BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Eksekusi atau pelaksanaan putusan ialah tindakan yang dilaksanakan secara paksa terhadap pihak yang kalah dalam perkara.1 Biasanya tindakan eksekusi baru merupakan masalah apabila pihak yang kalah tidak mau secara sukarela malaksanakan putusan, maka pihak yang menang meminta kepada pengadilan agar pihak yang kalah dihukum untuk memenuhi prestasinya yaitu dengan menyerahkan barang,
mengosongkan
rumah
atau
sebidang
tanah,
melakukan
sesuatu,
menghentikan sesuatu, ataupun membayar sejumlah uang. Pada prinsipnya putusan yang dapat dieksekusi adalah perkara yang telah mempunyai hukum tetap atau sudah tidak punya upaya hukum lain (in kracht), karena hanya dalam putusan yang telah mempunyai hukum tetap terkandung wujud hubungan hukum yang tetap dan pasti antara pihak yang berperkara. Apabila pihak yang kalah enggan menjalankan putusan secara sukarela maka hukum yang ditetapkan dalam putusan harus dilaksanakan secara paksa atau kalau 1
M. Yahya Harahap,
Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata,
Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 7.
1
2
perlu
dengan bantuan aparat negara atau polisi, sehingga para pencari
keadilan mendapat putusan yang adil dan dapat di implementasikan serta direalisasikan. Pengadilan Negeri hanya memeriksa perkara yang merupakan kewenangan atau menjadi kompetensi Pengadilan Negeri misalnya perkara pidana terbagi menjadi pidana umum dan pidana khusus dan dalam perkara perdata terbagi menjadi perdata umum dan perdata khusus. Sedangkan kewenangan
Pengadilan Agama telah diatur dalam Undang-
Undang Peradilan Agama yang berbunyi: ”Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf, Zakat, Infaq, Shodaqoh dan Ekonomi Syariah”.2 Putusan yang perlu di eksekusi adalah putusan yang bersifat condemnatoir yaitu
putusan
yang
mengandung
tindakan
“penghukuman”
terhadap
diri
tergugat.3Dalam praktek di lapangan eksekusi dilaksanakan oleh panitera dan juru sita atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri. Sebagaimana terhadap obyek sengketa perkara perdata yang telah diputus sampai Mahkamah Agung dengan putusan kasasi No. 195/K/AG/1995 dan putusan MA No. 3364/K/Pdt/2003. Dalam perkara tersebut telah dieksekusi oleh Pengadilan 2
3
Undang-Undang Peradilan Agama No. 3 Tahun 2006 Pasal 49. M.Yahya, op cit., hlm. 14.
3
Agama Klaten yang kemudian obyek perkara tersebut diajukan gugatan di Pengadilan Negeri Klaten. Perkaranya bermula ketika Almarhum H. Munawir dan Siti Aminah meninggalkan anak beserta harta warisan. Dimana anak pertamanya bernama H. Basari diberi sebidang tanah pekarangan dan bangunan seluas 860m2 di Jln. Cokro Tulung, Tegal Gondo Klaten. Tanah tersebut disertifikatkan atas nama H. Basari, akan tetapi adik H. Basari yang bernama Tamim Fadli dan adik-adiknya tidak setuju atas sebidang tanah tersebut yang diberikan kepada kakaknya, karena mereka tidak diberitahu lebih dahulu dan merasa sama-sama anak yang punya hak waris. Pada tanggal 23 Juli 1993, Tamin Fadli mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama Klaten terhadap tanah yang diatas namakan ke H. Basari, supaya dibagi waris. Mengetahui bahwa tanah dan bangunan atas nama H. Basari pemberian orang tuanya digugat