan) kaum proletar terhadap kaum borjuis, merupakan ekspresi dari struktur kelas yang kontradiktif. Singkatnya, gerakan sosial adalah perjuangan kelas yang lahir karena adanya kesadaran kelas. 41
Konsep gerakan sosial banyak muncul dari pendekatan paradigmatik secara umum yang lebih banyak mengonotasikan bahwa gerakan sosial sebagai sebuah dinamika sosial yang berjalan secara khusus. Ada pandangan yang melihat bahwa gerakan sosial ada dalam sebuah proses, ketika sejumlah aktor melakukan elaborasi melalui aktivitas bersama dalam sebuah konflik sosial-politik.
Dalam bukunya, Noer Fauzi mengatakan bahwa gerakan social pada awalnya muncul gerakan sebagai respons terhadap formasi hegemoni di negaranegara Barat pasca-Perang Dunia II, sebuah formasi dalam krisis saat ini. Format hegemoni tersebut diletakkan pada tempatnya semenjak abad ini. Adanya gerakan sosial sebelum Perang Dunia II, namun berkembang secara utuh setelah perang sebagai respons terhadap hegemoni formasi sosial baru. Antagonisme sosial baru inilah yang menjadi lokus dari lahirnya gerakan sosial yang bukan hanya berbasiskan pada keagenan buruh, melainkan agen gerakan sosial yang mengusung tuntutan berbagai bidang.
41
http://globalisasi.wordpress.com/2006/07/10/Gerakan Sosial: Kajian Teoritis, loc. cit.
Universitas Sumatera Utara
Denny JA juga menyatakan adanya tiga kondisi lahirnya gerakan sosial seperti gerakan mahasiswa. 42 Pertama, gerakan sosial dilahirkan oleh kondisi yang memberikan kesempatan bagi gerakan itu. Pemerintahan yang moderat, misalnya memberikan kesempatan yang lebih besar bagi timbulnya gerakan sosial ketimbang pemerintahan yang sangat otoriter. Kedua, gerakan sosial timbul karena meluasnya ketidakpuasan atas situasi yang ada. Perubahan dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern, misalnya dapat mengakibatkan kesenjangan ekonomi yang makin lebar untuk sementara antara yang kaya dan yang miskin. Perubahan ini dapat pula menyebabkan krisis identitas dan lunturnya nilai-nilai sosial yang selama ini diagungkan. Perubahan ini akan menimbulkan gejolak yang dirugikan dan kemudian meluasnya gerakan sosial.Ketiga, gerakan sosial sematamasa masalah kemampuan kepemimpinan dari tokoh penggerak. Adalah sang tokoh penggerak yang mampu memberikan inspirasi, membuat jaringan, membangun organisasi yang menyebabkan sekelompok orang termotivasi terlibat dalam gerakan.Gerakan mahasiswa mengaktualisikan potensinya melalui sikapsikap dan pernyataan yang bersifat imbauan moral. Mereka mendorong perubahan dengan mengetengahkan isu-isu moral sesuai sifatnya yang bersifat ideal. Ciri khas gerakan mahasiswa ini adalah mengaktualisasikan nilai-nilai ideal mereka karena ketidakpuasan terhadap lingkungan sekitarnya.
Gerakan social juga sama dengan perjuangan kelas. Memiliki asal usul dalam perubahan tenaga produktif dan proses kerja secara umum dan mengekspresikan kepentingan starata social tertentu dengan berbagai cara dan memiliki dasar dalam hubungan produksi social. Kondisi tenaga produktif dan 42
Denny JA, Menjelaskan Gerakan Mahasiswa, Harian Kompas, 25 April 1998.
Universitas Sumatera Utara
hubungan produksi di masyarakat yang telah terbagi dalam kelas-kelas memunculkan kondisi laten dimana rakyat menjadi peduli nterhadap sebuah isu dan terdapat basis social untuk gerakan. Secara keseluruhan gerakan social bertujuan mencapai target mereka di dalam masyarakat yang ada.
Lebih lanjut Scott menjelaskan tentang perlawanan yang sesungguhnya bersifat: 43
1. Terorganisir, sistematis dan kooperatif 2. Berprinsip atau tanpa pamrih 3. Mempunyai akibat-akibat revolusioner 4. Mengandung gagasan dan tujuan yang meniadakan dasar dari dominasi itu sendiri
Gerakan social yang dilakukan mahasiswa pada periode 1998 memainkan peran sosial mulai dari pemikir, pemimpin dan pelaksana. Sebagai pemikir mahasiswa mencoba menyusun dan menawarkan gagasan tentang arah dan pengembangan masyarakat. Peran kepemimpinan dilakukan dengan aktivitas dalam mendorong dan menggerakan masyarakat. Sedangkan keterlibatan mereka dalam aksi sosial, budaya dan politik di sepanjang sejarah merupakan perwujudan dari peran pelaksanaan tersebut. Upaya mahasiswa membangun organiasai sebagai alat bagi pelaksanaan fungsi intelektual dan peran tidak lepas dari kekhawasannya.