oleh adik-adiknya lewat Pengadilan Agama. Maka pada tanggal 20 Mei 1994, H. Basari berusaha menjual tanah dan bangunan tersebut kepada H. Danuri. Akhirnya tanah dan bangunan atas nama H. Basari yang masih dalam perkara sengketa di Pengadilan Agama dibayar lunas, oleh H. Danuri sekaligus sertifikatnya diserahkan kepada H. Danuri. Namun sejak dari pembelian Tahun 1994 hingga awal Tahun 2001 H. Danuri berulang kali berusaha untuk membalik nama dengan mensertifikatkan menjadi atas nama H. Danuri mengalami kesulitan karena pihak penjual keberatan tidak mau menandatangani. Untuk itu pada tanggal 6 Januari 2001 H. Danuri mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Klaten, sebab sebagai pembeli
4
telah memenuhi prestasi namun belum dapat memperoleh haknya. Adapun perkara gugatan di Pengadilan Agama Klaten sudah diputus oleh hakim Pengadilan Agama Klaten yaitu putusan No.580 /Pdt.G /1993 /PA.Klt tanggal 18 Juni 1994, jo. Putusan PTA Smg No. 72/Pdt.G/1994/PTA.Smg
tertanggal 23 Februari 1999 jo. Putusan
Mahkamah Agung No. 195/K/AG/1995 tanggal 12 Februari 1998. Putusan ini memenangkan Tamim Fadli dan adik-adiknya dengan isi putusan : Pihak terguggat ahli waris H. Basari segera menyerahkan sertifikat tanah dan bangunan seluas 860m2 yang menjadi obyek sengketa untuk dibagi waris. Perkara ini sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht) bahkan obyek sengketa ini telah dieksekusi tanggal 30 April 2001. Sementara itu amar (dictum) putusan atas gugatan H. Danuri yang diajukan ke Pengadilan Negeri Klaten menjatuhkan bahwa Jual-beli dinyatakan syah dan segera pihak terguggat untuk melaksanakan balik nama atas tanah yang menjadi obyek sengketa
kepada penggugat. Atas putusan tersebut pihak terguggat mengajukan
upaya hukum banding dan kasasi namun putusan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung tetap menguatkan putusan Pengadilan Negeri Klaten. 4 Pemaparan kasus perkara perdata diatas, mempertanyakan mengapa permasalahan yang sudah di tangani oleh Pengadilan Agama bahkan sudah di eksekusi hasil putusannya, Pengadilan Negeri berwenang untuk mengangkat lagi
4
Lampiran Putusan Mahkamah Agung No. 3364/K/Pdt/2003
5
permasalahan yang menjadi persengketaan tersebut. Oleh karena itu penulis melihat permasalahan yang ditangani menurut kompetensi pengadilan masing-masing yang dalam permasalahan ini antara Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri yang keduanya telah sampai pada tingkat Mahkamah Agung. Berdasarkan hal tersebut, peneliti tertarik untuk mengetahui putusan pengadilan lain yang mengeksekusi perkara yang atau objek yang sama. Dimana obyek yang telah dieksekusi sebelumya
kemudian di eksekusi lagi berdasarkan
keputusan hukum lain tanpa membatalkan putusan terdahulu dan tanpa membatalkan penetapan pengadilan yang mengeksekusi perkara tersebut. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Apakah yang menjadi pertimbangan Hakim Mahkamah Agung dalam membuat putusan yang isinya bertentangan dengan putusan MA dalam perkara yang lain namun dengan objek perkara yang sama ? 2. Apakah dapat dibenarkan secara yuridis suatu obyek yang telah di eksekusi kemudian dieksekusi lagi berdasarkan putusan hakim lain tanpa membatalkan putusan hakim sebelumnya ?
6
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Tujuan dalam penelitian ini, untuk menjawab pokok permasalahan sebagaimana telah dirumuskan di atas, sebagai berikut : a. Untuk mengetahui hal-hal yang menjadi pertimbangan Hakim Mahkamah Agung dalam membuat putusan yang isinya bertentangan dengan putusan MA dalam perkara yang lain namun dengan objek perkara yang sama. b. Untuk mengetahui hal-hal yang dapat dibenarkan secara yuridis suatu obyek yang telah di eksekusi kemudian dieksekusi lagi berdasarkan keputusan hakim lain tanpa membatalkan putusan hakim sebelumnya. D. Tinjauan Pustaka Peradilan adalah salah satu pranata (institusi) dalam memenuhi hajat hidup anggota masyarakat untuk menegakkan hukum dan keadilan. Sedang pengadilan itu sendiri merupakan suatu organisasi yang menyelenggarakan penegakan hukum dan keadilan tersebut.5 Peradilan mempunyai tingkat yang semua bertemu dan berpuncak di Mahkamah Agung. Tugas pengadilan pada umumnya yaitu pada tahap pertama menerima perkara yang masuk dilanjutkan
tahap kedua
dengan pemeriksaan
perkara dan mengadili perkara tersebut dan tahap ketiga atau terakhir yaitu 5
Cik Hasan Bisri, Peradilan Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, Grafindo Persada, Jakarta.1996, hlm. 87.
PT. Raja
7
menyelesaikan suatu perkara. Pengadilan dalam menentukan batas kewenangan dibagi menjadi dua kewenangan pengadilan, yaitu yang pertama sering disebut kewenangan absolut (Kompetensi Absolut) dan yang kedua kewenangan nisbi (Kompetensi Relatif). Kompetensi Absolut adalah wewenang badan peradilan untuk memeriksa jenis perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan peradilan lain, baik dalam lingkungan peradilan yang sama maupun dalam lingkungan peradilan yang berbeda.6 Apa yang menjadi wewenang badan Peradilan Umum mutlak tidak dapat dilakukan oleh badan Peradilan Agama maupun badan–badan peradilan yang lain. Apa yang menjadi wewenang Peradilan Militer mutlak tidak dapat dilakukan badan Peradilan Tata Usaha Negara maupun peradilan lainnya. Demikian seterusnya, masing-masing badan peradilan mempunyai wewenang sendiri-sendiri. Berdasarkan sistem pembagian lingkungan peradilan, PN berhadapan dengan kewenangan Absolut lingkungan peradilan lain, hal ini diatur dalam amandemen Pasal 24 ayat 2 UU 1995 dan Pasal 10 ayat (1) UU No.14 tahun 1970 sebagaimana diubah dengan UU No, 35 Tahun 1999 dan sekarang diganti dengan Pasal 2 Jo. Pasal 10 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004; Kekuasaan Kehakiman (Judicial Power yang berada dibawah Mahkamah Agung (MA), dilakukan dan dilaksanakan oleh 6
Sriwardah dan Bambang Sutiyoso, Hukum Acara Perdata dan Perkembangannya di Indonesia, Gama Media, Yogyakarta, 2007, hlm.72.
8
beberapa lingkungan dan dilaksanakan oleh beberapa lingkungan peradilan yang terdiri empat (4) badan peradilan yaitu: 1.
Peradilan Umum,
2.
Peradilan Agama,
3.
Peradilan Militer,
4.
Peradilan Tata Usaha Negara.
Mahkamah Agung membawahi empat peradilan tersebut dikarenakan MA merupakan penyelenggara kekuasaan negara dibidang yudikatif. Oleh karena itu secara konsitusional bertindak menyelengarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (to enforce the truth and justice) dalam kedudukannya sebagai pengadilan negara ( state court). Dengan demikian, Pasal 24 ayat 2 UUD dan Pasal 2 jo Pasal 10 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004 merupakan landasan sistem peradilan negara (state court system) di Indonesia, yang dibagi dan terpisah berdasarkan berdasarkan yurisdiksi atau separation court system based on jurisdiction.7 Salah satu implikasi diterapkannya konsep kedaulatan hukum dalam suatu negara ialah adanya suatu badan peradilan yang bebas dari segala intevensi dan mampu secara mandiri memberikan putusan yang adil, artinya adanya kekuasaan kehakiman merupakan suatu konsekwensi dari penerapan paham negara hukum. Oleh 7
M.Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Reformasi Kekuasaan Kehakiman, Makalah Seminar PP IKAHI DKI dan Bandung, Jakarta, 5 Agustus 2002, hlm. 13.