43
James C. Scott, Perlawanan Kaum Tani, Jakarta: Diterjemahkan oleh Yayasan Obor Indonesia, 1993, hal. 302.
Universitas Sumatera Utara
Motif mahasiswa membangun gerakan sosial adalah untuk membangun dan memperlihatkan identitas mereka didalam merealisasikan peran-peran dalam masyarakatnya. Bahkan mereka membangun organisasi karena yakin akan kemampuan lembaga masyarakat tersebut sebagai alat perjuangan. Bentuk-bentuk gerakan mahasiswa mulai dari aktivitas intelektual yang kritis melalui seminar, diskusi dan penelitian merupakan bentuk aktualisasi .Selain kegiatan ilmiah, gerakan mahasiswa juga menyuarakan sikap moralnya dalam bentuk petisi, pernyataan dan suara protes. Bentuk-bentuk konservatif ini kemudian berkembang menjadi radikalisme yang dimulai dari aksi demonstrasi di dalam kampus. Secara perlahan karena perkembangan di lapangan dan keberanian mahasiswa maka aksi protes dilanjutkan dengan turun ke jalan-jalan.
Bentuk lain dari aktualisasi peran gerakan mahasiswa ini dilakukan dengan menurunkan massa mahasiwa dalam jumlah besar dan serentak. Kemudian mahasiswa ini mendorong desakan reformasi politiknya melakukan pendudukan atas bangunan pemerintah dan menyerukan pemboikotan. Untuk mencapai citacita moral politik mahasiwa ini maka muncul berbagai bentuk aksi seperti umumnya terjadi dalam gerakan sosial.
6. METODE PENELITIAN
6.1 Jenis Penelitian
Menurut Hadari Nawawi, metode penelitian deskripstif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan
Universitas Sumatera Utara
atau melukiskan subjek atau objek penelitian seseorang, lembaga, masyrakat dan lain-lain pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagai mana adanya. Penelitian deskriptif melakukan analisis dan menyajikan data-data dan fakta-fakta secara sistematis sehingga dapat dipahami dan disimpulkan. 44
Tujuan penelitian deskriptif analisis adalah untuk membuat pencanderaan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu. Penelitian ini bermaksud untuk mengungkapkan bagaimana sebenarnya pergerakan yang dilakukan oleh mahasiswa pada tahun 1998 dan juga metode gerakannya. Yang digambarkan lewat perjuangannya melalui strategi taktik perlawanan pada tahun 1998. Disamping itu juga penelitian ini menggunakan teori-teori, data-data dan konsep-konsep sebagai sebuah kerangka acuan untuk menjelaskan hasil penelitian, menganalisis dan sekaligus menjawab persoalan yang diteliti. Oleh karenanya jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif.
6.2 Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian, tahap pertama yang diperlukan adalah pengumpulan data. Data merupakan segala keterangan atau informasi mengenai segala hal yang berkaitan dengan tujuan penelitian. Ada beberapa metode yang biasa digunakan untuk mengumpulkan data, antara lain penelitian kepustakaan (library research), yang sering disebut dengan metode dokumentasi, dan penelitian, dan penelitian 44
Hadari Nawawi, Metodologi Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Hal.63.
Universitas Sumatera Utara
lapangan (field research), seperti wawancara (interview) dan observasi. 45 Oleh karenanya dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik pengumpulan data yakni: metode kepustakaan (library research). Sumber data lainnya diperoleh dari text book yaitu buku bacaan, artikel, majalah ataupun surat kabar dan web site.
6.3 Teknik Analisa Data
Data yang telah dikumpulkan tidak akan berarti apa-apa kalau tidak dianalisa. Tujuan dari analisa data adalah untuk memperoleh keluaran (out put) dari hasil yang ingin dicapai dari proses penelitian. Dalam analisa data ini, data yang sudah terkumpul akan diolah dan kemudian di analisis untuk dapat diambil kesimpulan sebagai hasil dari penelitian. Penelitian ini mencoba menganalisis perlawanan gerakan sosial mahasiswa di Indonesia pada tahun 1998.
Metode analisa dalam penelitian ini adalah metode analisis deskriptif yaitu suatu metode dimana data yang diperoleh disusun dan kemudian diinterpretasikan. Sehingga memberikan keterangan-keterangan terhadap masalah-masalah yang aktual berdasarkan data-data yang terkumpul dari penelitian. Selanjutnya, dalam penelitian ini menggunakan perspektif gerakan sosial mahasiswa dalam melawan hegemoni negara.
45
Tatang M. Amirin, Menyusun Rencana Penelitian, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000, hal. 130
Universitas Sumatera Utara