9
karena itu dalam di Indonesia setiap badan peradilan mempunyai kewenangan atau kompetensi masing-masing. Kompetensi
Relatif atau Kewenangan Nisbi pada tiap-tiap pengadilan
mempunyai daerah hukum sendiri-sendiri. Daerah hukum suatu pengadilan meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten tempat Pengadilan Negeri itu berada. Daerah hukum Pengadilan Tinggi mencakup wilayah propinsi dimana Pengadilan Tinggi itu berada.8 Daerah hukum inilah yang menentukan kompetensi relatif suatu pengadilan untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan perkara perdata. Dengan demikian kompetensi relatif pengadilan adalah wewenang badan peradilan sejenis dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara yang didasarkan atas letak atau lokasi wilayah hukumnya masing-masing. Oleh karena itu kompetensi relatif ini disebut juga distribusi kekuasaan kehakiman (distributie van rechspraak).9 Ketentuan tentang kewenangan relatif secara umum kita mendasarkan pada asas "Actor Sequitur Forum Rei", yang menentukan asasnya gugatan diajukan kepada pengadilan tempat tergugat. Khusus untuk sengketa benda tetap digunakan asas "Forum Rei Sitae". Di dalam praktek, terhadap masalah ini memungkinkan untuk menimbulkan berbagai macam kemungkinan, dan salah satunya dalam hal alamat
8
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986.
9
Sri Wardah dan Bambang Sutiyoso, op. cit., hlm. 73.
10
tempat tinggal tergugat tidak diketahui. Menghadapi masalah seperti ini jelas bahwa ketentuan Pasal 32 (3) RUU HAP 2003 tidak dapat diberlakukan di dalam praktek karena sangat mungkin tempat kediamannyapun juga tidak diketahui, untuk menjawab permasalahan tersebut mestinya gugatan diajukan ke pengadilan tempat tinggal penggugat dan ini merupakan perkecualian dari asas umum tersebut. Selanjutnya dalam hal putusan pengadilan, dapat dibedakan menjadi putusan akhir dan putusan bukan akhir (Pasal 185 Ayat 1dan HIR/196 Ayat 1 RBg). Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri suatu sengketa atau perkara dalam suatu tingkatan peradilan tertentu.10 Seperti misalnya putusan banding, putusan kasasi, putusan perlawawan, putusan verstek dan lain-lain. Menurut sifatnya putusan akhir dalam amar atau diktumnya dapat di kategorikan menjadi putusan yang bersifat condemnatoir, declaratoir dan constitutief. Hakim memberikan putusan untuk memberikan penyelesaian akibat perselisihan atau sengketa yang terjadi di peradilan atau disebut jurisdiksi contentiuse atau dimana putusan hakim adalah suatu peryataan yang oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu diucapkan di persidangan dan bertujuan mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak. Bukan hanya di ucapkan saja yang disebut putusan, melainkan juga peryataan yang dituangkan 10
175.
dalam
bentuk
tertulis
dan
kemudian
diucapkan
oleh
hakim
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1993, hlm.
11
dipersidangan.11 Dengan memperoleh kekuatan hukum tetap yang pasti maka putusan itu tidak lagi dapat diubah, sekalipun oleh pengadilan yang lebih tinggi, kecuali dengan upaya hukum yang khusus, yaitu request civil dan perlawanan oleh pihak ketiga atau intervensi. Walaupun putusan telah mendapatkan kekuatan hukum tetap namun apabila tidak dijalankan atau dieksekusi sama saja tidak ada artinya bagi yang menang hanya menang diatas kertas saja. Dalam hal isi putusan ada dua sifat yang terkandung didalamnya yaitu putusan yang bersifat condemnatoir (penghukuman), declaratoir (peryataan) dan constitutief (menciptakan suatu keadaan hukum baru).12 Hanya putusan yang bersifat condemnatoir saja yang bisa dijalankan eksekusinya, yaitu putusan yang amar atau diktumnya mengandung unsur penghukuman. Putusan yang amar atau diktumnya tidak mengandung unsur penghukuman, tidak dapat di eksekusi atau non eksekutable.13 Sedangkan didalam menjalankan pelaksanaan isi ada dua cara yaitu dengan cara sukarela dan dengan jalan eksekusi. Dijalankan dengan cara sukarela artinya pihak yang kalah memenuhi atau melaksanakan sendiri dengan sempurna atas isi putusan itu. Sebaliknya apabila pihak yang kalah tidak mau menjalankan apa yang
11
Ibid., hlm.190.
12
Sri Wardah dan Bambang Sutiyoso, op. cit., hlm. 213.
13
M. Yahya Harahap, op. cit., hlm. 80.
12
terkandung dalam isi putusan maka perlu dilakukan dengan jalan eksekusi. Adapun isi putusan yang bersifat condemnatior, dimana apabila dalam amar atau diktum putusan terdapat perintah yang menghukum pihak yang kalah yang dinyatakan dalam kalimat menghukum atau memerintahkan memenuhi prestasi : menyerahkan suatu barang atau mengosongkan sebidang tanah atau rumah atau melakukan suatu perbuatan atau keadaan atau melakukan pembayaran sejumlah uang. Apabila pihak yang kalah secara sukarela malaksanakan isi putusan maka pihak yang menang tidak perlu memohon kepada Ketua Pengadilan untuk melaksanakan eksekusi, namun pihak pengadilan harus membuat berita acara pemenuhan secara sukarela dengan disaksikan oleh dua orang saksi dan pembuatan berita acara serta kesaksian itu dilakukan di lapangan di tempat dimana pemenuhan putusan dilakukan serta berita acara tersebut ditandatangani oleh juru sita, para saksi, dan para pihak (penggugat dan tergugat).14 Berita acara tersebut ditanda tangani oleh juru sita, saksi I dan saksi II, pihak penggugat dan tergugat, maka dengan demikian berarti isi putusan telah selesai dijalankan sehingga tidak perlu lagi menggunakan tindakan paksa, sebaliknya apabila pihak yang kalah keberatan menerima isi putusan dan tidak mau menjalankan putusan secara sukarela maka disini eksekusi baru merupakan alternative hukum untuk dijalankan. Proses eksekusi diawali dari pihak yang menang mengajukan permohonan
14
Ibid., hlm. 13.
13
untuk eksekusi kepada pihak pengadilan. Atas permohonan itu maka pihak pengadilan dalam hal ini Ketua Pengadilan memberikan peringatan (aan maning) kepada pihak yang kalah pada batas hari dan tanggal yang ditentukan pihak yang kalah tetap atau belum melaksanakan isi putusan maka barulah dilakukan tindakan eksekusi, jadi tindakan eksekusi boleh dimunculkan secara nyata oleh Pengadilan Negeri terhitung mulai tanggal peringatan (somasi) dilampaui. Tindakan eksekusi diawali dengan pembuatan surat penetapan perintah eksekusi oleh Ketua Pengadilan yang berisi perintah kepada panitera atau jurusita.15 Kemudian panitera atau juru sita memberitahu kepada pihak yang kalah atau pihak yang akan tereksekusi pada hari, tanggal, jam yang telah ditentukan. Dalam hal eksekusi pengosongan atau pembongkaran diharapkan pihak yang tereksekusi untuk dapat hadir, hadirnya pihak tereksekusi untuk dapat mengawasi atau menjaga keselamatan barang harta kekayaan yang akan dipindahkan dari tempat eksekusi, namun demikian ketidak hadiran pihak tereksekusi tidak menghalangi jalannya pelaksanaan eksekusi.16Selain eksekusi dalam bentuk pengosongan ada eksekusi dalam untuk melakukan suatu perbuatan yang dimaksudkan memperoleh proses eksekusi yaitu penggantian obyek dalam melakukan suatu perbuatan dapat langsung beralih secara hukum tanpa melalui proses penggantian meskipun pihak yang kalah (tereksekusi) tidak mau memenuhi dan menjalankan perbuatan tersebut. 15
Ibid., hlm. 36.
16
Ibid.,hlm. 46.
14
Akhir dalam pelaksanaan eksekusi, pejabat yang menjalankan eksekusi harus membuat berita acara eksekusi sebagaimana termaktub dalam Pasal 197 HIR dan Pasal 209 Rbg, oleh karena itu tanpa berita acara eksekusi dianggap tidak syah keabsahan formal eksekusi hanya dapat dibuktikan dengan berita acara. Dalam Hukum Acara Perdata dikenal tiga macam eksekusi ialah sebagai berikut17: a. Eksekusi yang tercantum dalam Pasal 196 HIR ialah seseorang yang di hukum untuk membayar sejumlah uang. b. Eksekusi yang tercantum dalam Pasal 225 HIR ialah seseorang dihukum untuk melaksanakan sesuatu perbuatan. c. Eksekusi riil tidak terdapat dalam HIR akan tetapi dalam praktek banyak dilaksanakan. E. Metode Penelitian Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini, maka penulis akan menguraikan mengenai cara dalam melaksanakan penelitian ini, yaitu : 1. Objek penelitian
17
M. Nur Rasaid. Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika Offset, Ctk Pertama, 2005, hlm. 56
15
a. Hal-hal yang menjadi pertimbangan hakim Mahkamah Agung dalam membuat putusan yang isinya bertentangan dengan putusan MA dalam perkara yang lain namun dengan objek perkara yang sama. b. Pandangan yuridis terhadap suatu obyek yang telah di eksekusi kemudian dieksekusi lagi berdasarkan putusan hakim lain tanpa membatalkan putusan hakim sebelumnya. 2. Subjek penelitian a. Hakim Pengadilan Negeri Klaten. b. Hakim Pengadilan Agama Klaten. c. Pakar hukum yang relevan. d. Advokat Senior. 3. Sumber Data : a. Data primer Data primer, yakni data yang diperoleh peneliti secara langsung dari subjek penelitian yang dapat berupa hasil wawancara dan atau angket (field research). b. Data sekunder Data sekunder yakni data yang diperoleh peneliti secara tidak langsung melalui kepustakaan (library research) dan dokumen. 4. Teknik Pengumpulan Data 1) Wawancaca (interview)
16
Yaitu dengan cara mengajukan pertanyaan kepada subyek penelitian berdasarkan daftar pertanyaan yang sudah dipersiapkan sebelumnya. 2) Studi Kepustakaan Yaitu dengan mengkaji bahan-bahan kepustakaan yang relevan baik berupa buku, jurnal, literature, dan karya ilmiah lainnya. 3) Studi Dokumentasi Mencari dan mempelajari Putusan-putusan, Surat Edaran Mahkamah Agung yang berhubungan dengan kasus yang diangkat. 5. Metode pendekatan Pendekatan yang digunakan adalah yuridis sosiologis yaitu peneliti mengkaji dan menganalisis permasalahan dari pendekatan teori-teori dan kaidah hukum, di samping itu peneliti juga secara langsung terjun di lapangan untuk mendapatkan data-data yang relevan dan yuridis normatif yakni metode yang proses penelitiannya didasarkan pada perundang-undangan yang berlaku.
6. Analisis data Data yang terkumpul dari hasil penelitian dianalisis menggunakan diskriptif kualitatif, yaitu data-data yang diperoleh dalam penelitian tersebut digambarkan
17
dan ditata secara sistematis dalam wujud uraian kalimat yang diambil maknanya sebagai kesimpulan.18
18
Roni Hanitijio Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Juri Metri, Ghalia, Jakarta.1998, hlm. 82, 98.